Lima Penyakit Hati yang Paling Membinasakan

Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id

Lima Penyakit Hati yang Paling Membinasakan

Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id

Karakter Muslim: Selalu Menebar Manfaat dan Memberi Dampak Positif

المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 101 times, 1 visit(s) today Post Views: 228 QRIS donasi Yufid

Karakter Muslim: Selalu Menebar Manfaat dan Memberi Dampak Positif

المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 101 times, 1 visit(s) today Post Views: 228 QRIS donasi Yufid
المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 101 times, 1 visit(s) today Post Views: 228 QRIS donasi Yufid


المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 101 times, 1 visit(s) today Post Views: 228 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tak Punya Uang untuk Sedekah? Ini 5 Pintu Sedekah yang Bisa Kamu Lakukan Hari Ini

Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Tak Punya Uang untuk Sedekah? Ini 5 Pintu Sedekah yang Bisa Kamu Lakukan Hari Ini

Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ
Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ


Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi

Setiap mukmin tentu berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Namun, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar mencintai seseorang? Apakah ada tanda-tanda yang bisa dirasakan di dunia sebelum kelak memperoleh kemuliaan di akhirat? Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sangat indah dalam sebuah hadits sahih. Ketika Allah mencintai seorang hamba, kecintaan itu tidak berhenti di langit. Ia disebarkan kepada Jibril, diumumkan kepada para malaikat, lalu ditanamkan di hati manusia. Orang tersebut menjadi sosok yang disukai, disegani, dan diterima oleh orang-orang saleh di bumi. Inilah rahasia yang menjelaskan mengapa sebagian orang mudah dicintai karena keimanannya, sementara sebagian lain justru dibenci karena keburukannya. Cinta dan benci sejati bukanlah urusan popularitas, tetapi tanda hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Tulisan ini akan menguraikan kandungan agung dari hadits tersebut—tentang makna cinta Allah, tanda-tanda-Nya di dunia, dan cara seorang mukmin meniti jalan agar dicintai oleh Allah, dicintai penduduk langit, dan diterima oleh manusia di bumi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, – إنَّ اللَّهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فأحِبَّهُ، قالَ: فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في السَّماءِ فيَقولُ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ، وإذا أبْغَضَ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فيَقولُ: إنِّي أُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضْهُ، قالَ فيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في أهْلِ السَّماءِ إنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضُوهُ، قالَ: فيُبْغِضُونَهُ، ثُمَّ تُوضَعُ له البَغْضاءُ في الأرْضِ. “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit seraya berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu Allah menjadikan penerimaan dan simpati terhadapnya di bumi. Dan apabila Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membencinya. Lalu Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka mereka pun membencinya, kemudian kebencian terhadapnya ditanamkan di bumi.” (HR. Muslim, no. 2637; juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 7485 dengan redaksi yang sedikit berbeda) Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا أحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحْبِبْهُ، فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فيُنَادِي جِبْرِيلُ في أهْلِ السَّمَاءِ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ. “Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Selanjutnya, Allah menjadikan penerimaan (simpati dan kecintaan) terhadapnya di bumi.” (HR. Al-Bukhari, no. 3209; juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 2637) Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan memperoleh cinta Allah Ta‘ālā dan balasan yang menyertainya di dunia, sebelum kenikmatan abadi yang menantinya di akhirat. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba—karena ketaatannya kepada-Nya—maka Allah Yang Mahasuci dan Mahaagung memanggil malaikat Jibril ‘alaihis-salām dan berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka Jibril pun mencintainya. Setelah itu, Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka seluruh penduduk langit mencintainya. Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Kemudian Allah menanamkan al-qabūl (penerimaan dan simpati) baginya di bumi — yaitu, di hati sebagian besar kaum mukmin yang mengenalnya. Ia pun mendapatkan nama baik dan reputasi yang terpuji di tengah manusia. Maknanya adalah: Allah meletakkan rasa cinta terhadap hamba itu di hati manusia, sehingga mereka mencintainya, menyanjungnya, dan merasa condong kepadanya. Hati manusia menjadi luluh dan ridha terhadap dirinya — semua itu merupakan pantulan dari cinta Allah. Sifat mahabbah (cinta) adalah sifat yang tetap bagi Allah Ta‘ālā, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tanpa diserupakan dengan makhluk. Adapun cinta Jibril dan para malaikat kepada hamba tersebut memiliki dua makna: Mereka mendoakan, memuji, dan memohonkan ampunan baginya — ini bentuk cinta dalam makna doa dan dukungan. Mereka mencintainya dalam makna sebagaimana cinta yang dikenal di kalangan makhluk, yaitu kecenderungan hati dan kerinduan untuk bertemu dengannya. Sebab utama cinta mereka ialah karena hamba itu taat kepada Allah, sehingga menjadi sosok yang dicintai oleh-Nya.   Kandungan Fikih Hadits Tolok ukur cinta dan benci manusia yang benar hanyalah berdasarkan iman dan kebaikan. Kecintaan kepada seseorang adalah karena keutamaannya dalam agama dan amal salehnya, bukan karena hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Adapun kebencian para pendosa terhadap orang saleh tidak mengurangi kemuliaannya sedikit pun; justru hal itu menjadi bukti kebenaran jalan yang ditempuhnya. Orang beriman melihat dengan cahaya Allah—mereka mencintai siapa yang dicintai oleh Allah. Hadits ini menetapkan dua sifat bagi Allah Ta‘ālā, yaitu sifat mahabbah (cinta) dan kalām (berbicara), dengan makna yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Ketaatan para malaikat kepada Allah bersifat mutlak, tanpa keraguan atau penundaan sedikit pun. Jibril ‘alaihis-salām adalah pemimpin para malaikat dan penyampai wahyu dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Siapa yang dicintai oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan mencintainya. Sebaliknya, siapa yang dibenci oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan membencinya. Karena itu, hendaknya setiap hamba berupaya sungguh-sungguh untuk meraih cinta Allah — dengan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal wajib, dan terus meningkatkan amal ketaatan serta menjauhi segala kemaksiatan.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin dan Dorar.Net   ———   Gunungkidul, 16 Oktober 2025 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com Tagscinta Allah cinta dalam islam mahabbah

Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi

Setiap mukmin tentu berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Namun, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar mencintai seseorang? Apakah ada tanda-tanda yang bisa dirasakan di dunia sebelum kelak memperoleh kemuliaan di akhirat? Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sangat indah dalam sebuah hadits sahih. Ketika Allah mencintai seorang hamba, kecintaan itu tidak berhenti di langit. Ia disebarkan kepada Jibril, diumumkan kepada para malaikat, lalu ditanamkan di hati manusia. Orang tersebut menjadi sosok yang disukai, disegani, dan diterima oleh orang-orang saleh di bumi. Inilah rahasia yang menjelaskan mengapa sebagian orang mudah dicintai karena keimanannya, sementara sebagian lain justru dibenci karena keburukannya. Cinta dan benci sejati bukanlah urusan popularitas, tetapi tanda hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Tulisan ini akan menguraikan kandungan agung dari hadits tersebut—tentang makna cinta Allah, tanda-tanda-Nya di dunia, dan cara seorang mukmin meniti jalan agar dicintai oleh Allah, dicintai penduduk langit, dan diterima oleh manusia di bumi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, – إنَّ اللَّهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فأحِبَّهُ، قالَ: فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في السَّماءِ فيَقولُ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ، وإذا أبْغَضَ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فيَقولُ: إنِّي أُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضْهُ، قالَ فيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في أهْلِ السَّماءِ إنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضُوهُ، قالَ: فيُبْغِضُونَهُ، ثُمَّ تُوضَعُ له البَغْضاءُ في الأرْضِ. “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit seraya berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu Allah menjadikan penerimaan dan simpati terhadapnya di bumi. Dan apabila Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membencinya. Lalu Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka mereka pun membencinya, kemudian kebencian terhadapnya ditanamkan di bumi.” (HR. Muslim, no. 2637; juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 7485 dengan redaksi yang sedikit berbeda) Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا أحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحْبِبْهُ، فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فيُنَادِي جِبْرِيلُ في أهْلِ السَّمَاءِ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ. “Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Selanjutnya, Allah menjadikan penerimaan (simpati dan kecintaan) terhadapnya di bumi.” (HR. Al-Bukhari, no. 3209; juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 2637) Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan memperoleh cinta Allah Ta‘ālā dan balasan yang menyertainya di dunia, sebelum kenikmatan abadi yang menantinya di akhirat. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba—karena ketaatannya kepada-Nya—maka Allah Yang Mahasuci dan Mahaagung memanggil malaikat Jibril ‘alaihis-salām dan berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka Jibril pun mencintainya. Setelah itu, Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka seluruh penduduk langit mencintainya. Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Kemudian Allah menanamkan al-qabūl (penerimaan dan simpati) baginya di bumi — yaitu, di hati sebagian besar kaum mukmin yang mengenalnya. Ia pun mendapatkan nama baik dan reputasi yang terpuji di tengah manusia. Maknanya adalah: Allah meletakkan rasa cinta terhadap hamba itu di hati manusia, sehingga mereka mencintainya, menyanjungnya, dan merasa condong kepadanya. Hati manusia menjadi luluh dan ridha terhadap dirinya — semua itu merupakan pantulan dari cinta Allah. Sifat mahabbah (cinta) adalah sifat yang tetap bagi Allah Ta‘ālā, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tanpa diserupakan dengan makhluk. Adapun cinta Jibril dan para malaikat kepada hamba tersebut memiliki dua makna: Mereka mendoakan, memuji, dan memohonkan ampunan baginya — ini bentuk cinta dalam makna doa dan dukungan. Mereka mencintainya dalam makna sebagaimana cinta yang dikenal di kalangan makhluk, yaitu kecenderungan hati dan kerinduan untuk bertemu dengannya. Sebab utama cinta mereka ialah karena hamba itu taat kepada Allah, sehingga menjadi sosok yang dicintai oleh-Nya.   Kandungan Fikih Hadits Tolok ukur cinta dan benci manusia yang benar hanyalah berdasarkan iman dan kebaikan. Kecintaan kepada seseorang adalah karena keutamaannya dalam agama dan amal salehnya, bukan karena hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Adapun kebencian para pendosa terhadap orang saleh tidak mengurangi kemuliaannya sedikit pun; justru hal itu menjadi bukti kebenaran jalan yang ditempuhnya. Orang beriman melihat dengan cahaya Allah—mereka mencintai siapa yang dicintai oleh Allah. Hadits ini menetapkan dua sifat bagi Allah Ta‘ālā, yaitu sifat mahabbah (cinta) dan kalām (berbicara), dengan makna yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Ketaatan para malaikat kepada Allah bersifat mutlak, tanpa keraguan atau penundaan sedikit pun. Jibril ‘alaihis-salām adalah pemimpin para malaikat dan penyampai wahyu dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Siapa yang dicintai oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan mencintainya. Sebaliknya, siapa yang dibenci oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan membencinya. Karena itu, hendaknya setiap hamba berupaya sungguh-sungguh untuk meraih cinta Allah — dengan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal wajib, dan terus meningkatkan amal ketaatan serta menjauhi segala kemaksiatan.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin dan Dorar.Net   ———   Gunungkidul, 16 Oktober 2025 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com Tagscinta Allah cinta dalam islam mahabbah
Setiap mukmin tentu berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Namun, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar mencintai seseorang? Apakah ada tanda-tanda yang bisa dirasakan di dunia sebelum kelak memperoleh kemuliaan di akhirat? Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sangat indah dalam sebuah hadits sahih. Ketika Allah mencintai seorang hamba, kecintaan itu tidak berhenti di langit. Ia disebarkan kepada Jibril, diumumkan kepada para malaikat, lalu ditanamkan di hati manusia. Orang tersebut menjadi sosok yang disukai, disegani, dan diterima oleh orang-orang saleh di bumi. Inilah rahasia yang menjelaskan mengapa sebagian orang mudah dicintai karena keimanannya, sementara sebagian lain justru dibenci karena keburukannya. Cinta dan benci sejati bukanlah urusan popularitas, tetapi tanda hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Tulisan ini akan menguraikan kandungan agung dari hadits tersebut—tentang makna cinta Allah, tanda-tanda-Nya di dunia, dan cara seorang mukmin meniti jalan agar dicintai oleh Allah, dicintai penduduk langit, dan diterima oleh manusia di bumi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, – إنَّ اللَّهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فأحِبَّهُ، قالَ: فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في السَّماءِ فيَقولُ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ، وإذا أبْغَضَ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فيَقولُ: إنِّي أُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضْهُ، قالَ فيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في أهْلِ السَّماءِ إنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضُوهُ، قالَ: فيُبْغِضُونَهُ، ثُمَّ تُوضَعُ له البَغْضاءُ في الأرْضِ. “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit seraya berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu Allah menjadikan penerimaan dan simpati terhadapnya di bumi. Dan apabila Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membencinya. Lalu Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka mereka pun membencinya, kemudian kebencian terhadapnya ditanamkan di bumi.” (HR. Muslim, no. 2637; juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 7485 dengan redaksi yang sedikit berbeda) Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا أحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحْبِبْهُ، فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فيُنَادِي جِبْرِيلُ في أهْلِ السَّمَاءِ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ. “Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Selanjutnya, Allah menjadikan penerimaan (simpati dan kecintaan) terhadapnya di bumi.” (HR. Al-Bukhari, no. 3209; juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 2637) Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan memperoleh cinta Allah Ta‘ālā dan balasan yang menyertainya di dunia, sebelum kenikmatan abadi yang menantinya di akhirat. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba—karena ketaatannya kepada-Nya—maka Allah Yang Mahasuci dan Mahaagung memanggil malaikat Jibril ‘alaihis-salām dan berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka Jibril pun mencintainya. Setelah itu, Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka seluruh penduduk langit mencintainya. Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Kemudian Allah menanamkan al-qabūl (penerimaan dan simpati) baginya di bumi — yaitu, di hati sebagian besar kaum mukmin yang mengenalnya. Ia pun mendapatkan nama baik dan reputasi yang terpuji di tengah manusia. Maknanya adalah: Allah meletakkan rasa cinta terhadap hamba itu di hati manusia, sehingga mereka mencintainya, menyanjungnya, dan merasa condong kepadanya. Hati manusia menjadi luluh dan ridha terhadap dirinya — semua itu merupakan pantulan dari cinta Allah. Sifat mahabbah (cinta) adalah sifat yang tetap bagi Allah Ta‘ālā, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tanpa diserupakan dengan makhluk. Adapun cinta Jibril dan para malaikat kepada hamba tersebut memiliki dua makna: Mereka mendoakan, memuji, dan memohonkan ampunan baginya — ini bentuk cinta dalam makna doa dan dukungan. Mereka mencintainya dalam makna sebagaimana cinta yang dikenal di kalangan makhluk, yaitu kecenderungan hati dan kerinduan untuk bertemu dengannya. Sebab utama cinta mereka ialah karena hamba itu taat kepada Allah, sehingga menjadi sosok yang dicintai oleh-Nya.   Kandungan Fikih Hadits Tolok ukur cinta dan benci manusia yang benar hanyalah berdasarkan iman dan kebaikan. Kecintaan kepada seseorang adalah karena keutamaannya dalam agama dan amal salehnya, bukan karena hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Adapun kebencian para pendosa terhadap orang saleh tidak mengurangi kemuliaannya sedikit pun; justru hal itu menjadi bukti kebenaran jalan yang ditempuhnya. Orang beriman melihat dengan cahaya Allah—mereka mencintai siapa yang dicintai oleh Allah. Hadits ini menetapkan dua sifat bagi Allah Ta‘ālā, yaitu sifat mahabbah (cinta) dan kalām (berbicara), dengan makna yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Ketaatan para malaikat kepada Allah bersifat mutlak, tanpa keraguan atau penundaan sedikit pun. Jibril ‘alaihis-salām adalah pemimpin para malaikat dan penyampai wahyu dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Siapa yang dicintai oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan mencintainya. Sebaliknya, siapa yang dibenci oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan membencinya. Karena itu, hendaknya setiap hamba berupaya sungguh-sungguh untuk meraih cinta Allah — dengan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal wajib, dan terus meningkatkan amal ketaatan serta menjauhi segala kemaksiatan.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin dan Dorar.Net   ———   Gunungkidul, 16 Oktober 2025 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com Tagscinta Allah cinta dalam islam mahabbah


Setiap mukmin tentu berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Namun, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar mencintai seseorang? Apakah ada tanda-tanda yang bisa dirasakan di dunia sebelum kelak memperoleh kemuliaan di akhirat? Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sangat indah dalam sebuah hadits sahih. Ketika Allah mencintai seorang hamba, kecintaan itu tidak berhenti di langit. Ia disebarkan kepada Jibril, diumumkan kepada para malaikat, lalu ditanamkan di hati manusia. Orang tersebut menjadi sosok yang disukai, disegani, dan diterima oleh orang-orang saleh di bumi. Inilah rahasia yang menjelaskan mengapa sebagian orang mudah dicintai karena keimanannya, sementara sebagian lain justru dibenci karena keburukannya. Cinta dan benci sejati bukanlah urusan popularitas, tetapi tanda hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Tulisan ini akan menguraikan kandungan agung dari hadits tersebut—tentang makna cinta Allah, tanda-tanda-Nya di dunia, dan cara seorang mukmin meniti jalan agar dicintai oleh Allah, dicintai penduduk langit, dan diterima oleh manusia di bumi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, – إنَّ اللَّهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فأحِبَّهُ، قالَ: فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في السَّماءِ فيَقولُ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ، وإذا أبْغَضَ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فيَقولُ: إنِّي أُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضْهُ، قالَ فيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي في أهْلِ السَّماءِ إنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلانًا فأبْغِضُوهُ، قالَ: فيُبْغِضُونَهُ، ثُمَّ تُوضَعُ له البَغْضاءُ في الأرْضِ. “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit seraya berkata: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu Allah menjadikan penerimaan dan simpati terhadapnya di bumi. Dan apabila Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membencinya. Lalu Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah ia.’ Maka mereka pun membencinya, kemudian kebencian terhadapnya ditanamkan di bumi.” (HR. Muslim, no. 2637; juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 7485 dengan redaksi yang sedikit berbeda) Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا أحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحْبِبْهُ، فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فيُنَادِي جِبْرِيلُ في أهْلِ السَّمَاءِ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ. “Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan berfirman: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.’ Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Selanjutnya, Allah menjadikan penerimaan (simpati dan kecintaan) terhadapnya di bumi.” (HR. Al-Bukhari, no. 3209; juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 2637) Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan memperoleh cinta Allah Ta‘ālā dan balasan yang menyertainya di dunia, sebelum kenikmatan abadi yang menantinya di akhirat. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa apabila Allah mencintai seorang hamba—karena ketaatannya kepada-Nya—maka Allah Yang Mahasuci dan Mahaagung memanggil malaikat Jibril ‘alaihis-salām dan berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka Jibril pun mencintainya. Setelah itu, Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Maka seluruh penduduk langit mencintainya. Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Kemudian Allah menanamkan al-qabūl (penerimaan dan simpati) baginya di bumi — yaitu, di hati sebagian besar kaum mukmin yang mengenalnya. Ia pun mendapatkan nama baik dan reputasi yang terpuji di tengah manusia. Maknanya adalah: Allah meletakkan rasa cinta terhadap hamba itu di hati manusia, sehingga mereka mencintainya, menyanjungnya, dan merasa condong kepadanya. Hati manusia menjadi luluh dan ridha terhadap dirinya — semua itu merupakan pantulan dari cinta Allah. Sifat mahabbah (cinta) adalah sifat yang tetap bagi Allah Ta‘ālā, sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tanpa diserupakan dengan makhluk. Adapun cinta Jibril dan para malaikat kepada hamba tersebut memiliki dua makna: Mereka mendoakan, memuji, dan memohonkan ampunan baginya — ini bentuk cinta dalam makna doa dan dukungan. Mereka mencintainya dalam makna sebagaimana cinta yang dikenal di kalangan makhluk, yaitu kecenderungan hati dan kerinduan untuk bertemu dengannya. Sebab utama cinta mereka ialah karena hamba itu taat kepada Allah, sehingga menjadi sosok yang dicintai oleh-Nya.   Kandungan Fikih Hadits Tolok ukur cinta dan benci manusia yang benar hanyalah berdasarkan iman dan kebaikan. Kecintaan kepada seseorang adalah karena keutamaannya dalam agama dan amal salehnya, bukan karena hawa nafsu atau kepentingan duniawi. Adapun kebencian para pendosa terhadap orang saleh tidak mengurangi kemuliaannya sedikit pun; justru hal itu menjadi bukti kebenaran jalan yang ditempuhnya. Orang beriman melihat dengan cahaya Allah—mereka mencintai siapa yang dicintai oleh Allah. Hadits ini menetapkan dua sifat bagi Allah Ta‘ālā, yaitu sifat mahabbah (cinta) dan kalām (berbicara), dengan makna yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Ketaatan para malaikat kepada Allah bersifat mutlak, tanpa keraguan atau penundaan sedikit pun. Jibril ‘alaihis-salām adalah pemimpin para malaikat dan penyampai wahyu dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Siapa yang dicintai oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan mencintainya. Sebaliknya, siapa yang dibenci oleh Allah, maka penduduk langit dan bumi pun akan membencinya. Karena itu, hendaknya setiap hamba berupaya sungguh-sungguh untuk meraih cinta Allah — dengan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal wajib, dan terus meningkatkan amal ketaatan serta menjauhi segala kemaksiatan.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin dan Dorar.Net   ———   Gunungkidul, 16 Oktober 2025 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com Tagscinta Allah cinta dalam islam mahabbah

Rahasia Pojok Rumah yang Menghitam karena Al-Qur’an – Syaikh Shalih Al-Ushaimi #NasehatUlama

Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ

Rahasia Pojok Rumah yang Menghitam karena Al-Qur’an – Syaikh Shalih Al-Ushaimi #NasehatUlama

Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ
Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ


Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ

Dinamika Kehidupan Muslim di Daejeon, Korea Selatan

Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id

Dinamika Kehidupan Muslim di Daejeon, Korea Selatan

Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.<img decoding="async" class="aligncenter wp-image-109850 size-jnews-350x350" src="https://cdnm.muslim.or.id/2025/10/Islamic-Center-of-Daejeon-288x350.webp" alt="" width="288" height="350" />Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.<img loading="lazy" decoding="async" class="aligncenter wp-image-109849 size-jnews-350x350" src="https://cdnm.muslim.or.id/2025/10/Ruang-MSA-KAIST-288x350.webp" alt="" width="288" height="350" />Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id

Keutamaan Al-Fatihah dan Akhir Surah Al-Baqarah: Dua Cahaya yang Tak Pernah Diberikan kepada Nabi Sebelumnya

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1022 ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت. Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’ Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’ Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim) Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit.   Faedah hadits Keutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus. Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran. Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan. Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi. Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244.   – Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah

Keutamaan Al-Fatihah dan Akhir Surah Al-Baqarah: Dua Cahaya yang Tak Pernah Diberikan kepada Nabi Sebelumnya

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1022 ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت. Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’ Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’ Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim) Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit.   Faedah hadits Keutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus. Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran. Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan. Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi. Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244.   – Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1022 ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت. Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’ Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’ Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim) Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit.   Faedah hadits Keutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus. Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran. Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan. Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi. Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244.   – Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah


Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1022 ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت. Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’ Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’ Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim) Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit.   Faedah hadits Keutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus. Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran. Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan. Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi. Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244.   – Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah

Kapan Shalat Tidak Boleh Dilakukan? Ini Penjelasan Lima Waktunya

Dalam Islam, tidak semua waktu diperbolehkan untuk melaksanakan salat. Ada lima waktu tertentu yang disebut awqāt an-nahy (waktu-waktu terlarang), di mana salat tanpa sebab syar‘i dilarang dilakukan. Pembahasan ini menjelaskan secara rinci kelima waktu tersebut, beserta pengecualian yang dibolehkan menurut fikih Syafi‘i.   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata: فَصْلٌ وَخَمْسَةُ أَوْقَاتٍ لَا يُصَلَّى فِيهَا إِلَّا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ: بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَتَكَامَلَ وَتَرْتَفِعَ قَدْرَ رُمْحٍ، وَإِذَا اسْتَوَتْ حَتَّى تَزُولَ، وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ الْغُرُوبِ حَتَّى يَتَكَامَلَ غُرُوبُهَا. Pasal: Terdapat lima waktu yang terlarang untuk melaksanakan salat, kecuali salat yang memiliki sebab tertentu. Setelah salat Subuh hingga matahari terbit. Ketika matahari terbit hingga naiknya sempurna setinggi kira-kira satu tombak (sekitar dua meter dari ufuk). Ketika matahari tepat di tengah langit (berada di atas kepala) hingga ia bergeser ke barat (zawal). Setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Ketika matahari mulai terbenam hingga terbenam seluruhnya di ufuk barat.   Penjelasan Pembahasan ini berkaitan dengan waktu-waktu yang makruh untuk melaksanakan salat, baik dalam bentuk makruh tahrīman (mendekati haram), sebagaimana dijelaskan dalam Raudhah dan Syarh al-Muhadzdzab pada bagian ini, maupun makruh tanzīhan (sekadar tidak disukai), sebagaimana diterangkan dalam at-Tahqīq dan Syarh al-Muhadzdzab pada pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan wudu. Terdapat lima waktu yang dilarang melaksanakan salat tanpa sebab, kecuali salat yang memiliki alasan syar‘i tertentu, baik sebabnya terjadi sebelumnya, seperti salat qadha (mengganti salat yang terlewat), ataupun sebabnya bersamaan dengan waktunya, seperti salat gerhana (kusūf/khusūf) dan salat istisqa’ (memohon hujan). Waktu pertama: salat yang tidak memiliki sebab dilakukan setelah salat Subuh, dan larangan ini berlaku hingga matahari terbit. Waktu kedua: saat matahari terbit, yaitu sejak mulai terbit hingga naik sempurna setinggi satu tombak (sekitar dua meter jika dilihat oleh mata manusia). Waktu ketiga: ketika matahari tepat di tengah langit (posisi istiwā’), dan larangan berlaku hingga matahari bergeser ke barat (zawāl). Pengecualian: larangan ini tidak berlaku pada hari Jumat, karena salat apa pun boleh dilakukan pada waktu istiwā’ di hari itu. Demikian pula di Tanah Haram Makkah, baik di dalam Masjidil Haram maupun di wilayah sekitarnya, tidak berlaku hukum makruh untuk salat di kelima waktu tersebut, baik salat sunnah thawaf maupun salat sunnah lainnya. Waktu keempat: yaitu setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Waktu kelima: ketika matahari menjelang terbenam, yaitu mulai dari saat matahari mulai condong dan hampir tenggelam di ufuk barat, hingga seluruh bulatan matahari benar-benar tenggelam tanpa tersisa sedikit pun.   Referensi: Fathul Qarib   Baca juga:  Lima Waktu Terlarang Shalat    —   16 Oktober 2025 @ Perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat waktu shalat waktu terlarang shalat

Kapan Shalat Tidak Boleh Dilakukan? Ini Penjelasan Lima Waktunya

Dalam Islam, tidak semua waktu diperbolehkan untuk melaksanakan salat. Ada lima waktu tertentu yang disebut awqāt an-nahy (waktu-waktu terlarang), di mana salat tanpa sebab syar‘i dilarang dilakukan. Pembahasan ini menjelaskan secara rinci kelima waktu tersebut, beserta pengecualian yang dibolehkan menurut fikih Syafi‘i.   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata: فَصْلٌ وَخَمْسَةُ أَوْقَاتٍ لَا يُصَلَّى فِيهَا إِلَّا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ: بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَتَكَامَلَ وَتَرْتَفِعَ قَدْرَ رُمْحٍ، وَإِذَا اسْتَوَتْ حَتَّى تَزُولَ، وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ الْغُرُوبِ حَتَّى يَتَكَامَلَ غُرُوبُهَا. Pasal: Terdapat lima waktu yang terlarang untuk melaksanakan salat, kecuali salat yang memiliki sebab tertentu. Setelah salat Subuh hingga matahari terbit. Ketika matahari terbit hingga naiknya sempurna setinggi kira-kira satu tombak (sekitar dua meter dari ufuk). Ketika matahari tepat di tengah langit (berada di atas kepala) hingga ia bergeser ke barat (zawal). Setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Ketika matahari mulai terbenam hingga terbenam seluruhnya di ufuk barat.   Penjelasan Pembahasan ini berkaitan dengan waktu-waktu yang makruh untuk melaksanakan salat, baik dalam bentuk makruh tahrīman (mendekati haram), sebagaimana dijelaskan dalam Raudhah dan Syarh al-Muhadzdzab pada bagian ini, maupun makruh tanzīhan (sekadar tidak disukai), sebagaimana diterangkan dalam at-Tahqīq dan Syarh al-Muhadzdzab pada pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan wudu. Terdapat lima waktu yang dilarang melaksanakan salat tanpa sebab, kecuali salat yang memiliki alasan syar‘i tertentu, baik sebabnya terjadi sebelumnya, seperti salat qadha (mengganti salat yang terlewat), ataupun sebabnya bersamaan dengan waktunya, seperti salat gerhana (kusūf/khusūf) dan salat istisqa’ (memohon hujan). Waktu pertama: salat yang tidak memiliki sebab dilakukan setelah salat Subuh, dan larangan ini berlaku hingga matahari terbit. Waktu kedua: saat matahari terbit, yaitu sejak mulai terbit hingga naik sempurna setinggi satu tombak (sekitar dua meter jika dilihat oleh mata manusia). Waktu ketiga: ketika matahari tepat di tengah langit (posisi istiwā’), dan larangan berlaku hingga matahari bergeser ke barat (zawāl). Pengecualian: larangan ini tidak berlaku pada hari Jumat, karena salat apa pun boleh dilakukan pada waktu istiwā’ di hari itu. Demikian pula di Tanah Haram Makkah, baik di dalam Masjidil Haram maupun di wilayah sekitarnya, tidak berlaku hukum makruh untuk salat di kelima waktu tersebut, baik salat sunnah thawaf maupun salat sunnah lainnya. Waktu keempat: yaitu setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Waktu kelima: ketika matahari menjelang terbenam, yaitu mulai dari saat matahari mulai condong dan hampir tenggelam di ufuk barat, hingga seluruh bulatan matahari benar-benar tenggelam tanpa tersisa sedikit pun.   Referensi: Fathul Qarib   Baca juga:  Lima Waktu Terlarang Shalat    —   16 Oktober 2025 @ Perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat waktu shalat waktu terlarang shalat
Dalam Islam, tidak semua waktu diperbolehkan untuk melaksanakan salat. Ada lima waktu tertentu yang disebut awqāt an-nahy (waktu-waktu terlarang), di mana salat tanpa sebab syar‘i dilarang dilakukan. Pembahasan ini menjelaskan secara rinci kelima waktu tersebut, beserta pengecualian yang dibolehkan menurut fikih Syafi‘i.   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata: فَصْلٌ وَخَمْسَةُ أَوْقَاتٍ لَا يُصَلَّى فِيهَا إِلَّا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ: بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَتَكَامَلَ وَتَرْتَفِعَ قَدْرَ رُمْحٍ، وَإِذَا اسْتَوَتْ حَتَّى تَزُولَ، وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ الْغُرُوبِ حَتَّى يَتَكَامَلَ غُرُوبُهَا. Pasal: Terdapat lima waktu yang terlarang untuk melaksanakan salat, kecuali salat yang memiliki sebab tertentu. Setelah salat Subuh hingga matahari terbit. Ketika matahari terbit hingga naiknya sempurna setinggi kira-kira satu tombak (sekitar dua meter dari ufuk). Ketika matahari tepat di tengah langit (berada di atas kepala) hingga ia bergeser ke barat (zawal). Setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Ketika matahari mulai terbenam hingga terbenam seluruhnya di ufuk barat.   Penjelasan Pembahasan ini berkaitan dengan waktu-waktu yang makruh untuk melaksanakan salat, baik dalam bentuk makruh tahrīman (mendekati haram), sebagaimana dijelaskan dalam Raudhah dan Syarh al-Muhadzdzab pada bagian ini, maupun makruh tanzīhan (sekadar tidak disukai), sebagaimana diterangkan dalam at-Tahqīq dan Syarh al-Muhadzdzab pada pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan wudu. Terdapat lima waktu yang dilarang melaksanakan salat tanpa sebab, kecuali salat yang memiliki alasan syar‘i tertentu, baik sebabnya terjadi sebelumnya, seperti salat qadha (mengganti salat yang terlewat), ataupun sebabnya bersamaan dengan waktunya, seperti salat gerhana (kusūf/khusūf) dan salat istisqa’ (memohon hujan). Waktu pertama: salat yang tidak memiliki sebab dilakukan setelah salat Subuh, dan larangan ini berlaku hingga matahari terbit. Waktu kedua: saat matahari terbit, yaitu sejak mulai terbit hingga naik sempurna setinggi satu tombak (sekitar dua meter jika dilihat oleh mata manusia). Waktu ketiga: ketika matahari tepat di tengah langit (posisi istiwā’), dan larangan berlaku hingga matahari bergeser ke barat (zawāl). Pengecualian: larangan ini tidak berlaku pada hari Jumat, karena salat apa pun boleh dilakukan pada waktu istiwā’ di hari itu. Demikian pula di Tanah Haram Makkah, baik di dalam Masjidil Haram maupun di wilayah sekitarnya, tidak berlaku hukum makruh untuk salat di kelima waktu tersebut, baik salat sunnah thawaf maupun salat sunnah lainnya. Waktu keempat: yaitu setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Waktu kelima: ketika matahari menjelang terbenam, yaitu mulai dari saat matahari mulai condong dan hampir tenggelam di ufuk barat, hingga seluruh bulatan matahari benar-benar tenggelam tanpa tersisa sedikit pun.   Referensi: Fathul Qarib   Baca juga:  Lima Waktu Terlarang Shalat    —   16 Oktober 2025 @ Perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat waktu shalat waktu terlarang shalat


Dalam Islam, tidak semua waktu diperbolehkan untuk melaksanakan salat. Ada lima waktu tertentu yang disebut awqāt an-nahy (waktu-waktu terlarang), di mana salat tanpa sebab syar‘i dilarang dilakukan. Pembahasan ini menjelaskan secara rinci kelima waktu tersebut, beserta pengecualian yang dibolehkan menurut fikih Syafi‘i.   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata: فَصْلٌ وَخَمْسَةُ أَوْقَاتٍ لَا يُصَلَّى فِيهَا إِلَّا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ: بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ طُلُوعِهَا حَتَّى تَتَكَامَلَ وَتَرْتَفِعَ قَدْرَ رُمْحٍ، وَإِذَا اسْتَوَتْ حَتَّى تَزُولَ، وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعِنْدَ الْغُرُوبِ حَتَّى يَتَكَامَلَ غُرُوبُهَا. Pasal: Terdapat lima waktu yang terlarang untuk melaksanakan salat, kecuali salat yang memiliki sebab tertentu. Setelah salat Subuh hingga matahari terbit. Ketika matahari terbit hingga naiknya sempurna setinggi kira-kira satu tombak (sekitar dua meter dari ufuk). Ketika matahari tepat di tengah langit (berada di atas kepala) hingga ia bergeser ke barat (zawal). Setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Ketika matahari mulai terbenam hingga terbenam seluruhnya di ufuk barat.   Penjelasan Pembahasan ini berkaitan dengan waktu-waktu yang makruh untuk melaksanakan salat, baik dalam bentuk makruh tahrīman (mendekati haram), sebagaimana dijelaskan dalam Raudhah dan Syarh al-Muhadzdzab pada bagian ini, maupun makruh tanzīhan (sekadar tidak disukai), sebagaimana diterangkan dalam at-Tahqīq dan Syarh al-Muhadzdzab pada pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan wudu. Terdapat lima waktu yang dilarang melaksanakan salat tanpa sebab, kecuali salat yang memiliki alasan syar‘i tertentu, baik sebabnya terjadi sebelumnya, seperti salat qadha (mengganti salat yang terlewat), ataupun sebabnya bersamaan dengan waktunya, seperti salat gerhana (kusūf/khusūf) dan salat istisqa’ (memohon hujan). Waktu pertama: salat yang tidak memiliki sebab dilakukan setelah salat Subuh, dan larangan ini berlaku hingga matahari terbit. Waktu kedua: saat matahari terbit, yaitu sejak mulai terbit hingga naik sempurna setinggi satu tombak (sekitar dua meter jika dilihat oleh mata manusia). Waktu ketiga: ketika matahari tepat di tengah langit (posisi istiwā’), dan larangan berlaku hingga matahari bergeser ke barat (zawāl). Pengecualian: larangan ini tidak berlaku pada hari Jumat, karena salat apa pun boleh dilakukan pada waktu istiwā’ di hari itu. Demikian pula di Tanah Haram Makkah, baik di dalam Masjidil Haram maupun di wilayah sekitarnya, tidak berlaku hukum makruh untuk salat di kelima waktu tersebut, baik salat sunnah thawaf maupun salat sunnah lainnya. Waktu keempat: yaitu setelah salat Asar hingga matahari terbenam. Waktu kelima: ketika matahari menjelang terbenam, yaitu mulai dari saat matahari mulai condong dan hampir tenggelam di ufuk barat, hingga seluruh bulatan matahari benar-benar tenggelam tanpa tersisa sedikit pun.   Referensi: Fathul Qarib   Baca juga:  Lima Waktu Terlarang Shalat    —   16 Oktober 2025 @ Perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat waktu shalat waktu terlarang shalat

Tolong Jawab Pertanyaan Penting Ini Sebelum Ajal Menjemputmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan NasehatUlama

Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tolong Jawab Pertanyaan Penting Ini Sebelum Ajal Menjemputmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan NasehatUlama

Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Fikih Hibah (Bag. 7): Catatan Seputar Hibah Kepada Ahli Waris

Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 7): Catatan Seputar Hibah Kepada Ahli Waris

Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Zikir dan Ketenangan Hati

Daftar Isi ToggleZikir adalah perintah langsung dari AllahZikir menghidupkan hati yang matiZikir lebih manis dari cinta duniaMenjadikan zikir sebagai rutinitas hidupSetiap manusia mendambakan ketenangan hati. Ada yang mencarinya dalam harta, jabatan, popularitas, bahkan hiburan. Namun semakin dicari pada selain Allah, hati justru semakin gelisah. Betapa banyak orang yang bergelimang harta tetapi gelisah, sebaliknya ada orang yang sederhana namun wajahnya berseri karena hatinya tenang bersama Allah.Ketenangan hakiki bukanlah hasil materi, melainkan buah dari iman dan kedekatan dengan Allah. Allah Ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an,أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Inilah rahasia besar yang dilupakan banyak orang. Padahal kunci ketentraman ada di tangan kita: zikrullah. Mari kita gali lebih dalam bagaimana zikir menghidupkan hati, membedakan antara hidup dan mati, serta membawa kita kepada keberuntungan dunia dan akhirat.Zikir adalah perintah langsung dari AllahZikir bukan sekadar amalan sunah tambahan. Ia adalah perintah langsung dari Allah yang wajib dipahami setiap muslim. Allah berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ۝ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41–42)Ayat ini menggunakan redaksi ذِكْرًا كَثِيرًا (zikir yang banyak). Artinya, Allah tidak menghendaki kita berzikir sesekali, melainkan menjadikannya nafas kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tanpa oksigen, hati juga tidak bisa hidup tanpa zikir.Rasulullah ﷺ pun menegaskan perintah zikir dengan sabdanya,لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan zikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 3375, hasan)Maka jangan biarkan hari-hari kita kering dari zikrullah. Karena keringnya lisan dari zikir akan membuat hati menjadi gersang, jauh dari Allah Ta’ala. Dan kadangkala, di sinilah pintu masuknya setan, membisiki dan merayu agar kita berbuat hal-hal yang dimurkai oleh Allah. Wal’iyadzu billah.Zikir menghidupkan hati yang matiRasulullah ﷺ membuat perumpamaan yang tajam tentang zikir,مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabb-nya dan orang yang tidak berzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. al-Bukhari no. 6407 dan Muslim no. 779)Bayangkan, seseorang yang tidak pernah berzikir hakikatnya mayat berjalan. Ia bernafas, makan, bekerja, namun hatinya mati—kering dari cahaya iman. Sebaliknya, orang yang berzikir meski miskin, lelah, atau sedang diuji, hatinya tetap hidup, penuh cahaya, dan bercahaya pula di hadapan orang lain.Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana jadinya keadaan ikan bila ia dipisahkan dari air?” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 80)Tanpa zikir, hati akan cepat berkarat. Rasulullah ﷺ bersabda,إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ“Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.”Para sahabat bertanya, “Apa penghilangnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,ذِكْرُ اللَّهِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ“Dengan zikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman, 1: 396, hasan)Ibarat cermin. Jika lama tidak dibersihkan, debu dan karat akan menutupi pantulannya, hingga tidak lagi bisa memantulkan wajah dengan jelas. Begitu pula hati kita. Saat lalai dari zikir, hati dipenuhi karat syahwat, noda dosa, dan kerak kelalaian, sehingga tidak mampu lagi memantulkan cahaya iman. Pada akhirnya, hati menjadi gelap, keras, dan sulit menerima nasihat. Inilah “kematian” hati sebelum jasad dikuburkan.Maka zikir pun menjadi obat karat hati, penghapus noda batin, sekaligus cahaya yang membuat iman selalu segar. Siapa yang rajin berzikir, hatinya akan senantiasa hidup, lembut, dan bercahaya. Namun, siapa yang melalaikan zikir, meski tubuhnya masih bergerak di dunia, sejatinya ia sudah mayat hidup yang kehilangan rasa.Zikir lebih manis dari cinta duniaSetiap manusia pernah merasakan cinta: entah cinta orang tua, pasangan, atau dunia. Namun, tidak ada cinta yang menandingi manisnya cinta kepada Allah. Zikir adalah tanda cinta tersebut.Ketika seseorang jatuh cinta, ia selalu menyebut nama yang dicintainya, mengingat-ingat, bahkan sulit tidur karena rindu. Maka jika kita benar-benar mencintai Allah, bukankah kita seharusnya lebih sering menyebut nama-Nya?Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu majelis, Aku akan mengingatnya di majelis yang lebih baik dari mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7405, Muslim no. 2675)Renungkanlah, betapa bahagianya seorang hamba ketika namanya disebut oleh Allah di hadapan para malaikat! Apakah ada kehormatan yang lebih tinggi dari itu?Maka tidak mengherankan bila para salaf menegaskan, “Orang yang lalai dari zikir, ia telah kehilangan manisnya iman.” Zikir bukan sekadar aktivitas lisan, ia adalah tanda hidupnya cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.Menjadikan zikir sebagai rutinitas hidupZikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah zikir itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)Selain itu, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan zikir harian yang ringan namun agung pahalanya. Misalnya:سُبْحَانَ اللَّهِ (Subhanallah),الْحَمْدُ لِلَّهِ (Alhamdulillah),لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Laa ilaha illallah),اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar).Rasulullah ﷺ bersabda,كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai oleh Ar-Rahman: Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘Azhiim.” (HR. al-Bukhari no. 6682, Muslim no. 2694)Agar zikir menjadi kebiasaan, perlu komitmen. Misalnya berjanji kepada Allah, “Ya Allah, saya tidak akan tidur sebelum membaca zikir pagi-petang,” atau “Saya akan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir masing-masing 100 kali sehari.”Jika suatu hari lalai, tebuslah dengan sedekah atau melipatgandakan bacaan esok harinya. Dengan begitu, setan akan enggan menghalangi kita; karena ia tahu bahwa jika berhasil membuat kita lalai, justru ia akan rugi besar.Saudaraku, hidup tanpa zikir adalah hidup tanpa ruh. Orang yang lalai dari zikrullah hakikatnya telah mati sebelum kematian menjemputnya. Sebaliknya, orang yang senantiasa berzikir meski dunia menekan, hatinya hidup, damai, dan mulia di sisi Allah.Mari mulai dari yang kecil: istigfar 100 kali sehari, membaca Al-Qur’an meski hanya satu halaman, atau hadir di majelis ilmu seminggu sekali. Jangan remehkan amalan sederhana ini. Apabila dilakukan secara konsisten, niscaya hati kita akan basah dengan zikrullah dan hidup kita dipenuhi ketenangan.أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang hidup dengan zikrullah, dimuliakan di dunia, dan dikumpulkan di surga bersama orang-orang yang hatinya senantiasa hidup dengan mengingat-Nya. آمين.Baca juga: Zikir Pagi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Zikir dan Ketenangan Hati

Daftar Isi ToggleZikir adalah perintah langsung dari AllahZikir menghidupkan hati yang matiZikir lebih manis dari cinta duniaMenjadikan zikir sebagai rutinitas hidupSetiap manusia mendambakan ketenangan hati. Ada yang mencarinya dalam harta, jabatan, popularitas, bahkan hiburan. Namun semakin dicari pada selain Allah, hati justru semakin gelisah. Betapa banyak orang yang bergelimang harta tetapi gelisah, sebaliknya ada orang yang sederhana namun wajahnya berseri karena hatinya tenang bersama Allah.Ketenangan hakiki bukanlah hasil materi, melainkan buah dari iman dan kedekatan dengan Allah. Allah Ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an,أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Inilah rahasia besar yang dilupakan banyak orang. Padahal kunci ketentraman ada di tangan kita: zikrullah. Mari kita gali lebih dalam bagaimana zikir menghidupkan hati, membedakan antara hidup dan mati, serta membawa kita kepada keberuntungan dunia dan akhirat.Zikir adalah perintah langsung dari AllahZikir bukan sekadar amalan sunah tambahan. Ia adalah perintah langsung dari Allah yang wajib dipahami setiap muslim. Allah berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ۝ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41–42)Ayat ini menggunakan redaksi ذِكْرًا كَثِيرًا (zikir yang banyak). Artinya, Allah tidak menghendaki kita berzikir sesekali, melainkan menjadikannya nafas kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tanpa oksigen, hati juga tidak bisa hidup tanpa zikir.Rasulullah ﷺ pun menegaskan perintah zikir dengan sabdanya,لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan zikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 3375, hasan)Maka jangan biarkan hari-hari kita kering dari zikrullah. Karena keringnya lisan dari zikir akan membuat hati menjadi gersang, jauh dari Allah Ta’ala. Dan kadangkala, di sinilah pintu masuknya setan, membisiki dan merayu agar kita berbuat hal-hal yang dimurkai oleh Allah. Wal’iyadzu billah.Zikir menghidupkan hati yang matiRasulullah ﷺ membuat perumpamaan yang tajam tentang zikir,مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabb-nya dan orang yang tidak berzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. al-Bukhari no. 6407 dan Muslim no. 779)Bayangkan, seseorang yang tidak pernah berzikir hakikatnya mayat berjalan. Ia bernafas, makan, bekerja, namun hatinya mati—kering dari cahaya iman. Sebaliknya, orang yang berzikir meski miskin, lelah, atau sedang diuji, hatinya tetap hidup, penuh cahaya, dan bercahaya pula di hadapan orang lain.Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana jadinya keadaan ikan bila ia dipisahkan dari air?” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 80)Tanpa zikir, hati akan cepat berkarat. Rasulullah ﷺ bersabda,إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ“Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.”Para sahabat bertanya, “Apa penghilangnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,ذِكْرُ اللَّهِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ“Dengan zikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman, 1: 396, hasan)Ibarat cermin. Jika lama tidak dibersihkan, debu dan karat akan menutupi pantulannya, hingga tidak lagi bisa memantulkan wajah dengan jelas. Begitu pula hati kita. Saat lalai dari zikir, hati dipenuhi karat syahwat, noda dosa, dan kerak kelalaian, sehingga tidak mampu lagi memantulkan cahaya iman. Pada akhirnya, hati menjadi gelap, keras, dan sulit menerima nasihat. Inilah “kematian” hati sebelum jasad dikuburkan.Maka zikir pun menjadi obat karat hati, penghapus noda batin, sekaligus cahaya yang membuat iman selalu segar. Siapa yang rajin berzikir, hatinya akan senantiasa hidup, lembut, dan bercahaya. Namun, siapa yang melalaikan zikir, meski tubuhnya masih bergerak di dunia, sejatinya ia sudah mayat hidup yang kehilangan rasa.Zikir lebih manis dari cinta duniaSetiap manusia pernah merasakan cinta: entah cinta orang tua, pasangan, atau dunia. Namun, tidak ada cinta yang menandingi manisnya cinta kepada Allah. Zikir adalah tanda cinta tersebut.Ketika seseorang jatuh cinta, ia selalu menyebut nama yang dicintainya, mengingat-ingat, bahkan sulit tidur karena rindu. Maka jika kita benar-benar mencintai Allah, bukankah kita seharusnya lebih sering menyebut nama-Nya?Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu majelis, Aku akan mengingatnya di majelis yang lebih baik dari mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7405, Muslim no. 2675)Renungkanlah, betapa bahagianya seorang hamba ketika namanya disebut oleh Allah di hadapan para malaikat! Apakah ada kehormatan yang lebih tinggi dari itu?Maka tidak mengherankan bila para salaf menegaskan, “Orang yang lalai dari zikir, ia telah kehilangan manisnya iman.” Zikir bukan sekadar aktivitas lisan, ia adalah tanda hidupnya cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.Menjadikan zikir sebagai rutinitas hidupZikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah zikir itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)Selain itu, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan zikir harian yang ringan namun agung pahalanya. Misalnya:سُبْحَانَ اللَّهِ (Subhanallah),الْحَمْدُ لِلَّهِ (Alhamdulillah),لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Laa ilaha illallah),اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar).Rasulullah ﷺ bersabda,كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai oleh Ar-Rahman: Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘Azhiim.” (HR. al-Bukhari no. 6682, Muslim no. 2694)Agar zikir menjadi kebiasaan, perlu komitmen. Misalnya berjanji kepada Allah, “Ya Allah, saya tidak akan tidur sebelum membaca zikir pagi-petang,” atau “Saya akan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir masing-masing 100 kali sehari.”Jika suatu hari lalai, tebuslah dengan sedekah atau melipatgandakan bacaan esok harinya. Dengan begitu, setan akan enggan menghalangi kita; karena ia tahu bahwa jika berhasil membuat kita lalai, justru ia akan rugi besar.Saudaraku, hidup tanpa zikir adalah hidup tanpa ruh. Orang yang lalai dari zikrullah hakikatnya telah mati sebelum kematian menjemputnya. Sebaliknya, orang yang senantiasa berzikir meski dunia menekan, hatinya hidup, damai, dan mulia di sisi Allah.Mari mulai dari yang kecil: istigfar 100 kali sehari, membaca Al-Qur’an meski hanya satu halaman, atau hadir di majelis ilmu seminggu sekali. Jangan remehkan amalan sederhana ini. Apabila dilakukan secara konsisten, niscaya hati kita akan basah dengan zikrullah dan hidup kita dipenuhi ketenangan.أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang hidup dengan zikrullah, dimuliakan di dunia, dan dikumpulkan di surga bersama orang-orang yang hatinya senantiasa hidup dengan mengingat-Nya. آمين.Baca juga: Zikir Pagi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleZikir adalah perintah langsung dari AllahZikir menghidupkan hati yang matiZikir lebih manis dari cinta duniaMenjadikan zikir sebagai rutinitas hidupSetiap manusia mendambakan ketenangan hati. Ada yang mencarinya dalam harta, jabatan, popularitas, bahkan hiburan. Namun semakin dicari pada selain Allah, hati justru semakin gelisah. Betapa banyak orang yang bergelimang harta tetapi gelisah, sebaliknya ada orang yang sederhana namun wajahnya berseri karena hatinya tenang bersama Allah.Ketenangan hakiki bukanlah hasil materi, melainkan buah dari iman dan kedekatan dengan Allah. Allah Ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an,أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Inilah rahasia besar yang dilupakan banyak orang. Padahal kunci ketentraman ada di tangan kita: zikrullah. Mari kita gali lebih dalam bagaimana zikir menghidupkan hati, membedakan antara hidup dan mati, serta membawa kita kepada keberuntungan dunia dan akhirat.Zikir adalah perintah langsung dari AllahZikir bukan sekadar amalan sunah tambahan. Ia adalah perintah langsung dari Allah yang wajib dipahami setiap muslim. Allah berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ۝ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41–42)Ayat ini menggunakan redaksi ذِكْرًا كَثِيرًا (zikir yang banyak). Artinya, Allah tidak menghendaki kita berzikir sesekali, melainkan menjadikannya nafas kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tanpa oksigen, hati juga tidak bisa hidup tanpa zikir.Rasulullah ﷺ pun menegaskan perintah zikir dengan sabdanya,لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan zikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 3375, hasan)Maka jangan biarkan hari-hari kita kering dari zikrullah. Karena keringnya lisan dari zikir akan membuat hati menjadi gersang, jauh dari Allah Ta’ala. Dan kadangkala, di sinilah pintu masuknya setan, membisiki dan merayu agar kita berbuat hal-hal yang dimurkai oleh Allah. Wal’iyadzu billah.Zikir menghidupkan hati yang matiRasulullah ﷺ membuat perumpamaan yang tajam tentang zikir,مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabb-nya dan orang yang tidak berzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. al-Bukhari no. 6407 dan Muslim no. 779)Bayangkan, seseorang yang tidak pernah berzikir hakikatnya mayat berjalan. Ia bernafas, makan, bekerja, namun hatinya mati—kering dari cahaya iman. Sebaliknya, orang yang berzikir meski miskin, lelah, atau sedang diuji, hatinya tetap hidup, penuh cahaya, dan bercahaya pula di hadapan orang lain.Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana jadinya keadaan ikan bila ia dipisahkan dari air?” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 80)Tanpa zikir, hati akan cepat berkarat. Rasulullah ﷺ bersabda,إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ“Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.”Para sahabat bertanya, “Apa penghilangnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,ذِكْرُ اللَّهِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ“Dengan zikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman, 1: 396, hasan)Ibarat cermin. Jika lama tidak dibersihkan, debu dan karat akan menutupi pantulannya, hingga tidak lagi bisa memantulkan wajah dengan jelas. Begitu pula hati kita. Saat lalai dari zikir, hati dipenuhi karat syahwat, noda dosa, dan kerak kelalaian, sehingga tidak mampu lagi memantulkan cahaya iman. Pada akhirnya, hati menjadi gelap, keras, dan sulit menerima nasihat. Inilah “kematian” hati sebelum jasad dikuburkan.Maka zikir pun menjadi obat karat hati, penghapus noda batin, sekaligus cahaya yang membuat iman selalu segar. Siapa yang rajin berzikir, hatinya akan senantiasa hidup, lembut, dan bercahaya. Namun, siapa yang melalaikan zikir, meski tubuhnya masih bergerak di dunia, sejatinya ia sudah mayat hidup yang kehilangan rasa.Zikir lebih manis dari cinta duniaSetiap manusia pernah merasakan cinta: entah cinta orang tua, pasangan, atau dunia. Namun, tidak ada cinta yang menandingi manisnya cinta kepada Allah. Zikir adalah tanda cinta tersebut.Ketika seseorang jatuh cinta, ia selalu menyebut nama yang dicintainya, mengingat-ingat, bahkan sulit tidur karena rindu. Maka jika kita benar-benar mencintai Allah, bukankah kita seharusnya lebih sering menyebut nama-Nya?Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu majelis, Aku akan mengingatnya di majelis yang lebih baik dari mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7405, Muslim no. 2675)Renungkanlah, betapa bahagianya seorang hamba ketika namanya disebut oleh Allah di hadapan para malaikat! Apakah ada kehormatan yang lebih tinggi dari itu?Maka tidak mengherankan bila para salaf menegaskan, “Orang yang lalai dari zikir, ia telah kehilangan manisnya iman.” Zikir bukan sekadar aktivitas lisan, ia adalah tanda hidupnya cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.Menjadikan zikir sebagai rutinitas hidupZikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah zikir itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)Selain itu, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan zikir harian yang ringan namun agung pahalanya. Misalnya:سُبْحَانَ اللَّهِ (Subhanallah),الْحَمْدُ لِلَّهِ (Alhamdulillah),لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Laa ilaha illallah),اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar).Rasulullah ﷺ bersabda,كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai oleh Ar-Rahman: Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘Azhiim.” (HR. al-Bukhari no. 6682, Muslim no. 2694)Agar zikir menjadi kebiasaan, perlu komitmen. Misalnya berjanji kepada Allah, “Ya Allah, saya tidak akan tidur sebelum membaca zikir pagi-petang,” atau “Saya akan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir masing-masing 100 kali sehari.”Jika suatu hari lalai, tebuslah dengan sedekah atau melipatgandakan bacaan esok harinya. Dengan begitu, setan akan enggan menghalangi kita; karena ia tahu bahwa jika berhasil membuat kita lalai, justru ia akan rugi besar.Saudaraku, hidup tanpa zikir adalah hidup tanpa ruh. Orang yang lalai dari zikrullah hakikatnya telah mati sebelum kematian menjemputnya. Sebaliknya, orang yang senantiasa berzikir meski dunia menekan, hatinya hidup, damai, dan mulia di sisi Allah.Mari mulai dari yang kecil: istigfar 100 kali sehari, membaca Al-Qur’an meski hanya satu halaman, atau hadir di majelis ilmu seminggu sekali. Jangan remehkan amalan sederhana ini. Apabila dilakukan secara konsisten, niscaya hati kita akan basah dengan zikrullah dan hidup kita dipenuhi ketenangan.أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang hidup dengan zikrullah, dimuliakan di dunia, dan dikumpulkan di surga bersama orang-orang yang hatinya senantiasa hidup dengan mengingat-Nya. آمين.Baca juga: Zikir Pagi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleZikir adalah perintah langsung dari AllahZikir menghidupkan hati yang matiZikir lebih manis dari cinta duniaMenjadikan zikir sebagai rutinitas hidupSetiap manusia mendambakan ketenangan hati. Ada yang mencarinya dalam harta, jabatan, popularitas, bahkan hiburan. Namun semakin dicari pada selain Allah, hati justru semakin gelisah. Betapa banyak orang yang bergelimang harta tetapi gelisah, sebaliknya ada orang yang sederhana namun wajahnya berseri karena hatinya tenang bersama Allah.Ketenangan hakiki bukanlah hasil materi, melainkan buah dari iman dan kedekatan dengan Allah. Allah Ta’ala menegaskan dalam Al-Qur’an,أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Inilah rahasia besar yang dilupakan banyak orang. Padahal kunci ketentraman ada di tangan kita: zikrullah. Mari kita gali lebih dalam bagaimana zikir menghidupkan hati, membedakan antara hidup dan mati, serta membawa kita kepada keberuntungan dunia dan akhirat.Zikir adalah perintah langsung dari AllahZikir bukan sekadar amalan sunah tambahan. Ia adalah perintah langsung dari Allah yang wajib dipahami setiap muslim. Allah berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ۝ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41–42)Ayat ini menggunakan redaksi ذِكْرًا كَثِيرًا (zikir yang banyak). Artinya, Allah tidak menghendaki kita berzikir sesekali, melainkan menjadikannya nafas kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tanpa oksigen, hati juga tidak bisa hidup tanpa zikir.Rasulullah ﷺ pun menegaskan perintah zikir dengan sabdanya,لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan zikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 3375, hasan)Maka jangan biarkan hari-hari kita kering dari zikrullah. Karena keringnya lisan dari zikir akan membuat hati menjadi gersang, jauh dari Allah Ta’ala. Dan kadangkala, di sinilah pintu masuknya setan, membisiki dan merayu agar kita berbuat hal-hal yang dimurkai oleh Allah. Wal’iyadzu billah.Zikir menghidupkan hati yang matiRasulullah ﷺ membuat perumpamaan yang tajam tentang zikir,مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabb-nya dan orang yang tidak berzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. al-Bukhari no. 6407 dan Muslim no. 779)Bayangkan, seseorang yang tidak pernah berzikir hakikatnya mayat berjalan. Ia bernafas, makan, bekerja, namun hatinya mati—kering dari cahaya iman. Sebaliknya, orang yang berzikir meski miskin, lelah, atau sedang diuji, hatinya tetap hidup, penuh cahaya, dan bercahaya pula di hadapan orang lain.Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana jadinya keadaan ikan bila ia dipisahkan dari air?” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 80)Tanpa zikir, hati akan cepat berkarat. Rasulullah ﷺ bersabda,إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ“Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.”Para sahabat bertanya, “Apa penghilangnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,ذِكْرُ اللَّهِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ“Dengan zikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman, 1: 396, hasan)Ibarat cermin. Jika lama tidak dibersihkan, debu dan karat akan menutupi pantulannya, hingga tidak lagi bisa memantulkan wajah dengan jelas. Begitu pula hati kita. Saat lalai dari zikir, hati dipenuhi karat syahwat, noda dosa, dan kerak kelalaian, sehingga tidak mampu lagi memantulkan cahaya iman. Pada akhirnya, hati menjadi gelap, keras, dan sulit menerima nasihat. Inilah “kematian” hati sebelum jasad dikuburkan.Maka zikir pun menjadi obat karat hati, penghapus noda batin, sekaligus cahaya yang membuat iman selalu segar. Siapa yang rajin berzikir, hatinya akan senantiasa hidup, lembut, dan bercahaya. Namun, siapa yang melalaikan zikir, meski tubuhnya masih bergerak di dunia, sejatinya ia sudah mayat hidup yang kehilangan rasa.Zikir lebih manis dari cinta duniaSetiap manusia pernah merasakan cinta: entah cinta orang tua, pasangan, atau dunia. Namun, tidak ada cinta yang menandingi manisnya cinta kepada Allah. Zikir adalah tanda cinta tersebut.Ketika seseorang jatuh cinta, ia selalu menyebut nama yang dicintainya, mengingat-ingat, bahkan sulit tidur karena rindu. Maka jika kita benar-benar mencintai Allah, bukankah kita seharusnya lebih sering menyebut nama-Nya?Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu majelis, Aku akan mengingatnya di majelis yang lebih baik dari mereka.” (HR. al-Bukhari no. 7405, Muslim no. 2675)Renungkanlah, betapa bahagianya seorang hamba ketika namanya disebut oleh Allah di hadapan para malaikat! Apakah ada kehormatan yang lebih tinggi dari itu?Maka tidak mengherankan bila para salaf menegaskan, “Orang yang lalai dari zikir, ia telah kehilangan manisnya iman.” Zikir bukan sekadar aktivitas lisan, ia adalah tanda hidupnya cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.Menjadikan zikir sebagai rutinitas hidupZikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah zikir itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9)Selain itu, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan zikir harian yang ringan namun agung pahalanya. Misalnya:سُبْحَانَ اللَّهِ (Subhanallah),الْحَمْدُ لِلَّهِ (Alhamdulillah),لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Laa ilaha illallah),اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar).Rasulullah ﷺ bersabda,كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai oleh Ar-Rahman: Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘Azhiim.” (HR. al-Bukhari no. 6682, Muslim no. 2694)Agar zikir menjadi kebiasaan, perlu komitmen. Misalnya berjanji kepada Allah, “Ya Allah, saya tidak akan tidur sebelum membaca zikir pagi-petang,” atau “Saya akan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir masing-masing 100 kali sehari.”Jika suatu hari lalai, tebuslah dengan sedekah atau melipatgandakan bacaan esok harinya. Dengan begitu, setan akan enggan menghalangi kita; karena ia tahu bahwa jika berhasil membuat kita lalai, justru ia akan rugi besar.Saudaraku, hidup tanpa zikir adalah hidup tanpa ruh. Orang yang lalai dari zikrullah hakikatnya telah mati sebelum kematian menjemputnya. Sebaliknya, orang yang senantiasa berzikir meski dunia menekan, hatinya hidup, damai, dan mulia di sisi Allah.Mari mulai dari yang kecil: istigfar 100 kali sehari, membaca Al-Qur’an meski hanya satu halaman, atau hadir di majelis ilmu seminggu sekali. Jangan remehkan amalan sederhana ini. Apabila dilakukan secara konsisten, niscaya hati kita akan basah dengan zikrullah dan hidup kita dipenuhi ketenangan.أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang hidup dengan zikrullah, dimuliakan di dunia, dan dikumpulkan di surga bersama orang-orang yang hatinya senantiasa hidup dengan mengingat-Nya. آمين.Baca juga: Zikir Pagi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

5 Rahasia Takdir yang Bikin Hidupmu Tenang Tanpa Cemas – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Beriman kepada takdir memiliki manfaat yang yang luhur dan agung, wahai saudara-saudara! Buahnya tampak nyata pada kaum Muslimin, alhamdulillah. Di antara manfaat itu, apakah gerangan, wahai saudara-saudara? Apa, wahai Ahmad? [PERTAMA] Ketenangan hati. Apabila seorang mukmin tertimpa suatu musibah, ia berkata, “Ini adalah takdir Tuhanku.” Maksudnya, Tuhanku telah mengetahui hal ini, menetapkannya, menghendakinya, dan mewujudkannya. Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala sesuatu. Allah lebih penyayang kepadaku daripada aku kepada diriku sendiri. [KEDUA] Tidak merasa takjub terhadap amal salehnya. Wahai saudara-saudara, sifat ujub (berbangga diri) ini sering menimpa manusia. Manusia itu lemah, dan celah bagi setan untuk menggodanya sangat banyak. Apabila ia mengerjakan suatu amal lalu merasa takjub karenanya, setan pun datang membisikkan, “Kamu telah beramal ini dan itu!” Namun, apabila dia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dan menyadari bahwa amal tersebut hanyalah terwujud karena takdir Allah, taufik-Nya, dan pertolongan-Nya, niscaya rasa ujub itu akan lenyap sama sekali. Allah Ta’ala menghimpun kedua perkara ini dalam firman-Nya: “Supaya kalian jangan bersedih atas apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira atas apa yang diberikan kepada kalian…” (QS. Al-Hadid: 23). “Supaya kalian jangan bersedih,” maksudnya agar kalian tidak bersedih, tapi justru merasa tenang. “…dan jangan terlalu gembira…” maksudnya, jangan kalian merasa takjub terhadap amalan kalian. Sebaliknya, hendaklah kalian bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Selain itu, wahai saudara-saudara, rasa syukur termasuk sebab terbesar yang dapat mengusir sifat ujub. Bagaimana mungkin orang yang bersyukur kepada Tuhannya akan merasa takjub terhadap amalnya sendiri? Mustahil! Bagaimana mungkin kamu bersyukur kepada Allah atas amal baik yang Dia mudahkan bagimu, lalu kamu malah takjub pada dirimu sendiri? Adakah manfaat lainnya (dari beriman kepada takdir)? [KETIGA]Ketulusan dalam bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan pula perkataan Syaikhul Islam terdahulu: orang yang mengingkari takdir—seperti kelompok Qadariyah—tidak mungkin benar-benar bertawakal kepada Allah. Adapun orang yang meyakini takdir Allah, tanpa diragukan lagi, ibadah tawakal pada dirinya akan menjadi kuat. Keyakinannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala dan ketergantungannya hanya kepada-Nya pun semakin kokoh. [KEEMPAT] Menguatkan tauhid rububiyah. Sebab, beriman kepada takdir termasuk bagian dari tauhid rububiyah. [KELIMA] Mendorong seseorang untuk berikhtiar. Karena seorang Muslim, meskipun meyakini takdir Allah Ta’ala, tetap diperintahkan untuk apa? Untuk menempuh sebab-sebab (dengan berusaha dan berupaya). Penghulu seluruh manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—semoga shalawat dan salam tercurah penuh kepadanya—juga senantiasa berusaha dan berupaya. Maka, beriman kepada takdir Allah bukan berarti menjadikannya berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan, biarlah datang sendiri, saya cukup duduk-duduk saja.” Bahkan burung pun tidak berpikir demikian; burung tetap berusaha mencari rezekinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung…” (HR. At-Tirmidzi). ====== الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ لَهُ فَوَائِدُ جَلِيلَةٌ يَا إِخْوَانُ وَعَظِيمَةٌ وَيَظْهَرُ أَثَرُهَا وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ هَذِهِ الْفَوَائِدِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَحْمَدُ؟ الطُّمَأْنِينَةُ المُؤْمِنُ الْمُطْمَئِنُّ إِذَا عَرَضَ لَهُ شَيْءٌ قَالَ هَذَا بِقَدَرِ رَبِّي وَمَعْنَى كَوْنِهِ بِقَدَرِ رَبِّي أَنَّ رَبِّي عَلِمَهُ وَكَتَبَهُ وَشَاءَهُ وَأَوْجَدَهُ فَهُوَ عَالِمٌ بِهِ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَرْحَمُ مِنِّي بِنَفْسِي أَرْحَمُ بِي مِنْ نَفْسِي الثَّانِي عَدَمُ الْعُجْبِ بِالْعَمَلِ وَالْعُجْبُ يَا إِخْوَانِي يُبْتَلَى بِهِ الْإِنْسَانُ الْإِنْسَانُ ضَعِيفٌ وَمَدَاخِلُ الشَّيْطَانِ عَلَيْهِ كَثِيرَةٌ فَإِذَا عَمِلَ عَمَلًا وَأَعْجَبَهُ دَخَلَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ وَقَالَ عَمِلْتَ وَعَمِلْتَ فَإِذَا اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَاسْتَحْضَرَ أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عَمِلَهُ إِنَّمَا كَانَ بِقَدَرِ اللَّهِ وَتَوْفِيقِهِ وَإِعَانَتِه يَزُوْلُ عَنْهُ هَذَا الْعُجْبُ تَمَامًا جَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فِي قَوْلِهِ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا لَا تَحْزَنُوا بَلْ تَطْمَئِنُّوا وَلَا تَفْرَحُوا وَتُعْجَبُوا بِأَعْمَالِكُمْ بَلْ تَشْكُرُوا اللَّهَ عَلَيْهَا وَأَيْضًا الشُّكْرُ يَا إِخْوَانِي مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ الطَّارِدَةِ لِلْعُجْبِ إِذْ كَيْفَ يُعْجَبُ بِعَمَلِهِ مَنْ يَشْكُرُ رَبَّهُ؟ لَا يُمْكِنُ كَيْفَ تَشْكُرُ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ الَّذِي وَفَّقَكَ إِلَيْهِ ثُمَّ تُعْجَبُ أَنْتَ بِنَفْسِكَ مِنْهَا أَيْضًا نَعَمْ؟ صِدْقُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَذُكِرَ كَلَامُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ السَّابِقُ الْقَدَرِيُّ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ فَمَنْ يُثْبِتُ الْقَدَرَ لَا شَكَّ تَقْوَى عِنْدَهُ هَذِهِ الْعِبَادَةُ تَقْوَى عِنْدَهُ ثِقَتُهُ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاعْتِمَادُهُ عَلَيْهِ أَيْضًا تَقْوِيَةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوبِيَّةِ الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ مِنْ مُفْرَدَاتِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ وَأَيْضًا فِعْلُ الْأَسْبَابِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ مَعَ إِيمَانِهِ بِقَدَرِ اللَّهِ تَعَالَى مَأْمُورٌ بِمَاذَا؟ مَأْمُورٌ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ وَإِمَامُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ عَلَيْهِ أَتَمُّ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ كَانَ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ فَلَا يَعْنِي إِيْمَانُ الإِنْسَانِ بِقَدَرِ اللَّهِ إِذًا صَارَ هَذَا مَكْتُوبًا خَلَاصٌ يَجِيئُنِي وَأَنَا جَالِسٌ هَذَا حَتَّى الطَّيْرِ حَتَّى الطَّيْرِ مَا يَدُورُ فِي ذِهْنِهِ هَذَا الشَّيْءُ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ قَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ

5 Rahasia Takdir yang Bikin Hidupmu Tenang Tanpa Cemas – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Beriman kepada takdir memiliki manfaat yang yang luhur dan agung, wahai saudara-saudara! Buahnya tampak nyata pada kaum Muslimin, alhamdulillah. Di antara manfaat itu, apakah gerangan, wahai saudara-saudara? Apa, wahai Ahmad? [PERTAMA] Ketenangan hati. Apabila seorang mukmin tertimpa suatu musibah, ia berkata, “Ini adalah takdir Tuhanku.” Maksudnya, Tuhanku telah mengetahui hal ini, menetapkannya, menghendakinya, dan mewujudkannya. Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala sesuatu. Allah lebih penyayang kepadaku daripada aku kepada diriku sendiri. [KEDUA] Tidak merasa takjub terhadap amal salehnya. Wahai saudara-saudara, sifat ujub (berbangga diri) ini sering menimpa manusia. Manusia itu lemah, dan celah bagi setan untuk menggodanya sangat banyak. Apabila ia mengerjakan suatu amal lalu merasa takjub karenanya, setan pun datang membisikkan, “Kamu telah beramal ini dan itu!” Namun, apabila dia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dan menyadari bahwa amal tersebut hanyalah terwujud karena takdir Allah, taufik-Nya, dan pertolongan-Nya, niscaya rasa ujub itu akan lenyap sama sekali. Allah Ta’ala menghimpun kedua perkara ini dalam firman-Nya: “Supaya kalian jangan bersedih atas apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira atas apa yang diberikan kepada kalian…” (QS. Al-Hadid: 23). “Supaya kalian jangan bersedih,” maksudnya agar kalian tidak bersedih, tapi justru merasa tenang. “…dan jangan terlalu gembira…” maksudnya, jangan kalian merasa takjub terhadap amalan kalian. Sebaliknya, hendaklah kalian bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Selain itu, wahai saudara-saudara, rasa syukur termasuk sebab terbesar yang dapat mengusir sifat ujub. Bagaimana mungkin orang yang bersyukur kepada Tuhannya akan merasa takjub terhadap amalnya sendiri? Mustahil! Bagaimana mungkin kamu bersyukur kepada Allah atas amal baik yang Dia mudahkan bagimu, lalu kamu malah takjub pada dirimu sendiri? Adakah manfaat lainnya (dari beriman kepada takdir)? [KETIGA]Ketulusan dalam bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan pula perkataan Syaikhul Islam terdahulu: orang yang mengingkari takdir—seperti kelompok Qadariyah—tidak mungkin benar-benar bertawakal kepada Allah. Adapun orang yang meyakini takdir Allah, tanpa diragukan lagi, ibadah tawakal pada dirinya akan menjadi kuat. Keyakinannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala dan ketergantungannya hanya kepada-Nya pun semakin kokoh. [KEEMPAT] Menguatkan tauhid rububiyah. Sebab, beriman kepada takdir termasuk bagian dari tauhid rububiyah. [KELIMA] Mendorong seseorang untuk berikhtiar. Karena seorang Muslim, meskipun meyakini takdir Allah Ta’ala, tetap diperintahkan untuk apa? Untuk menempuh sebab-sebab (dengan berusaha dan berupaya). Penghulu seluruh manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—semoga shalawat dan salam tercurah penuh kepadanya—juga senantiasa berusaha dan berupaya. Maka, beriman kepada takdir Allah bukan berarti menjadikannya berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan, biarlah datang sendiri, saya cukup duduk-duduk saja.” Bahkan burung pun tidak berpikir demikian; burung tetap berusaha mencari rezekinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung…” (HR. At-Tirmidzi). ====== الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ لَهُ فَوَائِدُ جَلِيلَةٌ يَا إِخْوَانُ وَعَظِيمَةٌ وَيَظْهَرُ أَثَرُهَا وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ هَذِهِ الْفَوَائِدِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَحْمَدُ؟ الطُّمَأْنِينَةُ المُؤْمِنُ الْمُطْمَئِنُّ إِذَا عَرَضَ لَهُ شَيْءٌ قَالَ هَذَا بِقَدَرِ رَبِّي وَمَعْنَى كَوْنِهِ بِقَدَرِ رَبِّي أَنَّ رَبِّي عَلِمَهُ وَكَتَبَهُ وَشَاءَهُ وَأَوْجَدَهُ فَهُوَ عَالِمٌ بِهِ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَرْحَمُ مِنِّي بِنَفْسِي أَرْحَمُ بِي مِنْ نَفْسِي الثَّانِي عَدَمُ الْعُجْبِ بِالْعَمَلِ وَالْعُجْبُ يَا إِخْوَانِي يُبْتَلَى بِهِ الْإِنْسَانُ الْإِنْسَانُ ضَعِيفٌ وَمَدَاخِلُ الشَّيْطَانِ عَلَيْهِ كَثِيرَةٌ فَإِذَا عَمِلَ عَمَلًا وَأَعْجَبَهُ دَخَلَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ وَقَالَ عَمِلْتَ وَعَمِلْتَ فَإِذَا اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَاسْتَحْضَرَ أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عَمِلَهُ إِنَّمَا كَانَ بِقَدَرِ اللَّهِ وَتَوْفِيقِهِ وَإِعَانَتِه يَزُوْلُ عَنْهُ هَذَا الْعُجْبُ تَمَامًا جَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فِي قَوْلِهِ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا لَا تَحْزَنُوا بَلْ تَطْمَئِنُّوا وَلَا تَفْرَحُوا وَتُعْجَبُوا بِأَعْمَالِكُمْ بَلْ تَشْكُرُوا اللَّهَ عَلَيْهَا وَأَيْضًا الشُّكْرُ يَا إِخْوَانِي مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ الطَّارِدَةِ لِلْعُجْبِ إِذْ كَيْفَ يُعْجَبُ بِعَمَلِهِ مَنْ يَشْكُرُ رَبَّهُ؟ لَا يُمْكِنُ كَيْفَ تَشْكُرُ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ الَّذِي وَفَّقَكَ إِلَيْهِ ثُمَّ تُعْجَبُ أَنْتَ بِنَفْسِكَ مِنْهَا أَيْضًا نَعَمْ؟ صِدْقُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَذُكِرَ كَلَامُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ السَّابِقُ الْقَدَرِيُّ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ فَمَنْ يُثْبِتُ الْقَدَرَ لَا شَكَّ تَقْوَى عِنْدَهُ هَذِهِ الْعِبَادَةُ تَقْوَى عِنْدَهُ ثِقَتُهُ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاعْتِمَادُهُ عَلَيْهِ أَيْضًا تَقْوِيَةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوبِيَّةِ الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ مِنْ مُفْرَدَاتِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ وَأَيْضًا فِعْلُ الْأَسْبَابِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ مَعَ إِيمَانِهِ بِقَدَرِ اللَّهِ تَعَالَى مَأْمُورٌ بِمَاذَا؟ مَأْمُورٌ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ وَإِمَامُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ عَلَيْهِ أَتَمُّ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ كَانَ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ فَلَا يَعْنِي إِيْمَانُ الإِنْسَانِ بِقَدَرِ اللَّهِ إِذًا صَارَ هَذَا مَكْتُوبًا خَلَاصٌ يَجِيئُنِي وَأَنَا جَالِسٌ هَذَا حَتَّى الطَّيْرِ حَتَّى الطَّيْرِ مَا يَدُورُ فِي ذِهْنِهِ هَذَا الشَّيْءُ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ قَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ
Beriman kepada takdir memiliki manfaat yang yang luhur dan agung, wahai saudara-saudara! Buahnya tampak nyata pada kaum Muslimin, alhamdulillah. Di antara manfaat itu, apakah gerangan, wahai saudara-saudara? Apa, wahai Ahmad? [PERTAMA] Ketenangan hati. Apabila seorang mukmin tertimpa suatu musibah, ia berkata, “Ini adalah takdir Tuhanku.” Maksudnya, Tuhanku telah mengetahui hal ini, menetapkannya, menghendakinya, dan mewujudkannya. Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala sesuatu. Allah lebih penyayang kepadaku daripada aku kepada diriku sendiri. [KEDUA] Tidak merasa takjub terhadap amal salehnya. Wahai saudara-saudara, sifat ujub (berbangga diri) ini sering menimpa manusia. Manusia itu lemah, dan celah bagi setan untuk menggodanya sangat banyak. Apabila ia mengerjakan suatu amal lalu merasa takjub karenanya, setan pun datang membisikkan, “Kamu telah beramal ini dan itu!” Namun, apabila dia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dan menyadari bahwa amal tersebut hanyalah terwujud karena takdir Allah, taufik-Nya, dan pertolongan-Nya, niscaya rasa ujub itu akan lenyap sama sekali. Allah Ta’ala menghimpun kedua perkara ini dalam firman-Nya: “Supaya kalian jangan bersedih atas apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira atas apa yang diberikan kepada kalian…” (QS. Al-Hadid: 23). “Supaya kalian jangan bersedih,” maksudnya agar kalian tidak bersedih, tapi justru merasa tenang. “…dan jangan terlalu gembira…” maksudnya, jangan kalian merasa takjub terhadap amalan kalian. Sebaliknya, hendaklah kalian bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Selain itu, wahai saudara-saudara, rasa syukur termasuk sebab terbesar yang dapat mengusir sifat ujub. Bagaimana mungkin orang yang bersyukur kepada Tuhannya akan merasa takjub terhadap amalnya sendiri? Mustahil! Bagaimana mungkin kamu bersyukur kepada Allah atas amal baik yang Dia mudahkan bagimu, lalu kamu malah takjub pada dirimu sendiri? Adakah manfaat lainnya (dari beriman kepada takdir)? [KETIGA]Ketulusan dalam bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan pula perkataan Syaikhul Islam terdahulu: orang yang mengingkari takdir—seperti kelompok Qadariyah—tidak mungkin benar-benar bertawakal kepada Allah. Adapun orang yang meyakini takdir Allah, tanpa diragukan lagi, ibadah tawakal pada dirinya akan menjadi kuat. Keyakinannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala dan ketergantungannya hanya kepada-Nya pun semakin kokoh. [KEEMPAT] Menguatkan tauhid rububiyah. Sebab, beriman kepada takdir termasuk bagian dari tauhid rububiyah. [KELIMA] Mendorong seseorang untuk berikhtiar. Karena seorang Muslim, meskipun meyakini takdir Allah Ta’ala, tetap diperintahkan untuk apa? Untuk menempuh sebab-sebab (dengan berusaha dan berupaya). Penghulu seluruh manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—semoga shalawat dan salam tercurah penuh kepadanya—juga senantiasa berusaha dan berupaya. Maka, beriman kepada takdir Allah bukan berarti menjadikannya berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan, biarlah datang sendiri, saya cukup duduk-duduk saja.” Bahkan burung pun tidak berpikir demikian; burung tetap berusaha mencari rezekinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung…” (HR. At-Tirmidzi). ====== الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ لَهُ فَوَائِدُ جَلِيلَةٌ يَا إِخْوَانُ وَعَظِيمَةٌ وَيَظْهَرُ أَثَرُهَا وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ هَذِهِ الْفَوَائِدِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَحْمَدُ؟ الطُّمَأْنِينَةُ المُؤْمِنُ الْمُطْمَئِنُّ إِذَا عَرَضَ لَهُ شَيْءٌ قَالَ هَذَا بِقَدَرِ رَبِّي وَمَعْنَى كَوْنِهِ بِقَدَرِ رَبِّي أَنَّ رَبِّي عَلِمَهُ وَكَتَبَهُ وَشَاءَهُ وَأَوْجَدَهُ فَهُوَ عَالِمٌ بِهِ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَرْحَمُ مِنِّي بِنَفْسِي أَرْحَمُ بِي مِنْ نَفْسِي الثَّانِي عَدَمُ الْعُجْبِ بِالْعَمَلِ وَالْعُجْبُ يَا إِخْوَانِي يُبْتَلَى بِهِ الْإِنْسَانُ الْإِنْسَانُ ضَعِيفٌ وَمَدَاخِلُ الشَّيْطَانِ عَلَيْهِ كَثِيرَةٌ فَإِذَا عَمِلَ عَمَلًا وَأَعْجَبَهُ دَخَلَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ وَقَالَ عَمِلْتَ وَعَمِلْتَ فَإِذَا اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَاسْتَحْضَرَ أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عَمِلَهُ إِنَّمَا كَانَ بِقَدَرِ اللَّهِ وَتَوْفِيقِهِ وَإِعَانَتِه يَزُوْلُ عَنْهُ هَذَا الْعُجْبُ تَمَامًا جَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فِي قَوْلِهِ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا لَا تَحْزَنُوا بَلْ تَطْمَئِنُّوا وَلَا تَفْرَحُوا وَتُعْجَبُوا بِأَعْمَالِكُمْ بَلْ تَشْكُرُوا اللَّهَ عَلَيْهَا وَأَيْضًا الشُّكْرُ يَا إِخْوَانِي مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ الطَّارِدَةِ لِلْعُجْبِ إِذْ كَيْفَ يُعْجَبُ بِعَمَلِهِ مَنْ يَشْكُرُ رَبَّهُ؟ لَا يُمْكِنُ كَيْفَ تَشْكُرُ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ الَّذِي وَفَّقَكَ إِلَيْهِ ثُمَّ تُعْجَبُ أَنْتَ بِنَفْسِكَ مِنْهَا أَيْضًا نَعَمْ؟ صِدْقُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَذُكِرَ كَلَامُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ السَّابِقُ الْقَدَرِيُّ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ فَمَنْ يُثْبِتُ الْقَدَرَ لَا شَكَّ تَقْوَى عِنْدَهُ هَذِهِ الْعِبَادَةُ تَقْوَى عِنْدَهُ ثِقَتُهُ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاعْتِمَادُهُ عَلَيْهِ أَيْضًا تَقْوِيَةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوبِيَّةِ الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ مِنْ مُفْرَدَاتِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ وَأَيْضًا فِعْلُ الْأَسْبَابِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ مَعَ إِيمَانِهِ بِقَدَرِ اللَّهِ تَعَالَى مَأْمُورٌ بِمَاذَا؟ مَأْمُورٌ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ وَإِمَامُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ عَلَيْهِ أَتَمُّ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ كَانَ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ فَلَا يَعْنِي إِيْمَانُ الإِنْسَانِ بِقَدَرِ اللَّهِ إِذًا صَارَ هَذَا مَكْتُوبًا خَلَاصٌ يَجِيئُنِي وَأَنَا جَالِسٌ هَذَا حَتَّى الطَّيْرِ حَتَّى الطَّيْرِ مَا يَدُورُ فِي ذِهْنِهِ هَذَا الشَّيْءُ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ قَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ


Beriman kepada takdir memiliki manfaat yang yang luhur dan agung, wahai saudara-saudara! Buahnya tampak nyata pada kaum Muslimin, alhamdulillah. Di antara manfaat itu, apakah gerangan, wahai saudara-saudara? Apa, wahai Ahmad? [PERTAMA] Ketenangan hati. Apabila seorang mukmin tertimpa suatu musibah, ia berkata, “Ini adalah takdir Tuhanku.” Maksudnya, Tuhanku telah mengetahui hal ini, menetapkannya, menghendakinya, dan mewujudkannya. Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala sesuatu. Allah lebih penyayang kepadaku daripada aku kepada diriku sendiri. [KEDUA] Tidak merasa takjub terhadap amal salehnya. Wahai saudara-saudara, sifat ujub (berbangga diri) ini sering menimpa manusia. Manusia itu lemah, dan celah bagi setan untuk menggodanya sangat banyak. Apabila ia mengerjakan suatu amal lalu merasa takjub karenanya, setan pun datang membisikkan, “Kamu telah beramal ini dan itu!” Namun, apabila dia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dan menyadari bahwa amal tersebut hanyalah terwujud karena takdir Allah, taufik-Nya, dan pertolongan-Nya, niscaya rasa ujub itu akan lenyap sama sekali. Allah Ta’ala menghimpun kedua perkara ini dalam firman-Nya: “Supaya kalian jangan bersedih atas apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira atas apa yang diberikan kepada kalian…” (QS. Al-Hadid: 23). “Supaya kalian jangan bersedih,” maksudnya agar kalian tidak bersedih, tapi justru merasa tenang. “…dan jangan terlalu gembira…” maksudnya, jangan kalian merasa takjub terhadap amalan kalian. Sebaliknya, hendaklah kalian bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Selain itu, wahai saudara-saudara, rasa syukur termasuk sebab terbesar yang dapat mengusir sifat ujub. Bagaimana mungkin orang yang bersyukur kepada Tuhannya akan merasa takjub terhadap amalnya sendiri? Mustahil! Bagaimana mungkin kamu bersyukur kepada Allah atas amal baik yang Dia mudahkan bagimu, lalu kamu malah takjub pada dirimu sendiri? Adakah manfaat lainnya (dari beriman kepada takdir)? [KETIGA]Ketulusan dalam bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan pula perkataan Syaikhul Islam terdahulu: orang yang mengingkari takdir—seperti kelompok Qadariyah—tidak mungkin benar-benar bertawakal kepada Allah. Adapun orang yang meyakini takdir Allah, tanpa diragukan lagi, ibadah tawakal pada dirinya akan menjadi kuat. Keyakinannya kepada Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala dan ketergantungannya hanya kepada-Nya pun semakin kokoh. [KEEMPAT] Menguatkan tauhid rububiyah. Sebab, beriman kepada takdir termasuk bagian dari tauhid rububiyah. [KELIMA] Mendorong seseorang untuk berikhtiar. Karena seorang Muslim, meskipun meyakini takdir Allah Ta’ala, tetap diperintahkan untuk apa? Untuk menempuh sebab-sebab (dengan berusaha dan berupaya). Penghulu seluruh manusia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—semoga shalawat dan salam tercurah penuh kepadanya—juga senantiasa berusaha dan berupaya. Maka, beriman kepada takdir Allah bukan berarti menjadikannya berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan, biarlah datang sendiri, saya cukup duduk-duduk saja.” Bahkan burung pun tidak berpikir demikian; burung tetap berusaha mencari rezekinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung…” (HR. At-Tirmidzi). ====== الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ لَهُ فَوَائِدُ جَلِيلَةٌ يَا إِخْوَانُ وَعَظِيمَةٌ وَيَظْهَرُ أَثَرُهَا وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ هَذِهِ الْفَوَائِدِ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ أَحْمَدُ؟ الطُّمَأْنِينَةُ المُؤْمِنُ الْمُطْمَئِنُّ إِذَا عَرَضَ لَهُ شَيْءٌ قَالَ هَذَا بِقَدَرِ رَبِّي وَمَعْنَى كَوْنِهِ بِقَدَرِ رَبِّي أَنَّ رَبِّي عَلِمَهُ وَكَتَبَهُ وَشَاءَهُ وَأَوْجَدَهُ فَهُوَ عَالِمٌ بِهِ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَرْحَمُ مِنِّي بِنَفْسِي أَرْحَمُ بِي مِنْ نَفْسِي الثَّانِي عَدَمُ الْعُجْبِ بِالْعَمَلِ وَالْعُجْبُ يَا إِخْوَانِي يُبْتَلَى بِهِ الْإِنْسَانُ الْإِنْسَانُ ضَعِيفٌ وَمَدَاخِلُ الشَّيْطَانِ عَلَيْهِ كَثِيرَةٌ فَإِذَا عَمِلَ عَمَلًا وَأَعْجَبَهُ دَخَلَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ وَقَالَ عَمِلْتَ وَعَمِلْتَ فَإِذَا اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَاسْتَحْضَرَ أَنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عَمِلَهُ إِنَّمَا كَانَ بِقَدَرِ اللَّهِ وَتَوْفِيقِهِ وَإِعَانَتِه يَزُوْلُ عَنْهُ هَذَا الْعُجْبُ تَمَامًا جَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فِي قَوْلِهِ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا لَا تَحْزَنُوا بَلْ تَطْمَئِنُّوا وَلَا تَفْرَحُوا وَتُعْجَبُوا بِأَعْمَالِكُمْ بَلْ تَشْكُرُوا اللَّهَ عَلَيْهَا وَأَيْضًا الشُّكْرُ يَا إِخْوَانِي مِنْ أَعْظَمِ الْأُمُورِ الطَّارِدَةِ لِلْعُجْبِ إِذْ كَيْفَ يُعْجَبُ بِعَمَلِهِ مَنْ يَشْكُرُ رَبَّهُ؟ لَا يُمْكِنُ كَيْفَ تَشْكُرُ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ الَّذِي وَفَّقَكَ إِلَيْهِ ثُمَّ تُعْجَبُ أَنْتَ بِنَفْسِكَ مِنْهَا أَيْضًا نَعَمْ؟ صِدْقُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَذُكِرَ كَلَامُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ السَّابِقُ الْقَدَرِيُّ مَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ فَمَنْ يُثْبِتُ الْقَدَرَ لَا شَكَّ تَقْوَى عِنْدَهُ هَذِهِ الْعِبَادَةُ تَقْوَى عِنْدَهُ ثِقَتُهُ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاعْتِمَادُهُ عَلَيْهِ أَيْضًا تَقْوِيَةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوبِيَّةِ الْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ مِنْ مُفْرَدَاتِ تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ وَأَيْضًا فِعْلُ الْأَسْبَابِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ مَعَ إِيمَانِهِ بِقَدَرِ اللَّهِ تَعَالَى مَأْمُورٌ بِمَاذَا؟ مَأْمُورٌ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ وَإِمَامُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ عَلَيْهِ أَتَمُّ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ كَانَ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ فَلَا يَعْنِي إِيْمَانُ الإِنْسَانِ بِقَدَرِ اللَّهِ إِذًا صَارَ هَذَا مَكْتُوبًا خَلَاصٌ يَجِيئُنِي وَأَنَا جَالِسٌ هَذَا حَتَّى الطَّيْرِ حَتَّى الطَّيْرِ مَا يَدُورُ فِي ذِهْنِهِ هَذَا الشَّيْءُ يَفْعَلُ الْأَسْبَابَ قَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ

Tidak Menunda-Nunda Kebaikan: Hikmah dari Dua Ayat Terakhir Surah Al-Insyirah

Daftar Isi ToggleMengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahKedua, kesempatan tidak datang dua kaliKetiga, hati mudah berubahKeempat, menunda berarti mengundang penyesalanMenggangur bukan jalan hidup seorang muslimHidup ini hanyalah rangkaian detik yang terus berjalan tanpa pernah kembali. Betapa sering kita menunda untuk berbuat baik dengan alasan, “Nanti saja kalau ada waktu, nanti kalau sudah siap, nanti kalau sudah sempat.” Namun, siapa yang bisa menjamin “nanti” itu akan datang? Bisa jadi kesempatan itu hilang, umur kita berakhir, atau hati kita berubah.Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunda, terutama ketika dihadapkan pada sesuatu yang dianggap tidak mendesak. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan panduan untuk senantiasa bergerak cepat dalam amal saleh. Salah satu pelajaran penting tentang hal ini bisa kita temukan dalam dua ayat terakhir surah Al-Insyirah,فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ • وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)Dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah mengandung pelajaran luar biasa tentang etos kerja, semangat berkelanjutan, dan keteguhan dalam amal kebaikan. Allah tidak memerintahkan kita untuk berhenti setelah menyelesaikan satu kebaikan, melainkan mendorong agar segera berpindah ke amal lainnya.Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa, فَرَغْتَ artinya, “Maka apabila engkau telah selesai dengan urusan duniamu” dan فَانصَبْ artinya, “Tetaplah semangat dan konsentrasi untuk urusan akhirat.” Dan, “Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”, maknanya tidak boleh berharap kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 518)Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya beserta keluarganya yang senantiasa bersegera dan tidak menunda-nunda kebaikan,فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)Mengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahWaktu adalah salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam hadis disebutkan bahwa dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)Maka, menunda kebaikan berarti menyia-nyiakan amanah dari Allah.Kedua, kesempatan tidak datang dua kaliSetiap hari membawa peluang yang berbeda. Kebaikan yang bisa kita lakukan hari ini, belum tentu bisa kita ulangi esok hari. Bisa jadi karena kondisi yang berubah, kesempatan yang hilang, atau bahkan usia yang tidak lagi diberikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap.” (HR. Muslim)Ketiga, hati mudah berubahJika kita tidak segera mengerjakan kebaikan saat niat itu hadir, hati bisa berubah. Niat yang hari ini terasa kuat bisa saja menguap besok karena godaan syahwat atau bisikan setan. Maka, cepat-cepatlah bergerak sebelum niat itu luntur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّما سُمِّيَ القلبَ من تَقَلُّبِه ، إِنَّما مَثلُ القلبِ مَثَلُ رِيشَةٍ بالفلاةِ ، تَعَلَّقَتْ في أصْلِ شجرةٍ ، يُقَلِّبُها الرّيحُ ظَهْرًا لِبَطْنٍ“Sesungguhnya hati dinamai ‘al-Qalb’ karena mudah berbolak-balik. Dan sesungguhnya perumpamaan hati itu seperti bulu yang berada di tanah lapang, menempel di batang pohon, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad no. 18830. Lihat Shahihul Jami’ no. 2365)Keempat, menunda berarti mengundang penyesalanBanyak orang yang menyesal bukan karena gagal melakukan kebaikan, tetapi karena menundanya. Padahal Allah telah memberikan waktu, tenaga, dan peluang, namun tidak dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ، يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu manusia sadar, namun apa gunanya kesadaran itu baginya? Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'” (QS. Al-Fajr: 23-24)Penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat, karena ia menunda-nunda amal untuk kehidupan akhiratnya.Menggangur bukan jalan hidup seorang muslimDiriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,إني لأرى الرجل فيعجبني، فأقول: له حرفة؟ فإن قالوا: لا؛ سقط من عيني“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Apa pekerjaannya?’ Jika mereka menjawab, ‘Pengangguran.’ Orang itu langsung jatuh wibawanya di hadapanku.” (Kanzul Ummal, no. 9858)Demikian pula yang disampaikan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 9: 102)Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan,من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد“Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya.” (Thariq al-Hijratain, hal. 413)Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Orang saleh terdahulu tidak senang jika harinya berlalu tanpa adanya tambahan amal kebaikan dan mereka merasa malu kehilangan waktu tanpa manfaat dan menganggurnya sebagai kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif, hal. 321)Saudaraku, kebaikan tidak pernah menunggu kita siap. Ia hadir sebagai kesempatan yang harus segera diraih. Jangan biarkan bisikan, “besok saja, nanti saja”, menghalangi langkah kita, sebab esok belum tentu menjadi milik kita. Karena kebaikan yang kecil namun dilakukan segera, lebih berharga daripada kebaikan besar yang hanya menjadi sebuah wacana.Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk mengisi hidup dengan kebaikan tanpa penundaan, hingga waktu terakhir kita di dunia pun menjadi sebuah keberkahan.Baca juga: Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Tidak Menunda-Nunda Kebaikan: Hikmah dari Dua Ayat Terakhir Surah Al-Insyirah

Daftar Isi ToggleMengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahKedua, kesempatan tidak datang dua kaliKetiga, hati mudah berubahKeempat, menunda berarti mengundang penyesalanMenggangur bukan jalan hidup seorang muslimHidup ini hanyalah rangkaian detik yang terus berjalan tanpa pernah kembali. Betapa sering kita menunda untuk berbuat baik dengan alasan, “Nanti saja kalau ada waktu, nanti kalau sudah siap, nanti kalau sudah sempat.” Namun, siapa yang bisa menjamin “nanti” itu akan datang? Bisa jadi kesempatan itu hilang, umur kita berakhir, atau hati kita berubah.Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunda, terutama ketika dihadapkan pada sesuatu yang dianggap tidak mendesak. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan panduan untuk senantiasa bergerak cepat dalam amal saleh. Salah satu pelajaran penting tentang hal ini bisa kita temukan dalam dua ayat terakhir surah Al-Insyirah,فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ • وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)Dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah mengandung pelajaran luar biasa tentang etos kerja, semangat berkelanjutan, dan keteguhan dalam amal kebaikan. Allah tidak memerintahkan kita untuk berhenti setelah menyelesaikan satu kebaikan, melainkan mendorong agar segera berpindah ke amal lainnya.Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa, فَرَغْتَ artinya, “Maka apabila engkau telah selesai dengan urusan duniamu” dan فَانصَبْ artinya, “Tetaplah semangat dan konsentrasi untuk urusan akhirat.” Dan, “Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”, maknanya tidak boleh berharap kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 518)Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya beserta keluarganya yang senantiasa bersegera dan tidak menunda-nunda kebaikan,فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)Mengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahWaktu adalah salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam hadis disebutkan bahwa dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)Maka, menunda kebaikan berarti menyia-nyiakan amanah dari Allah.Kedua, kesempatan tidak datang dua kaliSetiap hari membawa peluang yang berbeda. Kebaikan yang bisa kita lakukan hari ini, belum tentu bisa kita ulangi esok hari. Bisa jadi karena kondisi yang berubah, kesempatan yang hilang, atau bahkan usia yang tidak lagi diberikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap.” (HR. Muslim)Ketiga, hati mudah berubahJika kita tidak segera mengerjakan kebaikan saat niat itu hadir, hati bisa berubah. Niat yang hari ini terasa kuat bisa saja menguap besok karena godaan syahwat atau bisikan setan. Maka, cepat-cepatlah bergerak sebelum niat itu luntur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّما سُمِّيَ القلبَ من تَقَلُّبِه ، إِنَّما مَثلُ القلبِ مَثَلُ رِيشَةٍ بالفلاةِ ، تَعَلَّقَتْ في أصْلِ شجرةٍ ، يُقَلِّبُها الرّيحُ ظَهْرًا لِبَطْنٍ“Sesungguhnya hati dinamai ‘al-Qalb’ karena mudah berbolak-balik. Dan sesungguhnya perumpamaan hati itu seperti bulu yang berada di tanah lapang, menempel di batang pohon, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad no. 18830. Lihat Shahihul Jami’ no. 2365)Keempat, menunda berarti mengundang penyesalanBanyak orang yang menyesal bukan karena gagal melakukan kebaikan, tetapi karena menundanya. Padahal Allah telah memberikan waktu, tenaga, dan peluang, namun tidak dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ، يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu manusia sadar, namun apa gunanya kesadaran itu baginya? Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'” (QS. Al-Fajr: 23-24)Penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat, karena ia menunda-nunda amal untuk kehidupan akhiratnya.Menggangur bukan jalan hidup seorang muslimDiriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,إني لأرى الرجل فيعجبني، فأقول: له حرفة؟ فإن قالوا: لا؛ سقط من عيني“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Apa pekerjaannya?’ Jika mereka menjawab, ‘Pengangguran.’ Orang itu langsung jatuh wibawanya di hadapanku.” (Kanzul Ummal, no. 9858)Demikian pula yang disampaikan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 9: 102)Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan,من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد“Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya.” (Thariq al-Hijratain, hal. 413)Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Orang saleh terdahulu tidak senang jika harinya berlalu tanpa adanya tambahan amal kebaikan dan mereka merasa malu kehilangan waktu tanpa manfaat dan menganggurnya sebagai kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif, hal. 321)Saudaraku, kebaikan tidak pernah menunggu kita siap. Ia hadir sebagai kesempatan yang harus segera diraih. Jangan biarkan bisikan, “besok saja, nanti saja”, menghalangi langkah kita, sebab esok belum tentu menjadi milik kita. Karena kebaikan yang kecil namun dilakukan segera, lebih berharga daripada kebaikan besar yang hanya menjadi sebuah wacana.Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk mengisi hidup dengan kebaikan tanpa penundaan, hingga waktu terakhir kita di dunia pun menjadi sebuah keberkahan.Baca juga: Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Daftar Isi ToggleMengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahKedua, kesempatan tidak datang dua kaliKetiga, hati mudah berubahKeempat, menunda berarti mengundang penyesalanMenggangur bukan jalan hidup seorang muslimHidup ini hanyalah rangkaian detik yang terus berjalan tanpa pernah kembali. Betapa sering kita menunda untuk berbuat baik dengan alasan, “Nanti saja kalau ada waktu, nanti kalau sudah siap, nanti kalau sudah sempat.” Namun, siapa yang bisa menjamin “nanti” itu akan datang? Bisa jadi kesempatan itu hilang, umur kita berakhir, atau hati kita berubah.Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunda, terutama ketika dihadapkan pada sesuatu yang dianggap tidak mendesak. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan panduan untuk senantiasa bergerak cepat dalam amal saleh. Salah satu pelajaran penting tentang hal ini bisa kita temukan dalam dua ayat terakhir surah Al-Insyirah,فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ • وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)Dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah mengandung pelajaran luar biasa tentang etos kerja, semangat berkelanjutan, dan keteguhan dalam amal kebaikan. Allah tidak memerintahkan kita untuk berhenti setelah menyelesaikan satu kebaikan, melainkan mendorong agar segera berpindah ke amal lainnya.Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa, فَرَغْتَ artinya, “Maka apabila engkau telah selesai dengan urusan duniamu” dan فَانصَبْ artinya, “Tetaplah semangat dan konsentrasi untuk urusan akhirat.” Dan, “Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”, maknanya tidak boleh berharap kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 518)Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya beserta keluarganya yang senantiasa bersegera dan tidak menunda-nunda kebaikan,فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)Mengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahWaktu adalah salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam hadis disebutkan bahwa dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)Maka, menunda kebaikan berarti menyia-nyiakan amanah dari Allah.Kedua, kesempatan tidak datang dua kaliSetiap hari membawa peluang yang berbeda. Kebaikan yang bisa kita lakukan hari ini, belum tentu bisa kita ulangi esok hari. Bisa jadi karena kondisi yang berubah, kesempatan yang hilang, atau bahkan usia yang tidak lagi diberikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap.” (HR. Muslim)Ketiga, hati mudah berubahJika kita tidak segera mengerjakan kebaikan saat niat itu hadir, hati bisa berubah. Niat yang hari ini terasa kuat bisa saja menguap besok karena godaan syahwat atau bisikan setan. Maka, cepat-cepatlah bergerak sebelum niat itu luntur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّما سُمِّيَ القلبَ من تَقَلُّبِه ، إِنَّما مَثلُ القلبِ مَثَلُ رِيشَةٍ بالفلاةِ ، تَعَلَّقَتْ في أصْلِ شجرةٍ ، يُقَلِّبُها الرّيحُ ظَهْرًا لِبَطْنٍ“Sesungguhnya hati dinamai ‘al-Qalb’ karena mudah berbolak-balik. Dan sesungguhnya perumpamaan hati itu seperti bulu yang berada di tanah lapang, menempel di batang pohon, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad no. 18830. Lihat Shahihul Jami’ no. 2365)Keempat, menunda berarti mengundang penyesalanBanyak orang yang menyesal bukan karena gagal melakukan kebaikan, tetapi karena menundanya. Padahal Allah telah memberikan waktu, tenaga, dan peluang, namun tidak dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ، يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu manusia sadar, namun apa gunanya kesadaran itu baginya? Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'” (QS. Al-Fajr: 23-24)Penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat, karena ia menunda-nunda amal untuk kehidupan akhiratnya.Menggangur bukan jalan hidup seorang muslimDiriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,إني لأرى الرجل فيعجبني، فأقول: له حرفة؟ فإن قالوا: لا؛ سقط من عيني“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Apa pekerjaannya?’ Jika mereka menjawab, ‘Pengangguran.’ Orang itu langsung jatuh wibawanya di hadapanku.” (Kanzul Ummal, no. 9858)Demikian pula yang disampaikan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 9: 102)Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan,من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد“Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya.” (Thariq al-Hijratain, hal. 413)Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Orang saleh terdahulu tidak senang jika harinya berlalu tanpa adanya tambahan amal kebaikan dan mereka merasa malu kehilangan waktu tanpa manfaat dan menganggurnya sebagai kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif, hal. 321)Saudaraku, kebaikan tidak pernah menunggu kita siap. Ia hadir sebagai kesempatan yang harus segera diraih. Jangan biarkan bisikan, “besok saja, nanti saja”, menghalangi langkah kita, sebab esok belum tentu menjadi milik kita. Karena kebaikan yang kecil namun dilakukan segera, lebih berharga daripada kebaikan besar yang hanya menjadi sebuah wacana.Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk mengisi hidup dengan kebaikan tanpa penundaan, hingga waktu terakhir kita di dunia pun menjadi sebuah keberkahan.Baca juga: Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Daftar Isi ToggleMengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahKedua, kesempatan tidak datang dua kaliKetiga, hati mudah berubahKeempat, menunda berarti mengundang penyesalanMenggangur bukan jalan hidup seorang muslimHidup ini hanyalah rangkaian detik yang terus berjalan tanpa pernah kembali. Betapa sering kita menunda untuk berbuat baik dengan alasan, “Nanti saja kalau ada waktu, nanti kalau sudah siap, nanti kalau sudah sempat.” Namun, siapa yang bisa menjamin “nanti” itu akan datang? Bisa jadi kesempatan itu hilang, umur kita berakhir, atau hati kita berubah.Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunda, terutama ketika dihadapkan pada sesuatu yang dianggap tidak mendesak. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan panduan untuk senantiasa bergerak cepat dalam amal saleh. Salah satu pelajaran penting tentang hal ini bisa kita temukan dalam dua ayat terakhir surah Al-Insyirah,فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ • وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ“Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7–8)Dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah mengandung pelajaran luar biasa tentang etos kerja, semangat berkelanjutan, dan keteguhan dalam amal kebaikan. Allah tidak memerintahkan kita untuk berhenti setelah menyelesaikan satu kebaikan, melainkan mendorong agar segera berpindah ke amal lainnya.Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa, فَرَغْتَ artinya, “Maka apabila engkau telah selesai dengan urusan duniamu” dan فَانصَبْ artinya, “Tetaplah semangat dan konsentrasi untuk urusan akhirat.” Dan, “Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”, maknanya tidak boleh berharap kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 518)Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya beserta keluarganya yang senantiasa bersegera dan tidak menunda-nunda kebaikan,فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)Mengapa kebaikan tidak boleh ditunda?Pertama, waktu adalah amanahWaktu adalah salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam hadis disebutkan bahwa dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)Maka, menunda kebaikan berarti menyia-nyiakan amanah dari Allah.Kedua, kesempatan tidak datang dua kaliSetiap hari membawa peluang yang berbeda. Kebaikan yang bisa kita lakukan hari ini, belum tentu bisa kita ulangi esok hari. Bisa jadi karena kondisi yang berubah, kesempatan yang hilang, atau bahkan usia yang tidak lagi diberikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap.” (HR. Muslim)Ketiga, hati mudah berubahJika kita tidak segera mengerjakan kebaikan saat niat itu hadir, hati bisa berubah. Niat yang hari ini terasa kuat bisa saja menguap besok karena godaan syahwat atau bisikan setan. Maka, cepat-cepatlah bergerak sebelum niat itu luntur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّما سُمِّيَ القلبَ من تَقَلُّبِه ، إِنَّما مَثلُ القلبِ مَثَلُ رِيشَةٍ بالفلاةِ ، تَعَلَّقَتْ في أصْلِ شجرةٍ ، يُقَلِّبُها الرّيحُ ظَهْرًا لِبَطْنٍ“Sesungguhnya hati dinamai ‘al-Qalb’ karena mudah berbolak-balik. Dan sesungguhnya perumpamaan hati itu seperti bulu yang berada di tanah lapang, menempel di batang pohon, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad no. 18830. Lihat Shahihul Jami’ no. 2365)Keempat, menunda berarti mengundang penyesalanBanyak orang yang menyesal bukan karena gagal melakukan kebaikan, tetapi karena menundanya. Padahal Allah telah memberikan waktu, tenaga, dan peluang, namun tidak dimanfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ، يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu manusia sadar, namun apa gunanya kesadaran itu baginya? Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.'” (QS. Al-Fajr: 23-24)Penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat, karena ia menunda-nunda amal untuk kehidupan akhiratnya.Menggangur bukan jalan hidup seorang muslimDiriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,إني لأرى الرجل فيعجبني، فأقول: له حرفة؟ فإن قالوا: لا؛ سقط من عيني“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu aku tanyakan, ‘Apa pekerjaannya?’ Jika mereka menjawab, ‘Pengangguran.’ Orang itu langsung jatuh wibawanya di hadapanku.” (Kanzul Ummal, no. 9858)Demikian pula yang disampaikan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupun amal akhirat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 9: 102)Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan,من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد“Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya.” (Thariq al-Hijratain, hal. 413)Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata, “Orang saleh terdahulu tidak senang jika harinya berlalu tanpa adanya tambahan amal kebaikan dan mereka merasa malu kehilangan waktu tanpa manfaat dan menganggurnya sebagai kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif, hal. 321)Saudaraku, kebaikan tidak pernah menunggu kita siap. Ia hadir sebagai kesempatan yang harus segera diraih. Jangan biarkan bisikan, “besok saja, nanti saja”, menghalangi langkah kita, sebab esok belum tentu menjadi milik kita. Karena kebaikan yang kecil namun dilakukan segera, lebih berharga daripada kebaikan besar yang hanya menjadi sebuah wacana.Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk mengisi hidup dengan kebaikan tanpa penundaan, hingga waktu terakhir kita di dunia pun menjadi sebuah keberkahan.Baca juga: Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Fikih Hibah (Bag. 6): Hal-Hal yang Menghalangi Pengambilan Kembali Hibah (Perspektif Mazhab Hanafi)

Daftar Isi TogglePertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainKedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianKetiga: Adanya imbalan materiImbalan yang disyaratkan dalam akadImbalan yang tidak disyaratkan dalam akadKeempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiKelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiKetujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakKesimpulanPada pembahasan sebelumnya, telah kita pelajari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum penarikan kembali hibah. Mazhab Hanafi berpendapat hibah tidak bersifat mengikat. Pemberi boleh menarik kembali hibahnya selama penerima belum memberikan balasan (‘iwadh). Mereka berdalil dengan hadis (mauquf pada Umar bin Khattab) yang menyatakan,“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama belum diberi balasan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni [3: 44] dan Al-Baihaqi [no. 12382]. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab)Adapun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat hibah bersifat mengikat, sehingga tidak boleh ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ menyebut perbuatan itu seperti anjing yang kembali memakan muntahannya, menunjukkan betapa tercelanya tindakan tersebut. Dengan demikian, mazhab Hanafi lebih longgar dalam membolehkan penarikan kembali hibah, sedangkan jumhur memandangnya tercela dan dilarang, kecuali dalam keadaan khusus.Pada artikel kali ini, akan kita bahas mengenai beberapa kondisi atau hal-hal yang menghalangi pengambilan dan penarikan kembali hibah. Dan tentu saja ini adalah pembahasan khusus dalam perspektif mazhab Hanafi.Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islami menceritakan bahwa seorang ulama Hanafi menyusun bait berisi tujuh hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah:“Penghalang pengambilan kembali hibah wahai sahabatku, terangkum dalam huruf-huruf dam‘un khazaqah.”Dal : tambahan (ziyādah) yang menyatu dengan benda yang diberikan.Mim : kematian (maut).‘Ain : balasan atau ganti (‘iwadh).Kha’ : keluarnya benda hibah dari kepemilikan penerima (khuruuj).Zay : pernikahan (zaujiyyah).Qaf : hubungan kekerabatan (qaraābah).Ha’ : kerusakan (halāak).Penjelasan detailnya berikut ini:Dalam mazhab Hanafi, hibah tidak boleh ditarik dan diambil kembali karena tujuh sebab:Pertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainAdanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya, benda yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Atau pemberian itu berupa pakaian, lalu dia mewarnainya yang membuat harga pakaian itu lebih mahal. Atau pemberian itu berupa sepotong kain lalu dia menjahitnya. Atau berupa binatang, lalu dia menjadi lebih gemuk dan lebih bagus.Dalam semua kondisi ini, pemberian itu tidak boleh diambil kembali, karena ia telah bercampur dengan benda lain. Yang bisa diambil kembali hanyalah benda yang diberikan itu saja, namun kini ia telah bercampur dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa diambil kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal, ia tidak boleh diambil kembali.Sedangkan tambahan yang terpisah (buah, susu, atau penghasilan) tidak menghalangi penarikan hibah karena bukan bagian dari barang asal.Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan tidak menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut. Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya secara utuh, maka dia iuga boleh mengambilnya kembali secara tidak utuh ketika pemberiannya itu masih utuh, demikian juga ketika pemberiannya itu telah berkurang.Kedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianJika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpindah kepemilikannya kepada ahli waris orang yang diberi, sehingga kepemilikannya seperti telah berpindah ketika dia masih hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian.Ketiga: Adanya imbalan materiJika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil kembali hibah itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,“Pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya selama belum diberi balasan.”Maksudnya, selama belum diberi imbalan atas pemberiannya itu, ia berhak menarik kembali. Jika sudah diberi imbalan, maka tidak boleh. Inilah yang disebut dengan hibah Ats-Tsawāb (hibah dengan imbalan).Di samping itu, penerimaan pemberi terhadap imbalan dari orang yang diberi merupakan bukti bahwa tujuannya adalah mendapatkan imbalan tersebut. Sehingga jika dia telah menerima imbalannya, maka dia tidak boleh menarik kembali pemberiannya. Akan tetapi, dalam hal ini disyaratkan bahwa pemberi imbalan mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa pemberiannya itu adalah sebagai imbalan. Jika dia diam ketika memberikan imbalannya dan tidak mengatakan apa pun, maka pemberi pertama boleh menarik kembali apa yang telah dia berikan.Imbalan ini terbagi dua: yang disyaratkan dalam akad dan yang tidak disyaratkan dalam akad.Imbalan yang disyaratkan dalam akadJika pemberi berkata, “Saya berikan pena ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan baju itu kepadaku sebagai imbalan,” maka empat imam mazhab sepakat akad ini sah, tapi berbeda dalam mengkategorikan:Mazhab Hanafi (selain Zufar): awalnya hibah, akhirnya jual beli. Jika belum diterima, berlaku hukum hibah. Jika sudah diterima, berubah menjadi jual beli.Zufar: sejak awal dan akhir dianggap jual beli. Berlaku hukum jual beli penuh tanpa syarat penerimaan.Mazhab Maliki: mayoritasnya dianggap jual beli, meski ada kondisi khusus berbeda.Mazhab Syafi‘i dan Hambali: akad ini masuk kategori jual beli, berlaku hukum-hukum jual beli seperti syuf‘ah, khiyār, dan jaminan ganti.Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akadJika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah, maka ia menjadi hibah baru yang bisa ditarik kembali. Namun jika dikaitkan (misalnya penerima berkata, “Ini imbalan hibahmu”), maka ia dianggap sebagai hibah tersendiri yang menggugurkan hak pemberi untuk menarik kembali hibahnya.Keempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiHal ini berlaku dengan sebab apa pun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain atau sejenisnya. Semua tindakan ini mengakibatkan perbedaan status kepemilikan benda, dan perbedaan dua kepemilikan dalam sebuah benda itu sama seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, seandainya seseorang memberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain, maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.Kelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiAda tiga bentuk imbalan maknawi:[1] Pahala dari Allah. Hibah kepada fakir miskin bernilai sedekah, sehingga tidak boleh ditarik kembali.[2] Hubungan kekerabatan. Hibah kepada dzawil arham yang mahram tidak boleh ditarik kembali. Karena imbalan berupa terjalinnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi ini lebih kuat daripada imbalan materi.[3] Hubungan suami-istri. Suami tidak boleh menarik hibah kepada istri, begitu pula sebaliknya. Karena, hubungan suami istri menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Dan imbalan terjalinnya kasih sayang di antara keduanya tentu lebih kuat dari hubungan kekerabatan. Sehingga tidak boleh menarik kembali hibah di antara keduanya.Ketujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHal ini karena pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya yang sudah rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambilnya kembali dalam bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di samping itu, penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.Hukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakTidak ada perbedaan antar ulama bahwa pengambilan kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat tentang pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak.Dalam hal ini, jumhur ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga, sebagaimana pengambilan kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu dibolehkan pada sesuatu yang musyaa, dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.Sedangkan Zufar berkata, “Sesungguhnya itu adalah hibah baru, karena kepemilikan terhadap benda itu kembali kepada pemilik pertama berdasarkan keridaan masing-masing pihak, sehingga itu serupa dengan pengembalian barang karena adanya cacat dalam jual beli. Maka ia terhitung sebagai akad baru bagi orang ketiga selain kedua belah pihak pelaku akad.”Jumhur ulama mazhab Hanafi berdalil bahwa dengan pembatalan, maka pemberi mengambil kembali haknya. Dan pengambilan hak tidak tergantung kepada keputusan qadhi.Hal ini berbeda dengan pengembalian barang karena adanya cacat tanpa adanya keputusan qadhi, maka ia dianggap sebagai jual beli baru bagi orang yang ketiga selain kedua belah pihak tadi. Karena, pembeli tidak mempunyai hak untuk membatalkan transaksi jual beli, namun haknya adalah menerima barang dalam keadaan baik tanpa mengandung cacat. Apabila barang itu cacat, maka keridaannya pun menjadi rusak.KesimpulanDari artikel ini dan artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait hukum menarik kembali hibah:1) Menurut mazhab Hanafi, penarikan kembali hibah diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat tujuh kondisi yang menjadi penghalang, di antaranya ketika hibah sudah bercampur dengan tambahan, berpindah kepemilikan, rusak, atau sudah diberi imbalan, baik materi maupun maknawi.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara hukum, Hanafi lebih longgar dibanding jumhur ulama, tetap ada batasan ketat agar hibah tidak semena-mena ditarik kembali dan tidak menimbulkan kerugian bagi penerima.2) Dalil jumhur lebih kuat, karena berdasar hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim yang sangat jelas dan mengandung celaan keras. Dalil mazhab Hanafi berupa atsar Umar bin Khattab lebih lemah jika dibandingkan dengan hadis marfu‘ yang sahih.Karena itu, pendapat yang lebih rajih adalah hibah bersifat mengikat dan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kasus orang tua kepada anak, dengan syarat-syarat yang diatur oleh ulama.3) Menarik kembali hibah tanpa alasan syar‘i adalah perbuatan tercela, diqiyaskan dengan sesuatu yang menjijikkan, menunjukkan bahwa ia haram dan berdosa.4) Seorang muslim yang hendak memberi hibah hendaknya memikirkan dengan matang sebelum memberi, agar tidak menyesal dan ingin menariknya kembali.Wallahu a’lam bissowab.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id Referensi:Al-Fiqhu Al-Islami, karya Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.

Fikih Hibah (Bag. 6): Hal-Hal yang Menghalangi Pengambilan Kembali Hibah (Perspektif Mazhab Hanafi)

Daftar Isi TogglePertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainKedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianKetiga: Adanya imbalan materiImbalan yang disyaratkan dalam akadImbalan yang tidak disyaratkan dalam akadKeempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiKelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiKetujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakKesimpulanPada pembahasan sebelumnya, telah kita pelajari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum penarikan kembali hibah. Mazhab Hanafi berpendapat hibah tidak bersifat mengikat. Pemberi boleh menarik kembali hibahnya selama penerima belum memberikan balasan (‘iwadh). Mereka berdalil dengan hadis (mauquf pada Umar bin Khattab) yang menyatakan,“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama belum diberi balasan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni [3: 44] dan Al-Baihaqi [no. 12382]. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab)Adapun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat hibah bersifat mengikat, sehingga tidak boleh ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ menyebut perbuatan itu seperti anjing yang kembali memakan muntahannya, menunjukkan betapa tercelanya tindakan tersebut. Dengan demikian, mazhab Hanafi lebih longgar dalam membolehkan penarikan kembali hibah, sedangkan jumhur memandangnya tercela dan dilarang, kecuali dalam keadaan khusus.Pada artikel kali ini, akan kita bahas mengenai beberapa kondisi atau hal-hal yang menghalangi pengambilan dan penarikan kembali hibah. Dan tentu saja ini adalah pembahasan khusus dalam perspektif mazhab Hanafi.Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islami menceritakan bahwa seorang ulama Hanafi menyusun bait berisi tujuh hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah:“Penghalang pengambilan kembali hibah wahai sahabatku, terangkum dalam huruf-huruf dam‘un khazaqah.”Dal : tambahan (ziyādah) yang menyatu dengan benda yang diberikan.Mim : kematian (maut).‘Ain : balasan atau ganti (‘iwadh).Kha’ : keluarnya benda hibah dari kepemilikan penerima (khuruuj).Zay : pernikahan (zaujiyyah).Qaf : hubungan kekerabatan (qaraābah).Ha’ : kerusakan (halāak).Penjelasan detailnya berikut ini:Dalam mazhab Hanafi, hibah tidak boleh ditarik dan diambil kembali karena tujuh sebab:Pertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainAdanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya, benda yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Atau pemberian itu berupa pakaian, lalu dia mewarnainya yang membuat harga pakaian itu lebih mahal. Atau pemberian itu berupa sepotong kain lalu dia menjahitnya. Atau berupa binatang, lalu dia menjadi lebih gemuk dan lebih bagus.Dalam semua kondisi ini, pemberian itu tidak boleh diambil kembali, karena ia telah bercampur dengan benda lain. Yang bisa diambil kembali hanyalah benda yang diberikan itu saja, namun kini ia telah bercampur dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa diambil kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal, ia tidak boleh diambil kembali.Sedangkan tambahan yang terpisah (buah, susu, atau penghasilan) tidak menghalangi penarikan hibah karena bukan bagian dari barang asal.Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan tidak menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut. Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya secara utuh, maka dia iuga boleh mengambilnya kembali secara tidak utuh ketika pemberiannya itu masih utuh, demikian juga ketika pemberiannya itu telah berkurang.Kedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianJika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpindah kepemilikannya kepada ahli waris orang yang diberi, sehingga kepemilikannya seperti telah berpindah ketika dia masih hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian.Ketiga: Adanya imbalan materiJika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil kembali hibah itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,“Pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya selama belum diberi balasan.”Maksudnya, selama belum diberi imbalan atas pemberiannya itu, ia berhak menarik kembali. Jika sudah diberi imbalan, maka tidak boleh. Inilah yang disebut dengan hibah Ats-Tsawāb (hibah dengan imbalan).Di samping itu, penerimaan pemberi terhadap imbalan dari orang yang diberi merupakan bukti bahwa tujuannya adalah mendapatkan imbalan tersebut. Sehingga jika dia telah menerima imbalannya, maka dia tidak boleh menarik kembali pemberiannya. Akan tetapi, dalam hal ini disyaratkan bahwa pemberi imbalan mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa pemberiannya itu adalah sebagai imbalan. Jika dia diam ketika memberikan imbalannya dan tidak mengatakan apa pun, maka pemberi pertama boleh menarik kembali apa yang telah dia berikan.Imbalan ini terbagi dua: yang disyaratkan dalam akad dan yang tidak disyaratkan dalam akad.Imbalan yang disyaratkan dalam akadJika pemberi berkata, “Saya berikan pena ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan baju itu kepadaku sebagai imbalan,” maka empat imam mazhab sepakat akad ini sah, tapi berbeda dalam mengkategorikan:Mazhab Hanafi (selain Zufar): awalnya hibah, akhirnya jual beli. Jika belum diterima, berlaku hukum hibah. Jika sudah diterima, berubah menjadi jual beli.Zufar: sejak awal dan akhir dianggap jual beli. Berlaku hukum jual beli penuh tanpa syarat penerimaan.Mazhab Maliki: mayoritasnya dianggap jual beli, meski ada kondisi khusus berbeda.Mazhab Syafi‘i dan Hambali: akad ini masuk kategori jual beli, berlaku hukum-hukum jual beli seperti syuf‘ah, khiyār, dan jaminan ganti.Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akadJika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah, maka ia menjadi hibah baru yang bisa ditarik kembali. Namun jika dikaitkan (misalnya penerima berkata, “Ini imbalan hibahmu”), maka ia dianggap sebagai hibah tersendiri yang menggugurkan hak pemberi untuk menarik kembali hibahnya.Keempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiHal ini berlaku dengan sebab apa pun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain atau sejenisnya. Semua tindakan ini mengakibatkan perbedaan status kepemilikan benda, dan perbedaan dua kepemilikan dalam sebuah benda itu sama seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, seandainya seseorang memberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain, maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.Kelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiAda tiga bentuk imbalan maknawi:[1] Pahala dari Allah. Hibah kepada fakir miskin bernilai sedekah, sehingga tidak boleh ditarik kembali.[2] Hubungan kekerabatan. Hibah kepada dzawil arham yang mahram tidak boleh ditarik kembali. Karena imbalan berupa terjalinnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi ini lebih kuat daripada imbalan materi.[3] Hubungan suami-istri. Suami tidak boleh menarik hibah kepada istri, begitu pula sebaliknya. Karena, hubungan suami istri menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Dan imbalan terjalinnya kasih sayang di antara keduanya tentu lebih kuat dari hubungan kekerabatan. Sehingga tidak boleh menarik kembali hibah di antara keduanya.Ketujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHal ini karena pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya yang sudah rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambilnya kembali dalam bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di samping itu, penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.Hukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakTidak ada perbedaan antar ulama bahwa pengambilan kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat tentang pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak.Dalam hal ini, jumhur ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga, sebagaimana pengambilan kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu dibolehkan pada sesuatu yang musyaa, dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.Sedangkan Zufar berkata, “Sesungguhnya itu adalah hibah baru, karena kepemilikan terhadap benda itu kembali kepada pemilik pertama berdasarkan keridaan masing-masing pihak, sehingga itu serupa dengan pengembalian barang karena adanya cacat dalam jual beli. Maka ia terhitung sebagai akad baru bagi orang ketiga selain kedua belah pihak pelaku akad.”Jumhur ulama mazhab Hanafi berdalil bahwa dengan pembatalan, maka pemberi mengambil kembali haknya. Dan pengambilan hak tidak tergantung kepada keputusan qadhi.Hal ini berbeda dengan pengembalian barang karena adanya cacat tanpa adanya keputusan qadhi, maka ia dianggap sebagai jual beli baru bagi orang yang ketiga selain kedua belah pihak tadi. Karena, pembeli tidak mempunyai hak untuk membatalkan transaksi jual beli, namun haknya adalah menerima barang dalam keadaan baik tanpa mengandung cacat. Apabila barang itu cacat, maka keridaannya pun menjadi rusak.KesimpulanDari artikel ini dan artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait hukum menarik kembali hibah:1) Menurut mazhab Hanafi, penarikan kembali hibah diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat tujuh kondisi yang menjadi penghalang, di antaranya ketika hibah sudah bercampur dengan tambahan, berpindah kepemilikan, rusak, atau sudah diberi imbalan, baik materi maupun maknawi.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara hukum, Hanafi lebih longgar dibanding jumhur ulama, tetap ada batasan ketat agar hibah tidak semena-mena ditarik kembali dan tidak menimbulkan kerugian bagi penerima.2) Dalil jumhur lebih kuat, karena berdasar hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim yang sangat jelas dan mengandung celaan keras. Dalil mazhab Hanafi berupa atsar Umar bin Khattab lebih lemah jika dibandingkan dengan hadis marfu‘ yang sahih.Karena itu, pendapat yang lebih rajih adalah hibah bersifat mengikat dan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kasus orang tua kepada anak, dengan syarat-syarat yang diatur oleh ulama.3) Menarik kembali hibah tanpa alasan syar‘i adalah perbuatan tercela, diqiyaskan dengan sesuatu yang menjijikkan, menunjukkan bahwa ia haram dan berdosa.4) Seorang muslim yang hendak memberi hibah hendaknya memikirkan dengan matang sebelum memberi, agar tidak menyesal dan ingin menariknya kembali.Wallahu a’lam bissowab.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id Referensi:Al-Fiqhu Al-Islami, karya Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.
Daftar Isi TogglePertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainKedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianKetiga: Adanya imbalan materiImbalan yang disyaratkan dalam akadImbalan yang tidak disyaratkan dalam akadKeempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiKelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiKetujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakKesimpulanPada pembahasan sebelumnya, telah kita pelajari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum penarikan kembali hibah. Mazhab Hanafi berpendapat hibah tidak bersifat mengikat. Pemberi boleh menarik kembali hibahnya selama penerima belum memberikan balasan (‘iwadh). Mereka berdalil dengan hadis (mauquf pada Umar bin Khattab) yang menyatakan,“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama belum diberi balasan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni [3: 44] dan Al-Baihaqi [no. 12382]. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab)Adapun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat hibah bersifat mengikat, sehingga tidak boleh ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ menyebut perbuatan itu seperti anjing yang kembali memakan muntahannya, menunjukkan betapa tercelanya tindakan tersebut. Dengan demikian, mazhab Hanafi lebih longgar dalam membolehkan penarikan kembali hibah, sedangkan jumhur memandangnya tercela dan dilarang, kecuali dalam keadaan khusus.Pada artikel kali ini, akan kita bahas mengenai beberapa kondisi atau hal-hal yang menghalangi pengambilan dan penarikan kembali hibah. Dan tentu saja ini adalah pembahasan khusus dalam perspektif mazhab Hanafi.Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islami menceritakan bahwa seorang ulama Hanafi menyusun bait berisi tujuh hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah:“Penghalang pengambilan kembali hibah wahai sahabatku, terangkum dalam huruf-huruf dam‘un khazaqah.”Dal : tambahan (ziyādah) yang menyatu dengan benda yang diberikan.Mim : kematian (maut).‘Ain : balasan atau ganti (‘iwadh).Kha’ : keluarnya benda hibah dari kepemilikan penerima (khuruuj).Zay : pernikahan (zaujiyyah).Qaf : hubungan kekerabatan (qaraābah).Ha’ : kerusakan (halāak).Penjelasan detailnya berikut ini:Dalam mazhab Hanafi, hibah tidak boleh ditarik dan diambil kembali karena tujuh sebab:Pertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainAdanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya, benda yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Atau pemberian itu berupa pakaian, lalu dia mewarnainya yang membuat harga pakaian itu lebih mahal. Atau pemberian itu berupa sepotong kain lalu dia menjahitnya. Atau berupa binatang, lalu dia menjadi lebih gemuk dan lebih bagus.Dalam semua kondisi ini, pemberian itu tidak boleh diambil kembali, karena ia telah bercampur dengan benda lain. Yang bisa diambil kembali hanyalah benda yang diberikan itu saja, namun kini ia telah bercampur dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa diambil kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal, ia tidak boleh diambil kembali.Sedangkan tambahan yang terpisah (buah, susu, atau penghasilan) tidak menghalangi penarikan hibah karena bukan bagian dari barang asal.Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan tidak menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut. Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya secara utuh, maka dia iuga boleh mengambilnya kembali secara tidak utuh ketika pemberiannya itu masih utuh, demikian juga ketika pemberiannya itu telah berkurang.Kedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianJika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpindah kepemilikannya kepada ahli waris orang yang diberi, sehingga kepemilikannya seperti telah berpindah ketika dia masih hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian.Ketiga: Adanya imbalan materiJika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil kembali hibah itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,“Pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya selama belum diberi balasan.”Maksudnya, selama belum diberi imbalan atas pemberiannya itu, ia berhak menarik kembali. Jika sudah diberi imbalan, maka tidak boleh. Inilah yang disebut dengan hibah Ats-Tsawāb (hibah dengan imbalan).Di samping itu, penerimaan pemberi terhadap imbalan dari orang yang diberi merupakan bukti bahwa tujuannya adalah mendapatkan imbalan tersebut. Sehingga jika dia telah menerima imbalannya, maka dia tidak boleh menarik kembali pemberiannya. Akan tetapi, dalam hal ini disyaratkan bahwa pemberi imbalan mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa pemberiannya itu adalah sebagai imbalan. Jika dia diam ketika memberikan imbalannya dan tidak mengatakan apa pun, maka pemberi pertama boleh menarik kembali apa yang telah dia berikan.Imbalan ini terbagi dua: yang disyaratkan dalam akad dan yang tidak disyaratkan dalam akad.Imbalan yang disyaratkan dalam akadJika pemberi berkata, “Saya berikan pena ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan baju itu kepadaku sebagai imbalan,” maka empat imam mazhab sepakat akad ini sah, tapi berbeda dalam mengkategorikan:Mazhab Hanafi (selain Zufar): awalnya hibah, akhirnya jual beli. Jika belum diterima, berlaku hukum hibah. Jika sudah diterima, berubah menjadi jual beli.Zufar: sejak awal dan akhir dianggap jual beli. Berlaku hukum jual beli penuh tanpa syarat penerimaan.Mazhab Maliki: mayoritasnya dianggap jual beli, meski ada kondisi khusus berbeda.Mazhab Syafi‘i dan Hambali: akad ini masuk kategori jual beli, berlaku hukum-hukum jual beli seperti syuf‘ah, khiyār, dan jaminan ganti.Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akadJika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah, maka ia menjadi hibah baru yang bisa ditarik kembali. Namun jika dikaitkan (misalnya penerima berkata, “Ini imbalan hibahmu”), maka ia dianggap sebagai hibah tersendiri yang menggugurkan hak pemberi untuk menarik kembali hibahnya.Keempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiHal ini berlaku dengan sebab apa pun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain atau sejenisnya. Semua tindakan ini mengakibatkan perbedaan status kepemilikan benda, dan perbedaan dua kepemilikan dalam sebuah benda itu sama seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, seandainya seseorang memberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain, maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.Kelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiAda tiga bentuk imbalan maknawi:[1] Pahala dari Allah. Hibah kepada fakir miskin bernilai sedekah, sehingga tidak boleh ditarik kembali.[2] Hubungan kekerabatan. Hibah kepada dzawil arham yang mahram tidak boleh ditarik kembali. Karena imbalan berupa terjalinnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi ini lebih kuat daripada imbalan materi.[3] Hubungan suami-istri. Suami tidak boleh menarik hibah kepada istri, begitu pula sebaliknya. Karena, hubungan suami istri menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Dan imbalan terjalinnya kasih sayang di antara keduanya tentu lebih kuat dari hubungan kekerabatan. Sehingga tidak boleh menarik kembali hibah di antara keduanya.Ketujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHal ini karena pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya yang sudah rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambilnya kembali dalam bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di samping itu, penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.Hukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakTidak ada perbedaan antar ulama bahwa pengambilan kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat tentang pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak.Dalam hal ini, jumhur ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga, sebagaimana pengambilan kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu dibolehkan pada sesuatu yang musyaa, dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.Sedangkan Zufar berkata, “Sesungguhnya itu adalah hibah baru, karena kepemilikan terhadap benda itu kembali kepada pemilik pertama berdasarkan keridaan masing-masing pihak, sehingga itu serupa dengan pengembalian barang karena adanya cacat dalam jual beli. Maka ia terhitung sebagai akad baru bagi orang ketiga selain kedua belah pihak pelaku akad.”Jumhur ulama mazhab Hanafi berdalil bahwa dengan pembatalan, maka pemberi mengambil kembali haknya. Dan pengambilan hak tidak tergantung kepada keputusan qadhi.Hal ini berbeda dengan pengembalian barang karena adanya cacat tanpa adanya keputusan qadhi, maka ia dianggap sebagai jual beli baru bagi orang yang ketiga selain kedua belah pihak tadi. Karena, pembeli tidak mempunyai hak untuk membatalkan transaksi jual beli, namun haknya adalah menerima barang dalam keadaan baik tanpa mengandung cacat. Apabila barang itu cacat, maka keridaannya pun menjadi rusak.KesimpulanDari artikel ini dan artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait hukum menarik kembali hibah:1) Menurut mazhab Hanafi, penarikan kembali hibah diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat tujuh kondisi yang menjadi penghalang, di antaranya ketika hibah sudah bercampur dengan tambahan, berpindah kepemilikan, rusak, atau sudah diberi imbalan, baik materi maupun maknawi.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara hukum, Hanafi lebih longgar dibanding jumhur ulama, tetap ada batasan ketat agar hibah tidak semena-mena ditarik kembali dan tidak menimbulkan kerugian bagi penerima.2) Dalil jumhur lebih kuat, karena berdasar hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim yang sangat jelas dan mengandung celaan keras. Dalil mazhab Hanafi berupa atsar Umar bin Khattab lebih lemah jika dibandingkan dengan hadis marfu‘ yang sahih.Karena itu, pendapat yang lebih rajih adalah hibah bersifat mengikat dan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kasus orang tua kepada anak, dengan syarat-syarat yang diatur oleh ulama.3) Menarik kembali hibah tanpa alasan syar‘i adalah perbuatan tercela, diqiyaskan dengan sesuatu yang menjijikkan, menunjukkan bahwa ia haram dan berdosa.4) Seorang muslim yang hendak memberi hibah hendaknya memikirkan dengan matang sebelum memberi, agar tidak menyesal dan ingin menariknya kembali.Wallahu a’lam bissowab.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id Referensi:Al-Fiqhu Al-Islami, karya Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.


Daftar Isi TogglePertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainKedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianKetiga: Adanya imbalan materiImbalan yang disyaratkan dalam akadImbalan yang tidak disyaratkan dalam akadKeempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiKelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiKetujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakKesimpulanPada pembahasan sebelumnya, telah kita pelajari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum penarikan kembali hibah. Mazhab Hanafi berpendapat hibah tidak bersifat mengikat. Pemberi boleh menarik kembali hibahnya selama penerima belum memberikan balasan (‘iwadh). Mereka berdalil dengan hadis (mauquf pada Umar bin Khattab) yang menyatakan,“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama belum diberi balasan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni [3: 44] dan Al-Baihaqi [no. 12382]. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab)Adapun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat hibah bersifat mengikat, sehingga tidak boleh ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ menyebut perbuatan itu seperti anjing yang kembali memakan muntahannya, menunjukkan betapa tercelanya tindakan tersebut. Dengan demikian, mazhab Hanafi lebih longgar dalam membolehkan penarikan kembali hibah, sedangkan jumhur memandangnya tercela dan dilarang, kecuali dalam keadaan khusus.Pada artikel kali ini, akan kita bahas mengenai beberapa kondisi atau hal-hal yang menghalangi pengambilan dan penarikan kembali hibah. Dan tentu saja ini adalah pembahasan khusus dalam perspektif mazhab Hanafi.Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islami menceritakan bahwa seorang ulama Hanafi menyusun bait berisi tujuh hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah:“Penghalang pengambilan kembali hibah wahai sahabatku, terangkum dalam huruf-huruf dam‘un khazaqah.”Dal : tambahan (ziyādah) yang menyatu dengan benda yang diberikan.Mim : kematian (maut).‘Ain : balasan atau ganti (‘iwadh).Kha’ : keluarnya benda hibah dari kepemilikan penerima (khuruuj).Zay : pernikahan (zaujiyyah).Qaf : hubungan kekerabatan (qaraābah).Ha’ : kerusakan (halāak).Penjelasan detailnya berikut ini:Dalam mazhab Hanafi, hibah tidak boleh ditarik dan diambil kembali karena tujuh sebab:Pertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lainAdanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya, benda yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Atau pemberian itu berupa pakaian, lalu dia mewarnainya yang membuat harga pakaian itu lebih mahal. Atau pemberian itu berupa sepotong kain lalu dia menjahitnya. Atau berupa binatang, lalu dia menjadi lebih gemuk dan lebih bagus.Dalam semua kondisi ini, pemberian itu tidak boleh diambil kembali, karena ia telah bercampur dengan benda lain. Yang bisa diambil kembali hanyalah benda yang diberikan itu saja, namun kini ia telah bercampur dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa diambil kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal, ia tidak boleh diambil kembali.Sedangkan tambahan yang terpisah (buah, susu, atau penghasilan) tidak menghalangi penarikan hibah karena bukan bagian dari barang asal.Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan tidak menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut. Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya secara utuh, maka dia iuga boleh mengambilnya kembali secara tidak utuh ketika pemberiannya itu masih utuh, demikian juga ketika pemberiannya itu telah berkurang.Kedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberianJika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpindah kepemilikannya kepada ahli waris orang yang diberi, sehingga kepemilikannya seperti telah berpindah ketika dia masih hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian.Ketiga: Adanya imbalan materiJika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil kembali hibah itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,“Pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya selama belum diberi balasan.”Maksudnya, selama belum diberi imbalan atas pemberiannya itu, ia berhak menarik kembali. Jika sudah diberi imbalan, maka tidak boleh. Inilah yang disebut dengan hibah Ats-Tsawāb (hibah dengan imbalan).Di samping itu, penerimaan pemberi terhadap imbalan dari orang yang diberi merupakan bukti bahwa tujuannya adalah mendapatkan imbalan tersebut. Sehingga jika dia telah menerima imbalannya, maka dia tidak boleh menarik kembali pemberiannya. Akan tetapi, dalam hal ini disyaratkan bahwa pemberi imbalan mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa pemberiannya itu adalah sebagai imbalan. Jika dia diam ketika memberikan imbalannya dan tidak mengatakan apa pun, maka pemberi pertama boleh menarik kembali apa yang telah dia berikan.Imbalan ini terbagi dua: yang disyaratkan dalam akad dan yang tidak disyaratkan dalam akad.Imbalan yang disyaratkan dalam akadJika pemberi berkata, “Saya berikan pena ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan baju itu kepadaku sebagai imbalan,” maka empat imam mazhab sepakat akad ini sah, tapi berbeda dalam mengkategorikan:Mazhab Hanafi (selain Zufar): awalnya hibah, akhirnya jual beli. Jika belum diterima, berlaku hukum hibah. Jika sudah diterima, berubah menjadi jual beli.Zufar: sejak awal dan akhir dianggap jual beli. Berlaku hukum jual beli penuh tanpa syarat penerimaan.Mazhab Maliki: mayoritasnya dianggap jual beli, meski ada kondisi khusus berbeda.Mazhab Syafi‘i dan Hambali: akad ini masuk kategori jual beli, berlaku hukum-hukum jual beli seperti syuf‘ah, khiyār, dan jaminan ganti.Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akadJika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah, maka ia menjadi hibah baru yang bisa ditarik kembali. Namun jika dikaitkan (misalnya penerima berkata, “Ini imbalan hibahmu”), maka ia dianggap sebagai hibah tersendiri yang menggugurkan hak pemberi untuk menarik kembali hibahnya.Keempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberiHal ini berlaku dengan sebab apa pun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain atau sejenisnya. Semua tindakan ini mengakibatkan perbedaan status kepemilikan benda, dan perbedaan dua kepemilikan dalam sebuah benda itu sama seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, seandainya seseorang memberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain, maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.Kelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawiAda tiga bentuk imbalan maknawi:[1] Pahala dari Allah. Hibah kepada fakir miskin bernilai sedekah, sehingga tidak boleh ditarik kembali.[2] Hubungan kekerabatan. Hibah kepada dzawil arham yang mahram tidak boleh ditarik kembali. Karena imbalan berupa terjalinnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi ini lebih kuat daripada imbalan materi.[3] Hubungan suami-istri. Suami tidak boleh menarik hibah kepada istri, begitu pula sebaliknya. Karena, hubungan suami istri menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Dan imbalan terjalinnya kasih sayang di antara keduanya tentu lebih kuat dari hubungan kekerabatan. Sehingga tidak boleh menarik kembali hibah di antara keduanya.Ketujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikanHal ini karena pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya yang sudah rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambilnya kembali dalam bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di samping itu, penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.Hukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihakTidak ada perbedaan antar ulama bahwa pengambilan kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat tentang pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak.Dalam hal ini, jumhur ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga, sebagaimana pengambilan kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu dibolehkan pada sesuatu yang musyaa, dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.Sedangkan Zufar berkata, “Sesungguhnya itu adalah hibah baru, karena kepemilikan terhadap benda itu kembali kepada pemilik pertama berdasarkan keridaan masing-masing pihak, sehingga itu serupa dengan pengembalian barang karena adanya cacat dalam jual beli. Maka ia terhitung sebagai akad baru bagi orang ketiga selain kedua belah pihak pelaku akad.”Jumhur ulama mazhab Hanafi berdalil bahwa dengan pembatalan, maka pemberi mengambil kembali haknya. Dan pengambilan hak tidak tergantung kepada keputusan qadhi.Hal ini berbeda dengan pengembalian barang karena adanya cacat tanpa adanya keputusan qadhi, maka ia dianggap sebagai jual beli baru bagi orang yang ketiga selain kedua belah pihak tadi. Karena, pembeli tidak mempunyai hak untuk membatalkan transaksi jual beli, namun haknya adalah menerima barang dalam keadaan baik tanpa mengandung cacat. Apabila barang itu cacat, maka keridaannya pun menjadi rusak.KesimpulanDari artikel ini dan artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait hukum menarik kembali hibah:1) Menurut mazhab Hanafi, penarikan kembali hibah diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat tujuh kondisi yang menjadi penghalang, di antaranya ketika hibah sudah bercampur dengan tambahan, berpindah kepemilikan, rusak, atau sudah diberi imbalan, baik materi maupun maknawi.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara hukum, Hanafi lebih longgar dibanding jumhur ulama, tetap ada batasan ketat agar hibah tidak semena-mena ditarik kembali dan tidak menimbulkan kerugian bagi penerima.2) Dalil jumhur lebih kuat, karena berdasar hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim yang sangat jelas dan mengandung celaan keras. Dalil mazhab Hanafi berupa atsar Umar bin Khattab lebih lemah jika dibandingkan dengan hadis marfu‘ yang sahih.Karena itu, pendapat yang lebih rajih adalah hibah bersifat mengikat dan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kasus orang tua kepada anak, dengan syarat-syarat yang diatur oleh ulama.3) Menarik kembali hibah tanpa alasan syar‘i adalah perbuatan tercela, diqiyaskan dengan sesuatu yang menjijikkan, menunjukkan bahwa ia haram dan berdosa.4) Seorang muslim yang hendak memberi hibah hendaknya memikirkan dengan matang sebelum memberi, agar tidak menyesal dan ingin menariknya kembali.Wallahu a’lam bissowab.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id Referensi:Al-Fiqhu Al-Islami, karya Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.
Prev     Next