Rahasia Hati yang Tak Pernah Kau Sadari – Tapi Menentukan Sukses di Dunia dan Akhirat

Para ulama berkata, “Apa yang kami sebutkan ini menjelaskan kepadamu bahwa dasar agama pada hakikatnya adalah perkara-perkara batin.” Yakni amalan-amalan hati. Dan amalan-amalan lahiriah tidak bermanfaat tanpa disertai amalan-amalan hati. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat wajah dan rupa kalian, tapi melihat hati kalian.” Yakni amalan-amalan hati seperti tawakal, tobat, ketundukan, rasa takut, rasa syukur, kesabaran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” (QS. Al-Anfāl: 70). Allahu Akbar! Ayat ini turun berkenaan dengan tawanan perang yang berasal dari kalangan musyrikin dan kafir, yang ditawan oleh kaum Muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Karena sebagian mereka mengaku masuk Islam seraya berkata, “Aku telah masuk Islam! Mengapa kalian mengambil tebusan dariku?” Kaum Muslimin menjawab, “Kamu baru menyatakan Islam setelah ditawan.” Maka turunlah ayat ini sebagai penghibur bagi mereka dari satu sisi, dan penjelasan bahwa yang menjadi sandaran utama adalah kejujuran yang terdapat dalam hati. “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Oleh sebab itu, kita harus memberi perhatian besar pada hati. Ini juga dikuatkan oleh hadis yang disebutkan oleh penulis di sini: “Ketahuilah, dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). Demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Hati itu bagaikan raja, dan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila rajanya baik, baik pula pasukannya. Apabila rajanya buruk, maka buruk pula pasukannya.” Hal ini karena hati merupakan sumber perkataan dan perbuatan. Tidaklah kamu mengucapkan suatu kalimat, melainkan itu bersumber dari dalam hatimu. Kamu tidak akan melakukan suatu amalan kecuali ada niat sebelumnya. Hati merupakan sumber ucapan dan perbuatan. Tidak mungkin kamu melakukan sesuatu kecuali karena ada niat dalam hatimu. Selain itu, kesahihan amalan dan ucapan merupakan hasil dari kesahihan apa yang ada dalam hati. Oleh sebab itu, niat dalam hati harus diluruskan agar amalan anggota badan menjadi lurus. Perkara ini juga menunjukkan betapa pentingnya memberi perhatian kepada hati dan merawatnya sebagaimana mestinya, karena hati sangat mudah berubah. Hati cepat berbolak-balik; terkadang begini, terkadang begitu. Karena itulah, kita berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk.” Dan dalam hadis disebutkan, “Hati itu berada di antara jemari Allah Yang Maha Pengasih; Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim, secara makna). Ia dinamai dengan hati karena cepat sekali berubah-ubah. Dari sini kita harus waspada terhadap hati ini agar tidak mudah berubah-ubah. Maka dari itu, kita harus memberinya perhatian yang layak baginya. Selain itu, di mana setan itu membisikkan godaannya? Membisikkannya ke dalam hati! Hati merupakan tempat awal dari godaan setan. “…setan-setan dari kalangan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia) Jika Tuhanmu menghendaki, mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan…” (QS. Al-An‘ām: 112). “…dan agar hati mereka condong kepadanya.” (QS. Al-An‘ām: 113). “Condong” maksudnya kepada bisikan-bisikan tersebut. Lalu, apa itu al-af’idah (الْأَفْئِدَةُ)? Yakni hati. Dari sini, kita harus memberi perhatian kepada hati agar menjadi hati yang jernih, sehingga setan-setan tidak mampu merasuk ke dalamnya, baik setan dari kalangan jin maupun manusia. Setan dari golongan jin, masuk ke dalam hati dan membisikkan godaannya. Sedangkan setan manusia mengucapkan kata-kata yang terdengar oleh telinga, lalu sampai ke hati dan menetap di dalamnya. Oleh sebab itu, kita harus membentengi hati ini agar setan-setan dan para musuh tidak dapat menguasainya. Selain itu juga, hati merupakan alat untuk memahami. Orang yang punya hati yang bersih akan mampu memahami. “Allah melapangkan dada siapa saja yang Dia kehendaki untuk mendapat petunjuk, agar ia menerima Islam.” (QS. Al-An‘ām: 125). Di dalam dada terdapat hati. Sebagaimana firman Allah, “…Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46). Apabila hati telah buta, sirnalah nikmat-nikmat di dunia dan akhirat dari seorang hamba. Oleh sebab itu, kami wasiatkan untuk memberi perhatian dan kepedulian besar pada hati serta mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla melalui penyucian hati. Setiap hamba harus mengetahui bahwa keselamatan di akhirat nanti tergantung pada kebersihan hatinya. Keselamatan di akhirat tergantung pada kebersihan hati, kita harus pertama-tama membersihkan hati kita, kemudian membentenginya agar tidak terpapar oleh berbagai hal yang dapat menjauhkannya dari tujuannya diciptakan. ===== قَالُوا هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يُبَيِّنُ لَكَ أَنَّ أَصْلَ الدِّيْنِ فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ الْأُمُورُ الْبَاطِنَةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ وَأَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ لَا تَنْفَعُ بِدُونِ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَشْكَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ النِّيَّاتُ وَالْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ تَوَكُّلًا وَإِنَابَةً وَتَضَرُّعًا وَخَوْفًا وَشُكْرًا وَصَبْرًا إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي الْأَسْرَى الَّذِينَ كَانُوا فِي الْأَسْرِ مُشْرِكِيْنَ وَكُفَّارًا وَفِي أَسْرِ الْمُسْلِمِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ ادَّعَى الْإِسْلَامَ قَالَ أَنَا أَسْلَمْتُ فَكَيْفَ تَأْخُذُونَ مِنِّي الْفِدْيَةَ قَالُوا مَا أَسْلَمْتَ إِلَّا فِي الْأَسْرِ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بِمَثَابَةِ التَّسْلِيَةِ لَهُمْ مِنْ جِهَةٍ وَبَيَانٌ أَنَّ الْمُعَوَّلَ عَلَيْهِ صِدْقُ مَا فِي الْقَلْبِ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِالْقَلْبِ وَيَدُلُّكَ عَلَى هَذَا مَا أَوْرَدَهُ الْمُؤَلِّفُ هُنَا مِنْ حَدِيثِ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ وَمَا وَرَدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ الْقَلْبُ مَلِكٌ وَالأَعْضَاءُ جُنُودُهُ فَإِذَا طَابَ المَلِكُ طَابَتِ الْجُنُودُ وَإِذَا خَبُثَ الْمَلِكُ خَبُثَتِ الْجُنُودُ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْقَلْبَ هُوَ مَصْدَرُ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ لَنْ تَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ إِلَّا إِذَا صَدَرَتْ أَسَاسُ هَذَا الْأَمْرِ مِنْ قَلْبِكَ لَنْ تَعْمَلَ عَمَلًا إِلَّا أَنْ تُوجَدَ نِيَّةٌ قَبْلَهُ فَالْقُلُوبُ مَصْدَرٌ لِلْأَقْوَالِ وَمَصْدَرٌ لِلْأَعْمَالِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ عَمَلٌ إِلَّا بِمَا فِي قَلْبِكَ ثُمَّ إِنَّ صِحَّةَ الْأَعْمَالِ وَصِحَّةَ الْأَقْوَالِ تَنْتُجُ عَنْ صِحَّةِ مَا فِي الْقُلُوبِ وَلِذَلِك لَا بُدَّ مِنْ تَصْحِيحِ مَا فِي الْقَلْبِ حَتَّى يَصِحَّ مَا فِي الْعَمَلِ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ ثُمَّ يَدُلُّكَ عَلَى أَهَمِّيَّةِ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْقُلُوبِ وَإِلَى الْعِنَايَةِ اللَّائِقَةِ بِهَا أَنَّ الْقَلْبَ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ مَرَّةً هُنَا وَمَرَّةً هُنَاكَ لِذَلِكَ نَحْنُ نَدْعُو رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَفِي الْحَدِيثِ القُلُوبُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ مَا قِيلَ لَهُ قَلْبٌ إِلَّا لِتَقَلُّبِهِ فَمِنْ هُنَا نَحْذَرُ عَلَى هَذَا الْقَلْبِ مِنْ مِثْلِ هَذَا التَّقَلُّبِ وَبِالتَّالِي نُوْلِيْهِ الْعِنَايَةَ اللَّائِقَةَ بِهِ ثُمَّ إِنَّ الشَّيَاطِيْنَ أَيْنَ تُوَسْوِسُ؟ تُوَسْوِسُ فِي الْقُلُوبِ هَذَا مَبْدَأُ وَسَاوِسِ الشَّيَاطِيْنِ شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ وَلِتَصْغَىٰ إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ صْغَى إِلَيْهِ أَيْ إِلَى تِلْكَ الوَسَاوِسِ الْأَفْئِدَةُ مَا هِيَ؟ الْقُلُوبُ وَمِنَ هُنَا لَا بُدَّ مِنَ الِاعْتِنَاءِ بِهَذَا الْقَلْبِ حَتَّى يَصْفُوَ وَمِنْ ثَمَّ لَا تَتَمَكَّنُ تِلْكَ الشَّيَاطِينُ مِنْ دُخُولِهِ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ وَشَيَاطِيْنُ الجِنِّ شَيَاطِينُ الجِنِّ يَدْخُلُونَ فِي الْقَلْبِ وَيُوَسْوِسُونَ لَهُ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ يَصِلُ مِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْقُلُوبِ فَيَسْتَقِرُّ فِيهَا وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ هَذَا الْقَلْبِ مِنْ أَجْلِ أَنْ لَا تَتَمَكَّنَ مِنْهُ الشَّيَاطِينُ وَيَتَمَكَّنَ مِنْهُ الْأَعْدَاءُ ثُمَّ إِنَّ الْقَلْبَ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ قَلْبٌ سَلِيمٌ تَمَكَّنَ مِنَ الْفَهْمِ فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ الصَّدْرُ الْمُحْتَوِي عَلَى الْقَلْبِ لِذَلِكَ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ إِذَا عَمِيَ الْقَلْبُ زَالَتْ عَنِ الْإِنْسَانِ النِّعَمُ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ وَلِذَلِكَ فَالْوَصِيَّةُ الِاعْتِنَاءُ بِهَذَا الْقَلْبِ وَالْحِرْصُ عَلَيْهِ وَالتَّقَرُّبُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِتَطْهِيرِهِ وَلِيَعْرِفِ الْعَبْدُ أَنَّ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ قُلُوبِنَا وَتَنْظِيفِهَا أَوَّلًا ثُمَّ تَحْصِينِهَا ثَانِيًا لِأَنْ لَا تَرِدَ عَلَيْهَا الْوَارِدَاتُ الَّتِي تُبْعِدُهَا عَمَّا خُلِقَتْ مِنْ أَجْلِهِ

Rahasia Hati yang Tak Pernah Kau Sadari – Tapi Menentukan Sukses di Dunia dan Akhirat

Para ulama berkata, “Apa yang kami sebutkan ini menjelaskan kepadamu bahwa dasar agama pada hakikatnya adalah perkara-perkara batin.” Yakni amalan-amalan hati. Dan amalan-amalan lahiriah tidak bermanfaat tanpa disertai amalan-amalan hati. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat wajah dan rupa kalian, tapi melihat hati kalian.” Yakni amalan-amalan hati seperti tawakal, tobat, ketundukan, rasa takut, rasa syukur, kesabaran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” (QS. Al-Anfāl: 70). Allahu Akbar! Ayat ini turun berkenaan dengan tawanan perang yang berasal dari kalangan musyrikin dan kafir, yang ditawan oleh kaum Muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Karena sebagian mereka mengaku masuk Islam seraya berkata, “Aku telah masuk Islam! Mengapa kalian mengambil tebusan dariku?” Kaum Muslimin menjawab, “Kamu baru menyatakan Islam setelah ditawan.” Maka turunlah ayat ini sebagai penghibur bagi mereka dari satu sisi, dan penjelasan bahwa yang menjadi sandaran utama adalah kejujuran yang terdapat dalam hati. “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Oleh sebab itu, kita harus memberi perhatian besar pada hati. Ini juga dikuatkan oleh hadis yang disebutkan oleh penulis di sini: “Ketahuilah, dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). Demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Hati itu bagaikan raja, dan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila rajanya baik, baik pula pasukannya. Apabila rajanya buruk, maka buruk pula pasukannya.” Hal ini karena hati merupakan sumber perkataan dan perbuatan. Tidaklah kamu mengucapkan suatu kalimat, melainkan itu bersumber dari dalam hatimu. Kamu tidak akan melakukan suatu amalan kecuali ada niat sebelumnya. Hati merupakan sumber ucapan dan perbuatan. Tidak mungkin kamu melakukan sesuatu kecuali karena ada niat dalam hatimu. Selain itu, kesahihan amalan dan ucapan merupakan hasil dari kesahihan apa yang ada dalam hati. Oleh sebab itu, niat dalam hati harus diluruskan agar amalan anggota badan menjadi lurus. Perkara ini juga menunjukkan betapa pentingnya memberi perhatian kepada hati dan merawatnya sebagaimana mestinya, karena hati sangat mudah berubah. Hati cepat berbolak-balik; terkadang begini, terkadang begitu. Karena itulah, kita berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk.” Dan dalam hadis disebutkan, “Hati itu berada di antara jemari Allah Yang Maha Pengasih; Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim, secara makna). Ia dinamai dengan hati karena cepat sekali berubah-ubah. Dari sini kita harus waspada terhadap hati ini agar tidak mudah berubah-ubah. Maka dari itu, kita harus memberinya perhatian yang layak baginya. Selain itu, di mana setan itu membisikkan godaannya? Membisikkannya ke dalam hati! Hati merupakan tempat awal dari godaan setan. “…setan-setan dari kalangan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia) Jika Tuhanmu menghendaki, mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan…” (QS. Al-An‘ām: 112). “…dan agar hati mereka condong kepadanya.” (QS. Al-An‘ām: 113). “Condong” maksudnya kepada bisikan-bisikan tersebut. Lalu, apa itu al-af’idah (الْأَفْئِدَةُ)? Yakni hati. Dari sini, kita harus memberi perhatian kepada hati agar menjadi hati yang jernih, sehingga setan-setan tidak mampu merasuk ke dalamnya, baik setan dari kalangan jin maupun manusia. Setan dari golongan jin, masuk ke dalam hati dan membisikkan godaannya. Sedangkan setan manusia mengucapkan kata-kata yang terdengar oleh telinga, lalu sampai ke hati dan menetap di dalamnya. Oleh sebab itu, kita harus membentengi hati ini agar setan-setan dan para musuh tidak dapat menguasainya. Selain itu juga, hati merupakan alat untuk memahami. Orang yang punya hati yang bersih akan mampu memahami. “Allah melapangkan dada siapa saja yang Dia kehendaki untuk mendapat petunjuk, agar ia menerima Islam.” (QS. Al-An‘ām: 125). Di dalam dada terdapat hati. Sebagaimana firman Allah, “…Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46). Apabila hati telah buta, sirnalah nikmat-nikmat di dunia dan akhirat dari seorang hamba. Oleh sebab itu, kami wasiatkan untuk memberi perhatian dan kepedulian besar pada hati serta mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla melalui penyucian hati. Setiap hamba harus mengetahui bahwa keselamatan di akhirat nanti tergantung pada kebersihan hatinya. Keselamatan di akhirat tergantung pada kebersihan hati, kita harus pertama-tama membersihkan hati kita, kemudian membentenginya agar tidak terpapar oleh berbagai hal yang dapat menjauhkannya dari tujuannya diciptakan. ===== قَالُوا هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يُبَيِّنُ لَكَ أَنَّ أَصْلَ الدِّيْنِ فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ الْأُمُورُ الْبَاطِنَةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ وَأَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ لَا تَنْفَعُ بِدُونِ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَشْكَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ النِّيَّاتُ وَالْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ تَوَكُّلًا وَإِنَابَةً وَتَضَرُّعًا وَخَوْفًا وَشُكْرًا وَصَبْرًا إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي الْأَسْرَى الَّذِينَ كَانُوا فِي الْأَسْرِ مُشْرِكِيْنَ وَكُفَّارًا وَفِي أَسْرِ الْمُسْلِمِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ ادَّعَى الْإِسْلَامَ قَالَ أَنَا أَسْلَمْتُ فَكَيْفَ تَأْخُذُونَ مِنِّي الْفِدْيَةَ قَالُوا مَا أَسْلَمْتَ إِلَّا فِي الْأَسْرِ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بِمَثَابَةِ التَّسْلِيَةِ لَهُمْ مِنْ جِهَةٍ وَبَيَانٌ أَنَّ الْمُعَوَّلَ عَلَيْهِ صِدْقُ مَا فِي الْقَلْبِ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِالْقَلْبِ وَيَدُلُّكَ عَلَى هَذَا مَا أَوْرَدَهُ الْمُؤَلِّفُ هُنَا مِنْ حَدِيثِ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ وَمَا وَرَدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ الْقَلْبُ مَلِكٌ وَالأَعْضَاءُ جُنُودُهُ فَإِذَا طَابَ المَلِكُ طَابَتِ الْجُنُودُ وَإِذَا خَبُثَ الْمَلِكُ خَبُثَتِ الْجُنُودُ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْقَلْبَ هُوَ مَصْدَرُ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ لَنْ تَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ إِلَّا إِذَا صَدَرَتْ أَسَاسُ هَذَا الْأَمْرِ مِنْ قَلْبِكَ لَنْ تَعْمَلَ عَمَلًا إِلَّا أَنْ تُوجَدَ نِيَّةٌ قَبْلَهُ فَالْقُلُوبُ مَصْدَرٌ لِلْأَقْوَالِ وَمَصْدَرٌ لِلْأَعْمَالِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ عَمَلٌ إِلَّا بِمَا فِي قَلْبِكَ ثُمَّ إِنَّ صِحَّةَ الْأَعْمَالِ وَصِحَّةَ الْأَقْوَالِ تَنْتُجُ عَنْ صِحَّةِ مَا فِي الْقُلُوبِ وَلِذَلِك لَا بُدَّ مِنْ تَصْحِيحِ مَا فِي الْقَلْبِ حَتَّى يَصِحَّ مَا فِي الْعَمَلِ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ ثُمَّ يَدُلُّكَ عَلَى أَهَمِّيَّةِ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْقُلُوبِ وَإِلَى الْعِنَايَةِ اللَّائِقَةِ بِهَا أَنَّ الْقَلْبَ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ مَرَّةً هُنَا وَمَرَّةً هُنَاكَ لِذَلِكَ نَحْنُ نَدْعُو رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَفِي الْحَدِيثِ القُلُوبُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ مَا قِيلَ لَهُ قَلْبٌ إِلَّا لِتَقَلُّبِهِ فَمِنْ هُنَا نَحْذَرُ عَلَى هَذَا الْقَلْبِ مِنْ مِثْلِ هَذَا التَّقَلُّبِ وَبِالتَّالِي نُوْلِيْهِ الْعِنَايَةَ اللَّائِقَةَ بِهِ ثُمَّ إِنَّ الشَّيَاطِيْنَ أَيْنَ تُوَسْوِسُ؟ تُوَسْوِسُ فِي الْقُلُوبِ هَذَا مَبْدَأُ وَسَاوِسِ الشَّيَاطِيْنِ شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ وَلِتَصْغَىٰ إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ صْغَى إِلَيْهِ أَيْ إِلَى تِلْكَ الوَسَاوِسِ الْأَفْئِدَةُ مَا هِيَ؟ الْقُلُوبُ وَمِنَ هُنَا لَا بُدَّ مِنَ الِاعْتِنَاءِ بِهَذَا الْقَلْبِ حَتَّى يَصْفُوَ وَمِنْ ثَمَّ لَا تَتَمَكَّنُ تِلْكَ الشَّيَاطِينُ مِنْ دُخُولِهِ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ وَشَيَاطِيْنُ الجِنِّ شَيَاطِينُ الجِنِّ يَدْخُلُونَ فِي الْقَلْبِ وَيُوَسْوِسُونَ لَهُ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ يَصِلُ مِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْقُلُوبِ فَيَسْتَقِرُّ فِيهَا وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ هَذَا الْقَلْبِ مِنْ أَجْلِ أَنْ لَا تَتَمَكَّنَ مِنْهُ الشَّيَاطِينُ وَيَتَمَكَّنَ مِنْهُ الْأَعْدَاءُ ثُمَّ إِنَّ الْقَلْبَ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ قَلْبٌ سَلِيمٌ تَمَكَّنَ مِنَ الْفَهْمِ فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ الصَّدْرُ الْمُحْتَوِي عَلَى الْقَلْبِ لِذَلِكَ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ إِذَا عَمِيَ الْقَلْبُ زَالَتْ عَنِ الْإِنْسَانِ النِّعَمُ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ وَلِذَلِكَ فَالْوَصِيَّةُ الِاعْتِنَاءُ بِهَذَا الْقَلْبِ وَالْحِرْصُ عَلَيْهِ وَالتَّقَرُّبُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِتَطْهِيرِهِ وَلِيَعْرِفِ الْعَبْدُ أَنَّ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ قُلُوبِنَا وَتَنْظِيفِهَا أَوَّلًا ثُمَّ تَحْصِينِهَا ثَانِيًا لِأَنْ لَا تَرِدَ عَلَيْهَا الْوَارِدَاتُ الَّتِي تُبْعِدُهَا عَمَّا خُلِقَتْ مِنْ أَجْلِهِ
Para ulama berkata, “Apa yang kami sebutkan ini menjelaskan kepadamu bahwa dasar agama pada hakikatnya adalah perkara-perkara batin.” Yakni amalan-amalan hati. Dan amalan-amalan lahiriah tidak bermanfaat tanpa disertai amalan-amalan hati. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat wajah dan rupa kalian, tapi melihat hati kalian.” Yakni amalan-amalan hati seperti tawakal, tobat, ketundukan, rasa takut, rasa syukur, kesabaran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” (QS. Al-Anfāl: 70). Allahu Akbar! Ayat ini turun berkenaan dengan tawanan perang yang berasal dari kalangan musyrikin dan kafir, yang ditawan oleh kaum Muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Karena sebagian mereka mengaku masuk Islam seraya berkata, “Aku telah masuk Islam! Mengapa kalian mengambil tebusan dariku?” Kaum Muslimin menjawab, “Kamu baru menyatakan Islam setelah ditawan.” Maka turunlah ayat ini sebagai penghibur bagi mereka dari satu sisi, dan penjelasan bahwa yang menjadi sandaran utama adalah kejujuran yang terdapat dalam hati. “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Oleh sebab itu, kita harus memberi perhatian besar pada hati. Ini juga dikuatkan oleh hadis yang disebutkan oleh penulis di sini: “Ketahuilah, dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). Demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Hati itu bagaikan raja, dan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila rajanya baik, baik pula pasukannya. Apabila rajanya buruk, maka buruk pula pasukannya.” Hal ini karena hati merupakan sumber perkataan dan perbuatan. Tidaklah kamu mengucapkan suatu kalimat, melainkan itu bersumber dari dalam hatimu. Kamu tidak akan melakukan suatu amalan kecuali ada niat sebelumnya. Hati merupakan sumber ucapan dan perbuatan. Tidak mungkin kamu melakukan sesuatu kecuali karena ada niat dalam hatimu. Selain itu, kesahihan amalan dan ucapan merupakan hasil dari kesahihan apa yang ada dalam hati. Oleh sebab itu, niat dalam hati harus diluruskan agar amalan anggota badan menjadi lurus. Perkara ini juga menunjukkan betapa pentingnya memberi perhatian kepada hati dan merawatnya sebagaimana mestinya, karena hati sangat mudah berubah. Hati cepat berbolak-balik; terkadang begini, terkadang begitu. Karena itulah, kita berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk.” Dan dalam hadis disebutkan, “Hati itu berada di antara jemari Allah Yang Maha Pengasih; Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim, secara makna). Ia dinamai dengan hati karena cepat sekali berubah-ubah. Dari sini kita harus waspada terhadap hati ini agar tidak mudah berubah-ubah. Maka dari itu, kita harus memberinya perhatian yang layak baginya. Selain itu, di mana setan itu membisikkan godaannya? Membisikkannya ke dalam hati! Hati merupakan tempat awal dari godaan setan. “…setan-setan dari kalangan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia) Jika Tuhanmu menghendaki, mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan…” (QS. Al-An‘ām: 112). “…dan agar hati mereka condong kepadanya.” (QS. Al-An‘ām: 113). “Condong” maksudnya kepada bisikan-bisikan tersebut. Lalu, apa itu al-af’idah (الْأَفْئِدَةُ)? Yakni hati. Dari sini, kita harus memberi perhatian kepada hati agar menjadi hati yang jernih, sehingga setan-setan tidak mampu merasuk ke dalamnya, baik setan dari kalangan jin maupun manusia. Setan dari golongan jin, masuk ke dalam hati dan membisikkan godaannya. Sedangkan setan manusia mengucapkan kata-kata yang terdengar oleh telinga, lalu sampai ke hati dan menetap di dalamnya. Oleh sebab itu, kita harus membentengi hati ini agar setan-setan dan para musuh tidak dapat menguasainya. Selain itu juga, hati merupakan alat untuk memahami. Orang yang punya hati yang bersih akan mampu memahami. “Allah melapangkan dada siapa saja yang Dia kehendaki untuk mendapat petunjuk, agar ia menerima Islam.” (QS. Al-An‘ām: 125). Di dalam dada terdapat hati. Sebagaimana firman Allah, “…Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46). Apabila hati telah buta, sirnalah nikmat-nikmat di dunia dan akhirat dari seorang hamba. Oleh sebab itu, kami wasiatkan untuk memberi perhatian dan kepedulian besar pada hati serta mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla melalui penyucian hati. Setiap hamba harus mengetahui bahwa keselamatan di akhirat nanti tergantung pada kebersihan hatinya. Keselamatan di akhirat tergantung pada kebersihan hati, kita harus pertama-tama membersihkan hati kita, kemudian membentenginya agar tidak terpapar oleh berbagai hal yang dapat menjauhkannya dari tujuannya diciptakan. ===== قَالُوا هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يُبَيِّنُ لَكَ أَنَّ أَصْلَ الدِّيْنِ فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ الْأُمُورُ الْبَاطِنَةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ وَأَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ لَا تَنْفَعُ بِدُونِ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَشْكَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ النِّيَّاتُ وَالْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ تَوَكُّلًا وَإِنَابَةً وَتَضَرُّعًا وَخَوْفًا وَشُكْرًا وَصَبْرًا إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي الْأَسْرَى الَّذِينَ كَانُوا فِي الْأَسْرِ مُشْرِكِيْنَ وَكُفَّارًا وَفِي أَسْرِ الْمُسْلِمِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ ادَّعَى الْإِسْلَامَ قَالَ أَنَا أَسْلَمْتُ فَكَيْفَ تَأْخُذُونَ مِنِّي الْفِدْيَةَ قَالُوا مَا أَسْلَمْتَ إِلَّا فِي الْأَسْرِ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بِمَثَابَةِ التَّسْلِيَةِ لَهُمْ مِنْ جِهَةٍ وَبَيَانٌ أَنَّ الْمُعَوَّلَ عَلَيْهِ صِدْقُ مَا فِي الْقَلْبِ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِالْقَلْبِ وَيَدُلُّكَ عَلَى هَذَا مَا أَوْرَدَهُ الْمُؤَلِّفُ هُنَا مِنْ حَدِيثِ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ وَمَا وَرَدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ الْقَلْبُ مَلِكٌ وَالأَعْضَاءُ جُنُودُهُ فَإِذَا طَابَ المَلِكُ طَابَتِ الْجُنُودُ وَإِذَا خَبُثَ الْمَلِكُ خَبُثَتِ الْجُنُودُ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْقَلْبَ هُوَ مَصْدَرُ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ لَنْ تَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ إِلَّا إِذَا صَدَرَتْ أَسَاسُ هَذَا الْأَمْرِ مِنْ قَلْبِكَ لَنْ تَعْمَلَ عَمَلًا إِلَّا أَنْ تُوجَدَ نِيَّةٌ قَبْلَهُ فَالْقُلُوبُ مَصْدَرٌ لِلْأَقْوَالِ وَمَصْدَرٌ لِلْأَعْمَالِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ عَمَلٌ إِلَّا بِمَا فِي قَلْبِكَ ثُمَّ إِنَّ صِحَّةَ الْأَعْمَالِ وَصِحَّةَ الْأَقْوَالِ تَنْتُجُ عَنْ صِحَّةِ مَا فِي الْقُلُوبِ وَلِذَلِك لَا بُدَّ مِنْ تَصْحِيحِ مَا فِي الْقَلْبِ حَتَّى يَصِحَّ مَا فِي الْعَمَلِ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ ثُمَّ يَدُلُّكَ عَلَى أَهَمِّيَّةِ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْقُلُوبِ وَإِلَى الْعِنَايَةِ اللَّائِقَةِ بِهَا أَنَّ الْقَلْبَ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ مَرَّةً هُنَا وَمَرَّةً هُنَاكَ لِذَلِكَ نَحْنُ نَدْعُو رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَفِي الْحَدِيثِ القُلُوبُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ مَا قِيلَ لَهُ قَلْبٌ إِلَّا لِتَقَلُّبِهِ فَمِنْ هُنَا نَحْذَرُ عَلَى هَذَا الْقَلْبِ مِنْ مِثْلِ هَذَا التَّقَلُّبِ وَبِالتَّالِي نُوْلِيْهِ الْعِنَايَةَ اللَّائِقَةَ بِهِ ثُمَّ إِنَّ الشَّيَاطِيْنَ أَيْنَ تُوَسْوِسُ؟ تُوَسْوِسُ فِي الْقُلُوبِ هَذَا مَبْدَأُ وَسَاوِسِ الشَّيَاطِيْنِ شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ وَلِتَصْغَىٰ إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ صْغَى إِلَيْهِ أَيْ إِلَى تِلْكَ الوَسَاوِسِ الْأَفْئِدَةُ مَا هِيَ؟ الْقُلُوبُ وَمِنَ هُنَا لَا بُدَّ مِنَ الِاعْتِنَاءِ بِهَذَا الْقَلْبِ حَتَّى يَصْفُوَ وَمِنْ ثَمَّ لَا تَتَمَكَّنُ تِلْكَ الشَّيَاطِينُ مِنْ دُخُولِهِ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ وَشَيَاطِيْنُ الجِنِّ شَيَاطِينُ الجِنِّ يَدْخُلُونَ فِي الْقَلْبِ وَيُوَسْوِسُونَ لَهُ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ يَصِلُ مِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْقُلُوبِ فَيَسْتَقِرُّ فِيهَا وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ هَذَا الْقَلْبِ مِنْ أَجْلِ أَنْ لَا تَتَمَكَّنَ مِنْهُ الشَّيَاطِينُ وَيَتَمَكَّنَ مِنْهُ الْأَعْدَاءُ ثُمَّ إِنَّ الْقَلْبَ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ قَلْبٌ سَلِيمٌ تَمَكَّنَ مِنَ الْفَهْمِ فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ الصَّدْرُ الْمُحْتَوِي عَلَى الْقَلْبِ لِذَلِكَ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ إِذَا عَمِيَ الْقَلْبُ زَالَتْ عَنِ الْإِنْسَانِ النِّعَمُ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ وَلِذَلِكَ فَالْوَصِيَّةُ الِاعْتِنَاءُ بِهَذَا الْقَلْبِ وَالْحِرْصُ عَلَيْهِ وَالتَّقَرُّبُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِتَطْهِيرِهِ وَلِيَعْرِفِ الْعَبْدُ أَنَّ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ قُلُوبِنَا وَتَنْظِيفِهَا أَوَّلًا ثُمَّ تَحْصِينِهَا ثَانِيًا لِأَنْ لَا تَرِدَ عَلَيْهَا الْوَارِدَاتُ الَّتِي تُبْعِدُهَا عَمَّا خُلِقَتْ مِنْ أَجْلِهِ


Para ulama berkata, “Apa yang kami sebutkan ini menjelaskan kepadamu bahwa dasar agama pada hakikatnya adalah perkara-perkara batin.” Yakni amalan-amalan hati. Dan amalan-amalan lahiriah tidak bermanfaat tanpa disertai amalan-amalan hati. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat wajah dan rupa kalian, tapi melihat hati kalian.” Yakni amalan-amalan hati seperti tawakal, tobat, ketundukan, rasa takut, rasa syukur, kesabaran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” (QS. Al-Anfāl: 70). Allahu Akbar! Ayat ini turun berkenaan dengan tawanan perang yang berasal dari kalangan musyrikin dan kafir, yang ditawan oleh kaum Muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Karena sebagian mereka mengaku masuk Islam seraya berkata, “Aku telah masuk Islam! Mengapa kalian mengambil tebusan dariku?” Kaum Muslimin menjawab, “Kamu baru menyatakan Islam setelah ditawan.” Maka turunlah ayat ini sebagai penghibur bagi mereka dari satu sisi, dan penjelasan bahwa yang menjadi sandaran utama adalah kejujuran yang terdapat dalam hati. “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian…” Oleh sebab itu, kita harus memberi perhatian besar pada hati. Ini juga dikuatkan oleh hadis yang disebutkan oleh penulis di sini: “Ketahuilah, dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). Demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Hati itu bagaikan raja, dan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila rajanya baik, baik pula pasukannya. Apabila rajanya buruk, maka buruk pula pasukannya.” Hal ini karena hati merupakan sumber perkataan dan perbuatan. Tidaklah kamu mengucapkan suatu kalimat, melainkan itu bersumber dari dalam hatimu. Kamu tidak akan melakukan suatu amalan kecuali ada niat sebelumnya. Hati merupakan sumber ucapan dan perbuatan. Tidak mungkin kamu melakukan sesuatu kecuali karena ada niat dalam hatimu. Selain itu, kesahihan amalan dan ucapan merupakan hasil dari kesahihan apa yang ada dalam hati. Oleh sebab itu, niat dalam hati harus diluruskan agar amalan anggota badan menjadi lurus. Perkara ini juga menunjukkan betapa pentingnya memberi perhatian kepada hati dan merawatnya sebagaimana mestinya, karena hati sangat mudah berubah. Hati cepat berbolak-balik; terkadang begini, terkadang begitu. Karena itulah, kita berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk.” Dan dalam hadis disebutkan, “Hati itu berada di antara jemari Allah Yang Maha Pengasih; Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim, secara makna). Ia dinamai dengan hati karena cepat sekali berubah-ubah. Dari sini kita harus waspada terhadap hati ini agar tidak mudah berubah-ubah. Maka dari itu, kita harus memberinya perhatian yang layak baginya. Selain itu, di mana setan itu membisikkan godaannya? Membisikkannya ke dalam hati! Hati merupakan tempat awal dari godaan setan. “…setan-setan dari kalangan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia) Jika Tuhanmu menghendaki, mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan…” (QS. Al-An‘ām: 112). “…dan agar hati mereka condong kepadanya.” (QS. Al-An‘ām: 113). “Condong” maksudnya kepada bisikan-bisikan tersebut. Lalu, apa itu al-af’idah (الْأَفْئِدَةُ)? Yakni hati. Dari sini, kita harus memberi perhatian kepada hati agar menjadi hati yang jernih, sehingga setan-setan tidak mampu merasuk ke dalamnya, baik setan dari kalangan jin maupun manusia. Setan dari golongan jin, masuk ke dalam hati dan membisikkan godaannya. Sedangkan setan manusia mengucapkan kata-kata yang terdengar oleh telinga, lalu sampai ke hati dan menetap di dalamnya. Oleh sebab itu, kita harus membentengi hati ini agar setan-setan dan para musuh tidak dapat menguasainya. Selain itu juga, hati merupakan alat untuk memahami. Orang yang punya hati yang bersih akan mampu memahami. “Allah melapangkan dada siapa saja yang Dia kehendaki untuk mendapat petunjuk, agar ia menerima Islam.” (QS. Al-An‘ām: 125). Di dalam dada terdapat hati. Sebagaimana firman Allah, “…Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46). Apabila hati telah buta, sirnalah nikmat-nikmat di dunia dan akhirat dari seorang hamba. Oleh sebab itu, kami wasiatkan untuk memberi perhatian dan kepedulian besar pada hati serta mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla melalui penyucian hati. Setiap hamba harus mengetahui bahwa keselamatan di akhirat nanti tergantung pada kebersihan hatinya. Keselamatan di akhirat tergantung pada kebersihan hati, kita harus pertama-tama membersihkan hati kita, kemudian membentenginya agar tidak terpapar oleh berbagai hal yang dapat menjauhkannya dari tujuannya diciptakan. ===== قَالُوا هَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يُبَيِّنُ لَكَ أَنَّ أَصْلَ الدِّيْنِ فِي الْحَقِيقَةِ هُوَ الْأُمُورُ الْبَاطِنَةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ وَأَنَّ الْأَعْمَالَ الظَّاهِرَةَ لَا تَنْفَعُ بِدُونِ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَشْكَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ النِّيَّاتُ وَالْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ تَوَكُّلًا وَإِنَابَةً وَتَضَرُّعًا وَخَوْفًا وَشُكْرًا وَصَبْرًا إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي الْأَسْرَى الَّذِينَ كَانُوا فِي الْأَسْرِ مُشْرِكِيْنَ وَكُفَّارًا وَفِي أَسْرِ الْمُسْلِمِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ ادَّعَى الْإِسْلَامَ قَالَ أَنَا أَسْلَمْتُ فَكَيْفَ تَأْخُذُونَ مِنِّي الْفِدْيَةَ قَالُوا مَا أَسْلَمْتَ إِلَّا فِي الْأَسْرِ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بِمَثَابَةِ التَّسْلِيَةِ لَهُمْ مِنْ جِهَةٍ وَبَيَانٌ أَنَّ الْمُعَوَّلَ عَلَيْهِ صِدْقُ مَا فِي الْقَلْبِ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي الِاعْتِنَاءُ بِالْقَلْبِ وَيَدُلُّكَ عَلَى هَذَا مَا أَوْرَدَهُ الْمُؤَلِّفُ هُنَا مِنْ حَدِيثِ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ وَمَا وَرَدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ الْقَلْبُ مَلِكٌ وَالأَعْضَاءُ جُنُودُهُ فَإِذَا طَابَ المَلِكُ طَابَتِ الْجُنُودُ وَإِذَا خَبُثَ الْمَلِكُ خَبُثَتِ الْجُنُودُ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْقَلْبَ هُوَ مَصْدَرُ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ لَنْ تَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ إِلَّا إِذَا صَدَرَتْ أَسَاسُ هَذَا الْأَمْرِ مِنْ قَلْبِكَ لَنْ تَعْمَلَ عَمَلًا إِلَّا أَنْ تُوجَدَ نِيَّةٌ قَبْلَهُ فَالْقُلُوبُ مَصْدَرٌ لِلْأَقْوَالِ وَمَصْدَرٌ لِلْأَعْمَالِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ عَمَلٌ إِلَّا بِمَا فِي قَلْبِكَ ثُمَّ إِنَّ صِحَّةَ الْأَعْمَالِ وَصِحَّةَ الْأَقْوَالِ تَنْتُجُ عَنْ صِحَّةِ مَا فِي الْقُلُوبِ وَلِذَلِك لَا بُدَّ مِنْ تَصْحِيحِ مَا فِي الْقَلْبِ حَتَّى يَصِحَّ مَا فِي الْعَمَلِ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ ثُمَّ يَدُلُّكَ عَلَى أَهَمِّيَّةِ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْقُلُوبِ وَإِلَى الْعِنَايَةِ اللَّائِقَةِ بِهَا أَنَّ الْقَلْبَ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ سَرِيعُ التَّقَلُّبِ مَرَّةً هُنَا وَمَرَّةً هُنَاكَ لِذَلِكَ نَحْنُ نَدْعُو رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَفِي الْحَدِيثِ القُلُوبُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ مَا قِيلَ لَهُ قَلْبٌ إِلَّا لِتَقَلُّبِهِ فَمِنْ هُنَا نَحْذَرُ عَلَى هَذَا الْقَلْبِ مِنْ مِثْلِ هَذَا التَّقَلُّبِ وَبِالتَّالِي نُوْلِيْهِ الْعِنَايَةَ اللَّائِقَةَ بِهِ ثُمَّ إِنَّ الشَّيَاطِيْنَ أَيْنَ تُوَسْوِسُ؟ تُوَسْوِسُ فِي الْقُلُوبِ هَذَا مَبْدَأُ وَسَاوِسِ الشَّيَاطِيْنِ شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ وَلِتَصْغَىٰ إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ صْغَى إِلَيْهِ أَيْ إِلَى تِلْكَ الوَسَاوِسِ الْأَفْئِدَةُ مَا هِيَ؟ الْقُلُوبُ وَمِنَ هُنَا لَا بُدَّ مِنَ الِاعْتِنَاءِ بِهَذَا الْقَلْبِ حَتَّى يَصْفُوَ وَمِنْ ثَمَّ لَا تَتَمَكَّنُ تِلْكَ الشَّيَاطِينُ مِنْ دُخُولِهِ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ وَشَيَاطِيْنُ الجِنِّ شَيَاطِينُ الجِنِّ يَدْخُلُونَ فِي الْقَلْبِ وَيُوَسْوِسُونَ لَهُ وَشَيَاطِينُ الْإِنْسِ يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامٍ يَصِلُ مِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْقُلُوبِ فَيَسْتَقِرُّ فِيهَا وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ هَذَا الْقَلْبِ مِنْ أَجْلِ أَنْ لَا تَتَمَكَّنَ مِنْهُ الشَّيَاطِينُ وَيَتَمَكَّنَ مِنْهُ الْأَعْدَاءُ ثُمَّ إِنَّ الْقَلْبَ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ هُوَ أَدَاةُ الْفَهْمِ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ قَلْبٌ سَلِيمٌ تَمَكَّنَ مِنَ الْفَهْمِ فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ الصَّدْرُ الْمُحْتَوِي عَلَى الْقَلْبِ لِذَلِكَ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ إِذَا عَمِيَ الْقَلْبُ زَالَتْ عَنِ الْإِنْسَانِ النِّعَمُ فِي دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ وَلِذَلِكَ فَالْوَصِيَّةُ الِاعْتِنَاءُ بِهَذَا الْقَلْبِ وَالْحِرْصُ عَلَيْهِ وَالتَّقَرُّبُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِتَطْهِيرِهِ وَلِيَعْرِفِ الْعَبْدُ أَنَّ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ نَجَاةَ الْآخِرَةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى سَلَامَةِ القَلْبِ وَبِالتَّالِي لَا بُدَّ مِنْ تَحْصِينِ قُلُوبِنَا وَتَنْظِيفِهَا أَوَّلًا ثُمَّ تَحْصِينِهَا ثَانِيًا لِأَنْ لَا تَرِدَ عَلَيْهَا الْوَارِدَاتُ الَّتِي تُبْعِدُهَا عَمَّا خُلِقَتْ مِنْ أَجْلِهِ

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 8): Masuknya Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shabi’ah ke Jazirah Arab

Daftar Isi ToggleMasuknya agama Yahudi ke jazirah ArabMasuknya agama Kristen ke jazirah ArabPosisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabKesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabPada pertemuan sebelumnya, kita telah menyinggung tentang agama mayoritas penduduk Jazirah Arab. Dalam artikel ini, kita akan mengulas berbagai agama yang masuk dan berkembang di Jazirah Arab sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad ﷺ.Meskipun ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalām pernah menjadi kepercayaan utama, seiring berjalannya waktu, banyak penyimpangan yang dibuat. Dalam kondisi itu, berbagai agama lain mulai masuk ke Jazirah Arab. Di antaranya adalah Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shābi’ah.Masuknya agama Yahudi ke jazirah ArabAgama Yahudi tercatat minimalnya ada dua gelombang migrasi ke Jazirah Arab. Migrasi gelombang pertama terjadi pada masa penaklukan Babilonia dan Asyur terhadap Palestina oleh Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Penaklukan tersebut menghancurkan kuil dan negeri mereka. Sebagian besar penduduk Yahudi ditawan, lalu dibawa ke Babilonia, sedangkan sebagian lainnya meninggalkan tanah Palestina dan menetap di wilayah Hijaz bagian utara.Migrasi gelombang kedua dimulai sejak pendudukan Romawi terhadap Palestina di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 M. Tekanan yang diberikan Romawi kepada penduduk Yahudi dan penghancuran kuil menyebabkan banyak kabilah Yahudi bermigrasi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar, dan Taima’. Di sana, mereka membangun perkampungan dan benteng-benteng. Agama Yahudi menyebar di sebagian orang Arab melalui para pendatang tersebut. Para pendatang Yahudi ini juga menjadi kekuatan yang memiliki pengaruh dalam berbagai peristiwa politik sebelum munculnya Rasul terakhir.Ketika agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad datang, kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal di sana adalah Khaibar, Bani Nadhir, Bani Mushthaliq, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’. As-Samhudi menyebutkan dalam Wafā’ al-Wafā’ bahwa jumlah kabilah Yahudi di Jazirah Arab mencapai lebih dari dua puluh kabilah.Agama Yahudi masuk ke wilayah Yaman melalui Tabbān As’ad Abu Karb. Ia pergi dan hendak menyerang Yatsrib, tetapi setelah itu ia memeluk agama Yahudi di sana. Akhirnya, ia kemudian membawa dua orang pendeta Yahudi dari Bani Quraizhah ke Yaman. Maka, agama Yahudi pun mulai berkembang dan menyebar luas di sana. Tatkala kekuasaan di Yaman beralih ke tangan Yusuf Dzū Nuwās, ia melakukan penyerangan kepada penduduk Kristen di Najran dan mengajak mereka untuk memeluk agama Yahudi. Akan tetapi, penduduk Najran tersebut menolak. Akhirnya, Dzū Nuwās memerintahkan agar dibuat parit besar untuk penduduk tersebut dan memenuhinya dengan api lalu melemparkan mereka ke dalam parit berapi tersebut. Semua penduduk dibunuh tanpa membedakan antara laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua. Ada yang mengatakan bahwa jumlah korban pembantaian tersebut berkisar antara 20.000–40.000 jiwa. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur’an menceritakan sebagian kisah ini dalam Surah Al-Burūj.Masuknya agama Kristen ke jazirah ArabAgama Kristen memasuki Jazirah Arab melalui jalur penjajahan Habasyah dan Romawi. Penjajahan pertama bangsa Habasyah terhadap Yaman terjadi pada tahun 340 M. Penjajahan tersebut berlangsung sampai tahun 378 M. Pada masa inilah, misi penginjilan mulai masuk ke wilayah Yaman.Di waktu yang berdekatan, datanglah Fimyun, seorang lelaki zuhud yang doanya mustajab dan memiliki karamah ke Najran. Ia menyeru penduduk Najran agar memeluk agama Kristen. Masyarakat melihat tanda-tanda kebenaran dan ketulusan agamanya, sehingga mereka pun menyambut ajakannya dan memeluk agama Kristen.Tatkala bangsa Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya sebagai balasan atas tindakan Dzū Nuwās, dan kekuasaan berhasil diambil alih oleh Abrahah, agama Kristen semakin tersebar dalam cakupan yang luas. Bahkan, ia sampai membangun Ka’bah tiruan di Yaman dan berupaya mengalihkan haji orang-orang Arab ke sana serta berencana menghancurkan Baitullah yang terletak di Makkah. Allah pun membinasakannya sebagai pelajaran bagi umat di masa lalu dan masa mendatang.Di sisi lain wilayah Arab, tepatnya dekat dengan Syam, beberapa kabilah seperti Ghassān, Taghlib, dan Thayyi’ memeluk agama Kristen karena mereka tinggal dekat dengan wilayah kekuasaan Romawi. Bahkan beberapa raja al-Hirah juga memeluk agama Kristen.Posisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabAdapun agama Majusi, ia dianut oleh kebanyakan orang Arab yang tinggal di sekitar wilayah Persia. Agama ini tersebar di Irak bagian Arab, serta di wilayah Bahrain, Ahsa’, Hajar, dan wilayah pesisir Teluk Arab. Sebagian penduduk Yaman pun memeluk agama ini pada masa pendudukan Persia terhadap wilayah tersebut.Sedangkan agama Shābi’ah, berdasarkan hasil penggalian dan penemuan arkeologi di wilayah Irak dan sekitarnya, menunjukkan bahwa ia adalah agama kaum Ibrahim dari suku Kaldea. Agama ini dahulu banyak dianut oleh penduduk di wilayah Syam dan Yaman pada masa silam. Namun, seiring dengan datangnya agama-agama baru seperti Yahudi dan Kristen, keberadaan agama Shābi’ah lambat laun melemah dan kehilangan pengaruhnya. Meskipun demikian, sebagian penganut agama ini masih tetap ada bercampur dengan kaum Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, khususnya di Irak bagian Arab dan pesisir Teluk Arab di masanya.Kesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabDemikianlah peta keagamaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Agama-agama tersebut telah mengalami kemerosotan dan kerusakan. Kaum musyrik yang mengaku berada di atas ajaran Nabi Ibrahim, sejatinya telah sangat jauh dari perintah-perintah dan larangan-larangan syariat Nabi Ibrahim. Mereka mengabaikan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh beliau. Dan seiring berjalannya waktu, mereka mengembangkan tradisi dan kebiasaan seperti kaum penyembah berhala. Akhirnya, hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan keagamaan mereka secara sangat mendalam.Kaum Yahudi telah berubah menjadi kelompok yang penuh riya dan kesombongan. Para pendetanya diposisikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mengatur hidup masyarakat secara absolut, bahkan menghakimi lintasan pikiran dan bisikan hati. Tujuan utama mereka adalah kekayaan dan kekuasaan, meskipun agama rusak, kekufuran menyebar, dan ajaran yang Allah perintahkan diabaikan.Kaum Kristen telah menjelma menjadi agama yang penuh kesyirikan dan konsep ketuhanan yang rumit. Mereka mencampuradukkan antara Allah dan manusia dalam keyakinan mereka. Ajarannya pun tidak memiliki daya tarik di hati bangsa Arab yang menganut agama ini, karena nilai-nilainya terlalu jauh dari gaya hidup dan adat istiadat yang telah mereka biasakan, sehingga mereka sulit mempraktikkannya.Dengan demikian, usai sudah pembahasan seputar keagamaan yang ada di Jazirah Arab sebelum masa kenabian. Ada beragam agama yang tersebar di Jazirah Arab. Mayoritasnya mengikuti ajaran nenek moyang yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Kemerosotan dan kerusakan keyakinan yang merata inilah yang kemudian menjadi latar belakang turunnya wahyu terakhir melalui Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan memperkaya pemahaman para pembaca. Bārakallāhu fīkum.[Selesai]Kembali ke bagian 7 Mulai dari bagian 1***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi: Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.

Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 8): Masuknya Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shabi’ah ke Jazirah Arab

Daftar Isi ToggleMasuknya agama Yahudi ke jazirah ArabMasuknya agama Kristen ke jazirah ArabPosisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabKesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabPada pertemuan sebelumnya, kita telah menyinggung tentang agama mayoritas penduduk Jazirah Arab. Dalam artikel ini, kita akan mengulas berbagai agama yang masuk dan berkembang di Jazirah Arab sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad ﷺ.Meskipun ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalām pernah menjadi kepercayaan utama, seiring berjalannya waktu, banyak penyimpangan yang dibuat. Dalam kondisi itu, berbagai agama lain mulai masuk ke Jazirah Arab. Di antaranya adalah Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shābi’ah.Masuknya agama Yahudi ke jazirah ArabAgama Yahudi tercatat minimalnya ada dua gelombang migrasi ke Jazirah Arab. Migrasi gelombang pertama terjadi pada masa penaklukan Babilonia dan Asyur terhadap Palestina oleh Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Penaklukan tersebut menghancurkan kuil dan negeri mereka. Sebagian besar penduduk Yahudi ditawan, lalu dibawa ke Babilonia, sedangkan sebagian lainnya meninggalkan tanah Palestina dan menetap di wilayah Hijaz bagian utara.Migrasi gelombang kedua dimulai sejak pendudukan Romawi terhadap Palestina di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 M. Tekanan yang diberikan Romawi kepada penduduk Yahudi dan penghancuran kuil menyebabkan banyak kabilah Yahudi bermigrasi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar, dan Taima’. Di sana, mereka membangun perkampungan dan benteng-benteng. Agama Yahudi menyebar di sebagian orang Arab melalui para pendatang tersebut. Para pendatang Yahudi ini juga menjadi kekuatan yang memiliki pengaruh dalam berbagai peristiwa politik sebelum munculnya Rasul terakhir.Ketika agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad datang, kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal di sana adalah Khaibar, Bani Nadhir, Bani Mushthaliq, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’. As-Samhudi menyebutkan dalam Wafā’ al-Wafā’ bahwa jumlah kabilah Yahudi di Jazirah Arab mencapai lebih dari dua puluh kabilah.Agama Yahudi masuk ke wilayah Yaman melalui Tabbān As’ad Abu Karb. Ia pergi dan hendak menyerang Yatsrib, tetapi setelah itu ia memeluk agama Yahudi di sana. Akhirnya, ia kemudian membawa dua orang pendeta Yahudi dari Bani Quraizhah ke Yaman. Maka, agama Yahudi pun mulai berkembang dan menyebar luas di sana. Tatkala kekuasaan di Yaman beralih ke tangan Yusuf Dzū Nuwās, ia melakukan penyerangan kepada penduduk Kristen di Najran dan mengajak mereka untuk memeluk agama Yahudi. Akan tetapi, penduduk Najran tersebut menolak. Akhirnya, Dzū Nuwās memerintahkan agar dibuat parit besar untuk penduduk tersebut dan memenuhinya dengan api lalu melemparkan mereka ke dalam parit berapi tersebut. Semua penduduk dibunuh tanpa membedakan antara laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua. Ada yang mengatakan bahwa jumlah korban pembantaian tersebut berkisar antara 20.000–40.000 jiwa. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur’an menceritakan sebagian kisah ini dalam Surah Al-Burūj.Masuknya agama Kristen ke jazirah ArabAgama Kristen memasuki Jazirah Arab melalui jalur penjajahan Habasyah dan Romawi. Penjajahan pertama bangsa Habasyah terhadap Yaman terjadi pada tahun 340 M. Penjajahan tersebut berlangsung sampai tahun 378 M. Pada masa inilah, misi penginjilan mulai masuk ke wilayah Yaman.Di waktu yang berdekatan, datanglah Fimyun, seorang lelaki zuhud yang doanya mustajab dan memiliki karamah ke Najran. Ia menyeru penduduk Najran agar memeluk agama Kristen. Masyarakat melihat tanda-tanda kebenaran dan ketulusan agamanya, sehingga mereka pun menyambut ajakannya dan memeluk agama Kristen.Tatkala bangsa Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya sebagai balasan atas tindakan Dzū Nuwās, dan kekuasaan berhasil diambil alih oleh Abrahah, agama Kristen semakin tersebar dalam cakupan yang luas. Bahkan, ia sampai membangun Ka’bah tiruan di Yaman dan berupaya mengalihkan haji orang-orang Arab ke sana serta berencana menghancurkan Baitullah yang terletak di Makkah. Allah pun membinasakannya sebagai pelajaran bagi umat di masa lalu dan masa mendatang.Di sisi lain wilayah Arab, tepatnya dekat dengan Syam, beberapa kabilah seperti Ghassān, Taghlib, dan Thayyi’ memeluk agama Kristen karena mereka tinggal dekat dengan wilayah kekuasaan Romawi. Bahkan beberapa raja al-Hirah juga memeluk agama Kristen.Posisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabAdapun agama Majusi, ia dianut oleh kebanyakan orang Arab yang tinggal di sekitar wilayah Persia. Agama ini tersebar di Irak bagian Arab, serta di wilayah Bahrain, Ahsa’, Hajar, dan wilayah pesisir Teluk Arab. Sebagian penduduk Yaman pun memeluk agama ini pada masa pendudukan Persia terhadap wilayah tersebut.Sedangkan agama Shābi’ah, berdasarkan hasil penggalian dan penemuan arkeologi di wilayah Irak dan sekitarnya, menunjukkan bahwa ia adalah agama kaum Ibrahim dari suku Kaldea. Agama ini dahulu banyak dianut oleh penduduk di wilayah Syam dan Yaman pada masa silam. Namun, seiring dengan datangnya agama-agama baru seperti Yahudi dan Kristen, keberadaan agama Shābi’ah lambat laun melemah dan kehilangan pengaruhnya. Meskipun demikian, sebagian penganut agama ini masih tetap ada bercampur dengan kaum Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, khususnya di Irak bagian Arab dan pesisir Teluk Arab di masanya.Kesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabDemikianlah peta keagamaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Agama-agama tersebut telah mengalami kemerosotan dan kerusakan. Kaum musyrik yang mengaku berada di atas ajaran Nabi Ibrahim, sejatinya telah sangat jauh dari perintah-perintah dan larangan-larangan syariat Nabi Ibrahim. Mereka mengabaikan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh beliau. Dan seiring berjalannya waktu, mereka mengembangkan tradisi dan kebiasaan seperti kaum penyembah berhala. Akhirnya, hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan keagamaan mereka secara sangat mendalam.Kaum Yahudi telah berubah menjadi kelompok yang penuh riya dan kesombongan. Para pendetanya diposisikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mengatur hidup masyarakat secara absolut, bahkan menghakimi lintasan pikiran dan bisikan hati. Tujuan utama mereka adalah kekayaan dan kekuasaan, meskipun agama rusak, kekufuran menyebar, dan ajaran yang Allah perintahkan diabaikan.Kaum Kristen telah menjelma menjadi agama yang penuh kesyirikan dan konsep ketuhanan yang rumit. Mereka mencampuradukkan antara Allah dan manusia dalam keyakinan mereka. Ajarannya pun tidak memiliki daya tarik di hati bangsa Arab yang menganut agama ini, karena nilai-nilainya terlalu jauh dari gaya hidup dan adat istiadat yang telah mereka biasakan, sehingga mereka sulit mempraktikkannya.Dengan demikian, usai sudah pembahasan seputar keagamaan yang ada di Jazirah Arab sebelum masa kenabian. Ada beragam agama yang tersebar di Jazirah Arab. Mayoritasnya mengikuti ajaran nenek moyang yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Kemerosotan dan kerusakan keyakinan yang merata inilah yang kemudian menjadi latar belakang turunnya wahyu terakhir melalui Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan memperkaya pemahaman para pembaca. Bārakallāhu fīkum.[Selesai]Kembali ke bagian 7 Mulai dari bagian 1***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi: Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.
Daftar Isi ToggleMasuknya agama Yahudi ke jazirah ArabMasuknya agama Kristen ke jazirah ArabPosisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabKesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabPada pertemuan sebelumnya, kita telah menyinggung tentang agama mayoritas penduduk Jazirah Arab. Dalam artikel ini, kita akan mengulas berbagai agama yang masuk dan berkembang di Jazirah Arab sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad ﷺ.Meskipun ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalām pernah menjadi kepercayaan utama, seiring berjalannya waktu, banyak penyimpangan yang dibuat. Dalam kondisi itu, berbagai agama lain mulai masuk ke Jazirah Arab. Di antaranya adalah Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shābi’ah.Masuknya agama Yahudi ke jazirah ArabAgama Yahudi tercatat minimalnya ada dua gelombang migrasi ke Jazirah Arab. Migrasi gelombang pertama terjadi pada masa penaklukan Babilonia dan Asyur terhadap Palestina oleh Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Penaklukan tersebut menghancurkan kuil dan negeri mereka. Sebagian besar penduduk Yahudi ditawan, lalu dibawa ke Babilonia, sedangkan sebagian lainnya meninggalkan tanah Palestina dan menetap di wilayah Hijaz bagian utara.Migrasi gelombang kedua dimulai sejak pendudukan Romawi terhadap Palestina di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 M. Tekanan yang diberikan Romawi kepada penduduk Yahudi dan penghancuran kuil menyebabkan banyak kabilah Yahudi bermigrasi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar, dan Taima’. Di sana, mereka membangun perkampungan dan benteng-benteng. Agama Yahudi menyebar di sebagian orang Arab melalui para pendatang tersebut. Para pendatang Yahudi ini juga menjadi kekuatan yang memiliki pengaruh dalam berbagai peristiwa politik sebelum munculnya Rasul terakhir.Ketika agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad datang, kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal di sana adalah Khaibar, Bani Nadhir, Bani Mushthaliq, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’. As-Samhudi menyebutkan dalam Wafā’ al-Wafā’ bahwa jumlah kabilah Yahudi di Jazirah Arab mencapai lebih dari dua puluh kabilah.Agama Yahudi masuk ke wilayah Yaman melalui Tabbān As’ad Abu Karb. Ia pergi dan hendak menyerang Yatsrib, tetapi setelah itu ia memeluk agama Yahudi di sana. Akhirnya, ia kemudian membawa dua orang pendeta Yahudi dari Bani Quraizhah ke Yaman. Maka, agama Yahudi pun mulai berkembang dan menyebar luas di sana. Tatkala kekuasaan di Yaman beralih ke tangan Yusuf Dzū Nuwās, ia melakukan penyerangan kepada penduduk Kristen di Najran dan mengajak mereka untuk memeluk agama Yahudi. Akan tetapi, penduduk Najran tersebut menolak. Akhirnya, Dzū Nuwās memerintahkan agar dibuat parit besar untuk penduduk tersebut dan memenuhinya dengan api lalu melemparkan mereka ke dalam parit berapi tersebut. Semua penduduk dibunuh tanpa membedakan antara laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua. Ada yang mengatakan bahwa jumlah korban pembantaian tersebut berkisar antara 20.000–40.000 jiwa. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur’an menceritakan sebagian kisah ini dalam Surah Al-Burūj.Masuknya agama Kristen ke jazirah ArabAgama Kristen memasuki Jazirah Arab melalui jalur penjajahan Habasyah dan Romawi. Penjajahan pertama bangsa Habasyah terhadap Yaman terjadi pada tahun 340 M. Penjajahan tersebut berlangsung sampai tahun 378 M. Pada masa inilah, misi penginjilan mulai masuk ke wilayah Yaman.Di waktu yang berdekatan, datanglah Fimyun, seorang lelaki zuhud yang doanya mustajab dan memiliki karamah ke Najran. Ia menyeru penduduk Najran agar memeluk agama Kristen. Masyarakat melihat tanda-tanda kebenaran dan ketulusan agamanya, sehingga mereka pun menyambut ajakannya dan memeluk agama Kristen.Tatkala bangsa Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya sebagai balasan atas tindakan Dzū Nuwās, dan kekuasaan berhasil diambil alih oleh Abrahah, agama Kristen semakin tersebar dalam cakupan yang luas. Bahkan, ia sampai membangun Ka’bah tiruan di Yaman dan berupaya mengalihkan haji orang-orang Arab ke sana serta berencana menghancurkan Baitullah yang terletak di Makkah. Allah pun membinasakannya sebagai pelajaran bagi umat di masa lalu dan masa mendatang.Di sisi lain wilayah Arab, tepatnya dekat dengan Syam, beberapa kabilah seperti Ghassān, Taghlib, dan Thayyi’ memeluk agama Kristen karena mereka tinggal dekat dengan wilayah kekuasaan Romawi. Bahkan beberapa raja al-Hirah juga memeluk agama Kristen.Posisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabAdapun agama Majusi, ia dianut oleh kebanyakan orang Arab yang tinggal di sekitar wilayah Persia. Agama ini tersebar di Irak bagian Arab, serta di wilayah Bahrain, Ahsa’, Hajar, dan wilayah pesisir Teluk Arab. Sebagian penduduk Yaman pun memeluk agama ini pada masa pendudukan Persia terhadap wilayah tersebut.Sedangkan agama Shābi’ah, berdasarkan hasil penggalian dan penemuan arkeologi di wilayah Irak dan sekitarnya, menunjukkan bahwa ia adalah agama kaum Ibrahim dari suku Kaldea. Agama ini dahulu banyak dianut oleh penduduk di wilayah Syam dan Yaman pada masa silam. Namun, seiring dengan datangnya agama-agama baru seperti Yahudi dan Kristen, keberadaan agama Shābi’ah lambat laun melemah dan kehilangan pengaruhnya. Meskipun demikian, sebagian penganut agama ini masih tetap ada bercampur dengan kaum Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, khususnya di Irak bagian Arab dan pesisir Teluk Arab di masanya.Kesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabDemikianlah peta keagamaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Agama-agama tersebut telah mengalami kemerosotan dan kerusakan. Kaum musyrik yang mengaku berada di atas ajaran Nabi Ibrahim, sejatinya telah sangat jauh dari perintah-perintah dan larangan-larangan syariat Nabi Ibrahim. Mereka mengabaikan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh beliau. Dan seiring berjalannya waktu, mereka mengembangkan tradisi dan kebiasaan seperti kaum penyembah berhala. Akhirnya, hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan keagamaan mereka secara sangat mendalam.Kaum Yahudi telah berubah menjadi kelompok yang penuh riya dan kesombongan. Para pendetanya diposisikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mengatur hidup masyarakat secara absolut, bahkan menghakimi lintasan pikiran dan bisikan hati. Tujuan utama mereka adalah kekayaan dan kekuasaan, meskipun agama rusak, kekufuran menyebar, dan ajaran yang Allah perintahkan diabaikan.Kaum Kristen telah menjelma menjadi agama yang penuh kesyirikan dan konsep ketuhanan yang rumit. Mereka mencampuradukkan antara Allah dan manusia dalam keyakinan mereka. Ajarannya pun tidak memiliki daya tarik di hati bangsa Arab yang menganut agama ini, karena nilai-nilainya terlalu jauh dari gaya hidup dan adat istiadat yang telah mereka biasakan, sehingga mereka sulit mempraktikkannya.Dengan demikian, usai sudah pembahasan seputar keagamaan yang ada di Jazirah Arab sebelum masa kenabian. Ada beragam agama yang tersebar di Jazirah Arab. Mayoritasnya mengikuti ajaran nenek moyang yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Kemerosotan dan kerusakan keyakinan yang merata inilah yang kemudian menjadi latar belakang turunnya wahyu terakhir melalui Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan memperkaya pemahaman para pembaca. Bārakallāhu fīkum.[Selesai]Kembali ke bagian 7 Mulai dari bagian 1***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi: Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.


Daftar Isi ToggleMasuknya agama Yahudi ke jazirah ArabMasuknya agama Kristen ke jazirah ArabPosisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabKesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabPada pertemuan sebelumnya, kita telah menyinggung tentang agama mayoritas penduduk Jazirah Arab. Dalam artikel ini, kita akan mengulas berbagai agama yang masuk dan berkembang di Jazirah Arab sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad ﷺ.Meskipun ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalām pernah menjadi kepercayaan utama, seiring berjalannya waktu, banyak penyimpangan yang dibuat. Dalam kondisi itu, berbagai agama lain mulai masuk ke Jazirah Arab. Di antaranya adalah Yahudi, Kristen, Majusi, dan Shābi’ah.Masuknya agama Yahudi ke jazirah ArabAgama Yahudi tercatat minimalnya ada dua gelombang migrasi ke Jazirah Arab. Migrasi gelombang pertama terjadi pada masa penaklukan Babilonia dan Asyur terhadap Palestina oleh Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Penaklukan tersebut menghancurkan kuil dan negeri mereka. Sebagian besar penduduk Yahudi ditawan, lalu dibawa ke Babilonia, sedangkan sebagian lainnya meninggalkan tanah Palestina dan menetap di wilayah Hijaz bagian utara.Migrasi gelombang kedua dimulai sejak pendudukan Romawi terhadap Palestina di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 M. Tekanan yang diberikan Romawi kepada penduduk Yahudi dan penghancuran kuil menyebabkan banyak kabilah Yahudi bermigrasi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar, dan Taima’. Di sana, mereka membangun perkampungan dan benteng-benteng. Agama Yahudi menyebar di sebagian orang Arab melalui para pendatang tersebut. Para pendatang Yahudi ini juga menjadi kekuatan yang memiliki pengaruh dalam berbagai peristiwa politik sebelum munculnya Rasul terakhir.Ketika agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad datang, kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal di sana adalah Khaibar, Bani Nadhir, Bani Mushthaliq, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’. As-Samhudi menyebutkan dalam Wafā’ al-Wafā’ bahwa jumlah kabilah Yahudi di Jazirah Arab mencapai lebih dari dua puluh kabilah.Agama Yahudi masuk ke wilayah Yaman melalui Tabbān As’ad Abu Karb. Ia pergi dan hendak menyerang Yatsrib, tetapi setelah itu ia memeluk agama Yahudi di sana. Akhirnya, ia kemudian membawa dua orang pendeta Yahudi dari Bani Quraizhah ke Yaman. Maka, agama Yahudi pun mulai berkembang dan menyebar luas di sana. Tatkala kekuasaan di Yaman beralih ke tangan Yusuf Dzū Nuwās, ia melakukan penyerangan kepada penduduk Kristen di Najran dan mengajak mereka untuk memeluk agama Yahudi. Akan tetapi, penduduk Najran tersebut menolak. Akhirnya, Dzū Nuwās memerintahkan agar dibuat parit besar untuk penduduk tersebut dan memenuhinya dengan api lalu melemparkan mereka ke dalam parit berapi tersebut. Semua penduduk dibunuh tanpa membedakan antara laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua. Ada yang mengatakan bahwa jumlah korban pembantaian tersebut berkisar antara 20.000–40.000 jiwa. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur’an menceritakan sebagian kisah ini dalam Surah Al-Burūj.Masuknya agama Kristen ke jazirah ArabAgama Kristen memasuki Jazirah Arab melalui jalur penjajahan Habasyah dan Romawi. Penjajahan pertama bangsa Habasyah terhadap Yaman terjadi pada tahun 340 M. Penjajahan tersebut berlangsung sampai tahun 378 M. Pada masa inilah, misi penginjilan mulai masuk ke wilayah Yaman.Di waktu yang berdekatan, datanglah Fimyun, seorang lelaki zuhud yang doanya mustajab dan memiliki karamah ke Najran. Ia menyeru penduduk Najran agar memeluk agama Kristen. Masyarakat melihat tanda-tanda kebenaran dan ketulusan agamanya, sehingga mereka pun menyambut ajakannya dan memeluk agama Kristen.Tatkala bangsa Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya sebagai balasan atas tindakan Dzū Nuwās, dan kekuasaan berhasil diambil alih oleh Abrahah, agama Kristen semakin tersebar dalam cakupan yang luas. Bahkan, ia sampai membangun Ka’bah tiruan di Yaman dan berupaya mengalihkan haji orang-orang Arab ke sana serta berencana menghancurkan Baitullah yang terletak di Makkah. Allah pun membinasakannya sebagai pelajaran bagi umat di masa lalu dan masa mendatang.Di sisi lain wilayah Arab, tepatnya dekat dengan Syam, beberapa kabilah seperti Ghassān, Taghlib, dan Thayyi’ memeluk agama Kristen karena mereka tinggal dekat dengan wilayah kekuasaan Romawi. Bahkan beberapa raja al-Hirah juga memeluk agama Kristen.Posisi agama Majusi dan Shābi’ah di jazirah ArabAdapun agama Majusi, ia dianut oleh kebanyakan orang Arab yang tinggal di sekitar wilayah Persia. Agama ini tersebar di Irak bagian Arab, serta di wilayah Bahrain, Ahsa’, Hajar, dan wilayah pesisir Teluk Arab. Sebagian penduduk Yaman pun memeluk agama ini pada masa pendudukan Persia terhadap wilayah tersebut.Sedangkan agama Shābi’ah, berdasarkan hasil penggalian dan penemuan arkeologi di wilayah Irak dan sekitarnya, menunjukkan bahwa ia adalah agama kaum Ibrahim dari suku Kaldea. Agama ini dahulu banyak dianut oleh penduduk di wilayah Syam dan Yaman pada masa silam. Namun, seiring dengan datangnya agama-agama baru seperti Yahudi dan Kristen, keberadaan agama Shābi’ah lambat laun melemah dan kehilangan pengaruhnya. Meskipun demikian, sebagian penganut agama ini masih tetap ada bercampur dengan kaum Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, khususnya di Irak bagian Arab dan pesisir Teluk Arab di masanya.Kesimpulan kondisi agama-agama jazirah ArabDemikianlah peta keagamaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Agama-agama tersebut telah mengalami kemerosotan dan kerusakan. Kaum musyrik yang mengaku berada di atas ajaran Nabi Ibrahim, sejatinya telah sangat jauh dari perintah-perintah dan larangan-larangan syariat Nabi Ibrahim. Mereka mengabaikan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh beliau. Dan seiring berjalannya waktu, mereka mengembangkan tradisi dan kebiasaan seperti kaum penyembah berhala. Akhirnya, hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan keagamaan mereka secara sangat mendalam.Kaum Yahudi telah berubah menjadi kelompok yang penuh riya dan kesombongan. Para pendetanya diposisikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mengatur hidup masyarakat secara absolut, bahkan menghakimi lintasan pikiran dan bisikan hati. Tujuan utama mereka adalah kekayaan dan kekuasaan, meskipun agama rusak, kekufuran menyebar, dan ajaran yang Allah perintahkan diabaikan.Kaum Kristen telah menjelma menjadi agama yang penuh kesyirikan dan konsep ketuhanan yang rumit. Mereka mencampuradukkan antara Allah dan manusia dalam keyakinan mereka. Ajarannya pun tidak memiliki daya tarik di hati bangsa Arab yang menganut agama ini, karena nilai-nilainya terlalu jauh dari gaya hidup dan adat istiadat yang telah mereka biasakan, sehingga mereka sulit mempraktikkannya.Dengan demikian, usai sudah pembahasan seputar keagamaan yang ada di Jazirah Arab sebelum masa kenabian. Ada beragam agama yang tersebar di Jazirah Arab. Mayoritasnya mengikuti ajaran nenek moyang yang telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Kemerosotan dan kerusakan keyakinan yang merata inilah yang kemudian menjadi latar belakang turunnya wahyu terakhir melalui Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan memperkaya pemahaman para pembaca. Bārakallāhu fīkum.[Selesai]Kembali ke bagian 7 Mulai dari bagian 1***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi: Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.

Tiga Rahasia agar Hati Tenang, Urusan Lancar dan Hidup Bahagia – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Seorang insan tidak akan stabil keadaannya dan tidak tenang hatinya, kecuali jika baik agamanya dan baik urusan duniawinya serta baik urusan akhiratnya. Seorang insan hanya dapat mencapai tujuan agung ini dengan tiga perkara: [PERTAMA] Dengan doa. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa: “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi benteng urusanku, dan perbaikilah duniaku yang merupakan tempat penghidupanku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku.” (HR. Muslim). [KEDUA] Dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah pohon segala kebaikan. Sebagaimana kebodohan adalah pohon segala keburukan. [KETIGA] Dengan mendengarkan nasihat dan wasiat dari orang yang berhak menyampaikannya. Ketiga perkara ini harus dihimpun dalam keteguhan tauhid dan tekad kuat untuk beramal saleh. Barang siapa konsisten menjalankannya, niscaya selamat dari kerugian dan termasuk orang yang beruntung, dengan izin Allah Yang Maha Penyayang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Demi masa! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3) ===== إِنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَسْتَقِيمُ حَالُهُ وَلَا يَهْدَأ قَلْبُهُ إِلَّا بِصَلَاحِ دِيْنِِهِ وَصَلَاحِ دُنْيَاهُ وَصَلَاحِ أُخْرَاهُ وَالْإِنْسَانُ إِنَّمَا يَسْتَعِينُ عَلَى هَذَا الْمَقْصُودِ الْأَعْظَمِ بِأُمُورٍ ثَلَاثَةٍ بِالدُّعَاءِ وَقَدْ كَانَ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَالْأَمْرُ الثَّانِي الْعِلْمُ النَّافِعُ فَالْعِلْمُ النَّافِعُ شَجَرَةُ كُلِّ خَيْرٍ كَمَا أَنَّ الْجَهْلَ شَجَرَةُ كُلِّ شَرٍّ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ هُوَ الِاسْتِمَاعُ لِلنَّصَائِحِ وَالْوَصَايَا مِنْ أَهْلِهَا كُلُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فِي تَوْحِيدٍ وَعَزِيمَةٍ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَمَنْ لَزِمَ ذَلِكَ أَمِنَ الْخُسْرَانَ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْفَلَاحِ بِإِذْنِ الرَّحْمَنِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Tiga Rahasia agar Hati Tenang, Urusan Lancar dan Hidup Bahagia – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Seorang insan tidak akan stabil keadaannya dan tidak tenang hatinya, kecuali jika baik agamanya dan baik urusan duniawinya serta baik urusan akhiratnya. Seorang insan hanya dapat mencapai tujuan agung ini dengan tiga perkara: [PERTAMA] Dengan doa. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa: “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi benteng urusanku, dan perbaikilah duniaku yang merupakan tempat penghidupanku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku.” (HR. Muslim). [KEDUA] Dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah pohon segala kebaikan. Sebagaimana kebodohan adalah pohon segala keburukan. [KETIGA] Dengan mendengarkan nasihat dan wasiat dari orang yang berhak menyampaikannya. Ketiga perkara ini harus dihimpun dalam keteguhan tauhid dan tekad kuat untuk beramal saleh. Barang siapa konsisten menjalankannya, niscaya selamat dari kerugian dan termasuk orang yang beruntung, dengan izin Allah Yang Maha Penyayang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Demi masa! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3) ===== إِنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَسْتَقِيمُ حَالُهُ وَلَا يَهْدَأ قَلْبُهُ إِلَّا بِصَلَاحِ دِيْنِِهِ وَصَلَاحِ دُنْيَاهُ وَصَلَاحِ أُخْرَاهُ وَالْإِنْسَانُ إِنَّمَا يَسْتَعِينُ عَلَى هَذَا الْمَقْصُودِ الْأَعْظَمِ بِأُمُورٍ ثَلَاثَةٍ بِالدُّعَاءِ وَقَدْ كَانَ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَالْأَمْرُ الثَّانِي الْعِلْمُ النَّافِعُ فَالْعِلْمُ النَّافِعُ شَجَرَةُ كُلِّ خَيْرٍ كَمَا أَنَّ الْجَهْلَ شَجَرَةُ كُلِّ شَرٍّ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ هُوَ الِاسْتِمَاعُ لِلنَّصَائِحِ وَالْوَصَايَا مِنْ أَهْلِهَا كُلُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فِي تَوْحِيدٍ وَعَزِيمَةٍ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَمَنْ لَزِمَ ذَلِكَ أَمِنَ الْخُسْرَانَ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْفَلَاحِ بِإِذْنِ الرَّحْمَنِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Seorang insan tidak akan stabil keadaannya dan tidak tenang hatinya, kecuali jika baik agamanya dan baik urusan duniawinya serta baik urusan akhiratnya. Seorang insan hanya dapat mencapai tujuan agung ini dengan tiga perkara: [PERTAMA] Dengan doa. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa: “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi benteng urusanku, dan perbaikilah duniaku yang merupakan tempat penghidupanku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku.” (HR. Muslim). [KEDUA] Dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah pohon segala kebaikan. Sebagaimana kebodohan adalah pohon segala keburukan. [KETIGA] Dengan mendengarkan nasihat dan wasiat dari orang yang berhak menyampaikannya. Ketiga perkara ini harus dihimpun dalam keteguhan tauhid dan tekad kuat untuk beramal saleh. Barang siapa konsisten menjalankannya, niscaya selamat dari kerugian dan termasuk orang yang beruntung, dengan izin Allah Yang Maha Penyayang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Demi masa! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3) ===== إِنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَسْتَقِيمُ حَالُهُ وَلَا يَهْدَأ قَلْبُهُ إِلَّا بِصَلَاحِ دِيْنِِهِ وَصَلَاحِ دُنْيَاهُ وَصَلَاحِ أُخْرَاهُ وَالْإِنْسَانُ إِنَّمَا يَسْتَعِينُ عَلَى هَذَا الْمَقْصُودِ الْأَعْظَمِ بِأُمُورٍ ثَلَاثَةٍ بِالدُّعَاءِ وَقَدْ كَانَ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَالْأَمْرُ الثَّانِي الْعِلْمُ النَّافِعُ فَالْعِلْمُ النَّافِعُ شَجَرَةُ كُلِّ خَيْرٍ كَمَا أَنَّ الْجَهْلَ شَجَرَةُ كُلِّ شَرٍّ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ هُوَ الِاسْتِمَاعُ لِلنَّصَائِحِ وَالْوَصَايَا مِنْ أَهْلِهَا كُلُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فِي تَوْحِيدٍ وَعَزِيمَةٍ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَمَنْ لَزِمَ ذَلِكَ أَمِنَ الْخُسْرَانَ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْفَلَاحِ بِإِذْنِ الرَّحْمَنِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ


Seorang insan tidak akan stabil keadaannya dan tidak tenang hatinya, kecuali jika baik agamanya dan baik urusan duniawinya serta baik urusan akhiratnya. Seorang insan hanya dapat mencapai tujuan agung ini dengan tiga perkara: [PERTAMA] Dengan doa. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa: “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi benteng urusanku, dan perbaikilah duniaku yang merupakan tempat penghidupanku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku.” (HR. Muslim). [KEDUA] Dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah pohon segala kebaikan. Sebagaimana kebodohan adalah pohon segala keburukan. [KETIGA] Dengan mendengarkan nasihat dan wasiat dari orang yang berhak menyampaikannya. Ketiga perkara ini harus dihimpun dalam keteguhan tauhid dan tekad kuat untuk beramal saleh. Barang siapa konsisten menjalankannya, niscaya selamat dari kerugian dan termasuk orang yang beruntung, dengan izin Allah Yang Maha Penyayang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Demi masa! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3) ===== إِنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَسْتَقِيمُ حَالُهُ وَلَا يَهْدَأ قَلْبُهُ إِلَّا بِصَلَاحِ دِيْنِِهِ وَصَلَاحِ دُنْيَاهُ وَصَلَاحِ أُخْرَاهُ وَالْإِنْسَانُ إِنَّمَا يَسْتَعِينُ عَلَى هَذَا الْمَقْصُودِ الْأَعْظَمِ بِأُمُورٍ ثَلَاثَةٍ بِالدُّعَاءِ وَقَدْ كَانَ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَالْأَمْرُ الثَّانِي الْعِلْمُ النَّافِعُ فَالْعِلْمُ النَّافِعُ شَجَرَةُ كُلِّ خَيْرٍ كَمَا أَنَّ الْجَهْلَ شَجَرَةُ كُلِّ شَرٍّ وَالْأَمْرُ الثَّالِثُ هُوَ الِاسْتِمَاعُ لِلنَّصَائِحِ وَالْوَصَايَا مِنْ أَهْلِهَا كُلُّ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فِي تَوْحِيدٍ وَعَزِيمَةٍ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَمَنْ لَزِمَ ذَلِكَ أَمِنَ الْخُسْرَانَ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْفَلَاحِ بِإِذْنِ الرَّحْمَنِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Bahaya Mengikuti Tren Media Sosial

Daftar Isi ToggleFenomena tren media sosial di IndonesiaPandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanJangan tertipu dengan popularitasIslam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiJalan keselamatan di era digitalDi era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Setiap hari, jutaan orang membagikan kehidupannya, mengikuti tren, dan berlomba-lomba mengejar popularitas dunia maya. Platform seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya menjadi tempat berbagi, namun telah menjadi arena untuk berlomba-lomba menjadi populer.Sayangnya, banyak dari tren yang beredar di media sosial bukan hanya tidak bermanfaat, bahkan sering kali berisi hal-hal yang merusak nilai moral, mengikis iman, dan menjerumuskan ke dalam dosa. Yang lebih memprihatinkan, sebagian umat Islam turut larut dalam arus ini tanpa menyadari bahayanya, baik terhadap akhlak pribadi, masyarakat, maupun terhadap akhirat mereka.Fenomena tren media sosial di IndonesiaDi Indonesia, menurut The Global Statistic, pengguna media sosial mencapai angka lebih dari 191 juta pengguna aktif pada tahun 2024. Mayoritas pengguna aktif berasal dari kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Yang memperihatinkan adalah pengaruh negatif dari tren media sosial yang tersebar di kalangan pemuda kaum muslimin. Contoh tren berbahaya yang pernah viral antara lain:Challenge berbahaya: Seperti minum cairan aneh, melompat dari ketinggian, atau menyakiti diri sendiri.Konten yang memperlihatkan aurat: Banyak perempuan muslimah tergoda membuat konten dansa, bernyanyi dengan pakaian minim, atau menunjukkan bagian tubuh yang seharusnya ditutup.Prank kasar dan merendahkan: Demi konten atau tawa penonton, seseorang rela mempermalukan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.Pamer kekayaan (flexing): Memunculkan budaya hedonisme dan iri hati di masyarakat.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar hiburan. Ia bisa menjadi alat penyebaran keburukan yang masif. Dan jika tidak dibarengi dengan iman serta ilmu, akan menjerumuskan ke dalam lembah kehinaan.Pandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanIslam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, adab, dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, bahkan atas ucapan dan pandangan matanya. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)Ayat ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang membenarkan segala sesuatu hanya karena “semua orang melakukannya”. Dalam konteks media sosial, mengikuti tren hanya karena “banyak yang melakukan” tanpa menyaring dengan nilai Islam adalah bentuk kelalaian yang bisa berujung pada kesesatan.Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kontennya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)Setiap kata, gambar, video yang kita unggah semuanya tercatat. Apakah kita siap mempertanggungjawabkan tarian yang kita buat, prank yang kita lakukan, aurat yang kita pamerkan di hadapan Allah di hari kiamat nanti?Ada satu renungan lagi bagi seseorang yang menjadi sebab orang lain meniru konten buruknya, yaitu berupa dosa jariyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674)Berapa banyak orang yang meniru gaya kita setelah melihat video kita? Jika yang ditiru adalah keburukan, maka kita ikut menanggung dosa mereka. Dan dosa itu akan terus mengalir selama konten tersebut tersebar, meski kita sudah meninggal dunia.Jangan tertipu dengan popularitasFenomena “FYP” (For You Page) di media sosial sering menjadi obsesi para penggunanya. Mereka merasa berhasil jika videonya masuk FYP, viral, ditonton ratusan ribu orang, dan mendapatkan banyak “like” dan “comment”. Namun, dalam kacamata iman, seharusnya yang seperti ini perlu dikhawatirkan atas diri kita. Terlebih konten yang dibuat adalah konten yang menyelisihi syariat.Islam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiAllah menjaga kemuliaan orang beriman. Allah Ta’ala berfriman,وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ“Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun: 8)Allah tidak menjanjikan izzah bagi mereka yang hidupnya hanya mengejar pujian manusia, tetapi bagi mereka yang menjaga iman dan kehormatan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا لَمْ تَسْتَحِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 6120)Orang yang hilang rasa malu, akan berani melakukan apa saja: berjoget di depan umum, berbicara kotor, bahkan menipu demi konten. Malu adalah rem keimanan. Jika itu rusak karena media sosial, maka yang rusak bukan hanya konten kita, tapi hati kita.Media sosial adalah salah satu ujian di zaman ini. Bila digunakan untuk kebaikan seperti dakwah, edukasi, motivasi, penyebaran ilmu, maka ia bisa menjadi ladang pahala. Tapi apabila digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan pamer dosa, ia bisa menjadi jalan tercepat menuju neraka.Jalan keselamatan di era digitalHal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga diri kita di era digital saat ini antara lain:1) Menahan jari sebelum mengunggah. Dan menanyakan kepada diri sendiri, “Apakah konten ini Allah ridai?”2) Mengikuti akun dakwah dan ilmu untuk menciptakan lingkungan digital yang menyehatkan iman.3) Menjadi teladan kebaikan di media sosial. Gunakan platform media sosial sebagai ladang pahala, bukan tempat maksiat.4) Memperbanyak istigfar dan perbaiki niat. Apabila pernah menyebar keburukan, hapus dan bertobatlah segera.Saudaraku, kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan demi kesenangan sesaat. Popularitas di dunia maya tidak sebanding dengan murka Allah. Mari kita bijak dalam menggunakan media sosial. Ukurlah setiap tindakan kita dengan timbangan syariat. Karena yang viral di dunia, belum tentu bermanfaat di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَثَبِّتْنَا عَلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِYa Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya, serta teguhkan kami di atas jalan-Mu yang lurus.Baca juga: Bahaya Gibah dan Namimah di Era Media Sosial***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id

Bahaya Mengikuti Tren Media Sosial

Daftar Isi ToggleFenomena tren media sosial di IndonesiaPandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanJangan tertipu dengan popularitasIslam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiJalan keselamatan di era digitalDi era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Setiap hari, jutaan orang membagikan kehidupannya, mengikuti tren, dan berlomba-lomba mengejar popularitas dunia maya. Platform seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya menjadi tempat berbagi, namun telah menjadi arena untuk berlomba-lomba menjadi populer.Sayangnya, banyak dari tren yang beredar di media sosial bukan hanya tidak bermanfaat, bahkan sering kali berisi hal-hal yang merusak nilai moral, mengikis iman, dan menjerumuskan ke dalam dosa. Yang lebih memprihatinkan, sebagian umat Islam turut larut dalam arus ini tanpa menyadari bahayanya, baik terhadap akhlak pribadi, masyarakat, maupun terhadap akhirat mereka.Fenomena tren media sosial di IndonesiaDi Indonesia, menurut The Global Statistic, pengguna media sosial mencapai angka lebih dari 191 juta pengguna aktif pada tahun 2024. Mayoritas pengguna aktif berasal dari kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Yang memperihatinkan adalah pengaruh negatif dari tren media sosial yang tersebar di kalangan pemuda kaum muslimin. Contoh tren berbahaya yang pernah viral antara lain:Challenge berbahaya: Seperti minum cairan aneh, melompat dari ketinggian, atau menyakiti diri sendiri.Konten yang memperlihatkan aurat: Banyak perempuan muslimah tergoda membuat konten dansa, bernyanyi dengan pakaian minim, atau menunjukkan bagian tubuh yang seharusnya ditutup.Prank kasar dan merendahkan: Demi konten atau tawa penonton, seseorang rela mempermalukan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.Pamer kekayaan (flexing): Memunculkan budaya hedonisme dan iri hati di masyarakat.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar hiburan. Ia bisa menjadi alat penyebaran keburukan yang masif. Dan jika tidak dibarengi dengan iman serta ilmu, akan menjerumuskan ke dalam lembah kehinaan.Pandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanIslam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, adab, dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, bahkan atas ucapan dan pandangan matanya. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)Ayat ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang membenarkan segala sesuatu hanya karena “semua orang melakukannya”. Dalam konteks media sosial, mengikuti tren hanya karena “banyak yang melakukan” tanpa menyaring dengan nilai Islam adalah bentuk kelalaian yang bisa berujung pada kesesatan.Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kontennya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)Setiap kata, gambar, video yang kita unggah semuanya tercatat. Apakah kita siap mempertanggungjawabkan tarian yang kita buat, prank yang kita lakukan, aurat yang kita pamerkan di hadapan Allah di hari kiamat nanti?Ada satu renungan lagi bagi seseorang yang menjadi sebab orang lain meniru konten buruknya, yaitu berupa dosa jariyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674)Berapa banyak orang yang meniru gaya kita setelah melihat video kita? Jika yang ditiru adalah keburukan, maka kita ikut menanggung dosa mereka. Dan dosa itu akan terus mengalir selama konten tersebut tersebar, meski kita sudah meninggal dunia.Jangan tertipu dengan popularitasFenomena “FYP” (For You Page) di media sosial sering menjadi obsesi para penggunanya. Mereka merasa berhasil jika videonya masuk FYP, viral, ditonton ratusan ribu orang, dan mendapatkan banyak “like” dan “comment”. Namun, dalam kacamata iman, seharusnya yang seperti ini perlu dikhawatirkan atas diri kita. Terlebih konten yang dibuat adalah konten yang menyelisihi syariat.Islam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiAllah menjaga kemuliaan orang beriman. Allah Ta’ala berfriman,وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ“Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun: 8)Allah tidak menjanjikan izzah bagi mereka yang hidupnya hanya mengejar pujian manusia, tetapi bagi mereka yang menjaga iman dan kehormatan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا لَمْ تَسْتَحِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 6120)Orang yang hilang rasa malu, akan berani melakukan apa saja: berjoget di depan umum, berbicara kotor, bahkan menipu demi konten. Malu adalah rem keimanan. Jika itu rusak karena media sosial, maka yang rusak bukan hanya konten kita, tapi hati kita.Media sosial adalah salah satu ujian di zaman ini. Bila digunakan untuk kebaikan seperti dakwah, edukasi, motivasi, penyebaran ilmu, maka ia bisa menjadi ladang pahala. Tapi apabila digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan pamer dosa, ia bisa menjadi jalan tercepat menuju neraka.Jalan keselamatan di era digitalHal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga diri kita di era digital saat ini antara lain:1) Menahan jari sebelum mengunggah. Dan menanyakan kepada diri sendiri, “Apakah konten ini Allah ridai?”2) Mengikuti akun dakwah dan ilmu untuk menciptakan lingkungan digital yang menyehatkan iman.3) Menjadi teladan kebaikan di media sosial. Gunakan platform media sosial sebagai ladang pahala, bukan tempat maksiat.4) Memperbanyak istigfar dan perbaiki niat. Apabila pernah menyebar keburukan, hapus dan bertobatlah segera.Saudaraku, kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan demi kesenangan sesaat. Popularitas di dunia maya tidak sebanding dengan murka Allah. Mari kita bijak dalam menggunakan media sosial. Ukurlah setiap tindakan kita dengan timbangan syariat. Karena yang viral di dunia, belum tentu bermanfaat di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَثَبِّتْنَا عَلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِYa Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya, serta teguhkan kami di atas jalan-Mu yang lurus.Baca juga: Bahaya Gibah dan Namimah di Era Media Sosial***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleFenomena tren media sosial di IndonesiaPandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanJangan tertipu dengan popularitasIslam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiJalan keselamatan di era digitalDi era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Setiap hari, jutaan orang membagikan kehidupannya, mengikuti tren, dan berlomba-lomba mengejar popularitas dunia maya. Platform seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya menjadi tempat berbagi, namun telah menjadi arena untuk berlomba-lomba menjadi populer.Sayangnya, banyak dari tren yang beredar di media sosial bukan hanya tidak bermanfaat, bahkan sering kali berisi hal-hal yang merusak nilai moral, mengikis iman, dan menjerumuskan ke dalam dosa. Yang lebih memprihatinkan, sebagian umat Islam turut larut dalam arus ini tanpa menyadari bahayanya, baik terhadap akhlak pribadi, masyarakat, maupun terhadap akhirat mereka.Fenomena tren media sosial di IndonesiaDi Indonesia, menurut The Global Statistic, pengguna media sosial mencapai angka lebih dari 191 juta pengguna aktif pada tahun 2024. Mayoritas pengguna aktif berasal dari kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Yang memperihatinkan adalah pengaruh negatif dari tren media sosial yang tersebar di kalangan pemuda kaum muslimin. Contoh tren berbahaya yang pernah viral antara lain:Challenge berbahaya: Seperti minum cairan aneh, melompat dari ketinggian, atau menyakiti diri sendiri.Konten yang memperlihatkan aurat: Banyak perempuan muslimah tergoda membuat konten dansa, bernyanyi dengan pakaian minim, atau menunjukkan bagian tubuh yang seharusnya ditutup.Prank kasar dan merendahkan: Demi konten atau tawa penonton, seseorang rela mempermalukan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.Pamer kekayaan (flexing): Memunculkan budaya hedonisme dan iri hati di masyarakat.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar hiburan. Ia bisa menjadi alat penyebaran keburukan yang masif. Dan jika tidak dibarengi dengan iman serta ilmu, akan menjerumuskan ke dalam lembah kehinaan.Pandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanIslam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, adab, dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, bahkan atas ucapan dan pandangan matanya. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)Ayat ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang membenarkan segala sesuatu hanya karena “semua orang melakukannya”. Dalam konteks media sosial, mengikuti tren hanya karena “banyak yang melakukan” tanpa menyaring dengan nilai Islam adalah bentuk kelalaian yang bisa berujung pada kesesatan.Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kontennya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)Setiap kata, gambar, video yang kita unggah semuanya tercatat. Apakah kita siap mempertanggungjawabkan tarian yang kita buat, prank yang kita lakukan, aurat yang kita pamerkan di hadapan Allah di hari kiamat nanti?Ada satu renungan lagi bagi seseorang yang menjadi sebab orang lain meniru konten buruknya, yaitu berupa dosa jariyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674)Berapa banyak orang yang meniru gaya kita setelah melihat video kita? Jika yang ditiru adalah keburukan, maka kita ikut menanggung dosa mereka. Dan dosa itu akan terus mengalir selama konten tersebut tersebar, meski kita sudah meninggal dunia.Jangan tertipu dengan popularitasFenomena “FYP” (For You Page) di media sosial sering menjadi obsesi para penggunanya. Mereka merasa berhasil jika videonya masuk FYP, viral, ditonton ratusan ribu orang, dan mendapatkan banyak “like” dan “comment”. Namun, dalam kacamata iman, seharusnya yang seperti ini perlu dikhawatirkan atas diri kita. Terlebih konten yang dibuat adalah konten yang menyelisihi syariat.Islam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiAllah menjaga kemuliaan orang beriman. Allah Ta’ala berfriman,وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ“Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun: 8)Allah tidak menjanjikan izzah bagi mereka yang hidupnya hanya mengejar pujian manusia, tetapi bagi mereka yang menjaga iman dan kehormatan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا لَمْ تَسْتَحِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 6120)Orang yang hilang rasa malu, akan berani melakukan apa saja: berjoget di depan umum, berbicara kotor, bahkan menipu demi konten. Malu adalah rem keimanan. Jika itu rusak karena media sosial, maka yang rusak bukan hanya konten kita, tapi hati kita.Media sosial adalah salah satu ujian di zaman ini. Bila digunakan untuk kebaikan seperti dakwah, edukasi, motivasi, penyebaran ilmu, maka ia bisa menjadi ladang pahala. Tapi apabila digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan pamer dosa, ia bisa menjadi jalan tercepat menuju neraka.Jalan keselamatan di era digitalHal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga diri kita di era digital saat ini antara lain:1) Menahan jari sebelum mengunggah. Dan menanyakan kepada diri sendiri, “Apakah konten ini Allah ridai?”2) Mengikuti akun dakwah dan ilmu untuk menciptakan lingkungan digital yang menyehatkan iman.3) Menjadi teladan kebaikan di media sosial. Gunakan platform media sosial sebagai ladang pahala, bukan tempat maksiat.4) Memperbanyak istigfar dan perbaiki niat. Apabila pernah menyebar keburukan, hapus dan bertobatlah segera.Saudaraku, kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan demi kesenangan sesaat. Popularitas di dunia maya tidak sebanding dengan murka Allah. Mari kita bijak dalam menggunakan media sosial. Ukurlah setiap tindakan kita dengan timbangan syariat. Karena yang viral di dunia, belum tentu bermanfaat di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَثَبِّتْنَا عَلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِYa Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya, serta teguhkan kami di atas jalan-Mu yang lurus.Baca juga: Bahaya Gibah dan Namimah di Era Media Sosial***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleFenomena tren media sosial di IndonesiaPandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanJangan tertipu dengan popularitasIslam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiJalan keselamatan di era digitalDi era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Setiap hari, jutaan orang membagikan kehidupannya, mengikuti tren, dan berlomba-lomba mengejar popularitas dunia maya. Platform seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube bukan hanya menjadi tempat berbagi, namun telah menjadi arena untuk berlomba-lomba menjadi populer.Sayangnya, banyak dari tren yang beredar di media sosial bukan hanya tidak bermanfaat, bahkan sering kali berisi hal-hal yang merusak nilai moral, mengikis iman, dan menjerumuskan ke dalam dosa. Yang lebih memprihatinkan, sebagian umat Islam turut larut dalam arus ini tanpa menyadari bahayanya, baik terhadap akhlak pribadi, masyarakat, maupun terhadap akhirat mereka.Fenomena tren media sosial di IndonesiaDi Indonesia, menurut The Global Statistic, pengguna media sosial mencapai angka lebih dari 191 juta pengguna aktif pada tahun 2024. Mayoritas pengguna aktif berasal dari kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Yang memperihatinkan adalah pengaruh negatif dari tren media sosial yang tersebar di kalangan pemuda kaum muslimin. Contoh tren berbahaya yang pernah viral antara lain:Challenge berbahaya: Seperti minum cairan aneh, melompat dari ketinggian, atau menyakiti diri sendiri.Konten yang memperlihatkan aurat: Banyak perempuan muslimah tergoda membuat konten dansa, bernyanyi dengan pakaian minim, atau menunjukkan bagian tubuh yang seharusnya ditutup.Prank kasar dan merendahkan: Demi konten atau tawa penonton, seseorang rela mempermalukan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.Pamer kekayaan (flexing): Memunculkan budaya hedonisme dan iri hati di masyarakat.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar hiburan. Ia bisa menjadi alat penyebaran keburukan yang masif. Dan jika tidak dibarengi dengan iman serta ilmu, akan menjerumuskan ke dalam lembah kehinaan.Pandangan Islam: Mengikuti tren tanpa ilmu adalah kesesatanIslam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, adab, dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, bahkan atas ucapan dan pandangan matanya. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)Ayat ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang membenarkan segala sesuatu hanya karena “semua orang melakukannya”. Dalam konteks media sosial, mengikuti tren hanya karena “banyak yang melakukan” tanpa menyaring dengan nilai Islam adalah bentuk kelalaian yang bisa berujung pada kesesatan.Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas kontennya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)Setiap kata, gambar, video yang kita unggah semuanya tercatat. Apakah kita siap mempertanggungjawabkan tarian yang kita buat, prank yang kita lakukan, aurat yang kita pamerkan di hadapan Allah di hari kiamat nanti?Ada satu renungan lagi bagi seseorang yang menjadi sebab orang lain meniru konten buruknya, yaitu berupa dosa jariyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674)Berapa banyak orang yang meniru gaya kita setelah melihat video kita? Jika yang ditiru adalah keburukan, maka kita ikut menanggung dosa mereka. Dan dosa itu akan terus mengalir selama konten tersebut tersebar, meski kita sudah meninggal dunia.Jangan tertipu dengan popularitasFenomena “FYP” (For You Page) di media sosial sering menjadi obsesi para penggunanya. Mereka merasa berhasil jika videonya masuk FYP, viral, ditonton ratusan ribu orang, dan mendapatkan banyak “like” dan “comment”. Namun, dalam kacamata iman, seharusnya yang seperti ini perlu dikhawatirkan atas diri kita. Terlebih konten yang dibuat adalah konten yang menyelisihi syariat.Islam menjaga izzah (kemuliaan), bukan gengsiAllah menjaga kemuliaan orang beriman. Allah Ta’ala berfriman,وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ“Dan kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun: 8)Allah tidak menjanjikan izzah bagi mereka yang hidupnya hanya mengejar pujian manusia, tetapi bagi mereka yang menjaga iman dan kehormatan.Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا لَمْ تَسْتَحِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 6120)Orang yang hilang rasa malu, akan berani melakukan apa saja: berjoget di depan umum, berbicara kotor, bahkan menipu demi konten. Malu adalah rem keimanan. Jika itu rusak karena media sosial, maka yang rusak bukan hanya konten kita, tapi hati kita.Media sosial adalah salah satu ujian di zaman ini. Bila digunakan untuk kebaikan seperti dakwah, edukasi, motivasi, penyebaran ilmu, maka ia bisa menjadi ladang pahala. Tapi apabila digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan pamer dosa, ia bisa menjadi jalan tercepat menuju neraka.Jalan keselamatan di era digitalHal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga diri kita di era digital saat ini antara lain:1) Menahan jari sebelum mengunggah. Dan menanyakan kepada diri sendiri, “Apakah konten ini Allah ridai?”2) Mengikuti akun dakwah dan ilmu untuk menciptakan lingkungan digital yang menyehatkan iman.3) Menjadi teladan kebaikan di media sosial. Gunakan platform media sosial sebagai ladang pahala, bukan tempat maksiat.4) Memperbanyak istigfar dan perbaiki niat. Apabila pernah menyebar keburukan, hapus dan bertobatlah segera.Saudaraku, kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan demi kesenangan sesaat. Popularitas di dunia maya tidak sebanding dengan murka Allah. Mari kita bijak dalam menggunakan media sosial. Ukurlah setiap tindakan kita dengan timbangan syariat. Karena yang viral di dunia, belum tentu bermanfaat di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَثَبِّتْنَا عَلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِYa Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya, serta teguhkan kami di atas jalan-Mu yang lurus.Baca juga: Bahaya Gibah dan Namimah di Era Media Sosial***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id

Hukum Sujud Sahwi dalam Shalat: Membahas Bagian yang Ditinggalkan, Keraguan Rakaat, dan Waktu Pelaksanaannya

Dalam shalat, seorang Muslim mungkin menghadapi situasi di mana ia lupa, ragu, atau meninggalkan sebagian dari gerakan dan bacaan salatnya. Fiqih Islam memberikan panduan rinci mengenai hal ini melalui konsep sujud sahwi, sebagai bentuk penyempurna dari kekurangan yang terjadi tanpa sengaja. Pembahasan para ulama, termasuk Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, menjelaskan dengan sistematis perbedaan antara bagian salat yang wajib, sunnah, dan tata cara, serta bagaimana hukum sujud sahwi diterapkan dalam setiap kondisi. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib: فَصْلٌ وَالْمَتْرُوكُ مِنَ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: فَرْضٌ، وَسُنَّةٌ، وَهَيْئَةٌ. فَالْفَرْضُ لَا يَنُوبُ عَنْهُ سُجُودُ السَّهْوِ، بَلْ إِنْ ذَكَرَهُ وَالزَّمَانُ قَرِيبٌ أَتَى بِهِ وَبَنَى عَلَيْهِ وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَالسُّنَّةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ التَّلَبُّسِ بِالْفَرْضِ، لَكِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَالْهَيْئَةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ تَرْكِهَا، وَلَا يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَإِذَا شَكَّ فِي عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَسُجُودُ السَّهْوِ سُنَّةٌ، وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ. Pasal: Bagian yang ditinggalkan dalam shalat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: rukun (fardhu), sunnah, dan hay’ah. Rukun (fardhu) — tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Apabila seseorang ingat telah meninggalkannya sementara waktunya masih dekat, maka ia harus melakukan bagian tersebut, melanjutkan shalatnya dari situ, lalu melakukan sujud sahwi. Sunnah — apabila telah terlanjur masuk pada bagian wajib (rukun) berikutnya, tidak perlu kembali untuk melakukannya, tetapi tetap disyariatkan sujud sahwi sebagai gantinya. Hay’ah — apabila telah ditinggalkan, tidak perlu diulang, dan tidak perlu pula sujud sahwi karena meninggalkannya. Selanjutnya, apabila seseorang ragu jumlah rakaat yang telah ia kerjakan, maka ia berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, kemudian melakukan sujud sahwi. Adapun sujud sahwi itu sendiri hukumnya sunnah, dan dilakukan sebelum salam.   Penjelasan Al-Qadhi Abu Syuja’ menjelaskan ketiga hal ini dalam ucapannya: “Rukun tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi. Namun jika seseorang mengingatnya — yakni bagian rukun yang tertinggal — saat masih dalam shalat, maka ia harus melakukannya dan shalatnya menjadi sempurna. Jika ia mengingatnya setelah salam, dan waktunya masih dekat, maka ia mengerjakannya, kemudian melanjutkan sisa shalatnya, dan melakukan sujud sahwi.” Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, namun hanya dilakukan ketika meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam shalat atau melakukan sesuatu yang dilarang di dalamnya. Adapun sunnah, apabila ditinggalkan oleh orang yang shalat, maka ia tidak kembali kepadanya setelah masuk ke bagian fardhu. Sebagai contoh, seseorang meninggalkan tasyahhud awal, lalu ia mengingatnya setelah berdiri sempurna (tegak dalam berdiri rakaat berikutnya), maka ia tidak boleh kembali duduk untuk tasyahhud. Jika ia kembali duduk dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu terlarang, maka shalatnya batal. Namun jika ia lupa bahwa dirinya sedang dalam shalat, atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal, dan ia wajib berdiri kembali ketika mengingatnya. Apabila ia seorang makmum, maka ia wajib kembali duduk untuk mengikuti imamnya. Namun secara umum, ia tetap harus melakukan sujud sahwi karena telah meninggalkan sunnah tersebut — baik dalam keadaan tidak kembali ke sunnah yang tertinggal, maupun kembali karena lupa. Yang dimaksud oleh penulis dengan istilah “sunnah” di sini adalah enam bagian sunnah ab‘ādh (sunnah yang jika ditinggalkan disunnahkan sujud sahwi), yaitu: Tasyahhud awal, Duduk untuk tasyahhud awal, Doa qunut dalam shalat Subuh, Doa qunut dalam shalat Witir pada paruh kedua bulan Ramadan, Berdiri untuk qunut, Shalawat kepada Nabi ﷺ dalam tasyahhud awal, Shalawat kepada keluarga Nabi ﷺ dalam tasyahhud akhir. Adapun hay’ah (tata cara shalat) — seperti bacaan tasbih, doa-doa tertentu, dan hal-hal lain yang bukan termasuk rukun maupun sunnah ab‘ādh — maka tidak perlu diulang setelah ditinggalkan, dan tidak perlu pula sujud sahwi untuk menggantinya, baik ditinggalkan secara sengaja maupun karena lupa.   Jika Ragu dalam Shalat Apabila seseorang yang sedang shalat ragu mengenai jumlah rakaat yang telah ia kerjakan — misalnya, ia ragu apakah telah shalat tiga rakaat atau empat — maka ia harus berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, dalam contoh ini berarti tiga rakaat. Kemudian ia menambahkan satu rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan sujud sahwi. Dalam keadaan seperti ini, dugaan kuat (prasangka) bahwa ia telah shalat empat rakaat tidak bisa dijadikan dasar, dan tidak boleh ia bertindak berdasarkan perkataan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah shalat empat rakaat, meskipun jumlah orang yang mengatakan demikian banyak hingga mencapai derajat mutawatir. Artinya, dalam masalah keraguan jumlah rakaat, patokan satu-satunya adalah keyakinan pribadi si pelaku shalat, bukan kabar dari orang lain dan bukan pula dugaan kuatnya sendiri. Ia wajib mengambil jumlah yang lebih sedikit, karena itulah yang lebih pasti, kemudian menyempurnakan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi.   Hukum Sujud Sahwi Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan waktunya (tempat pelaksanaannya) adalah sebelum salam.   Jeda Waktu Masih Dibolehkan Sujud Sahwi Apabila seseorang sengaja salam dengan mengetahui bahwa ia sedang dalam keadaan lupa (sahwu), atau ia salam karena lupa, kemudian selang waktunya sudah lama menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi telah lewat dan tidak lagi disyariatkan baginya. Namun, apabila jeda waktunya masih singkat menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi belum dianggap lewat, dan dalam keadaan itu ia boleh memilih antara melakukan sujud sahwi atau meninggalkannya. Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan: Terkait batasan waktu lama (ṭūl al-faṣl), Imam Asy-Syafi‘i memiliki dua pendapat: Pendapat yang lebih kuat—dan dinyatakan dalam kitab al-Umm—bahwa ukuran “lama” dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat lainnya—yang disebut dalam al-Buwaiṭī—bahwa batas lama adalah waktu yang melebihi kadar satu rakaat.   Referensi: Kifayah Al-Akhyar dan Fath Al-Qarib   —-   Perjalanan @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul  ke Masjid Pogung Dalangan, Kamis Sore, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 1447 H, 9 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat cara sujud sahwi matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat sujud sahwi

Hukum Sujud Sahwi dalam Shalat: Membahas Bagian yang Ditinggalkan, Keraguan Rakaat, dan Waktu Pelaksanaannya

Dalam shalat, seorang Muslim mungkin menghadapi situasi di mana ia lupa, ragu, atau meninggalkan sebagian dari gerakan dan bacaan salatnya. Fiqih Islam memberikan panduan rinci mengenai hal ini melalui konsep sujud sahwi, sebagai bentuk penyempurna dari kekurangan yang terjadi tanpa sengaja. Pembahasan para ulama, termasuk Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, menjelaskan dengan sistematis perbedaan antara bagian salat yang wajib, sunnah, dan tata cara, serta bagaimana hukum sujud sahwi diterapkan dalam setiap kondisi. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib: فَصْلٌ وَالْمَتْرُوكُ مِنَ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: فَرْضٌ، وَسُنَّةٌ، وَهَيْئَةٌ. فَالْفَرْضُ لَا يَنُوبُ عَنْهُ سُجُودُ السَّهْوِ، بَلْ إِنْ ذَكَرَهُ وَالزَّمَانُ قَرِيبٌ أَتَى بِهِ وَبَنَى عَلَيْهِ وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَالسُّنَّةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ التَّلَبُّسِ بِالْفَرْضِ، لَكِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَالْهَيْئَةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ تَرْكِهَا، وَلَا يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَإِذَا شَكَّ فِي عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَسُجُودُ السَّهْوِ سُنَّةٌ، وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ. Pasal: Bagian yang ditinggalkan dalam shalat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: rukun (fardhu), sunnah, dan hay’ah. Rukun (fardhu) — tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Apabila seseorang ingat telah meninggalkannya sementara waktunya masih dekat, maka ia harus melakukan bagian tersebut, melanjutkan shalatnya dari situ, lalu melakukan sujud sahwi. Sunnah — apabila telah terlanjur masuk pada bagian wajib (rukun) berikutnya, tidak perlu kembali untuk melakukannya, tetapi tetap disyariatkan sujud sahwi sebagai gantinya. Hay’ah — apabila telah ditinggalkan, tidak perlu diulang, dan tidak perlu pula sujud sahwi karena meninggalkannya. Selanjutnya, apabila seseorang ragu jumlah rakaat yang telah ia kerjakan, maka ia berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, kemudian melakukan sujud sahwi. Adapun sujud sahwi itu sendiri hukumnya sunnah, dan dilakukan sebelum salam.   Penjelasan Al-Qadhi Abu Syuja’ menjelaskan ketiga hal ini dalam ucapannya: “Rukun tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi. Namun jika seseorang mengingatnya — yakni bagian rukun yang tertinggal — saat masih dalam shalat, maka ia harus melakukannya dan shalatnya menjadi sempurna. Jika ia mengingatnya setelah salam, dan waktunya masih dekat, maka ia mengerjakannya, kemudian melanjutkan sisa shalatnya, dan melakukan sujud sahwi.” Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, namun hanya dilakukan ketika meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam shalat atau melakukan sesuatu yang dilarang di dalamnya. Adapun sunnah, apabila ditinggalkan oleh orang yang shalat, maka ia tidak kembali kepadanya setelah masuk ke bagian fardhu. Sebagai contoh, seseorang meninggalkan tasyahhud awal, lalu ia mengingatnya setelah berdiri sempurna (tegak dalam berdiri rakaat berikutnya), maka ia tidak boleh kembali duduk untuk tasyahhud. Jika ia kembali duduk dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu terlarang, maka shalatnya batal. Namun jika ia lupa bahwa dirinya sedang dalam shalat, atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal, dan ia wajib berdiri kembali ketika mengingatnya. Apabila ia seorang makmum, maka ia wajib kembali duduk untuk mengikuti imamnya. Namun secara umum, ia tetap harus melakukan sujud sahwi karena telah meninggalkan sunnah tersebut — baik dalam keadaan tidak kembali ke sunnah yang tertinggal, maupun kembali karena lupa. Yang dimaksud oleh penulis dengan istilah “sunnah” di sini adalah enam bagian sunnah ab‘ādh (sunnah yang jika ditinggalkan disunnahkan sujud sahwi), yaitu: Tasyahhud awal, Duduk untuk tasyahhud awal, Doa qunut dalam shalat Subuh, Doa qunut dalam shalat Witir pada paruh kedua bulan Ramadan, Berdiri untuk qunut, Shalawat kepada Nabi ﷺ dalam tasyahhud awal, Shalawat kepada keluarga Nabi ﷺ dalam tasyahhud akhir. Adapun hay’ah (tata cara shalat) — seperti bacaan tasbih, doa-doa tertentu, dan hal-hal lain yang bukan termasuk rukun maupun sunnah ab‘ādh — maka tidak perlu diulang setelah ditinggalkan, dan tidak perlu pula sujud sahwi untuk menggantinya, baik ditinggalkan secara sengaja maupun karena lupa.   Jika Ragu dalam Shalat Apabila seseorang yang sedang shalat ragu mengenai jumlah rakaat yang telah ia kerjakan — misalnya, ia ragu apakah telah shalat tiga rakaat atau empat — maka ia harus berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, dalam contoh ini berarti tiga rakaat. Kemudian ia menambahkan satu rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan sujud sahwi. Dalam keadaan seperti ini, dugaan kuat (prasangka) bahwa ia telah shalat empat rakaat tidak bisa dijadikan dasar, dan tidak boleh ia bertindak berdasarkan perkataan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah shalat empat rakaat, meskipun jumlah orang yang mengatakan demikian banyak hingga mencapai derajat mutawatir. Artinya, dalam masalah keraguan jumlah rakaat, patokan satu-satunya adalah keyakinan pribadi si pelaku shalat, bukan kabar dari orang lain dan bukan pula dugaan kuatnya sendiri. Ia wajib mengambil jumlah yang lebih sedikit, karena itulah yang lebih pasti, kemudian menyempurnakan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi.   Hukum Sujud Sahwi Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan waktunya (tempat pelaksanaannya) adalah sebelum salam.   Jeda Waktu Masih Dibolehkan Sujud Sahwi Apabila seseorang sengaja salam dengan mengetahui bahwa ia sedang dalam keadaan lupa (sahwu), atau ia salam karena lupa, kemudian selang waktunya sudah lama menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi telah lewat dan tidak lagi disyariatkan baginya. Namun, apabila jeda waktunya masih singkat menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi belum dianggap lewat, dan dalam keadaan itu ia boleh memilih antara melakukan sujud sahwi atau meninggalkannya. Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan: Terkait batasan waktu lama (ṭūl al-faṣl), Imam Asy-Syafi‘i memiliki dua pendapat: Pendapat yang lebih kuat—dan dinyatakan dalam kitab al-Umm—bahwa ukuran “lama” dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat lainnya—yang disebut dalam al-Buwaiṭī—bahwa batas lama adalah waktu yang melebihi kadar satu rakaat.   Referensi: Kifayah Al-Akhyar dan Fath Al-Qarib   —-   Perjalanan @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul  ke Masjid Pogung Dalangan, Kamis Sore, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 1447 H, 9 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat cara sujud sahwi matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat sujud sahwi
Dalam shalat, seorang Muslim mungkin menghadapi situasi di mana ia lupa, ragu, atau meninggalkan sebagian dari gerakan dan bacaan salatnya. Fiqih Islam memberikan panduan rinci mengenai hal ini melalui konsep sujud sahwi, sebagai bentuk penyempurna dari kekurangan yang terjadi tanpa sengaja. Pembahasan para ulama, termasuk Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, menjelaskan dengan sistematis perbedaan antara bagian salat yang wajib, sunnah, dan tata cara, serta bagaimana hukum sujud sahwi diterapkan dalam setiap kondisi. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib: فَصْلٌ وَالْمَتْرُوكُ مِنَ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: فَرْضٌ، وَسُنَّةٌ، وَهَيْئَةٌ. فَالْفَرْضُ لَا يَنُوبُ عَنْهُ سُجُودُ السَّهْوِ، بَلْ إِنْ ذَكَرَهُ وَالزَّمَانُ قَرِيبٌ أَتَى بِهِ وَبَنَى عَلَيْهِ وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَالسُّنَّةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ التَّلَبُّسِ بِالْفَرْضِ، لَكِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَالْهَيْئَةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ تَرْكِهَا، وَلَا يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَإِذَا شَكَّ فِي عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَسُجُودُ السَّهْوِ سُنَّةٌ، وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ. Pasal: Bagian yang ditinggalkan dalam shalat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: rukun (fardhu), sunnah, dan hay’ah. Rukun (fardhu) — tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Apabila seseorang ingat telah meninggalkannya sementara waktunya masih dekat, maka ia harus melakukan bagian tersebut, melanjutkan shalatnya dari situ, lalu melakukan sujud sahwi. Sunnah — apabila telah terlanjur masuk pada bagian wajib (rukun) berikutnya, tidak perlu kembali untuk melakukannya, tetapi tetap disyariatkan sujud sahwi sebagai gantinya. Hay’ah — apabila telah ditinggalkan, tidak perlu diulang, dan tidak perlu pula sujud sahwi karena meninggalkannya. Selanjutnya, apabila seseorang ragu jumlah rakaat yang telah ia kerjakan, maka ia berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, kemudian melakukan sujud sahwi. Adapun sujud sahwi itu sendiri hukumnya sunnah, dan dilakukan sebelum salam.   Penjelasan Al-Qadhi Abu Syuja’ menjelaskan ketiga hal ini dalam ucapannya: “Rukun tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi. Namun jika seseorang mengingatnya — yakni bagian rukun yang tertinggal — saat masih dalam shalat, maka ia harus melakukannya dan shalatnya menjadi sempurna. Jika ia mengingatnya setelah salam, dan waktunya masih dekat, maka ia mengerjakannya, kemudian melanjutkan sisa shalatnya, dan melakukan sujud sahwi.” Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, namun hanya dilakukan ketika meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam shalat atau melakukan sesuatu yang dilarang di dalamnya. Adapun sunnah, apabila ditinggalkan oleh orang yang shalat, maka ia tidak kembali kepadanya setelah masuk ke bagian fardhu. Sebagai contoh, seseorang meninggalkan tasyahhud awal, lalu ia mengingatnya setelah berdiri sempurna (tegak dalam berdiri rakaat berikutnya), maka ia tidak boleh kembali duduk untuk tasyahhud. Jika ia kembali duduk dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu terlarang, maka shalatnya batal. Namun jika ia lupa bahwa dirinya sedang dalam shalat, atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal, dan ia wajib berdiri kembali ketika mengingatnya. Apabila ia seorang makmum, maka ia wajib kembali duduk untuk mengikuti imamnya. Namun secara umum, ia tetap harus melakukan sujud sahwi karena telah meninggalkan sunnah tersebut — baik dalam keadaan tidak kembali ke sunnah yang tertinggal, maupun kembali karena lupa. Yang dimaksud oleh penulis dengan istilah “sunnah” di sini adalah enam bagian sunnah ab‘ādh (sunnah yang jika ditinggalkan disunnahkan sujud sahwi), yaitu: Tasyahhud awal, Duduk untuk tasyahhud awal, Doa qunut dalam shalat Subuh, Doa qunut dalam shalat Witir pada paruh kedua bulan Ramadan, Berdiri untuk qunut, Shalawat kepada Nabi ﷺ dalam tasyahhud awal, Shalawat kepada keluarga Nabi ﷺ dalam tasyahhud akhir. Adapun hay’ah (tata cara shalat) — seperti bacaan tasbih, doa-doa tertentu, dan hal-hal lain yang bukan termasuk rukun maupun sunnah ab‘ādh — maka tidak perlu diulang setelah ditinggalkan, dan tidak perlu pula sujud sahwi untuk menggantinya, baik ditinggalkan secara sengaja maupun karena lupa.   Jika Ragu dalam Shalat Apabila seseorang yang sedang shalat ragu mengenai jumlah rakaat yang telah ia kerjakan — misalnya, ia ragu apakah telah shalat tiga rakaat atau empat — maka ia harus berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, dalam contoh ini berarti tiga rakaat. Kemudian ia menambahkan satu rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan sujud sahwi. Dalam keadaan seperti ini, dugaan kuat (prasangka) bahwa ia telah shalat empat rakaat tidak bisa dijadikan dasar, dan tidak boleh ia bertindak berdasarkan perkataan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah shalat empat rakaat, meskipun jumlah orang yang mengatakan demikian banyak hingga mencapai derajat mutawatir. Artinya, dalam masalah keraguan jumlah rakaat, patokan satu-satunya adalah keyakinan pribadi si pelaku shalat, bukan kabar dari orang lain dan bukan pula dugaan kuatnya sendiri. Ia wajib mengambil jumlah yang lebih sedikit, karena itulah yang lebih pasti, kemudian menyempurnakan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi.   Hukum Sujud Sahwi Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan waktunya (tempat pelaksanaannya) adalah sebelum salam.   Jeda Waktu Masih Dibolehkan Sujud Sahwi Apabila seseorang sengaja salam dengan mengetahui bahwa ia sedang dalam keadaan lupa (sahwu), atau ia salam karena lupa, kemudian selang waktunya sudah lama menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi telah lewat dan tidak lagi disyariatkan baginya. Namun, apabila jeda waktunya masih singkat menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi belum dianggap lewat, dan dalam keadaan itu ia boleh memilih antara melakukan sujud sahwi atau meninggalkannya. Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan: Terkait batasan waktu lama (ṭūl al-faṣl), Imam Asy-Syafi‘i memiliki dua pendapat: Pendapat yang lebih kuat—dan dinyatakan dalam kitab al-Umm—bahwa ukuran “lama” dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat lainnya—yang disebut dalam al-Buwaiṭī—bahwa batas lama adalah waktu yang melebihi kadar satu rakaat.   Referensi: Kifayah Al-Akhyar dan Fath Al-Qarib   —-   Perjalanan @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul  ke Masjid Pogung Dalangan, Kamis Sore, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 1447 H, 9 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat cara sujud sahwi matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat sujud sahwi


Dalam shalat, seorang Muslim mungkin menghadapi situasi di mana ia lupa, ragu, atau meninggalkan sebagian dari gerakan dan bacaan salatnya. Fiqih Islam memberikan panduan rinci mengenai hal ini melalui konsep sujud sahwi, sebagai bentuk penyempurna dari kekurangan yang terjadi tanpa sengaja. Pembahasan para ulama, termasuk Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, menjelaskan dengan sistematis perbedaan antara bagian salat yang wajib, sunnah, dan tata cara, serta bagaimana hukum sujud sahwi diterapkan dalam setiap kondisi. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib: فَصْلٌ وَالْمَتْرُوكُ مِنَ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: فَرْضٌ، وَسُنَّةٌ، وَهَيْئَةٌ. فَالْفَرْضُ لَا يَنُوبُ عَنْهُ سُجُودُ السَّهْوِ، بَلْ إِنْ ذَكَرَهُ وَالزَّمَانُ قَرِيبٌ أَتَى بِهِ وَبَنَى عَلَيْهِ وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَالسُّنَّةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ التَّلَبُّسِ بِالْفَرْضِ، لَكِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَالْهَيْئَةُ لَا يَعُودُ إِلَيْهَا بَعْدَ تَرْكِهَا، وَلَا يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ عَنْهَا. وَإِذَا شَكَّ فِي عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَسُجُودُ السَّهْوِ سُنَّةٌ، وَمَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ. Pasal: Bagian yang ditinggalkan dalam shalat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: rukun (fardhu), sunnah, dan hay’ah. Rukun (fardhu) — tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Apabila seseorang ingat telah meninggalkannya sementara waktunya masih dekat, maka ia harus melakukan bagian tersebut, melanjutkan shalatnya dari situ, lalu melakukan sujud sahwi. Sunnah — apabila telah terlanjur masuk pada bagian wajib (rukun) berikutnya, tidak perlu kembali untuk melakukannya, tetapi tetap disyariatkan sujud sahwi sebagai gantinya. Hay’ah — apabila telah ditinggalkan, tidak perlu diulang, dan tidak perlu pula sujud sahwi karena meninggalkannya. Selanjutnya, apabila seseorang ragu jumlah rakaat yang telah ia kerjakan, maka ia berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, kemudian melakukan sujud sahwi. Adapun sujud sahwi itu sendiri hukumnya sunnah, dan dilakukan sebelum salam.   Penjelasan Al-Qadhi Abu Syuja’ menjelaskan ketiga hal ini dalam ucapannya: “Rukun tidak bisa digantikan oleh sujud sahwi. Namun jika seseorang mengingatnya — yakni bagian rukun yang tertinggal — saat masih dalam shalat, maka ia harus melakukannya dan shalatnya menjadi sempurna. Jika ia mengingatnya setelah salam, dan waktunya masih dekat, maka ia mengerjakannya, kemudian melanjutkan sisa shalatnya, dan melakukan sujud sahwi.” Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, namun hanya dilakukan ketika meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam shalat atau melakukan sesuatu yang dilarang di dalamnya. Adapun sunnah, apabila ditinggalkan oleh orang yang shalat, maka ia tidak kembali kepadanya setelah masuk ke bagian fardhu. Sebagai contoh, seseorang meninggalkan tasyahhud awal, lalu ia mengingatnya setelah berdiri sempurna (tegak dalam berdiri rakaat berikutnya), maka ia tidak boleh kembali duduk untuk tasyahhud. Jika ia kembali duduk dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu terlarang, maka shalatnya batal. Namun jika ia lupa bahwa dirinya sedang dalam shalat, atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal, dan ia wajib berdiri kembali ketika mengingatnya. Apabila ia seorang makmum, maka ia wajib kembali duduk untuk mengikuti imamnya. Namun secara umum, ia tetap harus melakukan sujud sahwi karena telah meninggalkan sunnah tersebut — baik dalam keadaan tidak kembali ke sunnah yang tertinggal, maupun kembali karena lupa. Yang dimaksud oleh penulis dengan istilah “sunnah” di sini adalah enam bagian sunnah ab‘ādh (sunnah yang jika ditinggalkan disunnahkan sujud sahwi), yaitu: Tasyahhud awal, Duduk untuk tasyahhud awal, Doa qunut dalam shalat Subuh, Doa qunut dalam shalat Witir pada paruh kedua bulan Ramadan, Berdiri untuk qunut, Shalawat kepada Nabi ﷺ dalam tasyahhud awal, Shalawat kepada keluarga Nabi ﷺ dalam tasyahhud akhir. Adapun hay’ah (tata cara shalat) — seperti bacaan tasbih, doa-doa tertentu, dan hal-hal lain yang bukan termasuk rukun maupun sunnah ab‘ādh — maka tidak perlu diulang setelah ditinggalkan, dan tidak perlu pula sujud sahwi untuk menggantinya, baik ditinggalkan secara sengaja maupun karena lupa.   Jika Ragu dalam Shalat Apabila seseorang yang sedang shalat ragu mengenai jumlah rakaat yang telah ia kerjakan — misalnya, ia ragu apakah telah shalat tiga rakaat atau empat — maka ia harus berpegang pada keyakinan yang lebih kuat, yaitu jumlah yang lebih sedikit, dalam contoh ini berarti tiga rakaat. Kemudian ia menambahkan satu rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan sujud sahwi. Dalam keadaan seperti ini, dugaan kuat (prasangka) bahwa ia telah shalat empat rakaat tidak bisa dijadikan dasar, dan tidak boleh ia bertindak berdasarkan perkataan orang lain yang mengatakan bahwa ia telah shalat empat rakaat, meskipun jumlah orang yang mengatakan demikian banyak hingga mencapai derajat mutawatir. Artinya, dalam masalah keraguan jumlah rakaat, patokan satu-satunya adalah keyakinan pribadi si pelaku shalat, bukan kabar dari orang lain dan bukan pula dugaan kuatnya sendiri. Ia wajib mengambil jumlah yang lebih sedikit, karena itulah yang lebih pasti, kemudian menyempurnakan shalatnya dan menutupnya dengan sujud sahwi.   Hukum Sujud Sahwi Sujud sahwi hukumnya sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan waktunya (tempat pelaksanaannya) adalah sebelum salam.   Jeda Waktu Masih Dibolehkan Sujud Sahwi Apabila seseorang sengaja salam dengan mengetahui bahwa ia sedang dalam keadaan lupa (sahwu), atau ia salam karena lupa, kemudian selang waktunya sudah lama menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi telah lewat dan tidak lagi disyariatkan baginya. Namun, apabila jeda waktunya masih singkat menurut kebiasaan (‘urf), maka waktu sujud sahwi belum dianggap lewat, dan dalam keadaan itu ia boleh memilih antara melakukan sujud sahwi atau meninggalkannya. Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan: Terkait batasan waktu lama (ṭūl al-faṣl), Imam Asy-Syafi‘i memiliki dua pendapat: Pendapat yang lebih kuat—dan dinyatakan dalam kitab al-Umm—bahwa ukuran “lama” dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat lainnya—yang disebut dalam al-Buwaiṭī—bahwa batas lama adalah waktu yang melebihi kadar satu rakaat.   Referensi: Kifayah Al-Akhyar dan Fath Al-Qarib   —-   Perjalanan @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul  ke Masjid Pogung Dalangan, Kamis Sore, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 1447 H, 9 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat cara sujud sahwi matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat sujud sahwi

Penutup Surah Al-Kahfi: Peringatan Keras dan Janji Mulia dari Allah

Surah Al-Kahfi dikenal memiliki banyak pelajaran mendalam, termasuk pada sepuluh ayat penutupnya yang sarat peringatan dan janji. Allah menegur orang-orang yang menyekutukan-Nya dan mengingatkan keterbatasan makhluk sebagai pelindung selain Dia. Di sisi lain, ayat-ayat ini juga menyampaikan kabar gembira bagi hamba yang ikhlas dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Melalui tafsir ayat 102–110 ini, kita diajak untuk menata iman, amal, dan tujuan hidup. Inilah pesan abadi dari penutup Surah Al-Kahfi yang perlu direnungkan setiap jiwa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Ayat 2. QS. Al-Kahfi ayat 103 2.1. Penjelasan Ayat 3. QS. Al-Kahfi ayat 104 3.1. Penjelasan Ayat 4. QS. Al-Kahfi ayat 105 4.1. Penjelasan Ayat 5. QS. Al-Kahfi ayat 106 6. QS. Al-Kahfi ayat 107-108 7. QS. Al-Kahfi ayat 109 8. QS. Al-Kahfi ayat 110   QS. Al-Kahfi ayat 102 أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا “Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Allah menegur orang-orang kafir dengan gaya bertanya yang menyiratkan kecaman dan penolakan keras terhadap anggapan mereka yang secara akal sehat jelas batil. Firman-Nya: ﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ﴾ “Maka apakah orang-orang kafir mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?” (QS. Al-Kahfi: 102) Maknanya: tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin seorang wali Allah berpihak kepada musuh-musuh Allah. Sebab, para wali Allah selalu sejalan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, dan mereka pun membenci apa yang Allah murkai. Dalam hal ini, ayat tersebut memiliki makna yang serupa dengan firman Allah: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَٰؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ۝ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمْۖ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ﴾ “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.'” (QS. Saba’: 40–41) Dengan demikian, siapa pun yang mengaku menjadikan wali Allah sebagai sekutunya, padahal dirinya memusuhi Allah, maka ia pendusta. Namun bisa juga dimaknai—dan ini yang lebih tampak—bahwa maksud ayat di atas adalah: Apakah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan para rasul-Nya mengira bahwa mereka bisa menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan penyelamat? Apakah mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mampu memberi manfaat, menolak bahaya, atau menyelamatkan mereka dari azab? Itu adalah prasangka yang batil dan harapan yang sia-sia. Seluruh makhluk—tanpa terkecuali—tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain: ﴿قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah!’ Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan kesusahan darimu dan tidak (pula) memindahkannya.” (QS. Al-Isra’: 56) ﴿وَلَا يَمْلِكُ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ﴾ “Dan mereka yang menyeru (sembahan-sembahan) selain Allah itu tidak mempunyai kuasa memberi syafaat.” (QS. Az-Zukhruf: 86) Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengambil wali selain Allah sebagai penolong dan pelindung, maka ia berada dalam kesesatan. Harapannya hampa, dan usahanya sia-sia—ia tidak akan memperoleh apa pun dari yang ia cari. Sebagai penutup peringatan, Allah berfirman: ﴿إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا﴾ “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Dalam bahasa Arab, kata nuzul berarti jamuan atau sajian bagi tamu. Maka, neraka Jahanam disebut sebagai “jamuan” bagi mereka yang kufur kepada Allah. Alangkah buruknya jamuan itu! Sungguh celaka orang yang menyambut “pembukaan” seperti itu di akhirat—tidak berupa kenikmatan, tapi azab yang pedih.   QS. Al-Kahfi ayat 103 قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi: 103) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Artinya: Katakanlah, wahai Muhammad, kepada manusia—dengan nada peringatan dan peringatan keras—“Maukah kalian aku beritahu siapa orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini dalam kitab tafsirnya: Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: Muhammad bin Basyar berkata kepada kami, Muhammad bin Ja‘far meriwayatkan dari Syu‘bah, dari ‘Amr, dari Mush‘ab yang berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku—yakni Sa‘d bin Abi Waqqash—tentang firman Allah: ﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'” (QS. Al-Kahfi: 103) Apakah mereka itu kaum Haruriyyah (yakni golongan Khawarij)? Sa‘d menjawab: “Bukan. Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang Nasrani mengingkari surga, dan berkata bahwa di dalamnya tidak ada makanan dan minuman.” Adapun kaum Haruriyyah—yakni Khawarij—mereka adalah kelompok yang mengingkari perjanjian Allah setelah adanya ikatan dan janji. Karena itulah, Sa‘d radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai “orang-orang fasik.” Sementara Ali bin Abi Thalib, Adh-Dhahhak, dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang paling merugi amalnya” adalah kaum Haruriyyah. Namun, maksud dari perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah membatasi ayat hanya untuk Khawarij saja, begitu juga tidak membatasinya hanya untuk Yahudi dan Nasrani. Ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak turun secara khusus hanya kepada satu kelompok tertentu. Ayat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum dialog langsung dengan Yahudi dan Nasrani terjadi, dan sebelum munculnya kelompok Khawarij itu sendiri. Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan perkataannya: وَإِنَّمَا هِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَلَىٰ غَيْرِ طَرِيقَةٍ مَرْضِيَّةٍ يَحْسَبُ أَنَّهُ مُصِيبٌ فِيهَا، وَأَنَّ عَمَلَهُ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مُخْطِئٌ، وَعَمَلُهُ مَرْدُودٌ. Makna ayat ini bersifat umum, mencakup siapa pun yang menyembah Allah di atas dasar yang tidak diridhai-Nya. Mereka menyangka telah berbuat kebaikan dan amalnya diterima, padahal sejatinya mereka keliru, dan amal mereka tertolak. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ghāsyiyah: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ ۝ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ ۝ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً﴾ “Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. Bekerja keras lagi kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 2–4) Atau dalam firman-Nya: ﴿وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًۭا﴾ “Dan Kami perlihatkan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23) Juga dalam surat An-Nur: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَـٰلُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيعَةٍۢ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءًۭ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا﴾ “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka itu seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang kehausan, tetapi ketika didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 39) Demikian penjelasan Ibnu Katsir. Kesimpulan: Semua pembahasan ini mengandung pesan yang sama: betapa banyak orang yang menyangka amalnya besar dan diterima, padahal semua itu sirna, kosong, dan tidak bernilai di sisi Allah. Bisa karena niatnya rusak, cara pelaksanaannya tidak sesuai petunjuk Rasul, atau akidahnya menyimpang.   QS. Al-Kahfi ayat 104 ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 104) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Segala upaya dan amal yang mereka lakukan di dunia menjadi sia-sia dan lenyap tanpa bekas. Mereka menyangka bahwa yang mereka kerjakan itu adalah kebaikan, padahal bagaimana mungkin dengan amal-amal yang mereka yakini benar saja ternyata batil di sisi Allah, apalagi dengan perbuatan yang jelas-jelas mereka ketahui salah—yang merupakan bentuk permusuhan kepada Allah dan para rasul-Nya? Merekalah orang-orang yang rugi besar, sehingga: فَخَسِرُوا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ “Lalu mereka merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, itulah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15) Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Kemudian Allah menjelaskan mereka, yaitu firman-Nya: ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا Maksudnya: mereka melakukan amal-amal yang batil, tidak sesuai syariat yang sah, tidak diridai, dan tidak diterima oleh Allah. وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا Maksudnya: mereka meyakini bahwa mereka berada di atas kebenaran, dan merasa bahwa amal mereka diterima serta mereka dicintai oleh Allah.   QS. Al-Kahfi ayat 105 أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا “Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimnahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) yang jelas menunjukkan wajibnya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir. “Maka gugurlah seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Sebab fungsi timbangan pada hari Kiamat adalah untuk menimbang amal baik dengan amal buruk, lalu ditentukan mana yang lebih berat. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki amal kebaikan yang sah, karena syarat utamanya adalah iman. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا “Barang siapa beramal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan takut dizalimi dan tidak akan dirugikan.” (QS. Ṭāhā: 112) Amal orang kafir memang tetap dicatat dan dihitung. Mereka akan ditunjukkan amal-amal itu di hadapan khalayak ramai, agar semakin dipermalukan. Setelah itu, mereka pun disiksa karenanya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah di dunia, menolak bukti-bukti yang Allah tegakkan tentang keesaan-Nya, mendustakan kebenaran para rasul-Nya, dan mengingkari adanya negeri akhirat. “Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Artinya, timbangan amal mereka tidak bernilai karena kosong dari kebaikan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ “Sungguh, akan datang seseorang pada hari Kiamat, tubuhnya besar dan gemuk, tetapi di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Bacalah jika kalian mau: { Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat }.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda, يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا “Akan didatangkan seorang lelaki yang gemar makan, banyak minum, dan bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebutir biji saja, namun ia tidak sebanding dengannya.” (HR. Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim) Ada pula kisah dari Buraidah radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, lalu datang seorang lelaki Quraisy berjalan dengan sombong dalam pakaian indahnya. Ketika berdiri di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda: يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Wahai Buraidah, orang ini termasuk dari golongan yang pada hari Kiamat, Allah tidak akan menimbangnya sedikit pun.” (HR. al-Bazzar) Bahkan, Ka‘ab rahimahullāh mengatakan, “Kelak pada hari Kiamat, akan didatangkan seorang lelaki yang tubuhnya tinggi dan besar, namun di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk. Bacalah ayat: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ وَزْنًۭا ‘Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat’.” Kesimpulan menarik yang bisa kita ambil dari penjelasan Ibnu Katsir di atas adalah: 1. Nilai manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh fisik dan penampilan. Meski tubuh besar, gagah, atau penampilan duniawinya megah, jika ia kafir atau sombong, maka di akhirat ia tidak bernilai sama sekali, bahkan tidak seberat sayap nyamuk. 2. Amal tanpa iman tidak punya bobot. Semua amal kebaikan orang kafir akan gugur karena syarat diterimanya amal adalah iman. Tanpa iman, amal hanya jadi catatan untuk mempermalukan mereka di hadapan khalayak, bukan untuk menyelamatkan. 3. Kesombongan meruntuhkan harga diri di sisi Allah. Riwayat tentang lelaki Quraisy yang berjalan dengan congkak menunjukkan bahwa sifat sombong bisa membuat seseorang tidak bernilai di hadapan Allah pada hari Kiamat. 4. Yang bernilai adalah hati dan iman. Bukan gemuk badan, bukan baju indah, bukan status sosial. Yang membuat timbangan amal seseorang berat hanyalah keimanan dan amal saleh yang tulus.   QS. Al-Kahfi ayat 106 ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا “Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi: 106) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberikan balasan kepada mereka dengan neraka Jahanam. Itu adalah hukuman setimpal akibat kekafiran mereka, serta karena mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka tidak hanya sekadar mendustakan, tetapi benar-benar meremehkan dan mempermainkan, bahkan mendustakan dengan sekeras-kerasnya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari firman Allah ini adalah batalnya amal-amal mereka dan tidak ada sedikit pun nilai bagi mereka pada hari kiamat. Hal itu karena kehinaan dan kerendahan mereka akibat kekafiran terhadap ayat-ayat Allah. Mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menjadikan ayat-ayat dan para rasul sebagai bahan ejekan dan olok-olokan. Padahal, kewajiban seorang hamba adalah beriman sepenuhnya terhadap ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya, memuliakan, serta menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun, orang-orang kafir ini justru membalik kenyataan: mereka kufur, meremehkan, dan memperolok. Akibatnya, mereka pun terbalik kondisinya, celaka, dan terjerumus ke dalam azab yang pedih. Setelah menyebutkan kesudahan orang kafir dan amal perbuatan mereka, Allah kemudian menjelaskan tentang keadaan amal orang-orang beriman beserta balasan baik yang menanti mereka.   QS. Al-Kahfi ayat 107-108 إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107) خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا “Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mengabarkan tentang hamba-hamba Allah yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan kebenaran yang dibawa para rasul. Untuk mereka disediakan surga Firdaus. Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa firdaus adalah kebun, dalam bahasa Romawi. Sedangkan menurut Ka‘b, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak, firdaus adalah kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan anggur. Abu Umamah berkata bahwa firdaus adalah pusat surga. Qatadah menafsirkan bahwa firdaus adalah bagian yang tinggi dari surga, letaknya di tengah, dan merupakan yang terbaik. Ada pula riwayat marfu‘ dari Nabi ﷺ melalui jalur Sa‘id bin Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, beliau bersabda: “Al-Firdaus adalah dataran tinggi surga, bagian tengahnya, dan yang paling indah.” Hal ini juga diriwayatkan Isma‘il bin Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah, secara marfu‘. Riwayat serupa juga datang dari Qatadah, dari Anas bin Malik, dengan lafaz yang mirip. Ibnu Jarir rahimahullah pun menukilkannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sabda Nabi ﷺ: إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ. “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus. Sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tinggi, berada di bagian tengah surga, dan darinya memancar sungai-sungai surga.” Adapun firman Allah Ta‘ala: نُزُلًا (nuzulan) maksudnya adalah jamuan atau hidangan istimewa. Sebab kata nuzul berarti suguhan yang dipersiapkan untuk memuliakan tamu. “Mereka kekal di dalamnya. Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud firman Allah ini adalah mereka akan tinggal menetap di dalam surga, tidak akan pernah keluar atau pergi darinya selamanya. Firman Allah: “Lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” artinya mereka sama sekali tidak menginginkan selain surga, tidak mencintai tempat lain, dan tidak berpindah darinya. Ibnu Katsir bahkan menyebutkan syair Arab yang menggambarkan makna ini: “Telah menetap di lubuk hatiku, aku tidak mencari selain dirinya, dan tidak akan berpaling dari cintanya.” Ungkapan “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” juga menjadi penegasan tentang kerinduan dan kecintaan penghuni surga terhadap tempat tinggal mereka. Sebab bisa saja seseorang yang menetap lama di suatu tempat akan merasa jenuh atau bosan. Namun, Allah menegaskan bahwa penghuni surga, meskipun kekal abadi di sana, tidak akan pernah merasa ingin berpindah, tidak akan merasa bosan, tidak akan meminta diganti, dan tidak menginginkan perjalanan ke tempat lain. Mereka benar-benar rida, bahagia, dan betah selamanya di surga. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan: yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dengan hati mereka, lalu beramal saleh dengan anggota tubuh mereka. Sifat ini mencakup seluruh ajaran agama, baik dari sisi akidah maupun amalan, mencakup pokok-pokok maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka mereka yang berada pada berbagai tingkatan iman dan amal saleh, semuanya mendapatkan surga Firdaus. Ada dua kemungkinan maksud dari kata “jannātul-firdaus”: Pertama, Firdaus adalah surga yang paling tinggi, paling tengah, dan paling utama. Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah pahala khusus bagi orang-orang yang sempurna dalam iman dan amal salehnya, yaitu para nabi dan hamba-hamba Allah yang paling dekat. Kedua, yang dimaksud adalah seluruh tingkatan surga. Dengan demikian, pahala ini mencakup semua golongan orang beriman: baik yang paling dekat dengan Allah, golongan yang berbakti, maupun mereka yang berada di tingkatan pertengahan. Pendapat kedua ini lebih kuat karena lebih umum, ditunjukkan pula dengan penyebutan kata “jannāt” (jamak) yang disandarkan kepada “al-firdaus”. Selain itu, kata firdaus dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut kebun yang berisi pohon anggur atau pepohonan yang rimbun, dan makna ini benar adanya untuk seluruh surga. Surga Firdaus ini adalah jamuan dan hidangan istimewa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan betapa agung, besar, dan mulia jamuan itu! Surga tersebut memuat segala bentuk kenikmatan: kenikmatan hati, ruh, dan badan. Di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan menyejukkan pandangan: istana-istana indah, taman-taman hijau, pepohonan yang berbuah, kicauan burung yang merdu, makanan lezat, minuman nikmat, para wanita jelita, para pelayan muda, sungai-sungai yang mengalir, pemandangan menakjubkan, serta keindahan lahir maupun batin. Semuanya kekal tanpa pernah berakhir. Namun, kenikmatan tertinggi di atas semua itu adalah kedekatan dengan Ar-Rahman, mendapatkan rida-Nya—yang merupakan kenikmatan terbesar surga—serta merasakan kelezatan memandang wajah-Nya yang mulia dan mendengar firman-Nya yang penuh kasih sayang. Maka sungguh agung dan indah jamuan Allah itu, sungguh abadi dan sempurna. Kenikmatan ini jauh melampaui kemampuan siapa pun untuk menggambarkannya dengan kata-kata, bahkan tidak akan pernah terlintas dalam hati manusia. Seandainya hamba-hamba Allah benar-benar mengetahui sebagian kecil dari kenikmatan itu dengan pengetahuan yang nyata sampai ke dalam hati mereka, niscaya hati mereka akan terbang penuh kerinduan, jiwa mereka akan hancur karena pedihnya rasa rindu, dan mereka akan bergegas menuju surga itu baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka pasti tidak akan mendahulukan dunia yang fana, penuh kesusahan, dan penuh kepalsuan di atasnya. Mereka pun tidak akan menyia-nyiakan waktu, karena setiap detik yang hilang akan diganti dengan ribuan tahun kenikmatan yang tak terhitung. Namun, sayangnya kelalaian telah meliputi, iman menjadi lemah, ilmu sedikit, dan tekad pun lemah. Maka terjadilah apa yang terjadi. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh al-‘aliyy al-‘azhīm. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan, inilah puncak kenikmatan. Di dalam surga terdapat seluruh kenikmatan yang sempurna. Dan kesempurnaan nikmat itu adalah karena ia tidak pernah terputus dan tidak berakhir. Firman Allah: “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” maksudnya mereka tidak menginginkan perubahan atau berpindah ke tempat lain. Sebab mereka tidak melihat sesuatu selain yang membuat mereka takjub, menggembirakan, menyenangkan, dan membahagiakan hati. Mereka juga tidak menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada apa yang mereka rasakan di surga.   QS. Al-Kahfi ayat 109 قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا “Katakanlah, ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (QS. Al-Kahfi: 109) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Ayat ini menjelaskan betapa agung dan luasnya sifat-sifat Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menjangkau atau membatasi keagungan-Nya. Allah berfirman, “Seandainya seluruh lautan di dunia ini menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku…” yakni ilmu, hikmah, rahmat, dan segala sifat-Nya. Bahkan kalau semua pepohonan di bumi dijadikan pena, dan semua samudra dijadikan tinta, lalu ditambah lagi tujuh lautan serupa, semuanya akan habis. Pena akan patah, tinta akan kering, sebelum kalimat-kalimat Allah habis ditulis. Hal ini ditegaskan juga dalam ayat lain: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan sekiranya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Luqmān: 27) Semua ini adalah perumpamaan untuk mendekatkan makna kepada akal manusia. Sebab, laut, pohon, dan segala makhluk itu terbatas dan akan habis. Adapun kalimat-kalimat Allah adalah bagian dari sifat-Nya. Sifat-sifat Allah tidak diciptakan, tidak ada batas, dan tidak ada akhirnya. Apa pun gambaran tentang keluasan dan kebesaran Allah yang bisa terlintas di hati manusia, Allah lebih agung dari itu. Begitu pula sifat Allah lainnya—ilmu-Nya, hikmah-Nya, kuasa-Nya, dan rahmat-Nya. Seandainya seluruh ilmu makhluk, dari yang awal hingga yang akhir, baik penghuni langit maupun penghuni bumi, digabungkan, nilainya tidak lebih dari setetes air yang diambil seekor burung dari lautan luas. Perbandingan ini hanya untuk menunjukkan betapa ilmu Allah begitu sempurna, tak terbatas, dan tak tertandingi. Pada akhirnya, semua urusan kembali kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya di ayat lain: وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS. An-Najm: 42).   QS. Al-Kahfi ayat 110 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (QS. Al-Kahfi: 110) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berkata kepada manusia, baik orang kafir maupun yang lainnya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian.” Maksudnya, Nabi bukanlah Tuhan, tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, tidak tahu perkara gaib, dan tidak memiliki khazanah kekayaan Allah. Beliau hanyalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Keistimewaan beliau adalah Allah memberi wahyu, dan inti dari wahyu itu adalah penegasan bahwa sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, tidak ada satu pun makhluk yang berhak mendapatkan ibadah meskipun hanya sebesar biji sawi. Setelah itu, Allah mengarahkan manusia kepada jalan keselamatan: “Barang siapa berharap bertemu dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal saleh.” Amal saleh adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Namun amal saleh saja belum cukup. Ia harus dibarengi dengan keikhlasan: “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Artinya, jangan sampai amalnya dirusak dengan riya’ atau pamrih selain Allah. Maka, orang yang menggabungkan dua syarat ini—amal yang benar sesuai syariat dan ikhlas hanya karena Allah—dialah yang akan meraih apa yang ia harapkan: bertemu Allah dengan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak ikhlas atau tidak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, ia akan merugi di dunia dan di akhirat. Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah: Diriwayatkan oleh ath-Thabarani melalui jalur Hisyām bin ‘Ammār, dari Ismā‘īl bin ‘Ayyāsy, dari ‘Amr bin Qais al-Kūfī, bahwa ia mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān berkata: “Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan.” Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kalian.” Maknanya, wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mendustakan risalahmu: Aku hanyalah manusia seperti kalian. Maka siapa pun yang menganggapku berdusta, hendaklah ia mendatangkan sesuatu yang serupa dengan apa yang aku bawa. Aku tidak mengetahui perkara gaib yang aku kabarkan kepada kalian tentang kisah masa lalu—seperti yang kalian tanyakan mengenai kisah Ashḥābul Kahf dan Dzul Qarnain—kecuali karena Allah-lah yang memberitahukannya kepadaku. Selanjutnya Allah berfirman: إِنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Yakni, Tuhan yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah melanjutkan: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya…” Maksudnya: siapa yang mengharap pahala dan balasan baik dari Tuhannya, فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا “Hendaklah ia mengerjakan amal saleh.” Yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah, وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Yakni, hendaklah ia memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata, tanpa sekutu. Kedua hal ini—ikhlas karena Allah dan amal yang benar sesuai syariat Rasulullah ﷺ—merupakan dua pilar utama diterimanya amal. Amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat ini: dilakukan dengan niat yang tulus hanya karena Allah, dan dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Ibn Abī Ḥātim meriwayatkan dari jalur Ma‘mar, dari ‘Abdul Karīm al-Jazrī, dari Ṭāwūs, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku berdiri di suatu tempat (untuk beribadah) dengan tujuan mencari wajah Allah, tetapi aku juga ingin agar orang-orang melihat di mana aku berada (yakni, agar dikenal keberadaanku).” Mendengar itu, Rasulullah ﷺ tidak menjawab sedikit pun sampai turun ayat ini: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110) Demikian pula riwayat ini dikemukakan secara mursal oleh Mujāhid dan sejumlah ulama lainnya. Al-A‘mash berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥamzah Abū ‘Ammārah, maula (bekas budak) Bani Hāsyim, dari Syahr bin Ḥawsyab. Ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit lalu berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang ingin aku tanyakan. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang shalat karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berpuasa karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang bersedekah karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berhaji karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji?” Maka ‘Ubādah menjawab, “Tidak ada sedikit pun (pahala) untuknya. Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: أَنَا خَيْرُ شَرِيكٍ، فَمَنْ كَانَ لَهُ مَعِي شَرِيكٌ فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ، لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka barang siapa mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka seluruh (amalnya) itu untuk sekutunya itu; Aku sama sekali tidak membutuhkannya.’” Imām Aḥmad meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin ‘Abdillāh bin az-Zubair, telah menceritakan kepada kami Katsīr bin Zaid, dari Rabīḥ bin ‘Abdurraḥmān bin Abī Sa‘īd al-Khudrī, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Kami biasa bergantian berjaga di rumah Rasulullah ﷺ. Kami bermalam di sana jika beliau memiliki kebutuhan atau bila terjadi sesuatu pada malam hari, maka beliau akan memanggil salah satu dari kami. Ketika jumlah orang yang berjaga semakin banyak, kami pun berbincang di antara kami. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui kami seraya bersabda: ‘Apa pembicaraan bisik-bisik (najwā) ini? Bukankah aku telah melarang kalian dari berbisik-bisik?’ Kami pun berkata, ‘Kami bertobat kepada Allah, wahai Nabi Allah. Sebenarnya kami sedang membicarakan tentang al-Masīḥ (Dajjal), dan kami merasa takut terhadapnya.’ Maka beliau bersabda: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ؟ ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada al-Masih (Dajjal)?’ Kami menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي لِمَكَانِ الرَّجُلِ ‘Itulah syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri shalat karena ingin dilihat oleh orang lain.’”   Demikianlah akhir tafsir surah Al-Kahfi. Segala puji hanya milik Allah.   Baca Juga: Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal 24 Kandungan Penting dari Surah Al-Kahfi   ______   Gunungkidul, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 9 Oktober 2025, Kamis Sore Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi surah al-kahfi surat al kahfi tafsir al-kahfi

Penutup Surah Al-Kahfi: Peringatan Keras dan Janji Mulia dari Allah

Surah Al-Kahfi dikenal memiliki banyak pelajaran mendalam, termasuk pada sepuluh ayat penutupnya yang sarat peringatan dan janji. Allah menegur orang-orang yang menyekutukan-Nya dan mengingatkan keterbatasan makhluk sebagai pelindung selain Dia. Di sisi lain, ayat-ayat ini juga menyampaikan kabar gembira bagi hamba yang ikhlas dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Melalui tafsir ayat 102–110 ini, kita diajak untuk menata iman, amal, dan tujuan hidup. Inilah pesan abadi dari penutup Surah Al-Kahfi yang perlu direnungkan setiap jiwa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Ayat 2. QS. Al-Kahfi ayat 103 2.1. Penjelasan Ayat 3. QS. Al-Kahfi ayat 104 3.1. Penjelasan Ayat 4. QS. Al-Kahfi ayat 105 4.1. Penjelasan Ayat 5. QS. Al-Kahfi ayat 106 6. QS. Al-Kahfi ayat 107-108 7. QS. Al-Kahfi ayat 109 8. QS. Al-Kahfi ayat 110   QS. Al-Kahfi ayat 102 أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا “Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Allah menegur orang-orang kafir dengan gaya bertanya yang menyiratkan kecaman dan penolakan keras terhadap anggapan mereka yang secara akal sehat jelas batil. Firman-Nya: ﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ﴾ “Maka apakah orang-orang kafir mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?” (QS. Al-Kahfi: 102) Maknanya: tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin seorang wali Allah berpihak kepada musuh-musuh Allah. Sebab, para wali Allah selalu sejalan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, dan mereka pun membenci apa yang Allah murkai. Dalam hal ini, ayat tersebut memiliki makna yang serupa dengan firman Allah: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَٰؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ۝ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمْۖ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ﴾ “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.'” (QS. Saba’: 40–41) Dengan demikian, siapa pun yang mengaku menjadikan wali Allah sebagai sekutunya, padahal dirinya memusuhi Allah, maka ia pendusta. Namun bisa juga dimaknai—dan ini yang lebih tampak—bahwa maksud ayat di atas adalah: Apakah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan para rasul-Nya mengira bahwa mereka bisa menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan penyelamat? Apakah mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mampu memberi manfaat, menolak bahaya, atau menyelamatkan mereka dari azab? Itu adalah prasangka yang batil dan harapan yang sia-sia. Seluruh makhluk—tanpa terkecuali—tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain: ﴿قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah!’ Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan kesusahan darimu dan tidak (pula) memindahkannya.” (QS. Al-Isra’: 56) ﴿وَلَا يَمْلِكُ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ﴾ “Dan mereka yang menyeru (sembahan-sembahan) selain Allah itu tidak mempunyai kuasa memberi syafaat.” (QS. Az-Zukhruf: 86) Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengambil wali selain Allah sebagai penolong dan pelindung, maka ia berada dalam kesesatan. Harapannya hampa, dan usahanya sia-sia—ia tidak akan memperoleh apa pun dari yang ia cari. Sebagai penutup peringatan, Allah berfirman: ﴿إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا﴾ “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Dalam bahasa Arab, kata nuzul berarti jamuan atau sajian bagi tamu. Maka, neraka Jahanam disebut sebagai “jamuan” bagi mereka yang kufur kepada Allah. Alangkah buruknya jamuan itu! Sungguh celaka orang yang menyambut “pembukaan” seperti itu di akhirat—tidak berupa kenikmatan, tapi azab yang pedih.   QS. Al-Kahfi ayat 103 قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi: 103) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Artinya: Katakanlah, wahai Muhammad, kepada manusia—dengan nada peringatan dan peringatan keras—“Maukah kalian aku beritahu siapa orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini dalam kitab tafsirnya: Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: Muhammad bin Basyar berkata kepada kami, Muhammad bin Ja‘far meriwayatkan dari Syu‘bah, dari ‘Amr, dari Mush‘ab yang berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku—yakni Sa‘d bin Abi Waqqash—tentang firman Allah: ﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'” (QS. Al-Kahfi: 103) Apakah mereka itu kaum Haruriyyah (yakni golongan Khawarij)? Sa‘d menjawab: “Bukan. Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang Nasrani mengingkari surga, dan berkata bahwa di dalamnya tidak ada makanan dan minuman.” Adapun kaum Haruriyyah—yakni Khawarij—mereka adalah kelompok yang mengingkari perjanjian Allah setelah adanya ikatan dan janji. Karena itulah, Sa‘d radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai “orang-orang fasik.” Sementara Ali bin Abi Thalib, Adh-Dhahhak, dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang paling merugi amalnya” adalah kaum Haruriyyah. Namun, maksud dari perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah membatasi ayat hanya untuk Khawarij saja, begitu juga tidak membatasinya hanya untuk Yahudi dan Nasrani. Ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak turun secara khusus hanya kepada satu kelompok tertentu. Ayat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum dialog langsung dengan Yahudi dan Nasrani terjadi, dan sebelum munculnya kelompok Khawarij itu sendiri. Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan perkataannya: وَإِنَّمَا هِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَلَىٰ غَيْرِ طَرِيقَةٍ مَرْضِيَّةٍ يَحْسَبُ أَنَّهُ مُصِيبٌ فِيهَا، وَأَنَّ عَمَلَهُ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مُخْطِئٌ، وَعَمَلُهُ مَرْدُودٌ. Makna ayat ini bersifat umum, mencakup siapa pun yang menyembah Allah di atas dasar yang tidak diridhai-Nya. Mereka menyangka telah berbuat kebaikan dan amalnya diterima, padahal sejatinya mereka keliru, dan amal mereka tertolak. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ghāsyiyah: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ ۝ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ ۝ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً﴾ “Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. Bekerja keras lagi kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 2–4) Atau dalam firman-Nya: ﴿وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًۭا﴾ “Dan Kami perlihatkan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23) Juga dalam surat An-Nur: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَـٰلُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيعَةٍۢ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءًۭ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا﴾ “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka itu seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang kehausan, tetapi ketika didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 39) Demikian penjelasan Ibnu Katsir. Kesimpulan: Semua pembahasan ini mengandung pesan yang sama: betapa banyak orang yang menyangka amalnya besar dan diterima, padahal semua itu sirna, kosong, dan tidak bernilai di sisi Allah. Bisa karena niatnya rusak, cara pelaksanaannya tidak sesuai petunjuk Rasul, atau akidahnya menyimpang.   QS. Al-Kahfi ayat 104 ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 104) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Segala upaya dan amal yang mereka lakukan di dunia menjadi sia-sia dan lenyap tanpa bekas. Mereka menyangka bahwa yang mereka kerjakan itu adalah kebaikan, padahal bagaimana mungkin dengan amal-amal yang mereka yakini benar saja ternyata batil di sisi Allah, apalagi dengan perbuatan yang jelas-jelas mereka ketahui salah—yang merupakan bentuk permusuhan kepada Allah dan para rasul-Nya? Merekalah orang-orang yang rugi besar, sehingga: فَخَسِرُوا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ “Lalu mereka merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, itulah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15) Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Kemudian Allah menjelaskan mereka, yaitu firman-Nya: ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا Maksudnya: mereka melakukan amal-amal yang batil, tidak sesuai syariat yang sah, tidak diridai, dan tidak diterima oleh Allah. وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا Maksudnya: mereka meyakini bahwa mereka berada di atas kebenaran, dan merasa bahwa amal mereka diterima serta mereka dicintai oleh Allah.   QS. Al-Kahfi ayat 105 أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا “Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimnahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) yang jelas menunjukkan wajibnya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir. “Maka gugurlah seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Sebab fungsi timbangan pada hari Kiamat adalah untuk menimbang amal baik dengan amal buruk, lalu ditentukan mana yang lebih berat. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki amal kebaikan yang sah, karena syarat utamanya adalah iman. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا “Barang siapa beramal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan takut dizalimi dan tidak akan dirugikan.” (QS. Ṭāhā: 112) Amal orang kafir memang tetap dicatat dan dihitung. Mereka akan ditunjukkan amal-amal itu di hadapan khalayak ramai, agar semakin dipermalukan. Setelah itu, mereka pun disiksa karenanya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah di dunia, menolak bukti-bukti yang Allah tegakkan tentang keesaan-Nya, mendustakan kebenaran para rasul-Nya, dan mengingkari adanya negeri akhirat. “Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Artinya, timbangan amal mereka tidak bernilai karena kosong dari kebaikan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ “Sungguh, akan datang seseorang pada hari Kiamat, tubuhnya besar dan gemuk, tetapi di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Bacalah jika kalian mau: { Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat }.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda, يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا “Akan didatangkan seorang lelaki yang gemar makan, banyak minum, dan bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebutir biji saja, namun ia tidak sebanding dengannya.” (HR. Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim) Ada pula kisah dari Buraidah radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, lalu datang seorang lelaki Quraisy berjalan dengan sombong dalam pakaian indahnya. Ketika berdiri di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda: يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Wahai Buraidah, orang ini termasuk dari golongan yang pada hari Kiamat, Allah tidak akan menimbangnya sedikit pun.” (HR. al-Bazzar) Bahkan, Ka‘ab rahimahullāh mengatakan, “Kelak pada hari Kiamat, akan didatangkan seorang lelaki yang tubuhnya tinggi dan besar, namun di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk. Bacalah ayat: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ وَزْنًۭا ‘Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat’.” Kesimpulan menarik yang bisa kita ambil dari penjelasan Ibnu Katsir di atas adalah: 1. Nilai manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh fisik dan penampilan. Meski tubuh besar, gagah, atau penampilan duniawinya megah, jika ia kafir atau sombong, maka di akhirat ia tidak bernilai sama sekali, bahkan tidak seberat sayap nyamuk. 2. Amal tanpa iman tidak punya bobot. Semua amal kebaikan orang kafir akan gugur karena syarat diterimanya amal adalah iman. Tanpa iman, amal hanya jadi catatan untuk mempermalukan mereka di hadapan khalayak, bukan untuk menyelamatkan. 3. Kesombongan meruntuhkan harga diri di sisi Allah. Riwayat tentang lelaki Quraisy yang berjalan dengan congkak menunjukkan bahwa sifat sombong bisa membuat seseorang tidak bernilai di hadapan Allah pada hari Kiamat. 4. Yang bernilai adalah hati dan iman. Bukan gemuk badan, bukan baju indah, bukan status sosial. Yang membuat timbangan amal seseorang berat hanyalah keimanan dan amal saleh yang tulus.   QS. Al-Kahfi ayat 106 ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا “Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi: 106) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberikan balasan kepada mereka dengan neraka Jahanam. Itu adalah hukuman setimpal akibat kekafiran mereka, serta karena mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka tidak hanya sekadar mendustakan, tetapi benar-benar meremehkan dan mempermainkan, bahkan mendustakan dengan sekeras-kerasnya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari firman Allah ini adalah batalnya amal-amal mereka dan tidak ada sedikit pun nilai bagi mereka pada hari kiamat. Hal itu karena kehinaan dan kerendahan mereka akibat kekafiran terhadap ayat-ayat Allah. Mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menjadikan ayat-ayat dan para rasul sebagai bahan ejekan dan olok-olokan. Padahal, kewajiban seorang hamba adalah beriman sepenuhnya terhadap ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya, memuliakan, serta menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun, orang-orang kafir ini justru membalik kenyataan: mereka kufur, meremehkan, dan memperolok. Akibatnya, mereka pun terbalik kondisinya, celaka, dan terjerumus ke dalam azab yang pedih. Setelah menyebutkan kesudahan orang kafir dan amal perbuatan mereka, Allah kemudian menjelaskan tentang keadaan amal orang-orang beriman beserta balasan baik yang menanti mereka.   QS. Al-Kahfi ayat 107-108 إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107) خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا “Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mengabarkan tentang hamba-hamba Allah yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan kebenaran yang dibawa para rasul. Untuk mereka disediakan surga Firdaus. Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa firdaus adalah kebun, dalam bahasa Romawi. Sedangkan menurut Ka‘b, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak, firdaus adalah kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan anggur. Abu Umamah berkata bahwa firdaus adalah pusat surga. Qatadah menafsirkan bahwa firdaus adalah bagian yang tinggi dari surga, letaknya di tengah, dan merupakan yang terbaik. Ada pula riwayat marfu‘ dari Nabi ﷺ melalui jalur Sa‘id bin Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, beliau bersabda: “Al-Firdaus adalah dataran tinggi surga, bagian tengahnya, dan yang paling indah.” Hal ini juga diriwayatkan Isma‘il bin Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah, secara marfu‘. Riwayat serupa juga datang dari Qatadah, dari Anas bin Malik, dengan lafaz yang mirip. Ibnu Jarir rahimahullah pun menukilkannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sabda Nabi ﷺ: إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ. “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus. Sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tinggi, berada di bagian tengah surga, dan darinya memancar sungai-sungai surga.” Adapun firman Allah Ta‘ala: نُزُلًا (nuzulan) maksudnya adalah jamuan atau hidangan istimewa. Sebab kata nuzul berarti suguhan yang dipersiapkan untuk memuliakan tamu. “Mereka kekal di dalamnya. Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud firman Allah ini adalah mereka akan tinggal menetap di dalam surga, tidak akan pernah keluar atau pergi darinya selamanya. Firman Allah: “Lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” artinya mereka sama sekali tidak menginginkan selain surga, tidak mencintai tempat lain, dan tidak berpindah darinya. Ibnu Katsir bahkan menyebutkan syair Arab yang menggambarkan makna ini: “Telah menetap di lubuk hatiku, aku tidak mencari selain dirinya, dan tidak akan berpaling dari cintanya.” Ungkapan “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” juga menjadi penegasan tentang kerinduan dan kecintaan penghuni surga terhadap tempat tinggal mereka. Sebab bisa saja seseorang yang menetap lama di suatu tempat akan merasa jenuh atau bosan. Namun, Allah menegaskan bahwa penghuni surga, meskipun kekal abadi di sana, tidak akan pernah merasa ingin berpindah, tidak akan merasa bosan, tidak akan meminta diganti, dan tidak menginginkan perjalanan ke tempat lain. Mereka benar-benar rida, bahagia, dan betah selamanya di surga. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan: yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dengan hati mereka, lalu beramal saleh dengan anggota tubuh mereka. Sifat ini mencakup seluruh ajaran agama, baik dari sisi akidah maupun amalan, mencakup pokok-pokok maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka mereka yang berada pada berbagai tingkatan iman dan amal saleh, semuanya mendapatkan surga Firdaus. Ada dua kemungkinan maksud dari kata “jannātul-firdaus”: Pertama, Firdaus adalah surga yang paling tinggi, paling tengah, dan paling utama. Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah pahala khusus bagi orang-orang yang sempurna dalam iman dan amal salehnya, yaitu para nabi dan hamba-hamba Allah yang paling dekat. Kedua, yang dimaksud adalah seluruh tingkatan surga. Dengan demikian, pahala ini mencakup semua golongan orang beriman: baik yang paling dekat dengan Allah, golongan yang berbakti, maupun mereka yang berada di tingkatan pertengahan. Pendapat kedua ini lebih kuat karena lebih umum, ditunjukkan pula dengan penyebutan kata “jannāt” (jamak) yang disandarkan kepada “al-firdaus”. Selain itu, kata firdaus dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut kebun yang berisi pohon anggur atau pepohonan yang rimbun, dan makna ini benar adanya untuk seluruh surga. Surga Firdaus ini adalah jamuan dan hidangan istimewa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan betapa agung, besar, dan mulia jamuan itu! Surga tersebut memuat segala bentuk kenikmatan: kenikmatan hati, ruh, dan badan. Di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan menyejukkan pandangan: istana-istana indah, taman-taman hijau, pepohonan yang berbuah, kicauan burung yang merdu, makanan lezat, minuman nikmat, para wanita jelita, para pelayan muda, sungai-sungai yang mengalir, pemandangan menakjubkan, serta keindahan lahir maupun batin. Semuanya kekal tanpa pernah berakhir. Namun, kenikmatan tertinggi di atas semua itu adalah kedekatan dengan Ar-Rahman, mendapatkan rida-Nya—yang merupakan kenikmatan terbesar surga—serta merasakan kelezatan memandang wajah-Nya yang mulia dan mendengar firman-Nya yang penuh kasih sayang. Maka sungguh agung dan indah jamuan Allah itu, sungguh abadi dan sempurna. Kenikmatan ini jauh melampaui kemampuan siapa pun untuk menggambarkannya dengan kata-kata, bahkan tidak akan pernah terlintas dalam hati manusia. Seandainya hamba-hamba Allah benar-benar mengetahui sebagian kecil dari kenikmatan itu dengan pengetahuan yang nyata sampai ke dalam hati mereka, niscaya hati mereka akan terbang penuh kerinduan, jiwa mereka akan hancur karena pedihnya rasa rindu, dan mereka akan bergegas menuju surga itu baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka pasti tidak akan mendahulukan dunia yang fana, penuh kesusahan, dan penuh kepalsuan di atasnya. Mereka pun tidak akan menyia-nyiakan waktu, karena setiap detik yang hilang akan diganti dengan ribuan tahun kenikmatan yang tak terhitung. Namun, sayangnya kelalaian telah meliputi, iman menjadi lemah, ilmu sedikit, dan tekad pun lemah. Maka terjadilah apa yang terjadi. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh al-‘aliyy al-‘azhīm. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan, inilah puncak kenikmatan. Di dalam surga terdapat seluruh kenikmatan yang sempurna. Dan kesempurnaan nikmat itu adalah karena ia tidak pernah terputus dan tidak berakhir. Firman Allah: “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” maksudnya mereka tidak menginginkan perubahan atau berpindah ke tempat lain. Sebab mereka tidak melihat sesuatu selain yang membuat mereka takjub, menggembirakan, menyenangkan, dan membahagiakan hati. Mereka juga tidak menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada apa yang mereka rasakan di surga.   QS. Al-Kahfi ayat 109 قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا “Katakanlah, ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (QS. Al-Kahfi: 109) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Ayat ini menjelaskan betapa agung dan luasnya sifat-sifat Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menjangkau atau membatasi keagungan-Nya. Allah berfirman, “Seandainya seluruh lautan di dunia ini menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku…” yakni ilmu, hikmah, rahmat, dan segala sifat-Nya. Bahkan kalau semua pepohonan di bumi dijadikan pena, dan semua samudra dijadikan tinta, lalu ditambah lagi tujuh lautan serupa, semuanya akan habis. Pena akan patah, tinta akan kering, sebelum kalimat-kalimat Allah habis ditulis. Hal ini ditegaskan juga dalam ayat lain: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan sekiranya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Luqmān: 27) Semua ini adalah perumpamaan untuk mendekatkan makna kepada akal manusia. Sebab, laut, pohon, dan segala makhluk itu terbatas dan akan habis. Adapun kalimat-kalimat Allah adalah bagian dari sifat-Nya. Sifat-sifat Allah tidak diciptakan, tidak ada batas, dan tidak ada akhirnya. Apa pun gambaran tentang keluasan dan kebesaran Allah yang bisa terlintas di hati manusia, Allah lebih agung dari itu. Begitu pula sifat Allah lainnya—ilmu-Nya, hikmah-Nya, kuasa-Nya, dan rahmat-Nya. Seandainya seluruh ilmu makhluk, dari yang awal hingga yang akhir, baik penghuni langit maupun penghuni bumi, digabungkan, nilainya tidak lebih dari setetes air yang diambil seekor burung dari lautan luas. Perbandingan ini hanya untuk menunjukkan betapa ilmu Allah begitu sempurna, tak terbatas, dan tak tertandingi. Pada akhirnya, semua urusan kembali kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya di ayat lain: وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS. An-Najm: 42).   QS. Al-Kahfi ayat 110 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (QS. Al-Kahfi: 110) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berkata kepada manusia, baik orang kafir maupun yang lainnya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian.” Maksudnya, Nabi bukanlah Tuhan, tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, tidak tahu perkara gaib, dan tidak memiliki khazanah kekayaan Allah. Beliau hanyalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Keistimewaan beliau adalah Allah memberi wahyu, dan inti dari wahyu itu adalah penegasan bahwa sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, tidak ada satu pun makhluk yang berhak mendapatkan ibadah meskipun hanya sebesar biji sawi. Setelah itu, Allah mengarahkan manusia kepada jalan keselamatan: “Barang siapa berharap bertemu dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal saleh.” Amal saleh adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Namun amal saleh saja belum cukup. Ia harus dibarengi dengan keikhlasan: “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Artinya, jangan sampai amalnya dirusak dengan riya’ atau pamrih selain Allah. Maka, orang yang menggabungkan dua syarat ini—amal yang benar sesuai syariat dan ikhlas hanya karena Allah—dialah yang akan meraih apa yang ia harapkan: bertemu Allah dengan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak ikhlas atau tidak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, ia akan merugi di dunia dan di akhirat. Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah: Diriwayatkan oleh ath-Thabarani melalui jalur Hisyām bin ‘Ammār, dari Ismā‘īl bin ‘Ayyāsy, dari ‘Amr bin Qais al-Kūfī, bahwa ia mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān berkata: “Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan.” Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kalian.” Maknanya, wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mendustakan risalahmu: Aku hanyalah manusia seperti kalian. Maka siapa pun yang menganggapku berdusta, hendaklah ia mendatangkan sesuatu yang serupa dengan apa yang aku bawa. Aku tidak mengetahui perkara gaib yang aku kabarkan kepada kalian tentang kisah masa lalu—seperti yang kalian tanyakan mengenai kisah Ashḥābul Kahf dan Dzul Qarnain—kecuali karena Allah-lah yang memberitahukannya kepadaku. Selanjutnya Allah berfirman: إِنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Yakni, Tuhan yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah melanjutkan: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya…” Maksudnya: siapa yang mengharap pahala dan balasan baik dari Tuhannya, فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا “Hendaklah ia mengerjakan amal saleh.” Yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah, وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Yakni, hendaklah ia memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata, tanpa sekutu. Kedua hal ini—ikhlas karena Allah dan amal yang benar sesuai syariat Rasulullah ﷺ—merupakan dua pilar utama diterimanya amal. Amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat ini: dilakukan dengan niat yang tulus hanya karena Allah, dan dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Ibn Abī Ḥātim meriwayatkan dari jalur Ma‘mar, dari ‘Abdul Karīm al-Jazrī, dari Ṭāwūs, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku berdiri di suatu tempat (untuk beribadah) dengan tujuan mencari wajah Allah, tetapi aku juga ingin agar orang-orang melihat di mana aku berada (yakni, agar dikenal keberadaanku).” Mendengar itu, Rasulullah ﷺ tidak menjawab sedikit pun sampai turun ayat ini: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110) Demikian pula riwayat ini dikemukakan secara mursal oleh Mujāhid dan sejumlah ulama lainnya. Al-A‘mash berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥamzah Abū ‘Ammārah, maula (bekas budak) Bani Hāsyim, dari Syahr bin Ḥawsyab. Ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit lalu berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang ingin aku tanyakan. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang shalat karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berpuasa karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang bersedekah karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berhaji karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji?” Maka ‘Ubādah menjawab, “Tidak ada sedikit pun (pahala) untuknya. Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: أَنَا خَيْرُ شَرِيكٍ، فَمَنْ كَانَ لَهُ مَعِي شَرِيكٌ فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ، لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka barang siapa mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka seluruh (amalnya) itu untuk sekutunya itu; Aku sama sekali tidak membutuhkannya.’” Imām Aḥmad meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin ‘Abdillāh bin az-Zubair, telah menceritakan kepada kami Katsīr bin Zaid, dari Rabīḥ bin ‘Abdurraḥmān bin Abī Sa‘īd al-Khudrī, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Kami biasa bergantian berjaga di rumah Rasulullah ﷺ. Kami bermalam di sana jika beliau memiliki kebutuhan atau bila terjadi sesuatu pada malam hari, maka beliau akan memanggil salah satu dari kami. Ketika jumlah orang yang berjaga semakin banyak, kami pun berbincang di antara kami. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui kami seraya bersabda: ‘Apa pembicaraan bisik-bisik (najwā) ini? Bukankah aku telah melarang kalian dari berbisik-bisik?’ Kami pun berkata, ‘Kami bertobat kepada Allah, wahai Nabi Allah. Sebenarnya kami sedang membicarakan tentang al-Masīḥ (Dajjal), dan kami merasa takut terhadapnya.’ Maka beliau bersabda: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ؟ ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada al-Masih (Dajjal)?’ Kami menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي لِمَكَانِ الرَّجُلِ ‘Itulah syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri shalat karena ingin dilihat oleh orang lain.’”   Demikianlah akhir tafsir surah Al-Kahfi. Segala puji hanya milik Allah.   Baca Juga: Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal 24 Kandungan Penting dari Surah Al-Kahfi   ______   Gunungkidul, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 9 Oktober 2025, Kamis Sore Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi surah al-kahfi surat al kahfi tafsir al-kahfi
Surah Al-Kahfi dikenal memiliki banyak pelajaran mendalam, termasuk pada sepuluh ayat penutupnya yang sarat peringatan dan janji. Allah menegur orang-orang yang menyekutukan-Nya dan mengingatkan keterbatasan makhluk sebagai pelindung selain Dia. Di sisi lain, ayat-ayat ini juga menyampaikan kabar gembira bagi hamba yang ikhlas dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Melalui tafsir ayat 102–110 ini, kita diajak untuk menata iman, amal, dan tujuan hidup. Inilah pesan abadi dari penutup Surah Al-Kahfi yang perlu direnungkan setiap jiwa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Ayat 2. QS. Al-Kahfi ayat 103 2.1. Penjelasan Ayat 3. QS. Al-Kahfi ayat 104 3.1. Penjelasan Ayat 4. QS. Al-Kahfi ayat 105 4.1. Penjelasan Ayat 5. QS. Al-Kahfi ayat 106 6. QS. Al-Kahfi ayat 107-108 7. QS. Al-Kahfi ayat 109 8. QS. Al-Kahfi ayat 110   QS. Al-Kahfi ayat 102 أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا “Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Allah menegur orang-orang kafir dengan gaya bertanya yang menyiratkan kecaman dan penolakan keras terhadap anggapan mereka yang secara akal sehat jelas batil. Firman-Nya: ﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ﴾ “Maka apakah orang-orang kafir mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?” (QS. Al-Kahfi: 102) Maknanya: tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin seorang wali Allah berpihak kepada musuh-musuh Allah. Sebab, para wali Allah selalu sejalan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, dan mereka pun membenci apa yang Allah murkai. Dalam hal ini, ayat tersebut memiliki makna yang serupa dengan firman Allah: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَٰؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ۝ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمْۖ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ﴾ “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.'” (QS. Saba’: 40–41) Dengan demikian, siapa pun yang mengaku menjadikan wali Allah sebagai sekutunya, padahal dirinya memusuhi Allah, maka ia pendusta. Namun bisa juga dimaknai—dan ini yang lebih tampak—bahwa maksud ayat di atas adalah: Apakah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan para rasul-Nya mengira bahwa mereka bisa menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan penyelamat? Apakah mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mampu memberi manfaat, menolak bahaya, atau menyelamatkan mereka dari azab? Itu adalah prasangka yang batil dan harapan yang sia-sia. Seluruh makhluk—tanpa terkecuali—tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain: ﴿قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah!’ Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan kesusahan darimu dan tidak (pula) memindahkannya.” (QS. Al-Isra’: 56) ﴿وَلَا يَمْلِكُ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ﴾ “Dan mereka yang menyeru (sembahan-sembahan) selain Allah itu tidak mempunyai kuasa memberi syafaat.” (QS. Az-Zukhruf: 86) Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengambil wali selain Allah sebagai penolong dan pelindung, maka ia berada dalam kesesatan. Harapannya hampa, dan usahanya sia-sia—ia tidak akan memperoleh apa pun dari yang ia cari. Sebagai penutup peringatan, Allah berfirman: ﴿إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا﴾ “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Dalam bahasa Arab, kata nuzul berarti jamuan atau sajian bagi tamu. Maka, neraka Jahanam disebut sebagai “jamuan” bagi mereka yang kufur kepada Allah. Alangkah buruknya jamuan itu! Sungguh celaka orang yang menyambut “pembukaan” seperti itu di akhirat—tidak berupa kenikmatan, tapi azab yang pedih.   QS. Al-Kahfi ayat 103 قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi: 103) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Artinya: Katakanlah, wahai Muhammad, kepada manusia—dengan nada peringatan dan peringatan keras—“Maukah kalian aku beritahu siapa orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini dalam kitab tafsirnya: Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: Muhammad bin Basyar berkata kepada kami, Muhammad bin Ja‘far meriwayatkan dari Syu‘bah, dari ‘Amr, dari Mush‘ab yang berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku—yakni Sa‘d bin Abi Waqqash—tentang firman Allah: ﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'” (QS. Al-Kahfi: 103) Apakah mereka itu kaum Haruriyyah (yakni golongan Khawarij)? Sa‘d menjawab: “Bukan. Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang Nasrani mengingkari surga, dan berkata bahwa di dalamnya tidak ada makanan dan minuman.” Adapun kaum Haruriyyah—yakni Khawarij—mereka adalah kelompok yang mengingkari perjanjian Allah setelah adanya ikatan dan janji. Karena itulah, Sa‘d radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai “orang-orang fasik.” Sementara Ali bin Abi Thalib, Adh-Dhahhak, dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang paling merugi amalnya” adalah kaum Haruriyyah. Namun, maksud dari perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah membatasi ayat hanya untuk Khawarij saja, begitu juga tidak membatasinya hanya untuk Yahudi dan Nasrani. Ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak turun secara khusus hanya kepada satu kelompok tertentu. Ayat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum dialog langsung dengan Yahudi dan Nasrani terjadi, dan sebelum munculnya kelompok Khawarij itu sendiri. Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan perkataannya: وَإِنَّمَا هِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَلَىٰ غَيْرِ طَرِيقَةٍ مَرْضِيَّةٍ يَحْسَبُ أَنَّهُ مُصِيبٌ فِيهَا، وَأَنَّ عَمَلَهُ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مُخْطِئٌ، وَعَمَلُهُ مَرْدُودٌ. Makna ayat ini bersifat umum, mencakup siapa pun yang menyembah Allah di atas dasar yang tidak diridhai-Nya. Mereka menyangka telah berbuat kebaikan dan amalnya diterima, padahal sejatinya mereka keliru, dan amal mereka tertolak. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ghāsyiyah: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ ۝ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ ۝ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً﴾ “Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. Bekerja keras lagi kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 2–4) Atau dalam firman-Nya: ﴿وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًۭا﴾ “Dan Kami perlihatkan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23) Juga dalam surat An-Nur: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَـٰلُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيعَةٍۢ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءًۭ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا﴾ “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka itu seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang kehausan, tetapi ketika didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 39) Demikian penjelasan Ibnu Katsir. Kesimpulan: Semua pembahasan ini mengandung pesan yang sama: betapa banyak orang yang menyangka amalnya besar dan diterima, padahal semua itu sirna, kosong, dan tidak bernilai di sisi Allah. Bisa karena niatnya rusak, cara pelaksanaannya tidak sesuai petunjuk Rasul, atau akidahnya menyimpang.   QS. Al-Kahfi ayat 104 ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 104) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Segala upaya dan amal yang mereka lakukan di dunia menjadi sia-sia dan lenyap tanpa bekas. Mereka menyangka bahwa yang mereka kerjakan itu adalah kebaikan, padahal bagaimana mungkin dengan amal-amal yang mereka yakini benar saja ternyata batil di sisi Allah, apalagi dengan perbuatan yang jelas-jelas mereka ketahui salah—yang merupakan bentuk permusuhan kepada Allah dan para rasul-Nya? Merekalah orang-orang yang rugi besar, sehingga: فَخَسِرُوا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ “Lalu mereka merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, itulah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15) Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Kemudian Allah menjelaskan mereka, yaitu firman-Nya: ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا Maksudnya: mereka melakukan amal-amal yang batil, tidak sesuai syariat yang sah, tidak diridai, dan tidak diterima oleh Allah. وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا Maksudnya: mereka meyakini bahwa mereka berada di atas kebenaran, dan merasa bahwa amal mereka diterima serta mereka dicintai oleh Allah.   QS. Al-Kahfi ayat 105 أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا “Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimnahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) yang jelas menunjukkan wajibnya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir. “Maka gugurlah seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Sebab fungsi timbangan pada hari Kiamat adalah untuk menimbang amal baik dengan amal buruk, lalu ditentukan mana yang lebih berat. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki amal kebaikan yang sah, karena syarat utamanya adalah iman. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا “Barang siapa beramal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan takut dizalimi dan tidak akan dirugikan.” (QS. Ṭāhā: 112) Amal orang kafir memang tetap dicatat dan dihitung. Mereka akan ditunjukkan amal-amal itu di hadapan khalayak ramai, agar semakin dipermalukan. Setelah itu, mereka pun disiksa karenanya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah di dunia, menolak bukti-bukti yang Allah tegakkan tentang keesaan-Nya, mendustakan kebenaran para rasul-Nya, dan mengingkari adanya negeri akhirat. “Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Artinya, timbangan amal mereka tidak bernilai karena kosong dari kebaikan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ “Sungguh, akan datang seseorang pada hari Kiamat, tubuhnya besar dan gemuk, tetapi di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Bacalah jika kalian mau: { Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat }.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda, يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا “Akan didatangkan seorang lelaki yang gemar makan, banyak minum, dan bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebutir biji saja, namun ia tidak sebanding dengannya.” (HR. Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim) Ada pula kisah dari Buraidah radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, lalu datang seorang lelaki Quraisy berjalan dengan sombong dalam pakaian indahnya. Ketika berdiri di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda: يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Wahai Buraidah, orang ini termasuk dari golongan yang pada hari Kiamat, Allah tidak akan menimbangnya sedikit pun.” (HR. al-Bazzar) Bahkan, Ka‘ab rahimahullāh mengatakan, “Kelak pada hari Kiamat, akan didatangkan seorang lelaki yang tubuhnya tinggi dan besar, namun di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk. Bacalah ayat: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ وَزْنًۭا ‘Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat’.” Kesimpulan menarik yang bisa kita ambil dari penjelasan Ibnu Katsir di atas adalah: 1. Nilai manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh fisik dan penampilan. Meski tubuh besar, gagah, atau penampilan duniawinya megah, jika ia kafir atau sombong, maka di akhirat ia tidak bernilai sama sekali, bahkan tidak seberat sayap nyamuk. 2. Amal tanpa iman tidak punya bobot. Semua amal kebaikan orang kafir akan gugur karena syarat diterimanya amal adalah iman. Tanpa iman, amal hanya jadi catatan untuk mempermalukan mereka di hadapan khalayak, bukan untuk menyelamatkan. 3. Kesombongan meruntuhkan harga diri di sisi Allah. Riwayat tentang lelaki Quraisy yang berjalan dengan congkak menunjukkan bahwa sifat sombong bisa membuat seseorang tidak bernilai di hadapan Allah pada hari Kiamat. 4. Yang bernilai adalah hati dan iman. Bukan gemuk badan, bukan baju indah, bukan status sosial. Yang membuat timbangan amal seseorang berat hanyalah keimanan dan amal saleh yang tulus.   QS. Al-Kahfi ayat 106 ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا “Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi: 106) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberikan balasan kepada mereka dengan neraka Jahanam. Itu adalah hukuman setimpal akibat kekafiran mereka, serta karena mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka tidak hanya sekadar mendustakan, tetapi benar-benar meremehkan dan mempermainkan, bahkan mendustakan dengan sekeras-kerasnya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari firman Allah ini adalah batalnya amal-amal mereka dan tidak ada sedikit pun nilai bagi mereka pada hari kiamat. Hal itu karena kehinaan dan kerendahan mereka akibat kekafiran terhadap ayat-ayat Allah. Mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menjadikan ayat-ayat dan para rasul sebagai bahan ejekan dan olok-olokan. Padahal, kewajiban seorang hamba adalah beriman sepenuhnya terhadap ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya, memuliakan, serta menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun, orang-orang kafir ini justru membalik kenyataan: mereka kufur, meremehkan, dan memperolok. Akibatnya, mereka pun terbalik kondisinya, celaka, dan terjerumus ke dalam azab yang pedih. Setelah menyebutkan kesudahan orang kafir dan amal perbuatan mereka, Allah kemudian menjelaskan tentang keadaan amal orang-orang beriman beserta balasan baik yang menanti mereka.   QS. Al-Kahfi ayat 107-108 إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107) خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا “Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mengabarkan tentang hamba-hamba Allah yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan kebenaran yang dibawa para rasul. Untuk mereka disediakan surga Firdaus. Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa firdaus adalah kebun, dalam bahasa Romawi. Sedangkan menurut Ka‘b, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak, firdaus adalah kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan anggur. Abu Umamah berkata bahwa firdaus adalah pusat surga. Qatadah menafsirkan bahwa firdaus adalah bagian yang tinggi dari surga, letaknya di tengah, dan merupakan yang terbaik. Ada pula riwayat marfu‘ dari Nabi ﷺ melalui jalur Sa‘id bin Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, beliau bersabda: “Al-Firdaus adalah dataran tinggi surga, bagian tengahnya, dan yang paling indah.” Hal ini juga diriwayatkan Isma‘il bin Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah, secara marfu‘. Riwayat serupa juga datang dari Qatadah, dari Anas bin Malik, dengan lafaz yang mirip. Ibnu Jarir rahimahullah pun menukilkannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sabda Nabi ﷺ: إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ. “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus. Sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tinggi, berada di bagian tengah surga, dan darinya memancar sungai-sungai surga.” Adapun firman Allah Ta‘ala: نُزُلًا (nuzulan) maksudnya adalah jamuan atau hidangan istimewa. Sebab kata nuzul berarti suguhan yang dipersiapkan untuk memuliakan tamu. “Mereka kekal di dalamnya. Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud firman Allah ini adalah mereka akan tinggal menetap di dalam surga, tidak akan pernah keluar atau pergi darinya selamanya. Firman Allah: “Lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” artinya mereka sama sekali tidak menginginkan selain surga, tidak mencintai tempat lain, dan tidak berpindah darinya. Ibnu Katsir bahkan menyebutkan syair Arab yang menggambarkan makna ini: “Telah menetap di lubuk hatiku, aku tidak mencari selain dirinya, dan tidak akan berpaling dari cintanya.” Ungkapan “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” juga menjadi penegasan tentang kerinduan dan kecintaan penghuni surga terhadap tempat tinggal mereka. Sebab bisa saja seseorang yang menetap lama di suatu tempat akan merasa jenuh atau bosan. Namun, Allah menegaskan bahwa penghuni surga, meskipun kekal abadi di sana, tidak akan pernah merasa ingin berpindah, tidak akan merasa bosan, tidak akan meminta diganti, dan tidak menginginkan perjalanan ke tempat lain. Mereka benar-benar rida, bahagia, dan betah selamanya di surga. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan: yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dengan hati mereka, lalu beramal saleh dengan anggota tubuh mereka. Sifat ini mencakup seluruh ajaran agama, baik dari sisi akidah maupun amalan, mencakup pokok-pokok maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka mereka yang berada pada berbagai tingkatan iman dan amal saleh, semuanya mendapatkan surga Firdaus. Ada dua kemungkinan maksud dari kata “jannātul-firdaus”: Pertama, Firdaus adalah surga yang paling tinggi, paling tengah, dan paling utama. Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah pahala khusus bagi orang-orang yang sempurna dalam iman dan amal salehnya, yaitu para nabi dan hamba-hamba Allah yang paling dekat. Kedua, yang dimaksud adalah seluruh tingkatan surga. Dengan demikian, pahala ini mencakup semua golongan orang beriman: baik yang paling dekat dengan Allah, golongan yang berbakti, maupun mereka yang berada di tingkatan pertengahan. Pendapat kedua ini lebih kuat karena lebih umum, ditunjukkan pula dengan penyebutan kata “jannāt” (jamak) yang disandarkan kepada “al-firdaus”. Selain itu, kata firdaus dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut kebun yang berisi pohon anggur atau pepohonan yang rimbun, dan makna ini benar adanya untuk seluruh surga. Surga Firdaus ini adalah jamuan dan hidangan istimewa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan betapa agung, besar, dan mulia jamuan itu! Surga tersebut memuat segala bentuk kenikmatan: kenikmatan hati, ruh, dan badan. Di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan menyejukkan pandangan: istana-istana indah, taman-taman hijau, pepohonan yang berbuah, kicauan burung yang merdu, makanan lezat, minuman nikmat, para wanita jelita, para pelayan muda, sungai-sungai yang mengalir, pemandangan menakjubkan, serta keindahan lahir maupun batin. Semuanya kekal tanpa pernah berakhir. Namun, kenikmatan tertinggi di atas semua itu adalah kedekatan dengan Ar-Rahman, mendapatkan rida-Nya—yang merupakan kenikmatan terbesar surga—serta merasakan kelezatan memandang wajah-Nya yang mulia dan mendengar firman-Nya yang penuh kasih sayang. Maka sungguh agung dan indah jamuan Allah itu, sungguh abadi dan sempurna. Kenikmatan ini jauh melampaui kemampuan siapa pun untuk menggambarkannya dengan kata-kata, bahkan tidak akan pernah terlintas dalam hati manusia. Seandainya hamba-hamba Allah benar-benar mengetahui sebagian kecil dari kenikmatan itu dengan pengetahuan yang nyata sampai ke dalam hati mereka, niscaya hati mereka akan terbang penuh kerinduan, jiwa mereka akan hancur karena pedihnya rasa rindu, dan mereka akan bergegas menuju surga itu baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka pasti tidak akan mendahulukan dunia yang fana, penuh kesusahan, dan penuh kepalsuan di atasnya. Mereka pun tidak akan menyia-nyiakan waktu, karena setiap detik yang hilang akan diganti dengan ribuan tahun kenikmatan yang tak terhitung. Namun, sayangnya kelalaian telah meliputi, iman menjadi lemah, ilmu sedikit, dan tekad pun lemah. Maka terjadilah apa yang terjadi. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh al-‘aliyy al-‘azhīm. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan, inilah puncak kenikmatan. Di dalam surga terdapat seluruh kenikmatan yang sempurna. Dan kesempurnaan nikmat itu adalah karena ia tidak pernah terputus dan tidak berakhir. Firman Allah: “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” maksudnya mereka tidak menginginkan perubahan atau berpindah ke tempat lain. Sebab mereka tidak melihat sesuatu selain yang membuat mereka takjub, menggembirakan, menyenangkan, dan membahagiakan hati. Mereka juga tidak menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada apa yang mereka rasakan di surga.   QS. Al-Kahfi ayat 109 قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا “Katakanlah, ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (QS. Al-Kahfi: 109) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Ayat ini menjelaskan betapa agung dan luasnya sifat-sifat Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menjangkau atau membatasi keagungan-Nya. Allah berfirman, “Seandainya seluruh lautan di dunia ini menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku…” yakni ilmu, hikmah, rahmat, dan segala sifat-Nya. Bahkan kalau semua pepohonan di bumi dijadikan pena, dan semua samudra dijadikan tinta, lalu ditambah lagi tujuh lautan serupa, semuanya akan habis. Pena akan patah, tinta akan kering, sebelum kalimat-kalimat Allah habis ditulis. Hal ini ditegaskan juga dalam ayat lain: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan sekiranya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Luqmān: 27) Semua ini adalah perumpamaan untuk mendekatkan makna kepada akal manusia. Sebab, laut, pohon, dan segala makhluk itu terbatas dan akan habis. Adapun kalimat-kalimat Allah adalah bagian dari sifat-Nya. Sifat-sifat Allah tidak diciptakan, tidak ada batas, dan tidak ada akhirnya. Apa pun gambaran tentang keluasan dan kebesaran Allah yang bisa terlintas di hati manusia, Allah lebih agung dari itu. Begitu pula sifat Allah lainnya—ilmu-Nya, hikmah-Nya, kuasa-Nya, dan rahmat-Nya. Seandainya seluruh ilmu makhluk, dari yang awal hingga yang akhir, baik penghuni langit maupun penghuni bumi, digabungkan, nilainya tidak lebih dari setetes air yang diambil seekor burung dari lautan luas. Perbandingan ini hanya untuk menunjukkan betapa ilmu Allah begitu sempurna, tak terbatas, dan tak tertandingi. Pada akhirnya, semua urusan kembali kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya di ayat lain: وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS. An-Najm: 42).   QS. Al-Kahfi ayat 110 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (QS. Al-Kahfi: 110) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berkata kepada manusia, baik orang kafir maupun yang lainnya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian.” Maksudnya, Nabi bukanlah Tuhan, tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, tidak tahu perkara gaib, dan tidak memiliki khazanah kekayaan Allah. Beliau hanyalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Keistimewaan beliau adalah Allah memberi wahyu, dan inti dari wahyu itu adalah penegasan bahwa sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, tidak ada satu pun makhluk yang berhak mendapatkan ibadah meskipun hanya sebesar biji sawi. Setelah itu, Allah mengarahkan manusia kepada jalan keselamatan: “Barang siapa berharap bertemu dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal saleh.” Amal saleh adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Namun amal saleh saja belum cukup. Ia harus dibarengi dengan keikhlasan: “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Artinya, jangan sampai amalnya dirusak dengan riya’ atau pamrih selain Allah. Maka, orang yang menggabungkan dua syarat ini—amal yang benar sesuai syariat dan ikhlas hanya karena Allah—dialah yang akan meraih apa yang ia harapkan: bertemu Allah dengan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak ikhlas atau tidak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, ia akan merugi di dunia dan di akhirat. Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah: Diriwayatkan oleh ath-Thabarani melalui jalur Hisyām bin ‘Ammār, dari Ismā‘īl bin ‘Ayyāsy, dari ‘Amr bin Qais al-Kūfī, bahwa ia mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān berkata: “Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan.” Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kalian.” Maknanya, wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mendustakan risalahmu: Aku hanyalah manusia seperti kalian. Maka siapa pun yang menganggapku berdusta, hendaklah ia mendatangkan sesuatu yang serupa dengan apa yang aku bawa. Aku tidak mengetahui perkara gaib yang aku kabarkan kepada kalian tentang kisah masa lalu—seperti yang kalian tanyakan mengenai kisah Ashḥābul Kahf dan Dzul Qarnain—kecuali karena Allah-lah yang memberitahukannya kepadaku. Selanjutnya Allah berfirman: إِنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Yakni, Tuhan yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah melanjutkan: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya…” Maksudnya: siapa yang mengharap pahala dan balasan baik dari Tuhannya, فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا “Hendaklah ia mengerjakan amal saleh.” Yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah, وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Yakni, hendaklah ia memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata, tanpa sekutu. Kedua hal ini—ikhlas karena Allah dan amal yang benar sesuai syariat Rasulullah ﷺ—merupakan dua pilar utama diterimanya amal. Amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat ini: dilakukan dengan niat yang tulus hanya karena Allah, dan dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Ibn Abī Ḥātim meriwayatkan dari jalur Ma‘mar, dari ‘Abdul Karīm al-Jazrī, dari Ṭāwūs, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku berdiri di suatu tempat (untuk beribadah) dengan tujuan mencari wajah Allah, tetapi aku juga ingin agar orang-orang melihat di mana aku berada (yakni, agar dikenal keberadaanku).” Mendengar itu, Rasulullah ﷺ tidak menjawab sedikit pun sampai turun ayat ini: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110) Demikian pula riwayat ini dikemukakan secara mursal oleh Mujāhid dan sejumlah ulama lainnya. Al-A‘mash berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥamzah Abū ‘Ammārah, maula (bekas budak) Bani Hāsyim, dari Syahr bin Ḥawsyab. Ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit lalu berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang ingin aku tanyakan. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang shalat karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berpuasa karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang bersedekah karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berhaji karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji?” Maka ‘Ubādah menjawab, “Tidak ada sedikit pun (pahala) untuknya. Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: أَنَا خَيْرُ شَرِيكٍ، فَمَنْ كَانَ لَهُ مَعِي شَرِيكٌ فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ، لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka barang siapa mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka seluruh (amalnya) itu untuk sekutunya itu; Aku sama sekali tidak membutuhkannya.’” Imām Aḥmad meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin ‘Abdillāh bin az-Zubair, telah menceritakan kepada kami Katsīr bin Zaid, dari Rabīḥ bin ‘Abdurraḥmān bin Abī Sa‘īd al-Khudrī, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Kami biasa bergantian berjaga di rumah Rasulullah ﷺ. Kami bermalam di sana jika beliau memiliki kebutuhan atau bila terjadi sesuatu pada malam hari, maka beliau akan memanggil salah satu dari kami. Ketika jumlah orang yang berjaga semakin banyak, kami pun berbincang di antara kami. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui kami seraya bersabda: ‘Apa pembicaraan bisik-bisik (najwā) ini? Bukankah aku telah melarang kalian dari berbisik-bisik?’ Kami pun berkata, ‘Kami bertobat kepada Allah, wahai Nabi Allah. Sebenarnya kami sedang membicarakan tentang al-Masīḥ (Dajjal), dan kami merasa takut terhadapnya.’ Maka beliau bersabda: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ؟ ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada al-Masih (Dajjal)?’ Kami menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي لِمَكَانِ الرَّجُلِ ‘Itulah syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri shalat karena ingin dilihat oleh orang lain.’”   Demikianlah akhir tafsir surah Al-Kahfi. Segala puji hanya milik Allah.   Baca Juga: Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal 24 Kandungan Penting dari Surah Al-Kahfi   ______   Gunungkidul, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 9 Oktober 2025, Kamis Sore Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi surah al-kahfi surat al kahfi tafsir al-kahfi


Surah Al-Kahfi dikenal memiliki banyak pelajaran mendalam, termasuk pada sepuluh ayat penutupnya yang sarat peringatan dan janji. Allah menegur orang-orang yang menyekutukan-Nya dan mengingatkan keterbatasan makhluk sebagai pelindung selain Dia. Di sisi lain, ayat-ayat ini juga menyampaikan kabar gembira bagi hamba yang ikhlas dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Melalui tafsir ayat 102–110 ini, kita diajak untuk menata iman, amal, dan tujuan hidup. Inilah pesan abadi dari penutup Surah Al-Kahfi yang perlu direnungkan setiap jiwa.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Ayat 2. QS. Al-Kahfi ayat 103 2.1. Penjelasan Ayat 3. QS. Al-Kahfi ayat 104 3.1. Penjelasan Ayat 4. QS. Al-Kahfi ayat 105 4.1. Penjelasan Ayat 5. QS. Al-Kahfi ayat 106 6. QS. Al-Kahfi ayat 107-108 7. QS. Al-Kahfi ayat 109 8. QS. Al-Kahfi ayat 110   QS. Al-Kahfi ayat 102 أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا “Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Allah menegur orang-orang kafir dengan gaya bertanya yang menyiratkan kecaman dan penolakan keras terhadap anggapan mereka yang secara akal sehat jelas batil. Firman-Nya: ﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ﴾ “Maka apakah orang-orang kafir mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?” (QS. Al-Kahfi: 102) Maknanya: tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin seorang wali Allah berpihak kepada musuh-musuh Allah. Sebab, para wali Allah selalu sejalan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, dan mereka pun membenci apa yang Allah murkai. Dalam hal ini, ayat tersebut memiliki makna yang serupa dengan firman Allah: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَٰؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ۝ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمْۖ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ﴾ “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.'” (QS. Saba’: 40–41) Dengan demikian, siapa pun yang mengaku menjadikan wali Allah sebagai sekutunya, padahal dirinya memusuhi Allah, maka ia pendusta. Namun bisa juga dimaknai—dan ini yang lebih tampak—bahwa maksud ayat di atas adalah: Apakah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan para rasul-Nya mengira bahwa mereka bisa menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan penyelamat? Apakah mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mampu memberi manfaat, menolak bahaya, atau menyelamatkan mereka dari azab? Itu adalah prasangka yang batil dan harapan yang sia-sia. Seluruh makhluk—tanpa terkecuali—tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain: ﴿قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah!’ Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan kesusahan darimu dan tidak (pula) memindahkannya.” (QS. Al-Isra’: 56) ﴿وَلَا يَمْلِكُ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ﴾ “Dan mereka yang menyeru (sembahan-sembahan) selain Allah itu tidak mempunyai kuasa memberi syafaat.” (QS. Az-Zukhruf: 86) Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengambil wali selain Allah sebagai penolong dan pelindung, maka ia berada dalam kesesatan. Harapannya hampa, dan usahanya sia-sia—ia tidak akan memperoleh apa pun dari yang ia cari. Sebagai penutup peringatan, Allah berfirman: ﴿إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا﴾ “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102) Dalam bahasa Arab, kata nuzul berarti jamuan atau sajian bagi tamu. Maka, neraka Jahanam disebut sebagai “jamuan” bagi mereka yang kufur kepada Allah. Alangkah buruknya jamuan itu! Sungguh celaka orang yang menyambut “pembukaan” seperti itu di akhirat—tidak berupa kenikmatan, tapi azab yang pedih.   QS. Al-Kahfi ayat 103 قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi: 103) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Artinya: Katakanlah, wahai Muhammad, kepada manusia—dengan nada peringatan dan peringatan keras—“Maukah kalian aku beritahu siapa orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini dalam kitab tafsirnya: Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: Muhammad bin Basyar berkata kepada kami, Muhammad bin Ja‘far meriwayatkan dari Syu‘bah, dari ‘Amr, dari Mush‘ab yang berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku—yakni Sa‘d bin Abi Waqqash—tentang firman Allah: ﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا﴾ “Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'” (QS. Al-Kahfi: 103) Apakah mereka itu kaum Haruriyyah (yakni golongan Khawarij)? Sa‘d menjawab: “Bukan. Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang Nasrani mengingkari surga, dan berkata bahwa di dalamnya tidak ada makanan dan minuman.” Adapun kaum Haruriyyah—yakni Khawarij—mereka adalah kelompok yang mengingkari perjanjian Allah setelah adanya ikatan dan janji. Karena itulah, Sa‘d radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai “orang-orang fasik.” Sementara Ali bin Abi Thalib, Adh-Dhahhak, dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang paling merugi amalnya” adalah kaum Haruriyyah. Namun, maksud dari perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah membatasi ayat hanya untuk Khawarij saja, begitu juga tidak membatasinya hanya untuk Yahudi dan Nasrani. Ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak turun secara khusus hanya kepada satu kelompok tertentu. Ayat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum dialog langsung dengan Yahudi dan Nasrani terjadi, dan sebelum munculnya kelompok Khawarij itu sendiri. Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan perkataannya: وَإِنَّمَا هِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَلَىٰ غَيْرِ طَرِيقَةٍ مَرْضِيَّةٍ يَحْسَبُ أَنَّهُ مُصِيبٌ فِيهَا، وَأَنَّ عَمَلَهُ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مُخْطِئٌ، وَعَمَلُهُ مَرْدُودٌ. Makna ayat ini bersifat umum, mencakup siapa pun yang menyembah Allah di atas dasar yang tidak diridhai-Nya. Mereka menyangka telah berbuat kebaikan dan amalnya diterima, padahal sejatinya mereka keliru, dan amal mereka tertolak. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ghāsyiyah: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ ۝ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ ۝ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً﴾ “Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. Bekerja keras lagi kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 2–4) Atau dalam firman-Nya: ﴿وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًۭا﴾ “Dan Kami perlihatkan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23) Juga dalam surat An-Nur: ﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَـٰلُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيعَةٍۢ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءًۭ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا﴾ “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka itu seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang kehausan, tetapi ketika didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 39) Demikian penjelasan Ibnu Katsir. Kesimpulan: Semua pembahasan ini mengandung pesan yang sama: betapa banyak orang yang menyangka amalnya besar dan diterima, padahal semua itu sirna, kosong, dan tidak bernilai di sisi Allah. Bisa karena niatnya rusak, cara pelaksanaannya tidak sesuai petunjuk Rasul, atau akidahnya menyimpang.   QS. Al-Kahfi ayat 104 ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 104) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan: Segala upaya dan amal yang mereka lakukan di dunia menjadi sia-sia dan lenyap tanpa bekas. Mereka menyangka bahwa yang mereka kerjakan itu adalah kebaikan, padahal bagaimana mungkin dengan amal-amal yang mereka yakini benar saja ternyata batil di sisi Allah, apalagi dengan perbuatan yang jelas-jelas mereka ketahui salah—yang merupakan bentuk permusuhan kepada Allah dan para rasul-Nya? Merekalah orang-orang yang rugi besar, sehingga: فَخَسِرُوا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ “Lalu mereka merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, itulah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15) Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Kemudian Allah menjelaskan mereka, yaitu firman-Nya: ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا Maksudnya: mereka melakukan amal-amal yang batil, tidak sesuai syariat yang sah, tidak diridai, dan tidak diterima oleh Allah. وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا Maksudnya: mereka meyakini bahwa mereka berada di atas kebenaran, dan merasa bahwa amal mereka diterima serta mereka dicintai oleh Allah.   QS. Al-Kahfi ayat 105 أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا “Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105) Penjelasan Ayat Syaikh As-Sa’di rahimnahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) yang jelas menunjukkan wajibnya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir. “Maka gugurlah seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Sebab fungsi timbangan pada hari Kiamat adalah untuk menimbang amal baik dengan amal buruk, lalu ditentukan mana yang lebih berat. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki amal kebaikan yang sah, karena syarat utamanya adalah iman. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala, وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا “Barang siapa beramal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan takut dizalimi dan tidak akan dirugikan.” (QS. Ṭāhā: 112) Amal orang kafir memang tetap dicatat dan dihitung. Mereka akan ditunjukkan amal-amal itu di hadapan khalayak ramai, agar semakin dipermalukan. Setelah itu, mereka pun disiksa karenanya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah di dunia, menolak bukti-bukti yang Allah tegakkan tentang keesaan-Nya, mendustakan kebenaran para rasul-Nya, dan mengingkari adanya negeri akhirat. “Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.” Artinya, timbangan amal mereka tidak bernilai karena kosong dari kebaikan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ “Sungguh, akan datang seseorang pada hari Kiamat, tubuhnya besar dan gemuk, tetapi di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Bacalah jika kalian mau: { Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat }.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda, يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا “Akan didatangkan seorang lelaki yang gemar makan, banyak minum, dan bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebutir biji saja, namun ia tidak sebanding dengannya.” (HR. Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim) Ada pula kisah dari Buraidah radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, lalu datang seorang lelaki Quraisy berjalan dengan sombong dalam pakaian indahnya. Ketika berdiri di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda: يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Wahai Buraidah, orang ini termasuk dari golongan yang pada hari Kiamat, Allah tidak akan menimbangnya sedikit pun.” (HR. al-Bazzar) Bahkan, Ka‘ab rahimahullāh mengatakan, “Kelak pada hari Kiamat, akan didatangkan seorang lelaki yang tubuhnya tinggi dan besar, namun di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk. Bacalah ayat: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ وَزْنًۭا ‘Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat’.” Kesimpulan menarik yang bisa kita ambil dari penjelasan Ibnu Katsir di atas adalah: 1. Nilai manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh fisik dan penampilan. Meski tubuh besar, gagah, atau penampilan duniawinya megah, jika ia kafir atau sombong, maka di akhirat ia tidak bernilai sama sekali, bahkan tidak seberat sayap nyamuk. 2. Amal tanpa iman tidak punya bobot. Semua amal kebaikan orang kafir akan gugur karena syarat diterimanya amal adalah iman. Tanpa iman, amal hanya jadi catatan untuk mempermalukan mereka di hadapan khalayak, bukan untuk menyelamatkan. 3. Kesombongan meruntuhkan harga diri di sisi Allah. Riwayat tentang lelaki Quraisy yang berjalan dengan congkak menunjukkan bahwa sifat sombong bisa membuat seseorang tidak bernilai di hadapan Allah pada hari Kiamat. 4. Yang bernilai adalah hati dan iman. Bukan gemuk badan, bukan baju indah, bukan status sosial. Yang membuat timbangan amal seseorang berat hanyalah keimanan dan amal saleh yang tulus.   QS. Al-Kahfi ayat 106 ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا “Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi: 106) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberikan balasan kepada mereka dengan neraka Jahanam. Itu adalah hukuman setimpal akibat kekafiran mereka, serta karena mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka tidak hanya sekadar mendustakan, tetapi benar-benar meremehkan dan mempermainkan, bahkan mendustakan dengan sekeras-kerasnya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari firman Allah ini adalah batalnya amal-amal mereka dan tidak ada sedikit pun nilai bagi mereka pada hari kiamat. Hal itu karena kehinaan dan kerendahan mereka akibat kekafiran terhadap ayat-ayat Allah. Mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menjadikan ayat-ayat dan para rasul sebagai bahan ejekan dan olok-olokan. Padahal, kewajiban seorang hamba adalah beriman sepenuhnya terhadap ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya, memuliakan, serta menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun, orang-orang kafir ini justru membalik kenyataan: mereka kufur, meremehkan, dan memperolok. Akibatnya, mereka pun terbalik kondisinya, celaka, dan terjerumus ke dalam azab yang pedih. Setelah menyebutkan kesudahan orang kafir dan amal perbuatan mereka, Allah kemudian menjelaskan tentang keadaan amal orang-orang beriman beserta balasan baik yang menanti mereka.   QS. Al-Kahfi ayat 107-108 إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107) خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا “Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mengabarkan tentang hamba-hamba Allah yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan kebenaran yang dibawa para rasul. Untuk mereka disediakan surga Firdaus. Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa firdaus adalah kebun, dalam bahasa Romawi. Sedangkan menurut Ka‘b, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak, firdaus adalah kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan anggur. Abu Umamah berkata bahwa firdaus adalah pusat surga. Qatadah menafsirkan bahwa firdaus adalah bagian yang tinggi dari surga, letaknya di tengah, dan merupakan yang terbaik. Ada pula riwayat marfu‘ dari Nabi ﷺ melalui jalur Sa‘id bin Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, beliau bersabda: “Al-Firdaus adalah dataran tinggi surga, bagian tengahnya, dan yang paling indah.” Hal ini juga diriwayatkan Isma‘il bin Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah, secara marfu‘. Riwayat serupa juga datang dari Qatadah, dari Anas bin Malik, dengan lafaz yang mirip. Ibnu Jarir rahimahullah pun menukilkannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sabda Nabi ﷺ: إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ. “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus. Sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tinggi, berada di bagian tengah surga, dan darinya memancar sungai-sungai surga.” Adapun firman Allah Ta‘ala: نُزُلًا (nuzulan) maksudnya adalah jamuan atau hidangan istimewa. Sebab kata nuzul berarti suguhan yang dipersiapkan untuk memuliakan tamu. “Mereka kekal di dalamnya. Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (QS. Al-Kahfi: 108) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud firman Allah ini adalah mereka akan tinggal menetap di dalam surga, tidak akan pernah keluar atau pergi darinya selamanya. Firman Allah: “Lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” artinya mereka sama sekali tidak menginginkan selain surga, tidak mencintai tempat lain, dan tidak berpindah darinya. Ibnu Katsir bahkan menyebutkan syair Arab yang menggambarkan makna ini: “Telah menetap di lubuk hatiku, aku tidak mencari selain dirinya, dan tidak akan berpaling dari cintanya.” Ungkapan “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” juga menjadi penegasan tentang kerinduan dan kecintaan penghuni surga terhadap tempat tinggal mereka. Sebab bisa saja seseorang yang menetap lama di suatu tempat akan merasa jenuh atau bosan. Namun, Allah menegaskan bahwa penghuni surga, meskipun kekal abadi di sana, tidak akan pernah merasa ingin berpindah, tidak akan merasa bosan, tidak akan meminta diganti, dan tidak menginginkan perjalanan ke tempat lain. Mereka benar-benar rida, bahagia, dan betah selamanya di surga. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan: yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dengan hati mereka, lalu beramal saleh dengan anggota tubuh mereka. Sifat ini mencakup seluruh ajaran agama, baik dari sisi akidah maupun amalan, mencakup pokok-pokok maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka mereka yang berada pada berbagai tingkatan iman dan amal saleh, semuanya mendapatkan surga Firdaus. Ada dua kemungkinan maksud dari kata “jannātul-firdaus”: Pertama, Firdaus adalah surga yang paling tinggi, paling tengah, dan paling utama. Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah pahala khusus bagi orang-orang yang sempurna dalam iman dan amal salehnya, yaitu para nabi dan hamba-hamba Allah yang paling dekat. Kedua, yang dimaksud adalah seluruh tingkatan surga. Dengan demikian, pahala ini mencakup semua golongan orang beriman: baik yang paling dekat dengan Allah, golongan yang berbakti, maupun mereka yang berada di tingkatan pertengahan. Pendapat kedua ini lebih kuat karena lebih umum, ditunjukkan pula dengan penyebutan kata “jannāt” (jamak) yang disandarkan kepada “al-firdaus”. Selain itu, kata firdaus dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut kebun yang berisi pohon anggur atau pepohonan yang rimbun, dan makna ini benar adanya untuk seluruh surga. Surga Firdaus ini adalah jamuan dan hidangan istimewa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan betapa agung, besar, dan mulia jamuan itu! Surga tersebut memuat segala bentuk kenikmatan: kenikmatan hati, ruh, dan badan. Di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan menyejukkan pandangan: istana-istana indah, taman-taman hijau, pepohonan yang berbuah, kicauan burung yang merdu, makanan lezat, minuman nikmat, para wanita jelita, para pelayan muda, sungai-sungai yang mengalir, pemandangan menakjubkan, serta keindahan lahir maupun batin. Semuanya kekal tanpa pernah berakhir. Namun, kenikmatan tertinggi di atas semua itu adalah kedekatan dengan Ar-Rahman, mendapatkan rida-Nya—yang merupakan kenikmatan terbesar surga—serta merasakan kelezatan memandang wajah-Nya yang mulia dan mendengar firman-Nya yang penuh kasih sayang. Maka sungguh agung dan indah jamuan Allah itu, sungguh abadi dan sempurna. Kenikmatan ini jauh melampaui kemampuan siapa pun untuk menggambarkannya dengan kata-kata, bahkan tidak akan pernah terlintas dalam hati manusia. Seandainya hamba-hamba Allah benar-benar mengetahui sebagian kecil dari kenikmatan itu dengan pengetahuan yang nyata sampai ke dalam hati mereka, niscaya hati mereka akan terbang penuh kerinduan, jiwa mereka akan hancur karena pedihnya rasa rindu, dan mereka akan bergegas menuju surga itu baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka pasti tidak akan mendahulukan dunia yang fana, penuh kesusahan, dan penuh kepalsuan di atasnya. Mereka pun tidak akan menyia-nyiakan waktu, karena setiap detik yang hilang akan diganti dengan ribuan tahun kenikmatan yang tak terhitung. Namun, sayangnya kelalaian telah meliputi, iman menjadi lemah, ilmu sedikit, dan tekad pun lemah. Maka terjadilah apa yang terjadi. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh al-‘aliyy al-‘azhīm. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan, inilah puncak kenikmatan. Di dalam surga terdapat seluruh kenikmatan yang sempurna. Dan kesempurnaan nikmat itu adalah karena ia tidak pernah terputus dan tidak berakhir. Firman Allah: “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” maksudnya mereka tidak menginginkan perubahan atau berpindah ke tempat lain. Sebab mereka tidak melihat sesuatu selain yang membuat mereka takjub, menggembirakan, menyenangkan, dan membahagiakan hati. Mereka juga tidak menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada apa yang mereka rasakan di surga.   QS. Al-Kahfi ayat 109 قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا “Katakanlah, ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (QS. Al-Kahfi: 109) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Ayat ini menjelaskan betapa agung dan luasnya sifat-sifat Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menjangkau atau membatasi keagungan-Nya. Allah berfirman, “Seandainya seluruh lautan di dunia ini menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku…” yakni ilmu, hikmah, rahmat, dan segala sifat-Nya. Bahkan kalau semua pepohonan di bumi dijadikan pena, dan semua samudra dijadikan tinta, lalu ditambah lagi tujuh lautan serupa, semuanya akan habis. Pena akan patah, tinta akan kering, sebelum kalimat-kalimat Allah habis ditulis. Hal ini ditegaskan juga dalam ayat lain: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan sekiranya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Luqmān: 27) Semua ini adalah perumpamaan untuk mendekatkan makna kepada akal manusia. Sebab, laut, pohon, dan segala makhluk itu terbatas dan akan habis. Adapun kalimat-kalimat Allah adalah bagian dari sifat-Nya. Sifat-sifat Allah tidak diciptakan, tidak ada batas, dan tidak ada akhirnya. Apa pun gambaran tentang keluasan dan kebesaran Allah yang bisa terlintas di hati manusia, Allah lebih agung dari itu. Begitu pula sifat Allah lainnya—ilmu-Nya, hikmah-Nya, kuasa-Nya, dan rahmat-Nya. Seandainya seluruh ilmu makhluk, dari yang awal hingga yang akhir, baik penghuni langit maupun penghuni bumi, digabungkan, nilainya tidak lebih dari setetes air yang diambil seekor burung dari lautan luas. Perbandingan ini hanya untuk menunjukkan betapa ilmu Allah begitu sempurna, tak terbatas, dan tak tertandingi. Pada akhirnya, semua urusan kembali kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya di ayat lain: وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS. An-Najm: 42).   QS. Al-Kahfi ayat 110 قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (QS. Al-Kahfi: 110) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berkata kepada manusia, baik orang kafir maupun yang lainnya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian.” Maksudnya, Nabi bukanlah Tuhan, tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, tidak tahu perkara gaib, dan tidak memiliki khazanah kekayaan Allah. Beliau hanyalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Keistimewaan beliau adalah Allah memberi wahyu, dan inti dari wahyu itu adalah penegasan bahwa sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, tidak ada satu pun makhluk yang berhak mendapatkan ibadah meskipun hanya sebesar biji sawi. Setelah itu, Allah mengarahkan manusia kepada jalan keselamatan: “Barang siapa berharap bertemu dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal saleh.” Amal saleh adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Namun amal saleh saja belum cukup. Ia harus dibarengi dengan keikhlasan: “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Artinya, jangan sampai amalnya dirusak dengan riya’ atau pamrih selain Allah. Maka, orang yang menggabungkan dua syarat ini—amal yang benar sesuai syariat dan ikhlas hanya karena Allah—dialah yang akan meraih apa yang ia harapkan: bertemu Allah dengan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak ikhlas atau tidak sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, ia akan merugi di dunia dan di akhirat. Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah: Diriwayatkan oleh ath-Thabarani melalui jalur Hisyām bin ‘Ammār, dari Ismā‘īl bin ‘Ayyāsy, dari ‘Amr bin Qais al-Kūfī, bahwa ia mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān berkata: “Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan.” Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kalian.” Maknanya, wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mendustakan risalahmu: Aku hanyalah manusia seperti kalian. Maka siapa pun yang menganggapku berdusta, hendaklah ia mendatangkan sesuatu yang serupa dengan apa yang aku bawa. Aku tidak mengetahui perkara gaib yang aku kabarkan kepada kalian tentang kisah masa lalu—seperti yang kalian tanyakan mengenai kisah Ashḥābul Kahf dan Dzul Qarnain—kecuali karena Allah-lah yang memberitahukannya kepadaku. Selanjutnya Allah berfirman: إِنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Yakni, Tuhan yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya hanyalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah melanjutkan: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya…” Maksudnya: siapa yang mengharap pahala dan balasan baik dari Tuhannya, فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا “Hendaklah ia mengerjakan amal saleh.” Yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah, وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Yakni, hendaklah ia memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata, tanpa sekutu. Kedua hal ini—ikhlas karena Allah dan amal yang benar sesuai syariat Rasulullah ﷺ—merupakan dua pilar utama diterimanya amal. Amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat ini: dilakukan dengan niat yang tulus hanya karena Allah, dan dilaksanakan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Ibn Abī Ḥātim meriwayatkan dari jalur Ma‘mar, dari ‘Abdul Karīm al-Jazrī, dari Ṭāwūs, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku berdiri di suatu tempat (untuk beribadah) dengan tujuan mencari wajah Allah, tetapi aku juga ingin agar orang-orang melihat di mana aku berada (yakni, agar dikenal keberadaanku).” Mendengar itu, Rasulullah ﷺ tidak menjawab sedikit pun sampai turun ayat ini: فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110) Demikian pula riwayat ini dikemukakan secara mursal oleh Mujāhid dan sejumlah ulama lainnya. Al-A‘mash berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥamzah Abū ‘Ammārah, maula (bekas budak) Bani Hāsyim, dari Syahr bin Ḥawsyab. Ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit lalu berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang ingin aku tanyakan. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang shalat karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berpuasa karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang bersedekah karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji; yang berhaji karena mencari wajah Allah, namun ia juga senang dipuji?” Maka ‘Ubādah menjawab, “Tidak ada sedikit pun (pahala) untuknya. Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: أَنَا خَيْرُ شَرِيكٍ، فَمَنْ كَانَ لَهُ مَعِي شَرِيكٌ فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ، لَا حَاجَةَ لِي فِيهِ ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka barang siapa mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka seluruh (amalnya) itu untuk sekutunya itu; Aku sama sekali tidak membutuhkannya.’” Imām Aḥmad meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin ‘Abdillāh bin az-Zubair, telah menceritakan kepada kami Katsīr bin Zaid, dari Rabīḥ bin ‘Abdurraḥmān bin Abī Sa‘īd al-Khudrī, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Kami biasa bergantian berjaga di rumah Rasulullah ﷺ. Kami bermalam di sana jika beliau memiliki kebutuhan atau bila terjadi sesuatu pada malam hari, maka beliau akan memanggil salah satu dari kami. Ketika jumlah orang yang berjaga semakin banyak, kami pun berbincang di antara kami. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui kami seraya bersabda: ‘Apa pembicaraan bisik-bisik (najwā) ini? Bukankah aku telah melarang kalian dari berbisik-bisik?’ Kami pun berkata, ‘Kami bertobat kepada Allah, wahai Nabi Allah. Sebenarnya kami sedang membicarakan tentang al-Masīḥ (Dajjal), dan kami merasa takut terhadapnya.’ Maka beliau bersabda: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ؟ ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada al-Masih (Dajjal)?’ Kami menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau pun bersabda: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي لِمَكَانِ الرَّجُلِ ‘Itulah syirik yang tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri shalat karena ingin dilihat oleh orang lain.’”   Demikianlah akhir tafsir surah Al-Kahfi. Segala puji hanya milik Allah.   Baca Juga: Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal 24 Kandungan Penting dari Surah Al-Kahfi   ______   Gunungkidul, 17 Rabiul Akhir 1447 H, 9 Oktober 2025, Kamis Sore Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagshadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi surah al-kahfi surat al kahfi tafsir al-kahfi

Biografi Imam Ad-Darimi

Daftar Isi ToggleNama, kunyah, dan nisbah-nyaKelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauAkidahMazhabPujian para ulama kepada beliauWafatNama, kunyah, dan nisbah-nyaBeliau adalah Imam, Syekhul Islam, salah satu dari imam besar, al-Hafizh al-Hujjah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin ‘Abdush-Shamad ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqandi. [1]Kunyah-nya, Abu Muhammad. Kunyah ini disebutkan oleh Ibnu Hibban [2] dan begitu pula oleh adz-Dzahabi. [3]Nisbah-nya, Ad-Darimi, dengan huruf dāl berharakat fathah, huruf alif sukun, huruf ra’ kasrah, lalu mim. Nisbah ini merujuk kepada Dārim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. [4] At-Tamimi, merujuk pada Bani Tamim, yaitu kabilah Arab yang besar. Sedangkan As-Samarqandi merujuk pada kota Samarkand, yang sekarang terletak di wilayah Uzbekistan.KelahiranAl-Imam ad-Darimi dilahirkan pada tahun 181 Hijriah. Hal ini berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh al-Khatib al-Baghdadi, beliau berkata,سمعت أبا محمد عبد الله بن عبد الرحمن يقول ولدت في سنة مات بن المبارك سنة إحدى وثمانين ومائة“Aku mendengar Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman berkata, ‘Aku dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu tahun 181 Hijriah.’” [5]Perjalanan menuntut ilmuKecintaan terhadap ilmu telah tertanam dalam diri Imam ad-Darimi sejak kecil. Pada masa mudanya, beliau melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan wilayah demi mencari ilmu dan meriwayatkan hadis. Beliau melakukan rihlah ke Mesir, Syam, Irak, dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah), Balkh, dan Bukhara. Karena kesungguhan dan keluasannya dalam perjalanan mencari hadis, al-Khatib al-Baghdadi memasukkannya dalam jajaran ulama perawi hadis yang melakukan banyak perjalanan, dan menyifatinya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat, ketelitian, amanah, kejujuran, wara‘, dan zuhud. [6]Dr. Muhammad ‘Uwaidhah berkata, “Imam ad-Darimi memulai perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai sejak usia yang sangat muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mengamati tahun wafat para guru beliau. Banyak di antara mereka wafat pada awal abad ke-3 Hijriah, yang menunjukkan bahwa ad-Darimi mendengar hadis dari mereka beberapa tahun sebelum tahun wafat para gurunya.”Di antara guru-gurunya yang wafat di awal abad ke-3 H adalah:Yahya bin Bisyr al-Bukhari, wafat tahun 202 H.An-Nadr bin Syumail, wafat tahun 203 H di Kufah.Muhammad bin Bakr al-Barasani al-Kufi.Al-‘Ala’ bin ‘Ashim al-Ju‘fi al-Kufi, wafat tahun 205 H.‘Abdul Kabir bin ‘Abdul Majid al-Basri, wafat tahun 204 H.Wahb bin Jarir al-Basri, wafat tahun 206 H.Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid ad-Dimasyqi, wafat tahun 207 H.Marwan bin Muhammad al-Asadi ad-Dimasyqi, wafat tahun 210 H; dan lainnya. [7]Guru-guru beliauImam ad-Darimi termasuk salah satu ulama yang meriwayatkan hadis dari banyak guru. Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah [8]:Ibrahim bin al-Mundzir al-HizamiAhmad bin al-Hajjaj al-MarwaziHajjaj bin MinhalHibban bin HilalSa‘id bin ‘Amir adh-Dhubai‘iMuhammad bin Yusuf al-QasimYahya bin Hassan at-TanisiYahya bin Yahya an-NaisaburiYazid bin HarunYusuf bin Ya‘qub ash-ShaffarMurid-murid beliauSebagaimana Imam ad-Darimi memiliki banyak guru, beliau juga memiliki banyak murid dan perawi yang meriwayatkan hadis darinya. Di antara mereka adalah [9]:Imam Muslim dalam Shahih-nya.Imam an-Nasa’i, namun bukan melalui as-Sunan-nya.Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya.Baqi bin Makhlad.‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih as-Samarqandi.Abu Zur‘ah ‘Ubaid bin ‘Abd al-Karim ar-Razi.Makki bin Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi.‘Isa bin ‘Umar as-Samarqandi, perawi kitab Musnad dari Imam ad-Darimi.Karya-karya beliauPara ulama menyebutkan bahwa Imam ad-Darimi rahimahullah telah menulis beberapa kitab penting, di antaranya:Kitab TafsirKitab al-Jāmi‘Kitab MusnadAl-Khatib al-Baghdadi berkata,وقد صنف المسند والتفسير والجامع“Ia telah menyusun kitab Musnad, Tafsir, dan al-Jāmi‘.” [10]Selain itu, terdapat pula riwayat-riwayat tsulatsiyāt ad-Darimi, yaitu hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan sanad tinggi, yang antara beliau dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Ini dianggap sebagai sanad tertinggi dari Imam ad-Darimi dalam kitabnya.AkidahAkidah Imam ad-Darimi adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Beliau membuat satu bab khusus tentang keutamaan al-Qur’an, di mana beliau mencantumkan sejumlah hadis dan atsar yang dijadikan dalil oleh Ahlus Sunnah bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam al-Lalika’i dalam kitab Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, di mana beliau mencatat bahwa Imam ad-Darimi termasuk di antara ulama yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (bukan makhluk). [11]MazhabImam ad-Darimi rahimahullah bukanlah seorang muqallid (pengikut taklid buta) dari salah satu mazhab tertentu, melainkan seorang mujtahid (ulama yang mampu berijtihad sendiri). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,كان من أوعية العلم يجتهد ولا يقلد“Ia termasuk gudang ilmu; berijtihad dan tidak taklid kepada siapa pun.” [12]Karena itulah, Ad-Darimi memiliki pendapat-pendapat fikih tersendiri yang menunjukkan keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya dalam fikih. Hal ini juga terlihat dari kitabnya, yang memuat banyak bab dalam berbagai persoalan fikih.Pujian para ulama kepada beliauAdz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,كان عالم سمرقند“Dia adalah ‘alim (ulama besar) kota Samarkand.” [13]Nu‘aim bin Na‘im meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair berkata,غلبنا عبد الله بن عبد الرحمن الدارمي بالحفظ والروع“Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi mengungguli kami dalam hal hafalan dan wibawa.”Ishaq bin Ahmad az-Zairak meriwayatkan dari Abu Hatim ar-Razi, ia berkata,محمد بن إسماعيل أعلم من دخل العراق ومحمد بن يحيى أعلم من بخراسان اليوم ومحمد بن أسلم أورعهم وعبد الله بن عبد الرحمن أثبتهم“Muhammad bin Isma‘il (al-Bukhari) adalah orang paling berilmu yang masuk ke Irak. Muhammad bin Yahya adalah orang paling berilmu di Khurasan hari ini. Muhammad bin Aslam adalah orang paling wara‘ di antara mereka. Dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (ad-Darimi) adalah yang paling kuat hafalannya.” [14]Muhammad bin Ibrahim bin Manshur asy-Syirazi berkata, “Ia adalah sosok yang sangat bijak, taat beragama, dan menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdasan, hafalan, ibadah, dan kezuhudan. Ia menampakkan ilmu hadis dan atsar di Samarkand dan membela kebenaran dari kebohongan. Ia adalah seorang mufassir (ahli tafsir) yang sempurna dan faqih yang ‘alim.” [15]WafatImam ad-Darimi rahimahullah wafat pada tahun 255 Hijriah. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan,سمعت محمد بن احمد بن ماهان البلخي الحافظ يقول مات عبد الله بن عبد الرحمن السمر قندي يوم عرفة وذلك يوم الخميس ودفن يوم الجمعة سنة خمس وخمسين ومائتين“Aku mendengar Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi al-Hafizh berkata, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman as-Samarqandi wafat pada hari Arafah, yang bertepatan dengan hari Kamis, dan dimakamkan pada hari Jumat, tahun 255 Hijriah.’” [16]Ibnu Hibban rahimahullah berkata,مات يوم التروية بعد العصر ودفن يوم عرفة سنة خمس وخمسين ومائتين وذالك يوم الجمعة وصلى عليه أحمد بن يحيى بن أسد بن سليمان“Beliau wafat pada hari Tarwiyah (8 Zulhijah) setelah Ashar, dan dimakamkan pada hari Arafah (9 Zulhijah) tahun 255 H, yang bertepatan dengan hari Jumat. Salat jenazahnya diimami oleh Ahmad bin Yahya bin Asad bin Sulaiman.” [17]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-Andalusi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[2] Ats-Tsiqat, 8: 364.[3] Al-Kasyif, 1: 567.[4] Al-Lubab fii Tahdzib Al-Asbab, 1: 484.[5] Tarikh Baghdad, 10: 30; melalui Maktabah Syamilah.[6] Ibid, 10: 29.[7] Tarikh Al-Hadits wa Manahij Al-Muhadditsin, hal. 247; dengan diringkas oleh penulis.[8] Tahdzib Al-Kamal, 5: 285, 12: 252.[9] Ibid.[10] Tadzkiratu Al-Huffazh, 2: 535.[11] Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, 2: 311.[12] Taarikh Al-Islam, 18: 179.[13] Al-Kaasyif, 1: 567.[14] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[15] Ibid.[16] Taarikh Baghdad, 10: 31.[17] Ats-Tsiqat, 8: 364.

Biografi Imam Ad-Darimi

Daftar Isi ToggleNama, kunyah, dan nisbah-nyaKelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauAkidahMazhabPujian para ulama kepada beliauWafatNama, kunyah, dan nisbah-nyaBeliau adalah Imam, Syekhul Islam, salah satu dari imam besar, al-Hafizh al-Hujjah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin ‘Abdush-Shamad ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqandi. [1]Kunyah-nya, Abu Muhammad. Kunyah ini disebutkan oleh Ibnu Hibban [2] dan begitu pula oleh adz-Dzahabi. [3]Nisbah-nya, Ad-Darimi, dengan huruf dāl berharakat fathah, huruf alif sukun, huruf ra’ kasrah, lalu mim. Nisbah ini merujuk kepada Dārim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. [4] At-Tamimi, merujuk pada Bani Tamim, yaitu kabilah Arab yang besar. Sedangkan As-Samarqandi merujuk pada kota Samarkand, yang sekarang terletak di wilayah Uzbekistan.KelahiranAl-Imam ad-Darimi dilahirkan pada tahun 181 Hijriah. Hal ini berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh al-Khatib al-Baghdadi, beliau berkata,سمعت أبا محمد عبد الله بن عبد الرحمن يقول ولدت في سنة مات بن المبارك سنة إحدى وثمانين ومائة“Aku mendengar Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman berkata, ‘Aku dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu tahun 181 Hijriah.’” [5]Perjalanan menuntut ilmuKecintaan terhadap ilmu telah tertanam dalam diri Imam ad-Darimi sejak kecil. Pada masa mudanya, beliau melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan wilayah demi mencari ilmu dan meriwayatkan hadis. Beliau melakukan rihlah ke Mesir, Syam, Irak, dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah), Balkh, dan Bukhara. Karena kesungguhan dan keluasannya dalam perjalanan mencari hadis, al-Khatib al-Baghdadi memasukkannya dalam jajaran ulama perawi hadis yang melakukan banyak perjalanan, dan menyifatinya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat, ketelitian, amanah, kejujuran, wara‘, dan zuhud. [6]Dr. Muhammad ‘Uwaidhah berkata, “Imam ad-Darimi memulai perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai sejak usia yang sangat muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mengamati tahun wafat para guru beliau. Banyak di antara mereka wafat pada awal abad ke-3 Hijriah, yang menunjukkan bahwa ad-Darimi mendengar hadis dari mereka beberapa tahun sebelum tahun wafat para gurunya.”Di antara guru-gurunya yang wafat di awal abad ke-3 H adalah:Yahya bin Bisyr al-Bukhari, wafat tahun 202 H.An-Nadr bin Syumail, wafat tahun 203 H di Kufah.Muhammad bin Bakr al-Barasani al-Kufi.Al-‘Ala’ bin ‘Ashim al-Ju‘fi al-Kufi, wafat tahun 205 H.‘Abdul Kabir bin ‘Abdul Majid al-Basri, wafat tahun 204 H.Wahb bin Jarir al-Basri, wafat tahun 206 H.Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid ad-Dimasyqi, wafat tahun 207 H.Marwan bin Muhammad al-Asadi ad-Dimasyqi, wafat tahun 210 H; dan lainnya. [7]Guru-guru beliauImam ad-Darimi termasuk salah satu ulama yang meriwayatkan hadis dari banyak guru. Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah [8]:Ibrahim bin al-Mundzir al-HizamiAhmad bin al-Hajjaj al-MarwaziHajjaj bin MinhalHibban bin HilalSa‘id bin ‘Amir adh-Dhubai‘iMuhammad bin Yusuf al-QasimYahya bin Hassan at-TanisiYahya bin Yahya an-NaisaburiYazid bin HarunYusuf bin Ya‘qub ash-ShaffarMurid-murid beliauSebagaimana Imam ad-Darimi memiliki banyak guru, beliau juga memiliki banyak murid dan perawi yang meriwayatkan hadis darinya. Di antara mereka adalah [9]:Imam Muslim dalam Shahih-nya.Imam an-Nasa’i, namun bukan melalui as-Sunan-nya.Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya.Baqi bin Makhlad.‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih as-Samarqandi.Abu Zur‘ah ‘Ubaid bin ‘Abd al-Karim ar-Razi.Makki bin Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi.‘Isa bin ‘Umar as-Samarqandi, perawi kitab Musnad dari Imam ad-Darimi.Karya-karya beliauPara ulama menyebutkan bahwa Imam ad-Darimi rahimahullah telah menulis beberapa kitab penting, di antaranya:Kitab TafsirKitab al-Jāmi‘Kitab MusnadAl-Khatib al-Baghdadi berkata,وقد صنف المسند والتفسير والجامع“Ia telah menyusun kitab Musnad, Tafsir, dan al-Jāmi‘.” [10]Selain itu, terdapat pula riwayat-riwayat tsulatsiyāt ad-Darimi, yaitu hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan sanad tinggi, yang antara beliau dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Ini dianggap sebagai sanad tertinggi dari Imam ad-Darimi dalam kitabnya.AkidahAkidah Imam ad-Darimi adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Beliau membuat satu bab khusus tentang keutamaan al-Qur’an, di mana beliau mencantumkan sejumlah hadis dan atsar yang dijadikan dalil oleh Ahlus Sunnah bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam al-Lalika’i dalam kitab Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, di mana beliau mencatat bahwa Imam ad-Darimi termasuk di antara ulama yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (bukan makhluk). [11]MazhabImam ad-Darimi rahimahullah bukanlah seorang muqallid (pengikut taklid buta) dari salah satu mazhab tertentu, melainkan seorang mujtahid (ulama yang mampu berijtihad sendiri). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,كان من أوعية العلم يجتهد ولا يقلد“Ia termasuk gudang ilmu; berijtihad dan tidak taklid kepada siapa pun.” [12]Karena itulah, Ad-Darimi memiliki pendapat-pendapat fikih tersendiri yang menunjukkan keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya dalam fikih. Hal ini juga terlihat dari kitabnya, yang memuat banyak bab dalam berbagai persoalan fikih.Pujian para ulama kepada beliauAdz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,كان عالم سمرقند“Dia adalah ‘alim (ulama besar) kota Samarkand.” [13]Nu‘aim bin Na‘im meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair berkata,غلبنا عبد الله بن عبد الرحمن الدارمي بالحفظ والروع“Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi mengungguli kami dalam hal hafalan dan wibawa.”Ishaq bin Ahmad az-Zairak meriwayatkan dari Abu Hatim ar-Razi, ia berkata,محمد بن إسماعيل أعلم من دخل العراق ومحمد بن يحيى أعلم من بخراسان اليوم ومحمد بن أسلم أورعهم وعبد الله بن عبد الرحمن أثبتهم“Muhammad bin Isma‘il (al-Bukhari) adalah orang paling berilmu yang masuk ke Irak. Muhammad bin Yahya adalah orang paling berilmu di Khurasan hari ini. Muhammad bin Aslam adalah orang paling wara‘ di antara mereka. Dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (ad-Darimi) adalah yang paling kuat hafalannya.” [14]Muhammad bin Ibrahim bin Manshur asy-Syirazi berkata, “Ia adalah sosok yang sangat bijak, taat beragama, dan menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdasan, hafalan, ibadah, dan kezuhudan. Ia menampakkan ilmu hadis dan atsar di Samarkand dan membela kebenaran dari kebohongan. Ia adalah seorang mufassir (ahli tafsir) yang sempurna dan faqih yang ‘alim.” [15]WafatImam ad-Darimi rahimahullah wafat pada tahun 255 Hijriah. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan,سمعت محمد بن احمد بن ماهان البلخي الحافظ يقول مات عبد الله بن عبد الرحمن السمر قندي يوم عرفة وذلك يوم الخميس ودفن يوم الجمعة سنة خمس وخمسين ومائتين“Aku mendengar Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi al-Hafizh berkata, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman as-Samarqandi wafat pada hari Arafah, yang bertepatan dengan hari Kamis, dan dimakamkan pada hari Jumat, tahun 255 Hijriah.’” [16]Ibnu Hibban rahimahullah berkata,مات يوم التروية بعد العصر ودفن يوم عرفة سنة خمس وخمسين ومائتين وذالك يوم الجمعة وصلى عليه أحمد بن يحيى بن أسد بن سليمان“Beliau wafat pada hari Tarwiyah (8 Zulhijah) setelah Ashar, dan dimakamkan pada hari Arafah (9 Zulhijah) tahun 255 H, yang bertepatan dengan hari Jumat. Salat jenazahnya diimami oleh Ahmad bin Yahya bin Asad bin Sulaiman.” [17]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-Andalusi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[2] Ats-Tsiqat, 8: 364.[3] Al-Kasyif, 1: 567.[4] Al-Lubab fii Tahdzib Al-Asbab, 1: 484.[5] Tarikh Baghdad, 10: 30; melalui Maktabah Syamilah.[6] Ibid, 10: 29.[7] Tarikh Al-Hadits wa Manahij Al-Muhadditsin, hal. 247; dengan diringkas oleh penulis.[8] Tahdzib Al-Kamal, 5: 285, 12: 252.[9] Ibid.[10] Tadzkiratu Al-Huffazh, 2: 535.[11] Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, 2: 311.[12] Taarikh Al-Islam, 18: 179.[13] Al-Kaasyif, 1: 567.[14] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[15] Ibid.[16] Taarikh Baghdad, 10: 31.[17] Ats-Tsiqat, 8: 364.
Daftar Isi ToggleNama, kunyah, dan nisbah-nyaKelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauAkidahMazhabPujian para ulama kepada beliauWafatNama, kunyah, dan nisbah-nyaBeliau adalah Imam, Syekhul Islam, salah satu dari imam besar, al-Hafizh al-Hujjah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin ‘Abdush-Shamad ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqandi. [1]Kunyah-nya, Abu Muhammad. Kunyah ini disebutkan oleh Ibnu Hibban [2] dan begitu pula oleh adz-Dzahabi. [3]Nisbah-nya, Ad-Darimi, dengan huruf dāl berharakat fathah, huruf alif sukun, huruf ra’ kasrah, lalu mim. Nisbah ini merujuk kepada Dārim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. [4] At-Tamimi, merujuk pada Bani Tamim, yaitu kabilah Arab yang besar. Sedangkan As-Samarqandi merujuk pada kota Samarkand, yang sekarang terletak di wilayah Uzbekistan.KelahiranAl-Imam ad-Darimi dilahirkan pada tahun 181 Hijriah. Hal ini berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh al-Khatib al-Baghdadi, beliau berkata,سمعت أبا محمد عبد الله بن عبد الرحمن يقول ولدت في سنة مات بن المبارك سنة إحدى وثمانين ومائة“Aku mendengar Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman berkata, ‘Aku dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu tahun 181 Hijriah.’” [5]Perjalanan menuntut ilmuKecintaan terhadap ilmu telah tertanam dalam diri Imam ad-Darimi sejak kecil. Pada masa mudanya, beliau melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan wilayah demi mencari ilmu dan meriwayatkan hadis. Beliau melakukan rihlah ke Mesir, Syam, Irak, dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah), Balkh, dan Bukhara. Karena kesungguhan dan keluasannya dalam perjalanan mencari hadis, al-Khatib al-Baghdadi memasukkannya dalam jajaran ulama perawi hadis yang melakukan banyak perjalanan, dan menyifatinya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat, ketelitian, amanah, kejujuran, wara‘, dan zuhud. [6]Dr. Muhammad ‘Uwaidhah berkata, “Imam ad-Darimi memulai perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai sejak usia yang sangat muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mengamati tahun wafat para guru beliau. Banyak di antara mereka wafat pada awal abad ke-3 Hijriah, yang menunjukkan bahwa ad-Darimi mendengar hadis dari mereka beberapa tahun sebelum tahun wafat para gurunya.”Di antara guru-gurunya yang wafat di awal abad ke-3 H adalah:Yahya bin Bisyr al-Bukhari, wafat tahun 202 H.An-Nadr bin Syumail, wafat tahun 203 H di Kufah.Muhammad bin Bakr al-Barasani al-Kufi.Al-‘Ala’ bin ‘Ashim al-Ju‘fi al-Kufi, wafat tahun 205 H.‘Abdul Kabir bin ‘Abdul Majid al-Basri, wafat tahun 204 H.Wahb bin Jarir al-Basri, wafat tahun 206 H.Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid ad-Dimasyqi, wafat tahun 207 H.Marwan bin Muhammad al-Asadi ad-Dimasyqi, wafat tahun 210 H; dan lainnya. [7]Guru-guru beliauImam ad-Darimi termasuk salah satu ulama yang meriwayatkan hadis dari banyak guru. Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah [8]:Ibrahim bin al-Mundzir al-HizamiAhmad bin al-Hajjaj al-MarwaziHajjaj bin MinhalHibban bin HilalSa‘id bin ‘Amir adh-Dhubai‘iMuhammad bin Yusuf al-QasimYahya bin Hassan at-TanisiYahya bin Yahya an-NaisaburiYazid bin HarunYusuf bin Ya‘qub ash-ShaffarMurid-murid beliauSebagaimana Imam ad-Darimi memiliki banyak guru, beliau juga memiliki banyak murid dan perawi yang meriwayatkan hadis darinya. Di antara mereka adalah [9]:Imam Muslim dalam Shahih-nya.Imam an-Nasa’i, namun bukan melalui as-Sunan-nya.Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya.Baqi bin Makhlad.‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih as-Samarqandi.Abu Zur‘ah ‘Ubaid bin ‘Abd al-Karim ar-Razi.Makki bin Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi.‘Isa bin ‘Umar as-Samarqandi, perawi kitab Musnad dari Imam ad-Darimi.Karya-karya beliauPara ulama menyebutkan bahwa Imam ad-Darimi rahimahullah telah menulis beberapa kitab penting, di antaranya:Kitab TafsirKitab al-Jāmi‘Kitab MusnadAl-Khatib al-Baghdadi berkata,وقد صنف المسند والتفسير والجامع“Ia telah menyusun kitab Musnad, Tafsir, dan al-Jāmi‘.” [10]Selain itu, terdapat pula riwayat-riwayat tsulatsiyāt ad-Darimi, yaitu hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan sanad tinggi, yang antara beliau dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Ini dianggap sebagai sanad tertinggi dari Imam ad-Darimi dalam kitabnya.AkidahAkidah Imam ad-Darimi adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Beliau membuat satu bab khusus tentang keutamaan al-Qur’an, di mana beliau mencantumkan sejumlah hadis dan atsar yang dijadikan dalil oleh Ahlus Sunnah bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam al-Lalika’i dalam kitab Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, di mana beliau mencatat bahwa Imam ad-Darimi termasuk di antara ulama yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (bukan makhluk). [11]MazhabImam ad-Darimi rahimahullah bukanlah seorang muqallid (pengikut taklid buta) dari salah satu mazhab tertentu, melainkan seorang mujtahid (ulama yang mampu berijtihad sendiri). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,كان من أوعية العلم يجتهد ولا يقلد“Ia termasuk gudang ilmu; berijtihad dan tidak taklid kepada siapa pun.” [12]Karena itulah, Ad-Darimi memiliki pendapat-pendapat fikih tersendiri yang menunjukkan keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya dalam fikih. Hal ini juga terlihat dari kitabnya, yang memuat banyak bab dalam berbagai persoalan fikih.Pujian para ulama kepada beliauAdz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,كان عالم سمرقند“Dia adalah ‘alim (ulama besar) kota Samarkand.” [13]Nu‘aim bin Na‘im meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair berkata,غلبنا عبد الله بن عبد الرحمن الدارمي بالحفظ والروع“Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi mengungguli kami dalam hal hafalan dan wibawa.”Ishaq bin Ahmad az-Zairak meriwayatkan dari Abu Hatim ar-Razi, ia berkata,محمد بن إسماعيل أعلم من دخل العراق ومحمد بن يحيى أعلم من بخراسان اليوم ومحمد بن أسلم أورعهم وعبد الله بن عبد الرحمن أثبتهم“Muhammad bin Isma‘il (al-Bukhari) adalah orang paling berilmu yang masuk ke Irak. Muhammad bin Yahya adalah orang paling berilmu di Khurasan hari ini. Muhammad bin Aslam adalah orang paling wara‘ di antara mereka. Dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (ad-Darimi) adalah yang paling kuat hafalannya.” [14]Muhammad bin Ibrahim bin Manshur asy-Syirazi berkata, “Ia adalah sosok yang sangat bijak, taat beragama, dan menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdasan, hafalan, ibadah, dan kezuhudan. Ia menampakkan ilmu hadis dan atsar di Samarkand dan membela kebenaran dari kebohongan. Ia adalah seorang mufassir (ahli tafsir) yang sempurna dan faqih yang ‘alim.” [15]WafatImam ad-Darimi rahimahullah wafat pada tahun 255 Hijriah. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan,سمعت محمد بن احمد بن ماهان البلخي الحافظ يقول مات عبد الله بن عبد الرحمن السمر قندي يوم عرفة وذلك يوم الخميس ودفن يوم الجمعة سنة خمس وخمسين ومائتين“Aku mendengar Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi al-Hafizh berkata, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman as-Samarqandi wafat pada hari Arafah, yang bertepatan dengan hari Kamis, dan dimakamkan pada hari Jumat, tahun 255 Hijriah.’” [16]Ibnu Hibban rahimahullah berkata,مات يوم التروية بعد العصر ودفن يوم عرفة سنة خمس وخمسين ومائتين وذالك يوم الجمعة وصلى عليه أحمد بن يحيى بن أسد بن سليمان“Beliau wafat pada hari Tarwiyah (8 Zulhijah) setelah Ashar, dan dimakamkan pada hari Arafah (9 Zulhijah) tahun 255 H, yang bertepatan dengan hari Jumat. Salat jenazahnya diimami oleh Ahmad bin Yahya bin Asad bin Sulaiman.” [17]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-Andalusi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[2] Ats-Tsiqat, 8: 364.[3] Al-Kasyif, 1: 567.[4] Al-Lubab fii Tahdzib Al-Asbab, 1: 484.[5] Tarikh Baghdad, 10: 30; melalui Maktabah Syamilah.[6] Ibid, 10: 29.[7] Tarikh Al-Hadits wa Manahij Al-Muhadditsin, hal. 247; dengan diringkas oleh penulis.[8] Tahdzib Al-Kamal, 5: 285, 12: 252.[9] Ibid.[10] Tadzkiratu Al-Huffazh, 2: 535.[11] Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, 2: 311.[12] Taarikh Al-Islam, 18: 179.[13] Al-Kaasyif, 1: 567.[14] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[15] Ibid.[16] Taarikh Baghdad, 10: 31.[17] Ats-Tsiqat, 8: 364.


Daftar Isi ToggleNama, kunyah, dan nisbah-nyaKelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauAkidahMazhabPujian para ulama kepada beliauWafatNama, kunyah, dan nisbah-nyaBeliau adalah Imam, Syekhul Islam, salah satu dari imam besar, al-Hafizh al-Hujjah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin ‘Abdush-Shamad ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqandi. [1]Kunyah-nya, Abu Muhammad. Kunyah ini disebutkan oleh Ibnu Hibban [2] dan begitu pula oleh adz-Dzahabi. [3]Nisbah-nya, Ad-Darimi, dengan huruf dāl berharakat fathah, huruf alif sukun, huruf ra’ kasrah, lalu mim. Nisbah ini merujuk kepada Dārim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. [4] At-Tamimi, merujuk pada Bani Tamim, yaitu kabilah Arab yang besar. Sedangkan As-Samarqandi merujuk pada kota Samarkand, yang sekarang terletak di wilayah Uzbekistan.KelahiranAl-Imam ad-Darimi dilahirkan pada tahun 181 Hijriah. Hal ini berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh al-Khatib al-Baghdadi, beliau berkata,سمعت أبا محمد عبد الله بن عبد الرحمن يقول ولدت في سنة مات بن المبارك سنة إحدى وثمانين ومائة“Aku mendengar Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman berkata, ‘Aku dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu tahun 181 Hijriah.’” [5]Perjalanan menuntut ilmuKecintaan terhadap ilmu telah tertanam dalam diri Imam ad-Darimi sejak kecil. Pada masa mudanya, beliau melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan wilayah demi mencari ilmu dan meriwayatkan hadis. Beliau melakukan rihlah ke Mesir, Syam, Irak, dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah), Balkh, dan Bukhara. Karena kesungguhan dan keluasannya dalam perjalanan mencari hadis, al-Khatib al-Baghdadi memasukkannya dalam jajaran ulama perawi hadis yang melakukan banyak perjalanan, dan menyifatinya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat, ketelitian, amanah, kejujuran, wara‘, dan zuhud. [6]Dr. Muhammad ‘Uwaidhah berkata, “Imam ad-Darimi memulai perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai sejak usia yang sangat muda. Hal ini dapat kita pahami dengan mengamati tahun wafat para guru beliau. Banyak di antara mereka wafat pada awal abad ke-3 Hijriah, yang menunjukkan bahwa ad-Darimi mendengar hadis dari mereka beberapa tahun sebelum tahun wafat para gurunya.”Di antara guru-gurunya yang wafat di awal abad ke-3 H adalah:Yahya bin Bisyr al-Bukhari, wafat tahun 202 H.An-Nadr bin Syumail, wafat tahun 203 H di Kufah.Muhammad bin Bakr al-Barasani al-Kufi.Al-‘Ala’ bin ‘Ashim al-Ju‘fi al-Kufi, wafat tahun 205 H.‘Abdul Kabir bin ‘Abdul Majid al-Basri, wafat tahun 204 H.Wahb bin Jarir al-Basri, wafat tahun 206 H.Zaid bin Yahya bin ‘Ubaid ad-Dimasyqi, wafat tahun 207 H.Marwan bin Muhammad al-Asadi ad-Dimasyqi, wafat tahun 210 H; dan lainnya. [7]Guru-guru beliauImam ad-Darimi termasuk salah satu ulama yang meriwayatkan hadis dari banyak guru. Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah [8]:Ibrahim bin al-Mundzir al-HizamiAhmad bin al-Hajjaj al-MarwaziHajjaj bin MinhalHibban bin HilalSa‘id bin ‘Amir adh-Dhubai‘iMuhammad bin Yusuf al-QasimYahya bin Hassan at-TanisiYahya bin Yahya an-NaisaburiYazid bin HarunYusuf bin Ya‘qub ash-ShaffarMurid-murid beliauSebagaimana Imam ad-Darimi memiliki banyak guru, beliau juga memiliki banyak murid dan perawi yang meriwayatkan hadis darinya. Di antara mereka adalah [9]:Imam Muslim dalam Shahih-nya.Imam an-Nasa’i, namun bukan melalui as-Sunan-nya.Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya.Baqi bin Makhlad.‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.‘Abdullah bin Muhammad bin Shalih as-Samarqandi.Abu Zur‘ah ‘Ubaid bin ‘Abd al-Karim ar-Razi.Makki bin Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi.‘Isa bin ‘Umar as-Samarqandi, perawi kitab Musnad dari Imam ad-Darimi.Karya-karya beliauPara ulama menyebutkan bahwa Imam ad-Darimi rahimahullah telah menulis beberapa kitab penting, di antaranya:Kitab TafsirKitab al-Jāmi‘Kitab MusnadAl-Khatib al-Baghdadi berkata,وقد صنف المسند والتفسير والجامع“Ia telah menyusun kitab Musnad, Tafsir, dan al-Jāmi‘.” [10]Selain itu, terdapat pula riwayat-riwayat tsulatsiyāt ad-Darimi, yaitu hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan sanad tinggi, yang antara beliau dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Ini dianggap sebagai sanad tertinggi dari Imam ad-Darimi dalam kitabnya.AkidahAkidah Imam ad-Darimi adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Beliau membuat satu bab khusus tentang keutamaan al-Qur’an, di mana beliau mencantumkan sejumlah hadis dan atsar yang dijadikan dalil oleh Ahlus Sunnah bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.Hal ini disebutkan pula oleh al-Imam al-Lalika’i dalam kitab Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, di mana beliau mencatat bahwa Imam ad-Darimi termasuk di antara ulama yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (bukan makhluk). [11]MazhabImam ad-Darimi rahimahullah bukanlah seorang muqallid (pengikut taklid buta) dari salah satu mazhab tertentu, melainkan seorang mujtahid (ulama yang mampu berijtihad sendiri). Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,كان من أوعية العلم يجتهد ولا يقلد“Ia termasuk gudang ilmu; berijtihad dan tidak taklid kepada siapa pun.” [12]Karena itulah, Ad-Darimi memiliki pendapat-pendapat fikih tersendiri yang menunjukkan keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya dalam fikih. Hal ini juga terlihat dari kitabnya, yang memuat banyak bab dalam berbagai persoalan fikih.Pujian para ulama kepada beliauAdz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,كان عالم سمرقند“Dia adalah ‘alim (ulama besar) kota Samarkand.” [13]Nu‘aim bin Na‘im meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair berkata,غلبنا عبد الله بن عبد الرحمن الدارمي بالحفظ والروع“Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi mengungguli kami dalam hal hafalan dan wibawa.”Ishaq bin Ahmad az-Zairak meriwayatkan dari Abu Hatim ar-Razi, ia berkata,محمد بن إسماعيل أعلم من دخل العراق ومحمد بن يحيى أعلم من بخراسان اليوم ومحمد بن أسلم أورعهم وعبد الله بن عبد الرحمن أثبتهم“Muhammad bin Isma‘il (al-Bukhari) adalah orang paling berilmu yang masuk ke Irak. Muhammad bin Yahya adalah orang paling berilmu di Khurasan hari ini. Muhammad bin Aslam adalah orang paling wara‘ di antara mereka. Dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (ad-Darimi) adalah yang paling kuat hafalannya.” [14]Muhammad bin Ibrahim bin Manshur asy-Syirazi berkata, “Ia adalah sosok yang sangat bijak, taat beragama, dan menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdasan, hafalan, ibadah, dan kezuhudan. Ia menampakkan ilmu hadis dan atsar di Samarkand dan membela kebenaran dari kebohongan. Ia adalah seorang mufassir (ahli tafsir) yang sempurna dan faqih yang ‘alim.” [15]WafatImam ad-Darimi rahimahullah wafat pada tahun 255 Hijriah. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan,سمعت محمد بن احمد بن ماهان البلخي الحافظ يقول مات عبد الله بن عبد الرحمن السمر قندي يوم عرفة وذلك يوم الخميس ودفن يوم الجمعة سنة خمس وخمسين ومائتين“Aku mendengar Muhammad bin Ahmad bin Mahan al-Balkhi al-Hafizh berkata, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman as-Samarqandi wafat pada hari Arafah, yang bertepatan dengan hari Kamis, dan dimakamkan pada hari Jumat, tahun 255 Hijriah.’” [16]Ibnu Hibban rahimahullah berkata,مات يوم التروية بعد العصر ودفن يوم عرفة سنة خمس وخمسين ومائتين وذالك يوم الجمعة وصلى عليه أحمد بن يحيى بن أسد بن سليمان“Beliau wafat pada hari Tarwiyah (8 Zulhijah) setelah Ashar, dan dimakamkan pada hari Arafah (9 Zulhijah) tahun 255 H, yang bertepatan dengan hari Jumat. Salat jenazahnya diimami oleh Ahmad bin Yahya bin Asad bin Sulaiman.” [17]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-Andalusi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[2] Ats-Tsiqat, 8: 364.[3] Al-Kasyif, 1: 567.[4] Al-Lubab fii Tahdzib Al-Asbab, 1: 484.[5] Tarikh Baghdad, 10: 30; melalui Maktabah Syamilah.[6] Ibid, 10: 29.[7] Tarikh Al-Hadits wa Manahij Al-Muhadditsin, hal. 247; dengan diringkas oleh penulis.[8] Tahdzib Al-Kamal, 5: 285, 12: 252.[9] Ibid.[10] Tadzkiratu Al-Huffazh, 2: 535.[11] Syarḥ Uṣul I‘tiqad Ahlis Sunnah, 2: 311.[12] Taarikh Al-Islam, 18: 179.[13] Al-Kaasyif, 1: 567.[14] Tahdzib At-Tahdzib, 5: 285.[15] Ibid.[16] Taarikh Baghdad, 10: 31.[17] Ats-Tsiqat, 8: 364.

Orang Ini Banyak Beramal Saleh Malah Masuk Neraka, Kenapa? – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa seorang hamba dapat berpaling dari Tuhannya, dan membatalkan tobatnya karena masih tersisa satu benih jahiliah dalam hatinya yang belum ia singkirkan. Benih itu lalu tumbuh dalam hatinya dan menariknya kembali kepada jahiliah tersebut. Oleh sebab itu, kesibukan seseorang dalam membersihkan hatinya haruslah kuat. Jangan engkau cuma sibuk mencabut tanaman kecil yang tumbuh di sekitar pohon kurma yang engkau sirami, tapi engkau lupa mencabut keburukan-keburukan kecil yang mengelilingi hatimu. Berilah perhatian terhadap hatimu melebihi perhatianmu terhadap dunia. Sibukkan dirimu untuk terus berusaha membersihkan hatimu. Keluarkan darinya segala yang merusaknya, dan takutlah terhadap hal ini dengan rasa takut yang besar. Barang siapa memahami hadis ini, pasti akan takut. Takut amal kebaikan yang dia lakukan termasuk yang membahayakannya. Sehingga justru menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya. Oleh sebab itu, Said bin Jubair rahimahullah berkata: “Sungguh, ada seorang hamba yang melakukan amal kebaikan, tapi justru masuk neraka karenanya Dan sungguh, ada seorang hamba yang melakukan keburukan, tapi justru masuk surga karenanya.” Penjelasannya: orang pertama melakukan kebaikan karena Allah, tapi ia terus-menerus mengungkit amal itu di hadapan Allah dan bersikap sombong karenanya di hadapan makhluk-Nya. Sehingga amalan itu menjadi sebabnya masuk neraka. Adapun orang kedua melakukan keburukan, tapi dosa itu senantiasa terlintas menghantui pandangannya, ia takut Allah ‘Azza wa Jalla akan menghukumnya karenanya. Maka Allah mengganti rasa takutnya dengan rasa aman, sehingga dosa tersebut justru menjadi sebab ia masuk surga. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seseorang hanya melihat penampakan luarnya saja. Perhatikanlah batinmu! Benahilah batinmu! Perbaikilah hubungan antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang benar-benar bermanfaat bagimu. Adapun tampilan luar yang dilihat orang lain, maka itu tidak ada kebaikannya yang dapat kamu lihat. Tidak ada kebaikannya, kecuali apa yang Allah rahmati. ===== قَدْ ذَكَرَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّ الْعَبْدَ يَرْجِعُ عَنْ رَبِّهِ يَنْكُثُ تَوْبَتَهُ لِبَقَاءِ بَذْرَةٍ مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ فِي قَلْبِهِ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهَا فَنَبَتَتْ فِيه فَأَعَادَتْهُ إِلَيْهَا لِذَلِكَ شُغْلُ الْإِنْسَانِ بِتَطْهِيرِ قَلْبِهِ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ عَظِيمًا لَا تَشْتَغِلْ بِقَلْعِ النَّبَاتَاتِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي حَوْلَ نَخْلَتِكَ الَّتِي تَسْقِيهَا وَتَنْسَى أَنْ تَقْتَلِعَ الشُّرُورَ الصَّغِيرَةَ الَّتِي تُحِيطُ بِقَلْبِكَ اعْتَنِ بِقَلْبِكَ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِنَائِكَ بِالدُّنْيَا اشْتَغِلْ بِالْإِقْبَالِ عَلَى قَلْبِكَ فِي تَطْهِيرِهِ وَأَخْرِجْ مِنْهُ مَا يُفْسِدُهُ وَتَخَوَّفْ عَلَى هَذَا خَوْفًا عَظِيمًا مَنْ وَعَى هَذَا الْحَدِيثَ خَافَ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْ عَمَلِهِ وَقَعَ مِنْهُ فَيُؤَاخِذُهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ يَدْخُلُ بِهَا النَّارَ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ يَدْخُلُ بِهَا الْجَنَّةَ وَتَفْسِيرُهُ أَنَّ الْأَوَّلَ عَمِلَ الْحَسَنَةَ لِلَّهِ فَلَمْ يَزَلْ يَمُنُّهَا عَلَى اللَّهِ وَيَسْتَعْلِي بِهَا عَلَى خَلْقِ اللَّهِ فَكَانَتْ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ النَّارَ وَالثَّانِي عَمِلَ السَّيِّئَةَ فَلَا تَزَالُ تِلْكَ السَّيِّئَةُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ يَخَافُ أَنْ يُؤَاخِذَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا فَأَمَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَوْفَهُ فَكَانَتْ تِلْكَ السَّيِّئَةُ سَبَبَ دُخُولِهِ الْجَنَّةَ فَيَنْبَغِي أَلَّا يَنْظُرَ الْعَبْدُ إِلَى مُجَرَّدِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ اُنْظُرْ إِلَى بَاطِنِكَ أَصْلِحْ بَاطِنَكَ صَحِّحْ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَنْفَعُكَ أَمَّا الظَّاهِرُ الَّذِي يَرَاهُ النَّاسُ هَذَا لَا خَيْرَ فِيهِ تَرَى لَا خَيْرَ فِيهِ إِلَّا مَا رَحِمَ اللَّهُ

Orang Ini Banyak Beramal Saleh Malah Masuk Neraka, Kenapa? – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa seorang hamba dapat berpaling dari Tuhannya, dan membatalkan tobatnya karena masih tersisa satu benih jahiliah dalam hatinya yang belum ia singkirkan. Benih itu lalu tumbuh dalam hatinya dan menariknya kembali kepada jahiliah tersebut. Oleh sebab itu, kesibukan seseorang dalam membersihkan hatinya haruslah kuat. Jangan engkau cuma sibuk mencabut tanaman kecil yang tumbuh di sekitar pohon kurma yang engkau sirami, tapi engkau lupa mencabut keburukan-keburukan kecil yang mengelilingi hatimu. Berilah perhatian terhadap hatimu melebihi perhatianmu terhadap dunia. Sibukkan dirimu untuk terus berusaha membersihkan hatimu. Keluarkan darinya segala yang merusaknya, dan takutlah terhadap hal ini dengan rasa takut yang besar. Barang siapa memahami hadis ini, pasti akan takut. Takut amal kebaikan yang dia lakukan termasuk yang membahayakannya. Sehingga justru menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya. Oleh sebab itu, Said bin Jubair rahimahullah berkata: “Sungguh, ada seorang hamba yang melakukan amal kebaikan, tapi justru masuk neraka karenanya Dan sungguh, ada seorang hamba yang melakukan keburukan, tapi justru masuk surga karenanya.” Penjelasannya: orang pertama melakukan kebaikan karena Allah, tapi ia terus-menerus mengungkit amal itu di hadapan Allah dan bersikap sombong karenanya di hadapan makhluk-Nya. Sehingga amalan itu menjadi sebabnya masuk neraka. Adapun orang kedua melakukan keburukan, tapi dosa itu senantiasa terlintas menghantui pandangannya, ia takut Allah ‘Azza wa Jalla akan menghukumnya karenanya. Maka Allah mengganti rasa takutnya dengan rasa aman, sehingga dosa tersebut justru menjadi sebab ia masuk surga. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seseorang hanya melihat penampakan luarnya saja. Perhatikanlah batinmu! Benahilah batinmu! Perbaikilah hubungan antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang benar-benar bermanfaat bagimu. Adapun tampilan luar yang dilihat orang lain, maka itu tidak ada kebaikannya yang dapat kamu lihat. Tidak ada kebaikannya, kecuali apa yang Allah rahmati. ===== قَدْ ذَكَرَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّ الْعَبْدَ يَرْجِعُ عَنْ رَبِّهِ يَنْكُثُ تَوْبَتَهُ لِبَقَاءِ بَذْرَةٍ مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ فِي قَلْبِهِ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهَا فَنَبَتَتْ فِيه فَأَعَادَتْهُ إِلَيْهَا لِذَلِكَ شُغْلُ الْإِنْسَانِ بِتَطْهِيرِ قَلْبِهِ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ عَظِيمًا لَا تَشْتَغِلْ بِقَلْعِ النَّبَاتَاتِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي حَوْلَ نَخْلَتِكَ الَّتِي تَسْقِيهَا وَتَنْسَى أَنْ تَقْتَلِعَ الشُّرُورَ الصَّغِيرَةَ الَّتِي تُحِيطُ بِقَلْبِكَ اعْتَنِ بِقَلْبِكَ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِنَائِكَ بِالدُّنْيَا اشْتَغِلْ بِالْإِقْبَالِ عَلَى قَلْبِكَ فِي تَطْهِيرِهِ وَأَخْرِجْ مِنْهُ مَا يُفْسِدُهُ وَتَخَوَّفْ عَلَى هَذَا خَوْفًا عَظِيمًا مَنْ وَعَى هَذَا الْحَدِيثَ خَافَ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْ عَمَلِهِ وَقَعَ مِنْهُ فَيُؤَاخِذُهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ يَدْخُلُ بِهَا النَّارَ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ يَدْخُلُ بِهَا الْجَنَّةَ وَتَفْسِيرُهُ أَنَّ الْأَوَّلَ عَمِلَ الْحَسَنَةَ لِلَّهِ فَلَمْ يَزَلْ يَمُنُّهَا عَلَى اللَّهِ وَيَسْتَعْلِي بِهَا عَلَى خَلْقِ اللَّهِ فَكَانَتْ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ النَّارَ وَالثَّانِي عَمِلَ السَّيِّئَةَ فَلَا تَزَالُ تِلْكَ السَّيِّئَةُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ يَخَافُ أَنْ يُؤَاخِذَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا فَأَمَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَوْفَهُ فَكَانَتْ تِلْكَ السَّيِّئَةُ سَبَبَ دُخُولِهِ الْجَنَّةَ فَيَنْبَغِي أَلَّا يَنْظُرَ الْعَبْدُ إِلَى مُجَرَّدِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ اُنْظُرْ إِلَى بَاطِنِكَ أَصْلِحْ بَاطِنَكَ صَحِّحْ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَنْفَعُكَ أَمَّا الظَّاهِرُ الَّذِي يَرَاهُ النَّاسُ هَذَا لَا خَيْرَ فِيهِ تَرَى لَا خَيْرَ فِيهِ إِلَّا مَا رَحِمَ اللَّهُ
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa seorang hamba dapat berpaling dari Tuhannya, dan membatalkan tobatnya karena masih tersisa satu benih jahiliah dalam hatinya yang belum ia singkirkan. Benih itu lalu tumbuh dalam hatinya dan menariknya kembali kepada jahiliah tersebut. Oleh sebab itu, kesibukan seseorang dalam membersihkan hatinya haruslah kuat. Jangan engkau cuma sibuk mencabut tanaman kecil yang tumbuh di sekitar pohon kurma yang engkau sirami, tapi engkau lupa mencabut keburukan-keburukan kecil yang mengelilingi hatimu. Berilah perhatian terhadap hatimu melebihi perhatianmu terhadap dunia. Sibukkan dirimu untuk terus berusaha membersihkan hatimu. Keluarkan darinya segala yang merusaknya, dan takutlah terhadap hal ini dengan rasa takut yang besar. Barang siapa memahami hadis ini, pasti akan takut. Takut amal kebaikan yang dia lakukan termasuk yang membahayakannya. Sehingga justru menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya. Oleh sebab itu, Said bin Jubair rahimahullah berkata: “Sungguh, ada seorang hamba yang melakukan amal kebaikan, tapi justru masuk neraka karenanya Dan sungguh, ada seorang hamba yang melakukan keburukan, tapi justru masuk surga karenanya.” Penjelasannya: orang pertama melakukan kebaikan karena Allah, tapi ia terus-menerus mengungkit amal itu di hadapan Allah dan bersikap sombong karenanya di hadapan makhluk-Nya. Sehingga amalan itu menjadi sebabnya masuk neraka. Adapun orang kedua melakukan keburukan, tapi dosa itu senantiasa terlintas menghantui pandangannya, ia takut Allah ‘Azza wa Jalla akan menghukumnya karenanya. Maka Allah mengganti rasa takutnya dengan rasa aman, sehingga dosa tersebut justru menjadi sebab ia masuk surga. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seseorang hanya melihat penampakan luarnya saja. Perhatikanlah batinmu! Benahilah batinmu! Perbaikilah hubungan antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang benar-benar bermanfaat bagimu. Adapun tampilan luar yang dilihat orang lain, maka itu tidak ada kebaikannya yang dapat kamu lihat. Tidak ada kebaikannya, kecuali apa yang Allah rahmati. ===== قَدْ ذَكَرَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّ الْعَبْدَ يَرْجِعُ عَنْ رَبِّهِ يَنْكُثُ تَوْبَتَهُ لِبَقَاءِ بَذْرَةٍ مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ فِي قَلْبِهِ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهَا فَنَبَتَتْ فِيه فَأَعَادَتْهُ إِلَيْهَا لِذَلِكَ شُغْلُ الْإِنْسَانِ بِتَطْهِيرِ قَلْبِهِ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ عَظِيمًا لَا تَشْتَغِلْ بِقَلْعِ النَّبَاتَاتِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي حَوْلَ نَخْلَتِكَ الَّتِي تَسْقِيهَا وَتَنْسَى أَنْ تَقْتَلِعَ الشُّرُورَ الصَّغِيرَةَ الَّتِي تُحِيطُ بِقَلْبِكَ اعْتَنِ بِقَلْبِكَ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِنَائِكَ بِالدُّنْيَا اشْتَغِلْ بِالْإِقْبَالِ عَلَى قَلْبِكَ فِي تَطْهِيرِهِ وَأَخْرِجْ مِنْهُ مَا يُفْسِدُهُ وَتَخَوَّفْ عَلَى هَذَا خَوْفًا عَظِيمًا مَنْ وَعَى هَذَا الْحَدِيثَ خَافَ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْ عَمَلِهِ وَقَعَ مِنْهُ فَيُؤَاخِذُهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ يَدْخُلُ بِهَا النَّارَ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ يَدْخُلُ بِهَا الْجَنَّةَ وَتَفْسِيرُهُ أَنَّ الْأَوَّلَ عَمِلَ الْحَسَنَةَ لِلَّهِ فَلَمْ يَزَلْ يَمُنُّهَا عَلَى اللَّهِ وَيَسْتَعْلِي بِهَا عَلَى خَلْقِ اللَّهِ فَكَانَتْ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ النَّارَ وَالثَّانِي عَمِلَ السَّيِّئَةَ فَلَا تَزَالُ تِلْكَ السَّيِّئَةُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ يَخَافُ أَنْ يُؤَاخِذَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا فَأَمَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَوْفَهُ فَكَانَتْ تِلْكَ السَّيِّئَةُ سَبَبَ دُخُولِهِ الْجَنَّةَ فَيَنْبَغِي أَلَّا يَنْظُرَ الْعَبْدُ إِلَى مُجَرَّدِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ اُنْظُرْ إِلَى بَاطِنِكَ أَصْلِحْ بَاطِنَكَ صَحِّحْ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَنْفَعُكَ أَمَّا الظَّاهِرُ الَّذِي يَرَاهُ النَّاسُ هَذَا لَا خَيْرَ فِيهِ تَرَى لَا خَيْرَ فِيهِ إِلَّا مَا رَحِمَ اللَّهُ


Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa seorang hamba dapat berpaling dari Tuhannya, dan membatalkan tobatnya karena masih tersisa satu benih jahiliah dalam hatinya yang belum ia singkirkan. Benih itu lalu tumbuh dalam hatinya dan menariknya kembali kepada jahiliah tersebut. Oleh sebab itu, kesibukan seseorang dalam membersihkan hatinya haruslah kuat. Jangan engkau cuma sibuk mencabut tanaman kecil yang tumbuh di sekitar pohon kurma yang engkau sirami, tapi engkau lupa mencabut keburukan-keburukan kecil yang mengelilingi hatimu. Berilah perhatian terhadap hatimu melebihi perhatianmu terhadap dunia. Sibukkan dirimu untuk terus berusaha membersihkan hatimu. Keluarkan darinya segala yang merusaknya, dan takutlah terhadap hal ini dengan rasa takut yang besar. Barang siapa memahami hadis ini, pasti akan takut. Takut amal kebaikan yang dia lakukan termasuk yang membahayakannya. Sehingga justru menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya. Oleh sebab itu, Said bin Jubair rahimahullah berkata: “Sungguh, ada seorang hamba yang melakukan amal kebaikan, tapi justru masuk neraka karenanya Dan sungguh, ada seorang hamba yang melakukan keburukan, tapi justru masuk surga karenanya.” Penjelasannya: orang pertama melakukan kebaikan karena Allah, tapi ia terus-menerus mengungkit amal itu di hadapan Allah dan bersikap sombong karenanya di hadapan makhluk-Nya. Sehingga amalan itu menjadi sebabnya masuk neraka. Adapun orang kedua melakukan keburukan, tapi dosa itu senantiasa terlintas menghantui pandangannya, ia takut Allah ‘Azza wa Jalla akan menghukumnya karenanya. Maka Allah mengganti rasa takutnya dengan rasa aman, sehingga dosa tersebut justru menjadi sebab ia masuk surga. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seseorang hanya melihat penampakan luarnya saja. Perhatikanlah batinmu! Benahilah batinmu! Perbaikilah hubungan antara dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang benar-benar bermanfaat bagimu. Adapun tampilan luar yang dilihat orang lain, maka itu tidak ada kebaikannya yang dapat kamu lihat. Tidak ada kebaikannya, kecuali apa yang Allah rahmati. ===== قَدْ ذَكَرَ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّ الْعَبْدَ يَرْجِعُ عَنْ رَبِّهِ يَنْكُثُ تَوْبَتَهُ لِبَقَاءِ بَذْرَةٍ مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ فِي قَلْبِهِ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهَا فَنَبَتَتْ فِيه فَأَعَادَتْهُ إِلَيْهَا لِذَلِكَ شُغْلُ الْإِنْسَانِ بِتَطْهِيرِ قَلْبِهِ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ عَظِيمًا لَا تَشْتَغِلْ بِقَلْعِ النَّبَاتَاتِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي حَوْلَ نَخْلَتِكَ الَّتِي تَسْقِيهَا وَتَنْسَى أَنْ تَقْتَلِعَ الشُّرُورَ الصَّغِيرَةَ الَّتِي تُحِيطُ بِقَلْبِكَ اعْتَنِ بِقَلْبِكَ أَكْثَرَ مِنِ اعْتِنَائِكَ بِالدُّنْيَا اشْتَغِلْ بِالْإِقْبَالِ عَلَى قَلْبِكَ فِي تَطْهِيرِهِ وَأَخْرِجْ مِنْهُ مَا يُفْسِدُهُ وَتَخَوَّفْ عَلَى هَذَا خَوْفًا عَظِيمًا مَنْ وَعَى هَذَا الْحَدِيثَ خَافَ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ مِنْ عَمَلِهِ وَقَعَ مِنْهُ فَيُؤَاخِذُهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ يَدْخُلُ بِهَا النَّارَ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ يَدْخُلُ بِهَا الْجَنَّةَ وَتَفْسِيرُهُ أَنَّ الْأَوَّلَ عَمِلَ الْحَسَنَةَ لِلَّهِ فَلَمْ يَزَلْ يَمُنُّهَا عَلَى اللَّهِ وَيَسْتَعْلِي بِهَا عَلَى خَلْقِ اللَّهِ فَكَانَتْ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ النَّارَ وَالثَّانِي عَمِلَ السَّيِّئَةَ فَلَا تَزَالُ تِلْكَ السَّيِّئَةُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ يَخَافُ أَنْ يُؤَاخِذَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا فَأَمَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَوْفَهُ فَكَانَتْ تِلْكَ السَّيِّئَةُ سَبَبَ دُخُولِهِ الْجَنَّةَ فَيَنْبَغِي أَلَّا يَنْظُرَ الْعَبْدُ إِلَى مُجَرَّدِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ اُنْظُرْ إِلَى بَاطِنِكَ أَصْلِحْ بَاطِنَكَ صَحِّحْ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَنْفَعُكَ أَمَّا الظَّاهِرُ الَّذِي يَرَاهُ النَّاسُ هَذَا لَا خَيْرَ فِيهِ تَرَى لَا خَيْرَ فِيهِ إِلَّا مَا رَحِمَ اللَّهُ

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua adalah Kewajiban Anak Seumur Hidupnya

Daftar Isi ToggleWujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaBentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatMendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMenunaikan janji-janji merekaMenyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMemuliakan teman-teman merekaMembayar utang, nazar, dan kafarat merekaBersedekah atas nama merekaPenutupBerbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban setiap insan, serta salah satu ibadah yang paling mulia di sisi Allah. Allah Ta’ala telah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan perintah tauhid dan ibadah kepada-Nya. Allah juga menyandingkan hak mereka dengan hak-Nya. Allah berfirman,وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS. Al-Isra: 23)Allah berfirman,وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa: 36)Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,لا يدخلُ الجنَّةَ منَّانٌ، ولا عاقٌّ، ولا مُدمنُ خمرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengungkit pemberian (mannan), orang yang durhaka kepada orang tua (‘aqiq), dan pemabuk (mudmin khamr).” (HR. An-Nasai no. 5688 dan Ahmad no. 6882)Wujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaMungkin ada sebagian dari kita yang saat orang tuanya masih hidup tidak mampu berbakti dengan sempurna. Mungkin ada juga yang pernah menyakiti hati mereka atau durhaka kepada mereka dan kini ingin bertobat serta menebusnya. Sementara itu, ada juga yang telah berbakti dengan baik, namun ingin terus melanjutkan kebaikan itu setelah orang tuanya wafat. Lalu, bagaimana cara berbakti kepada mereka setelah wafatnya mereka?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)Di sinilah peran seorang anak dapat bermanfaat bagi kedua orang tuanya meskipun mereka telah meninggal dunia; yaitu apabila ia selalu berdoa dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi keduanya. Dengan demikian, anak yang beramal saleh untuk kedua orang tuanya akan menjadi perpanjangan dari amal yang telah terputus, dan pahala yang tidak terduga bagi orang yang sudah meninggal. Amal itu akan membahagiakan, mengangkat derajat, menghapus dosa, bahkan mungkin menyelamatkannya dari api neraka.Bentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatDisebutkan dalam hadis dari Abu Usaid As-Sa’idi,بينما نحن عند رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذ جاءه رجلٌ من بني سَلمةَ، فقال: يا رسولَ اللهِ، هل بَقِيَ مِن بِرِّ أَبَويَّ شيءٌ أَبَرُّهما به بعد موتِهما؟ قال: نعم، الصَّلاةُ عليهما ، والاستغفارُ لهما، وإنفاذُ عَهدِهما من بعدِهما، وصِلةُ الرَّحِمِ التي لا تُوصَلُ إلَّا بهما، وإكرامُ صديقِهما“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bakti kepada kedua orang tua saya setelah mereka meninggal?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, ada. Mendoakan mereka, memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji-janji mereka setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahim yang tidak terjalin kecuali karena mereka, dan memuliakan teman-teman mereka.’” (HR. Ibnu Majah no. 3664 dan Ahmad no. 16059)Hadis ini mencakup empat contoh berbakti:Mendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMendoakan di sini berarti memohonkan segala kebaikan bagi mereka, mendoakan agar diluaskan kubur mereka, dianugerahkan kenikmatan di dalamnya, diangkat derajatnya, diterima amal mereka, dikumpulkannya mereka bersama para Nabi, orang-orang saleh, Syuhada, dan para shiddiqin, serta ditempatkannya mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga tertinggi.Memohonkan ampunan dan penghapusan dosa adalah doa yang paling berharga, sebagaimana doa para Nabi untuk orang tua mereka. Seperti doa Nabi Nuh dan Ibrahim ‘alaihimassalam,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang yang masuk ke rumahku dengan beriman serta semua orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari perhitungan.” (QS. Ibrahim: 41)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjadikan doa sebagai tanda kesalehan seorang hamba, Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ! أَنَّى لِي هَذِهِ؟! فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat hamba yang saleh di surga, lalu dia bertanya, ‘Ya Tuhanku, dari mana aku dapatkan ini?’ Dikatakan kepadanya, ‘Itu karena permohonan ampunan dari anakmu untukmu.” (HR. Ahmad no. 10610 dan Ibnu Majah setelah hadis no. 3660; Syekh Al-Albani menghasankan hadis ini) Menunaikan janji-janji merekaSebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah wasiat. Namun, janji sebenarnya lebih luas daripada wasiat, meskipun wasiat adalah bagian yang paling ditekankan. Jika wasiat itu sepertiga atau kurang dari harta, wajib untuk dilaksanakan, selebihnya hukumnya sunah dan bentuk bakti, bukan kewajiban.Janji juga mencakup jika salah satu orang tua berjanji untuk berbuat baik kepada saudaranya karena membutuhkan, atau kepada tetangga, kerabat, atau teman tertentu. Melaksanakan janji-janji ini adalah bagian dari bakti, selama tidak termasuk perbuatan dosa atau maksiat. Menyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMenyambung tali silaturahmi pada dasarnya adalah kewajiban, dan menjadi lebih wajib setelah orang tua meninggal dunia. Silaturahmi ini mencakup paman, bibi, dan anak-anak mereka, saudara laki-laki dan perempuan mereka. Di antara upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan bertutur kata dan berakhlak yang baik kepada mereka, serta sering mengunjungi mereka agar hubungan tidak terputus setelah orang tua meninggal. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pahala karena menyambung silaturahmi dan berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat. Memuliakan teman-teman merekaSetiap orang tua pastilah memiliki teman dekat yang sangat akrab dengan mereka. Di antara tanda bakti, cinta, dan penghargaan yang agung kepada orang tua adalah menjaga hubungan dengan mereka setelah orang tua wafat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ“Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah seorang anak yang menyambung hubungan dengan teman-teman dekat ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,مَنْ أحَبَّ أنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِي قَبْرِهِ؛ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيهِ بَعْدَهُ“Barang siapa yang ingin menyambung hubungan dengan ayahnya di kuburnya, maka sambunglah hubungan dengan teman-teman ayahnya setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 432, disahihkan oleh Al-Albani)Di antara contoh berbakti lainnya kepada kedua orangtua sepeninggal mereka adalah:Membayar utang, nazar, dan kafarat merekaSebagaimana kita ketahui, orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang, maka ia akan tertahan oleh utangnya, artinya ia terhalang masuk surga sampai utangnya dilunasi. Dalam hadis disebutkan,يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ“Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya kecuali utangnya.” (HR. Muslim no. 1886)Adapun nazar, disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,أنَّ امرأةً ركِبتِ البحرَ فنذَرَتْ إنِ اللهُ تبارك وتعالى أنجاها أنْ تصومَ شهرًا فأنجاها اللهُ عز وجل فلم تصُمْ حتى ماتتْ فجاءتْ قَرَابَةٌ لها إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فذكرتْ ذلك له فقال : صومي“Seorang wanita melakukan perjalanan laut, lalu ia bernazar jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan berpuasa sebulan. Setelah itu, Allah menyelamatkannya, namun ia meninggal sebelum sempat melaksanakan nazar puasanya. Kerabat perempuannya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu. Nabi bersabda, “Berpuasalah untuknya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1148, hadis ini sahih dengan syarat)Hadis ini juga mencakup kafarat, yang memiliki kedudukan yang sama dengan nazar. Bersedekah atas nama merekaPara ulama sepakat bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ibu Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal ketika ia tidak bersamanya. Sa’d berkata,يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شيءٌ إنْ تَصَدَّقْتُ به عَنْهَا؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فإنِّي أُشْهِدُكَ أنَّ حَائِطِيَ المِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا“Ya Rasulullah, ibuku meninggal saat saya tidak bersamanya. Apakah akan bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Sa’d berkata, “Saksikanlah, kebun kurma saya adalah sedekah untuknya.” (HR. Bukhari no. 2756)Adapun di antara sedekah yang paling baik adalah wakaf, seperti: membangun masjid, asrama, rumah sakit, dan klinik amal untuk merawat orang yang membutuhkan, menggali sumur, mencetak mushaf dan buku-buku ilmu yang bermanfaat, menanggung biaya anak yatim dan janda, serta menanggung biaya para dai dan penuntut ilmu, karena semua ini adalah amalan-amalan yang manfaatnya terus mengalir dan dampaknya bertahan lama. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkan, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya saat sehat dan hidupnya. Semua itu akan menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah no. 200, dihasankan oleh Syekh Al-Albani)PenutupAda satu amal jariyah yang tidak kalah penting yang dapat dipersembahkan seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah mereka wafat, yaitu adalah kesalehan dan amal baik yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Karena “anak adalah hasil jerih payah ayah dan ibunya,” maka setiap amal yang dilakukan anak, yang tentu saja diajarkan oleh orang tuanya, inilah yang menjadi hakikat ilmu yang bermanfaat yang sebenarnya, yang akan menjadi timbangan kebaikan bagi ayah dan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,مَن دعا إلى هُدًى كان له مِن الأجرِ مِثْلُ أجورِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن أجورِهم شيئًا، ومَن دعا إلى ضلالةٍ كان عليه مِن الإثمِ مِثْلُ آثامِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن آثامِهم شيئًا“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 2674)Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من قرأ القرآنَ وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ بأخذِ ولدِكما القرآنَ“Barang siapa membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur’an, kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari. Dan kedua orang tuanya akan dipakaikan dua jubah yang nilainya lebih dari dunia! Mereka bertanya, ‘Karena apa kami dipakaikan ini?’ Dikatakan, ‘Karena anak kalian mengambil Al-Qur’an.” (HR. Al-Hakim no. 2086, Al-Imam Al-Mundziri dalam kitabnya Shahih At-Targhib wa At-Tarhib berkata, “Hadis ini hukumnya sahih atau hasan atau yang mendekati keduanya.”)Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai anak yang dapat berbakti kepada kedua orangtuanya, bahkan sepeninggal mereka, dan semoga kita semua juga diberikan karunia anak-anak saleh yang dapat berbakti kepada kita bahkan setelah kita meninggal dunia. Wallahu a’lam bissowaab.Baca juga: Ingin Bahagia? Berbaktilah kepada Kedua Orang Tua***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua adalah Kewajiban Anak Seumur Hidupnya

Daftar Isi ToggleWujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaBentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatMendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMenunaikan janji-janji merekaMenyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMemuliakan teman-teman merekaMembayar utang, nazar, dan kafarat merekaBersedekah atas nama merekaPenutupBerbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban setiap insan, serta salah satu ibadah yang paling mulia di sisi Allah. Allah Ta’ala telah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan perintah tauhid dan ibadah kepada-Nya. Allah juga menyandingkan hak mereka dengan hak-Nya. Allah berfirman,وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS. Al-Isra: 23)Allah berfirman,وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa: 36)Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,لا يدخلُ الجنَّةَ منَّانٌ، ولا عاقٌّ، ولا مُدمنُ خمرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengungkit pemberian (mannan), orang yang durhaka kepada orang tua (‘aqiq), dan pemabuk (mudmin khamr).” (HR. An-Nasai no. 5688 dan Ahmad no. 6882)Wujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaMungkin ada sebagian dari kita yang saat orang tuanya masih hidup tidak mampu berbakti dengan sempurna. Mungkin ada juga yang pernah menyakiti hati mereka atau durhaka kepada mereka dan kini ingin bertobat serta menebusnya. Sementara itu, ada juga yang telah berbakti dengan baik, namun ingin terus melanjutkan kebaikan itu setelah orang tuanya wafat. Lalu, bagaimana cara berbakti kepada mereka setelah wafatnya mereka?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)Di sinilah peran seorang anak dapat bermanfaat bagi kedua orang tuanya meskipun mereka telah meninggal dunia; yaitu apabila ia selalu berdoa dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi keduanya. Dengan demikian, anak yang beramal saleh untuk kedua orang tuanya akan menjadi perpanjangan dari amal yang telah terputus, dan pahala yang tidak terduga bagi orang yang sudah meninggal. Amal itu akan membahagiakan, mengangkat derajat, menghapus dosa, bahkan mungkin menyelamatkannya dari api neraka.Bentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatDisebutkan dalam hadis dari Abu Usaid As-Sa’idi,بينما نحن عند رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذ جاءه رجلٌ من بني سَلمةَ، فقال: يا رسولَ اللهِ، هل بَقِيَ مِن بِرِّ أَبَويَّ شيءٌ أَبَرُّهما به بعد موتِهما؟ قال: نعم، الصَّلاةُ عليهما ، والاستغفارُ لهما، وإنفاذُ عَهدِهما من بعدِهما، وصِلةُ الرَّحِمِ التي لا تُوصَلُ إلَّا بهما، وإكرامُ صديقِهما“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bakti kepada kedua orang tua saya setelah mereka meninggal?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, ada. Mendoakan mereka, memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji-janji mereka setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahim yang tidak terjalin kecuali karena mereka, dan memuliakan teman-teman mereka.’” (HR. Ibnu Majah no. 3664 dan Ahmad no. 16059)Hadis ini mencakup empat contoh berbakti:Mendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMendoakan di sini berarti memohonkan segala kebaikan bagi mereka, mendoakan agar diluaskan kubur mereka, dianugerahkan kenikmatan di dalamnya, diangkat derajatnya, diterima amal mereka, dikumpulkannya mereka bersama para Nabi, orang-orang saleh, Syuhada, dan para shiddiqin, serta ditempatkannya mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga tertinggi.Memohonkan ampunan dan penghapusan dosa adalah doa yang paling berharga, sebagaimana doa para Nabi untuk orang tua mereka. Seperti doa Nabi Nuh dan Ibrahim ‘alaihimassalam,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang yang masuk ke rumahku dengan beriman serta semua orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari perhitungan.” (QS. Ibrahim: 41)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjadikan doa sebagai tanda kesalehan seorang hamba, Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ! أَنَّى لِي هَذِهِ؟! فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat hamba yang saleh di surga, lalu dia bertanya, ‘Ya Tuhanku, dari mana aku dapatkan ini?’ Dikatakan kepadanya, ‘Itu karena permohonan ampunan dari anakmu untukmu.” (HR. Ahmad no. 10610 dan Ibnu Majah setelah hadis no. 3660; Syekh Al-Albani menghasankan hadis ini) Menunaikan janji-janji merekaSebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah wasiat. Namun, janji sebenarnya lebih luas daripada wasiat, meskipun wasiat adalah bagian yang paling ditekankan. Jika wasiat itu sepertiga atau kurang dari harta, wajib untuk dilaksanakan, selebihnya hukumnya sunah dan bentuk bakti, bukan kewajiban.Janji juga mencakup jika salah satu orang tua berjanji untuk berbuat baik kepada saudaranya karena membutuhkan, atau kepada tetangga, kerabat, atau teman tertentu. Melaksanakan janji-janji ini adalah bagian dari bakti, selama tidak termasuk perbuatan dosa atau maksiat. Menyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMenyambung tali silaturahmi pada dasarnya adalah kewajiban, dan menjadi lebih wajib setelah orang tua meninggal dunia. Silaturahmi ini mencakup paman, bibi, dan anak-anak mereka, saudara laki-laki dan perempuan mereka. Di antara upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan bertutur kata dan berakhlak yang baik kepada mereka, serta sering mengunjungi mereka agar hubungan tidak terputus setelah orang tua meninggal. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pahala karena menyambung silaturahmi dan berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat. Memuliakan teman-teman merekaSetiap orang tua pastilah memiliki teman dekat yang sangat akrab dengan mereka. Di antara tanda bakti, cinta, dan penghargaan yang agung kepada orang tua adalah menjaga hubungan dengan mereka setelah orang tua wafat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ“Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah seorang anak yang menyambung hubungan dengan teman-teman dekat ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,مَنْ أحَبَّ أنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِي قَبْرِهِ؛ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيهِ بَعْدَهُ“Barang siapa yang ingin menyambung hubungan dengan ayahnya di kuburnya, maka sambunglah hubungan dengan teman-teman ayahnya setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 432, disahihkan oleh Al-Albani)Di antara contoh berbakti lainnya kepada kedua orangtua sepeninggal mereka adalah:Membayar utang, nazar, dan kafarat merekaSebagaimana kita ketahui, orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang, maka ia akan tertahan oleh utangnya, artinya ia terhalang masuk surga sampai utangnya dilunasi. Dalam hadis disebutkan,يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ“Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya kecuali utangnya.” (HR. Muslim no. 1886)Adapun nazar, disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,أنَّ امرأةً ركِبتِ البحرَ فنذَرَتْ إنِ اللهُ تبارك وتعالى أنجاها أنْ تصومَ شهرًا فأنجاها اللهُ عز وجل فلم تصُمْ حتى ماتتْ فجاءتْ قَرَابَةٌ لها إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فذكرتْ ذلك له فقال : صومي“Seorang wanita melakukan perjalanan laut, lalu ia bernazar jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan berpuasa sebulan. Setelah itu, Allah menyelamatkannya, namun ia meninggal sebelum sempat melaksanakan nazar puasanya. Kerabat perempuannya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu. Nabi bersabda, “Berpuasalah untuknya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1148, hadis ini sahih dengan syarat)Hadis ini juga mencakup kafarat, yang memiliki kedudukan yang sama dengan nazar. Bersedekah atas nama merekaPara ulama sepakat bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ibu Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal ketika ia tidak bersamanya. Sa’d berkata,يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شيءٌ إنْ تَصَدَّقْتُ به عَنْهَا؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فإنِّي أُشْهِدُكَ أنَّ حَائِطِيَ المِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا“Ya Rasulullah, ibuku meninggal saat saya tidak bersamanya. Apakah akan bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Sa’d berkata, “Saksikanlah, kebun kurma saya adalah sedekah untuknya.” (HR. Bukhari no. 2756)Adapun di antara sedekah yang paling baik adalah wakaf, seperti: membangun masjid, asrama, rumah sakit, dan klinik amal untuk merawat orang yang membutuhkan, menggali sumur, mencetak mushaf dan buku-buku ilmu yang bermanfaat, menanggung biaya anak yatim dan janda, serta menanggung biaya para dai dan penuntut ilmu, karena semua ini adalah amalan-amalan yang manfaatnya terus mengalir dan dampaknya bertahan lama. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkan, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya saat sehat dan hidupnya. Semua itu akan menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah no. 200, dihasankan oleh Syekh Al-Albani)PenutupAda satu amal jariyah yang tidak kalah penting yang dapat dipersembahkan seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah mereka wafat, yaitu adalah kesalehan dan amal baik yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Karena “anak adalah hasil jerih payah ayah dan ibunya,” maka setiap amal yang dilakukan anak, yang tentu saja diajarkan oleh orang tuanya, inilah yang menjadi hakikat ilmu yang bermanfaat yang sebenarnya, yang akan menjadi timbangan kebaikan bagi ayah dan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,مَن دعا إلى هُدًى كان له مِن الأجرِ مِثْلُ أجورِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن أجورِهم شيئًا، ومَن دعا إلى ضلالةٍ كان عليه مِن الإثمِ مِثْلُ آثامِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن آثامِهم شيئًا“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 2674)Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من قرأ القرآنَ وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ بأخذِ ولدِكما القرآنَ“Barang siapa membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur’an, kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari. Dan kedua orang tuanya akan dipakaikan dua jubah yang nilainya lebih dari dunia! Mereka bertanya, ‘Karena apa kami dipakaikan ini?’ Dikatakan, ‘Karena anak kalian mengambil Al-Qur’an.” (HR. Al-Hakim no. 2086, Al-Imam Al-Mundziri dalam kitabnya Shahih At-Targhib wa At-Tarhib berkata, “Hadis ini hukumnya sahih atau hasan atau yang mendekati keduanya.”)Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai anak yang dapat berbakti kepada kedua orangtuanya, bahkan sepeninggal mereka, dan semoga kita semua juga diberikan karunia anak-anak saleh yang dapat berbakti kepada kita bahkan setelah kita meninggal dunia. Wallahu a’lam bissowaab.Baca juga: Ingin Bahagia? Berbaktilah kepada Kedua Orang Tua***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleWujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaBentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatMendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMenunaikan janji-janji merekaMenyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMemuliakan teman-teman merekaMembayar utang, nazar, dan kafarat merekaBersedekah atas nama merekaPenutupBerbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban setiap insan, serta salah satu ibadah yang paling mulia di sisi Allah. Allah Ta’ala telah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan perintah tauhid dan ibadah kepada-Nya. Allah juga menyandingkan hak mereka dengan hak-Nya. Allah berfirman,وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS. Al-Isra: 23)Allah berfirman,وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa: 36)Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,لا يدخلُ الجنَّةَ منَّانٌ، ولا عاقٌّ، ولا مُدمنُ خمرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengungkit pemberian (mannan), orang yang durhaka kepada orang tua (‘aqiq), dan pemabuk (mudmin khamr).” (HR. An-Nasai no. 5688 dan Ahmad no. 6882)Wujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaMungkin ada sebagian dari kita yang saat orang tuanya masih hidup tidak mampu berbakti dengan sempurna. Mungkin ada juga yang pernah menyakiti hati mereka atau durhaka kepada mereka dan kini ingin bertobat serta menebusnya. Sementara itu, ada juga yang telah berbakti dengan baik, namun ingin terus melanjutkan kebaikan itu setelah orang tuanya wafat. Lalu, bagaimana cara berbakti kepada mereka setelah wafatnya mereka?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)Di sinilah peran seorang anak dapat bermanfaat bagi kedua orang tuanya meskipun mereka telah meninggal dunia; yaitu apabila ia selalu berdoa dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi keduanya. Dengan demikian, anak yang beramal saleh untuk kedua orang tuanya akan menjadi perpanjangan dari amal yang telah terputus, dan pahala yang tidak terduga bagi orang yang sudah meninggal. Amal itu akan membahagiakan, mengangkat derajat, menghapus dosa, bahkan mungkin menyelamatkannya dari api neraka.Bentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatDisebutkan dalam hadis dari Abu Usaid As-Sa’idi,بينما نحن عند رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذ جاءه رجلٌ من بني سَلمةَ، فقال: يا رسولَ اللهِ، هل بَقِيَ مِن بِرِّ أَبَويَّ شيءٌ أَبَرُّهما به بعد موتِهما؟ قال: نعم، الصَّلاةُ عليهما ، والاستغفارُ لهما، وإنفاذُ عَهدِهما من بعدِهما، وصِلةُ الرَّحِمِ التي لا تُوصَلُ إلَّا بهما، وإكرامُ صديقِهما“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bakti kepada kedua orang tua saya setelah mereka meninggal?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, ada. Mendoakan mereka, memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji-janji mereka setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahim yang tidak terjalin kecuali karena mereka, dan memuliakan teman-teman mereka.’” (HR. Ibnu Majah no. 3664 dan Ahmad no. 16059)Hadis ini mencakup empat contoh berbakti:Mendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMendoakan di sini berarti memohonkan segala kebaikan bagi mereka, mendoakan agar diluaskan kubur mereka, dianugerahkan kenikmatan di dalamnya, diangkat derajatnya, diterima amal mereka, dikumpulkannya mereka bersama para Nabi, orang-orang saleh, Syuhada, dan para shiddiqin, serta ditempatkannya mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga tertinggi.Memohonkan ampunan dan penghapusan dosa adalah doa yang paling berharga, sebagaimana doa para Nabi untuk orang tua mereka. Seperti doa Nabi Nuh dan Ibrahim ‘alaihimassalam,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang yang masuk ke rumahku dengan beriman serta semua orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari perhitungan.” (QS. Ibrahim: 41)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjadikan doa sebagai tanda kesalehan seorang hamba, Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ! أَنَّى لِي هَذِهِ؟! فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat hamba yang saleh di surga, lalu dia bertanya, ‘Ya Tuhanku, dari mana aku dapatkan ini?’ Dikatakan kepadanya, ‘Itu karena permohonan ampunan dari anakmu untukmu.” (HR. Ahmad no. 10610 dan Ibnu Majah setelah hadis no. 3660; Syekh Al-Albani menghasankan hadis ini) Menunaikan janji-janji merekaSebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah wasiat. Namun, janji sebenarnya lebih luas daripada wasiat, meskipun wasiat adalah bagian yang paling ditekankan. Jika wasiat itu sepertiga atau kurang dari harta, wajib untuk dilaksanakan, selebihnya hukumnya sunah dan bentuk bakti, bukan kewajiban.Janji juga mencakup jika salah satu orang tua berjanji untuk berbuat baik kepada saudaranya karena membutuhkan, atau kepada tetangga, kerabat, atau teman tertentu. Melaksanakan janji-janji ini adalah bagian dari bakti, selama tidak termasuk perbuatan dosa atau maksiat. Menyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMenyambung tali silaturahmi pada dasarnya adalah kewajiban, dan menjadi lebih wajib setelah orang tua meninggal dunia. Silaturahmi ini mencakup paman, bibi, dan anak-anak mereka, saudara laki-laki dan perempuan mereka. Di antara upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan bertutur kata dan berakhlak yang baik kepada mereka, serta sering mengunjungi mereka agar hubungan tidak terputus setelah orang tua meninggal. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pahala karena menyambung silaturahmi dan berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat. Memuliakan teman-teman merekaSetiap orang tua pastilah memiliki teman dekat yang sangat akrab dengan mereka. Di antara tanda bakti, cinta, dan penghargaan yang agung kepada orang tua adalah menjaga hubungan dengan mereka setelah orang tua wafat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ“Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah seorang anak yang menyambung hubungan dengan teman-teman dekat ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,مَنْ أحَبَّ أنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِي قَبْرِهِ؛ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيهِ بَعْدَهُ“Barang siapa yang ingin menyambung hubungan dengan ayahnya di kuburnya, maka sambunglah hubungan dengan teman-teman ayahnya setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 432, disahihkan oleh Al-Albani)Di antara contoh berbakti lainnya kepada kedua orangtua sepeninggal mereka adalah:Membayar utang, nazar, dan kafarat merekaSebagaimana kita ketahui, orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang, maka ia akan tertahan oleh utangnya, artinya ia terhalang masuk surga sampai utangnya dilunasi. Dalam hadis disebutkan,يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ“Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya kecuali utangnya.” (HR. Muslim no. 1886)Adapun nazar, disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,أنَّ امرأةً ركِبتِ البحرَ فنذَرَتْ إنِ اللهُ تبارك وتعالى أنجاها أنْ تصومَ شهرًا فأنجاها اللهُ عز وجل فلم تصُمْ حتى ماتتْ فجاءتْ قَرَابَةٌ لها إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فذكرتْ ذلك له فقال : صومي“Seorang wanita melakukan perjalanan laut, lalu ia bernazar jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan berpuasa sebulan. Setelah itu, Allah menyelamatkannya, namun ia meninggal sebelum sempat melaksanakan nazar puasanya. Kerabat perempuannya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu. Nabi bersabda, “Berpuasalah untuknya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1148, hadis ini sahih dengan syarat)Hadis ini juga mencakup kafarat, yang memiliki kedudukan yang sama dengan nazar. Bersedekah atas nama merekaPara ulama sepakat bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ibu Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal ketika ia tidak bersamanya. Sa’d berkata,يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شيءٌ إنْ تَصَدَّقْتُ به عَنْهَا؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فإنِّي أُشْهِدُكَ أنَّ حَائِطِيَ المِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا“Ya Rasulullah, ibuku meninggal saat saya tidak bersamanya. Apakah akan bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Sa’d berkata, “Saksikanlah, kebun kurma saya adalah sedekah untuknya.” (HR. Bukhari no. 2756)Adapun di antara sedekah yang paling baik adalah wakaf, seperti: membangun masjid, asrama, rumah sakit, dan klinik amal untuk merawat orang yang membutuhkan, menggali sumur, mencetak mushaf dan buku-buku ilmu yang bermanfaat, menanggung biaya anak yatim dan janda, serta menanggung biaya para dai dan penuntut ilmu, karena semua ini adalah amalan-amalan yang manfaatnya terus mengalir dan dampaknya bertahan lama. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkan, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya saat sehat dan hidupnya. Semua itu akan menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah no. 200, dihasankan oleh Syekh Al-Albani)PenutupAda satu amal jariyah yang tidak kalah penting yang dapat dipersembahkan seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah mereka wafat, yaitu adalah kesalehan dan amal baik yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Karena “anak adalah hasil jerih payah ayah dan ibunya,” maka setiap amal yang dilakukan anak, yang tentu saja diajarkan oleh orang tuanya, inilah yang menjadi hakikat ilmu yang bermanfaat yang sebenarnya, yang akan menjadi timbangan kebaikan bagi ayah dan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,مَن دعا إلى هُدًى كان له مِن الأجرِ مِثْلُ أجورِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن أجورِهم شيئًا، ومَن دعا إلى ضلالةٍ كان عليه مِن الإثمِ مِثْلُ آثامِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن آثامِهم شيئًا“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 2674)Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من قرأ القرآنَ وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ بأخذِ ولدِكما القرآنَ“Barang siapa membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur’an, kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari. Dan kedua orang tuanya akan dipakaikan dua jubah yang nilainya lebih dari dunia! Mereka bertanya, ‘Karena apa kami dipakaikan ini?’ Dikatakan, ‘Karena anak kalian mengambil Al-Qur’an.” (HR. Al-Hakim no. 2086, Al-Imam Al-Mundziri dalam kitabnya Shahih At-Targhib wa At-Tarhib berkata, “Hadis ini hukumnya sahih atau hasan atau yang mendekati keduanya.”)Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai anak yang dapat berbakti kepada kedua orangtuanya, bahkan sepeninggal mereka, dan semoga kita semua juga diberikan karunia anak-anak saleh yang dapat berbakti kepada kita bahkan setelah kita meninggal dunia. Wallahu a’lam bissowaab.Baca juga: Ingin Bahagia? Berbaktilah kepada Kedua Orang Tua***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleWujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaBentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatMendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMenunaikan janji-janji merekaMenyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMemuliakan teman-teman merekaMembayar utang, nazar, dan kafarat merekaBersedekah atas nama merekaPenutupBerbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban setiap insan, serta salah satu ibadah yang paling mulia di sisi Allah. Allah Ta’ala telah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan perintah tauhid dan ibadah kepada-Nya. Allah juga menyandingkan hak mereka dengan hak-Nya. Allah berfirman,وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS. Al-Isra: 23)Allah berfirman,وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa: 36)Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,لا يدخلُ الجنَّةَ منَّانٌ، ولا عاقٌّ، ولا مُدمنُ خمرٍ“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengungkit pemberian (mannan), orang yang durhaka kepada orang tua (‘aqiq), dan pemabuk (mudmin khamr).” (HR. An-Nasai no. 5688 dan Ahmad no. 6882)Wujud bakti seorang anak setelah wafatnya kedua orang tuanyaMungkin ada sebagian dari kita yang saat orang tuanya masih hidup tidak mampu berbakti dengan sempurna. Mungkin ada juga yang pernah menyakiti hati mereka atau durhaka kepada mereka dan kini ingin bertobat serta menebusnya. Sementara itu, ada juga yang telah berbakti dengan baik, namun ingin terus melanjutkan kebaikan itu setelah orang tuanya wafat. Lalu, bagaimana cara berbakti kepada mereka setelah wafatnya mereka?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)Di sinilah peran seorang anak dapat bermanfaat bagi kedua orang tuanya meskipun mereka telah meninggal dunia; yaitu apabila ia selalu berdoa dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi keduanya. Dengan demikian, anak yang beramal saleh untuk kedua orang tuanya akan menjadi perpanjangan dari amal yang telah terputus, dan pahala yang tidak terduga bagi orang yang sudah meninggal. Amal itu akan membahagiakan, mengangkat derajat, menghapus dosa, bahkan mungkin menyelamatkannya dari api neraka.Bentuk berbakti kepada orang tua setelah mereka wafatDisebutkan dalam hadis dari Abu Usaid As-Sa’idi,بينما نحن عند رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذ جاءه رجلٌ من بني سَلمةَ، فقال: يا رسولَ اللهِ، هل بَقِيَ مِن بِرِّ أَبَويَّ شيءٌ أَبَرُّهما به بعد موتِهما؟ قال: نعم، الصَّلاةُ عليهما ، والاستغفارُ لهما، وإنفاذُ عَهدِهما من بعدِهما، وصِلةُ الرَّحِمِ التي لا تُوصَلُ إلَّا بهما، وإكرامُ صديقِهما“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bakti kepada kedua orang tua saya setelah mereka meninggal?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, ada. Mendoakan mereka, memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji-janji mereka setelah mereka tiada, menyambung tali silaturahim yang tidak terjalin kecuali karena mereka, dan memuliakan teman-teman mereka.’” (HR. Ibnu Majah no. 3664 dan Ahmad no. 16059)Hadis ini mencakup empat contoh berbakti:Mendoakan dan memohonkan ampunan untuk merekaMendoakan di sini berarti memohonkan segala kebaikan bagi mereka, mendoakan agar diluaskan kubur mereka, dianugerahkan kenikmatan di dalamnya, diangkat derajatnya, diterima amal mereka, dikumpulkannya mereka bersama para Nabi, orang-orang saleh, Syuhada, dan para shiddiqin, serta ditempatkannya mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga tertinggi.Memohonkan ampunan dan penghapusan dosa adalah doa yang paling berharga, sebagaimana doa para Nabi untuk orang tua mereka. Seperti doa Nabi Nuh dan Ibrahim ‘alaihimassalam,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang yang masuk ke rumahku dengan beriman serta semua orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari perhitungan.” (QS. Ibrahim: 41)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjadikan doa sebagai tanda kesalehan seorang hamba, Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ! أَنَّى لِي هَذِهِ؟! فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat hamba yang saleh di surga, lalu dia bertanya, ‘Ya Tuhanku, dari mana aku dapatkan ini?’ Dikatakan kepadanya, ‘Itu karena permohonan ampunan dari anakmu untukmu.” (HR. Ahmad no. 10610 dan Ibnu Majah setelah hadis no. 3660; Syekh Al-Albani menghasankan hadis ini) Menunaikan janji-janji merekaSebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah wasiat. Namun, janji sebenarnya lebih luas daripada wasiat, meskipun wasiat adalah bagian yang paling ditekankan. Jika wasiat itu sepertiga atau kurang dari harta, wajib untuk dilaksanakan, selebihnya hukumnya sunah dan bentuk bakti, bukan kewajiban.Janji juga mencakup jika salah satu orang tua berjanji untuk berbuat baik kepada saudaranya karena membutuhkan, atau kepada tetangga, kerabat, atau teman tertentu. Melaksanakan janji-janji ini adalah bagian dari bakti, selama tidak termasuk perbuatan dosa atau maksiat. Menyambung tali silaturahmi kepada saudara merekaMenyambung tali silaturahmi pada dasarnya adalah kewajiban, dan menjadi lebih wajib setelah orang tua meninggal dunia. Silaturahmi ini mencakup paman, bibi, dan anak-anak mereka, saudara laki-laki dan perempuan mereka. Di antara upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan bertutur kata dan berakhlak yang baik kepada mereka, serta sering mengunjungi mereka agar hubungan tidak terputus setelah orang tua meninggal. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pahala karena menyambung silaturahmi dan berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat. Memuliakan teman-teman merekaSetiap orang tua pastilah memiliki teman dekat yang sangat akrab dengan mereka. Di antara tanda bakti, cinta, dan penghargaan yang agung kepada orang tua adalah menjaga hubungan dengan mereka setelah orang tua wafat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ“Sesungguhnya bakti yang paling utama adalah seorang anak yang menyambung hubungan dengan teman-teman dekat ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,مَنْ أحَبَّ أنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِي قَبْرِهِ؛ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيهِ بَعْدَهُ“Barang siapa yang ingin menyambung hubungan dengan ayahnya di kuburnya, maka sambunglah hubungan dengan teman-teman ayahnya setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 432, disahihkan oleh Al-Albani)Di antara contoh berbakti lainnya kepada kedua orangtua sepeninggal mereka adalah:Membayar utang, nazar, dan kafarat merekaSebagaimana kita ketahui, orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang, maka ia akan tertahan oleh utangnya, artinya ia terhalang masuk surga sampai utangnya dilunasi. Dalam hadis disebutkan,يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ“Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya kecuali utangnya.” (HR. Muslim no. 1886)Adapun nazar, disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,أنَّ امرأةً ركِبتِ البحرَ فنذَرَتْ إنِ اللهُ تبارك وتعالى أنجاها أنْ تصومَ شهرًا فأنجاها اللهُ عز وجل فلم تصُمْ حتى ماتتْ فجاءتْ قَرَابَةٌ لها إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فذكرتْ ذلك له فقال : صومي“Seorang wanita melakukan perjalanan laut, lalu ia bernazar jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan berpuasa sebulan. Setelah itu, Allah menyelamatkannya, namun ia meninggal sebelum sempat melaksanakan nazar puasanya. Kerabat perempuannya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal itu. Nabi bersabda, “Berpuasalah untuknya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1148, hadis ini sahih dengan syarat)Hadis ini juga mencakup kafarat, yang memiliki kedudukan yang sama dengan nazar. Bersedekah atas nama merekaPara ulama sepakat bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ibu Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal ketika ia tidak bersamanya. Sa’d berkata,يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شيءٌ إنْ تَصَدَّقْتُ به عَنْهَا؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فإنِّي أُشْهِدُكَ أنَّ حَائِطِيَ المِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا“Ya Rasulullah, ibuku meninggal saat saya tidak bersamanya. Apakah akan bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Sa’d berkata, “Saksikanlah, kebun kurma saya adalah sedekah untuknya.” (HR. Bukhari no. 2756)Adapun di antara sedekah yang paling baik adalah wakaf, seperti: membangun masjid, asrama, rumah sakit, dan klinik amal untuk merawat orang yang membutuhkan, menggali sumur, mencetak mushaf dan buku-buku ilmu yang bermanfaat, menanggung biaya anak yatim dan janda, serta menanggung biaya para dai dan penuntut ilmu, karena semua ini adalah amalan-amalan yang manfaatnya terus mengalir dan dampaknya bertahan lama. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkan, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya saat sehat dan hidupnya. Semua itu akan menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah no. 200, dihasankan oleh Syekh Al-Albani)PenutupAda satu amal jariyah yang tidak kalah penting yang dapat dipersembahkan seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah mereka wafat, yaitu adalah kesalehan dan amal baik yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Karena “anak adalah hasil jerih payah ayah dan ibunya,” maka setiap amal yang dilakukan anak, yang tentu saja diajarkan oleh orang tuanya, inilah yang menjadi hakikat ilmu yang bermanfaat yang sebenarnya, yang akan menjadi timbangan kebaikan bagi ayah dan ibunya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,مَن دعا إلى هُدًى كان له مِن الأجرِ مِثْلُ أجورِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن أجورِهم شيئًا، ومَن دعا إلى ضلالةٍ كان عليه مِن الإثمِ مِثْلُ آثامِ مَن تبِعهُ لا ينقُصُ ذلك مِن آثامِهم شيئًا“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 2674)Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من قرأ القرآنَ وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ بأخذِ ولدِكما القرآنَ“Barang siapa membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur’an, kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari. Dan kedua orang tuanya akan dipakaikan dua jubah yang nilainya lebih dari dunia! Mereka bertanya, ‘Karena apa kami dipakaikan ini?’ Dikatakan, ‘Karena anak kalian mengambil Al-Qur’an.” (HR. Al-Hakim no. 2086, Al-Imam Al-Mundziri dalam kitabnya Shahih At-Targhib wa At-Tarhib berkata, “Hadis ini hukumnya sahih atau hasan atau yang mendekati keduanya.”)Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai anak yang dapat berbakti kepada kedua orangtuanya, bahkan sepeninggal mereka, dan semoga kita semua juga diberikan karunia anak-anak saleh yang dapat berbakti kepada kita bahkan setelah kita meninggal dunia. Wallahu a’lam bissowaab.Baca juga: Ingin Bahagia? Berbaktilah kepada Kedua Orang Tua***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Mana yang Lebih Banyak Pahalanya: Baca Al-Qur’an dengan Mushaf atau dengan Hafalan?

Mana yang lebih besar pahalanya: membaca Al-Qur’an dari hafalan atau membacanya dari mushaf di luar salat? Keduanya memiliki keutamaan. Membaca Al-Qur’an dari mushaf memiliki keutamaan, demikian pula menghafal Al-Qur’an. Sebaiknya adalah menggabungkan keduanya. Seorang Muslim hendaknya menyediakan waktu khusus untuk menghafal dan waktu khusus untuk membaca Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, “Kepada ahli Al-Qur’an akan dikatakan: ‘Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia, karena kedudukanmu berada pada ayat terakhir yang engkau baca.’” (HR. Abu Dawud). Demikian pula membaca Al-Qur’an memiliki keutamaan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah memenuhi pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Pengampun Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29–30). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi). Jadi, jika dia membaca satu huruf Al-Qur’an, baginya setiap satu huruf dihitung sepuluh kebaikan. Ini adalah karunia yang agung dan pahala yang besar. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa seorang Muslim hendaknya semangat untuk membaca Al-Qur’an, serta mengkhususkan sebagian waktu juga untuk menghafal dan muraja’ah hafalan Al-Qur’an. ===== أَيُّهُمَا أَعْظَمُ أَجْرًا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ حِفْظًا أَمْ تِلَاوَةً خَارِجَ الصَّلَاةِ؟ كُلٌّ مِنْهُمَا لَهُ فَضْلٌ فَالْقِرَاءَةُ لَهَا تِلَاوَةً لَهَا فَضْلٌ وَكَذَلِكَ أَيْضًا حِفْظُ الْقُرْآنِ لَهُ فَضْلٌ وَالَّذِي يَنْبَغِي الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنْ يُخَصِّصَ الْمُسْلِمُ وَقْتًا لِلْحِفْظِ وَوَقْتًا لِلتِّلَاوَةِ فَالْحِفْظُ لَهُ مَقَامٌ رَفِيْعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ وَقَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا وَكَذَلِكَ أَيْضًا تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ لَهَا فَضْلٌ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ِالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ فَإِذَا قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشَرَ حَسَنَاتٍ وَهَذَا فَضْلٌ عَظِيمٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ فَلِهَذَا أَقُولُ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى التِّلَاوَةِ وَأَنْ يُخَصِّصَ جُزْءًا مِنَ الْوَقْتِ لِلْحِفْظِ وَالْمُرَاجَعَةِ

Mana yang Lebih Banyak Pahalanya: Baca Al-Qur’an dengan Mushaf atau dengan Hafalan?

Mana yang lebih besar pahalanya: membaca Al-Qur’an dari hafalan atau membacanya dari mushaf di luar salat? Keduanya memiliki keutamaan. Membaca Al-Qur’an dari mushaf memiliki keutamaan, demikian pula menghafal Al-Qur’an. Sebaiknya adalah menggabungkan keduanya. Seorang Muslim hendaknya menyediakan waktu khusus untuk menghafal dan waktu khusus untuk membaca Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, “Kepada ahli Al-Qur’an akan dikatakan: ‘Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia, karena kedudukanmu berada pada ayat terakhir yang engkau baca.’” (HR. Abu Dawud). Demikian pula membaca Al-Qur’an memiliki keutamaan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah memenuhi pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Pengampun Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29–30). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi). Jadi, jika dia membaca satu huruf Al-Qur’an, baginya setiap satu huruf dihitung sepuluh kebaikan. Ini adalah karunia yang agung dan pahala yang besar. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa seorang Muslim hendaknya semangat untuk membaca Al-Qur’an, serta mengkhususkan sebagian waktu juga untuk menghafal dan muraja’ah hafalan Al-Qur’an. ===== أَيُّهُمَا أَعْظَمُ أَجْرًا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ حِفْظًا أَمْ تِلَاوَةً خَارِجَ الصَّلَاةِ؟ كُلٌّ مِنْهُمَا لَهُ فَضْلٌ فَالْقِرَاءَةُ لَهَا تِلَاوَةً لَهَا فَضْلٌ وَكَذَلِكَ أَيْضًا حِفْظُ الْقُرْآنِ لَهُ فَضْلٌ وَالَّذِي يَنْبَغِي الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنْ يُخَصِّصَ الْمُسْلِمُ وَقْتًا لِلْحِفْظِ وَوَقْتًا لِلتِّلَاوَةِ فَالْحِفْظُ لَهُ مَقَامٌ رَفِيْعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ وَقَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا وَكَذَلِكَ أَيْضًا تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ لَهَا فَضْلٌ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ِالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ فَإِذَا قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشَرَ حَسَنَاتٍ وَهَذَا فَضْلٌ عَظِيمٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ فَلِهَذَا أَقُولُ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى التِّلَاوَةِ وَأَنْ يُخَصِّصَ جُزْءًا مِنَ الْوَقْتِ لِلْحِفْظِ وَالْمُرَاجَعَةِ
Mana yang lebih besar pahalanya: membaca Al-Qur’an dari hafalan atau membacanya dari mushaf di luar salat? Keduanya memiliki keutamaan. Membaca Al-Qur’an dari mushaf memiliki keutamaan, demikian pula menghafal Al-Qur’an. Sebaiknya adalah menggabungkan keduanya. Seorang Muslim hendaknya menyediakan waktu khusus untuk menghafal dan waktu khusus untuk membaca Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, “Kepada ahli Al-Qur’an akan dikatakan: ‘Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia, karena kedudukanmu berada pada ayat terakhir yang engkau baca.’” (HR. Abu Dawud). Demikian pula membaca Al-Qur’an memiliki keutamaan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah memenuhi pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Pengampun Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29–30). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi). Jadi, jika dia membaca satu huruf Al-Qur’an, baginya setiap satu huruf dihitung sepuluh kebaikan. Ini adalah karunia yang agung dan pahala yang besar. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa seorang Muslim hendaknya semangat untuk membaca Al-Qur’an, serta mengkhususkan sebagian waktu juga untuk menghafal dan muraja’ah hafalan Al-Qur’an. ===== أَيُّهُمَا أَعْظَمُ أَجْرًا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ حِفْظًا أَمْ تِلَاوَةً خَارِجَ الصَّلَاةِ؟ كُلٌّ مِنْهُمَا لَهُ فَضْلٌ فَالْقِرَاءَةُ لَهَا تِلَاوَةً لَهَا فَضْلٌ وَكَذَلِكَ أَيْضًا حِفْظُ الْقُرْآنِ لَهُ فَضْلٌ وَالَّذِي يَنْبَغِي الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنْ يُخَصِّصَ الْمُسْلِمُ وَقْتًا لِلْحِفْظِ وَوَقْتًا لِلتِّلَاوَةِ فَالْحِفْظُ لَهُ مَقَامٌ رَفِيْعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ وَقَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا وَكَذَلِكَ أَيْضًا تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ لَهَا فَضْلٌ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ِالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ فَإِذَا قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشَرَ حَسَنَاتٍ وَهَذَا فَضْلٌ عَظِيمٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ فَلِهَذَا أَقُولُ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى التِّلَاوَةِ وَأَنْ يُخَصِّصَ جُزْءًا مِنَ الْوَقْتِ لِلْحِفْظِ وَالْمُرَاجَعَةِ


Mana yang lebih besar pahalanya: membaca Al-Qur’an dari hafalan atau membacanya dari mushaf di luar salat? Keduanya memiliki keutamaan. Membaca Al-Qur’an dari mushaf memiliki keutamaan, demikian pula menghafal Al-Qur’an. Sebaiknya adalah menggabungkan keduanya. Seorang Muslim hendaknya menyediakan waktu khusus untuk menghafal dan waktu khusus untuk membaca Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi. Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, “Kepada ahli Al-Qur’an akan dikatakan: ‘Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia, karena kedudukanmu berada pada ayat terakhir yang engkau baca.’” (HR. Abu Dawud). Demikian pula membaca Al-Qur’an memiliki keutamaan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah memenuhi pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Pengampun Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29–30). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi). Jadi, jika dia membaca satu huruf Al-Qur’an, baginya setiap satu huruf dihitung sepuluh kebaikan. Ini adalah karunia yang agung dan pahala yang besar. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa seorang Muslim hendaknya semangat untuk membaca Al-Qur’an, serta mengkhususkan sebagian waktu juga untuk menghafal dan muraja’ah hafalan Al-Qur’an. ===== أَيُّهُمَا أَعْظَمُ أَجْرًا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ حِفْظًا أَمْ تِلَاوَةً خَارِجَ الصَّلَاةِ؟ كُلٌّ مِنْهُمَا لَهُ فَضْلٌ فَالْقِرَاءَةُ لَهَا تِلَاوَةً لَهَا فَضْلٌ وَكَذَلِكَ أَيْضًا حِفْظُ الْقُرْآنِ لَهُ فَضْلٌ وَالَّذِي يَنْبَغِي الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنْ يُخَصِّصَ الْمُسْلِمُ وَقْتًا لِلْحِفْظِ وَوَقْتًا لِلتِّلَاوَةِ فَالْحِفْظُ لَهُ مَقَامٌ رَفِيْعٌ وَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ وَقَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا وَكَذَلِكَ أَيْضًا تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ لَهَا فَضْلٌ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ِالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ فَإِذَا قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشَرَ حَسَنَاتٍ وَهَذَا فَضْلٌ عَظِيمٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ فَلِهَذَا أَقُولُ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى التِّلَاوَةِ وَأَنْ يُخَصِّصَ جُزْءًا مِنَ الْوَقْتِ لِلْحِفْظِ وَالْمُرَاجَعَةِ

Engkau Tak Tahu, Mungkin Amal Ini yang Akan Menyelamatkanmu – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ

Engkau Tak Tahu, Mungkin Amal Ini yang Akan Menyelamatkanmu – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ
Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ


Engkau tidak tahu, amal apa yang kelak akan menyelamatkanmu: sepotong kurma (yang engkau sedekahkan), kalimah thayyibah (tasbih, tahlil…), salat dua rakaat di tengah malam, engkau mengelus kepala anak yatim, memberi makan orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, mencium ibu dan bapakmu, mencium kepala atau tangan ibumu, Engkau tidak tahu mungkin saja amal-amal itu yang menjadi sebab keselamatanmu dari api neraka. ===== لَا تَدْرِي مَا الَّذِي يُنْجِيكَ شِقُّ تَمْرَةٍ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ تَسْبِيحَةٌ تَهْلِيلَةٌ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ تَمْسَحُ رَأْسَ الْيَتِيمِ تُطْعِمُ الْمِسْكِينَ تَبِرُّ وَالِدَيكَ تُقَبِّلُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَتُقَبِّلُ رَأْسَ وَالِدَتَكَ أَوْ يَدَهَا مَا تَدْرِي لَعَلَّ هَذِهِ تَكُونُ سَبَبًا فِي نَجَاتِكَ مِنَ النَّارِ

Tiga Asas agar Selamat dari Kesesatan

Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.

Tiga Asas agar Selamat dari Kesesatan

Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.
Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.


Daftar Isi ToggleAsas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAsas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilIslam menyediakan panduan dan keteladananAsas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalVersatilitas asas keselamatanKeadaan akhir zaman membuat manusia selalu diterpa syubhat yang tersebar di berbagai media. Kemudahan akses teknologi menyebabkan para penyeru kesesatan memiliki ruang untuk membagikan pemikiran sesat mereka. Malah keadaan media saat ini dikuasai oleh para penyeru kesesatan. Karena mereka tidak memiliki batasan dalam menggunakan media, sehingga mereka gencar sekali membuat konten atau diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.Seorang muslim butuh kepada tameng berupa paradigma serta langkah agar kita tidak tenggelam dalam kesesatan. Syubhat yang begitu banyak dan kian canggih tidak dapat lagi dijawab semuanya dengan jawaban para ulama. Bukan karena ketidakmampuan khazanah ilmu Islam, melainkan karena masif dan cepatnya syubhat itu tersebar. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah antibodi personal muslim agar dapat menangkis sambaran syubhat tersebut.Syekh Sa’ad Asy-Syal hafizhahullah membawakan tiga asas seorang muslim dalam menangkal kesesatan. [1] Tidak hanya menangkal, tetapi juga menyelamatkan diri apabila telah terjerumus dalam kesesatan. Asas ini sebetulnya dimaksudkan menjadi upaya bagi seorang muslim agar terhindar dari jeratan hawa nafsu. Namun, asas ini secara luas juga mendalam dapat diterapkan dalam menghindari kesesatan. Karena kesesatan -sedikit maupun banyak- itu didorong oleh hawa nafsu. Dan kesesatan pun bisa berupa dorongan syahwat maupun syubhat.Asas pertama: Menyandarkan segalanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjauhi bidahAllah dan Rasul-Nya telah meninggalkan sebuah pegangan yang dijamin tidak akan menyimpangkan pemegangnya, ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadis yang masyhur,إني قد تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي“Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh dengan keduanya, yaitu al-Qur’an dan sunahku.“ (HR. Al-Hakim, 1: 284. Dinilai sahih oleh al-Albani)Sehingga tidak ada jalan yang paling selamat, khususnya dalam urusan agama, melainkan dengan menyandarkan urusan tersebut kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.Sifat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pegangan yang pasti kebenarannya menunjukkan bahwa segala yang diliputi wahyu tersebut tidaklah mungkin salah. Hal ini melahirkan pegangan penting bahwa termasuk dalam urusan dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat pula menjadi pegangan. Dalil yang menunjukkan ini di antaranya adalah,فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)Dalam hadis diriwayatkan,أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)Kedua dalil ini menunjukkan bahwasanya terdapat keluasan dalam mengambil jalan pada perkara dunia. Namun, jalan kebaikan tersebut pasti tidak akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena telah dijaminkan oleh Allah ﷻ bahwasanya keduanya tidak mungkin salah.وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ (4) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)Oleh karena itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebaik-baik jalan kehidupan. Segala pemikiran dan filsafat yang berbicara tentang kehidupan, tidak pernah lebih baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena pemikiran dan filosofi kehidupan yang dibawa keduanya adalah diturunkan oleh Allah ﷻ Sang Pencipta dan Pemilik Kehidupan. Adapun Rasul-Nya adalah utusan dan teladan terbaik bagi umat manusia.Asas kedua: Mengikuti manhaj para salaf dalam meneliti dan mengambil dalilAllah ﷻ menjaga agama ini dengan melanggengkan keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kehidupan manusia melalui para ulama. Dalam sebuah hadis disebutkan,يحمِلُ هذا العلمَ من كلِّ خلَفٍ عدولُه ينفونَ عنهُ تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المبطلينَ وتأويلَ الجاهلينَ“Ilmu ini dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang membantah penyelewengan orang yang melampaui batas, rekayasa para pemalsu, dan penakwilan kaum jahil.” (HR. Abu Nuaim no. 732 dan Al-Baihaqi no. 21439)Penjagaan pertama yang dilakukan adalah dengan menjadikan generasi penerima langsung dari Rasulullah ﷺ adalah para sahabat yang terkenal amanahnya. Allah ﷻ memuji dan memilih mereka secara khusus. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad no. 3600. Syekh Ahmad Syakir menilai sanadnya sahih)Nabi ﷺ juga memerintahkan secara langsung untuk mengikuti para sahabat. Nabi ﷺ bersabda,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676. At-Tirmidizi mengatakan hadis ini hasan sahih.)Maka, agama ini dijalankan tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga pada pemahaman dan praktik para periwayat keduanya, yakni para sahabat dan ahli hadis. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti jalan para salaf dalam meneliti dan memahami nash yang ada dalam agama ini. Mulai dari metode uji validitas hingga metode pengambilan hukum, semuanya wajib disandarkan kepada para salaf dalam kaidah-kaidahnya.Keindahan Islam ditunjukkan dalam realita ini. Islam tidak sekadar membawa informasi teks sebagai panduan, tetapi juga praktik dan keteladanan. Hal ini tidak ditemukan dalam konstruksi budaya dan pemikiran lain.Islam menyediakan panduan dan keteladananJika Anda mengacu kepada filsafat Barat misalnya, dalam konteks nilai-nilai kehidupan mungkin akan terkesan keren dan bijaksana sekali. Namun, jika kita melihat praktik dan keteladanan kehidupan sosok-sosoknya, tentu Anda pasti akan kecewa.Sebut saja Marcus Aurelius, tokoh filsafat stoikisme yang terkenal dengan filsafat etika, ia menjadi pemimpin yang melakukan penyiksaan kepada segolongan Kristen karena menyelisihi keyakinan negara. [2] Nietzsche yang terkenal dengan pikirannya yang mendalam tentang kehidupan, sangat merendahkan wanita. [3] Ia pun mati tragis dalam keadaan gila. Empedocles mati dengan melompat ke gunung berapi yang masih aktif karena ingin membuktikan dirinya sebagai Dewa dan mampu berreinkarnasi.Filsafat Barat mungkin memberikan kaidah-kaidah kehidupan yang terkesan indah, tetapi tidak memberikan keteladanan yang mulia. Sedangkan kehidupan para salaf, dari zaman Nabi dan sahabatnya, hingga dua kurun setelahnya maupun para pengikutnya, memiliki keteladanan kolektif. Keberagaman praktik mereka terhadap panduan agama tetap dapat diikuti karena masih dalam ruang lingkup syariat. Adapun yang keluar dari hal tersebut, langung diketahui oleh para ulama yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya peer-review yang baru diimplementasi oleh dunia sains modern. Maka, sangat layak bagi kita untuk mengambil metode para salaf, tidak hanya dalam meneliti dalil, tetapi juga dalam mempraktikkan dan berbuah amal.Asas ketiga: Bertakwa dan ikhlas dalam beramalMusuh utama hawa nafsu adalah takwa dan ikhlas. Sikap takwa dan ikhlas adalah wujud dari tidak memberikan makan terhadap hawa nafsu. Apabila segala orientasi amal itu hanya untuk Allah ﷻ, maka hawa nafsu akan melemah karena tidak diberi asupan. Sehingga hawa nafsu akan terkalahkan dan kehidupan seseorang terbimbing dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalannya para salaf. Syekh Sa’ad Asy-Syal berkata,التقوى والإخلاص وهما ضد الهوى، فلا يلتقيان معه في قلب أبداً، وهما أعظم أسباب النور والحكمة والهداية“Takwa dan ikhlas itu adalah musuh hawa nafsu, tidak akan bertemu dalam satu hati selama-selamanya, serta menjadi sebab paling besar atas cahaya, hikmah, dan hidayah.” [4]Versatilitas asas keselamatanAsas yang tersebutkan memang merupakan kaidah yang sangat umum sekali. Namun, sebuah asas atau pondasi memanglah bersifat luas, tetapi jelas membatasi perkara yang tidak masuk ke dalamnya (jami’ mani’). Agar banyak lahir implementasi dan praktiknya terhadap beragam keadaan yang terjadi. Sehingga kaidah ini dapat menjadi pegangan yang versatil dan bertahan sepanjang zaman.Seorang muslim yang berpandukan kepada tiga asas ini dan berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat dari jurang kesesatan. Tentu ketiganya hanyalah usaha yang dapat dilakukan oleh seseorang. Adapun kepastian keselamatan hanyalah milik Allah ﷻ. Maka, wajib bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ agar selamat dari fitnah. Rutinkanlah doa perlindungan dari fitnah,اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari azab neraka, dari fitnah kehidupan dan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim no. 588)Baca juga: Kesesatan yang Paling Parah***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Pembahasan ini diambil dari Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.[2] Sejarah Filsafat Barat, hal. 356; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell.[3] Sejarah Filsafat Barat, hal. 994; cet. Pustaka Pelajar, karya Bertrand Russell. Pandangan ini banyak termaktub dalam Will to Power Beyond Good and Evil dan Thus Spoke Zarathustra.[4] Adab Al-Iktilaf Baina Ash-Shahabah, hal. 133; karya Syekh Sa’ad Asy-Syal.

Rahasia Orang yang Selalu Ditolong Allah di Saat Sulit – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ

Rahasia Orang yang Selalu Ditolong Allah di Saat Sulit – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ


Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hikmah-Nya, menetapkan ujian bagi manusia, sebagaimana telah kita bahas. Ujian itu berupa perintah, larangan, dan musibah. Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4). Alangkah indahnya ucapan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang makna al-kabad dalam ayat ini. Beliau berkata: “Yaitu kesempitan-kesempitan dunia dan kesulitan-kesulitan akhirat.” Apa itu al-kabad? Kesempitan-kesempitan dunia, dan ini bersifat sementara. Adapun yang lebih berat adalah kesulitan-kesulitan akhirat. Namun, barang siapa menghendaki agar Allah mengenalnya dalam kesempitan dan kesulitan ini, maka hendaklah ia mengenal Allah ketika ia berada dalam kelapangan dan kesejahteraan. Dalam wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas disebutkan:“Wahai anak muda, jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Kenalilah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, niscaya Dia mengenalmu ketika engkau dalam kesulitan.” (HR. At-Tirmidzi). Hal ini karena manusia, sebagaimana telah disebutkan, dalam keadaan lapang cenderung lalai dan bersenang-senang. Ia mungkin enggan mendekatkan diri kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketika tertimpa kesulitan, bahkan orang kafir pun mengingat Tuhannya. “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya…” (QS. Al-Ankabut: 65). Maksudnya, seorang hamba hendaknya senantiasa mempererat hubungannya dengan Tuhannya, selalu mengenal-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sehingga ketika datang kesempitan dunia dan kesulitan akhirat, Tuhannya mengenalnya, lalu menghilangkan segala kesusahan darinya, mengangkat segala duka dan kegelisahannya, serta memudahkan baginya segala urusan yang sulit. ==== فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَجْرَى بِحِكْمَتِهِ أَنْ يَبْتَلِيَ النَّاسَ كَمَا مَرَّ بِنَا بِالْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَالْمَصَائِبِ حَتَّى قَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى الْكَبَدِ هُنَا قَالَ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَشَدَائِدُ الْآخِرَةِ الْكَبَدُ مَا هُوَ؟ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَهَذِه عَابِرَةٌ وَأَمَّا الْأَشَدُّ شَدَائِدُ الْآخِرَةِ لَكِنْ مَنْ أَرَادَ مِنْ رَبِّهِ أَنْ يَعْرِفَهُ فِي هَذِهِ الْمَضَائِقِ وَالشَّدَائِدِ فَلْيَتَعَرَّفْ إلَى رَبِّهِ فِي حَالِ رَخَائِهِ وَعَافِيَتِهِ وَفِي وَصِيَّةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ الْعَبَّاسِ يَا غُلَامُ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْإِنْسَانَ كَمَا مَرَّ فِي حَالِ الرَّخَاءِ يَسْلُو وَيَلْهُو قَدْ لَا يَنْشَطُ فِي تَعَرُّفِهِ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ فِي حَالِ الشِّدَّةِ حَتَّى الْكَافِرُ يَعْرِفُ رَبَّهُ فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ تَكُونَ صِلَتُهُ بِرَبِّه وَثِيْقَةً تَعَرَّفَ بِرَبِّهِ دَائِمًا وَأَبَدًا حَتَّى إِذَا جَاءَتْ مَضَائِقُ الدُّنْيَا وَالشَّدَائِدُ الْآخِرَةِ عَرَفَهُ رَبُّهُ فَفَرَّجَ عَنْه الْكُرُبَاتِ وَنَفَّسَ عَنْهُ الْهُمُومَ وَالْغُمُومَ وَيَسَّرَ لَهُ كُلَّ عَسِيرٍ

Fikih Utang Piutang (Bag. 10): Utang yang Mendatangkan Manfaat atau Keuntungan

Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.

Fikih Utang Piutang (Bag. 10): Utang yang Mendatangkan Manfaat atau Keuntungan

Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.
Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.


Daftar Isi ToggleUtang yang mendatangkan manfaatKeadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakKeadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadTerdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.Utang yang mendatangkan manfaatMaksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihakYakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Dalam kaidah fikih disebutkan,العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.” Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akadAdapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.“Nabi ﷺ pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi ﷺ.Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.” Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.
Prev     Next