Dunia Itu Seperi Bunga: Indah, Tapi Cepat Layu – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Jangan sekali-kali engkau arahkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengannya…” (QS. Thaha: 131). “Agar Kami uji mereka dengannya,” artinya: agar Allah menguji mereka. Perhatikanlah, wahai Muhammad Sago, bagaimana Tuhan kita ‘Azza wa Jalla menyerupakan dunia dengan bunga! Apa persamaan antara dunia dan bunga, wahai Muhammad? Aromanya harum, warnanya indah, terasa lembut ketika disentuh. Segala sesuatu padanya tampak indah. Namun, wahai Muhammad, apa kekurangannya? Umurnya pendek, wahai saudara-saudara! Engkau tinggalkan selama dua atau tiga hari, lalu saat kembali, ternyata bunga itu telah layu. Beberapa hari kemudian engkau datang lagi, dan ia telah rapuh, rontok, diterpa angin. Demikian pula dunia, wahai saudara-saudara! Meskipun hari-harinya terasa panjang, dan umur seseorang dipanjangkan di dunia, dunia tetaplah singkat. ===== وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِيَخْتَبِرَهُمْ فِيهِ وَتَأَمَّلُوا كَيْفَ شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا بَلْ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ الدُّنْيَا بِالزَّهْرَةِ يَا مُحَمَّدُ سَاغُو مَا وَجْهُ الشَّبَهِ يَا مُحَمَّدُ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالزُّهْرَةِ؟ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَلَوْنُهَا جَمِيْلٌ وَمَلْمُوسُهَا نَاعِمٌ كُلُّ شَيْءٍ فِيهَا جَمِيلٌ لَكِنْ يَا مُحَمَّدُ مَا عَيْبُهَا؟ قِصَرُ عُمْرِهَا يَا إِخْوَانُ تَجْلِسُ يَوْمَيْن أَوْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ ذَبُلَتْ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ تَهَشَّمَتْ وَفَرَّقَتْهَا الرِّيْحُ هَكَذَا الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَإِنْ طَالَتِ الْأَيَّامُ وَامْتَدَّ الْعُمْرُ فِيهَا فَهِيَ قَصِيرَةٌ

Dunia Itu Seperi Bunga: Indah, Tapi Cepat Layu – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Jangan sekali-kali engkau arahkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengannya…” (QS. Thaha: 131). “Agar Kami uji mereka dengannya,” artinya: agar Allah menguji mereka. Perhatikanlah, wahai Muhammad Sago, bagaimana Tuhan kita ‘Azza wa Jalla menyerupakan dunia dengan bunga! Apa persamaan antara dunia dan bunga, wahai Muhammad? Aromanya harum, warnanya indah, terasa lembut ketika disentuh. Segala sesuatu padanya tampak indah. Namun, wahai Muhammad, apa kekurangannya? Umurnya pendek, wahai saudara-saudara! Engkau tinggalkan selama dua atau tiga hari, lalu saat kembali, ternyata bunga itu telah layu. Beberapa hari kemudian engkau datang lagi, dan ia telah rapuh, rontok, diterpa angin. Demikian pula dunia, wahai saudara-saudara! Meskipun hari-harinya terasa panjang, dan umur seseorang dipanjangkan di dunia, dunia tetaplah singkat. ===== وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِيَخْتَبِرَهُمْ فِيهِ وَتَأَمَّلُوا كَيْفَ شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا بَلْ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ الدُّنْيَا بِالزَّهْرَةِ يَا مُحَمَّدُ سَاغُو مَا وَجْهُ الشَّبَهِ يَا مُحَمَّدُ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالزُّهْرَةِ؟ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَلَوْنُهَا جَمِيْلٌ وَمَلْمُوسُهَا نَاعِمٌ كُلُّ شَيْءٍ فِيهَا جَمِيلٌ لَكِنْ يَا مُحَمَّدُ مَا عَيْبُهَا؟ قِصَرُ عُمْرِهَا يَا إِخْوَانُ تَجْلِسُ يَوْمَيْن أَوْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ ذَبُلَتْ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ تَهَشَّمَتْ وَفَرَّقَتْهَا الرِّيْحُ هَكَذَا الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَإِنْ طَالَتِ الْأَيَّامُ وَامْتَدَّ الْعُمْرُ فِيهَا فَهِيَ قَصِيرَةٌ
“Jangan sekali-kali engkau arahkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengannya…” (QS. Thaha: 131). “Agar Kami uji mereka dengannya,” artinya: agar Allah menguji mereka. Perhatikanlah, wahai Muhammad Sago, bagaimana Tuhan kita ‘Azza wa Jalla menyerupakan dunia dengan bunga! Apa persamaan antara dunia dan bunga, wahai Muhammad? Aromanya harum, warnanya indah, terasa lembut ketika disentuh. Segala sesuatu padanya tampak indah. Namun, wahai Muhammad, apa kekurangannya? Umurnya pendek, wahai saudara-saudara! Engkau tinggalkan selama dua atau tiga hari, lalu saat kembali, ternyata bunga itu telah layu. Beberapa hari kemudian engkau datang lagi, dan ia telah rapuh, rontok, diterpa angin. Demikian pula dunia, wahai saudara-saudara! Meskipun hari-harinya terasa panjang, dan umur seseorang dipanjangkan di dunia, dunia tetaplah singkat. ===== وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِيَخْتَبِرَهُمْ فِيهِ وَتَأَمَّلُوا كَيْفَ شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا بَلْ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ الدُّنْيَا بِالزَّهْرَةِ يَا مُحَمَّدُ سَاغُو مَا وَجْهُ الشَّبَهِ يَا مُحَمَّدُ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالزُّهْرَةِ؟ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَلَوْنُهَا جَمِيْلٌ وَمَلْمُوسُهَا نَاعِمٌ كُلُّ شَيْءٍ فِيهَا جَمِيلٌ لَكِنْ يَا مُحَمَّدُ مَا عَيْبُهَا؟ قِصَرُ عُمْرِهَا يَا إِخْوَانُ تَجْلِسُ يَوْمَيْن أَوْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ ذَبُلَتْ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ تَهَشَّمَتْ وَفَرَّقَتْهَا الرِّيْحُ هَكَذَا الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَإِنْ طَالَتِ الْأَيَّامُ وَامْتَدَّ الْعُمْرُ فِيهَا فَهِيَ قَصِيرَةٌ


“Jangan sekali-kali engkau arahkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengannya…” (QS. Thaha: 131). “Agar Kami uji mereka dengannya,” artinya: agar Allah menguji mereka. Perhatikanlah, wahai Muhammad Sago, bagaimana Tuhan kita ‘Azza wa Jalla menyerupakan dunia dengan bunga! Apa persamaan antara dunia dan bunga, wahai Muhammad? Aromanya harum, warnanya indah, terasa lembut ketika disentuh. Segala sesuatu padanya tampak indah. Namun, wahai Muhammad, apa kekurangannya? Umurnya pendek, wahai saudara-saudara! Engkau tinggalkan selama dua atau tiga hari, lalu saat kembali, ternyata bunga itu telah layu. Beberapa hari kemudian engkau datang lagi, dan ia telah rapuh, rontok, diterpa angin. Demikian pula dunia, wahai saudara-saudara! Meskipun hari-harinya terasa panjang, dan umur seseorang dipanjangkan di dunia, dunia tetaplah singkat. ===== وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ لِيَخْتَبِرَهُمْ فِيهِ وَتَأَمَّلُوا كَيْفَ شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا بَلْ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ الدُّنْيَا بِالزَّهْرَةِ يَا مُحَمَّدُ سَاغُو مَا وَجْهُ الشَّبَهِ يَا مُحَمَّدُ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالزُّهْرَةِ؟ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَلَوْنُهَا جَمِيْلٌ وَمَلْمُوسُهَا نَاعِمٌ كُلُّ شَيْءٍ فِيهَا جَمِيلٌ لَكِنْ يَا مُحَمَّدُ مَا عَيْبُهَا؟ قِصَرُ عُمْرِهَا يَا إِخْوَانُ تَجْلِسُ يَوْمَيْن أَوْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ ذَبُلَتْ ثُمَّ تَأْتِي إِلَيْهَا وَقَدْ تَهَشَّمَتْ وَفَرَّقَتْهَا الرِّيْحُ هَكَذَا الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَإِنْ طَالَتِ الْأَيَّامُ وَامْتَدَّ الْعُمْرُ فِيهَا فَهِيَ قَصِيرَةٌ

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 26): Al-Amtsilah Al-Khomsah

Daftar Isi ToggleRincian al-amtsilah al-khomsahHukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahPertama, marfu‘ (مرفوع)Kedua, manshub (منصوب)Ketiga, majzum (مجزوم)KesimpulanPembahasan ini merupakan lanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda utama seperti dhammah, fathah, atau kasrah) yang ke-6. Setelah sebelumnya dibahas isim maa laa yansharif, kini kita beralih pada jenis kata yang berbeda, yaitu al-amtsilah al-khomsah yang berarti “lima contoh”.Istilah al-amtsilah al-khomsah digunakan untuk menyebut fi‘il mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) yang memiliki bentuk tertentu dan di-i‘rab menggunakan tanda cabang, bukan tanda asli.Ibnu Hisyam rahimahullah mengatakan, al-amtsilah al-khomsah adalah,تَفْعَلَانِ، يَفْعَلَانِ، تَفْعَلُونَ، يَفْعَلُونَ، تَفْعَلِينَKelima bentuk ini disebut demikian karena semuanya merupakan fi‘il mudhari‘ yang tersambung dengan dhamir tertentu, yaitu:Pertama, alif (الألف) untuk dua orang (mutsanna),Kedua, waw (الواو) untuk jamak mudzakkar,Ketiga, yaa’ (الياء) untuk mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa istilah al-amtsilah al-khomsah lebih tepat daripada al-asma’ al-khomsah, karena bentuk-bentuk ini bukan murni fi‘il saja, di dalamnya juga terdapat unsur isim berupa fa‘il (pelaku) atau na’ib al-fa‘il (yang menggantikan pelaku).Selain itu, istilah ini digunakan agar tidak rancu dengan istilah lain seperti al-asma’ as-sittah.Rincian al-amtsilah al-khomsahBentuk-bentuk al-amtsilah al-khomsah terdiri atas lima jenis fi‘il mudhari‘ berikut:Pertama, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif, menunjukkan dua orang laki-laki ghaib (tidak sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلرَّجُلَانِ يَجْرِيَانِ“Dua orang laki-laki itu sedang berlari.”Kata يَجْرِيَان yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kedua, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif yang menunjukkan dua orang laki-laki mukhathab (yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمَا تُصْلِحَانِ بَيْنَ النَّاسِ“Kalian berdua memperbaiki hubungan di antara manusia.”Kata تُصْلِحَانِ yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ ghaibiin (laki-laki banyak yang tidak diajak bicara langsung).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْعُلَمَاءُ يَحْفَظُونَ الشَّرِيعَةَ“Para ulama menjaga syariat.”Kata يَحْفَظُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Keempat, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ mukhathabiin (laki-laki yang sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمْ تُهَذِّبُونَ الْأَخْلَاقَ“Kalian memperbaiki akhlak.”Kata تُهَذِّبُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kelima, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan yaa’ yang menunjukkan mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتِ تُهَذِّبِينَ الْأَطْفَالَ“Kamu (perempuan) mendidik anak-anak.”Kata تُهَذِّبِينَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Hukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahKelimanya di-i‘rab dengan tanda cabang, bukan tanda utama. Rinciannya sebagai berikut:Pertama, marfu‘ (مرفوع)Fi‘il ini marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun yaitu tetapnya huruf nun, sebagai pengganti dari tanda utama, yaitu dhammah.Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ“Orang-orang beriman, mereka beriman kepada yang gaib.”Kata يُؤْمِنُونَ adalah fi‘il mudhari’ marfu‘ karena tidak didahului amil nashab atau jazm, dan tanda marfu’-nya adalah tsubut an-nun. Adapun huruf waw di akhir kata berfungsi sebagai fa‘il (pelaku).Contoh lain terdapat dalam surah As-Shaff ayat 2:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?”Kata تَفْعَلُونَ termasuk al-amtsilah al-khomsah dan marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun.Kedua, manshub (منصوب)Fi‘il ini menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab (huruf yang menyebabkan nashab) seperti لَنْ , dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun (menghapus huruf nun).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُجِدُّونَ لَنْ يَتَأَخَّرُوا“Orang-orang yang bersungguh-sungguh tidak akan terlambat.”Kata يَتَأَخَّرُوا merupakan fi‘il mudhari’ manshub karena didahului lan dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun. Huruf waw menjadi fa‘il-nya.Contoh lain terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 24:فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا“Maka jika kalian tidak dapat membuatnya, dan kalian tidak akan pernah dapat melakukannya.”Kata تَفْعَلُوا pertama majzum (karena didahului lam), sedangkan yang kedua manshub (karena didahului lan). Keduanya termasuk al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, majzum (مجزوم)Fi‘il ini menjadi majzum jika didahului oleh huruf jazm seperti لَمْ, dengan tanda jazm berupa hazf an-nun.Contohnya dalam kalimat adalah:اِخْتَلَفَ الشَّرِيكَانِ وَلَمْ يَتَّفِقَا“Kedua orang yang bekerja sama itu berselisih dan tidak sepakat.”Kata يَتَّفِقَا adalah fi‘il mudhari’‘ majzum karena didahului oleh lam, dan tanda jazm-nya adalah hazf an-nun. Huruf alif di akhir berfungsi sebagai fa‘il.KesimpulanAl-amtsilah al-khomsah adalah lima bentuk fi‘il mudhari’ yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu:Pertama, marfu‘ dengan tsubut an-nun (tetapnya huruf nun);Kedua, manshub dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun); dan,Ketiga, majzum dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun).Huruf alif, waw, dan yaa’ yang menyertainya bukan bagian dari kata kerja itu sendiri, melainkan dhamir (kata ganti) yang berfungsi sebagai fa‘il atau pelaku. Pembahasan ini memperlihatkan keindahan sistem i‘rab dalam bahasa Arab yang sangat teratur, di mana perubahan tanda tidak hanya bergantung pada posisi kata, tetapi juga pada bentuk dan pelaku yang menyertainya.[Bersambung]Kembali ke bagian 25 Lanjut ke bagian 27***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 26): Al-Amtsilah Al-Khomsah

Daftar Isi ToggleRincian al-amtsilah al-khomsahHukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahPertama, marfu‘ (مرفوع)Kedua, manshub (منصوب)Ketiga, majzum (مجزوم)KesimpulanPembahasan ini merupakan lanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda utama seperti dhammah, fathah, atau kasrah) yang ke-6. Setelah sebelumnya dibahas isim maa laa yansharif, kini kita beralih pada jenis kata yang berbeda, yaitu al-amtsilah al-khomsah yang berarti “lima contoh”.Istilah al-amtsilah al-khomsah digunakan untuk menyebut fi‘il mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) yang memiliki bentuk tertentu dan di-i‘rab menggunakan tanda cabang, bukan tanda asli.Ibnu Hisyam rahimahullah mengatakan, al-amtsilah al-khomsah adalah,تَفْعَلَانِ، يَفْعَلَانِ، تَفْعَلُونَ، يَفْعَلُونَ، تَفْعَلِينَKelima bentuk ini disebut demikian karena semuanya merupakan fi‘il mudhari‘ yang tersambung dengan dhamir tertentu, yaitu:Pertama, alif (الألف) untuk dua orang (mutsanna),Kedua, waw (الواو) untuk jamak mudzakkar,Ketiga, yaa’ (الياء) untuk mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa istilah al-amtsilah al-khomsah lebih tepat daripada al-asma’ al-khomsah, karena bentuk-bentuk ini bukan murni fi‘il saja, di dalamnya juga terdapat unsur isim berupa fa‘il (pelaku) atau na’ib al-fa‘il (yang menggantikan pelaku).Selain itu, istilah ini digunakan agar tidak rancu dengan istilah lain seperti al-asma’ as-sittah.Rincian al-amtsilah al-khomsahBentuk-bentuk al-amtsilah al-khomsah terdiri atas lima jenis fi‘il mudhari‘ berikut:Pertama, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif, menunjukkan dua orang laki-laki ghaib (tidak sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلرَّجُلَانِ يَجْرِيَانِ“Dua orang laki-laki itu sedang berlari.”Kata يَجْرِيَان yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kedua, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif yang menunjukkan dua orang laki-laki mukhathab (yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمَا تُصْلِحَانِ بَيْنَ النَّاسِ“Kalian berdua memperbaiki hubungan di antara manusia.”Kata تُصْلِحَانِ yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ ghaibiin (laki-laki banyak yang tidak diajak bicara langsung).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْعُلَمَاءُ يَحْفَظُونَ الشَّرِيعَةَ“Para ulama menjaga syariat.”Kata يَحْفَظُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Keempat, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ mukhathabiin (laki-laki yang sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمْ تُهَذِّبُونَ الْأَخْلَاقَ“Kalian memperbaiki akhlak.”Kata تُهَذِّبُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kelima, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan yaa’ yang menunjukkan mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتِ تُهَذِّبِينَ الْأَطْفَالَ“Kamu (perempuan) mendidik anak-anak.”Kata تُهَذِّبِينَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Hukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahKelimanya di-i‘rab dengan tanda cabang, bukan tanda utama. Rinciannya sebagai berikut:Pertama, marfu‘ (مرفوع)Fi‘il ini marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun yaitu tetapnya huruf nun, sebagai pengganti dari tanda utama, yaitu dhammah.Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ“Orang-orang beriman, mereka beriman kepada yang gaib.”Kata يُؤْمِنُونَ adalah fi‘il mudhari’ marfu‘ karena tidak didahului amil nashab atau jazm, dan tanda marfu’-nya adalah tsubut an-nun. Adapun huruf waw di akhir kata berfungsi sebagai fa‘il (pelaku).Contoh lain terdapat dalam surah As-Shaff ayat 2:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?”Kata تَفْعَلُونَ termasuk al-amtsilah al-khomsah dan marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun.Kedua, manshub (منصوب)Fi‘il ini menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab (huruf yang menyebabkan nashab) seperti لَنْ , dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun (menghapus huruf nun).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُجِدُّونَ لَنْ يَتَأَخَّرُوا“Orang-orang yang bersungguh-sungguh tidak akan terlambat.”Kata يَتَأَخَّرُوا merupakan fi‘il mudhari’ manshub karena didahului lan dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun. Huruf waw menjadi fa‘il-nya.Contoh lain terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 24:فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا“Maka jika kalian tidak dapat membuatnya, dan kalian tidak akan pernah dapat melakukannya.”Kata تَفْعَلُوا pertama majzum (karena didahului lam), sedangkan yang kedua manshub (karena didahului lan). Keduanya termasuk al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, majzum (مجزوم)Fi‘il ini menjadi majzum jika didahului oleh huruf jazm seperti لَمْ, dengan tanda jazm berupa hazf an-nun.Contohnya dalam kalimat adalah:اِخْتَلَفَ الشَّرِيكَانِ وَلَمْ يَتَّفِقَا“Kedua orang yang bekerja sama itu berselisih dan tidak sepakat.”Kata يَتَّفِقَا adalah fi‘il mudhari’‘ majzum karena didahului oleh lam, dan tanda jazm-nya adalah hazf an-nun. Huruf alif di akhir berfungsi sebagai fa‘il.KesimpulanAl-amtsilah al-khomsah adalah lima bentuk fi‘il mudhari’ yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu:Pertama, marfu‘ dengan tsubut an-nun (tetapnya huruf nun);Kedua, manshub dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun); dan,Ketiga, majzum dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun).Huruf alif, waw, dan yaa’ yang menyertainya bukan bagian dari kata kerja itu sendiri, melainkan dhamir (kata ganti) yang berfungsi sebagai fa‘il atau pelaku. Pembahasan ini memperlihatkan keindahan sistem i‘rab dalam bahasa Arab yang sangat teratur, di mana perubahan tanda tidak hanya bergantung pada posisi kata, tetapi juga pada bentuk dan pelaku yang menyertainya.[Bersambung]Kembali ke bagian 25 Lanjut ke bagian 27***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleRincian al-amtsilah al-khomsahHukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahPertama, marfu‘ (مرفوع)Kedua, manshub (منصوب)Ketiga, majzum (مجزوم)KesimpulanPembahasan ini merupakan lanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda utama seperti dhammah, fathah, atau kasrah) yang ke-6. Setelah sebelumnya dibahas isim maa laa yansharif, kini kita beralih pada jenis kata yang berbeda, yaitu al-amtsilah al-khomsah yang berarti “lima contoh”.Istilah al-amtsilah al-khomsah digunakan untuk menyebut fi‘il mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) yang memiliki bentuk tertentu dan di-i‘rab menggunakan tanda cabang, bukan tanda asli.Ibnu Hisyam rahimahullah mengatakan, al-amtsilah al-khomsah adalah,تَفْعَلَانِ، يَفْعَلَانِ، تَفْعَلُونَ، يَفْعَلُونَ، تَفْعَلِينَKelima bentuk ini disebut demikian karena semuanya merupakan fi‘il mudhari‘ yang tersambung dengan dhamir tertentu, yaitu:Pertama, alif (الألف) untuk dua orang (mutsanna),Kedua, waw (الواو) untuk jamak mudzakkar,Ketiga, yaa’ (الياء) untuk mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa istilah al-amtsilah al-khomsah lebih tepat daripada al-asma’ al-khomsah, karena bentuk-bentuk ini bukan murni fi‘il saja, di dalamnya juga terdapat unsur isim berupa fa‘il (pelaku) atau na’ib al-fa‘il (yang menggantikan pelaku).Selain itu, istilah ini digunakan agar tidak rancu dengan istilah lain seperti al-asma’ as-sittah.Rincian al-amtsilah al-khomsahBentuk-bentuk al-amtsilah al-khomsah terdiri atas lima jenis fi‘il mudhari‘ berikut:Pertama, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif, menunjukkan dua orang laki-laki ghaib (tidak sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلرَّجُلَانِ يَجْرِيَانِ“Dua orang laki-laki itu sedang berlari.”Kata يَجْرِيَان yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kedua, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif yang menunjukkan dua orang laki-laki mukhathab (yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمَا تُصْلِحَانِ بَيْنَ النَّاسِ“Kalian berdua memperbaiki hubungan di antara manusia.”Kata تُصْلِحَانِ yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ ghaibiin (laki-laki banyak yang tidak diajak bicara langsung).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْعُلَمَاءُ يَحْفَظُونَ الشَّرِيعَةَ“Para ulama menjaga syariat.”Kata يَحْفَظُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Keempat, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ mukhathabiin (laki-laki yang sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمْ تُهَذِّبُونَ الْأَخْلَاقَ“Kalian memperbaiki akhlak.”Kata تُهَذِّبُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kelima, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan yaa’ yang menunjukkan mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتِ تُهَذِّبِينَ الْأَطْفَالَ“Kamu (perempuan) mendidik anak-anak.”Kata تُهَذِّبِينَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Hukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahKelimanya di-i‘rab dengan tanda cabang, bukan tanda utama. Rinciannya sebagai berikut:Pertama, marfu‘ (مرفوع)Fi‘il ini marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun yaitu tetapnya huruf nun, sebagai pengganti dari tanda utama, yaitu dhammah.Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ“Orang-orang beriman, mereka beriman kepada yang gaib.”Kata يُؤْمِنُونَ adalah fi‘il mudhari’ marfu‘ karena tidak didahului amil nashab atau jazm, dan tanda marfu’-nya adalah tsubut an-nun. Adapun huruf waw di akhir kata berfungsi sebagai fa‘il (pelaku).Contoh lain terdapat dalam surah As-Shaff ayat 2:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?”Kata تَفْعَلُونَ termasuk al-amtsilah al-khomsah dan marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun.Kedua, manshub (منصوب)Fi‘il ini menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab (huruf yang menyebabkan nashab) seperti لَنْ , dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun (menghapus huruf nun).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُجِدُّونَ لَنْ يَتَأَخَّرُوا“Orang-orang yang bersungguh-sungguh tidak akan terlambat.”Kata يَتَأَخَّرُوا merupakan fi‘il mudhari’ manshub karena didahului lan dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun. Huruf waw menjadi fa‘il-nya.Contoh lain terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 24:فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا“Maka jika kalian tidak dapat membuatnya, dan kalian tidak akan pernah dapat melakukannya.”Kata تَفْعَلُوا pertama majzum (karena didahului lam), sedangkan yang kedua manshub (karena didahului lan). Keduanya termasuk al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, majzum (مجزوم)Fi‘il ini menjadi majzum jika didahului oleh huruf jazm seperti لَمْ, dengan tanda jazm berupa hazf an-nun.Contohnya dalam kalimat adalah:اِخْتَلَفَ الشَّرِيكَانِ وَلَمْ يَتَّفِقَا“Kedua orang yang bekerja sama itu berselisih dan tidak sepakat.”Kata يَتَّفِقَا adalah fi‘il mudhari’‘ majzum karena didahului oleh lam, dan tanda jazm-nya adalah hazf an-nun. Huruf alif di akhir berfungsi sebagai fa‘il.KesimpulanAl-amtsilah al-khomsah adalah lima bentuk fi‘il mudhari’ yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu:Pertama, marfu‘ dengan tsubut an-nun (tetapnya huruf nun);Kedua, manshub dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun); dan,Ketiga, majzum dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun).Huruf alif, waw, dan yaa’ yang menyertainya bukan bagian dari kata kerja itu sendiri, melainkan dhamir (kata ganti) yang berfungsi sebagai fa‘il atau pelaku. Pembahasan ini memperlihatkan keindahan sistem i‘rab dalam bahasa Arab yang sangat teratur, di mana perubahan tanda tidak hanya bergantung pada posisi kata, tetapi juga pada bentuk dan pelaku yang menyertainya.[Bersambung]Kembali ke bagian 25 Lanjut ke bagian 27***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleRincian al-amtsilah al-khomsahHukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahPertama, marfu‘ (مرفوع)Kedua, manshub (منصوب)Ketiga, majzum (مجزوم)KesimpulanPembahasan ini merupakan lanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda utama seperti dhammah, fathah, atau kasrah) yang ke-6. Setelah sebelumnya dibahas isim maa laa yansharif, kini kita beralih pada jenis kata yang berbeda, yaitu al-amtsilah al-khomsah yang berarti “lima contoh”.Istilah al-amtsilah al-khomsah digunakan untuk menyebut fi‘il mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) yang memiliki bentuk tertentu dan di-i‘rab menggunakan tanda cabang, bukan tanda asli.Ibnu Hisyam rahimahullah mengatakan, al-amtsilah al-khomsah adalah,تَفْعَلَانِ، يَفْعَلَانِ، تَفْعَلُونَ، يَفْعَلُونَ، تَفْعَلِينَKelima bentuk ini disebut demikian karena semuanya merupakan fi‘il mudhari‘ yang tersambung dengan dhamir tertentu, yaitu:Pertama, alif (الألف) untuk dua orang (mutsanna),Kedua, waw (الواو) untuk jamak mudzakkar,Ketiga, yaa’ (الياء) untuk mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa istilah al-amtsilah al-khomsah lebih tepat daripada al-asma’ al-khomsah, karena bentuk-bentuk ini bukan murni fi‘il saja, di dalamnya juga terdapat unsur isim berupa fa‘il (pelaku) atau na’ib al-fa‘il (yang menggantikan pelaku).Selain itu, istilah ini digunakan agar tidak rancu dengan istilah lain seperti al-asma’ as-sittah.Rincian al-amtsilah al-khomsahBentuk-bentuk al-amtsilah al-khomsah terdiri atas lima jenis fi‘il mudhari‘ berikut:Pertama, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif, menunjukkan dua orang laki-laki ghaib (tidak sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلرَّجُلَانِ يَجْرِيَانِ“Dua orang laki-laki itu sedang berlari.”Kata يَجْرِيَان yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kedua, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan alif yang menunjukkan dua orang laki-laki mukhathab (yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمَا تُصْلِحَانِ بَيْنَ النَّاسِ“Kalian berdua memperbaiki hubungan di antara manusia.”Kata تُصْلِحَانِ yang terdapat pada kalimat diatas adalah al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, fi‘il mudhari’ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ ghaibiin (laki-laki banyak yang tidak diajak bicara langsung).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْعُلَمَاءُ يَحْفَظُونَ الشَّرِيعَةَ“Para ulama menjaga syariat.”Kata يَحْفَظُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Keempat, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan waw yang menunjukkan jama‘ mukhathabiin (laki-laki yang sedang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتُمْ تُهَذِّبُونَ الْأَخْلَاقَ“Kalian memperbaiki akhlak.”Kata تُهَذِّبُونَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Kelima, fi‘il mudhari’‘ yang tersambung dengan yaa’ yang menunjukkan mukhathabah (perempuan yang diajak bicara).Contohnya dalam kalimat adalah:أَنْتِ تُهَذِّبِينَ الْأَطْفَالَ“Kamu (perempuan) mendidik anak-anak.”Kata تُهَذِّبِينَ yang terdapat pada kalimat di atas adalah al-amtsilah al-khomsah.Hukum i‘rab al-amtsilah al-khomsahKelimanya di-i‘rab dengan tanda cabang, bukan tanda utama. Rinciannya sebagai berikut:Pertama, marfu‘ (مرفوع)Fi‘il ini marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun yaitu tetapnya huruf nun, sebagai pengganti dari tanda utama, yaitu dhammah.Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ“Orang-orang beriman, mereka beriman kepada yang gaib.”Kata يُؤْمِنُونَ adalah fi‘il mudhari’ marfu‘ karena tidak didahului amil nashab atau jazm, dan tanda marfu’-nya adalah tsubut an-nun. Adapun huruf waw di akhir kata berfungsi sebagai fa‘il (pelaku).Contoh lain terdapat dalam surah As-Shaff ayat 2:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?”Kata تَفْعَلُونَ termasuk al-amtsilah al-khomsah dan marfu‘ dengan tanda tsubut an-nun.Kedua, manshub (منصوب)Fi‘il ini menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab (huruf yang menyebabkan nashab) seperti لَنْ , dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun (menghapus huruf nun).Contohnya dalam kalimat adalah:اَلْمُجِدُّونَ لَنْ يَتَأَخَّرُوا“Orang-orang yang bersungguh-sungguh tidak akan terlambat.”Kata يَتَأَخَّرُوا merupakan fi‘il mudhari’ manshub karena didahului lan dan tanda nashab-nya adalah hazf an-nun. Huruf waw menjadi fa‘il-nya.Contoh lain terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 24:فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا“Maka jika kalian tidak dapat membuatnya, dan kalian tidak akan pernah dapat melakukannya.”Kata تَفْعَلُوا pertama majzum (karena didahului lam), sedangkan yang kedua manshub (karena didahului lan). Keduanya termasuk al-amtsilah al-khomsah.Ketiga, majzum (مجزوم)Fi‘il ini menjadi majzum jika didahului oleh huruf jazm seperti لَمْ, dengan tanda jazm berupa hazf an-nun.Contohnya dalam kalimat adalah:اِخْتَلَفَ الشَّرِيكَانِ وَلَمْ يَتَّفِقَا“Kedua orang yang bekerja sama itu berselisih dan tidak sepakat.”Kata يَتَّفِقَا adalah fi‘il mudhari’‘ majzum karena didahului oleh lam, dan tanda jazm-nya adalah hazf an-nun. Huruf alif di akhir berfungsi sebagai fa‘il.KesimpulanAl-amtsilah al-khomsah adalah lima bentuk fi‘il mudhari’ yang di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu:Pertama, marfu‘ dengan tsubut an-nun (tetapnya huruf nun);Kedua, manshub dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun); dan,Ketiga, majzum dengan hazf an-nun (dihapusnya huruf nun).Huruf alif, waw, dan yaa’ yang menyertainya bukan bagian dari kata kerja itu sendiri, melainkan dhamir (kata ganti) yang berfungsi sebagai fa‘il atau pelaku. Pembahasan ini memperlihatkan keindahan sistem i‘rab dalam bahasa Arab yang sangat teratur, di mana perubahan tanda tidak hanya bergantung pada posisi kata, tetapi juga pada bentuk dan pelaku yang menyertainya.[Bersambung]Kembali ke bagian 25 Lanjut ke bagian 27***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Siapa Penghuni Al-A’raf? Mereka yang Tertahan di Antara Surga dan Neraka

Di antara rahasia besar hari kiamat adalah keberadaan Al-A‘rāf—tempat tinggi di antara surga dan neraka. Di sanalah sekelompok manusia berdiri, melihat penghuni surga dengan harapan dan penghuni neraka dengan ketakutan. Banyak ulama membahas siapakah mereka sebenarnya, bahkan ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para malaikat. Namun, para ulama besar seperti As-Suyūṭī menjelaskan bahwa pendapat tersebut tidak tepat. Sebab, penghuni Al-A‘rāf adalah manusia, bukan malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsir para sahabat.   Daftar Isi tutup 1. Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka 2. Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah 3. Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf 4. Tonton video selengkapnya   Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka Ada satu tempat di antara surga dan neraka yang disebut Al-A‘rāf. Tempat ini adalah dinding tinggi yang berada di antara keduanya. Dari tempat tersebut, orang-orang yang menempatinya bisa melihat penghuni surga dan juga penghuni neraka. Pada akhirnya, Allah ‘azza wa jalla akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya dan tidak menjadikan mereka penghuni neraka. Pendapat yang paling kuat menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang amal baik dan amal buruknya seimbang — tidak cukup berat untuk langsung ke surga, namun juga tidak cukup buruk untuk masuk neraka. Allah Ta‘ala berfirman: وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى ٱلْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّۭا بِسِيمَٰهُمْ وَنَادَوْا۟ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ أَن سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ. وَإِذَا صُرِفَتْ أَبْصَٰرُهُمْ تِلْقَآءَ أَصْحَٰبِ ٱلنَّارِ قَالُوا۟ رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ. وَنَادَىٰٓ أَصْحَٰبُ ٱلْأَعْرَافِ رِجَالًۭا يَعْرِفُونَهُم بِسِيمَٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ. أَهَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ ٱللَّهُ بِرَحْمَةٍۢ ۚ ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding. Dan di atas Al-A‘rāf ada orang-orang yang mengenal masing-masing (penghuni surga dan neraka) dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, ‘Semoga kesejahteraan atas kalian!’ Mereka belum masuk ke surga, tetapi sangat berharap untuk masuk. Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim.’ Dan penghuni Al-A‘rāf menyeru orang-orang (yang mereka kenal) di neraka, ‘Apakah manfaat bagi kalian harta dan kesombongan yang dulu kalian miliki?’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Inikah orang-orang yang dulu kalian sumpah bahwa Allah tidak akan memberi rahmat kepada mereka? (Sekarang dikatakan kepada mereka:) Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.’” (QS. Al-A‘rāf: 46–49)   Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah Ibnul Qayyim menjelaskan: “Firman Allah “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding” maksudnya adalah ada penghalang antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dinding besar yang dipasang di antara keduanya. Bagian dalamnya (yang menghadap surga) berisi rahmat, sedangkan bagian luarnya (yang menghadap neraka) berisi azab. Al-A‘rāf adalah bentuk jamak dari kata ‘urf, yang berarti tempat tinggi. Maka Al-A‘rāf adalah dinding tinggi di antara surga dan neraka, dan di atasnya terdapat orang-orang yang disebut penghuni Al-A‘rāf.” Hudzaifah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Mereka adalah kaum yang amal baik dan amal buruknya seimbang. Amal buruk mereka tidak cukup untuk memasukkan mereka ke surga, namun amal baik mereka juga tidak cukup untuk memasukkan mereka ke neraka. Maka mereka ditahan di tempat itu sampai Allah menetapkan keputusan-Nya, kemudian memasukkan mereka ke surga dengan karunia dan rahmat-Nya.” Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata: “Orang yang amal baik dan buruknya seimbang termasuk penghuni Al-A‘rāf. Mereka berdiri di atas shirath (jembatan), lalu mengenali penghuni surga dan penghuni neraka. Ketika melihat penghuni surga, mereka berkata, “Semoga keselamatan bagi kalian”. Dan ketika pandangan mereka diarahkan kepada penghuni neraka, mereka berdoa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim”.” Adapun orang-orang yang memiliki banyak amal baik, mereka diberi cahaya di depan dan di tangan kanan mereka. Setiap orang akan diberi cahaya sesuai kadar imannya. Ketika mereka melewati shirath, Allah akan mencabut cahaya dari orang-orang munafik. Melihat hal itu, penghuni surga berdoa: رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا “Ya Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Sedangkan penghuni Al-A‘rāf tidak dicabut cahayanya. Allah berfirman tentang mereka: لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ “Mereka belum masuk surga, tetapi mereka sangat berharap untuk masuk.” Harapan itu muncul karena mereka masih memiliki cahaya di tangan mereka. Setelah itu, mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam surga dan menjadi kelompok terakhir yang memasukinya — tanpa pernah merasakan azab neraka.   Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf Sebagian ulama juga menyebutkan beberapa pendapat lain: Mereka adalah orang-orang yang ikut berjihad tanpa izin orang tua, lalu gugur di medan perang. Mereka bebas dari neraka karena mati syahid, namun tertahan dari surga karena durhaka kepada orang tua. Ada yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang salah satu dari kedua orang tuanya rida sedangkan yang lain tidak. Maka mereka ditahan di Al-A‘rāf hingga Allah memutuskan perkara mereka. Ada pula yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang hidup di masa fatrah (masa kekosongan wahyu) dan anak-anak orang kafir. Pendapat lain menyebut bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga mereka berada di tempat tinggi untuk melihat penghuni surga dan neraka. Sebagian menyebut mereka adalah para malaikat, bukan dari kalangan manusia. Namun, pendapat yang paling kuat — sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah — adalah pendapat pertama, yaitu mereka yang amal baik dan buruknya seimbang. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ dengan sanad yang paling kuat. Akhirnya, Allah berfirman kepada mereka: ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.” (Ibnul Qayyim, Ṭarīq al-Hijratain, hlm. 564–567, dengan ringkasan).   Tonton video selengkapnya Mizan di Hari Kiamat: Saat Amal Baik dan Buruk Dihitung Satu per Satu – Ustadz Dr. M Abduh Tuasikal   —   Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-a‘raf amal baik dan buruk as-suyuthi hari kiamat ibnul qayyim keadilan Allah manusia di hari kiamat surga dan neraka tafsir al-qur’an tafsir surat al-a‘raf

Siapa Penghuni Al-A’raf? Mereka yang Tertahan di Antara Surga dan Neraka

Di antara rahasia besar hari kiamat adalah keberadaan Al-A‘rāf—tempat tinggi di antara surga dan neraka. Di sanalah sekelompok manusia berdiri, melihat penghuni surga dengan harapan dan penghuni neraka dengan ketakutan. Banyak ulama membahas siapakah mereka sebenarnya, bahkan ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para malaikat. Namun, para ulama besar seperti As-Suyūṭī menjelaskan bahwa pendapat tersebut tidak tepat. Sebab, penghuni Al-A‘rāf adalah manusia, bukan malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsir para sahabat.   Daftar Isi tutup 1. Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka 2. Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah 3. Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf 4. Tonton video selengkapnya   Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka Ada satu tempat di antara surga dan neraka yang disebut Al-A‘rāf. Tempat ini adalah dinding tinggi yang berada di antara keduanya. Dari tempat tersebut, orang-orang yang menempatinya bisa melihat penghuni surga dan juga penghuni neraka. Pada akhirnya, Allah ‘azza wa jalla akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya dan tidak menjadikan mereka penghuni neraka. Pendapat yang paling kuat menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang amal baik dan amal buruknya seimbang — tidak cukup berat untuk langsung ke surga, namun juga tidak cukup buruk untuk masuk neraka. Allah Ta‘ala berfirman: وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى ٱلْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّۭا بِسِيمَٰهُمْ وَنَادَوْا۟ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ أَن سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ. وَإِذَا صُرِفَتْ أَبْصَٰرُهُمْ تِلْقَآءَ أَصْحَٰبِ ٱلنَّارِ قَالُوا۟ رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ. وَنَادَىٰٓ أَصْحَٰبُ ٱلْأَعْرَافِ رِجَالًۭا يَعْرِفُونَهُم بِسِيمَٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ. أَهَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ ٱللَّهُ بِرَحْمَةٍۢ ۚ ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding. Dan di atas Al-A‘rāf ada orang-orang yang mengenal masing-masing (penghuni surga dan neraka) dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, ‘Semoga kesejahteraan atas kalian!’ Mereka belum masuk ke surga, tetapi sangat berharap untuk masuk. Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim.’ Dan penghuni Al-A‘rāf menyeru orang-orang (yang mereka kenal) di neraka, ‘Apakah manfaat bagi kalian harta dan kesombongan yang dulu kalian miliki?’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Inikah orang-orang yang dulu kalian sumpah bahwa Allah tidak akan memberi rahmat kepada mereka? (Sekarang dikatakan kepada mereka:) Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.’” (QS. Al-A‘rāf: 46–49)   Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah Ibnul Qayyim menjelaskan: “Firman Allah “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding” maksudnya adalah ada penghalang antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dinding besar yang dipasang di antara keduanya. Bagian dalamnya (yang menghadap surga) berisi rahmat, sedangkan bagian luarnya (yang menghadap neraka) berisi azab. Al-A‘rāf adalah bentuk jamak dari kata ‘urf, yang berarti tempat tinggi. Maka Al-A‘rāf adalah dinding tinggi di antara surga dan neraka, dan di atasnya terdapat orang-orang yang disebut penghuni Al-A‘rāf.” Hudzaifah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Mereka adalah kaum yang amal baik dan amal buruknya seimbang. Amal buruk mereka tidak cukup untuk memasukkan mereka ke surga, namun amal baik mereka juga tidak cukup untuk memasukkan mereka ke neraka. Maka mereka ditahan di tempat itu sampai Allah menetapkan keputusan-Nya, kemudian memasukkan mereka ke surga dengan karunia dan rahmat-Nya.” Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata: “Orang yang amal baik dan buruknya seimbang termasuk penghuni Al-A‘rāf. Mereka berdiri di atas shirath (jembatan), lalu mengenali penghuni surga dan penghuni neraka. Ketika melihat penghuni surga, mereka berkata, “Semoga keselamatan bagi kalian”. Dan ketika pandangan mereka diarahkan kepada penghuni neraka, mereka berdoa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim”.” Adapun orang-orang yang memiliki banyak amal baik, mereka diberi cahaya di depan dan di tangan kanan mereka. Setiap orang akan diberi cahaya sesuai kadar imannya. Ketika mereka melewati shirath, Allah akan mencabut cahaya dari orang-orang munafik. Melihat hal itu, penghuni surga berdoa: رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا “Ya Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Sedangkan penghuni Al-A‘rāf tidak dicabut cahayanya. Allah berfirman tentang mereka: لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ “Mereka belum masuk surga, tetapi mereka sangat berharap untuk masuk.” Harapan itu muncul karena mereka masih memiliki cahaya di tangan mereka. Setelah itu, mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam surga dan menjadi kelompok terakhir yang memasukinya — tanpa pernah merasakan azab neraka.   Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf Sebagian ulama juga menyebutkan beberapa pendapat lain: Mereka adalah orang-orang yang ikut berjihad tanpa izin orang tua, lalu gugur di medan perang. Mereka bebas dari neraka karena mati syahid, namun tertahan dari surga karena durhaka kepada orang tua. Ada yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang salah satu dari kedua orang tuanya rida sedangkan yang lain tidak. Maka mereka ditahan di Al-A‘rāf hingga Allah memutuskan perkara mereka. Ada pula yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang hidup di masa fatrah (masa kekosongan wahyu) dan anak-anak orang kafir. Pendapat lain menyebut bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga mereka berada di tempat tinggi untuk melihat penghuni surga dan neraka. Sebagian menyebut mereka adalah para malaikat, bukan dari kalangan manusia. Namun, pendapat yang paling kuat — sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah — adalah pendapat pertama, yaitu mereka yang amal baik dan buruknya seimbang. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ dengan sanad yang paling kuat. Akhirnya, Allah berfirman kepada mereka: ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.” (Ibnul Qayyim, Ṭarīq al-Hijratain, hlm. 564–567, dengan ringkasan).   Tonton video selengkapnya Mizan di Hari Kiamat: Saat Amal Baik dan Buruk Dihitung Satu per Satu – Ustadz Dr. M Abduh Tuasikal   —   Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-a‘raf amal baik dan buruk as-suyuthi hari kiamat ibnul qayyim keadilan Allah manusia di hari kiamat surga dan neraka tafsir al-qur’an tafsir surat al-a‘raf
Di antara rahasia besar hari kiamat adalah keberadaan Al-A‘rāf—tempat tinggi di antara surga dan neraka. Di sanalah sekelompok manusia berdiri, melihat penghuni surga dengan harapan dan penghuni neraka dengan ketakutan. Banyak ulama membahas siapakah mereka sebenarnya, bahkan ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para malaikat. Namun, para ulama besar seperti As-Suyūṭī menjelaskan bahwa pendapat tersebut tidak tepat. Sebab, penghuni Al-A‘rāf adalah manusia, bukan malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsir para sahabat.   Daftar Isi tutup 1. Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka 2. Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah 3. Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf 4. Tonton video selengkapnya   Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka Ada satu tempat di antara surga dan neraka yang disebut Al-A‘rāf. Tempat ini adalah dinding tinggi yang berada di antara keduanya. Dari tempat tersebut, orang-orang yang menempatinya bisa melihat penghuni surga dan juga penghuni neraka. Pada akhirnya, Allah ‘azza wa jalla akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya dan tidak menjadikan mereka penghuni neraka. Pendapat yang paling kuat menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang amal baik dan amal buruknya seimbang — tidak cukup berat untuk langsung ke surga, namun juga tidak cukup buruk untuk masuk neraka. Allah Ta‘ala berfirman: وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى ٱلْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّۭا بِسِيمَٰهُمْ وَنَادَوْا۟ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ أَن سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ. وَإِذَا صُرِفَتْ أَبْصَٰرُهُمْ تِلْقَآءَ أَصْحَٰبِ ٱلنَّارِ قَالُوا۟ رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ. وَنَادَىٰٓ أَصْحَٰبُ ٱلْأَعْرَافِ رِجَالًۭا يَعْرِفُونَهُم بِسِيمَٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ. أَهَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ ٱللَّهُ بِرَحْمَةٍۢ ۚ ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding. Dan di atas Al-A‘rāf ada orang-orang yang mengenal masing-masing (penghuni surga dan neraka) dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, ‘Semoga kesejahteraan atas kalian!’ Mereka belum masuk ke surga, tetapi sangat berharap untuk masuk. Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim.’ Dan penghuni Al-A‘rāf menyeru orang-orang (yang mereka kenal) di neraka, ‘Apakah manfaat bagi kalian harta dan kesombongan yang dulu kalian miliki?’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Inikah orang-orang yang dulu kalian sumpah bahwa Allah tidak akan memberi rahmat kepada mereka? (Sekarang dikatakan kepada mereka:) Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.’” (QS. Al-A‘rāf: 46–49)   Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah Ibnul Qayyim menjelaskan: “Firman Allah “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding” maksudnya adalah ada penghalang antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dinding besar yang dipasang di antara keduanya. Bagian dalamnya (yang menghadap surga) berisi rahmat, sedangkan bagian luarnya (yang menghadap neraka) berisi azab. Al-A‘rāf adalah bentuk jamak dari kata ‘urf, yang berarti tempat tinggi. Maka Al-A‘rāf adalah dinding tinggi di antara surga dan neraka, dan di atasnya terdapat orang-orang yang disebut penghuni Al-A‘rāf.” Hudzaifah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Mereka adalah kaum yang amal baik dan amal buruknya seimbang. Amal buruk mereka tidak cukup untuk memasukkan mereka ke surga, namun amal baik mereka juga tidak cukup untuk memasukkan mereka ke neraka. Maka mereka ditahan di tempat itu sampai Allah menetapkan keputusan-Nya, kemudian memasukkan mereka ke surga dengan karunia dan rahmat-Nya.” Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata: “Orang yang amal baik dan buruknya seimbang termasuk penghuni Al-A‘rāf. Mereka berdiri di atas shirath (jembatan), lalu mengenali penghuni surga dan penghuni neraka. Ketika melihat penghuni surga, mereka berkata, “Semoga keselamatan bagi kalian”. Dan ketika pandangan mereka diarahkan kepada penghuni neraka, mereka berdoa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim”.” Adapun orang-orang yang memiliki banyak amal baik, mereka diberi cahaya di depan dan di tangan kanan mereka. Setiap orang akan diberi cahaya sesuai kadar imannya. Ketika mereka melewati shirath, Allah akan mencabut cahaya dari orang-orang munafik. Melihat hal itu, penghuni surga berdoa: رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا “Ya Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Sedangkan penghuni Al-A‘rāf tidak dicabut cahayanya. Allah berfirman tentang mereka: لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ “Mereka belum masuk surga, tetapi mereka sangat berharap untuk masuk.” Harapan itu muncul karena mereka masih memiliki cahaya di tangan mereka. Setelah itu, mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam surga dan menjadi kelompok terakhir yang memasukinya — tanpa pernah merasakan azab neraka.   Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf Sebagian ulama juga menyebutkan beberapa pendapat lain: Mereka adalah orang-orang yang ikut berjihad tanpa izin orang tua, lalu gugur di medan perang. Mereka bebas dari neraka karena mati syahid, namun tertahan dari surga karena durhaka kepada orang tua. Ada yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang salah satu dari kedua orang tuanya rida sedangkan yang lain tidak. Maka mereka ditahan di Al-A‘rāf hingga Allah memutuskan perkara mereka. Ada pula yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang hidup di masa fatrah (masa kekosongan wahyu) dan anak-anak orang kafir. Pendapat lain menyebut bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga mereka berada di tempat tinggi untuk melihat penghuni surga dan neraka. Sebagian menyebut mereka adalah para malaikat, bukan dari kalangan manusia. Namun, pendapat yang paling kuat — sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah — adalah pendapat pertama, yaitu mereka yang amal baik dan buruknya seimbang. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ dengan sanad yang paling kuat. Akhirnya, Allah berfirman kepada mereka: ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.” (Ibnul Qayyim, Ṭarīq al-Hijratain, hlm. 564–567, dengan ringkasan).   Tonton video selengkapnya Mizan di Hari Kiamat: Saat Amal Baik dan Buruk Dihitung Satu per Satu – Ustadz Dr. M Abduh Tuasikal   —   Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-a‘raf amal baik dan buruk as-suyuthi hari kiamat ibnul qayyim keadilan Allah manusia di hari kiamat surga dan neraka tafsir al-qur’an tafsir surat al-a‘raf


Di antara rahasia besar hari kiamat adalah keberadaan Al-A‘rāf—tempat tinggi di antara surga dan neraka. Di sanalah sekelompok manusia berdiri, melihat penghuni surga dengan harapan dan penghuni neraka dengan ketakutan. Banyak ulama membahas siapakah mereka sebenarnya, bahkan ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para malaikat. Namun, para ulama besar seperti As-Suyūṭī menjelaskan bahwa pendapat tersebut tidak tepat. Sebab, penghuni Al-A‘rāf adalah manusia, bukan malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsir para sahabat.   Daftar Isi tutup 1. Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka 2. Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah 3. Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf 4. Tonton video selengkapnya   Siapakah Ashābul A‘rāf? Tempat Antara Surga dan Neraka Ada satu tempat di antara surga dan neraka yang disebut Al-A‘rāf. Tempat ini adalah dinding tinggi yang berada di antara keduanya. Dari tempat tersebut, orang-orang yang menempatinya bisa melihat penghuni surga dan juga penghuni neraka. Pada akhirnya, Allah ‘azza wa jalla akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya dan tidak menjadikan mereka penghuni neraka. Pendapat yang paling kuat menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang amal baik dan amal buruknya seimbang — tidak cukup berat untuk langsung ke surga, namun juga tidak cukup buruk untuk masuk neraka. Allah Ta‘ala berfirman: وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى ٱلْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّۭا بِسِيمَٰهُمْ وَنَادَوْا۟ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ أَن سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ. وَإِذَا صُرِفَتْ أَبْصَٰرُهُمْ تِلْقَآءَ أَصْحَٰبِ ٱلنَّارِ قَالُوا۟ رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا مَعَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ. وَنَادَىٰٓ أَصْحَٰبُ ٱلْأَعْرَافِ رِجَالًۭا يَعْرِفُونَهُم بِسِيمَٰهُمْ قَالُوا۟ مَآ أَغْنَىٰ عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ. أَهَٰٓؤُلَآءِ ٱلَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ ٱللَّهُ بِرَحْمَةٍۢ ۚ ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَآ أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding. Dan di atas Al-A‘rāf ada orang-orang yang mengenal masing-masing (penghuni surga dan neraka) dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, ‘Semoga kesejahteraan atas kalian!’ Mereka belum masuk ke surga, tetapi sangat berharap untuk masuk. Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim.’ Dan penghuni Al-A‘rāf menyeru orang-orang (yang mereka kenal) di neraka, ‘Apakah manfaat bagi kalian harta dan kesombongan yang dulu kalian miliki?’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Inikah orang-orang yang dulu kalian sumpah bahwa Allah tidak akan memberi rahmat kepada mereka? (Sekarang dikatakan kepada mereka:) Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.’” (QS. Al-A‘rāf: 46–49)   Penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah Ibnul Qayyim menjelaskan: “Firman Allah “Dan di antara keduanya (surga dan neraka) ada dinding” maksudnya adalah ada penghalang antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dinding besar yang dipasang di antara keduanya. Bagian dalamnya (yang menghadap surga) berisi rahmat, sedangkan bagian luarnya (yang menghadap neraka) berisi azab. Al-A‘rāf adalah bentuk jamak dari kata ‘urf, yang berarti tempat tinggi. Maka Al-A‘rāf adalah dinding tinggi di antara surga dan neraka, dan di atasnya terdapat orang-orang yang disebut penghuni Al-A‘rāf.” Hudzaifah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Mereka adalah kaum yang amal baik dan amal buruknya seimbang. Amal buruk mereka tidak cukup untuk memasukkan mereka ke surga, namun amal baik mereka juga tidak cukup untuk memasukkan mereka ke neraka. Maka mereka ditahan di tempat itu sampai Allah menetapkan keputusan-Nya, kemudian memasukkan mereka ke surga dengan karunia dan rahmat-Nya.” Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata: “Orang yang amal baik dan buruknya seimbang termasuk penghuni Al-A‘rāf. Mereka berdiri di atas shirath (jembatan), lalu mengenali penghuni surga dan penghuni neraka. Ketika melihat penghuni surga, mereka berkata, “Semoga keselamatan bagi kalian”. Dan ketika pandangan mereka diarahkan kepada penghuni neraka, mereka berdoa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami bersama orang-orang yang zalim”.” Adapun orang-orang yang memiliki banyak amal baik, mereka diberi cahaya di depan dan di tangan kanan mereka. Setiap orang akan diberi cahaya sesuai kadar imannya. Ketika mereka melewati shirath, Allah akan mencabut cahaya dari orang-orang munafik. Melihat hal itu, penghuni surga berdoa: رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا “Ya Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Sedangkan penghuni Al-A‘rāf tidak dicabut cahayanya. Allah berfirman tentang mereka: لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ “Mereka belum masuk surga, tetapi mereka sangat berharap untuk masuk.” Harapan itu muncul karena mereka masih memiliki cahaya di tangan mereka. Setelah itu, mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam surga dan menjadi kelompok terakhir yang memasukinya — tanpa pernah merasakan azab neraka.   Pendapat Lain tentang Siapa Penghuni Al-A‘rāf Sebagian ulama juga menyebutkan beberapa pendapat lain: Mereka adalah orang-orang yang ikut berjihad tanpa izin orang tua, lalu gugur di medan perang. Mereka bebas dari neraka karena mati syahid, namun tertahan dari surga karena durhaka kepada orang tua. Ada yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang salah satu dari kedua orang tuanya rida sedangkan yang lain tidak. Maka mereka ditahan di Al-A‘rāf hingga Allah memutuskan perkara mereka. Ada pula yang mengatakan, mereka adalah orang-orang yang hidup di masa fatrah (masa kekosongan wahyu) dan anak-anak orang kafir. Pendapat lain menyebut bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga mereka berada di tempat tinggi untuk melihat penghuni surga dan neraka. Sebagian menyebut mereka adalah para malaikat, bukan dari kalangan manusia. Namun, pendapat yang paling kuat — sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah — adalah pendapat pertama, yaitu mereka yang amal baik dan buruknya seimbang. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ dengan sanad yang paling kuat. Akhirnya, Allah berfirman kepada mereka: ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ “Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada ketakutan atas kalian dan kalian tidak akan bersedih hati.” (Ibnul Qayyim, Ṭarīq al-Hijratain, hlm. 564–567, dengan ringkasan).   Tonton video selengkapnya Mizan di Hari Kiamat: Saat Amal Baik dan Buruk Dihitung Satu per Satu – Ustadz Dr. M Abduh Tuasikal   —   Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-a‘raf amal baik dan buruk as-suyuthi hari kiamat ibnul qayyim keadilan Allah manusia di hari kiamat surga dan neraka tafsir al-qur’an tafsir surat al-a‘raf

Keutamaan Dzikir

Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan, namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Ia adalah makanan hati, penyejuk jiwa, dan penghubung seorang hamba dengan Rabb-nya. Para ulama menjelaskan bahwa dalam dzikir terkandung ratusan manfaat yang mampu mengangkat derajat seorang muslim. Karena itu, siapa saja yang ingin hatinya hidup dan dekat dengan Allah ﷻ, hendaknya senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir.   Daftar Isi tutup 1. Lebih dari Seratus Faedah Dzikir 2. Dzikir itu Menenangkan Hati 3. Hadirkan Hati Ketika Berdzikir 4. Makna Dzikir 4.1. a) Makna umum 4.2. b) Makna khusus 5. Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: وَفِي الذِّكْرِ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةِ فَائِدَةٍ Lebih dari Seratus Faedah Dzikir Di antara faedah dzikir yang sangat banyak itu adalah:   (إِحْدَاهَا) أَنَّهُ يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ وَيَقْمَعُهُ وَيَكْسِرُهُ. Pertama, dzikir dapat mengusir setan, melemahkan, dan menghancurkan kekuatannya.   [الثَّانِيَةُ] أَنَّهُ يُرْضِي الرَّحْمٰنَ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua, dzikir mendatangkan keridaan Allah ﷻ.   [الثَّالِثَةُ] أَنَّهُ يُزِيلُ الهَمَّ وَالغَمَّ عَنِ القَلْبِ. Ketiga, dzikir mampu menghilangkan kekhawatiran pada masa akan datang (hamm) dan kesedihan saat ini (ghamm) dari hati.   [الرَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ لِلْقَلْبِ الفَرَحَ وَالسُّرُورَ وَالبَسْطَ. Keempat, dzikir membawa kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan bagi hati.   [الخَامِسَةُ] أَنَّهُ يُقَوِّي القَلْبَ وَالبَدَنَ. Kelima, dzikir menguatkan hati dan tubuh.   [السَّادِسَةُ] يُنَوِّرُ الوَجْهَ وَالقَلْبَ. Keenam, dzikir menjadikan wajah dan hati bercahaya.   [السَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّزْقَ. Ketujuh, dzikir mendatangkan rezeki.   [الثَّامِنَةُ] أَنَّهُ يَكْسُو الذَّاكِرَ المَهَابَةَ وَالحَلَاوَةَ وَالنُضْرَةَ. Kedelapan, dzikir membuat orang yang melakukannya memiliki wibawa, pesona, dan keteduhan.   [التَّاسِعَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المَحَبَّةَ الَّتِي هِيَ رُوحُ الإِسْلَامِ، وَقُطْبُ رَحَى الدِّينِ، وَمدَارُ السَّعَادَةِ. قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا، وَجَعَلَ سَبَبَ المَحَبَّةِ دَوَامَ الذِّكْرِ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَلْهَجْ بِذِكْرِهِ، فَإِنَّهُ الدَّرْسُ وَالمُذَاكَرَةُ كَمَا أَنَّهُ بَابُ العِلْمِ، فَالذِّكْرُ بَابُ المَحَبَّةِ وَشَارِعُهَا الأَعْظَمُ وَصِرَاطُهَا الأَقْوَمُ. Kesembilan, dzikir menumbuhkan rasa cinta, yang merupakan ruh Islam, poros agama, dan inti kebahagiaan. Allah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab tumbuhnya cinta kepada-Nya adalah dengan terus berdzikir. Siapa saja yang ingin meraih cinta Allah ﷻ, hendaklah ia senantiasa basah lisannya dengan dzikir. Sebagaimana pengulangan pelajaran adalah kunci ilmu, maka dzikir adalah kunci cinta, jalan besarnya, dan jalan lurus menuju-Nya. Baca juga: Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi   [العَاشِرَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المُرَاقَبَةَ حَتَّى يُدْخِلَهُ فِي بَابِ الإِحْسَانِ، فَيَعْبُدُ اللهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، وَلا سَبِيلَ لِلْغَافِلِ عَنِ الذِّكْرِ إِلَى مَقَامِ الإِحْسَانِ، كَمَا لا سَبِيلَ لِلْقَاعِدِ إِلَى الوُصُولِ إِلَى البَيْتِ. Kesepuluh, dzikir melahirkan sikap muraqabah (merasa diawasi Allah) hingga mengantarkan seseorang ke pintu ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Orang yang lalai dari dzikir tidak akan mungkin sampai pada derajat ihsan, sebagaimana orang yang hanya duduk tidak akan pernah sampai ke rumah tujuan. Baca juga: Penjelasan Ringkas tentang Ihsan   [الحَادِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الإِنَابَةَ، وَهِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَمَتَى أَكْثَرَ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ بِذِكْرِهِ أَوْرَثَهُ ذٰلِكَ رُجُوعَهُ بِقَلْبِهِ إِلَيْهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ، فَيَبْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَفْزَعَهُ وَمَلْجَأَهُ، وَمَلَاذَهُ وَمَعَاذَهُ، وَقِبْلَةَ قَلْبِهِ وَمَهْرَبَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَالبَلَايَا. Kesebelas, dzikir menumbuhkan sikap inābah, yaitu kembali kepada Allah ﷻ. Semakin banyak seseorang kembali kepada-Nya melalui dzikir, semakin membuatnya terbiasa menjadikan Allah sebagai tempat kembali hatinya dalam setiap keadaan. Allah menjadi pelindung, sandaran, tujuan, dan tempat ia mengadu di saat datangnya musibah dan ujian.   [الثَّانِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ القُرْبَ مِنْهُ، فَعَلَى قَدْرِ ذِكْرِهِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهُ، وَعَلَى قَدْرِ غَفْلَتِهِ يَكُونُ بُعْدُهُ مِنْهُ. Kedua belas, dzikir mendekatkan hamba kepada Allah ﷻ. Sejauh mana ia berdzikir, sejauh itu pula kedekatannya. Sebaliknya, sejauh mana ia lalai (ghaflah), sejauh itu pula jaraknya dari Allah.   [الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَفْتَحُ لَهُ بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ المَعْرِفَةِ، وَكُلَّمَا أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ ازْدَادَ مِنَ المَعْرِفَةِ. Ketiga belas, dzikir membuka pintu besar menuju ma‘rifah (pengenalan yang mendalam terhadap Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah pula ma‘rifah.   [الرَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الهَيْبَةَ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِجْلَالَهُ، لِشِدَّةِ اسْتِيلَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ وَحُضُورِهِ مَعَ اللهِ تَعَالَى. بِخِلافِ الغَافِلِ فَإِنَّ حِجَابَ الهَيْبَةِ رَقِيقٌ فِي قَلْبِهِ. Keempat belas, dzikir menumbuhkan rasa haibah (kewibawaan batin) dan pengagungan terhadap Allah ﷻ, karena dzikir memenuhi hati dengan kehadiran-Nya. Sebaliknya, orang yang lalai tidak memiliki haibah dalam hatinya, bahkan tirai pengagungan terhadap Allah sangat tipis.   [الخَامِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى لَهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ﴾ [البقرة: ١٥٢] Kelima belas, dzikir mendatangkan balasan berupa Allah mengingat hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152) وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذِّكْرِ إِلَّا هٰذِهِ وَحْدَهَا لَكَفَتْ فَضْلًا وَشَرَفًا. وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ». Seandainya tidak ada keutamaan dzikir kecuali ini saja, tentu sudah cukup sebagai kemuliaan dan keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits qudsi dari Allah Ta‘ala: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ» “Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan siapa yang mengingat-Ku di tengah sebuah kelompok, maka Aku akan mengingatnya di tengah kelompok yang lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhārī dan Muslim)   [السَّادِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ حَيَاةَ القَلْبِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى رُوحَهُ يَقُولُ: Keenam belas, dzikir menghidupkan hati. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: «الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ مِثْلُ المَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ المَاءَ؟». “Dzikir bagi hati itu laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika ia berpisah dari airnya?”   [السَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ قُوتُ القَلْبِ وَالرُّوحِ، فَإِذَا فَقَدَهُ العَبْدُ صَارَ بِمَنْزِلَةِ الجِسْمِ إِذَا حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُوتِهِ. Ketujuh belas, dzikir adalah makanan hati dan ruh. Jika hamba kehilangan dzikir, maka ia bagaikan tubuh yang kehilangan makanannya. وَحَضَرْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ مَرَّةً، صَلَّى الفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى إِلَى قَرِيبٍ مِنِ انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ: «هٰذِهِ غَدْوَتِي، وَلَوْ لَمْ أَتَغَدَّ الغَدَاءَ سَقَطَتْ قُوَّتِي». أَوْ كَلَامًا قَرِيبًا مِنْ هٰذَا. Aku pernah hadir bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Suatu hari setelah salat Subuh, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga mendekati pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Inilah sarapan pagiku. Seandainya aku tidak sarapan seperti ini, pasti tenagaku melemah.” وَقَالَ لِي مَرَّةً: «لَا أَتْرُكُ الذِّكْرَ إِلَّا بِنِيَّةِ إِجْمَامِ نَفْسِي وَإِرَاحَتِهَا، لِأَسْتَعِدَّ بِتِلْكَ الرَّاحَةِ لِذِكْرٍ آخَرَ». أَوْ كَلَامًا هٰذَا مَعْنَاهُ. Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali dengan niat memberi jeda dan istirahat pada diriku, agar dengan istirahat itu aku bisa lebih kuat untuk berdzikir kembali.” Atau ungkapan dengan makna yang serupa.   [الثَّامِنَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ جَلَاءَ القَلْبِ مِنْ صَدَائِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الحَدِيثِ، وَكُلُّ شَيْءٍ لَهُ صَدَأٌ، وَصَدَأُ القَلْبِ الغَفْلَةُ وَالهَوَى، وَجَلَاؤُهُ الذِّكْرُ وَالتَّوْبَةُ وَالاسْتِغْفَارُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ هٰذَا المَعْنَى. Kedelapan belas, dzikir menjadikan hati bersih dari karatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Setiap sesuatu pasti ada karatnya, dan karat hati adalah kelalaian (ghaflah) serta hawa nafsu. Pembersihnya adalah dzikir, taubat, dan istighfar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya.   [التَّاسِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَحُطُّ الخَطَايَا وَيُذْهِبُهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الحَسَنَاتِ، وَالحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ. Kesembilan belas, dzikir menggugurkan dosa-dosa dan menghapusnya. Sebab, dzikir termasuk amalan paling agung, sementara Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan.” (QS. Hūd [11]: 114)   [العِشْرُونَ] أَنَّهُ يُزِيلُ الوَحْشَةَ بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، فَإِنَّ الغَافِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْشَةٌ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالذِّكْرِ. Kedua puluh, dzikir menghilangkan rasa asing dan jauh antara hamba dengan Rabb-nya ﷻ. Orang yang lalai (ghaflah) dari dzikir, antara dirinya dengan Allah terdapat jurang keterasingan yang tidak akan hilang kecuali dengan dzikir. Catatan: Apa itu al-wahsyah? Dalam Kamus Al-Ma’ani disebutkan bahwa wahsyah itu berarti tanah tandus yang sunyi dan menakutkan. Maknanya juga: terputusnya hubungan dan jauhnya hati dari kasih sayang. Ia juga bisa bermakna rasa takut ketika sendirian. Orang arab menyebut aw-hasyal manzil, maksudnya rumah itu menjadi sepi dan ditinggalkan manusia. Maka jika engkau ingin mendoakan seseorang yang engkau cintai, baik saat ia jauh maupun dekat, ucapkanlah: لَا أَوْحَشَ اللّٰهُ لَكَ قَلْبًا وَلَا رُوحًا وَلَا جَسَدًا Semoga Allah tidak menjadikan hatimu, jiwamu, dan tubuhmu merasa sunyi dan sepi.   [الحَادِيَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّ مَا يَذْكُرُ بِهِ العَبْدُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ جَلَالِهِ وَتَسْبِيحِهِ وَتَحْمِيدِهِ يُذْكَرُ بِصَاحِبِهِ عِنْدَ الشِّدَّةِ. فَقَدْ رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ العَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ. أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟» هٰذَا الحَدِيثُ أَوْ مَعْنَاهُ. Kedua puluh satu, segala tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang diucapkan hamba dalam menyebut nama Allah ﷻ akan menjadi penyelamatnya di saat sulit. Imam Aḥmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ، أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟ “Sesungguhnya apa yang kalian sebut dari keagungan Allah ﷻ, berupa tahlil, takbir, dan tahmid, semuanya akan berputar di sekitar ‘Arsy, suaranya berdengung seperti dengungan lebah. Ia akan disebut-sebut bersama pelakunya. Maka tidakkah salah seorang dari kalian suka jika ia memiliki amal yang bisa membuatnya disebut-sebut (di sisi Allah)?” (HR. Aḥmad, atau semakna dengannya).   [الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَعَرَّفَ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِذِكْرِهِ فِي الرَّخَاءِ عَرَفَهُ فِي الشِّدَّةِ، وَقَدْ جَاءَ أَثَرٌ مَعْنَاهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْمُطِيعَ الذَّاكِرَ لِلَّهِ تَعَالَى إِذَا أَصَابَتْهُ شِدَّةٌ أَوْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى حَاجَةً قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ صَوْتٌ مَعْرُوفٌ، مِنْ عَبْدٍ مَعْرُوفٍ، وَالْغَافِلُ الْمُعْرِضُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا دَعَاهُ وَسَأَلَهُ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، صَوْتٌ مُنْكَرٌ، مِنْ عَبْدٍ مُنْكَرٍ. Kedua puluh dua, seorang hamba yang membiasakan diri mengenal Allah Ta‘ālā dengan banyak berdzikir di waktu lapang, maka Allah akan mengenalnya di waktu sempit. Ada sebuah atsar yang menjelaskan bahwa seorang hamba yang taat dan banyak berdzikir, ketika ia tertimpa kesulitan atau memohon kepada Allah, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang dikenal, dari hamba yang dikenal.” Sebaliknya, orang yang lalai dan berpaling dari Allah, jika suatu saat ia berdoa dan memohon, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang asing, dari hamba yang asing.”   [الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُنَجِّي مِنْ عَذَابِ اللهِ تَعَالَى، كَمَا قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَيُرْوَى مَرْفُوعًا: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى». Kedua puluh tiga, dzikir dapat menyelamatkan dari azab Allah Ta‘ālā. Sebagaimana perkataan Mu‘ādz radhiyallāhu ‘anhu—dan diriwayatkan pula secara marfū‘—: مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى “Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dari azab Allah ‘Azza wa Jalla melebihi dzikir kepada Allah Ta‘ālā.”   [الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ تَنْزِيلِ السَّكِينَةِ، وَغَشْيَانِ الرَّحْمَةِ، وَحُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ بِالذَّاكِرِ كَمَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kedua puluh empat, dzikir menjadi sebab turunnya sakīnah (ketenangan jiwa), turunnya rahmat, serta dikelilinginya para ahli dzikir oleh malaikat, sebagaimana diberitakan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.   [الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ اشْتِغَالِ اللِّسَانِ عَنِ الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَذِبِ وَالْفُحْشِ وَالْبَاطِلِ. فَإِنَّ الْعَبْدَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ. فَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَذِكْرِ أَوَامِرِهِ تَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ بَعْضِهَا، وَلَا سَبِيلَ إِلَى السَّلَامَةِ مِنْهَا الْبَتَّةَ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى. وَالْمُشَاهَدَةُ وَالتَّجْرِبَةُ شَاهِدَانِ بِذَلِكَ، فَمَنْ عَوَّدَ لِسَانَهُ ذِكْرَ اللهِ صَانَ لِسَانَهُ عَنِ الْبَاطِلِ وَاللَّغْوِ، وَمَنْ يَبِسَ لِسَانُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى تَرَطَّبَ بِكُلِّ بَاطِلٍ وَلَغْوٍ وَفُحْشٍ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. Kedua puluh lima, dzikir menjadi sebab terjaganya lisan dari ghibah, namimah, dusta, kata-kata keji, dan ucapan batil. Sebab, manusia pasti berbicara. Jika ia tidak mengisi lisannya dengan dzikir kepada Allah dan menyebut perintah-perintah-Nya, maka lisannya akan terisi dengan kata-kata haram atau sebagian darinya. Tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali dengan dzikir kepada Allah. Pengalaman nyata menjadi saksi: siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikir, Allah akan memelihara lisannya dari ucapan batil dan sia-sia. Sebaliknya, siapa yang lisannya kering dari dzikir, maka lisannya akan basah dengan ucapan batil, sia-sia, dan kotor. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.   [السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ مَجَالِسَ الذِّكْرِ مَجَالِسُ الْمَلَائِكَةِ، وَمَجَالِسَ اللَّغْوِ وَالْغَفْلَةِ مَجَالِسُ الشَّيَاطِينِ. فَلْيَتَخَيَّرِ الْعَبْدُ أَعْجَبَهُمَا إِلَيْهِ وَأَوْلَاهُمَا بِهِ، فَهُوَ مَعَ أَهْلِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. Kedua puluh enam, majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Sedangkan majelis sia-sia dan lalai adalah majelis para setan. Maka hendaknya seorang hamba memilih: majelis manakah yang lebih ia sukai dan lebih layak baginya. Karena di dunia ia akan bersama mereka, dan di akhirat pun ia akan dikumpulkan bersama mereka.   [السَّابِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُسْعِدُ الذَّاكِرَ بِذِكْرِهِ وَيُسْعِدُ بِهِ جَلِيسَهُ، وَهٰذَا هُوَ المُبَارَكُ أَيْنَ مَا كَانَ. وَالغَافِلُ وَاللَّاغِي يَشْقَى بِلَغْوِهِ وَغَفْلَتِهِ، وَيَشْقَى بِهِ مُجَالِسُهُ. Kedua puluh tujuh, dzikir membahagiakan orang yang berdzikir dengan lisannya, dan kebahagiaan itu juga menular kepada orang yang duduk bersamanya. Inilah hakikat keberkahan; di mana pun ia berada, selalu membawa kebaikan. Sebaliknya, orang yang lalai dan suka berbicara sia-sia akan menjerumuskan dirinya dalam kesengsaraan karena kelalaiannya, dan orang yang duduk bersamanya pun ikut celaka karenanya.   [الثَّامِنَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُؤمِّنُ العَبْدَ مِنَ الحَسْرَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ. فَإِنَّ كُلَّ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُ العَبْدُ فِيهِ رَبَّهُ تَعَالَى كَانَ عَلَيْهِ حَسْرَةً وَتْرَةً يَوْمَ القِيَامَةِ. Kedua puluh delapan, dzikir menyelamatkan seorang hamba dari penyesalan di Hari Kiamat. Sebab, setiap majelis yang kosong dari dzikir akan menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari akhir.   [التَّاسِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ مَعَ البُكَاءِ فِي الخَلْوَةِ سَبَبٌ لِإِظْلَالِ اللهِ تَعَالَى العَبْدَ يَوْمَ الحَرِّ الأَكْبَرِ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ، وَالنَّاسُ فِي حَرِّ الشَّمْسِ قَدْ صَهَرَتْهُم فِي المَوْقِفِ. وَهٰذَا الذَّاكِرُ مُسْتَظِلٌّ بِظِلِّ عَرْشِ الرَّحْمٰنِ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua puluh sembilan, dzikir yang disertai tangisan dalam kesendirian menjadi sebab Allah menaungi seorang hamba di bawah naungan ‘Arsy pada hari panas yang dahsyat. Saat manusia lainnya tersengat terik matahari yang membakar, orang yang berdzikir itu berada dalam naungan penuh rahmat.   [الثَّلَاثُونَ] أَنَّ الاشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِعَطَاءِ اللهِ لِلذَّاكِرِ أَفْضَلَ مَا يُعْطِي السَّائِلِينَ، فَفِي الحَدِيثِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ». Ketiga puluh, orang yang sibuk dengan dzikir akan diberi oleh Allah karunia terbaik, lebih daripada apa yang Dia berikan kepada para peminta. Rasulullah ﷺ bersabda, meriwayatkan dari Rabb-nya: “Allah Ta‘ala berfirman: Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”   [الحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ أَيْسَرُ العِبَادَاتِ، وَهُوَ مِنْ أَجَلِّهَا وَأَفْضَلِهَا، فَإِنَّ حَرَكَةَ اللِّسَانِ أَخَفُّ حَرَكَاتِ الجَوَارِحِ وَأَيْسَرُهَا، وَلَوْ تَحَرَّكَ عُضْوٌ مِنَ الإِنسَانِ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِقَدْرِ حَرَكَةِ لِسَانِهِ لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ المَشَقَّةِ، بَلْ لَا يُمْكِنُهُ ذٰلِكَ. Ketiga puluh satu, dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tetapi termasuk yang paling agung dan utama. Gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan. Seandainya ada satu anggota tubuh manusia yang bergerak sebanyak gerakan lisannya dalam sehari semalam, tentu ia akan merasa sangat berat, bahkan tidak mungkin sanggup melakukannya.   [الثَّانِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ غِرَاسُ الجَنَّةِ. فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَقِيتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ، عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. Ketiga puluh dua, dzikir adalah tanaman surga. Dalam riwayat Tirmiżī, dari Abdullah bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada malam Isra’, aku bertemu dengan Ibrāhīm al-Khalīl ‘alaihis-salām. Ia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan salam kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya segar, dan ia masih berupa tanah lapang. Tanaman surga adalah bacaan: Subḥānallāh, walḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.” (HR. Tirmidzi, hasan gharib) Juga dalam riwayat at-Tirmiżī dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: Subḥānallāhi wa biḥamdih, maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih).   [الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ العَطَاءَ وَالفَضْلَ الَّذِي رُتِّبَ عَلَيْهِ لَمْ يُرَتَّبْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ. Ketiga puluh tiga, keutamaan dan pahala yang Allah tetapkan bagi dzikir tidak diberikan kepada amal lainnya. فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ. وَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ». Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan memerdekakan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan itu menjadi benteng dari setan pada hari itu hingga sore. Tidak ada yang membawa amal lebih baik darinya kecuali orang yang mengamalkannya lebih banyak. Dan siapa yang mengucapkan: subḥānallāhi wa biḥamdih seratus kali dalam sehari, maka dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.” وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ». Dalam Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat: subḥānallāh, wal-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar lebih aku cintai daripada seluruh yang disinari matahari.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، أَعْتَقَ اللهُ رُبُعَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا مَرَّتَيْنِ أَعْتَقَ اللهُ نِصْفَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثًا أَعْتَقَ اللهُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا أَرْبَعًا أَعْتَقَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ النَّارِ». Dalam riwayat at-Tirmiżī dari Anas, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika pagi atau sore membaca doa: Allāhumma innī aṣbaḥtu usy’hiduka wa usy’hidu ḥamalata ‘arsyika wa malāikataka wa jamī‘a khalqika, annaka anta Allāh, lā ilāha illā anta, wa anna Muḥammadan ‘abduka wa rasūluka, maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Jika membacanya dua kali, Allah membebaskan separuh dirinya dari neraka. Jika membacanya tiga kali, Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka. Jika membacanya empat kali, Allah membebaskannya seluruhnya dari api neraka.” وَفِيهِ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَإِذَا أَصْبَحَ: رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُرْضِيَهُ». Dalam riwayat Tirmiżī dari Tsaubān, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika sore atau pagi membaca doa: raḍītu billāhi rabban, wa bil-islāmi dīnan, wa bi-Muḥammadin ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama rasūlā, maka Allah benar-benar menjadikan keridaan baginya.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ: «مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ». Dan dalam riwayat Tirmiżī pula: “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu, yuḥyī wa yumītu, wa huwa ḥayyullā yamūtu, biyadihi al-khayru wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, maka Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta dosa, dan mengangkatnya seribu ribu derajat.”   [الرَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ دَوَامَ ذِكْرِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُوجِبُ الأَمَانَ مِنْ نِسْيَانِهِ الَّذِي هُوَ سَبَبُ شَقَاءِ العَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ، فَإِنَّ نِسْيَانَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُوجِبُ نِسْيَانَ نَفْسِهِ وَمَصَالِحِهَا. قَالَ تَعَالَى: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: ١٩]. Ketiga puluh empat, dzikir yang terus-menerus menjadikan seorang hamba aman dari kelalaian kepada Allah. Padahal, melupakan Allah adalah sebab utama kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah ﷻ berfirman: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ḥashr [59]: 19) وَإِذَا نَسِيَ العَبْدُ نَفْسَهُ أَعْرَضَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْهَا فَهَلَكَتْ وَفَسَدَتْ وَلَا بُدَّ، كَمَنْ لَهُ زَرْعٌ أَوْ بُسْتَانٌ أَوْ مَاشِيَةٌ أَوْ غَيْرُ ذٰلِكَ مِمَّا صَلَاحُهُ وَفَلَاحُهُ بِتَعَاهُدِهِ وَالقِيَامِ عَلَيْهِ، فَأَهْمَلَهُ وَنَسِيَهُ وَاشْتَغَلَ عَنْهُ بِغَيْرِهِ وَضَيَّعَ مَصَالِحَهُ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ وَلَا بُدَّ. Apabila seorang hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan berpaling dari hal-hal yang menjadi maslahat dan kebaikannya. Ia sibuk dengan perkara lain, meninggalkan apa yang seharusnya ia jaga, hingga dirinya rusak dan binasa. Keadaannya bagaikan orang yang memiliki ladang, kebun, atau ternak, yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan pemeliharaan. Namun, jika ia mengabaikan dan melupakannya, sibuk dengan urusan lain, serta meninggalkan kewajiban menjaganya, niscaya semuanya akan rusak dan hancur tanpa bisa dihindari. هٰذَا مَعَ إِمْكَانِ قِيَامِ غَيْرِهِ مَقَامَهُ فِيهِ، فَكَيْفَ الظَّنُّ بِفَسَادِ نَفْسِهِ وَهَلَاكِهَا وَشَقَائِهَا إِذَا أَهْمَلَهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَعَطَّلَ مُرَاعَاتَهَا وَتَرَكَ القِيَامَ عَلَيْهَا بِمَا يُصْلِحُهَا؟ فَمَا شِئْتَ مِنْ فَسَادٍ وَهَلَاكٍ وَخَيْبَةٍ وَحِرْمَانٍ. وَهٰذَا هُوَ الَّذِي صَارَ أَمْرُهُ كُلُّهُ فَرَطًا، فَانْفَرَطَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاعَتْ مَصَالِحُهُ، وَأَحَاطَتْ بِهِ أَسْبَابُ القُطُوعِ وَالخَيْبَةِ وَالهَلَاكِ. Padahal, untuk urusan kebun, ladang, atau ternak, masih mungkin orang lain menggantikannya merawat dan memperbaikinya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Jika ia mengabaikan jiwanya, melupakannya, sibuk dengan urusan lain, meninggalkan pemeliharaan hati, dan tidak menegakkan hal-hal yang bisa memperbaikinya, maka kehancuran, kesengsaraan, dan kerugian pasti menimpanya. Inilah orang yang seluruh urusannya berantakan. Hidupnya tercerai-berai, maslahatnya hilang, dan berbagai sebab kehancuran, kebinasaan, serta kegagalan mengelilinginya dari segala sisi. وَلَا سَبِيلَ إِلَى الأَمَانِ مِنْ ذٰلِكَ إِلَّا بِدَوَامِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاللَّهْجِ بِهِ، وَأَنْ لَا يَزَالَ اللِّسَانُ رَطْبًا بِهِ، وَأَنْ يَتَوَلَّى مَنْزِلَةَ حَيَاتِهِ الَّتِي لَا غِنَى لَهُ عَنْهَا، وَمَنْزِلَةَ غِذَائِهِ الَّذِي إِذَا فَقَدَهُ فَسَدَ جِسْمُهُ وَهَلَكَ، وَبِمَنْزِلَةِ المَاءِ عِنْدَ شِدَّةِ العَطَشِ، وَبِمَنْزِلَةِ اللِّبَاسِ فِي الحَرِّ وَالبَرْدِ، وَبِمَنْزِلَةِ الكِنِّ فِي شِدَّةِ الشِّتَاءِ وَالسَّمُومِ. Tidak ada jalan keselamatan dari kerusakan itu kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepada Allah dan membasahi lisan dengan menyebut nama-Nya. Dzikir harus ditempatkan pada posisi yang sangat penting—seperti kehidupan yang tak mungkin ditinggalkan, seperti makanan yang jika hilang membuat tubuh rusak dan binasa, seperti air bagi orang yang sangat haus, seperti pakaian di tengah panas dan dingin, serta seperti tempat berlindung saat musim dingin yang menusuk atau angin panas yang menyengat. فَحَقِيقٌ بِالعَبْدِ أَنْ يُنَزِّلَ ذِكْرَ اللهِ مِنْهُ بِهَذِهِ المَنْزِلَةِ وَأَعْظَمَ. فَأَيْنَ هَلَاكُ الرُّوحِ وَالقَلْبِ وَفَسَادُهُمَا مِنْ هَلَاكِ البَدَنِ وَفَسَادِهِ؟ هٰذَا هَلَاكٌ لَا بُدَّ مِنْهُ وَقَدْ يَعْقُبُهُ صَلَاحٌ لَا بُدَّ. وَأَمَّا هَلَاكُ القَلْبِ وَالرُّوحِ فَهَلَاكٌ لَا يُرْجَى مَعَهُ صَلَاحٌ وَلَا فَلَاحٌ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ. فِي فَوَائِدِ الذِّكْرِ وَإِدَامَتِهِ: لَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا هٰذِهِ الفَائِدَةُ وَحْدَهَا لَكَفَتْ. فَمَنْ نَسِيَ اللهَ تَعَالَى أَنْسَاهُ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَنَسِيَهُ فِي العَذَابِ يَوْمَ القِيَامَةِ. قَالَ تَعَالَى: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى﴾ [طه: ١٢٤-١٢٦]. أَيْ: تُنْسَى فِي العَذَابِ كَمَا نَسِيتَ آيَاتِي فَلَمْ تَذْكُرْهَا وَلَمْ تَعْمَلْ بِهَا. Maka sudah sepantasnya seorang hamba menempatkan dzikir pada posisi yang sangat penting, bahkan lebih tinggi lagi. Sebab, kerusakan hati dan ruh jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan tubuh. Rusaknya tubuh adalah sesuatu yang pasti, namun sering kali setelah itu datang perbaikan. Adapun rusaknya hati dan ruh, itu adalah kerusakan yang tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki dan tidak membawa keberuntungan sedikit pun. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Dalam faedah dzikir yang terus-menerus, seandainya hanya ada satu manfaat ini saja, sebenarnya sudah cukup: barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri di dunia, dan pada Hari Kiamat Allah pun akan melupakannya di dalam azab. Allah ﷻ berfirman: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى ۝ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ۝ قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata: Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Allah berfirman: Demikianlah, ayat-ayat Kami telah datang kepadamu, lalu kamu melupakannya; maka pada hari ini kamu pun dilupakan (diabaikan dalam azab).” (QS. Ṭāhā [20]: 124–126). Yakni, seseorang akan ditinggalkan di dalam azab, sebagaimana dahulu ia melupakan ayat-ayat Allah, tidak mengingatnya, dan tidak mengamalkannya. وَإِعْرَاضُهُ عَنْ ذِكْرِهِ يَتَنَاوَلُ إِعْرَاضَهُ عَنِ الذِّكْرِ الَّذِي أَنْزَلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَذْكُرَ الَّذِي أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ المُرَادُ بِتَنَاوُلِ إِعْرَاضِهِ عَنْ أَنْ يَذْكُرَ رَبَّهُ بِكِتَابِهِ وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ وَآلَائِهِ وَنِعَمِهِ. فَإِنَّ هٰذِهِ كُلَّهَا تَوَابِعُ إِعْرَاضِهِ عَنْ كِتَابِ رَبِّهِ تَعَالَى. فَإِنَّ الذِّكْرَ فِي الآيَةِ إِمَّا مَصْدَرٌ مُضَافٌ إِلَى الفَاعِلِ، أَوْ مُضَافٌ إِضَافَةَ الأَسْمَاءِ المَحْضَةِ. أَعْرَضَ عَنْ كِتَابِي وَلَمْ يَتْلُهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ وَلَا فَهِمَهُ، فَإِنَّ حَيَاتَهُ وَمَعِيشَتَهُ لَا تَكُونُ إِلَّا مُضَيَّقَةً عَلَيْهِ مُنَكَّدَةً مُعَذَّبًا فِيهَا. Berpaling dari dzikir mencakup juga berpaling dari dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Qur’an. Maksudnya, ia berpaling dari mengingat Allah dengan Kitab-Nya, dengan nama-nama dan sifat-Nya, dengan perintah-perintah-Nya, serta dengan nikmat dan karunia-Nya. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada sikap berpaling dari Kitab Allah ﷻ. Kata dzikir dalam ayat bisa dipahami sebagai mashdar yang disandarkan kepada pelakunya, atau sebagai isim yang bermakna Kitab (Al-Qur’an). Artinya, ia berpaling dari Kitab-Ku: tidak membacanya, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkannya, dan tidak berusaha memahaminya. Maka kehidupannya pun tidak akan pernah lapang; justru sempit, penuh kesulitan, dan sengsara. وَالدُّنْكُ: الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ وَالبَلَاءُ. وَوَصْفُ المَعِيشَةِ نَفْسِهَا بِالدُّنْكِ مُبَالَغَةٌ. وَفُسِّرَتْ هٰذِهِ المَعِيشَةُ بِعَذَابِ البَرْزَخِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَعِيشَتَهُ فِي الدُّنْيَا وَحَالَهُ فِي البَرْزَخِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي دُنْكٍ فِي الدَّارَيْنِ، وَهُوَ شِدَّةٌ وَجَهْدٌ وَضِيقٌ. وَفِي الآخِرَةِ تُنْسَى فِي العَذَابِ. Kata “dhanka” dalam ayat berarti kesempitan, kesulitan, dan ujian yang berat. Allah bahkan menyifati kehidupan itu sendiri sebagai ḍank, sebuah bentuk penekanan yang kuat. Sebagian ahli tafsir menafsirkannya sebagai azab kubur, namun pendapat yang benar: ia mencakup kehidupan di dunia sekaligus di alam barzakh. Hidupnya akan sempit di dua alam tersebut—penuh dengan kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan. Sedangkan di akhirat, ia akan dibiarkan (dilupakan) di dalam azab. وَهٰذَا عَكْسُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالفَلَاحِ، فَإِنَّ حَيَاتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ الحَيَاةِ، وَلَهُمْ فِي البَرْزَخِ وَفِي الآخِرَةِ أَفْضَلُ الثَّوَابِ. قَالَ تَعَالَى: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾ فَهٰذَا فِي الدُّنْيَا. ثُمَّ قَالَ: ﴿وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ فَهٰذَا فِي البَرْزَخِ وَالآخِرَةِ. Keadaan ini berbanding terbalik dengan nasib orang-orang yang berbahagia. Hidup mereka di dunia adalah kehidupan yang paling baik, kemudian di alam barzakh dan akhirat kelak mereka mendapatkan pahala terbaik. Allah ﷻ berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً “Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini berbicara tentang kehidupan di dunia. Kemudian Allah berfirman: وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini mencakup pahala di alam barzakh dan di akhirat. وَقَالَ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} فَهَذَا فِي الْآخِرَةِ. وَقَالَ تَعَالَى: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ مَوَاضِعَ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا أَنَّهُ يُجْزِي الْمُحْسِنَ بِإِحْسَانِهِ جَزَاءَيْنِ: جَزَاءً فِي الدُّنْيَا، وَجَزَاءً فِي الْآخِرَةِ. فَالْإِحْسَانُ لَهُ جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ، وَالْإِسَاءَةُ لَهَا جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا يُجَازِي بِهِ الْمُحْسِنَ مِنِ انْشِرَاحِ صَدْرِهِ وَانْفِسَاحِ قَلْبِهِ وَسُرُورِهِ وَلَذَّتِهِ بِمُعَامَلَةِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَطَاعَتِهِ وَذِكْرِهِ وَنَعِيمِ رُوحِهِ بِمَحَبَّتِهِ وَذِكْرِهِ وَفَرَحِهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْظَمُ مِمَّا يَفْرَحُ الْقَرِيبُ مِنَ السُّلْطَانِ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ بِسُلْطَانِهِ. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ وَتَشَتُّتِهِ وَظُلْمَتِهِ وَحَزَازَاتِهِ وَغَمِّهِ وَهَمِّهِ وَحُزْنِهِ وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ. Allah Ta‘ālā berfirman: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami tempatkan mereka di dunia ini pada tempat yang baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. An-Naḥl [16]: 41) Dan Allah Ta‘ālā juga berfirman: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} “Dan hendaklah kamu memohon ampun kepada Tuhanmu lalu bertobat kepada-Nya, niscaya Dia memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada setiap orang yang memiliki keutamaan, keutamaannya (balasan yang layak baginya).” (QS. Hūd [11]: 3) Kemudian Allah berfirman lagi: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (akan mendapat) kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberi pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) Dalam empat ayat ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan bahwa setiap kebaikan (iḥsān) akan dibalas dua kali: 1. Balasan di dunia, berupa kemuliaan, kelapangan hidup, dan ketenangan jiwa. 2. Balasan di akhirat, berupa pahala yang jauh lebih besar dan kekal. Maka, kebaikan pasti memiliki ganjaran yang segera, sebagaimana keburukan pun pasti menimbulkan akibat buruk yang cepat pula. Kalaupun tidak tampak secara lahiriah, balasan bagi orang yang berbuat baik sudah hadir dalam kelapangan dadanya, ketenangan hatinya, kegembiraan dan kenikmatan ruhnya saat ia berinteraksi dengan Tuhannya, menaati perintah-Nya, dan berdzikir mengingat-Nya. Nikmat ruhani semacam ini jauh lebih agung daripada kegembiraan seorang pejabat yang dekat dengan penguasa. Sebaliknya, orang yang berbuat maksiat akan merasakan penyempitan dada, kekerasan hati, kebingungan, kegelapan batin, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup pasti menyadari hal ini. Sesungguhnya, berbagai kesedihan, kecemasan, dan kegelisahan itu merupakan bentuk hukuman (ʿuqūbah) yang Allah timpakan di dunia sebelum azab di akhirat. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ، وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ، وَتَشَتُّتِهِ، وَظُلْمَتِهِ، وَحَزَازَاتِهِ، وَغَمِّهِ، وَهَمِّهِ، وَحُزْنِهِ، وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ عَاجِلَةٌ، وَنَارٌ دُنْيَوِيَّةٌ، وَجَهَنَّمُ حَاضِرَةٌ. Balasan yang diterima oleh orang yang berbuat dosa adalah penyempitan dada, kekerasan hati, kegelapan jiwa, kebingungan, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup dan nurani yang peka tentu tidak akan meragukan hal ini. Sesungguhnya rasa gelisah, gundah, sedih, dan sempit dada merupakan hukuman yang datang lebih cepat, semacam api neraka duniawi dan Jahannam yang hadir di hati sebelum azab akhirat menimpa. وَالْإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِنَابَةُ إِلَيْهِ، وَالرِّضَا بِهِ وَعَنْهُ، وَامْتِلَاءُ الْقَلْبِ مِنْ مَحَبَّتِهِ، وَاللَّهْجُ بِذِكْرِهِ، وَالْفَرَحُ وَالسُّرُورُ بِمَعْرِفَتِهِ، ثَوَابٌ عَاجِلٌ، وَجَنَّةٌ، وَعَيْشٌ لَا نِسْبَةَ لِعَيْشِ الْمُلُوكِ إِلَيْهِ الْبَتَّةَ. Sebaliknya, menghadap kepada Allah, kembali bertobat kepada-Nya, merasa ridha dengan-Nya dan terhadap takdir-Nya, penuh cinta kepada-Nya, senang berdzikir mengingat-Nya, serta bergembira karena mengenal-Nya, semuanya merupakan balasan langsung di dunia, surga yang hadir di hati, dan kenikmatan hidup yang tiada bandingnya dibanding kehidupan para raja sekalipun. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ يَقُولُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِ. وَقَالَ لِي مَرَّةً: مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِي بِي؟ أَنَا جَنَّتِي وَبُسْتَانِي فِي صَدْرِي، إِنْ رُحْتُ فَهِيَ مَعِي لَا تُفَارِقُنِي، إِنْ حَبْسِي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِي شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِي مِنْ بَلَدِي سِيَاحَةٌ. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: Aku pernah mendengar Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah – semoga Allah menyucikan ruhnya – berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga; siapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.” Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku? Surga dan taman hatiku ada di dalam dadaku. Ke mana pun aku pergi, surga itu selalu bersamaku, tidak akan meninggalkanku. Jika aku dipenjara, maka itu adalah kesempatan untuk menyendiri bersama Allah. Jika aku dibunuh, maka itu adalah syahid. Jika aku diusir dari negeriku, maka itu adalah perjalanan spiritual (siyāḥah).” وَكَانَ يَقُولُ فِي مَحْبَسِهِ فِي الْقَلْعَةِ: لَوْ بُذِلَ مِلْءُ هَذِهِ الْقَاعَةِ ذَهَبًا مَا عَدَلَ عِنْدِي شُكْرَ هَذِهِ النِّعْمَةِ. أَوْ قَالَ: مَا جَزَيْتُهُمْ عَلَى مَا تَسَبَّبُوا لِي فِيهِ مِنَ الْخَيْرِ، وَنَحْوَ هَذَا. Ketika beliau berada di dalam penjara benteng (Qal‘ah Dimasyq), beliau sering berkata: “Seandainya memenuhi seluruh ruangan ini dengan emas, itu belum cukup untuk menandingi rasa syukurku atas nikmat ini.” Atau beliau berkata, “Aku belum mampu membalas mereka yang telah menyebabkan kebaikan besar bagiku melalui peristiwa ini.” وَكَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ مَحْبُوسٌ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. مَا شَاءَ اللَّهُ، وَقَالَ لِي مَرَّةً: الْمَحْبُوسُ مَنْ حَبَسَ قَلْبَهُ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى، وَالْمَأْسُورُ مَنْ أَسَرَهُ هَوَاهُ. Beliau juga biasa berdoa dalam sujudnya saat di penjara: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.” Lalu beliau berkata kepadaku: “Orang yang benar-benar terpenjara adalah siapa pun yang hatinya terhalang dari Rabb-nya. Dan orang yang sesungguhnya menjadi tawanan adalah yang diperbudak oleh hawa nafsunya.” وَلَمَّا دَخَلَ إِلَى الْقَلْعَةِ، وَصَارَ دَاخِلَ سُورِهَا، نَظَرَ إِلَيْهَا وَقَالَ: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} وَعَلِمَ اللَّهُ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَطْيَبَ عَيْشًا مِنْهُ قَطُّ، مَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنْ ضِيقِ الْعَيْشِ، وَخِلَافِ الرَّفَاهِيَةِ وَالنَّعِيمِ، بَلْ ضِدِّهَا، وَمَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنَ الْحَبْسِ، وَالتَّهْدِيدِ، وَالْإِرْهَاقِ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مِنْ أَطْيَبِ النَّاسِ عَيْشًا، وَأَشْرَحِهِمْ صَدْرًا، وَأَقْوَاهُمْ قَلْبًا، وَأَسَرِّهِمْ نَفْسًا، تَلُوحُ نَضْرَةُ النَّعِيمِ عَلَى وَجْهِهِ. Ketika Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah memasuki benteng penjara (Qal‘ah Dimasyq) dan berada di dalam temboknya, beliau memandang ke sekeliling lalu membaca firman Allah: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} “Lalu diletakkanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu; di bagian dalamnya ada rahmat, sedangkan di bagian luarnya dari arah mereka ada azab.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 13) Aku bersaksi kepada Allah, aku belum pernah melihat seseorang yang kehidupannya lebih bahagia daripada beliau — padahal secara lahir beliau hidup dalam kesempitan, jauh dari kemewahan dan kenikmatan, bahkan berada dalam kondisi berlawanan: terpenjara, diancam, dan disiksa. Namun, beliau termasuk manusia yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, dan paling tenang jiwanya. Wajahnya memancarkan nadhrah an-na‘īm (cahaya kenikmatan). وَكُنَّا إِذَا اشْتَدَّ بِنَا الْخَوْفُ، وَسَاءَتْ مِنَّا الظُّنُونُ، وَضَاقَتْ بِنَا الْأَرْضُ، أَتَيْنَاهُ، فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ نَرَاهُ وَنَسْمَعَ كَلَامَهُ، فَيَذْهَبَ ذَلِكَ كُلُّهُ، وَيَنْقَلِبَ انْشِرَاحًا، وَقُوَّةً، وَيَقِينًا، وَطُمَأْنِينَةً. فَسُبْحَانَ مَنْ أَشْهَدَ عِبَادَهُ جَنَّتَهُ قَبْلَ لِقَائِهِ، وَفَتَحَ لَهُمْ أَبْوَابَهَا فِي دَارِ الْعَمَلِ، فَآتَاهُمْ مِنْ رُوحِهَا وَنَسِيمِهَا وَطِيبِهَا مَا اسْتَفْرَغَ قُوَاهُمْ لِطَلَبِهَا وَالْمُسَابَقَةِ إِلَيْهَا. Setiap kali kami diliputi ketakutan, buruk sangka, dan sempit dada, kami mendatangi beliau. Begitu melihat wajahnya dan mendengar ucapannya, semua kegelisahan itu sirna — berganti dengan kelapangan, kekuatan, keyakinan, dan ketenangan. Maha Suci Allah yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian surga-Nya sebelum perjumpaan dengan-Nya. Dia telah membuka bagi mereka pintu-pintu surga itu di dunia tempat beramal, lalu menghembuskan kepada mereka sebagian dari ruh, semerbak, dan keharumannya, hingga seluruh tenaga mereka tercurahkan untuk mencarinya dan berlomba meraihnya. وَكَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَقُولُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ، لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ. Sebagian orang ‘arif berkata: “Seandainya para raja dan putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan memeranginya dengan pedang.” وَقَالَ آخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلِ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَذِكْرُهُ. أَوْ نَحْوُ هَذَا. Yang lain berkata: “Kasihan orang-orang dunia! Mereka keluar dari dunia tanpa sempat merasakan hal paling lezat di dalamnya.” Ditanya kepadanya, “Apa yang paling lezat di dunia?” Ia menjawab, “Cinta kepada Allah, mengenal-Nya, dan berdzikir kepada-Nya.” وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِالْقَلْبِ أَوْقَاتٌ يَرْقُصُ فِيهَا طَرَبًا. وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِي أَوْقَاتٌ، أَقُولُ: إِنْ كَانَ أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي مِثْلِ هَذَا، إِنَّهُمْ لَفِي عَيْشٍ طَيِّبٍ. Yang lain berkata: “Terkadang hati ini melewati saat-saat di mana ia menari karena bahagia.” Yang lain lagi berkata: “Ada waktu-waktu tertentu ketika aku berkata: jika penghuni surga merasakan kenikmatan seperti ini, maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang sangat baik.” فَمَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَدَوَامُ ذِكْرِهِ، وَالسُّكُونُ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةُ بِهِ، وَإِفْرَادُهُ بِالْحُبِّ، وَالْخَوْفِ، وَالرَّجَاءِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالْمُعَامَلَةِ، بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ وَحْدَهُ الْمُسْتَوْلِي عَلَى هُمُومِ الْعَبْدِ وَعَزِيمَاتِهِ وَإِرَادَاتِهِ، هِيَ جَنَّةُ الدُّنْيَا، وَالنَّعِيمُ الَّذِي لَا يُشْبِهُهُ نَعِيمٌ، وَهِيَ قُرَّةُ عُيُونِ الْمُحِبِّينَ، وَحَيَاةُ الْعَارِفِينَ. Maka cinta kepada Allah, mengenal-Nya, terus berdzikir kepada-Nya, bersandar dan merasa tenang bersama-Nya, hanya berharap kepada-Nya, serta menjadikan-Nya satu-satunya tujuan cinta, takut, harap, dan tawakal — inilah surga dunia yang tidak bisa ditandingi oleh kenikmatan apa pun. Inilah penyejuk mata para pecinta dan kehidupan sejati bagi orang-orang yang mengenal Allah. وَإِنَّمَا تَقَرُّ عُيُونُ النَّاسِ بِهِ عَلَى حَسَبِ قُرَّةِ أَعْيُنِهِمْ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَنْ قَرَّتْ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، قَرَّتْ بِهِ كُلُّ عَيْنٍ، وَمَنْ لَمْ تَقَرَّ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، تَقَطَّعَتْ نَفْسُهُ عَلَى الدُّنْيَا حَسَرَاتٍ. Ketenangan manusia tergantung pada sejauh mana matanya terpuaskan dengan Allah. Siapa yang hatinya tenteram bersama Allah, maka ia akan tenteram dalam segala hal. Namun, siapa yang tidak tenang bersama Allah, hidupnya akan terpecah oleh penyesalan dunia yang tiada akhir. وَإِنَّمَا يَصْدُقُ هَذَا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَأَمَّا مَيِّتُ الْقَلْبِ، فَيُوحِشُكَ مَا لَهُ ثَمَّ، فَاسْتَأْنِسْ بِغَيْبَتِهِ مَا أَمْكَنَكَ، فَإِنَّكَ لَا يُوحِشُكَ إِلَّا حُضُورُهُ عِنْدَكَ. Yang memahami makna ini hanyalah orang yang hatinya hidup. Adapun hati yang mati, ia akan merasa asing dari kebenaran dan tenang dengan kebatilan. Maka berusahalah merasa nyaman saat jauh dari orang yang demikian, karena sesungguhnya yang membuatmu gelisah hanyalah kehadirannya di dekatmu. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهِ، فَأَعْطِهِ ظَاهِرَكَ، وَتَرَحَّلْ عَنْهُ بِقَلْبِكَ، وَفَارِقْهُ بِسِرِّكَ، وَلَا تُشْغَلْ بِهِ عَمَّا هُوَ أَوْلَى بِكَ. Jika engkau diuji dengan pergaulan seperti itu, berikanlah padanya bagian lahirmu, namun pisahkan hatimu dan rahasiamu darinya. Jangan biarkan dia menghalangimu dari urusan yang lebih utama. وَاعْلَمْ أَنَّ الْحَسْرَةَ كُلَّ الْحَسْرَةِ، الِاشْتِغَالُ بِمَنْ لَا يَجُرُّ عَلَيْكَ الِاشْتِغَالُ بِهِ إِلَّا فَوْتَ نَصِيبِكَ وَحَظِّكَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَانْقِطَاعَكَ عَنْهُ، وَضَيَاعَ وَقْتِكَ، وَضَعْفَ عَزِيمَتِكَ، وَتَفَرُّقَ هَمِّكَ. Ketahuilah, penyesalan yang paling dalam adalah ketika seseorang sibuk dengan sesuatu yang tidak mendatangkan apa pun selain kehilangan bagian dirinya dari Allah, terputus dari-Nya, terbuang waktunya, lemah tekadnya, dan tercerai pikirannya. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهَذَا ـ وَلَا بُدَّ لَكَ مِنْهُ ـ فَعَامِلِ اللَّهَ تَعَالَى فِيهِ، وَاحْتَسِبْ عَلَيْهِ مَا أَمْكَنَكَ، وَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَرْضَاتِهِ فِيهِ، وَاجْعَلِ اجْتِمَاعَكَ بِهِ مَتْجَرًا لَكَ، وَلَا تَجْعَلْهُ خَسَارَةً، وَكُنْ مَعَهُ كَرَجُلٍ سَائِرٍ فِي طَرِيقِهِ عَرَضَ لَهُ رَجُلٌ وَقَفَهُ عَنْ سَيْرِهِ، فَاجْتَهِدْ أَنْ تَأْخُذَهُ مَعَكَ وَتَسِيرَ بِهِ، فَتَحْمِلَهُ وَلَا يَحْمِلُكَ، فَإِنْ أَبَى، وَلَمْ يَكُنْ فِي سَيْرِهِ مَطْمَعٌ، فَلَا تَقِفْ مَعَهُ، بَلِ ارْكَبِ الدَّرْبَ وَدَعْهُ، وَلَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَإِنَّهُ قَاطِعُ الطَّرِيقِ، وَلَوْ كَانَ مَنْ كَانَ، فَانْجُ بِقَلْبِكَ، وَاضْنَنْ بِيَوْمِكَ وَلَيْلَتِكَ، لَا تَغْرُبْ عَلَيْكَ الشَّمْسُ قَبْلَ وُصُولِ الْمَنْزِلَةِ، فَتُؤْخَذَ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ أَنَّى لَكَ بِلِقَائِهِمْ. Apabila engkau harus berinteraksi dengan orang semacam itu, maka niatkan karena Allah. Bersabarlah dan jadikan interaksi itu sebagai ladang pahala, bukan kerugian. Bersikaplah seperti seorang musafir yang dalam perjalanan bertemu seseorang yang mencoba menghentikannya. Usahakan untuk mengajaknya berjalan bersama, bukan sebaliknya. Jika ia menolak, jangan berhenti bersamanya — teruslah berjalan di jalanmu, jangan menoleh ke belakang. Ia hanyalah perampok jalanmu, siapa pun dia. Selamatkan hatimu, jagalah waktu siang dan malammu. Jangan biarkan matahari terbenam sebelum engkau mencapai tujuan, atau fajar menyingsing sementara engkau masih tertahan — karena entah kapan lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang telah sampai ke sana.   [الخامسة والثلاثون] أَنَّ الذِّكْرَ يَسِيرُ العَبْدُ وَهُوَ فِي فِرَاشِهِ، وَفِي سُوقِهِ، وَفِي حَالِ صِحَّتِهِ وَسَقَمِهِ، وَفِي حَالِ نَعِيمِهِ وَلَذَّتِهِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَعُمُّ الأَوْقَاتَ وَالأَحْوَالَ مِثْلَهُ، حَتَّى يَسِيرَ العَبْدُ وَهُوَ نَائِمٌ عَلَى فِرَاشِهِ فَيَسْبِقَ القَائِمَ مَعَ الغَفْلَةِ، فَيُصْبِحَ هَذَا وَقَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَيُصْبِحَ ذَاكَ الغَافِلُ فِي سَاقَةِ الرَّكْبِ، وَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. وَحُكِيَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ العُبَّادِ أَنَّهُ نَزَلَ بِرَجُلٍ ضَيْفًا، فَقَامَ العَابِدُ لَيْلَهُ يُصَلِّي، وَذَلِكَ الرَّجُلُ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحَا قَالَ لَهُ العَابِدُ: سَبَقَكَ الرَّكْبُ، أَوْ كَمَا قَالَ. فَقَالَ: لَيْسَ الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ مُسَافِرًا وَأَصْبَحَ مَعَ الرَّكْبِ، الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ وَأَصْبَحَ قَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ. Ketiga puluh lima, dzikir membuat seorang hamba tetap berjalan menuju Allah meskipun ia berada di atas tempat tidurnya, di pasar, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam kondisi menikmati nikmat atau kesenangan. Tidak ada amalan yang bisa mencakup seluruh waktu dan keadaan seperti dzikir. Bahkan, terkadang seorang hamba yang sedang berbaring di tempat tidurnya tetap melangkah maju dengan dzikirnya, melewati orang yang sedang berdiri dalam keadaan lalai. Maka ketika pagi datang, yang berzikir itu telah menempuh perjalanan jauh (menuju Allah) sementara ia masih berbaring, sedangkan yang lalai itu tertinggal jauh di belakang rombongan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dikisahkan dari seorang ahli ibadah bahwa ia singgah di rumah seorang lelaki sebagai tamu. Pada malam harinya, si ahli ibadah bangun untuk salat malam, sementara tuan rumahnya tetap berbaring di tempat tidurnya. Ketika pagi tiba, sang ahli ibadah berkata kepadanya, “Rombongan telah mendahuluimu (dalam perjalanan menuju Allah).” Namun si tuan rumah menjawab, “Bukan itu persoalannya. Bukan tentang siapa yang bermalam dalam perjalanan lalu pagi hari sudah bersama rombongan. Yang penting adalah siapa yang bermalam di tempat tidurnya, namun ketika pagi telah melampaui rombongan.” وَهَذَا وَنَحْوُهُ لَهُ مَحْمَلٌ صَحِيحٌ وَمَحْمَلٌ فَاسِدٌ، فَمَنْ حَكَمَ عَلَى أَنَّ الرَّاقِدَ المُضْطَجِعَ عَلَى فِرَاشِهِ يَسْبِقُ القَائِمَ القَانِتَ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنَّمَا مَحْمَلُهُ أَنَّ هَذَا المُسْتَلْقِيَ عَلَى فِرَاشِهِ عَلِقَ بِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَلْصَقَ حَبَّ قَلْبِهِ بِالعَرْشِ، وَبَاتَ قَلْبُهُ يَطُوفُ حَوْلَ العَرْشِ مَعَ المَلَائِكَةِ، قَدْ غَابَ عَنِ الدُّنْيَا وَمَنْ فِيهَا، وَقَدْ عَاقَهُ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ عَائِقٌ مِنْ وَجَعٍ أَوْ بَرْدٍ يَمْنَعُهُ القِيَامَ، أَوْ خَوْفٌ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ رُؤْيَةِ عَدُوٍّ يَطْلُبُهُ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الأَعْذَارِ، فَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَفِي قَلْبِهِ مَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَلِيمٌ. وَآخَرُ قَائِمٌ يُصَلِّي وَيَتْلُو، وَفِي قَلْبِهِ مِنَ الرِّيَاءِ وَالعُجْبِ وَطَلَبِ الجَاهِ وَالمَحْمَدَةِ عِنْدَ النَّاسِ مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ، أَوْ قَلْبُهُ فِي وَادٍ وَجِسْمُهُ فِي وَادٍ. فَلَا رَيْبَ أَنَّ ذَلِكَ الرَّاقِدَ يُصْبِحُ وَقَدْ سَبَقَ هَذَا القَائِمَ بِمَرَاحِلَ كَثِيرَةٍ، فَالعَمَلُ عَلَى القُلُوبِ لَا عَلَى الأَبْدَانِ، وَالمُعَوَّلُ عَلَى السَّاكِنِ، وَيُهَيِّجُ الحُبَّ المُتَوَارِيَ، وَيَبْعَثُ الطَّلَبَ المَيِّتَ. Perkataan seperti ini memiliki dua kemungkinan makna: makna yang benar dan makna yang keliru. Jika seseorang memahami bahwa orang yang berbaring di tempat tidurnya bisa mengalahkan orang yang bangun untuk beribadah dan salat malam tanpa alasan apa pun, maka pemahaman itu batil (keliru). Namun, makna yang benar adalah bahwa orang yang sedang berbaring itu hatinya terikat kuat dengan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, ia menempelkan cinta hatinya kepada ‘Arsy, dan hatinya berkeliling di sekitar ‘Arsy bersama para malaikat, sementara dirinya telah terlupa dari dunia dan segala isinya. Ia tertahan untuk bangun malam bukan karena malas, melainkan karena ada penghalang seperti sakit, cuaca dingin yang berat, rasa takut dari musuh yang mengincar, atau uzur lain yang benar-benar menghalanginya. Maka ia tetap berbaring di atas tempat tidurnya, namun hatinya dalam keadaan yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahuinya. Sedangkan orang lain berdiri salat dan membaca Al-Qur’an, tetapi dalam hatinya terdapat riya’, rasa bangga diri, mencari kedudukan, atau ingin dipuji manusia. Bisa jadi pula hatinya berada di satu tempat, sementara tubuhnya di tempat lain. Maka tidak diragukan lagi, orang yang berbaring namun hatinya hidup bersama Allah akan mendahului orang yang bangun malam dengan hati yang lalai dalam banyak tingkatan. Sebab, amal dinilai dari hati, bukan dari gerak tubuh. Yang menjadi ukuran adalah kehidupan batin yang diam namun menyala oleh cinta dan keikhlasan, karena ia mampu membangkitkan kembali cinta yang tersembunyi dan menghidupkan semangat ibadah yang hampir mati. [الذِّكْرُ وَحَقِيقَةُ النُّورِ الإِلَهِيِّ] (السَّادِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ) أَنَّ الذِّكْرَ نُورٌ لِلذَّاكِرِ فِي الدُّنْيَا، وَنُورٌ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنُورٌ لَهُ فِي مَعَادِهِ يَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ، فَمَا اسْتَنَارَتِ القُلُوبُ وَالقُبُورُ بِمِثْلِ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}. فَالأَوَّلُ هُوَ المُؤْمِنُ، اسْتَنَارَ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَحَبَّتِهِ وَمَعْرِفَتِهِ وَذِكْرِهِ، وَالآخَرُ هُوَ الغَافِلُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، المُعْرِضُ عَنْ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ. وَالشَّأْنُ كُلُّ الشَّأْنِ، وَالفَلَاحُ كُلُّ الفَلَاحِ فِي النُّورِ، وَالشَّقَاءُ كُلُّ الشَّقَاءِ فِي فَوَاتِهِ. وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَالِغُ فِي سُؤَالِ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حِينَ يَسْأَلُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي لَحْمِهِ وَعِظَامِهِ وَعَصَبِهِ وَشَعْرِهِ وَبَشَرِهِ وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ، وَمِنْ فَوْقِهِ وَمِنْ تَحْتِهِ، وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، وَخَلْفِهِ وَأَمَامِهِ، حَتَّى يَقُولَ: وَاجْعَلْنِي نُورًا. فَسَأَلَ رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يَجْعَلَ النُّورَ فِي ذَرَّاتِهِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَهُ مُحِيطًا بِهِ مِنْ جَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَأَنْ يَجْعَلَ ذَاتَهُ وَجُمْلَتَهُ نُورًا. فَدِينُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نُورٌ، وَكِتَابُهُ نُورٌ، وَرَسُولُهُ نُورٌ، وَدَارُهُ الَّتِي أَعَدَّهَا لِأَوْلِيَائِهِ نُورٌ يَتَلَأْلَأُ، وَهُوَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، وَمِنْ أَسْمَائِهِ النُّورُ، وَأَشْرَقَتِ الظُّلُمَاتُ لِنُورِ وَجْهِهِ. Ketiga puluh enam, [Dzikir dan Hakikat Cahaya Ilahi] Dzikir merupakan cahaya bagi orang yang berdzikir — cahaya baginya di dunia, cahaya baginya di dalam kuburnya, dan cahaya baginya di akhirat yang berjalan di hadapannya di atas shirath (jembatan akhirat). Tidak ada sesuatu pun yang mampu menerangi hati dan kubur sebagaimana zikir kepada Allah Ta‘ala. Allah Ta‘ala berfirman: “Apakah orang yang sebelumnya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan dan tidak dapat keluar darinya?” (QS. Al-An‘ām: 122) Yang pertama adalah seorang mukmin, yang dihidupkan dan diterangi oleh iman kepada Allah, cinta kepada-Nya, pengetahuan tentang-Nya, serta zikir kepada-Nya. Adapun yang kedua adalah orang yang lalai dari Allah Ta‘ala, berpaling dari zikir dan cinta kepada-Nya. Maka, seluruh keberuntungan bergantung pada cahaya itu, dan segala bentuk kesengsaraan bersumber dari hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Rabbnya — Tabāraka wa Ta‘ālā — memohon agar Allah menjadikan cahaya itu menyatu dalam seluruh bagian tubuhnya: dalam daging, tulang, urat, rambut, kulit, pendengaran, dan penglihatannya, dari atas dan bawah, dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang; hingga beliau berdoa: “Dan jadikanlah aku cahaya.” Beliau memohon agar cahaya itu memenuhi seluruh zarrah (bagian kecil) dalam dirinya, baik yang lahir maupun batin, mengelilinginya dari segala arah, bahkan menjadikan seluruh dirinya cahaya. Sebab, agama Allah adalah cahaya, Kitab-Nya adalah cahaya, Rasul-Nya adalah cahaya, dan surga-Nya — tempat yang disiapkan untuk para kekasih-Nya — adalah cahaya yang berkilauan. Sedangkan Dia sendiri, Tabāraka wa Ta‘ālā, adalah Cahaya langit dan bumi. Salah satu nama-Nya adalah An-Nūr (Yang Maha Cahaya), dan seluruh kegelapan akan sirna oleh pancaran cahaya wajah-Nya. [السَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ رَأْسُ الْأُصُولِ، وَطَرِيقُ عَامَّةِ الطَّائِفَةِ، وَمَنْشُورُ الْوِلَايَةِ، فَمَنْ فُتِحَ لَهُ فِيهِ، فَقَدْ فُتِحَ لَهُ بَابُ الدُّخُولِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَلْيَتَطَهَّرْ وَلْيَدْخُلْ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَجِدْ عِنْدَهُ كُلَّ مَا يُرِيدُ، فَإِنْ وَجَدَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَجَدَ كُلَّ شَيْءٍ، وَإِنْ فَاتَهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَاتَهُ كُلُّ شَيْءٍ.   Ketiga puluh tujuh, Dzikir merupakan pokok dari segala pokok, jalan utama bagi kebanyakan orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, dan merupakan tanda (pengumuman) kedekatan seorang hamba dengan-Nya. Barang siapa dibukakan hatinya untuk istiqamah dalam dzikir, maka sesungguhnya telah dibukakan baginya pintu untuk masuk mendekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia mensucikan diri—lahir dan batin—lalu masuk menghadap Rabb-nya. Di sisi Allah, ia akan mendapati segala yang diinginkan. Sebab, siapa yang menemukan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, berarti ia telah mendapatkan segalanya. Namun siapa yang kehilangan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, sungguh ia telah kehilangan segalanya. [الثَّامِنَةُ وَالثَّلَاثُونَ] فِي الْقَلْبِ خَلَّةٌ وَفَاقَةٌ لَا يَسُدُّهَا شَيْءٌ أَلْبَتَّةَ إِلَّا ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا صَارَ شِعَارَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ الذَّاكِرَ بِطَرِيقِ الْأَصَالَةِ، وَاللِّسَانُ تَابِعٌ لَهُ، فَهَذَا هُوَ الذِّكْرُ الَّذِي يَسُدُّ الْخَلَّةَ وَيُفْنِي الْفَاقَةَ، فَيَكُونُ صَاحِبُهُ غَنِيًّا بِلَا مَالٍ، عَزِيزًا بِلَا عَشِيرَةٍ، مَهِيبًا بِلَا سُلْطَانٍ. فَإِذَا كَانَ غَافِلًا عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ بِضِدِّ ذَلِكَ: فَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ جِدَّتِهِ، ذَلِيلٌ مَعَ سُلْطَانِهِ، حَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ عَشِيرَتِهِ. Ketiga puluh delapan, Dalam hati manusia terdapat kekosongan dan kebutuhan mendalam yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh apa pun selain dengan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila dzikir telah menjadi kebiasaan hati—hingga hati itu sendiri yang benar-benar berdzikir secara hakiki, sementara lisan hanya menjadi pengikutnya—maka inilah dzikir yang mampu mengisi kekosongan itu dan menghapus segala rasa kekurangan. Orang yang demikian akan merasa kaya tanpa harta, mulia tanpa keluarga besar, dan disegani tanpa kekuasaan. Sebaliknya, jika seseorang lalai dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia akan merasakan kebalikannya: miskin meski banyak hartanya, hina meski memiliki kekuasaan, dan rendah meski memiliki banyak pengikut dan kerabat. [التَّاسِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يَجْمَعُ الْمُتَفَرِّقَ، وَيُفَرِّقُ الْمُجْتَمِعَ، وَيُقَرِّبُ الْبَعِيدَ، وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ. فَيَجْمَعُ مَا تَفَرَّقَ عَلَى الْعَبْدِ مِنْ قَلْبِهِ وَإِرَادَتِهِ وَهُمُومِهِ وَعَزَائِمِهِ، وَالْعَذَابُ كُلُّ الْعَذَابِ فِي تَفَرُّقِهَا وَتَشَتُّتِهَا عَلَيْهِ وَانْفِرَاطِهَا لَهُ، وَالْحَيَاةُ وَالنَّعِيمُ فِي اجْتِمَاعِ قَلْبِهِ وَهَمِّهِ وَعَزْمِهِ وَإِرَادَتِهِ. وَيُفَرِّقُ مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَالْحَسَرَاتِ عَلَى فَوْتِ حُظُوظِهِ وَمَطَالِبِهِ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنْ ذُنُوبِهِ وَخَطَايَاهُ وَأَوْزَارِهِ، حَتَّى تَتَسَاقَطَ عَنْهُ وَتَتَلَاشَى وَتَضْمَحِلَّ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَى حَرْبِهِ مِنْ جُنْدِ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَزَالُ يَبْعَثُ لَهُ سَرِيَّةً، وَكُلَّمَا كَانَ أَقْوَى طَلَبًا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَمْثَلَ تَعَلُّقًا بِهِ وَإِرَادَةً لَهُ، كَانَتِ السَّرِيَّةُ أَكْثَفَ وَأَكْثَرَ وَأَعْظَمَ شَوْكَةً، بِحَسَبِ مَا عِنْدَ الْعَبْدِ مِنْ مَوَادِّ الْخَيْرِ وَالْإِرَادَةِ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى تَفْرِيقِ هَذَا الْجَمْعِ إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. وَأَمَّا تَقْرِيبُهُ الْبَعِيدَ فَإِنَّهُ يُقَرِّبُ إِلَيْهِ الْآخِرَةَ الَّتِي يُبْعِدُهَا مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَالْأَمَلُ، فَلَا يَزَالُ يَلْهَجُ بِالذِّكْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ قَدْ دَخَلَهَا وَحَضَرَهَا، فَحِينَئِذٍ تَصْغُرُ فِي عَيْنِهِ الدُّنْيَا، وَتَعْظُمُ فِي قَلْبِهِ الْآخِرَةُ. وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ إِلَيْهِ، وَهِيَ الدُّنْيَا الَّتِي هِيَ أَدْنَى إِلَيْهِ مِنَ الْآخِرَةِ، فَإِنَّ الْآخِرَةَ مَتَى قَرُبَتْ مِنْ قَلْبِهِ بَعُدَتْ مِنْهُ الدُّنْيَا، كُلَّمَا قَرُبَتْ مِنْهُ هَذِهِ مَرْحَلَةً بَعُدَتْ مِنْهُ تِلْكَ مَرْحَلَةً، وَلَا سَبِيلَ إِلَى هَذَا إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. Ketiga puluh sembilan, Dzikir memiliki kekuatan yang menakjubkan: ia mengumpulkan yang tercerai-berai dan memisahkan yang berhimpun; mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Dzikir mengumpulkan kembali apa pun yang tercerai dalam diri seseorang—hatinya, kehendaknya, pikirannya, dan tekadnya. Sungguh, penderitaan terbesar adalah ketika semua itu tercerai dan tidak terarah; sedangkan kebahagiaan sejati terletak pada bersatunya hati, kehendak, niat, dan tekad seseorang dalam satu tujuan, yaitu menuju Allah. Dzikir juga memisahkan apa yang berkumpul dari tumpukan kesedihan, kegelisahan, dan penyesalan atas hilangnya berbagai keinginan dan kesenangan dunia. Ia memisahkan pula dosa-dosa, kesalahan, dan beban maksiat yang menumpuk di diri seseorang—hingga dosa-dosa itu berjatuhan, lenyap, dan sirna. Dzikir juga memecah barisan pasukan setan yang bersatu untuk memerangi seorang hamba. Setan tak henti mengirimkan bala tentaranya untuk menggoda, dan semakin kuat keinginan seorang hamba untuk mencari Allah, semakin banyak dan besar pula serangan pasukan setan terhadapnya—sesuai dengan kadar kebaikan dan tekad yang ada pada dirinya. Dan tidak ada cara untuk memecah barisan pasukan itu kecuali dengan zikir yang terus-menerus. Adapun dzikir disebut “mendekatkan yang jauh”, karena ia mendekatkan akhirat yang berusaha dijauhkan dari hati oleh setan dan angan-angan duniawi. Ketika lidah seseorang terus melantunkan dzikir, seolah-olah ia sudah berada di negeri akhirat dan menyaksikannya secara langsung. Saat itulah dunia terasa kecil di matanya, sedangkan akhirat menjadi agung dalam hatinya. Dzikir juga disebut “menjauhkan yang dekat”, yakni dunia yang selalu berada di hadapan manusia dan menggoda hatinya. Ketika akhirat semakin dekat di hati, dunia pun semakin jauh darinya. Setiap langkah hati yang mendekat kepada akhirat adalah langkah menjauh dari dunia — dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan zikir yang terus-menerus. [الأَرْبَعُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يُنَبِّهُ الْقَلْبَ مِنْ نَوْمِهِ، وَيُوقِظُهُ مِنْ سِنَتِهِ، وَالْقَلْبُ إِذَا كَانَ نَائِمًا فَاتَتْهُ الْأَرْبَاحُ وَالْمَتَاجِرُ، وَكَانَ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الْخُسْرَانُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ وَعَلِمَ مَا فَاتَهُ فِي نَوْمَتِهِ، شَدَّ الْمِئْزَرَ وَأَحْيَا بَقِيَّةَ عُمْرِهِ، وَاسْتَدْرَكَ مَا فَاتَهُ، وَلَا تَحْصُلُ يَقَظَتُهُ إِلَّا بِالذِّكْرِ، فَإِنَّ الْغَفْلَةَ نَوْمٌ ثَقِيلٌ. Keempat puluh, Dzikir adalah pembangun hati yang tertidur dan penggugah dari kelalaiannya. Ketika hati berada dalam keadaan tidur (lalai), ia kehilangan berbagai keuntungan dan kesempatan berharga dalam hidupnya. Sebaliknya, yang mendominasi adalah kerugian dan kehampaan. Namun saat hati itu terjaga dan menyadari apa yang telah ia lewatkan selama dalam kelalaian, ia pun akan segera bersemangat, mengencangkan ikat pinggangnya, memanfaatkan sisa umurnya, dan berusaha menebus apa yang telah terlewat. Kesadaran dan kebangkitan hati semacam ini tidak akan terjadi kecuali dengan dzikir, sebab kelalaian (ghaflah) adalah tidur yang sangat berat bagi hati.   —   Dzikir itu Menenangkan Hati Di antara faedah besar dari dzikir adalah menenangkan hati. Allah Ta‘ālā berfirman: أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28) Dzikir juga menjadi tanda hidupnya hati seseorang. Dalam hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dengan orang yang tidak berdzikir, bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim) Dzikir juga merupakan sarana membersihkan hati. Dalam hadits disebutkan: إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana besi berkarat ketika terkena air.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penghapus karatnya?” Beliau menjawab, “Banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqī)   Hadirkan Hati Ketika Berdzikir Para ulama menegaskan bahwa dzikir terbaik adalah dzikir dengan lisan yang disertai hadirnya hati. Jika hanya lisan yang bergerak sementara hati lalai, maka itu berada pada tingkatan dzikir paling rendah. An-Nafrawī menukil dari al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahwa dzikir ada dua macam: dzikir dengan hati saja, dan dzikir dengan lisan bersama hati. Dzikir dengan hati terbagi dua: Dzikir berupa tadabbur dan tafakkur terhadap kebesaran Allah, keagungan-Nya, tanda-tanda-Nya, dan ciptaan-Nya yang ada di langit maupun bumi. Inilah dzikir yang paling tinggi dan paling agung. Mengingat Allah dengan cara menghadirkan-Nya dalam hati ketika berhadapan dengan perintah dan larangan-Nya. Yang pertama lebih utama daripada yang kedua. Sedangkan yang kedua lebih utama dibandingkan dzikir dengan lisan yang disertai hati. Adapun dzikir dengan lisan saja tanpa hati, itu adalah tingkatan paling rendah, meskipun tetap ada pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits. Dari sini jelas, wahai saudaraku, bahwa dzikir dengan lisan saja sementara hati sibuk dengan hal lain—seperti membicarakan obrolan teman atau berita dunia—maka pelakunya tetap mendapat pahala karena lisannya dipenuhi dzikir kepada Allah Ta‘ālā, tetapi tidak akan menyamai derajat orang yang menggabungkan antara dzikir lisan dan hati sekaligus. Adapun terkait melanjutkan dzikir setelah ada pemutus (terhenti sejenak), hal ini dirinci. Jika dzikir tersebut telah ditentukan jumlahnya dalam syariat, seperti dzikir setelah shalat fardhu, maka tidak mengapa melanjutkannya dari hitungan sebelumnya. Namun jika syariat tidak menentukan jumlahnya, maka menetapkan bilangan tertentu tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada bid‘ah dan membuat-buat dalam agama yang tidak ada tuntunannya.   Makna Dzikir Dzikir memiliki makna yang luas, mencakup dua sisi: a) Makna umum Dzikir dalam makna umum meliputi seluruh bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, memuji Allah, berdoa, bertasbih, bertahmid, mengagungkan Allah, dan berbagai ketaatan lainnya. Semua ibadah itu pada hakikatnya ditegakkan untuk mengingat Allah, menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ، وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ، وَتَعْلِيمِهِ، وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفٍ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ، فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ “Segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan dan dihadirkan oleh hati yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti belajar ilmu, mengajarkannya, amar ma‘ruf, dan nahi munkar, maka itu termasuk dzikir kepada Allah.” b) Makna khusus Dzikir dalam makna khusus adalah menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan lafaz yang bersumber dari Allah—seperti membaca Al-Qur’an—atau lafaz yang datang melalui lisan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya terdapat pengagungan, penyucian, pemuliaan, dan peneguhan tauhid kepada Allah. Makna inilah yang dimaksud dalam sunnah ketika berbicara tentang dzikir. Dzikir yang paling agung adalah membaca Kitab Allah Ta‘ālā. Beribadah dengan membaca Al-Qur’an telah membuat mata para salaf sulit terpejam dan membuat mereka rela meninggalkan tidur nyenyak. Allah berfirman: وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan pada waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. adz-Dzāriyāt: 18) Para salaf mengisi malam mereka dengan membaca Kitab Allah Ta‘ālā dan melantunkan dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka sungguh, alangkah mulianya malam yang dihidupkan oleh mereka dengan ibadah. Sementara kita, betapa besar kerugian kita, betapa banyak kelalaian kita, dan betapa besar keteledoran kita dalam memanfaatkan malam dan waktu sahur! Semoga malam-malam kita selamat dari maksiat kepada Rabb kita, kecuali bagi yang dirahmati Allah Ta‘ālā.   Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Seorang hamba hendaknya bersemangat berdzikir kepada Allah Ta‘ālā dengan hati dan lisannya sekaligus. Inilah keadaan yang paling sempurna. Adapun dzikir hanya dengan lisan saja tanpa kehadiran hati, maka itu termasuk keadaan yang kurang. Sebab, ada sebagian orang yang ketika berdzikir tidak merasakan apa yang ia ucapkan. Lisannya memang bergerak, tetapi hatinya tidak ikut hidup. Seandainya hatinya ikut berdzikir, merenungi maknanya, tentu imannya akan bertambah dan hatinya akan lebih lembut. Wahai saudaraku yang diberkahi Allah, ketahuilah juga bahwa dzikir ditinjau dari tempat atau waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua: dzikir muqayyad dan dzikir mutlak. Dzikir muqayyad adalah dzikir yang dibatasi oleh tempat, waktu, atau keadaan tertentu. Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak dibatasi oleh salah satu dari hal tersebut, melainkan bisa dilakukan kapan saja sepanjang hari. Contohnya, dzikir setelah shalat fardhu, dzikir setelah adzan, atau dzikir lain yang diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pada waktu dan tempat tertentu. Semua dzikir muqayyad ini lebih utama dibandingkan dzikir mutlak, karena di dalamnya ada unsur mengikuti sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika seseorang selesai dari shalat wajib, dzikir yang paling utama baginya adalah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Ia tidak menggantinya dengan dzikir lain, meskipun dzikir itu juga utama, seperti membaca Al-Qur’an. Sebab, demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kebaikan yang sempurna adalah dengan meneladani beliau.   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.   — Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (20/03/2011), direvisi 12 September 2025 di Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com   Baca Juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah Yang Sering Menjadi Pertanyaan Seputar Dzikir Pagi Petang [1] HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691 [2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih [3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Hasan bin Qoid, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, 94-198. Tagsdoa dan dzikir Dzikir dzikir pagi dzikir petang keutamaan dzikir

Keutamaan Dzikir

Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan, namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Ia adalah makanan hati, penyejuk jiwa, dan penghubung seorang hamba dengan Rabb-nya. Para ulama menjelaskan bahwa dalam dzikir terkandung ratusan manfaat yang mampu mengangkat derajat seorang muslim. Karena itu, siapa saja yang ingin hatinya hidup dan dekat dengan Allah ﷻ, hendaknya senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir.   Daftar Isi tutup 1. Lebih dari Seratus Faedah Dzikir 2. Dzikir itu Menenangkan Hati 3. Hadirkan Hati Ketika Berdzikir 4. Makna Dzikir 4.1. a) Makna umum 4.2. b) Makna khusus 5. Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: وَفِي الذِّكْرِ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةِ فَائِدَةٍ Lebih dari Seratus Faedah Dzikir Di antara faedah dzikir yang sangat banyak itu adalah:   (إِحْدَاهَا) أَنَّهُ يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ وَيَقْمَعُهُ وَيَكْسِرُهُ. Pertama, dzikir dapat mengusir setan, melemahkan, dan menghancurkan kekuatannya.   [الثَّانِيَةُ] أَنَّهُ يُرْضِي الرَّحْمٰنَ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua, dzikir mendatangkan keridaan Allah ﷻ.   [الثَّالِثَةُ] أَنَّهُ يُزِيلُ الهَمَّ وَالغَمَّ عَنِ القَلْبِ. Ketiga, dzikir mampu menghilangkan kekhawatiran pada masa akan datang (hamm) dan kesedihan saat ini (ghamm) dari hati.   [الرَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ لِلْقَلْبِ الفَرَحَ وَالسُّرُورَ وَالبَسْطَ. Keempat, dzikir membawa kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan bagi hati.   [الخَامِسَةُ] أَنَّهُ يُقَوِّي القَلْبَ وَالبَدَنَ. Kelima, dzikir menguatkan hati dan tubuh.   [السَّادِسَةُ] يُنَوِّرُ الوَجْهَ وَالقَلْبَ. Keenam, dzikir menjadikan wajah dan hati bercahaya.   [السَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّزْقَ. Ketujuh, dzikir mendatangkan rezeki.   [الثَّامِنَةُ] أَنَّهُ يَكْسُو الذَّاكِرَ المَهَابَةَ وَالحَلَاوَةَ وَالنُضْرَةَ. Kedelapan, dzikir membuat orang yang melakukannya memiliki wibawa, pesona, dan keteduhan.   [التَّاسِعَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المَحَبَّةَ الَّتِي هِيَ رُوحُ الإِسْلَامِ، وَقُطْبُ رَحَى الدِّينِ، وَمدَارُ السَّعَادَةِ. قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا، وَجَعَلَ سَبَبَ المَحَبَّةِ دَوَامَ الذِّكْرِ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَلْهَجْ بِذِكْرِهِ، فَإِنَّهُ الدَّرْسُ وَالمُذَاكَرَةُ كَمَا أَنَّهُ بَابُ العِلْمِ، فَالذِّكْرُ بَابُ المَحَبَّةِ وَشَارِعُهَا الأَعْظَمُ وَصِرَاطُهَا الأَقْوَمُ. Kesembilan, dzikir menumbuhkan rasa cinta, yang merupakan ruh Islam, poros agama, dan inti kebahagiaan. Allah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab tumbuhnya cinta kepada-Nya adalah dengan terus berdzikir. Siapa saja yang ingin meraih cinta Allah ﷻ, hendaklah ia senantiasa basah lisannya dengan dzikir. Sebagaimana pengulangan pelajaran adalah kunci ilmu, maka dzikir adalah kunci cinta, jalan besarnya, dan jalan lurus menuju-Nya. Baca juga: Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi   [العَاشِرَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المُرَاقَبَةَ حَتَّى يُدْخِلَهُ فِي بَابِ الإِحْسَانِ، فَيَعْبُدُ اللهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، وَلا سَبِيلَ لِلْغَافِلِ عَنِ الذِّكْرِ إِلَى مَقَامِ الإِحْسَانِ، كَمَا لا سَبِيلَ لِلْقَاعِدِ إِلَى الوُصُولِ إِلَى البَيْتِ. Kesepuluh, dzikir melahirkan sikap muraqabah (merasa diawasi Allah) hingga mengantarkan seseorang ke pintu ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Orang yang lalai dari dzikir tidak akan mungkin sampai pada derajat ihsan, sebagaimana orang yang hanya duduk tidak akan pernah sampai ke rumah tujuan. Baca juga: Penjelasan Ringkas tentang Ihsan   [الحَادِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الإِنَابَةَ، وَهِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَمَتَى أَكْثَرَ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ بِذِكْرِهِ أَوْرَثَهُ ذٰلِكَ رُجُوعَهُ بِقَلْبِهِ إِلَيْهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ، فَيَبْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَفْزَعَهُ وَمَلْجَأَهُ، وَمَلَاذَهُ وَمَعَاذَهُ، وَقِبْلَةَ قَلْبِهِ وَمَهْرَبَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَالبَلَايَا. Kesebelas, dzikir menumbuhkan sikap inābah, yaitu kembali kepada Allah ﷻ. Semakin banyak seseorang kembali kepada-Nya melalui dzikir, semakin membuatnya terbiasa menjadikan Allah sebagai tempat kembali hatinya dalam setiap keadaan. Allah menjadi pelindung, sandaran, tujuan, dan tempat ia mengadu di saat datangnya musibah dan ujian.   [الثَّانِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ القُرْبَ مِنْهُ، فَعَلَى قَدْرِ ذِكْرِهِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهُ، وَعَلَى قَدْرِ غَفْلَتِهِ يَكُونُ بُعْدُهُ مِنْهُ. Kedua belas, dzikir mendekatkan hamba kepada Allah ﷻ. Sejauh mana ia berdzikir, sejauh itu pula kedekatannya. Sebaliknya, sejauh mana ia lalai (ghaflah), sejauh itu pula jaraknya dari Allah.   [الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَفْتَحُ لَهُ بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ المَعْرِفَةِ، وَكُلَّمَا أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ ازْدَادَ مِنَ المَعْرِفَةِ. Ketiga belas, dzikir membuka pintu besar menuju ma‘rifah (pengenalan yang mendalam terhadap Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah pula ma‘rifah.   [الرَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الهَيْبَةَ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِجْلَالَهُ، لِشِدَّةِ اسْتِيلَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ وَحُضُورِهِ مَعَ اللهِ تَعَالَى. بِخِلافِ الغَافِلِ فَإِنَّ حِجَابَ الهَيْبَةِ رَقِيقٌ فِي قَلْبِهِ. Keempat belas, dzikir menumbuhkan rasa haibah (kewibawaan batin) dan pengagungan terhadap Allah ﷻ, karena dzikir memenuhi hati dengan kehadiran-Nya. Sebaliknya, orang yang lalai tidak memiliki haibah dalam hatinya, bahkan tirai pengagungan terhadap Allah sangat tipis.   [الخَامِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى لَهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ﴾ [البقرة: ١٥٢] Kelima belas, dzikir mendatangkan balasan berupa Allah mengingat hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152) وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذِّكْرِ إِلَّا هٰذِهِ وَحْدَهَا لَكَفَتْ فَضْلًا وَشَرَفًا. وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ». Seandainya tidak ada keutamaan dzikir kecuali ini saja, tentu sudah cukup sebagai kemuliaan dan keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits qudsi dari Allah Ta‘ala: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ» “Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan siapa yang mengingat-Ku di tengah sebuah kelompok, maka Aku akan mengingatnya di tengah kelompok yang lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhārī dan Muslim)   [السَّادِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ حَيَاةَ القَلْبِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى رُوحَهُ يَقُولُ: Keenam belas, dzikir menghidupkan hati. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: «الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ مِثْلُ المَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ المَاءَ؟». “Dzikir bagi hati itu laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika ia berpisah dari airnya?”   [السَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ قُوتُ القَلْبِ وَالرُّوحِ، فَإِذَا فَقَدَهُ العَبْدُ صَارَ بِمَنْزِلَةِ الجِسْمِ إِذَا حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُوتِهِ. Ketujuh belas, dzikir adalah makanan hati dan ruh. Jika hamba kehilangan dzikir, maka ia bagaikan tubuh yang kehilangan makanannya. وَحَضَرْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ مَرَّةً، صَلَّى الفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى إِلَى قَرِيبٍ مِنِ انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ: «هٰذِهِ غَدْوَتِي، وَلَوْ لَمْ أَتَغَدَّ الغَدَاءَ سَقَطَتْ قُوَّتِي». أَوْ كَلَامًا قَرِيبًا مِنْ هٰذَا. Aku pernah hadir bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Suatu hari setelah salat Subuh, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga mendekati pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Inilah sarapan pagiku. Seandainya aku tidak sarapan seperti ini, pasti tenagaku melemah.” وَقَالَ لِي مَرَّةً: «لَا أَتْرُكُ الذِّكْرَ إِلَّا بِنِيَّةِ إِجْمَامِ نَفْسِي وَإِرَاحَتِهَا، لِأَسْتَعِدَّ بِتِلْكَ الرَّاحَةِ لِذِكْرٍ آخَرَ». أَوْ كَلَامًا هٰذَا مَعْنَاهُ. Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali dengan niat memberi jeda dan istirahat pada diriku, agar dengan istirahat itu aku bisa lebih kuat untuk berdzikir kembali.” Atau ungkapan dengan makna yang serupa.   [الثَّامِنَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ جَلَاءَ القَلْبِ مِنْ صَدَائِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الحَدِيثِ، وَكُلُّ شَيْءٍ لَهُ صَدَأٌ، وَصَدَأُ القَلْبِ الغَفْلَةُ وَالهَوَى، وَجَلَاؤُهُ الذِّكْرُ وَالتَّوْبَةُ وَالاسْتِغْفَارُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ هٰذَا المَعْنَى. Kedelapan belas, dzikir menjadikan hati bersih dari karatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Setiap sesuatu pasti ada karatnya, dan karat hati adalah kelalaian (ghaflah) serta hawa nafsu. Pembersihnya adalah dzikir, taubat, dan istighfar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya.   [التَّاسِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَحُطُّ الخَطَايَا وَيُذْهِبُهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الحَسَنَاتِ، وَالحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ. Kesembilan belas, dzikir menggugurkan dosa-dosa dan menghapusnya. Sebab, dzikir termasuk amalan paling agung, sementara Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan.” (QS. Hūd [11]: 114)   [العِشْرُونَ] أَنَّهُ يُزِيلُ الوَحْشَةَ بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، فَإِنَّ الغَافِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْشَةٌ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالذِّكْرِ. Kedua puluh, dzikir menghilangkan rasa asing dan jauh antara hamba dengan Rabb-nya ﷻ. Orang yang lalai (ghaflah) dari dzikir, antara dirinya dengan Allah terdapat jurang keterasingan yang tidak akan hilang kecuali dengan dzikir. Catatan: Apa itu al-wahsyah? Dalam Kamus Al-Ma’ani disebutkan bahwa wahsyah itu berarti tanah tandus yang sunyi dan menakutkan. Maknanya juga: terputusnya hubungan dan jauhnya hati dari kasih sayang. Ia juga bisa bermakna rasa takut ketika sendirian. Orang arab menyebut aw-hasyal manzil, maksudnya rumah itu menjadi sepi dan ditinggalkan manusia. Maka jika engkau ingin mendoakan seseorang yang engkau cintai, baik saat ia jauh maupun dekat, ucapkanlah: لَا أَوْحَشَ اللّٰهُ لَكَ قَلْبًا وَلَا رُوحًا وَلَا جَسَدًا Semoga Allah tidak menjadikan hatimu, jiwamu, dan tubuhmu merasa sunyi dan sepi.   [الحَادِيَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّ مَا يَذْكُرُ بِهِ العَبْدُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ جَلَالِهِ وَتَسْبِيحِهِ وَتَحْمِيدِهِ يُذْكَرُ بِصَاحِبِهِ عِنْدَ الشِّدَّةِ. فَقَدْ رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ العَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ. أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟» هٰذَا الحَدِيثُ أَوْ مَعْنَاهُ. Kedua puluh satu, segala tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang diucapkan hamba dalam menyebut nama Allah ﷻ akan menjadi penyelamatnya di saat sulit. Imam Aḥmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ، أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟ “Sesungguhnya apa yang kalian sebut dari keagungan Allah ﷻ, berupa tahlil, takbir, dan tahmid, semuanya akan berputar di sekitar ‘Arsy, suaranya berdengung seperti dengungan lebah. Ia akan disebut-sebut bersama pelakunya. Maka tidakkah salah seorang dari kalian suka jika ia memiliki amal yang bisa membuatnya disebut-sebut (di sisi Allah)?” (HR. Aḥmad, atau semakna dengannya).   [الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَعَرَّفَ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِذِكْرِهِ فِي الرَّخَاءِ عَرَفَهُ فِي الشِّدَّةِ، وَقَدْ جَاءَ أَثَرٌ مَعْنَاهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْمُطِيعَ الذَّاكِرَ لِلَّهِ تَعَالَى إِذَا أَصَابَتْهُ شِدَّةٌ أَوْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى حَاجَةً قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ صَوْتٌ مَعْرُوفٌ، مِنْ عَبْدٍ مَعْرُوفٍ، وَالْغَافِلُ الْمُعْرِضُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا دَعَاهُ وَسَأَلَهُ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، صَوْتٌ مُنْكَرٌ، مِنْ عَبْدٍ مُنْكَرٍ. Kedua puluh dua, seorang hamba yang membiasakan diri mengenal Allah Ta‘ālā dengan banyak berdzikir di waktu lapang, maka Allah akan mengenalnya di waktu sempit. Ada sebuah atsar yang menjelaskan bahwa seorang hamba yang taat dan banyak berdzikir, ketika ia tertimpa kesulitan atau memohon kepada Allah, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang dikenal, dari hamba yang dikenal.” Sebaliknya, orang yang lalai dan berpaling dari Allah, jika suatu saat ia berdoa dan memohon, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang asing, dari hamba yang asing.”   [الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُنَجِّي مِنْ عَذَابِ اللهِ تَعَالَى، كَمَا قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَيُرْوَى مَرْفُوعًا: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى». Kedua puluh tiga, dzikir dapat menyelamatkan dari azab Allah Ta‘ālā. Sebagaimana perkataan Mu‘ādz radhiyallāhu ‘anhu—dan diriwayatkan pula secara marfū‘—: مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى “Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dari azab Allah ‘Azza wa Jalla melebihi dzikir kepada Allah Ta‘ālā.”   [الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ تَنْزِيلِ السَّكِينَةِ، وَغَشْيَانِ الرَّحْمَةِ، وَحُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ بِالذَّاكِرِ كَمَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kedua puluh empat, dzikir menjadi sebab turunnya sakīnah (ketenangan jiwa), turunnya rahmat, serta dikelilinginya para ahli dzikir oleh malaikat, sebagaimana diberitakan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.   [الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ اشْتِغَالِ اللِّسَانِ عَنِ الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَذِبِ وَالْفُحْشِ وَالْبَاطِلِ. فَإِنَّ الْعَبْدَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ. فَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَذِكْرِ أَوَامِرِهِ تَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ بَعْضِهَا، وَلَا سَبِيلَ إِلَى السَّلَامَةِ مِنْهَا الْبَتَّةَ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى. وَالْمُشَاهَدَةُ وَالتَّجْرِبَةُ شَاهِدَانِ بِذَلِكَ، فَمَنْ عَوَّدَ لِسَانَهُ ذِكْرَ اللهِ صَانَ لِسَانَهُ عَنِ الْبَاطِلِ وَاللَّغْوِ، وَمَنْ يَبِسَ لِسَانُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى تَرَطَّبَ بِكُلِّ بَاطِلٍ وَلَغْوٍ وَفُحْشٍ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. Kedua puluh lima, dzikir menjadi sebab terjaganya lisan dari ghibah, namimah, dusta, kata-kata keji, dan ucapan batil. Sebab, manusia pasti berbicara. Jika ia tidak mengisi lisannya dengan dzikir kepada Allah dan menyebut perintah-perintah-Nya, maka lisannya akan terisi dengan kata-kata haram atau sebagian darinya. Tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali dengan dzikir kepada Allah. Pengalaman nyata menjadi saksi: siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikir, Allah akan memelihara lisannya dari ucapan batil dan sia-sia. Sebaliknya, siapa yang lisannya kering dari dzikir, maka lisannya akan basah dengan ucapan batil, sia-sia, dan kotor. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.   [السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ مَجَالِسَ الذِّكْرِ مَجَالِسُ الْمَلَائِكَةِ، وَمَجَالِسَ اللَّغْوِ وَالْغَفْلَةِ مَجَالِسُ الشَّيَاطِينِ. فَلْيَتَخَيَّرِ الْعَبْدُ أَعْجَبَهُمَا إِلَيْهِ وَأَوْلَاهُمَا بِهِ، فَهُوَ مَعَ أَهْلِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. Kedua puluh enam, majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Sedangkan majelis sia-sia dan lalai adalah majelis para setan. Maka hendaknya seorang hamba memilih: majelis manakah yang lebih ia sukai dan lebih layak baginya. Karena di dunia ia akan bersama mereka, dan di akhirat pun ia akan dikumpulkan bersama mereka.   [السَّابِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُسْعِدُ الذَّاكِرَ بِذِكْرِهِ وَيُسْعِدُ بِهِ جَلِيسَهُ، وَهٰذَا هُوَ المُبَارَكُ أَيْنَ مَا كَانَ. وَالغَافِلُ وَاللَّاغِي يَشْقَى بِلَغْوِهِ وَغَفْلَتِهِ، وَيَشْقَى بِهِ مُجَالِسُهُ. Kedua puluh tujuh, dzikir membahagiakan orang yang berdzikir dengan lisannya, dan kebahagiaan itu juga menular kepada orang yang duduk bersamanya. Inilah hakikat keberkahan; di mana pun ia berada, selalu membawa kebaikan. Sebaliknya, orang yang lalai dan suka berbicara sia-sia akan menjerumuskan dirinya dalam kesengsaraan karena kelalaiannya, dan orang yang duduk bersamanya pun ikut celaka karenanya.   [الثَّامِنَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُؤمِّنُ العَبْدَ مِنَ الحَسْرَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ. فَإِنَّ كُلَّ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُ العَبْدُ فِيهِ رَبَّهُ تَعَالَى كَانَ عَلَيْهِ حَسْرَةً وَتْرَةً يَوْمَ القِيَامَةِ. Kedua puluh delapan, dzikir menyelamatkan seorang hamba dari penyesalan di Hari Kiamat. Sebab, setiap majelis yang kosong dari dzikir akan menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari akhir.   [التَّاسِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ مَعَ البُكَاءِ فِي الخَلْوَةِ سَبَبٌ لِإِظْلَالِ اللهِ تَعَالَى العَبْدَ يَوْمَ الحَرِّ الأَكْبَرِ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ، وَالنَّاسُ فِي حَرِّ الشَّمْسِ قَدْ صَهَرَتْهُم فِي المَوْقِفِ. وَهٰذَا الذَّاكِرُ مُسْتَظِلٌّ بِظِلِّ عَرْشِ الرَّحْمٰنِ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua puluh sembilan, dzikir yang disertai tangisan dalam kesendirian menjadi sebab Allah menaungi seorang hamba di bawah naungan ‘Arsy pada hari panas yang dahsyat. Saat manusia lainnya tersengat terik matahari yang membakar, orang yang berdzikir itu berada dalam naungan penuh rahmat.   [الثَّلَاثُونَ] أَنَّ الاشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِعَطَاءِ اللهِ لِلذَّاكِرِ أَفْضَلَ مَا يُعْطِي السَّائِلِينَ، فَفِي الحَدِيثِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ». Ketiga puluh, orang yang sibuk dengan dzikir akan diberi oleh Allah karunia terbaik, lebih daripada apa yang Dia berikan kepada para peminta. Rasulullah ﷺ bersabda, meriwayatkan dari Rabb-nya: “Allah Ta‘ala berfirman: Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”   [الحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ أَيْسَرُ العِبَادَاتِ، وَهُوَ مِنْ أَجَلِّهَا وَأَفْضَلِهَا، فَإِنَّ حَرَكَةَ اللِّسَانِ أَخَفُّ حَرَكَاتِ الجَوَارِحِ وَأَيْسَرُهَا، وَلَوْ تَحَرَّكَ عُضْوٌ مِنَ الإِنسَانِ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِقَدْرِ حَرَكَةِ لِسَانِهِ لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ المَشَقَّةِ، بَلْ لَا يُمْكِنُهُ ذٰلِكَ. Ketiga puluh satu, dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tetapi termasuk yang paling agung dan utama. Gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan. Seandainya ada satu anggota tubuh manusia yang bergerak sebanyak gerakan lisannya dalam sehari semalam, tentu ia akan merasa sangat berat, bahkan tidak mungkin sanggup melakukannya.   [الثَّانِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ غِرَاسُ الجَنَّةِ. فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَقِيتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ، عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. Ketiga puluh dua, dzikir adalah tanaman surga. Dalam riwayat Tirmiżī, dari Abdullah bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada malam Isra’, aku bertemu dengan Ibrāhīm al-Khalīl ‘alaihis-salām. Ia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan salam kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya segar, dan ia masih berupa tanah lapang. Tanaman surga adalah bacaan: Subḥānallāh, walḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.” (HR. Tirmidzi, hasan gharib) Juga dalam riwayat at-Tirmiżī dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: Subḥānallāhi wa biḥamdih, maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih).   [الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ العَطَاءَ وَالفَضْلَ الَّذِي رُتِّبَ عَلَيْهِ لَمْ يُرَتَّبْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ. Ketiga puluh tiga, keutamaan dan pahala yang Allah tetapkan bagi dzikir tidak diberikan kepada amal lainnya. فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ. وَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ». Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan memerdekakan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan itu menjadi benteng dari setan pada hari itu hingga sore. Tidak ada yang membawa amal lebih baik darinya kecuali orang yang mengamalkannya lebih banyak. Dan siapa yang mengucapkan: subḥānallāhi wa biḥamdih seratus kali dalam sehari, maka dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.” وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ». Dalam Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat: subḥānallāh, wal-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar lebih aku cintai daripada seluruh yang disinari matahari.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، أَعْتَقَ اللهُ رُبُعَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا مَرَّتَيْنِ أَعْتَقَ اللهُ نِصْفَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثًا أَعْتَقَ اللهُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا أَرْبَعًا أَعْتَقَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ النَّارِ». Dalam riwayat at-Tirmiżī dari Anas, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika pagi atau sore membaca doa: Allāhumma innī aṣbaḥtu usy’hiduka wa usy’hidu ḥamalata ‘arsyika wa malāikataka wa jamī‘a khalqika, annaka anta Allāh, lā ilāha illā anta, wa anna Muḥammadan ‘abduka wa rasūluka, maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Jika membacanya dua kali, Allah membebaskan separuh dirinya dari neraka. Jika membacanya tiga kali, Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka. Jika membacanya empat kali, Allah membebaskannya seluruhnya dari api neraka.” وَفِيهِ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَإِذَا أَصْبَحَ: رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُرْضِيَهُ». Dalam riwayat Tirmiżī dari Tsaubān, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika sore atau pagi membaca doa: raḍītu billāhi rabban, wa bil-islāmi dīnan, wa bi-Muḥammadin ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama rasūlā, maka Allah benar-benar menjadikan keridaan baginya.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ: «مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ». Dan dalam riwayat Tirmiżī pula: “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu, yuḥyī wa yumītu, wa huwa ḥayyullā yamūtu, biyadihi al-khayru wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, maka Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta dosa, dan mengangkatnya seribu ribu derajat.”   [الرَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ دَوَامَ ذِكْرِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُوجِبُ الأَمَانَ مِنْ نِسْيَانِهِ الَّذِي هُوَ سَبَبُ شَقَاءِ العَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ، فَإِنَّ نِسْيَانَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُوجِبُ نِسْيَانَ نَفْسِهِ وَمَصَالِحِهَا. قَالَ تَعَالَى: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: ١٩]. Ketiga puluh empat, dzikir yang terus-menerus menjadikan seorang hamba aman dari kelalaian kepada Allah. Padahal, melupakan Allah adalah sebab utama kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah ﷻ berfirman: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ḥashr [59]: 19) وَإِذَا نَسِيَ العَبْدُ نَفْسَهُ أَعْرَضَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْهَا فَهَلَكَتْ وَفَسَدَتْ وَلَا بُدَّ، كَمَنْ لَهُ زَرْعٌ أَوْ بُسْتَانٌ أَوْ مَاشِيَةٌ أَوْ غَيْرُ ذٰلِكَ مِمَّا صَلَاحُهُ وَفَلَاحُهُ بِتَعَاهُدِهِ وَالقِيَامِ عَلَيْهِ، فَأَهْمَلَهُ وَنَسِيَهُ وَاشْتَغَلَ عَنْهُ بِغَيْرِهِ وَضَيَّعَ مَصَالِحَهُ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ وَلَا بُدَّ. Apabila seorang hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan berpaling dari hal-hal yang menjadi maslahat dan kebaikannya. Ia sibuk dengan perkara lain, meninggalkan apa yang seharusnya ia jaga, hingga dirinya rusak dan binasa. Keadaannya bagaikan orang yang memiliki ladang, kebun, atau ternak, yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan pemeliharaan. Namun, jika ia mengabaikan dan melupakannya, sibuk dengan urusan lain, serta meninggalkan kewajiban menjaganya, niscaya semuanya akan rusak dan hancur tanpa bisa dihindari. هٰذَا مَعَ إِمْكَانِ قِيَامِ غَيْرِهِ مَقَامَهُ فِيهِ، فَكَيْفَ الظَّنُّ بِفَسَادِ نَفْسِهِ وَهَلَاكِهَا وَشَقَائِهَا إِذَا أَهْمَلَهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَعَطَّلَ مُرَاعَاتَهَا وَتَرَكَ القِيَامَ عَلَيْهَا بِمَا يُصْلِحُهَا؟ فَمَا شِئْتَ مِنْ فَسَادٍ وَهَلَاكٍ وَخَيْبَةٍ وَحِرْمَانٍ. وَهٰذَا هُوَ الَّذِي صَارَ أَمْرُهُ كُلُّهُ فَرَطًا، فَانْفَرَطَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاعَتْ مَصَالِحُهُ، وَأَحَاطَتْ بِهِ أَسْبَابُ القُطُوعِ وَالخَيْبَةِ وَالهَلَاكِ. Padahal, untuk urusan kebun, ladang, atau ternak, masih mungkin orang lain menggantikannya merawat dan memperbaikinya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Jika ia mengabaikan jiwanya, melupakannya, sibuk dengan urusan lain, meninggalkan pemeliharaan hati, dan tidak menegakkan hal-hal yang bisa memperbaikinya, maka kehancuran, kesengsaraan, dan kerugian pasti menimpanya. Inilah orang yang seluruh urusannya berantakan. Hidupnya tercerai-berai, maslahatnya hilang, dan berbagai sebab kehancuran, kebinasaan, serta kegagalan mengelilinginya dari segala sisi. وَلَا سَبِيلَ إِلَى الأَمَانِ مِنْ ذٰلِكَ إِلَّا بِدَوَامِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاللَّهْجِ بِهِ، وَأَنْ لَا يَزَالَ اللِّسَانُ رَطْبًا بِهِ، وَأَنْ يَتَوَلَّى مَنْزِلَةَ حَيَاتِهِ الَّتِي لَا غِنَى لَهُ عَنْهَا، وَمَنْزِلَةَ غِذَائِهِ الَّذِي إِذَا فَقَدَهُ فَسَدَ جِسْمُهُ وَهَلَكَ، وَبِمَنْزِلَةِ المَاءِ عِنْدَ شِدَّةِ العَطَشِ، وَبِمَنْزِلَةِ اللِّبَاسِ فِي الحَرِّ وَالبَرْدِ، وَبِمَنْزِلَةِ الكِنِّ فِي شِدَّةِ الشِّتَاءِ وَالسَّمُومِ. Tidak ada jalan keselamatan dari kerusakan itu kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepada Allah dan membasahi lisan dengan menyebut nama-Nya. Dzikir harus ditempatkan pada posisi yang sangat penting—seperti kehidupan yang tak mungkin ditinggalkan, seperti makanan yang jika hilang membuat tubuh rusak dan binasa, seperti air bagi orang yang sangat haus, seperti pakaian di tengah panas dan dingin, serta seperti tempat berlindung saat musim dingin yang menusuk atau angin panas yang menyengat. فَحَقِيقٌ بِالعَبْدِ أَنْ يُنَزِّلَ ذِكْرَ اللهِ مِنْهُ بِهَذِهِ المَنْزِلَةِ وَأَعْظَمَ. فَأَيْنَ هَلَاكُ الرُّوحِ وَالقَلْبِ وَفَسَادُهُمَا مِنْ هَلَاكِ البَدَنِ وَفَسَادِهِ؟ هٰذَا هَلَاكٌ لَا بُدَّ مِنْهُ وَقَدْ يَعْقُبُهُ صَلَاحٌ لَا بُدَّ. وَأَمَّا هَلَاكُ القَلْبِ وَالرُّوحِ فَهَلَاكٌ لَا يُرْجَى مَعَهُ صَلَاحٌ وَلَا فَلَاحٌ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ. فِي فَوَائِدِ الذِّكْرِ وَإِدَامَتِهِ: لَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا هٰذِهِ الفَائِدَةُ وَحْدَهَا لَكَفَتْ. فَمَنْ نَسِيَ اللهَ تَعَالَى أَنْسَاهُ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَنَسِيَهُ فِي العَذَابِ يَوْمَ القِيَامَةِ. قَالَ تَعَالَى: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى﴾ [طه: ١٢٤-١٢٦]. أَيْ: تُنْسَى فِي العَذَابِ كَمَا نَسِيتَ آيَاتِي فَلَمْ تَذْكُرْهَا وَلَمْ تَعْمَلْ بِهَا. Maka sudah sepantasnya seorang hamba menempatkan dzikir pada posisi yang sangat penting, bahkan lebih tinggi lagi. Sebab, kerusakan hati dan ruh jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan tubuh. Rusaknya tubuh adalah sesuatu yang pasti, namun sering kali setelah itu datang perbaikan. Adapun rusaknya hati dan ruh, itu adalah kerusakan yang tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki dan tidak membawa keberuntungan sedikit pun. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Dalam faedah dzikir yang terus-menerus, seandainya hanya ada satu manfaat ini saja, sebenarnya sudah cukup: barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri di dunia, dan pada Hari Kiamat Allah pun akan melupakannya di dalam azab. Allah ﷻ berfirman: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى ۝ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ۝ قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata: Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Allah berfirman: Demikianlah, ayat-ayat Kami telah datang kepadamu, lalu kamu melupakannya; maka pada hari ini kamu pun dilupakan (diabaikan dalam azab).” (QS. Ṭāhā [20]: 124–126). Yakni, seseorang akan ditinggalkan di dalam azab, sebagaimana dahulu ia melupakan ayat-ayat Allah, tidak mengingatnya, dan tidak mengamalkannya. وَإِعْرَاضُهُ عَنْ ذِكْرِهِ يَتَنَاوَلُ إِعْرَاضَهُ عَنِ الذِّكْرِ الَّذِي أَنْزَلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَذْكُرَ الَّذِي أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ المُرَادُ بِتَنَاوُلِ إِعْرَاضِهِ عَنْ أَنْ يَذْكُرَ رَبَّهُ بِكِتَابِهِ وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ وَآلَائِهِ وَنِعَمِهِ. فَإِنَّ هٰذِهِ كُلَّهَا تَوَابِعُ إِعْرَاضِهِ عَنْ كِتَابِ رَبِّهِ تَعَالَى. فَإِنَّ الذِّكْرَ فِي الآيَةِ إِمَّا مَصْدَرٌ مُضَافٌ إِلَى الفَاعِلِ، أَوْ مُضَافٌ إِضَافَةَ الأَسْمَاءِ المَحْضَةِ. أَعْرَضَ عَنْ كِتَابِي وَلَمْ يَتْلُهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ وَلَا فَهِمَهُ، فَإِنَّ حَيَاتَهُ وَمَعِيشَتَهُ لَا تَكُونُ إِلَّا مُضَيَّقَةً عَلَيْهِ مُنَكَّدَةً مُعَذَّبًا فِيهَا. Berpaling dari dzikir mencakup juga berpaling dari dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Qur’an. Maksudnya, ia berpaling dari mengingat Allah dengan Kitab-Nya, dengan nama-nama dan sifat-Nya, dengan perintah-perintah-Nya, serta dengan nikmat dan karunia-Nya. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada sikap berpaling dari Kitab Allah ﷻ. Kata dzikir dalam ayat bisa dipahami sebagai mashdar yang disandarkan kepada pelakunya, atau sebagai isim yang bermakna Kitab (Al-Qur’an). Artinya, ia berpaling dari Kitab-Ku: tidak membacanya, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkannya, dan tidak berusaha memahaminya. Maka kehidupannya pun tidak akan pernah lapang; justru sempit, penuh kesulitan, dan sengsara. وَالدُّنْكُ: الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ وَالبَلَاءُ. وَوَصْفُ المَعِيشَةِ نَفْسِهَا بِالدُّنْكِ مُبَالَغَةٌ. وَفُسِّرَتْ هٰذِهِ المَعِيشَةُ بِعَذَابِ البَرْزَخِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَعِيشَتَهُ فِي الدُّنْيَا وَحَالَهُ فِي البَرْزَخِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي دُنْكٍ فِي الدَّارَيْنِ، وَهُوَ شِدَّةٌ وَجَهْدٌ وَضِيقٌ. وَفِي الآخِرَةِ تُنْسَى فِي العَذَابِ. Kata “dhanka” dalam ayat berarti kesempitan, kesulitan, dan ujian yang berat. Allah bahkan menyifati kehidupan itu sendiri sebagai ḍank, sebuah bentuk penekanan yang kuat. Sebagian ahli tafsir menafsirkannya sebagai azab kubur, namun pendapat yang benar: ia mencakup kehidupan di dunia sekaligus di alam barzakh. Hidupnya akan sempit di dua alam tersebut—penuh dengan kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan. Sedangkan di akhirat, ia akan dibiarkan (dilupakan) di dalam azab. وَهٰذَا عَكْسُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالفَلَاحِ، فَإِنَّ حَيَاتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ الحَيَاةِ، وَلَهُمْ فِي البَرْزَخِ وَفِي الآخِرَةِ أَفْضَلُ الثَّوَابِ. قَالَ تَعَالَى: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾ فَهٰذَا فِي الدُّنْيَا. ثُمَّ قَالَ: ﴿وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ فَهٰذَا فِي البَرْزَخِ وَالآخِرَةِ. Keadaan ini berbanding terbalik dengan nasib orang-orang yang berbahagia. Hidup mereka di dunia adalah kehidupan yang paling baik, kemudian di alam barzakh dan akhirat kelak mereka mendapatkan pahala terbaik. Allah ﷻ berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً “Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini berbicara tentang kehidupan di dunia. Kemudian Allah berfirman: وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini mencakup pahala di alam barzakh dan di akhirat. وَقَالَ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} فَهَذَا فِي الْآخِرَةِ. وَقَالَ تَعَالَى: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ مَوَاضِعَ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا أَنَّهُ يُجْزِي الْمُحْسِنَ بِإِحْسَانِهِ جَزَاءَيْنِ: جَزَاءً فِي الدُّنْيَا، وَجَزَاءً فِي الْآخِرَةِ. فَالْإِحْسَانُ لَهُ جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ، وَالْإِسَاءَةُ لَهَا جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا يُجَازِي بِهِ الْمُحْسِنَ مِنِ انْشِرَاحِ صَدْرِهِ وَانْفِسَاحِ قَلْبِهِ وَسُرُورِهِ وَلَذَّتِهِ بِمُعَامَلَةِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَطَاعَتِهِ وَذِكْرِهِ وَنَعِيمِ رُوحِهِ بِمَحَبَّتِهِ وَذِكْرِهِ وَفَرَحِهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْظَمُ مِمَّا يَفْرَحُ الْقَرِيبُ مِنَ السُّلْطَانِ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ بِسُلْطَانِهِ. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ وَتَشَتُّتِهِ وَظُلْمَتِهِ وَحَزَازَاتِهِ وَغَمِّهِ وَهَمِّهِ وَحُزْنِهِ وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ. Allah Ta‘ālā berfirman: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami tempatkan mereka di dunia ini pada tempat yang baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. An-Naḥl [16]: 41) Dan Allah Ta‘ālā juga berfirman: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} “Dan hendaklah kamu memohon ampun kepada Tuhanmu lalu bertobat kepada-Nya, niscaya Dia memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada setiap orang yang memiliki keutamaan, keutamaannya (balasan yang layak baginya).” (QS. Hūd [11]: 3) Kemudian Allah berfirman lagi: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (akan mendapat) kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberi pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) Dalam empat ayat ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan bahwa setiap kebaikan (iḥsān) akan dibalas dua kali: 1. Balasan di dunia, berupa kemuliaan, kelapangan hidup, dan ketenangan jiwa. 2. Balasan di akhirat, berupa pahala yang jauh lebih besar dan kekal. Maka, kebaikan pasti memiliki ganjaran yang segera, sebagaimana keburukan pun pasti menimbulkan akibat buruk yang cepat pula. Kalaupun tidak tampak secara lahiriah, balasan bagi orang yang berbuat baik sudah hadir dalam kelapangan dadanya, ketenangan hatinya, kegembiraan dan kenikmatan ruhnya saat ia berinteraksi dengan Tuhannya, menaati perintah-Nya, dan berdzikir mengingat-Nya. Nikmat ruhani semacam ini jauh lebih agung daripada kegembiraan seorang pejabat yang dekat dengan penguasa. Sebaliknya, orang yang berbuat maksiat akan merasakan penyempitan dada, kekerasan hati, kebingungan, kegelapan batin, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup pasti menyadari hal ini. Sesungguhnya, berbagai kesedihan, kecemasan, dan kegelisahan itu merupakan bentuk hukuman (ʿuqūbah) yang Allah timpakan di dunia sebelum azab di akhirat. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ، وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ، وَتَشَتُّتِهِ، وَظُلْمَتِهِ، وَحَزَازَاتِهِ، وَغَمِّهِ، وَهَمِّهِ، وَحُزْنِهِ، وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ عَاجِلَةٌ، وَنَارٌ دُنْيَوِيَّةٌ، وَجَهَنَّمُ حَاضِرَةٌ. Balasan yang diterima oleh orang yang berbuat dosa adalah penyempitan dada, kekerasan hati, kegelapan jiwa, kebingungan, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup dan nurani yang peka tentu tidak akan meragukan hal ini. Sesungguhnya rasa gelisah, gundah, sedih, dan sempit dada merupakan hukuman yang datang lebih cepat, semacam api neraka duniawi dan Jahannam yang hadir di hati sebelum azab akhirat menimpa. وَالْإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِنَابَةُ إِلَيْهِ، وَالرِّضَا بِهِ وَعَنْهُ، وَامْتِلَاءُ الْقَلْبِ مِنْ مَحَبَّتِهِ، وَاللَّهْجُ بِذِكْرِهِ، وَالْفَرَحُ وَالسُّرُورُ بِمَعْرِفَتِهِ، ثَوَابٌ عَاجِلٌ، وَجَنَّةٌ، وَعَيْشٌ لَا نِسْبَةَ لِعَيْشِ الْمُلُوكِ إِلَيْهِ الْبَتَّةَ. Sebaliknya, menghadap kepada Allah, kembali bertobat kepada-Nya, merasa ridha dengan-Nya dan terhadap takdir-Nya, penuh cinta kepada-Nya, senang berdzikir mengingat-Nya, serta bergembira karena mengenal-Nya, semuanya merupakan balasan langsung di dunia, surga yang hadir di hati, dan kenikmatan hidup yang tiada bandingnya dibanding kehidupan para raja sekalipun. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ يَقُولُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِ. وَقَالَ لِي مَرَّةً: مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِي بِي؟ أَنَا جَنَّتِي وَبُسْتَانِي فِي صَدْرِي، إِنْ رُحْتُ فَهِيَ مَعِي لَا تُفَارِقُنِي، إِنْ حَبْسِي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِي شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِي مِنْ بَلَدِي سِيَاحَةٌ. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: Aku pernah mendengar Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah – semoga Allah menyucikan ruhnya – berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga; siapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.” Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku? Surga dan taman hatiku ada di dalam dadaku. Ke mana pun aku pergi, surga itu selalu bersamaku, tidak akan meninggalkanku. Jika aku dipenjara, maka itu adalah kesempatan untuk menyendiri bersama Allah. Jika aku dibunuh, maka itu adalah syahid. Jika aku diusir dari negeriku, maka itu adalah perjalanan spiritual (siyāḥah).” وَكَانَ يَقُولُ فِي مَحْبَسِهِ فِي الْقَلْعَةِ: لَوْ بُذِلَ مِلْءُ هَذِهِ الْقَاعَةِ ذَهَبًا مَا عَدَلَ عِنْدِي شُكْرَ هَذِهِ النِّعْمَةِ. أَوْ قَالَ: مَا جَزَيْتُهُمْ عَلَى مَا تَسَبَّبُوا لِي فِيهِ مِنَ الْخَيْرِ، وَنَحْوَ هَذَا. Ketika beliau berada di dalam penjara benteng (Qal‘ah Dimasyq), beliau sering berkata: “Seandainya memenuhi seluruh ruangan ini dengan emas, itu belum cukup untuk menandingi rasa syukurku atas nikmat ini.” Atau beliau berkata, “Aku belum mampu membalas mereka yang telah menyebabkan kebaikan besar bagiku melalui peristiwa ini.” وَكَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ مَحْبُوسٌ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. مَا شَاءَ اللَّهُ، وَقَالَ لِي مَرَّةً: الْمَحْبُوسُ مَنْ حَبَسَ قَلْبَهُ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى، وَالْمَأْسُورُ مَنْ أَسَرَهُ هَوَاهُ. Beliau juga biasa berdoa dalam sujudnya saat di penjara: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.” Lalu beliau berkata kepadaku: “Orang yang benar-benar terpenjara adalah siapa pun yang hatinya terhalang dari Rabb-nya. Dan orang yang sesungguhnya menjadi tawanan adalah yang diperbudak oleh hawa nafsunya.” وَلَمَّا دَخَلَ إِلَى الْقَلْعَةِ، وَصَارَ دَاخِلَ سُورِهَا، نَظَرَ إِلَيْهَا وَقَالَ: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} وَعَلِمَ اللَّهُ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَطْيَبَ عَيْشًا مِنْهُ قَطُّ، مَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنْ ضِيقِ الْعَيْشِ، وَخِلَافِ الرَّفَاهِيَةِ وَالنَّعِيمِ، بَلْ ضِدِّهَا، وَمَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنَ الْحَبْسِ، وَالتَّهْدِيدِ، وَالْإِرْهَاقِ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مِنْ أَطْيَبِ النَّاسِ عَيْشًا، وَأَشْرَحِهِمْ صَدْرًا، وَأَقْوَاهُمْ قَلْبًا، وَأَسَرِّهِمْ نَفْسًا، تَلُوحُ نَضْرَةُ النَّعِيمِ عَلَى وَجْهِهِ. Ketika Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah memasuki benteng penjara (Qal‘ah Dimasyq) dan berada di dalam temboknya, beliau memandang ke sekeliling lalu membaca firman Allah: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} “Lalu diletakkanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu; di bagian dalamnya ada rahmat, sedangkan di bagian luarnya dari arah mereka ada azab.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 13) Aku bersaksi kepada Allah, aku belum pernah melihat seseorang yang kehidupannya lebih bahagia daripada beliau — padahal secara lahir beliau hidup dalam kesempitan, jauh dari kemewahan dan kenikmatan, bahkan berada dalam kondisi berlawanan: terpenjara, diancam, dan disiksa. Namun, beliau termasuk manusia yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, dan paling tenang jiwanya. Wajahnya memancarkan nadhrah an-na‘īm (cahaya kenikmatan). وَكُنَّا إِذَا اشْتَدَّ بِنَا الْخَوْفُ، وَسَاءَتْ مِنَّا الظُّنُونُ، وَضَاقَتْ بِنَا الْأَرْضُ، أَتَيْنَاهُ، فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ نَرَاهُ وَنَسْمَعَ كَلَامَهُ، فَيَذْهَبَ ذَلِكَ كُلُّهُ، وَيَنْقَلِبَ انْشِرَاحًا، وَقُوَّةً، وَيَقِينًا، وَطُمَأْنِينَةً. فَسُبْحَانَ مَنْ أَشْهَدَ عِبَادَهُ جَنَّتَهُ قَبْلَ لِقَائِهِ، وَفَتَحَ لَهُمْ أَبْوَابَهَا فِي دَارِ الْعَمَلِ، فَآتَاهُمْ مِنْ رُوحِهَا وَنَسِيمِهَا وَطِيبِهَا مَا اسْتَفْرَغَ قُوَاهُمْ لِطَلَبِهَا وَالْمُسَابَقَةِ إِلَيْهَا. Setiap kali kami diliputi ketakutan, buruk sangka, dan sempit dada, kami mendatangi beliau. Begitu melihat wajahnya dan mendengar ucapannya, semua kegelisahan itu sirna — berganti dengan kelapangan, kekuatan, keyakinan, dan ketenangan. Maha Suci Allah yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian surga-Nya sebelum perjumpaan dengan-Nya. Dia telah membuka bagi mereka pintu-pintu surga itu di dunia tempat beramal, lalu menghembuskan kepada mereka sebagian dari ruh, semerbak, dan keharumannya, hingga seluruh tenaga mereka tercurahkan untuk mencarinya dan berlomba meraihnya. وَكَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَقُولُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ، لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ. Sebagian orang ‘arif berkata: “Seandainya para raja dan putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan memeranginya dengan pedang.” وَقَالَ آخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلِ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَذِكْرُهُ. أَوْ نَحْوُ هَذَا. Yang lain berkata: “Kasihan orang-orang dunia! Mereka keluar dari dunia tanpa sempat merasakan hal paling lezat di dalamnya.” Ditanya kepadanya, “Apa yang paling lezat di dunia?” Ia menjawab, “Cinta kepada Allah, mengenal-Nya, dan berdzikir kepada-Nya.” وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِالْقَلْبِ أَوْقَاتٌ يَرْقُصُ فِيهَا طَرَبًا. وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِي أَوْقَاتٌ، أَقُولُ: إِنْ كَانَ أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي مِثْلِ هَذَا، إِنَّهُمْ لَفِي عَيْشٍ طَيِّبٍ. Yang lain berkata: “Terkadang hati ini melewati saat-saat di mana ia menari karena bahagia.” Yang lain lagi berkata: “Ada waktu-waktu tertentu ketika aku berkata: jika penghuni surga merasakan kenikmatan seperti ini, maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang sangat baik.” فَمَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَدَوَامُ ذِكْرِهِ، وَالسُّكُونُ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةُ بِهِ، وَإِفْرَادُهُ بِالْحُبِّ، وَالْخَوْفِ، وَالرَّجَاءِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالْمُعَامَلَةِ، بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ وَحْدَهُ الْمُسْتَوْلِي عَلَى هُمُومِ الْعَبْدِ وَعَزِيمَاتِهِ وَإِرَادَاتِهِ، هِيَ جَنَّةُ الدُّنْيَا، وَالنَّعِيمُ الَّذِي لَا يُشْبِهُهُ نَعِيمٌ، وَهِيَ قُرَّةُ عُيُونِ الْمُحِبِّينَ، وَحَيَاةُ الْعَارِفِينَ. Maka cinta kepada Allah, mengenal-Nya, terus berdzikir kepada-Nya, bersandar dan merasa tenang bersama-Nya, hanya berharap kepada-Nya, serta menjadikan-Nya satu-satunya tujuan cinta, takut, harap, dan tawakal — inilah surga dunia yang tidak bisa ditandingi oleh kenikmatan apa pun. Inilah penyejuk mata para pecinta dan kehidupan sejati bagi orang-orang yang mengenal Allah. وَإِنَّمَا تَقَرُّ عُيُونُ النَّاسِ بِهِ عَلَى حَسَبِ قُرَّةِ أَعْيُنِهِمْ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَنْ قَرَّتْ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، قَرَّتْ بِهِ كُلُّ عَيْنٍ، وَمَنْ لَمْ تَقَرَّ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، تَقَطَّعَتْ نَفْسُهُ عَلَى الدُّنْيَا حَسَرَاتٍ. Ketenangan manusia tergantung pada sejauh mana matanya terpuaskan dengan Allah. Siapa yang hatinya tenteram bersama Allah, maka ia akan tenteram dalam segala hal. Namun, siapa yang tidak tenang bersama Allah, hidupnya akan terpecah oleh penyesalan dunia yang tiada akhir. وَإِنَّمَا يَصْدُقُ هَذَا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَأَمَّا مَيِّتُ الْقَلْبِ، فَيُوحِشُكَ مَا لَهُ ثَمَّ، فَاسْتَأْنِسْ بِغَيْبَتِهِ مَا أَمْكَنَكَ، فَإِنَّكَ لَا يُوحِشُكَ إِلَّا حُضُورُهُ عِنْدَكَ. Yang memahami makna ini hanyalah orang yang hatinya hidup. Adapun hati yang mati, ia akan merasa asing dari kebenaran dan tenang dengan kebatilan. Maka berusahalah merasa nyaman saat jauh dari orang yang demikian, karena sesungguhnya yang membuatmu gelisah hanyalah kehadirannya di dekatmu. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهِ، فَأَعْطِهِ ظَاهِرَكَ، وَتَرَحَّلْ عَنْهُ بِقَلْبِكَ، وَفَارِقْهُ بِسِرِّكَ، وَلَا تُشْغَلْ بِهِ عَمَّا هُوَ أَوْلَى بِكَ. Jika engkau diuji dengan pergaulan seperti itu, berikanlah padanya bagian lahirmu, namun pisahkan hatimu dan rahasiamu darinya. Jangan biarkan dia menghalangimu dari urusan yang lebih utama. وَاعْلَمْ أَنَّ الْحَسْرَةَ كُلَّ الْحَسْرَةِ، الِاشْتِغَالُ بِمَنْ لَا يَجُرُّ عَلَيْكَ الِاشْتِغَالُ بِهِ إِلَّا فَوْتَ نَصِيبِكَ وَحَظِّكَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَانْقِطَاعَكَ عَنْهُ، وَضَيَاعَ وَقْتِكَ، وَضَعْفَ عَزِيمَتِكَ، وَتَفَرُّقَ هَمِّكَ. Ketahuilah, penyesalan yang paling dalam adalah ketika seseorang sibuk dengan sesuatu yang tidak mendatangkan apa pun selain kehilangan bagian dirinya dari Allah, terputus dari-Nya, terbuang waktunya, lemah tekadnya, dan tercerai pikirannya. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهَذَا ـ وَلَا بُدَّ لَكَ مِنْهُ ـ فَعَامِلِ اللَّهَ تَعَالَى فِيهِ، وَاحْتَسِبْ عَلَيْهِ مَا أَمْكَنَكَ، وَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَرْضَاتِهِ فِيهِ، وَاجْعَلِ اجْتِمَاعَكَ بِهِ مَتْجَرًا لَكَ، وَلَا تَجْعَلْهُ خَسَارَةً، وَكُنْ مَعَهُ كَرَجُلٍ سَائِرٍ فِي طَرِيقِهِ عَرَضَ لَهُ رَجُلٌ وَقَفَهُ عَنْ سَيْرِهِ، فَاجْتَهِدْ أَنْ تَأْخُذَهُ مَعَكَ وَتَسِيرَ بِهِ، فَتَحْمِلَهُ وَلَا يَحْمِلُكَ، فَإِنْ أَبَى، وَلَمْ يَكُنْ فِي سَيْرِهِ مَطْمَعٌ، فَلَا تَقِفْ مَعَهُ، بَلِ ارْكَبِ الدَّرْبَ وَدَعْهُ، وَلَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَإِنَّهُ قَاطِعُ الطَّرِيقِ، وَلَوْ كَانَ مَنْ كَانَ، فَانْجُ بِقَلْبِكَ، وَاضْنَنْ بِيَوْمِكَ وَلَيْلَتِكَ، لَا تَغْرُبْ عَلَيْكَ الشَّمْسُ قَبْلَ وُصُولِ الْمَنْزِلَةِ، فَتُؤْخَذَ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ أَنَّى لَكَ بِلِقَائِهِمْ. Apabila engkau harus berinteraksi dengan orang semacam itu, maka niatkan karena Allah. Bersabarlah dan jadikan interaksi itu sebagai ladang pahala, bukan kerugian. Bersikaplah seperti seorang musafir yang dalam perjalanan bertemu seseorang yang mencoba menghentikannya. Usahakan untuk mengajaknya berjalan bersama, bukan sebaliknya. Jika ia menolak, jangan berhenti bersamanya — teruslah berjalan di jalanmu, jangan menoleh ke belakang. Ia hanyalah perampok jalanmu, siapa pun dia. Selamatkan hatimu, jagalah waktu siang dan malammu. Jangan biarkan matahari terbenam sebelum engkau mencapai tujuan, atau fajar menyingsing sementara engkau masih tertahan — karena entah kapan lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang telah sampai ke sana.   [الخامسة والثلاثون] أَنَّ الذِّكْرَ يَسِيرُ العَبْدُ وَهُوَ فِي فِرَاشِهِ، وَفِي سُوقِهِ، وَفِي حَالِ صِحَّتِهِ وَسَقَمِهِ، وَفِي حَالِ نَعِيمِهِ وَلَذَّتِهِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَعُمُّ الأَوْقَاتَ وَالأَحْوَالَ مِثْلَهُ، حَتَّى يَسِيرَ العَبْدُ وَهُوَ نَائِمٌ عَلَى فِرَاشِهِ فَيَسْبِقَ القَائِمَ مَعَ الغَفْلَةِ، فَيُصْبِحَ هَذَا وَقَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَيُصْبِحَ ذَاكَ الغَافِلُ فِي سَاقَةِ الرَّكْبِ، وَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. وَحُكِيَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ العُبَّادِ أَنَّهُ نَزَلَ بِرَجُلٍ ضَيْفًا، فَقَامَ العَابِدُ لَيْلَهُ يُصَلِّي، وَذَلِكَ الرَّجُلُ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحَا قَالَ لَهُ العَابِدُ: سَبَقَكَ الرَّكْبُ، أَوْ كَمَا قَالَ. فَقَالَ: لَيْسَ الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ مُسَافِرًا وَأَصْبَحَ مَعَ الرَّكْبِ، الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ وَأَصْبَحَ قَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ. Ketiga puluh lima, dzikir membuat seorang hamba tetap berjalan menuju Allah meskipun ia berada di atas tempat tidurnya, di pasar, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam kondisi menikmati nikmat atau kesenangan. Tidak ada amalan yang bisa mencakup seluruh waktu dan keadaan seperti dzikir. Bahkan, terkadang seorang hamba yang sedang berbaring di tempat tidurnya tetap melangkah maju dengan dzikirnya, melewati orang yang sedang berdiri dalam keadaan lalai. Maka ketika pagi datang, yang berzikir itu telah menempuh perjalanan jauh (menuju Allah) sementara ia masih berbaring, sedangkan yang lalai itu tertinggal jauh di belakang rombongan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dikisahkan dari seorang ahli ibadah bahwa ia singgah di rumah seorang lelaki sebagai tamu. Pada malam harinya, si ahli ibadah bangun untuk salat malam, sementara tuan rumahnya tetap berbaring di tempat tidurnya. Ketika pagi tiba, sang ahli ibadah berkata kepadanya, “Rombongan telah mendahuluimu (dalam perjalanan menuju Allah).” Namun si tuan rumah menjawab, “Bukan itu persoalannya. Bukan tentang siapa yang bermalam dalam perjalanan lalu pagi hari sudah bersama rombongan. Yang penting adalah siapa yang bermalam di tempat tidurnya, namun ketika pagi telah melampaui rombongan.” وَهَذَا وَنَحْوُهُ لَهُ مَحْمَلٌ صَحِيحٌ وَمَحْمَلٌ فَاسِدٌ، فَمَنْ حَكَمَ عَلَى أَنَّ الرَّاقِدَ المُضْطَجِعَ عَلَى فِرَاشِهِ يَسْبِقُ القَائِمَ القَانِتَ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنَّمَا مَحْمَلُهُ أَنَّ هَذَا المُسْتَلْقِيَ عَلَى فِرَاشِهِ عَلِقَ بِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَلْصَقَ حَبَّ قَلْبِهِ بِالعَرْشِ، وَبَاتَ قَلْبُهُ يَطُوفُ حَوْلَ العَرْشِ مَعَ المَلَائِكَةِ، قَدْ غَابَ عَنِ الدُّنْيَا وَمَنْ فِيهَا، وَقَدْ عَاقَهُ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ عَائِقٌ مِنْ وَجَعٍ أَوْ بَرْدٍ يَمْنَعُهُ القِيَامَ، أَوْ خَوْفٌ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ رُؤْيَةِ عَدُوٍّ يَطْلُبُهُ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الأَعْذَارِ، فَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَفِي قَلْبِهِ مَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَلِيمٌ. وَآخَرُ قَائِمٌ يُصَلِّي وَيَتْلُو، وَفِي قَلْبِهِ مِنَ الرِّيَاءِ وَالعُجْبِ وَطَلَبِ الجَاهِ وَالمَحْمَدَةِ عِنْدَ النَّاسِ مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ، أَوْ قَلْبُهُ فِي وَادٍ وَجِسْمُهُ فِي وَادٍ. فَلَا رَيْبَ أَنَّ ذَلِكَ الرَّاقِدَ يُصْبِحُ وَقَدْ سَبَقَ هَذَا القَائِمَ بِمَرَاحِلَ كَثِيرَةٍ، فَالعَمَلُ عَلَى القُلُوبِ لَا عَلَى الأَبْدَانِ، وَالمُعَوَّلُ عَلَى السَّاكِنِ، وَيُهَيِّجُ الحُبَّ المُتَوَارِيَ، وَيَبْعَثُ الطَّلَبَ المَيِّتَ. Perkataan seperti ini memiliki dua kemungkinan makna: makna yang benar dan makna yang keliru. Jika seseorang memahami bahwa orang yang berbaring di tempat tidurnya bisa mengalahkan orang yang bangun untuk beribadah dan salat malam tanpa alasan apa pun, maka pemahaman itu batil (keliru). Namun, makna yang benar adalah bahwa orang yang sedang berbaring itu hatinya terikat kuat dengan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, ia menempelkan cinta hatinya kepada ‘Arsy, dan hatinya berkeliling di sekitar ‘Arsy bersama para malaikat, sementara dirinya telah terlupa dari dunia dan segala isinya. Ia tertahan untuk bangun malam bukan karena malas, melainkan karena ada penghalang seperti sakit, cuaca dingin yang berat, rasa takut dari musuh yang mengincar, atau uzur lain yang benar-benar menghalanginya. Maka ia tetap berbaring di atas tempat tidurnya, namun hatinya dalam keadaan yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahuinya. Sedangkan orang lain berdiri salat dan membaca Al-Qur’an, tetapi dalam hatinya terdapat riya’, rasa bangga diri, mencari kedudukan, atau ingin dipuji manusia. Bisa jadi pula hatinya berada di satu tempat, sementara tubuhnya di tempat lain. Maka tidak diragukan lagi, orang yang berbaring namun hatinya hidup bersama Allah akan mendahului orang yang bangun malam dengan hati yang lalai dalam banyak tingkatan. Sebab, amal dinilai dari hati, bukan dari gerak tubuh. Yang menjadi ukuran adalah kehidupan batin yang diam namun menyala oleh cinta dan keikhlasan, karena ia mampu membangkitkan kembali cinta yang tersembunyi dan menghidupkan semangat ibadah yang hampir mati. [الذِّكْرُ وَحَقِيقَةُ النُّورِ الإِلَهِيِّ] (السَّادِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ) أَنَّ الذِّكْرَ نُورٌ لِلذَّاكِرِ فِي الدُّنْيَا، وَنُورٌ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنُورٌ لَهُ فِي مَعَادِهِ يَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ، فَمَا اسْتَنَارَتِ القُلُوبُ وَالقُبُورُ بِمِثْلِ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}. فَالأَوَّلُ هُوَ المُؤْمِنُ، اسْتَنَارَ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَحَبَّتِهِ وَمَعْرِفَتِهِ وَذِكْرِهِ، وَالآخَرُ هُوَ الغَافِلُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، المُعْرِضُ عَنْ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ. وَالشَّأْنُ كُلُّ الشَّأْنِ، وَالفَلَاحُ كُلُّ الفَلَاحِ فِي النُّورِ، وَالشَّقَاءُ كُلُّ الشَّقَاءِ فِي فَوَاتِهِ. وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَالِغُ فِي سُؤَالِ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حِينَ يَسْأَلُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي لَحْمِهِ وَعِظَامِهِ وَعَصَبِهِ وَشَعْرِهِ وَبَشَرِهِ وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ، وَمِنْ فَوْقِهِ وَمِنْ تَحْتِهِ، وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، وَخَلْفِهِ وَأَمَامِهِ، حَتَّى يَقُولَ: وَاجْعَلْنِي نُورًا. فَسَأَلَ رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يَجْعَلَ النُّورَ فِي ذَرَّاتِهِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَهُ مُحِيطًا بِهِ مِنْ جَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَأَنْ يَجْعَلَ ذَاتَهُ وَجُمْلَتَهُ نُورًا. فَدِينُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نُورٌ، وَكِتَابُهُ نُورٌ، وَرَسُولُهُ نُورٌ، وَدَارُهُ الَّتِي أَعَدَّهَا لِأَوْلِيَائِهِ نُورٌ يَتَلَأْلَأُ، وَهُوَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، وَمِنْ أَسْمَائِهِ النُّورُ، وَأَشْرَقَتِ الظُّلُمَاتُ لِنُورِ وَجْهِهِ. Ketiga puluh enam, [Dzikir dan Hakikat Cahaya Ilahi] Dzikir merupakan cahaya bagi orang yang berdzikir — cahaya baginya di dunia, cahaya baginya di dalam kuburnya, dan cahaya baginya di akhirat yang berjalan di hadapannya di atas shirath (jembatan akhirat). Tidak ada sesuatu pun yang mampu menerangi hati dan kubur sebagaimana zikir kepada Allah Ta‘ala. Allah Ta‘ala berfirman: “Apakah orang yang sebelumnya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan dan tidak dapat keluar darinya?” (QS. Al-An‘ām: 122) Yang pertama adalah seorang mukmin, yang dihidupkan dan diterangi oleh iman kepada Allah, cinta kepada-Nya, pengetahuan tentang-Nya, serta zikir kepada-Nya. Adapun yang kedua adalah orang yang lalai dari Allah Ta‘ala, berpaling dari zikir dan cinta kepada-Nya. Maka, seluruh keberuntungan bergantung pada cahaya itu, dan segala bentuk kesengsaraan bersumber dari hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Rabbnya — Tabāraka wa Ta‘ālā — memohon agar Allah menjadikan cahaya itu menyatu dalam seluruh bagian tubuhnya: dalam daging, tulang, urat, rambut, kulit, pendengaran, dan penglihatannya, dari atas dan bawah, dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang; hingga beliau berdoa: “Dan jadikanlah aku cahaya.” Beliau memohon agar cahaya itu memenuhi seluruh zarrah (bagian kecil) dalam dirinya, baik yang lahir maupun batin, mengelilinginya dari segala arah, bahkan menjadikan seluruh dirinya cahaya. Sebab, agama Allah adalah cahaya, Kitab-Nya adalah cahaya, Rasul-Nya adalah cahaya, dan surga-Nya — tempat yang disiapkan untuk para kekasih-Nya — adalah cahaya yang berkilauan. Sedangkan Dia sendiri, Tabāraka wa Ta‘ālā, adalah Cahaya langit dan bumi. Salah satu nama-Nya adalah An-Nūr (Yang Maha Cahaya), dan seluruh kegelapan akan sirna oleh pancaran cahaya wajah-Nya. [السَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ رَأْسُ الْأُصُولِ، وَطَرِيقُ عَامَّةِ الطَّائِفَةِ، وَمَنْشُورُ الْوِلَايَةِ، فَمَنْ فُتِحَ لَهُ فِيهِ، فَقَدْ فُتِحَ لَهُ بَابُ الدُّخُولِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَلْيَتَطَهَّرْ وَلْيَدْخُلْ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَجِدْ عِنْدَهُ كُلَّ مَا يُرِيدُ، فَإِنْ وَجَدَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَجَدَ كُلَّ شَيْءٍ، وَإِنْ فَاتَهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَاتَهُ كُلُّ شَيْءٍ.   Ketiga puluh tujuh, Dzikir merupakan pokok dari segala pokok, jalan utama bagi kebanyakan orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, dan merupakan tanda (pengumuman) kedekatan seorang hamba dengan-Nya. Barang siapa dibukakan hatinya untuk istiqamah dalam dzikir, maka sesungguhnya telah dibukakan baginya pintu untuk masuk mendekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia mensucikan diri—lahir dan batin—lalu masuk menghadap Rabb-nya. Di sisi Allah, ia akan mendapati segala yang diinginkan. Sebab, siapa yang menemukan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, berarti ia telah mendapatkan segalanya. Namun siapa yang kehilangan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, sungguh ia telah kehilangan segalanya. [الثَّامِنَةُ وَالثَّلَاثُونَ] فِي الْقَلْبِ خَلَّةٌ وَفَاقَةٌ لَا يَسُدُّهَا شَيْءٌ أَلْبَتَّةَ إِلَّا ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا صَارَ شِعَارَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ الذَّاكِرَ بِطَرِيقِ الْأَصَالَةِ، وَاللِّسَانُ تَابِعٌ لَهُ، فَهَذَا هُوَ الذِّكْرُ الَّذِي يَسُدُّ الْخَلَّةَ وَيُفْنِي الْفَاقَةَ، فَيَكُونُ صَاحِبُهُ غَنِيًّا بِلَا مَالٍ، عَزِيزًا بِلَا عَشِيرَةٍ، مَهِيبًا بِلَا سُلْطَانٍ. فَإِذَا كَانَ غَافِلًا عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ بِضِدِّ ذَلِكَ: فَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ جِدَّتِهِ، ذَلِيلٌ مَعَ سُلْطَانِهِ، حَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ عَشِيرَتِهِ. Ketiga puluh delapan, Dalam hati manusia terdapat kekosongan dan kebutuhan mendalam yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh apa pun selain dengan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila dzikir telah menjadi kebiasaan hati—hingga hati itu sendiri yang benar-benar berdzikir secara hakiki, sementara lisan hanya menjadi pengikutnya—maka inilah dzikir yang mampu mengisi kekosongan itu dan menghapus segala rasa kekurangan. Orang yang demikian akan merasa kaya tanpa harta, mulia tanpa keluarga besar, dan disegani tanpa kekuasaan. Sebaliknya, jika seseorang lalai dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia akan merasakan kebalikannya: miskin meski banyak hartanya, hina meski memiliki kekuasaan, dan rendah meski memiliki banyak pengikut dan kerabat. [التَّاسِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يَجْمَعُ الْمُتَفَرِّقَ، وَيُفَرِّقُ الْمُجْتَمِعَ، وَيُقَرِّبُ الْبَعِيدَ، وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ. فَيَجْمَعُ مَا تَفَرَّقَ عَلَى الْعَبْدِ مِنْ قَلْبِهِ وَإِرَادَتِهِ وَهُمُومِهِ وَعَزَائِمِهِ، وَالْعَذَابُ كُلُّ الْعَذَابِ فِي تَفَرُّقِهَا وَتَشَتُّتِهَا عَلَيْهِ وَانْفِرَاطِهَا لَهُ، وَالْحَيَاةُ وَالنَّعِيمُ فِي اجْتِمَاعِ قَلْبِهِ وَهَمِّهِ وَعَزْمِهِ وَإِرَادَتِهِ. وَيُفَرِّقُ مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَالْحَسَرَاتِ عَلَى فَوْتِ حُظُوظِهِ وَمَطَالِبِهِ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنْ ذُنُوبِهِ وَخَطَايَاهُ وَأَوْزَارِهِ، حَتَّى تَتَسَاقَطَ عَنْهُ وَتَتَلَاشَى وَتَضْمَحِلَّ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَى حَرْبِهِ مِنْ جُنْدِ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَزَالُ يَبْعَثُ لَهُ سَرِيَّةً، وَكُلَّمَا كَانَ أَقْوَى طَلَبًا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَمْثَلَ تَعَلُّقًا بِهِ وَإِرَادَةً لَهُ، كَانَتِ السَّرِيَّةُ أَكْثَفَ وَأَكْثَرَ وَأَعْظَمَ شَوْكَةً، بِحَسَبِ مَا عِنْدَ الْعَبْدِ مِنْ مَوَادِّ الْخَيْرِ وَالْإِرَادَةِ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى تَفْرِيقِ هَذَا الْجَمْعِ إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. وَأَمَّا تَقْرِيبُهُ الْبَعِيدَ فَإِنَّهُ يُقَرِّبُ إِلَيْهِ الْآخِرَةَ الَّتِي يُبْعِدُهَا مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَالْأَمَلُ، فَلَا يَزَالُ يَلْهَجُ بِالذِّكْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ قَدْ دَخَلَهَا وَحَضَرَهَا، فَحِينَئِذٍ تَصْغُرُ فِي عَيْنِهِ الدُّنْيَا، وَتَعْظُمُ فِي قَلْبِهِ الْآخِرَةُ. وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ إِلَيْهِ، وَهِيَ الدُّنْيَا الَّتِي هِيَ أَدْنَى إِلَيْهِ مِنَ الْآخِرَةِ، فَإِنَّ الْآخِرَةَ مَتَى قَرُبَتْ مِنْ قَلْبِهِ بَعُدَتْ مِنْهُ الدُّنْيَا، كُلَّمَا قَرُبَتْ مِنْهُ هَذِهِ مَرْحَلَةً بَعُدَتْ مِنْهُ تِلْكَ مَرْحَلَةً، وَلَا سَبِيلَ إِلَى هَذَا إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. Ketiga puluh sembilan, Dzikir memiliki kekuatan yang menakjubkan: ia mengumpulkan yang tercerai-berai dan memisahkan yang berhimpun; mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Dzikir mengumpulkan kembali apa pun yang tercerai dalam diri seseorang—hatinya, kehendaknya, pikirannya, dan tekadnya. Sungguh, penderitaan terbesar adalah ketika semua itu tercerai dan tidak terarah; sedangkan kebahagiaan sejati terletak pada bersatunya hati, kehendak, niat, dan tekad seseorang dalam satu tujuan, yaitu menuju Allah. Dzikir juga memisahkan apa yang berkumpul dari tumpukan kesedihan, kegelisahan, dan penyesalan atas hilangnya berbagai keinginan dan kesenangan dunia. Ia memisahkan pula dosa-dosa, kesalahan, dan beban maksiat yang menumpuk di diri seseorang—hingga dosa-dosa itu berjatuhan, lenyap, dan sirna. Dzikir juga memecah barisan pasukan setan yang bersatu untuk memerangi seorang hamba. Setan tak henti mengirimkan bala tentaranya untuk menggoda, dan semakin kuat keinginan seorang hamba untuk mencari Allah, semakin banyak dan besar pula serangan pasukan setan terhadapnya—sesuai dengan kadar kebaikan dan tekad yang ada pada dirinya. Dan tidak ada cara untuk memecah barisan pasukan itu kecuali dengan zikir yang terus-menerus. Adapun dzikir disebut “mendekatkan yang jauh”, karena ia mendekatkan akhirat yang berusaha dijauhkan dari hati oleh setan dan angan-angan duniawi. Ketika lidah seseorang terus melantunkan dzikir, seolah-olah ia sudah berada di negeri akhirat dan menyaksikannya secara langsung. Saat itulah dunia terasa kecil di matanya, sedangkan akhirat menjadi agung dalam hatinya. Dzikir juga disebut “menjauhkan yang dekat”, yakni dunia yang selalu berada di hadapan manusia dan menggoda hatinya. Ketika akhirat semakin dekat di hati, dunia pun semakin jauh darinya. Setiap langkah hati yang mendekat kepada akhirat adalah langkah menjauh dari dunia — dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan zikir yang terus-menerus. [الأَرْبَعُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يُنَبِّهُ الْقَلْبَ مِنْ نَوْمِهِ، وَيُوقِظُهُ مِنْ سِنَتِهِ، وَالْقَلْبُ إِذَا كَانَ نَائِمًا فَاتَتْهُ الْأَرْبَاحُ وَالْمَتَاجِرُ، وَكَانَ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الْخُسْرَانُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ وَعَلِمَ مَا فَاتَهُ فِي نَوْمَتِهِ، شَدَّ الْمِئْزَرَ وَأَحْيَا بَقِيَّةَ عُمْرِهِ، وَاسْتَدْرَكَ مَا فَاتَهُ، وَلَا تَحْصُلُ يَقَظَتُهُ إِلَّا بِالذِّكْرِ، فَإِنَّ الْغَفْلَةَ نَوْمٌ ثَقِيلٌ. Keempat puluh, Dzikir adalah pembangun hati yang tertidur dan penggugah dari kelalaiannya. Ketika hati berada dalam keadaan tidur (lalai), ia kehilangan berbagai keuntungan dan kesempatan berharga dalam hidupnya. Sebaliknya, yang mendominasi adalah kerugian dan kehampaan. Namun saat hati itu terjaga dan menyadari apa yang telah ia lewatkan selama dalam kelalaian, ia pun akan segera bersemangat, mengencangkan ikat pinggangnya, memanfaatkan sisa umurnya, dan berusaha menebus apa yang telah terlewat. Kesadaran dan kebangkitan hati semacam ini tidak akan terjadi kecuali dengan dzikir, sebab kelalaian (ghaflah) adalah tidur yang sangat berat bagi hati.   —   Dzikir itu Menenangkan Hati Di antara faedah besar dari dzikir adalah menenangkan hati. Allah Ta‘ālā berfirman: أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28) Dzikir juga menjadi tanda hidupnya hati seseorang. Dalam hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dengan orang yang tidak berdzikir, bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim) Dzikir juga merupakan sarana membersihkan hati. Dalam hadits disebutkan: إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana besi berkarat ketika terkena air.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penghapus karatnya?” Beliau menjawab, “Banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqī)   Hadirkan Hati Ketika Berdzikir Para ulama menegaskan bahwa dzikir terbaik adalah dzikir dengan lisan yang disertai hadirnya hati. Jika hanya lisan yang bergerak sementara hati lalai, maka itu berada pada tingkatan dzikir paling rendah. An-Nafrawī menukil dari al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahwa dzikir ada dua macam: dzikir dengan hati saja, dan dzikir dengan lisan bersama hati. Dzikir dengan hati terbagi dua: Dzikir berupa tadabbur dan tafakkur terhadap kebesaran Allah, keagungan-Nya, tanda-tanda-Nya, dan ciptaan-Nya yang ada di langit maupun bumi. Inilah dzikir yang paling tinggi dan paling agung. Mengingat Allah dengan cara menghadirkan-Nya dalam hati ketika berhadapan dengan perintah dan larangan-Nya. Yang pertama lebih utama daripada yang kedua. Sedangkan yang kedua lebih utama dibandingkan dzikir dengan lisan yang disertai hati. Adapun dzikir dengan lisan saja tanpa hati, itu adalah tingkatan paling rendah, meskipun tetap ada pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits. Dari sini jelas, wahai saudaraku, bahwa dzikir dengan lisan saja sementara hati sibuk dengan hal lain—seperti membicarakan obrolan teman atau berita dunia—maka pelakunya tetap mendapat pahala karena lisannya dipenuhi dzikir kepada Allah Ta‘ālā, tetapi tidak akan menyamai derajat orang yang menggabungkan antara dzikir lisan dan hati sekaligus. Adapun terkait melanjutkan dzikir setelah ada pemutus (terhenti sejenak), hal ini dirinci. Jika dzikir tersebut telah ditentukan jumlahnya dalam syariat, seperti dzikir setelah shalat fardhu, maka tidak mengapa melanjutkannya dari hitungan sebelumnya. Namun jika syariat tidak menentukan jumlahnya, maka menetapkan bilangan tertentu tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada bid‘ah dan membuat-buat dalam agama yang tidak ada tuntunannya.   Makna Dzikir Dzikir memiliki makna yang luas, mencakup dua sisi: a) Makna umum Dzikir dalam makna umum meliputi seluruh bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, memuji Allah, berdoa, bertasbih, bertahmid, mengagungkan Allah, dan berbagai ketaatan lainnya. Semua ibadah itu pada hakikatnya ditegakkan untuk mengingat Allah, menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ، وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ، وَتَعْلِيمِهِ، وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفٍ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ، فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ “Segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan dan dihadirkan oleh hati yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti belajar ilmu, mengajarkannya, amar ma‘ruf, dan nahi munkar, maka itu termasuk dzikir kepada Allah.” b) Makna khusus Dzikir dalam makna khusus adalah menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan lafaz yang bersumber dari Allah—seperti membaca Al-Qur’an—atau lafaz yang datang melalui lisan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya terdapat pengagungan, penyucian, pemuliaan, dan peneguhan tauhid kepada Allah. Makna inilah yang dimaksud dalam sunnah ketika berbicara tentang dzikir. Dzikir yang paling agung adalah membaca Kitab Allah Ta‘ālā. Beribadah dengan membaca Al-Qur’an telah membuat mata para salaf sulit terpejam dan membuat mereka rela meninggalkan tidur nyenyak. Allah berfirman: وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan pada waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. adz-Dzāriyāt: 18) Para salaf mengisi malam mereka dengan membaca Kitab Allah Ta‘ālā dan melantunkan dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka sungguh, alangkah mulianya malam yang dihidupkan oleh mereka dengan ibadah. Sementara kita, betapa besar kerugian kita, betapa banyak kelalaian kita, dan betapa besar keteledoran kita dalam memanfaatkan malam dan waktu sahur! Semoga malam-malam kita selamat dari maksiat kepada Rabb kita, kecuali bagi yang dirahmati Allah Ta‘ālā.   Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Seorang hamba hendaknya bersemangat berdzikir kepada Allah Ta‘ālā dengan hati dan lisannya sekaligus. Inilah keadaan yang paling sempurna. Adapun dzikir hanya dengan lisan saja tanpa kehadiran hati, maka itu termasuk keadaan yang kurang. Sebab, ada sebagian orang yang ketika berdzikir tidak merasakan apa yang ia ucapkan. Lisannya memang bergerak, tetapi hatinya tidak ikut hidup. Seandainya hatinya ikut berdzikir, merenungi maknanya, tentu imannya akan bertambah dan hatinya akan lebih lembut. Wahai saudaraku yang diberkahi Allah, ketahuilah juga bahwa dzikir ditinjau dari tempat atau waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua: dzikir muqayyad dan dzikir mutlak. Dzikir muqayyad adalah dzikir yang dibatasi oleh tempat, waktu, atau keadaan tertentu. Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak dibatasi oleh salah satu dari hal tersebut, melainkan bisa dilakukan kapan saja sepanjang hari. Contohnya, dzikir setelah shalat fardhu, dzikir setelah adzan, atau dzikir lain yang diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pada waktu dan tempat tertentu. Semua dzikir muqayyad ini lebih utama dibandingkan dzikir mutlak, karena di dalamnya ada unsur mengikuti sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika seseorang selesai dari shalat wajib, dzikir yang paling utama baginya adalah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Ia tidak menggantinya dengan dzikir lain, meskipun dzikir itu juga utama, seperti membaca Al-Qur’an. Sebab, demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kebaikan yang sempurna adalah dengan meneladani beliau.   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.   — Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (20/03/2011), direvisi 12 September 2025 di Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com   Baca Juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah Yang Sering Menjadi Pertanyaan Seputar Dzikir Pagi Petang [1] HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691 [2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih [3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Hasan bin Qoid, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, 94-198. Tagsdoa dan dzikir Dzikir dzikir pagi dzikir petang keutamaan dzikir
Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan, namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Ia adalah makanan hati, penyejuk jiwa, dan penghubung seorang hamba dengan Rabb-nya. Para ulama menjelaskan bahwa dalam dzikir terkandung ratusan manfaat yang mampu mengangkat derajat seorang muslim. Karena itu, siapa saja yang ingin hatinya hidup dan dekat dengan Allah ﷻ, hendaknya senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir.   Daftar Isi tutup 1. Lebih dari Seratus Faedah Dzikir 2. Dzikir itu Menenangkan Hati 3. Hadirkan Hati Ketika Berdzikir 4. Makna Dzikir 4.1. a) Makna umum 4.2. b) Makna khusus 5. Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: وَفِي الذِّكْرِ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةِ فَائِدَةٍ Lebih dari Seratus Faedah Dzikir Di antara faedah dzikir yang sangat banyak itu adalah:   (إِحْدَاهَا) أَنَّهُ يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ وَيَقْمَعُهُ وَيَكْسِرُهُ. Pertama, dzikir dapat mengusir setan, melemahkan, dan menghancurkan kekuatannya.   [الثَّانِيَةُ] أَنَّهُ يُرْضِي الرَّحْمٰنَ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua, dzikir mendatangkan keridaan Allah ﷻ.   [الثَّالِثَةُ] أَنَّهُ يُزِيلُ الهَمَّ وَالغَمَّ عَنِ القَلْبِ. Ketiga, dzikir mampu menghilangkan kekhawatiran pada masa akan datang (hamm) dan kesedihan saat ini (ghamm) dari hati.   [الرَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ لِلْقَلْبِ الفَرَحَ وَالسُّرُورَ وَالبَسْطَ. Keempat, dzikir membawa kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan bagi hati.   [الخَامِسَةُ] أَنَّهُ يُقَوِّي القَلْبَ وَالبَدَنَ. Kelima, dzikir menguatkan hati dan tubuh.   [السَّادِسَةُ] يُنَوِّرُ الوَجْهَ وَالقَلْبَ. Keenam, dzikir menjadikan wajah dan hati bercahaya.   [السَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّزْقَ. Ketujuh, dzikir mendatangkan rezeki.   [الثَّامِنَةُ] أَنَّهُ يَكْسُو الذَّاكِرَ المَهَابَةَ وَالحَلَاوَةَ وَالنُضْرَةَ. Kedelapan, dzikir membuat orang yang melakukannya memiliki wibawa, pesona, dan keteduhan.   [التَّاسِعَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المَحَبَّةَ الَّتِي هِيَ رُوحُ الإِسْلَامِ، وَقُطْبُ رَحَى الدِّينِ، وَمدَارُ السَّعَادَةِ. قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا، وَجَعَلَ سَبَبَ المَحَبَّةِ دَوَامَ الذِّكْرِ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَلْهَجْ بِذِكْرِهِ، فَإِنَّهُ الدَّرْسُ وَالمُذَاكَرَةُ كَمَا أَنَّهُ بَابُ العِلْمِ، فَالذِّكْرُ بَابُ المَحَبَّةِ وَشَارِعُهَا الأَعْظَمُ وَصِرَاطُهَا الأَقْوَمُ. Kesembilan, dzikir menumbuhkan rasa cinta, yang merupakan ruh Islam, poros agama, dan inti kebahagiaan. Allah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab tumbuhnya cinta kepada-Nya adalah dengan terus berdzikir. Siapa saja yang ingin meraih cinta Allah ﷻ, hendaklah ia senantiasa basah lisannya dengan dzikir. Sebagaimana pengulangan pelajaran adalah kunci ilmu, maka dzikir adalah kunci cinta, jalan besarnya, dan jalan lurus menuju-Nya. Baca juga: Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi   [العَاشِرَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المُرَاقَبَةَ حَتَّى يُدْخِلَهُ فِي بَابِ الإِحْسَانِ، فَيَعْبُدُ اللهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، وَلا سَبِيلَ لِلْغَافِلِ عَنِ الذِّكْرِ إِلَى مَقَامِ الإِحْسَانِ، كَمَا لا سَبِيلَ لِلْقَاعِدِ إِلَى الوُصُولِ إِلَى البَيْتِ. Kesepuluh, dzikir melahirkan sikap muraqabah (merasa diawasi Allah) hingga mengantarkan seseorang ke pintu ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Orang yang lalai dari dzikir tidak akan mungkin sampai pada derajat ihsan, sebagaimana orang yang hanya duduk tidak akan pernah sampai ke rumah tujuan. Baca juga: Penjelasan Ringkas tentang Ihsan   [الحَادِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الإِنَابَةَ، وَهِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَمَتَى أَكْثَرَ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ بِذِكْرِهِ أَوْرَثَهُ ذٰلِكَ رُجُوعَهُ بِقَلْبِهِ إِلَيْهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ، فَيَبْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَفْزَعَهُ وَمَلْجَأَهُ، وَمَلَاذَهُ وَمَعَاذَهُ، وَقِبْلَةَ قَلْبِهِ وَمَهْرَبَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَالبَلَايَا. Kesebelas, dzikir menumbuhkan sikap inābah, yaitu kembali kepada Allah ﷻ. Semakin banyak seseorang kembali kepada-Nya melalui dzikir, semakin membuatnya terbiasa menjadikan Allah sebagai tempat kembali hatinya dalam setiap keadaan. Allah menjadi pelindung, sandaran, tujuan, dan tempat ia mengadu di saat datangnya musibah dan ujian.   [الثَّانِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ القُرْبَ مِنْهُ، فَعَلَى قَدْرِ ذِكْرِهِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهُ، وَعَلَى قَدْرِ غَفْلَتِهِ يَكُونُ بُعْدُهُ مِنْهُ. Kedua belas, dzikir mendekatkan hamba kepada Allah ﷻ. Sejauh mana ia berdzikir, sejauh itu pula kedekatannya. Sebaliknya, sejauh mana ia lalai (ghaflah), sejauh itu pula jaraknya dari Allah.   [الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَفْتَحُ لَهُ بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ المَعْرِفَةِ، وَكُلَّمَا أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ ازْدَادَ مِنَ المَعْرِفَةِ. Ketiga belas, dzikir membuka pintu besar menuju ma‘rifah (pengenalan yang mendalam terhadap Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah pula ma‘rifah.   [الرَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الهَيْبَةَ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِجْلَالَهُ، لِشِدَّةِ اسْتِيلَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ وَحُضُورِهِ مَعَ اللهِ تَعَالَى. بِخِلافِ الغَافِلِ فَإِنَّ حِجَابَ الهَيْبَةِ رَقِيقٌ فِي قَلْبِهِ. Keempat belas, dzikir menumbuhkan rasa haibah (kewibawaan batin) dan pengagungan terhadap Allah ﷻ, karena dzikir memenuhi hati dengan kehadiran-Nya. Sebaliknya, orang yang lalai tidak memiliki haibah dalam hatinya, bahkan tirai pengagungan terhadap Allah sangat tipis.   [الخَامِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى لَهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ﴾ [البقرة: ١٥٢] Kelima belas, dzikir mendatangkan balasan berupa Allah mengingat hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152) وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذِّكْرِ إِلَّا هٰذِهِ وَحْدَهَا لَكَفَتْ فَضْلًا وَشَرَفًا. وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ». Seandainya tidak ada keutamaan dzikir kecuali ini saja, tentu sudah cukup sebagai kemuliaan dan keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits qudsi dari Allah Ta‘ala: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ» “Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan siapa yang mengingat-Ku di tengah sebuah kelompok, maka Aku akan mengingatnya di tengah kelompok yang lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhārī dan Muslim)   [السَّادِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ حَيَاةَ القَلْبِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى رُوحَهُ يَقُولُ: Keenam belas, dzikir menghidupkan hati. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: «الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ مِثْلُ المَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ المَاءَ؟». “Dzikir bagi hati itu laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika ia berpisah dari airnya?”   [السَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ قُوتُ القَلْبِ وَالرُّوحِ، فَإِذَا فَقَدَهُ العَبْدُ صَارَ بِمَنْزِلَةِ الجِسْمِ إِذَا حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُوتِهِ. Ketujuh belas, dzikir adalah makanan hati dan ruh. Jika hamba kehilangan dzikir, maka ia bagaikan tubuh yang kehilangan makanannya. وَحَضَرْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ مَرَّةً، صَلَّى الفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى إِلَى قَرِيبٍ مِنِ انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ: «هٰذِهِ غَدْوَتِي، وَلَوْ لَمْ أَتَغَدَّ الغَدَاءَ سَقَطَتْ قُوَّتِي». أَوْ كَلَامًا قَرِيبًا مِنْ هٰذَا. Aku pernah hadir bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Suatu hari setelah salat Subuh, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga mendekati pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Inilah sarapan pagiku. Seandainya aku tidak sarapan seperti ini, pasti tenagaku melemah.” وَقَالَ لِي مَرَّةً: «لَا أَتْرُكُ الذِّكْرَ إِلَّا بِنِيَّةِ إِجْمَامِ نَفْسِي وَإِرَاحَتِهَا، لِأَسْتَعِدَّ بِتِلْكَ الرَّاحَةِ لِذِكْرٍ آخَرَ». أَوْ كَلَامًا هٰذَا مَعْنَاهُ. Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali dengan niat memberi jeda dan istirahat pada diriku, agar dengan istirahat itu aku bisa lebih kuat untuk berdzikir kembali.” Atau ungkapan dengan makna yang serupa.   [الثَّامِنَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ جَلَاءَ القَلْبِ مِنْ صَدَائِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الحَدِيثِ، وَكُلُّ شَيْءٍ لَهُ صَدَأٌ، وَصَدَأُ القَلْبِ الغَفْلَةُ وَالهَوَى، وَجَلَاؤُهُ الذِّكْرُ وَالتَّوْبَةُ وَالاسْتِغْفَارُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ هٰذَا المَعْنَى. Kedelapan belas, dzikir menjadikan hati bersih dari karatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Setiap sesuatu pasti ada karatnya, dan karat hati adalah kelalaian (ghaflah) serta hawa nafsu. Pembersihnya adalah dzikir, taubat, dan istighfar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya.   [التَّاسِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَحُطُّ الخَطَايَا وَيُذْهِبُهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الحَسَنَاتِ، وَالحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ. Kesembilan belas, dzikir menggugurkan dosa-dosa dan menghapusnya. Sebab, dzikir termasuk amalan paling agung, sementara Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan.” (QS. Hūd [11]: 114)   [العِشْرُونَ] أَنَّهُ يُزِيلُ الوَحْشَةَ بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، فَإِنَّ الغَافِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْشَةٌ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالذِّكْرِ. Kedua puluh, dzikir menghilangkan rasa asing dan jauh antara hamba dengan Rabb-nya ﷻ. Orang yang lalai (ghaflah) dari dzikir, antara dirinya dengan Allah terdapat jurang keterasingan yang tidak akan hilang kecuali dengan dzikir. Catatan: Apa itu al-wahsyah? Dalam Kamus Al-Ma’ani disebutkan bahwa wahsyah itu berarti tanah tandus yang sunyi dan menakutkan. Maknanya juga: terputusnya hubungan dan jauhnya hati dari kasih sayang. Ia juga bisa bermakna rasa takut ketika sendirian. Orang arab menyebut aw-hasyal manzil, maksudnya rumah itu menjadi sepi dan ditinggalkan manusia. Maka jika engkau ingin mendoakan seseorang yang engkau cintai, baik saat ia jauh maupun dekat, ucapkanlah: لَا أَوْحَشَ اللّٰهُ لَكَ قَلْبًا وَلَا رُوحًا وَلَا جَسَدًا Semoga Allah tidak menjadikan hatimu, jiwamu, dan tubuhmu merasa sunyi dan sepi.   [الحَادِيَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّ مَا يَذْكُرُ بِهِ العَبْدُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ جَلَالِهِ وَتَسْبِيحِهِ وَتَحْمِيدِهِ يُذْكَرُ بِصَاحِبِهِ عِنْدَ الشِّدَّةِ. فَقَدْ رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ العَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ. أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟» هٰذَا الحَدِيثُ أَوْ مَعْنَاهُ. Kedua puluh satu, segala tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang diucapkan hamba dalam menyebut nama Allah ﷻ akan menjadi penyelamatnya di saat sulit. Imam Aḥmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ، أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟ “Sesungguhnya apa yang kalian sebut dari keagungan Allah ﷻ, berupa tahlil, takbir, dan tahmid, semuanya akan berputar di sekitar ‘Arsy, suaranya berdengung seperti dengungan lebah. Ia akan disebut-sebut bersama pelakunya. Maka tidakkah salah seorang dari kalian suka jika ia memiliki amal yang bisa membuatnya disebut-sebut (di sisi Allah)?” (HR. Aḥmad, atau semakna dengannya).   [الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَعَرَّفَ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِذِكْرِهِ فِي الرَّخَاءِ عَرَفَهُ فِي الشِّدَّةِ، وَقَدْ جَاءَ أَثَرٌ مَعْنَاهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْمُطِيعَ الذَّاكِرَ لِلَّهِ تَعَالَى إِذَا أَصَابَتْهُ شِدَّةٌ أَوْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى حَاجَةً قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ صَوْتٌ مَعْرُوفٌ، مِنْ عَبْدٍ مَعْرُوفٍ، وَالْغَافِلُ الْمُعْرِضُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا دَعَاهُ وَسَأَلَهُ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، صَوْتٌ مُنْكَرٌ، مِنْ عَبْدٍ مُنْكَرٍ. Kedua puluh dua, seorang hamba yang membiasakan diri mengenal Allah Ta‘ālā dengan banyak berdzikir di waktu lapang, maka Allah akan mengenalnya di waktu sempit. Ada sebuah atsar yang menjelaskan bahwa seorang hamba yang taat dan banyak berdzikir, ketika ia tertimpa kesulitan atau memohon kepada Allah, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang dikenal, dari hamba yang dikenal.” Sebaliknya, orang yang lalai dan berpaling dari Allah, jika suatu saat ia berdoa dan memohon, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang asing, dari hamba yang asing.”   [الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُنَجِّي مِنْ عَذَابِ اللهِ تَعَالَى، كَمَا قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَيُرْوَى مَرْفُوعًا: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى». Kedua puluh tiga, dzikir dapat menyelamatkan dari azab Allah Ta‘ālā. Sebagaimana perkataan Mu‘ādz radhiyallāhu ‘anhu—dan diriwayatkan pula secara marfū‘—: مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى “Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dari azab Allah ‘Azza wa Jalla melebihi dzikir kepada Allah Ta‘ālā.”   [الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ تَنْزِيلِ السَّكِينَةِ، وَغَشْيَانِ الرَّحْمَةِ، وَحُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ بِالذَّاكِرِ كَمَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kedua puluh empat, dzikir menjadi sebab turunnya sakīnah (ketenangan jiwa), turunnya rahmat, serta dikelilinginya para ahli dzikir oleh malaikat, sebagaimana diberitakan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.   [الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ اشْتِغَالِ اللِّسَانِ عَنِ الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَذِبِ وَالْفُحْشِ وَالْبَاطِلِ. فَإِنَّ الْعَبْدَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ. فَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَذِكْرِ أَوَامِرِهِ تَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ بَعْضِهَا، وَلَا سَبِيلَ إِلَى السَّلَامَةِ مِنْهَا الْبَتَّةَ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى. وَالْمُشَاهَدَةُ وَالتَّجْرِبَةُ شَاهِدَانِ بِذَلِكَ، فَمَنْ عَوَّدَ لِسَانَهُ ذِكْرَ اللهِ صَانَ لِسَانَهُ عَنِ الْبَاطِلِ وَاللَّغْوِ، وَمَنْ يَبِسَ لِسَانُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى تَرَطَّبَ بِكُلِّ بَاطِلٍ وَلَغْوٍ وَفُحْشٍ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. Kedua puluh lima, dzikir menjadi sebab terjaganya lisan dari ghibah, namimah, dusta, kata-kata keji, dan ucapan batil. Sebab, manusia pasti berbicara. Jika ia tidak mengisi lisannya dengan dzikir kepada Allah dan menyebut perintah-perintah-Nya, maka lisannya akan terisi dengan kata-kata haram atau sebagian darinya. Tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali dengan dzikir kepada Allah. Pengalaman nyata menjadi saksi: siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikir, Allah akan memelihara lisannya dari ucapan batil dan sia-sia. Sebaliknya, siapa yang lisannya kering dari dzikir, maka lisannya akan basah dengan ucapan batil, sia-sia, dan kotor. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.   [السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ مَجَالِسَ الذِّكْرِ مَجَالِسُ الْمَلَائِكَةِ، وَمَجَالِسَ اللَّغْوِ وَالْغَفْلَةِ مَجَالِسُ الشَّيَاطِينِ. فَلْيَتَخَيَّرِ الْعَبْدُ أَعْجَبَهُمَا إِلَيْهِ وَأَوْلَاهُمَا بِهِ، فَهُوَ مَعَ أَهْلِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. Kedua puluh enam, majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Sedangkan majelis sia-sia dan lalai adalah majelis para setan. Maka hendaknya seorang hamba memilih: majelis manakah yang lebih ia sukai dan lebih layak baginya. Karena di dunia ia akan bersama mereka, dan di akhirat pun ia akan dikumpulkan bersama mereka.   [السَّابِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُسْعِدُ الذَّاكِرَ بِذِكْرِهِ وَيُسْعِدُ بِهِ جَلِيسَهُ، وَهٰذَا هُوَ المُبَارَكُ أَيْنَ مَا كَانَ. وَالغَافِلُ وَاللَّاغِي يَشْقَى بِلَغْوِهِ وَغَفْلَتِهِ، وَيَشْقَى بِهِ مُجَالِسُهُ. Kedua puluh tujuh, dzikir membahagiakan orang yang berdzikir dengan lisannya, dan kebahagiaan itu juga menular kepada orang yang duduk bersamanya. Inilah hakikat keberkahan; di mana pun ia berada, selalu membawa kebaikan. Sebaliknya, orang yang lalai dan suka berbicara sia-sia akan menjerumuskan dirinya dalam kesengsaraan karena kelalaiannya, dan orang yang duduk bersamanya pun ikut celaka karenanya.   [الثَّامِنَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُؤمِّنُ العَبْدَ مِنَ الحَسْرَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ. فَإِنَّ كُلَّ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُ العَبْدُ فِيهِ رَبَّهُ تَعَالَى كَانَ عَلَيْهِ حَسْرَةً وَتْرَةً يَوْمَ القِيَامَةِ. Kedua puluh delapan, dzikir menyelamatkan seorang hamba dari penyesalan di Hari Kiamat. Sebab, setiap majelis yang kosong dari dzikir akan menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari akhir.   [التَّاسِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ مَعَ البُكَاءِ فِي الخَلْوَةِ سَبَبٌ لِإِظْلَالِ اللهِ تَعَالَى العَبْدَ يَوْمَ الحَرِّ الأَكْبَرِ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ، وَالنَّاسُ فِي حَرِّ الشَّمْسِ قَدْ صَهَرَتْهُم فِي المَوْقِفِ. وَهٰذَا الذَّاكِرُ مُسْتَظِلٌّ بِظِلِّ عَرْشِ الرَّحْمٰنِ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua puluh sembilan, dzikir yang disertai tangisan dalam kesendirian menjadi sebab Allah menaungi seorang hamba di bawah naungan ‘Arsy pada hari panas yang dahsyat. Saat manusia lainnya tersengat terik matahari yang membakar, orang yang berdzikir itu berada dalam naungan penuh rahmat.   [الثَّلَاثُونَ] أَنَّ الاشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِعَطَاءِ اللهِ لِلذَّاكِرِ أَفْضَلَ مَا يُعْطِي السَّائِلِينَ، فَفِي الحَدِيثِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ». Ketiga puluh, orang yang sibuk dengan dzikir akan diberi oleh Allah karunia terbaik, lebih daripada apa yang Dia berikan kepada para peminta. Rasulullah ﷺ bersabda, meriwayatkan dari Rabb-nya: “Allah Ta‘ala berfirman: Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”   [الحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ أَيْسَرُ العِبَادَاتِ، وَهُوَ مِنْ أَجَلِّهَا وَأَفْضَلِهَا، فَإِنَّ حَرَكَةَ اللِّسَانِ أَخَفُّ حَرَكَاتِ الجَوَارِحِ وَأَيْسَرُهَا، وَلَوْ تَحَرَّكَ عُضْوٌ مِنَ الإِنسَانِ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِقَدْرِ حَرَكَةِ لِسَانِهِ لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ المَشَقَّةِ، بَلْ لَا يُمْكِنُهُ ذٰلِكَ. Ketiga puluh satu, dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tetapi termasuk yang paling agung dan utama. Gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan. Seandainya ada satu anggota tubuh manusia yang bergerak sebanyak gerakan lisannya dalam sehari semalam, tentu ia akan merasa sangat berat, bahkan tidak mungkin sanggup melakukannya.   [الثَّانِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ غِرَاسُ الجَنَّةِ. فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَقِيتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ، عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. Ketiga puluh dua, dzikir adalah tanaman surga. Dalam riwayat Tirmiżī, dari Abdullah bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada malam Isra’, aku bertemu dengan Ibrāhīm al-Khalīl ‘alaihis-salām. Ia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan salam kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya segar, dan ia masih berupa tanah lapang. Tanaman surga adalah bacaan: Subḥānallāh, walḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.” (HR. Tirmidzi, hasan gharib) Juga dalam riwayat at-Tirmiżī dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: Subḥānallāhi wa biḥamdih, maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih).   [الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ العَطَاءَ وَالفَضْلَ الَّذِي رُتِّبَ عَلَيْهِ لَمْ يُرَتَّبْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ. Ketiga puluh tiga, keutamaan dan pahala yang Allah tetapkan bagi dzikir tidak diberikan kepada amal lainnya. فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ. وَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ». Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan memerdekakan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan itu menjadi benteng dari setan pada hari itu hingga sore. Tidak ada yang membawa amal lebih baik darinya kecuali orang yang mengamalkannya lebih banyak. Dan siapa yang mengucapkan: subḥānallāhi wa biḥamdih seratus kali dalam sehari, maka dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.” وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ». Dalam Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat: subḥānallāh, wal-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar lebih aku cintai daripada seluruh yang disinari matahari.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، أَعْتَقَ اللهُ رُبُعَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا مَرَّتَيْنِ أَعْتَقَ اللهُ نِصْفَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثًا أَعْتَقَ اللهُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا أَرْبَعًا أَعْتَقَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ النَّارِ». Dalam riwayat at-Tirmiżī dari Anas, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika pagi atau sore membaca doa: Allāhumma innī aṣbaḥtu usy’hiduka wa usy’hidu ḥamalata ‘arsyika wa malāikataka wa jamī‘a khalqika, annaka anta Allāh, lā ilāha illā anta, wa anna Muḥammadan ‘abduka wa rasūluka, maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Jika membacanya dua kali, Allah membebaskan separuh dirinya dari neraka. Jika membacanya tiga kali, Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka. Jika membacanya empat kali, Allah membebaskannya seluruhnya dari api neraka.” وَفِيهِ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَإِذَا أَصْبَحَ: رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُرْضِيَهُ». Dalam riwayat Tirmiżī dari Tsaubān, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika sore atau pagi membaca doa: raḍītu billāhi rabban, wa bil-islāmi dīnan, wa bi-Muḥammadin ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama rasūlā, maka Allah benar-benar menjadikan keridaan baginya.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ: «مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ». Dan dalam riwayat Tirmiżī pula: “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu, yuḥyī wa yumītu, wa huwa ḥayyullā yamūtu, biyadihi al-khayru wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, maka Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta dosa, dan mengangkatnya seribu ribu derajat.”   [الرَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ دَوَامَ ذِكْرِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُوجِبُ الأَمَانَ مِنْ نِسْيَانِهِ الَّذِي هُوَ سَبَبُ شَقَاءِ العَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ، فَإِنَّ نِسْيَانَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُوجِبُ نِسْيَانَ نَفْسِهِ وَمَصَالِحِهَا. قَالَ تَعَالَى: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: ١٩]. Ketiga puluh empat, dzikir yang terus-menerus menjadikan seorang hamba aman dari kelalaian kepada Allah. Padahal, melupakan Allah adalah sebab utama kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah ﷻ berfirman: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ḥashr [59]: 19) وَإِذَا نَسِيَ العَبْدُ نَفْسَهُ أَعْرَضَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْهَا فَهَلَكَتْ وَفَسَدَتْ وَلَا بُدَّ، كَمَنْ لَهُ زَرْعٌ أَوْ بُسْتَانٌ أَوْ مَاشِيَةٌ أَوْ غَيْرُ ذٰلِكَ مِمَّا صَلَاحُهُ وَفَلَاحُهُ بِتَعَاهُدِهِ وَالقِيَامِ عَلَيْهِ، فَأَهْمَلَهُ وَنَسِيَهُ وَاشْتَغَلَ عَنْهُ بِغَيْرِهِ وَضَيَّعَ مَصَالِحَهُ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ وَلَا بُدَّ. Apabila seorang hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan berpaling dari hal-hal yang menjadi maslahat dan kebaikannya. Ia sibuk dengan perkara lain, meninggalkan apa yang seharusnya ia jaga, hingga dirinya rusak dan binasa. Keadaannya bagaikan orang yang memiliki ladang, kebun, atau ternak, yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan pemeliharaan. Namun, jika ia mengabaikan dan melupakannya, sibuk dengan urusan lain, serta meninggalkan kewajiban menjaganya, niscaya semuanya akan rusak dan hancur tanpa bisa dihindari. هٰذَا مَعَ إِمْكَانِ قِيَامِ غَيْرِهِ مَقَامَهُ فِيهِ، فَكَيْفَ الظَّنُّ بِفَسَادِ نَفْسِهِ وَهَلَاكِهَا وَشَقَائِهَا إِذَا أَهْمَلَهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَعَطَّلَ مُرَاعَاتَهَا وَتَرَكَ القِيَامَ عَلَيْهَا بِمَا يُصْلِحُهَا؟ فَمَا شِئْتَ مِنْ فَسَادٍ وَهَلَاكٍ وَخَيْبَةٍ وَحِرْمَانٍ. وَهٰذَا هُوَ الَّذِي صَارَ أَمْرُهُ كُلُّهُ فَرَطًا، فَانْفَرَطَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاعَتْ مَصَالِحُهُ، وَأَحَاطَتْ بِهِ أَسْبَابُ القُطُوعِ وَالخَيْبَةِ وَالهَلَاكِ. Padahal, untuk urusan kebun, ladang, atau ternak, masih mungkin orang lain menggantikannya merawat dan memperbaikinya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Jika ia mengabaikan jiwanya, melupakannya, sibuk dengan urusan lain, meninggalkan pemeliharaan hati, dan tidak menegakkan hal-hal yang bisa memperbaikinya, maka kehancuran, kesengsaraan, dan kerugian pasti menimpanya. Inilah orang yang seluruh urusannya berantakan. Hidupnya tercerai-berai, maslahatnya hilang, dan berbagai sebab kehancuran, kebinasaan, serta kegagalan mengelilinginya dari segala sisi. وَلَا سَبِيلَ إِلَى الأَمَانِ مِنْ ذٰلِكَ إِلَّا بِدَوَامِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاللَّهْجِ بِهِ، وَأَنْ لَا يَزَالَ اللِّسَانُ رَطْبًا بِهِ، وَأَنْ يَتَوَلَّى مَنْزِلَةَ حَيَاتِهِ الَّتِي لَا غِنَى لَهُ عَنْهَا، وَمَنْزِلَةَ غِذَائِهِ الَّذِي إِذَا فَقَدَهُ فَسَدَ جِسْمُهُ وَهَلَكَ، وَبِمَنْزِلَةِ المَاءِ عِنْدَ شِدَّةِ العَطَشِ، وَبِمَنْزِلَةِ اللِّبَاسِ فِي الحَرِّ وَالبَرْدِ، وَبِمَنْزِلَةِ الكِنِّ فِي شِدَّةِ الشِّتَاءِ وَالسَّمُومِ. Tidak ada jalan keselamatan dari kerusakan itu kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepada Allah dan membasahi lisan dengan menyebut nama-Nya. Dzikir harus ditempatkan pada posisi yang sangat penting—seperti kehidupan yang tak mungkin ditinggalkan, seperti makanan yang jika hilang membuat tubuh rusak dan binasa, seperti air bagi orang yang sangat haus, seperti pakaian di tengah panas dan dingin, serta seperti tempat berlindung saat musim dingin yang menusuk atau angin panas yang menyengat. فَحَقِيقٌ بِالعَبْدِ أَنْ يُنَزِّلَ ذِكْرَ اللهِ مِنْهُ بِهَذِهِ المَنْزِلَةِ وَأَعْظَمَ. فَأَيْنَ هَلَاكُ الرُّوحِ وَالقَلْبِ وَفَسَادُهُمَا مِنْ هَلَاكِ البَدَنِ وَفَسَادِهِ؟ هٰذَا هَلَاكٌ لَا بُدَّ مِنْهُ وَقَدْ يَعْقُبُهُ صَلَاحٌ لَا بُدَّ. وَأَمَّا هَلَاكُ القَلْبِ وَالرُّوحِ فَهَلَاكٌ لَا يُرْجَى مَعَهُ صَلَاحٌ وَلَا فَلَاحٌ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ. فِي فَوَائِدِ الذِّكْرِ وَإِدَامَتِهِ: لَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا هٰذِهِ الفَائِدَةُ وَحْدَهَا لَكَفَتْ. فَمَنْ نَسِيَ اللهَ تَعَالَى أَنْسَاهُ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَنَسِيَهُ فِي العَذَابِ يَوْمَ القِيَامَةِ. قَالَ تَعَالَى: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى﴾ [طه: ١٢٤-١٢٦]. أَيْ: تُنْسَى فِي العَذَابِ كَمَا نَسِيتَ آيَاتِي فَلَمْ تَذْكُرْهَا وَلَمْ تَعْمَلْ بِهَا. Maka sudah sepantasnya seorang hamba menempatkan dzikir pada posisi yang sangat penting, bahkan lebih tinggi lagi. Sebab, kerusakan hati dan ruh jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan tubuh. Rusaknya tubuh adalah sesuatu yang pasti, namun sering kali setelah itu datang perbaikan. Adapun rusaknya hati dan ruh, itu adalah kerusakan yang tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki dan tidak membawa keberuntungan sedikit pun. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Dalam faedah dzikir yang terus-menerus, seandainya hanya ada satu manfaat ini saja, sebenarnya sudah cukup: barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri di dunia, dan pada Hari Kiamat Allah pun akan melupakannya di dalam azab. Allah ﷻ berfirman: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى ۝ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ۝ قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata: Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Allah berfirman: Demikianlah, ayat-ayat Kami telah datang kepadamu, lalu kamu melupakannya; maka pada hari ini kamu pun dilupakan (diabaikan dalam azab).” (QS. Ṭāhā [20]: 124–126). Yakni, seseorang akan ditinggalkan di dalam azab, sebagaimana dahulu ia melupakan ayat-ayat Allah, tidak mengingatnya, dan tidak mengamalkannya. وَإِعْرَاضُهُ عَنْ ذِكْرِهِ يَتَنَاوَلُ إِعْرَاضَهُ عَنِ الذِّكْرِ الَّذِي أَنْزَلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَذْكُرَ الَّذِي أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ المُرَادُ بِتَنَاوُلِ إِعْرَاضِهِ عَنْ أَنْ يَذْكُرَ رَبَّهُ بِكِتَابِهِ وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ وَآلَائِهِ وَنِعَمِهِ. فَإِنَّ هٰذِهِ كُلَّهَا تَوَابِعُ إِعْرَاضِهِ عَنْ كِتَابِ رَبِّهِ تَعَالَى. فَإِنَّ الذِّكْرَ فِي الآيَةِ إِمَّا مَصْدَرٌ مُضَافٌ إِلَى الفَاعِلِ، أَوْ مُضَافٌ إِضَافَةَ الأَسْمَاءِ المَحْضَةِ. أَعْرَضَ عَنْ كِتَابِي وَلَمْ يَتْلُهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ وَلَا فَهِمَهُ، فَإِنَّ حَيَاتَهُ وَمَعِيشَتَهُ لَا تَكُونُ إِلَّا مُضَيَّقَةً عَلَيْهِ مُنَكَّدَةً مُعَذَّبًا فِيهَا. Berpaling dari dzikir mencakup juga berpaling dari dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Qur’an. Maksudnya, ia berpaling dari mengingat Allah dengan Kitab-Nya, dengan nama-nama dan sifat-Nya, dengan perintah-perintah-Nya, serta dengan nikmat dan karunia-Nya. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada sikap berpaling dari Kitab Allah ﷻ. Kata dzikir dalam ayat bisa dipahami sebagai mashdar yang disandarkan kepada pelakunya, atau sebagai isim yang bermakna Kitab (Al-Qur’an). Artinya, ia berpaling dari Kitab-Ku: tidak membacanya, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkannya, dan tidak berusaha memahaminya. Maka kehidupannya pun tidak akan pernah lapang; justru sempit, penuh kesulitan, dan sengsara. وَالدُّنْكُ: الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ وَالبَلَاءُ. وَوَصْفُ المَعِيشَةِ نَفْسِهَا بِالدُّنْكِ مُبَالَغَةٌ. وَفُسِّرَتْ هٰذِهِ المَعِيشَةُ بِعَذَابِ البَرْزَخِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَعِيشَتَهُ فِي الدُّنْيَا وَحَالَهُ فِي البَرْزَخِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي دُنْكٍ فِي الدَّارَيْنِ، وَهُوَ شِدَّةٌ وَجَهْدٌ وَضِيقٌ. وَفِي الآخِرَةِ تُنْسَى فِي العَذَابِ. Kata “dhanka” dalam ayat berarti kesempitan, kesulitan, dan ujian yang berat. Allah bahkan menyifati kehidupan itu sendiri sebagai ḍank, sebuah bentuk penekanan yang kuat. Sebagian ahli tafsir menafsirkannya sebagai azab kubur, namun pendapat yang benar: ia mencakup kehidupan di dunia sekaligus di alam barzakh. Hidupnya akan sempit di dua alam tersebut—penuh dengan kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan. Sedangkan di akhirat, ia akan dibiarkan (dilupakan) di dalam azab. وَهٰذَا عَكْسُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالفَلَاحِ، فَإِنَّ حَيَاتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ الحَيَاةِ، وَلَهُمْ فِي البَرْزَخِ وَفِي الآخِرَةِ أَفْضَلُ الثَّوَابِ. قَالَ تَعَالَى: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾ فَهٰذَا فِي الدُّنْيَا. ثُمَّ قَالَ: ﴿وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ فَهٰذَا فِي البَرْزَخِ وَالآخِرَةِ. Keadaan ini berbanding terbalik dengan nasib orang-orang yang berbahagia. Hidup mereka di dunia adalah kehidupan yang paling baik, kemudian di alam barzakh dan akhirat kelak mereka mendapatkan pahala terbaik. Allah ﷻ berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً “Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini berbicara tentang kehidupan di dunia. Kemudian Allah berfirman: وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini mencakup pahala di alam barzakh dan di akhirat. وَقَالَ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} فَهَذَا فِي الْآخِرَةِ. وَقَالَ تَعَالَى: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ مَوَاضِعَ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا أَنَّهُ يُجْزِي الْمُحْسِنَ بِإِحْسَانِهِ جَزَاءَيْنِ: جَزَاءً فِي الدُّنْيَا، وَجَزَاءً فِي الْآخِرَةِ. فَالْإِحْسَانُ لَهُ جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ، وَالْإِسَاءَةُ لَهَا جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا يُجَازِي بِهِ الْمُحْسِنَ مِنِ انْشِرَاحِ صَدْرِهِ وَانْفِسَاحِ قَلْبِهِ وَسُرُورِهِ وَلَذَّتِهِ بِمُعَامَلَةِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَطَاعَتِهِ وَذِكْرِهِ وَنَعِيمِ رُوحِهِ بِمَحَبَّتِهِ وَذِكْرِهِ وَفَرَحِهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْظَمُ مِمَّا يَفْرَحُ الْقَرِيبُ مِنَ السُّلْطَانِ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ بِسُلْطَانِهِ. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ وَتَشَتُّتِهِ وَظُلْمَتِهِ وَحَزَازَاتِهِ وَغَمِّهِ وَهَمِّهِ وَحُزْنِهِ وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ. Allah Ta‘ālā berfirman: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami tempatkan mereka di dunia ini pada tempat yang baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. An-Naḥl [16]: 41) Dan Allah Ta‘ālā juga berfirman: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} “Dan hendaklah kamu memohon ampun kepada Tuhanmu lalu bertobat kepada-Nya, niscaya Dia memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada setiap orang yang memiliki keutamaan, keutamaannya (balasan yang layak baginya).” (QS. Hūd [11]: 3) Kemudian Allah berfirman lagi: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (akan mendapat) kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberi pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) Dalam empat ayat ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan bahwa setiap kebaikan (iḥsān) akan dibalas dua kali: 1. Balasan di dunia, berupa kemuliaan, kelapangan hidup, dan ketenangan jiwa. 2. Balasan di akhirat, berupa pahala yang jauh lebih besar dan kekal. Maka, kebaikan pasti memiliki ganjaran yang segera, sebagaimana keburukan pun pasti menimbulkan akibat buruk yang cepat pula. Kalaupun tidak tampak secara lahiriah, balasan bagi orang yang berbuat baik sudah hadir dalam kelapangan dadanya, ketenangan hatinya, kegembiraan dan kenikmatan ruhnya saat ia berinteraksi dengan Tuhannya, menaati perintah-Nya, dan berdzikir mengingat-Nya. Nikmat ruhani semacam ini jauh lebih agung daripada kegembiraan seorang pejabat yang dekat dengan penguasa. Sebaliknya, orang yang berbuat maksiat akan merasakan penyempitan dada, kekerasan hati, kebingungan, kegelapan batin, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup pasti menyadari hal ini. Sesungguhnya, berbagai kesedihan, kecemasan, dan kegelisahan itu merupakan bentuk hukuman (ʿuqūbah) yang Allah timpakan di dunia sebelum azab di akhirat. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ، وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ، وَتَشَتُّتِهِ، وَظُلْمَتِهِ، وَحَزَازَاتِهِ، وَغَمِّهِ، وَهَمِّهِ، وَحُزْنِهِ، وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ عَاجِلَةٌ، وَنَارٌ دُنْيَوِيَّةٌ، وَجَهَنَّمُ حَاضِرَةٌ. Balasan yang diterima oleh orang yang berbuat dosa adalah penyempitan dada, kekerasan hati, kegelapan jiwa, kebingungan, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup dan nurani yang peka tentu tidak akan meragukan hal ini. Sesungguhnya rasa gelisah, gundah, sedih, dan sempit dada merupakan hukuman yang datang lebih cepat, semacam api neraka duniawi dan Jahannam yang hadir di hati sebelum azab akhirat menimpa. وَالْإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِنَابَةُ إِلَيْهِ، وَالرِّضَا بِهِ وَعَنْهُ، وَامْتِلَاءُ الْقَلْبِ مِنْ مَحَبَّتِهِ، وَاللَّهْجُ بِذِكْرِهِ، وَالْفَرَحُ وَالسُّرُورُ بِمَعْرِفَتِهِ، ثَوَابٌ عَاجِلٌ، وَجَنَّةٌ، وَعَيْشٌ لَا نِسْبَةَ لِعَيْشِ الْمُلُوكِ إِلَيْهِ الْبَتَّةَ. Sebaliknya, menghadap kepada Allah, kembali bertobat kepada-Nya, merasa ridha dengan-Nya dan terhadap takdir-Nya, penuh cinta kepada-Nya, senang berdzikir mengingat-Nya, serta bergembira karena mengenal-Nya, semuanya merupakan balasan langsung di dunia, surga yang hadir di hati, dan kenikmatan hidup yang tiada bandingnya dibanding kehidupan para raja sekalipun. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ يَقُولُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِ. وَقَالَ لِي مَرَّةً: مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِي بِي؟ أَنَا جَنَّتِي وَبُسْتَانِي فِي صَدْرِي، إِنْ رُحْتُ فَهِيَ مَعِي لَا تُفَارِقُنِي، إِنْ حَبْسِي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِي شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِي مِنْ بَلَدِي سِيَاحَةٌ. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: Aku pernah mendengar Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah – semoga Allah menyucikan ruhnya – berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga; siapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.” Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku? Surga dan taman hatiku ada di dalam dadaku. Ke mana pun aku pergi, surga itu selalu bersamaku, tidak akan meninggalkanku. Jika aku dipenjara, maka itu adalah kesempatan untuk menyendiri bersama Allah. Jika aku dibunuh, maka itu adalah syahid. Jika aku diusir dari negeriku, maka itu adalah perjalanan spiritual (siyāḥah).” وَكَانَ يَقُولُ فِي مَحْبَسِهِ فِي الْقَلْعَةِ: لَوْ بُذِلَ مِلْءُ هَذِهِ الْقَاعَةِ ذَهَبًا مَا عَدَلَ عِنْدِي شُكْرَ هَذِهِ النِّعْمَةِ. أَوْ قَالَ: مَا جَزَيْتُهُمْ عَلَى مَا تَسَبَّبُوا لِي فِيهِ مِنَ الْخَيْرِ، وَنَحْوَ هَذَا. Ketika beliau berada di dalam penjara benteng (Qal‘ah Dimasyq), beliau sering berkata: “Seandainya memenuhi seluruh ruangan ini dengan emas, itu belum cukup untuk menandingi rasa syukurku atas nikmat ini.” Atau beliau berkata, “Aku belum mampu membalas mereka yang telah menyebabkan kebaikan besar bagiku melalui peristiwa ini.” وَكَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ مَحْبُوسٌ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. مَا شَاءَ اللَّهُ، وَقَالَ لِي مَرَّةً: الْمَحْبُوسُ مَنْ حَبَسَ قَلْبَهُ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى، وَالْمَأْسُورُ مَنْ أَسَرَهُ هَوَاهُ. Beliau juga biasa berdoa dalam sujudnya saat di penjara: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.” Lalu beliau berkata kepadaku: “Orang yang benar-benar terpenjara adalah siapa pun yang hatinya terhalang dari Rabb-nya. Dan orang yang sesungguhnya menjadi tawanan adalah yang diperbudak oleh hawa nafsunya.” وَلَمَّا دَخَلَ إِلَى الْقَلْعَةِ، وَصَارَ دَاخِلَ سُورِهَا، نَظَرَ إِلَيْهَا وَقَالَ: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} وَعَلِمَ اللَّهُ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَطْيَبَ عَيْشًا مِنْهُ قَطُّ، مَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنْ ضِيقِ الْعَيْشِ، وَخِلَافِ الرَّفَاهِيَةِ وَالنَّعِيمِ، بَلْ ضِدِّهَا، وَمَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنَ الْحَبْسِ، وَالتَّهْدِيدِ، وَالْإِرْهَاقِ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مِنْ أَطْيَبِ النَّاسِ عَيْشًا، وَأَشْرَحِهِمْ صَدْرًا، وَأَقْوَاهُمْ قَلْبًا، وَأَسَرِّهِمْ نَفْسًا، تَلُوحُ نَضْرَةُ النَّعِيمِ عَلَى وَجْهِهِ. Ketika Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah memasuki benteng penjara (Qal‘ah Dimasyq) dan berada di dalam temboknya, beliau memandang ke sekeliling lalu membaca firman Allah: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} “Lalu diletakkanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu; di bagian dalamnya ada rahmat, sedangkan di bagian luarnya dari arah mereka ada azab.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 13) Aku bersaksi kepada Allah, aku belum pernah melihat seseorang yang kehidupannya lebih bahagia daripada beliau — padahal secara lahir beliau hidup dalam kesempitan, jauh dari kemewahan dan kenikmatan, bahkan berada dalam kondisi berlawanan: terpenjara, diancam, dan disiksa. Namun, beliau termasuk manusia yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, dan paling tenang jiwanya. Wajahnya memancarkan nadhrah an-na‘īm (cahaya kenikmatan). وَكُنَّا إِذَا اشْتَدَّ بِنَا الْخَوْفُ، وَسَاءَتْ مِنَّا الظُّنُونُ، وَضَاقَتْ بِنَا الْأَرْضُ، أَتَيْنَاهُ، فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ نَرَاهُ وَنَسْمَعَ كَلَامَهُ، فَيَذْهَبَ ذَلِكَ كُلُّهُ، وَيَنْقَلِبَ انْشِرَاحًا، وَقُوَّةً، وَيَقِينًا، وَطُمَأْنِينَةً. فَسُبْحَانَ مَنْ أَشْهَدَ عِبَادَهُ جَنَّتَهُ قَبْلَ لِقَائِهِ، وَفَتَحَ لَهُمْ أَبْوَابَهَا فِي دَارِ الْعَمَلِ، فَآتَاهُمْ مِنْ رُوحِهَا وَنَسِيمِهَا وَطِيبِهَا مَا اسْتَفْرَغَ قُوَاهُمْ لِطَلَبِهَا وَالْمُسَابَقَةِ إِلَيْهَا. Setiap kali kami diliputi ketakutan, buruk sangka, dan sempit dada, kami mendatangi beliau. Begitu melihat wajahnya dan mendengar ucapannya, semua kegelisahan itu sirna — berganti dengan kelapangan, kekuatan, keyakinan, dan ketenangan. Maha Suci Allah yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian surga-Nya sebelum perjumpaan dengan-Nya. Dia telah membuka bagi mereka pintu-pintu surga itu di dunia tempat beramal, lalu menghembuskan kepada mereka sebagian dari ruh, semerbak, dan keharumannya, hingga seluruh tenaga mereka tercurahkan untuk mencarinya dan berlomba meraihnya. وَكَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَقُولُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ، لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ. Sebagian orang ‘arif berkata: “Seandainya para raja dan putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan memeranginya dengan pedang.” وَقَالَ آخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلِ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَذِكْرُهُ. أَوْ نَحْوُ هَذَا. Yang lain berkata: “Kasihan orang-orang dunia! Mereka keluar dari dunia tanpa sempat merasakan hal paling lezat di dalamnya.” Ditanya kepadanya, “Apa yang paling lezat di dunia?” Ia menjawab, “Cinta kepada Allah, mengenal-Nya, dan berdzikir kepada-Nya.” وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِالْقَلْبِ أَوْقَاتٌ يَرْقُصُ فِيهَا طَرَبًا. وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِي أَوْقَاتٌ، أَقُولُ: إِنْ كَانَ أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي مِثْلِ هَذَا، إِنَّهُمْ لَفِي عَيْشٍ طَيِّبٍ. Yang lain berkata: “Terkadang hati ini melewati saat-saat di mana ia menari karena bahagia.” Yang lain lagi berkata: “Ada waktu-waktu tertentu ketika aku berkata: jika penghuni surga merasakan kenikmatan seperti ini, maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang sangat baik.” فَمَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَدَوَامُ ذِكْرِهِ، وَالسُّكُونُ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةُ بِهِ، وَإِفْرَادُهُ بِالْحُبِّ، وَالْخَوْفِ، وَالرَّجَاءِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالْمُعَامَلَةِ، بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ وَحْدَهُ الْمُسْتَوْلِي عَلَى هُمُومِ الْعَبْدِ وَعَزِيمَاتِهِ وَإِرَادَاتِهِ، هِيَ جَنَّةُ الدُّنْيَا، وَالنَّعِيمُ الَّذِي لَا يُشْبِهُهُ نَعِيمٌ، وَهِيَ قُرَّةُ عُيُونِ الْمُحِبِّينَ، وَحَيَاةُ الْعَارِفِينَ. Maka cinta kepada Allah, mengenal-Nya, terus berdzikir kepada-Nya, bersandar dan merasa tenang bersama-Nya, hanya berharap kepada-Nya, serta menjadikan-Nya satu-satunya tujuan cinta, takut, harap, dan tawakal — inilah surga dunia yang tidak bisa ditandingi oleh kenikmatan apa pun. Inilah penyejuk mata para pecinta dan kehidupan sejati bagi orang-orang yang mengenal Allah. وَإِنَّمَا تَقَرُّ عُيُونُ النَّاسِ بِهِ عَلَى حَسَبِ قُرَّةِ أَعْيُنِهِمْ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَنْ قَرَّتْ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، قَرَّتْ بِهِ كُلُّ عَيْنٍ، وَمَنْ لَمْ تَقَرَّ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، تَقَطَّعَتْ نَفْسُهُ عَلَى الدُّنْيَا حَسَرَاتٍ. Ketenangan manusia tergantung pada sejauh mana matanya terpuaskan dengan Allah. Siapa yang hatinya tenteram bersama Allah, maka ia akan tenteram dalam segala hal. Namun, siapa yang tidak tenang bersama Allah, hidupnya akan terpecah oleh penyesalan dunia yang tiada akhir. وَإِنَّمَا يَصْدُقُ هَذَا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَأَمَّا مَيِّتُ الْقَلْبِ، فَيُوحِشُكَ مَا لَهُ ثَمَّ، فَاسْتَأْنِسْ بِغَيْبَتِهِ مَا أَمْكَنَكَ، فَإِنَّكَ لَا يُوحِشُكَ إِلَّا حُضُورُهُ عِنْدَكَ. Yang memahami makna ini hanyalah orang yang hatinya hidup. Adapun hati yang mati, ia akan merasa asing dari kebenaran dan tenang dengan kebatilan. Maka berusahalah merasa nyaman saat jauh dari orang yang demikian, karena sesungguhnya yang membuatmu gelisah hanyalah kehadirannya di dekatmu. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهِ، فَأَعْطِهِ ظَاهِرَكَ، وَتَرَحَّلْ عَنْهُ بِقَلْبِكَ، وَفَارِقْهُ بِسِرِّكَ، وَلَا تُشْغَلْ بِهِ عَمَّا هُوَ أَوْلَى بِكَ. Jika engkau diuji dengan pergaulan seperti itu, berikanlah padanya bagian lahirmu, namun pisahkan hatimu dan rahasiamu darinya. Jangan biarkan dia menghalangimu dari urusan yang lebih utama. وَاعْلَمْ أَنَّ الْحَسْرَةَ كُلَّ الْحَسْرَةِ، الِاشْتِغَالُ بِمَنْ لَا يَجُرُّ عَلَيْكَ الِاشْتِغَالُ بِهِ إِلَّا فَوْتَ نَصِيبِكَ وَحَظِّكَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَانْقِطَاعَكَ عَنْهُ، وَضَيَاعَ وَقْتِكَ، وَضَعْفَ عَزِيمَتِكَ، وَتَفَرُّقَ هَمِّكَ. Ketahuilah, penyesalan yang paling dalam adalah ketika seseorang sibuk dengan sesuatu yang tidak mendatangkan apa pun selain kehilangan bagian dirinya dari Allah, terputus dari-Nya, terbuang waktunya, lemah tekadnya, dan tercerai pikirannya. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهَذَا ـ وَلَا بُدَّ لَكَ مِنْهُ ـ فَعَامِلِ اللَّهَ تَعَالَى فِيهِ، وَاحْتَسِبْ عَلَيْهِ مَا أَمْكَنَكَ، وَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَرْضَاتِهِ فِيهِ، وَاجْعَلِ اجْتِمَاعَكَ بِهِ مَتْجَرًا لَكَ، وَلَا تَجْعَلْهُ خَسَارَةً، وَكُنْ مَعَهُ كَرَجُلٍ سَائِرٍ فِي طَرِيقِهِ عَرَضَ لَهُ رَجُلٌ وَقَفَهُ عَنْ سَيْرِهِ، فَاجْتَهِدْ أَنْ تَأْخُذَهُ مَعَكَ وَتَسِيرَ بِهِ، فَتَحْمِلَهُ وَلَا يَحْمِلُكَ، فَإِنْ أَبَى، وَلَمْ يَكُنْ فِي سَيْرِهِ مَطْمَعٌ، فَلَا تَقِفْ مَعَهُ، بَلِ ارْكَبِ الدَّرْبَ وَدَعْهُ، وَلَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَإِنَّهُ قَاطِعُ الطَّرِيقِ، وَلَوْ كَانَ مَنْ كَانَ، فَانْجُ بِقَلْبِكَ، وَاضْنَنْ بِيَوْمِكَ وَلَيْلَتِكَ، لَا تَغْرُبْ عَلَيْكَ الشَّمْسُ قَبْلَ وُصُولِ الْمَنْزِلَةِ، فَتُؤْخَذَ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ أَنَّى لَكَ بِلِقَائِهِمْ. Apabila engkau harus berinteraksi dengan orang semacam itu, maka niatkan karena Allah. Bersabarlah dan jadikan interaksi itu sebagai ladang pahala, bukan kerugian. Bersikaplah seperti seorang musafir yang dalam perjalanan bertemu seseorang yang mencoba menghentikannya. Usahakan untuk mengajaknya berjalan bersama, bukan sebaliknya. Jika ia menolak, jangan berhenti bersamanya — teruslah berjalan di jalanmu, jangan menoleh ke belakang. Ia hanyalah perampok jalanmu, siapa pun dia. Selamatkan hatimu, jagalah waktu siang dan malammu. Jangan biarkan matahari terbenam sebelum engkau mencapai tujuan, atau fajar menyingsing sementara engkau masih tertahan — karena entah kapan lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang telah sampai ke sana.   [الخامسة والثلاثون] أَنَّ الذِّكْرَ يَسِيرُ العَبْدُ وَهُوَ فِي فِرَاشِهِ، وَفِي سُوقِهِ، وَفِي حَالِ صِحَّتِهِ وَسَقَمِهِ، وَفِي حَالِ نَعِيمِهِ وَلَذَّتِهِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَعُمُّ الأَوْقَاتَ وَالأَحْوَالَ مِثْلَهُ، حَتَّى يَسِيرَ العَبْدُ وَهُوَ نَائِمٌ عَلَى فِرَاشِهِ فَيَسْبِقَ القَائِمَ مَعَ الغَفْلَةِ، فَيُصْبِحَ هَذَا وَقَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَيُصْبِحَ ذَاكَ الغَافِلُ فِي سَاقَةِ الرَّكْبِ، وَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. وَحُكِيَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ العُبَّادِ أَنَّهُ نَزَلَ بِرَجُلٍ ضَيْفًا، فَقَامَ العَابِدُ لَيْلَهُ يُصَلِّي، وَذَلِكَ الرَّجُلُ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحَا قَالَ لَهُ العَابِدُ: سَبَقَكَ الرَّكْبُ، أَوْ كَمَا قَالَ. فَقَالَ: لَيْسَ الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ مُسَافِرًا وَأَصْبَحَ مَعَ الرَّكْبِ، الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ وَأَصْبَحَ قَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ. Ketiga puluh lima, dzikir membuat seorang hamba tetap berjalan menuju Allah meskipun ia berada di atas tempat tidurnya, di pasar, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam kondisi menikmati nikmat atau kesenangan. Tidak ada amalan yang bisa mencakup seluruh waktu dan keadaan seperti dzikir. Bahkan, terkadang seorang hamba yang sedang berbaring di tempat tidurnya tetap melangkah maju dengan dzikirnya, melewati orang yang sedang berdiri dalam keadaan lalai. Maka ketika pagi datang, yang berzikir itu telah menempuh perjalanan jauh (menuju Allah) sementara ia masih berbaring, sedangkan yang lalai itu tertinggal jauh di belakang rombongan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dikisahkan dari seorang ahli ibadah bahwa ia singgah di rumah seorang lelaki sebagai tamu. Pada malam harinya, si ahli ibadah bangun untuk salat malam, sementara tuan rumahnya tetap berbaring di tempat tidurnya. Ketika pagi tiba, sang ahli ibadah berkata kepadanya, “Rombongan telah mendahuluimu (dalam perjalanan menuju Allah).” Namun si tuan rumah menjawab, “Bukan itu persoalannya. Bukan tentang siapa yang bermalam dalam perjalanan lalu pagi hari sudah bersama rombongan. Yang penting adalah siapa yang bermalam di tempat tidurnya, namun ketika pagi telah melampaui rombongan.” وَهَذَا وَنَحْوُهُ لَهُ مَحْمَلٌ صَحِيحٌ وَمَحْمَلٌ فَاسِدٌ، فَمَنْ حَكَمَ عَلَى أَنَّ الرَّاقِدَ المُضْطَجِعَ عَلَى فِرَاشِهِ يَسْبِقُ القَائِمَ القَانِتَ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنَّمَا مَحْمَلُهُ أَنَّ هَذَا المُسْتَلْقِيَ عَلَى فِرَاشِهِ عَلِقَ بِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَلْصَقَ حَبَّ قَلْبِهِ بِالعَرْشِ، وَبَاتَ قَلْبُهُ يَطُوفُ حَوْلَ العَرْشِ مَعَ المَلَائِكَةِ، قَدْ غَابَ عَنِ الدُّنْيَا وَمَنْ فِيهَا، وَقَدْ عَاقَهُ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ عَائِقٌ مِنْ وَجَعٍ أَوْ بَرْدٍ يَمْنَعُهُ القِيَامَ، أَوْ خَوْفٌ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ رُؤْيَةِ عَدُوٍّ يَطْلُبُهُ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الأَعْذَارِ، فَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَفِي قَلْبِهِ مَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَلِيمٌ. وَآخَرُ قَائِمٌ يُصَلِّي وَيَتْلُو، وَفِي قَلْبِهِ مِنَ الرِّيَاءِ وَالعُجْبِ وَطَلَبِ الجَاهِ وَالمَحْمَدَةِ عِنْدَ النَّاسِ مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ، أَوْ قَلْبُهُ فِي وَادٍ وَجِسْمُهُ فِي وَادٍ. فَلَا رَيْبَ أَنَّ ذَلِكَ الرَّاقِدَ يُصْبِحُ وَقَدْ سَبَقَ هَذَا القَائِمَ بِمَرَاحِلَ كَثِيرَةٍ، فَالعَمَلُ عَلَى القُلُوبِ لَا عَلَى الأَبْدَانِ، وَالمُعَوَّلُ عَلَى السَّاكِنِ، وَيُهَيِّجُ الحُبَّ المُتَوَارِيَ، وَيَبْعَثُ الطَّلَبَ المَيِّتَ. Perkataan seperti ini memiliki dua kemungkinan makna: makna yang benar dan makna yang keliru. Jika seseorang memahami bahwa orang yang berbaring di tempat tidurnya bisa mengalahkan orang yang bangun untuk beribadah dan salat malam tanpa alasan apa pun, maka pemahaman itu batil (keliru). Namun, makna yang benar adalah bahwa orang yang sedang berbaring itu hatinya terikat kuat dengan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, ia menempelkan cinta hatinya kepada ‘Arsy, dan hatinya berkeliling di sekitar ‘Arsy bersama para malaikat, sementara dirinya telah terlupa dari dunia dan segala isinya. Ia tertahan untuk bangun malam bukan karena malas, melainkan karena ada penghalang seperti sakit, cuaca dingin yang berat, rasa takut dari musuh yang mengincar, atau uzur lain yang benar-benar menghalanginya. Maka ia tetap berbaring di atas tempat tidurnya, namun hatinya dalam keadaan yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahuinya. Sedangkan orang lain berdiri salat dan membaca Al-Qur’an, tetapi dalam hatinya terdapat riya’, rasa bangga diri, mencari kedudukan, atau ingin dipuji manusia. Bisa jadi pula hatinya berada di satu tempat, sementara tubuhnya di tempat lain. Maka tidak diragukan lagi, orang yang berbaring namun hatinya hidup bersama Allah akan mendahului orang yang bangun malam dengan hati yang lalai dalam banyak tingkatan. Sebab, amal dinilai dari hati, bukan dari gerak tubuh. Yang menjadi ukuran adalah kehidupan batin yang diam namun menyala oleh cinta dan keikhlasan, karena ia mampu membangkitkan kembali cinta yang tersembunyi dan menghidupkan semangat ibadah yang hampir mati. [الذِّكْرُ وَحَقِيقَةُ النُّورِ الإِلَهِيِّ] (السَّادِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ) أَنَّ الذِّكْرَ نُورٌ لِلذَّاكِرِ فِي الدُّنْيَا، وَنُورٌ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنُورٌ لَهُ فِي مَعَادِهِ يَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ، فَمَا اسْتَنَارَتِ القُلُوبُ وَالقُبُورُ بِمِثْلِ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}. فَالأَوَّلُ هُوَ المُؤْمِنُ، اسْتَنَارَ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَحَبَّتِهِ وَمَعْرِفَتِهِ وَذِكْرِهِ، وَالآخَرُ هُوَ الغَافِلُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، المُعْرِضُ عَنْ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ. وَالشَّأْنُ كُلُّ الشَّأْنِ، وَالفَلَاحُ كُلُّ الفَلَاحِ فِي النُّورِ، وَالشَّقَاءُ كُلُّ الشَّقَاءِ فِي فَوَاتِهِ. وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَالِغُ فِي سُؤَالِ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حِينَ يَسْأَلُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي لَحْمِهِ وَعِظَامِهِ وَعَصَبِهِ وَشَعْرِهِ وَبَشَرِهِ وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ، وَمِنْ فَوْقِهِ وَمِنْ تَحْتِهِ، وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، وَخَلْفِهِ وَأَمَامِهِ، حَتَّى يَقُولَ: وَاجْعَلْنِي نُورًا. فَسَأَلَ رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يَجْعَلَ النُّورَ فِي ذَرَّاتِهِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَهُ مُحِيطًا بِهِ مِنْ جَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَأَنْ يَجْعَلَ ذَاتَهُ وَجُمْلَتَهُ نُورًا. فَدِينُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نُورٌ، وَكِتَابُهُ نُورٌ، وَرَسُولُهُ نُورٌ، وَدَارُهُ الَّتِي أَعَدَّهَا لِأَوْلِيَائِهِ نُورٌ يَتَلَأْلَأُ، وَهُوَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، وَمِنْ أَسْمَائِهِ النُّورُ، وَأَشْرَقَتِ الظُّلُمَاتُ لِنُورِ وَجْهِهِ. Ketiga puluh enam, [Dzikir dan Hakikat Cahaya Ilahi] Dzikir merupakan cahaya bagi orang yang berdzikir — cahaya baginya di dunia, cahaya baginya di dalam kuburnya, dan cahaya baginya di akhirat yang berjalan di hadapannya di atas shirath (jembatan akhirat). Tidak ada sesuatu pun yang mampu menerangi hati dan kubur sebagaimana zikir kepada Allah Ta‘ala. Allah Ta‘ala berfirman: “Apakah orang yang sebelumnya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan dan tidak dapat keluar darinya?” (QS. Al-An‘ām: 122) Yang pertama adalah seorang mukmin, yang dihidupkan dan diterangi oleh iman kepada Allah, cinta kepada-Nya, pengetahuan tentang-Nya, serta zikir kepada-Nya. Adapun yang kedua adalah orang yang lalai dari Allah Ta‘ala, berpaling dari zikir dan cinta kepada-Nya. Maka, seluruh keberuntungan bergantung pada cahaya itu, dan segala bentuk kesengsaraan bersumber dari hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Rabbnya — Tabāraka wa Ta‘ālā — memohon agar Allah menjadikan cahaya itu menyatu dalam seluruh bagian tubuhnya: dalam daging, tulang, urat, rambut, kulit, pendengaran, dan penglihatannya, dari atas dan bawah, dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang; hingga beliau berdoa: “Dan jadikanlah aku cahaya.” Beliau memohon agar cahaya itu memenuhi seluruh zarrah (bagian kecil) dalam dirinya, baik yang lahir maupun batin, mengelilinginya dari segala arah, bahkan menjadikan seluruh dirinya cahaya. Sebab, agama Allah adalah cahaya, Kitab-Nya adalah cahaya, Rasul-Nya adalah cahaya, dan surga-Nya — tempat yang disiapkan untuk para kekasih-Nya — adalah cahaya yang berkilauan. Sedangkan Dia sendiri, Tabāraka wa Ta‘ālā, adalah Cahaya langit dan bumi. Salah satu nama-Nya adalah An-Nūr (Yang Maha Cahaya), dan seluruh kegelapan akan sirna oleh pancaran cahaya wajah-Nya. [السَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ رَأْسُ الْأُصُولِ، وَطَرِيقُ عَامَّةِ الطَّائِفَةِ، وَمَنْشُورُ الْوِلَايَةِ، فَمَنْ فُتِحَ لَهُ فِيهِ، فَقَدْ فُتِحَ لَهُ بَابُ الدُّخُولِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَلْيَتَطَهَّرْ وَلْيَدْخُلْ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَجِدْ عِنْدَهُ كُلَّ مَا يُرِيدُ، فَإِنْ وَجَدَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَجَدَ كُلَّ شَيْءٍ، وَإِنْ فَاتَهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَاتَهُ كُلُّ شَيْءٍ.   Ketiga puluh tujuh, Dzikir merupakan pokok dari segala pokok, jalan utama bagi kebanyakan orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, dan merupakan tanda (pengumuman) kedekatan seorang hamba dengan-Nya. Barang siapa dibukakan hatinya untuk istiqamah dalam dzikir, maka sesungguhnya telah dibukakan baginya pintu untuk masuk mendekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia mensucikan diri—lahir dan batin—lalu masuk menghadap Rabb-nya. Di sisi Allah, ia akan mendapati segala yang diinginkan. Sebab, siapa yang menemukan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, berarti ia telah mendapatkan segalanya. Namun siapa yang kehilangan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, sungguh ia telah kehilangan segalanya. [الثَّامِنَةُ وَالثَّلَاثُونَ] فِي الْقَلْبِ خَلَّةٌ وَفَاقَةٌ لَا يَسُدُّهَا شَيْءٌ أَلْبَتَّةَ إِلَّا ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا صَارَ شِعَارَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ الذَّاكِرَ بِطَرِيقِ الْأَصَالَةِ، وَاللِّسَانُ تَابِعٌ لَهُ، فَهَذَا هُوَ الذِّكْرُ الَّذِي يَسُدُّ الْخَلَّةَ وَيُفْنِي الْفَاقَةَ، فَيَكُونُ صَاحِبُهُ غَنِيًّا بِلَا مَالٍ، عَزِيزًا بِلَا عَشِيرَةٍ، مَهِيبًا بِلَا سُلْطَانٍ. فَإِذَا كَانَ غَافِلًا عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ بِضِدِّ ذَلِكَ: فَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ جِدَّتِهِ، ذَلِيلٌ مَعَ سُلْطَانِهِ، حَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ عَشِيرَتِهِ. Ketiga puluh delapan, Dalam hati manusia terdapat kekosongan dan kebutuhan mendalam yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh apa pun selain dengan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila dzikir telah menjadi kebiasaan hati—hingga hati itu sendiri yang benar-benar berdzikir secara hakiki, sementara lisan hanya menjadi pengikutnya—maka inilah dzikir yang mampu mengisi kekosongan itu dan menghapus segala rasa kekurangan. Orang yang demikian akan merasa kaya tanpa harta, mulia tanpa keluarga besar, dan disegani tanpa kekuasaan. Sebaliknya, jika seseorang lalai dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia akan merasakan kebalikannya: miskin meski banyak hartanya, hina meski memiliki kekuasaan, dan rendah meski memiliki banyak pengikut dan kerabat. [التَّاسِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يَجْمَعُ الْمُتَفَرِّقَ، وَيُفَرِّقُ الْمُجْتَمِعَ، وَيُقَرِّبُ الْبَعِيدَ، وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ. فَيَجْمَعُ مَا تَفَرَّقَ عَلَى الْعَبْدِ مِنْ قَلْبِهِ وَإِرَادَتِهِ وَهُمُومِهِ وَعَزَائِمِهِ، وَالْعَذَابُ كُلُّ الْعَذَابِ فِي تَفَرُّقِهَا وَتَشَتُّتِهَا عَلَيْهِ وَانْفِرَاطِهَا لَهُ، وَالْحَيَاةُ وَالنَّعِيمُ فِي اجْتِمَاعِ قَلْبِهِ وَهَمِّهِ وَعَزْمِهِ وَإِرَادَتِهِ. وَيُفَرِّقُ مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَالْحَسَرَاتِ عَلَى فَوْتِ حُظُوظِهِ وَمَطَالِبِهِ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنْ ذُنُوبِهِ وَخَطَايَاهُ وَأَوْزَارِهِ، حَتَّى تَتَسَاقَطَ عَنْهُ وَتَتَلَاشَى وَتَضْمَحِلَّ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَى حَرْبِهِ مِنْ جُنْدِ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَزَالُ يَبْعَثُ لَهُ سَرِيَّةً، وَكُلَّمَا كَانَ أَقْوَى طَلَبًا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَمْثَلَ تَعَلُّقًا بِهِ وَإِرَادَةً لَهُ، كَانَتِ السَّرِيَّةُ أَكْثَفَ وَأَكْثَرَ وَأَعْظَمَ شَوْكَةً، بِحَسَبِ مَا عِنْدَ الْعَبْدِ مِنْ مَوَادِّ الْخَيْرِ وَالْإِرَادَةِ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى تَفْرِيقِ هَذَا الْجَمْعِ إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. وَأَمَّا تَقْرِيبُهُ الْبَعِيدَ فَإِنَّهُ يُقَرِّبُ إِلَيْهِ الْآخِرَةَ الَّتِي يُبْعِدُهَا مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَالْأَمَلُ، فَلَا يَزَالُ يَلْهَجُ بِالذِّكْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ قَدْ دَخَلَهَا وَحَضَرَهَا، فَحِينَئِذٍ تَصْغُرُ فِي عَيْنِهِ الدُّنْيَا، وَتَعْظُمُ فِي قَلْبِهِ الْآخِرَةُ. وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ إِلَيْهِ، وَهِيَ الدُّنْيَا الَّتِي هِيَ أَدْنَى إِلَيْهِ مِنَ الْآخِرَةِ، فَإِنَّ الْآخِرَةَ مَتَى قَرُبَتْ مِنْ قَلْبِهِ بَعُدَتْ مِنْهُ الدُّنْيَا، كُلَّمَا قَرُبَتْ مِنْهُ هَذِهِ مَرْحَلَةً بَعُدَتْ مِنْهُ تِلْكَ مَرْحَلَةً، وَلَا سَبِيلَ إِلَى هَذَا إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. Ketiga puluh sembilan, Dzikir memiliki kekuatan yang menakjubkan: ia mengumpulkan yang tercerai-berai dan memisahkan yang berhimpun; mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Dzikir mengumpulkan kembali apa pun yang tercerai dalam diri seseorang—hatinya, kehendaknya, pikirannya, dan tekadnya. Sungguh, penderitaan terbesar adalah ketika semua itu tercerai dan tidak terarah; sedangkan kebahagiaan sejati terletak pada bersatunya hati, kehendak, niat, dan tekad seseorang dalam satu tujuan, yaitu menuju Allah. Dzikir juga memisahkan apa yang berkumpul dari tumpukan kesedihan, kegelisahan, dan penyesalan atas hilangnya berbagai keinginan dan kesenangan dunia. Ia memisahkan pula dosa-dosa, kesalahan, dan beban maksiat yang menumpuk di diri seseorang—hingga dosa-dosa itu berjatuhan, lenyap, dan sirna. Dzikir juga memecah barisan pasukan setan yang bersatu untuk memerangi seorang hamba. Setan tak henti mengirimkan bala tentaranya untuk menggoda, dan semakin kuat keinginan seorang hamba untuk mencari Allah, semakin banyak dan besar pula serangan pasukan setan terhadapnya—sesuai dengan kadar kebaikan dan tekad yang ada pada dirinya. Dan tidak ada cara untuk memecah barisan pasukan itu kecuali dengan zikir yang terus-menerus. Adapun dzikir disebut “mendekatkan yang jauh”, karena ia mendekatkan akhirat yang berusaha dijauhkan dari hati oleh setan dan angan-angan duniawi. Ketika lidah seseorang terus melantunkan dzikir, seolah-olah ia sudah berada di negeri akhirat dan menyaksikannya secara langsung. Saat itulah dunia terasa kecil di matanya, sedangkan akhirat menjadi agung dalam hatinya. Dzikir juga disebut “menjauhkan yang dekat”, yakni dunia yang selalu berada di hadapan manusia dan menggoda hatinya. Ketika akhirat semakin dekat di hati, dunia pun semakin jauh darinya. Setiap langkah hati yang mendekat kepada akhirat adalah langkah menjauh dari dunia — dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan zikir yang terus-menerus. [الأَرْبَعُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يُنَبِّهُ الْقَلْبَ مِنْ نَوْمِهِ، وَيُوقِظُهُ مِنْ سِنَتِهِ، وَالْقَلْبُ إِذَا كَانَ نَائِمًا فَاتَتْهُ الْأَرْبَاحُ وَالْمَتَاجِرُ، وَكَانَ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الْخُسْرَانُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ وَعَلِمَ مَا فَاتَهُ فِي نَوْمَتِهِ، شَدَّ الْمِئْزَرَ وَأَحْيَا بَقِيَّةَ عُمْرِهِ، وَاسْتَدْرَكَ مَا فَاتَهُ، وَلَا تَحْصُلُ يَقَظَتُهُ إِلَّا بِالذِّكْرِ، فَإِنَّ الْغَفْلَةَ نَوْمٌ ثَقِيلٌ. Keempat puluh, Dzikir adalah pembangun hati yang tertidur dan penggugah dari kelalaiannya. Ketika hati berada dalam keadaan tidur (lalai), ia kehilangan berbagai keuntungan dan kesempatan berharga dalam hidupnya. Sebaliknya, yang mendominasi adalah kerugian dan kehampaan. Namun saat hati itu terjaga dan menyadari apa yang telah ia lewatkan selama dalam kelalaian, ia pun akan segera bersemangat, mengencangkan ikat pinggangnya, memanfaatkan sisa umurnya, dan berusaha menebus apa yang telah terlewat. Kesadaran dan kebangkitan hati semacam ini tidak akan terjadi kecuali dengan dzikir, sebab kelalaian (ghaflah) adalah tidur yang sangat berat bagi hati.   —   Dzikir itu Menenangkan Hati Di antara faedah besar dari dzikir adalah menenangkan hati. Allah Ta‘ālā berfirman: أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28) Dzikir juga menjadi tanda hidupnya hati seseorang. Dalam hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dengan orang yang tidak berdzikir, bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim) Dzikir juga merupakan sarana membersihkan hati. Dalam hadits disebutkan: إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana besi berkarat ketika terkena air.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penghapus karatnya?” Beliau menjawab, “Banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqī)   Hadirkan Hati Ketika Berdzikir Para ulama menegaskan bahwa dzikir terbaik adalah dzikir dengan lisan yang disertai hadirnya hati. Jika hanya lisan yang bergerak sementara hati lalai, maka itu berada pada tingkatan dzikir paling rendah. An-Nafrawī menukil dari al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahwa dzikir ada dua macam: dzikir dengan hati saja, dan dzikir dengan lisan bersama hati. Dzikir dengan hati terbagi dua: Dzikir berupa tadabbur dan tafakkur terhadap kebesaran Allah, keagungan-Nya, tanda-tanda-Nya, dan ciptaan-Nya yang ada di langit maupun bumi. Inilah dzikir yang paling tinggi dan paling agung. Mengingat Allah dengan cara menghadirkan-Nya dalam hati ketika berhadapan dengan perintah dan larangan-Nya. Yang pertama lebih utama daripada yang kedua. Sedangkan yang kedua lebih utama dibandingkan dzikir dengan lisan yang disertai hati. Adapun dzikir dengan lisan saja tanpa hati, itu adalah tingkatan paling rendah, meskipun tetap ada pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits. Dari sini jelas, wahai saudaraku, bahwa dzikir dengan lisan saja sementara hati sibuk dengan hal lain—seperti membicarakan obrolan teman atau berita dunia—maka pelakunya tetap mendapat pahala karena lisannya dipenuhi dzikir kepada Allah Ta‘ālā, tetapi tidak akan menyamai derajat orang yang menggabungkan antara dzikir lisan dan hati sekaligus. Adapun terkait melanjutkan dzikir setelah ada pemutus (terhenti sejenak), hal ini dirinci. Jika dzikir tersebut telah ditentukan jumlahnya dalam syariat, seperti dzikir setelah shalat fardhu, maka tidak mengapa melanjutkannya dari hitungan sebelumnya. Namun jika syariat tidak menentukan jumlahnya, maka menetapkan bilangan tertentu tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada bid‘ah dan membuat-buat dalam agama yang tidak ada tuntunannya.   Makna Dzikir Dzikir memiliki makna yang luas, mencakup dua sisi: a) Makna umum Dzikir dalam makna umum meliputi seluruh bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, memuji Allah, berdoa, bertasbih, bertahmid, mengagungkan Allah, dan berbagai ketaatan lainnya. Semua ibadah itu pada hakikatnya ditegakkan untuk mengingat Allah, menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ، وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ، وَتَعْلِيمِهِ، وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفٍ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ، فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ “Segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan dan dihadirkan oleh hati yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti belajar ilmu, mengajarkannya, amar ma‘ruf, dan nahi munkar, maka itu termasuk dzikir kepada Allah.” b) Makna khusus Dzikir dalam makna khusus adalah menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan lafaz yang bersumber dari Allah—seperti membaca Al-Qur’an—atau lafaz yang datang melalui lisan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya terdapat pengagungan, penyucian, pemuliaan, dan peneguhan tauhid kepada Allah. Makna inilah yang dimaksud dalam sunnah ketika berbicara tentang dzikir. Dzikir yang paling agung adalah membaca Kitab Allah Ta‘ālā. Beribadah dengan membaca Al-Qur’an telah membuat mata para salaf sulit terpejam dan membuat mereka rela meninggalkan tidur nyenyak. Allah berfirman: وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan pada waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. adz-Dzāriyāt: 18) Para salaf mengisi malam mereka dengan membaca Kitab Allah Ta‘ālā dan melantunkan dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka sungguh, alangkah mulianya malam yang dihidupkan oleh mereka dengan ibadah. Sementara kita, betapa besar kerugian kita, betapa banyak kelalaian kita, dan betapa besar keteledoran kita dalam memanfaatkan malam dan waktu sahur! Semoga malam-malam kita selamat dari maksiat kepada Rabb kita, kecuali bagi yang dirahmati Allah Ta‘ālā.   Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Seorang hamba hendaknya bersemangat berdzikir kepada Allah Ta‘ālā dengan hati dan lisannya sekaligus. Inilah keadaan yang paling sempurna. Adapun dzikir hanya dengan lisan saja tanpa kehadiran hati, maka itu termasuk keadaan yang kurang. Sebab, ada sebagian orang yang ketika berdzikir tidak merasakan apa yang ia ucapkan. Lisannya memang bergerak, tetapi hatinya tidak ikut hidup. Seandainya hatinya ikut berdzikir, merenungi maknanya, tentu imannya akan bertambah dan hatinya akan lebih lembut. Wahai saudaraku yang diberkahi Allah, ketahuilah juga bahwa dzikir ditinjau dari tempat atau waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua: dzikir muqayyad dan dzikir mutlak. Dzikir muqayyad adalah dzikir yang dibatasi oleh tempat, waktu, atau keadaan tertentu. Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak dibatasi oleh salah satu dari hal tersebut, melainkan bisa dilakukan kapan saja sepanjang hari. Contohnya, dzikir setelah shalat fardhu, dzikir setelah adzan, atau dzikir lain yang diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pada waktu dan tempat tertentu. Semua dzikir muqayyad ini lebih utama dibandingkan dzikir mutlak, karena di dalamnya ada unsur mengikuti sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika seseorang selesai dari shalat wajib, dzikir yang paling utama baginya adalah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Ia tidak menggantinya dengan dzikir lain, meskipun dzikir itu juga utama, seperti membaca Al-Qur’an. Sebab, demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kebaikan yang sempurna adalah dengan meneladani beliau.   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.   — Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (20/03/2011), direvisi 12 September 2025 di Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com   Baca Juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah Yang Sering Menjadi Pertanyaan Seputar Dzikir Pagi Petang [1] HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691 [2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih [3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Hasan bin Qoid, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, 94-198. Tagsdoa dan dzikir Dzikir dzikir pagi dzikir petang keutamaan dzikir


Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan, namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Ia adalah makanan hati, penyejuk jiwa, dan penghubung seorang hamba dengan Rabb-nya. Para ulama menjelaskan bahwa dalam dzikir terkandung ratusan manfaat yang mampu mengangkat derajat seorang muslim. Karena itu, siapa saja yang ingin hatinya hidup dan dekat dengan Allah ﷻ, hendaknya senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir.   Daftar Isi tutup 1. Lebih dari Seratus Faedah Dzikir 2. Dzikir itu Menenangkan Hati 3. Hadirkan Hati Ketika Berdzikir 4. Makna Dzikir 4.1. a) Makna umum 4.2. b) Makna khusus 5. Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: وَفِي الذِّكْرِ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةِ فَائِدَةٍ Lebih dari Seratus Faedah Dzikir Di antara faedah dzikir yang sangat banyak itu adalah:   (إِحْدَاهَا) أَنَّهُ يَطْرُدُ الشَّيْطَانَ وَيَقْمَعُهُ وَيَكْسِرُهُ. Pertama, dzikir dapat mengusir setan, melemahkan, dan menghancurkan kekuatannya.   [الثَّانِيَةُ] أَنَّهُ يُرْضِي الرَّحْمٰنَ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua, dzikir mendatangkan keridaan Allah ﷻ.   [الثَّالِثَةُ] أَنَّهُ يُزِيلُ الهَمَّ وَالغَمَّ عَنِ القَلْبِ. Ketiga, dzikir mampu menghilangkan kekhawatiran pada masa akan datang (hamm) dan kesedihan saat ini (ghamm) dari hati.   [الرَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ لِلْقَلْبِ الفَرَحَ وَالسُّرُورَ وَالبَسْطَ. Keempat, dzikir membawa kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan bagi hati.   [الخَامِسَةُ] أَنَّهُ يُقَوِّي القَلْبَ وَالبَدَنَ. Kelima, dzikir menguatkan hati dan tubuh.   [السَّادِسَةُ] يُنَوِّرُ الوَجْهَ وَالقَلْبَ. Keenam, dzikir menjadikan wajah dan hati bercahaya.   [السَّابِعَةُ] أَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّزْقَ. Ketujuh, dzikir mendatangkan rezeki.   [الثَّامِنَةُ] أَنَّهُ يَكْسُو الذَّاكِرَ المَهَابَةَ وَالحَلَاوَةَ وَالنُضْرَةَ. Kedelapan, dzikir membuat orang yang melakukannya memiliki wibawa, pesona, dan keteduhan.   [التَّاسِعَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المَحَبَّةَ الَّتِي هِيَ رُوحُ الإِسْلَامِ، وَقُطْبُ رَحَى الدِّينِ، وَمدَارُ السَّعَادَةِ. قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا، وَجَعَلَ سَبَبَ المَحَبَّةِ دَوَامَ الذِّكْرِ. فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَلْهَجْ بِذِكْرِهِ، فَإِنَّهُ الدَّرْسُ وَالمُذَاكَرَةُ كَمَا أَنَّهُ بَابُ العِلْمِ، فَالذِّكْرُ بَابُ المَحَبَّةِ وَشَارِعُهَا الأَعْظَمُ وَصِرَاطُهَا الأَقْوَمُ. Kesembilan, dzikir menumbuhkan rasa cinta, yang merupakan ruh Islam, poros agama, dan inti kebahagiaan. Allah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab, dan sebab tumbuhnya cinta kepada-Nya adalah dengan terus berdzikir. Siapa saja yang ingin meraih cinta Allah ﷻ, hendaklah ia senantiasa basah lisannya dengan dzikir. Sebagaimana pengulangan pelajaran adalah kunci ilmu, maka dzikir adalah kunci cinta, jalan besarnya, dan jalan lurus menuju-Nya. Baca juga: Tanda Allah Mencintai Seseorang: Dicintai Penduduk Langit dan Diterima di Bumi   [العَاشِرَةُ] أَنَّهُ يُورِثُهُ المُرَاقَبَةَ حَتَّى يُدْخِلَهُ فِي بَابِ الإِحْسَانِ، فَيَعْبُدُ اللهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، وَلا سَبِيلَ لِلْغَافِلِ عَنِ الذِّكْرِ إِلَى مَقَامِ الإِحْسَانِ، كَمَا لا سَبِيلَ لِلْقَاعِدِ إِلَى الوُصُولِ إِلَى البَيْتِ. Kesepuluh, dzikir melahirkan sikap muraqabah (merasa diawasi Allah) hingga mengantarkan seseorang ke pintu ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Orang yang lalai dari dzikir tidak akan mungkin sampai pada derajat ihsan, sebagaimana orang yang hanya duduk tidak akan pernah sampai ke rumah tujuan. Baca juga: Penjelasan Ringkas tentang Ihsan   [الحَادِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الإِنَابَةَ، وَهِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَمَتَى أَكْثَرَ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ بِذِكْرِهِ أَوْرَثَهُ ذٰلِكَ رُجُوعَهُ بِقَلْبِهِ إِلَيْهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ، فَيَبْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَفْزَعَهُ وَمَلْجَأَهُ، وَمَلَاذَهُ وَمَعَاذَهُ، وَقِبْلَةَ قَلْبِهِ وَمَهْرَبَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ وَالبَلَايَا. Kesebelas, dzikir menumbuhkan sikap inābah, yaitu kembali kepada Allah ﷻ. Semakin banyak seseorang kembali kepada-Nya melalui dzikir, semakin membuatnya terbiasa menjadikan Allah sebagai tempat kembali hatinya dalam setiap keadaan. Allah menjadi pelindung, sandaran, tujuan, dan tempat ia mengadu di saat datangnya musibah dan ujian.   [الثَّانِيَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ القُرْبَ مِنْهُ، فَعَلَى قَدْرِ ذِكْرِهِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهُ، وَعَلَى قَدْرِ غَفْلَتِهِ يَكُونُ بُعْدُهُ مِنْهُ. Kedua belas, dzikir mendekatkan hamba kepada Allah ﷻ. Sejauh mana ia berdzikir, sejauh itu pula kedekatannya. Sebaliknya, sejauh mana ia lalai (ghaflah), sejauh itu pula jaraknya dari Allah.   [الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَفْتَحُ لَهُ بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ المَعْرِفَةِ، وَكُلَّمَا أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ ازْدَادَ مِنَ المَعْرِفَةِ. Ketiga belas, dzikir membuka pintu besar menuju ma‘rifah (pengenalan yang mendalam terhadap Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah pula ma‘rifah.   [الرَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ الهَيْبَةَ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِجْلَالَهُ، لِشِدَّةِ اسْتِيلَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ وَحُضُورِهِ مَعَ اللهِ تَعَالَى. بِخِلافِ الغَافِلِ فَإِنَّ حِجَابَ الهَيْبَةِ رَقِيقٌ فِي قَلْبِهِ. Keempat belas, dzikir menumbuhkan rasa haibah (kewibawaan batin) dan pengagungan terhadap Allah ﷻ, karena dzikir memenuhi hati dengan kehadiran-Nya. Sebaliknya, orang yang lalai tidak memiliki haibah dalam hatinya, bahkan tirai pengagungan terhadap Allah sangat tipis.   [الخَامِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُهُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى لَهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ﴾ [البقرة: ١٥٢] Kelima belas, dzikir mendatangkan balasan berupa Allah mengingat hamba-Nya. Allah ﷻ berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152) وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذِّكْرِ إِلَّا هٰذِهِ وَحْدَهَا لَكَفَتْ فَضْلًا وَشَرَفًا. وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ». Seandainya tidak ada keutamaan dzikir kecuali ini saja, tentu sudah cukup sebagai kemuliaan dan keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits qudsi dari Allah Ta‘ala: «مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ» “Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan siapa yang mengingat-Ku di tengah sebuah kelompok, maka Aku akan mengingatnya di tengah kelompok yang lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhārī dan Muslim)   [السَّادِسَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ حَيَاةَ القَلْبِ. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللهُ تَعَالَى رُوحَهُ يَقُولُ: Keenam belas, dzikir menghidupkan hati. Aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: «الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ مِثْلُ المَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ المَاءَ؟». “Dzikir bagi hati itu laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan jika ia berpisah dari airnya?”   [السَّابِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ قُوتُ القَلْبِ وَالرُّوحِ، فَإِذَا فَقَدَهُ العَبْدُ صَارَ بِمَنْزِلَةِ الجِسْمِ إِذَا حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُوتِهِ. Ketujuh belas, dzikir adalah makanan hati dan ruh. Jika hamba kehilangan dzikir, maka ia bagaikan tubuh yang kehilangan makanannya. وَحَضَرْتُ شَيْخَ الإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ مَرَّةً، صَلَّى الفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى إِلَى قَرِيبٍ مِنِ انْتِصَافِ النَّهَارِ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ وَقَالَ: «هٰذِهِ غَدْوَتِي، وَلَوْ لَمْ أَتَغَدَّ الغَدَاءَ سَقَطَتْ قُوَّتِي». أَوْ كَلَامًا قَرِيبًا مِنْ هٰذَا. Aku pernah hadir bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Suatu hari setelah salat Subuh, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga mendekati pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: “Inilah sarapan pagiku. Seandainya aku tidak sarapan seperti ini, pasti tenagaku melemah.” وَقَالَ لِي مَرَّةً: «لَا أَتْرُكُ الذِّكْرَ إِلَّا بِنِيَّةِ إِجْمَامِ نَفْسِي وَإِرَاحَتِهَا، لِأَسْتَعِدَّ بِتِلْكَ الرَّاحَةِ لِذِكْرٍ آخَرَ». أَوْ كَلَامًا هٰذَا مَعْنَاهُ. Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali dengan niat memberi jeda dan istirahat pada diriku, agar dengan istirahat itu aku bisa lebih kuat untuk berdzikir kembali.” Atau ungkapan dengan makna yang serupa.   [الثَّامِنَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يُورِثُ جَلَاءَ القَلْبِ مِنْ صَدَائِهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الحَدِيثِ، وَكُلُّ شَيْءٍ لَهُ صَدَأٌ، وَصَدَأُ القَلْبِ الغَفْلَةُ وَالهَوَى، وَجَلَاؤُهُ الذِّكْرُ وَالتَّوْبَةُ وَالاسْتِغْفَارُ، وَقَدْ تَقَدَّمَ هٰذَا المَعْنَى. Kedelapan belas, dzikir menjadikan hati bersih dari karatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Setiap sesuatu pasti ada karatnya, dan karat hati adalah kelalaian (ghaflah) serta hawa nafsu. Pembersihnya adalah dzikir, taubat, dan istighfar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya.   [التَّاسِعَةُ عَشْرَةَ] أَنَّهُ يَحُطُّ الخَطَايَا وَيُذْهِبُهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الحَسَنَاتِ، وَالحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ. Kesembilan belas, dzikir menggugurkan dosa-dosa dan menghapusnya. Sebab, dzikir termasuk amalan paling agung, sementara Allah ﷻ berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus keburukan-keburukan.” (QS. Hūd [11]: 114)   [العِشْرُونَ] أَنَّهُ يُزِيلُ الوَحْشَةَ بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، فَإِنَّ الغَافِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْشَةٌ لَا تَزُولُ إِلَّا بِالذِّكْرِ. Kedua puluh, dzikir menghilangkan rasa asing dan jauh antara hamba dengan Rabb-nya ﷻ. Orang yang lalai (ghaflah) dari dzikir, antara dirinya dengan Allah terdapat jurang keterasingan yang tidak akan hilang kecuali dengan dzikir. Catatan: Apa itu al-wahsyah? Dalam Kamus Al-Ma’ani disebutkan bahwa wahsyah itu berarti tanah tandus yang sunyi dan menakutkan. Maknanya juga: terputusnya hubungan dan jauhnya hati dari kasih sayang. Ia juga bisa bermakna rasa takut ketika sendirian. Orang arab menyebut aw-hasyal manzil, maksudnya rumah itu menjadi sepi dan ditinggalkan manusia. Maka jika engkau ingin mendoakan seseorang yang engkau cintai, baik saat ia jauh maupun dekat, ucapkanlah: لَا أَوْحَشَ اللّٰهُ لَكَ قَلْبًا وَلَا رُوحًا وَلَا جَسَدًا Semoga Allah tidak menjadikan hatimu, jiwamu, dan tubuhmu merasa sunyi dan sepi.   [الحَادِيَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّ مَا يَذْكُرُ بِهِ العَبْدُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ جَلَالِهِ وَتَسْبِيحِهِ وَتَحْمِيدِهِ يُذْكَرُ بِصَاحِبِهِ عِنْدَ الشِّدَّةِ. فَقَدْ رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ العَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ. أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟» هٰذَا الحَدِيثُ أَوْ مَعْنَاهُ. Kedua puluh satu, segala tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang diucapkan hamba dalam menyebut nama Allah ﷻ akan menjadi penyelamatnya di saat sulit. Imam Aḥmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: إِنَّ مَا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ، يَتَعَاطَفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ، لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ، يُذْكَرْنَ بِصَاحِبِهِنَّ، أَفَلَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا يُذْكَرُ بِهِ؟ “Sesungguhnya apa yang kalian sebut dari keagungan Allah ﷻ, berupa tahlil, takbir, dan tahmid, semuanya akan berputar di sekitar ‘Arsy, suaranya berdengung seperti dengungan lebah. Ia akan disebut-sebut bersama pelakunya. Maka tidakkah salah seorang dari kalian suka jika ia memiliki amal yang bisa membuatnya disebut-sebut (di sisi Allah)?” (HR. Aḥmad, atau semakna dengannya).   [الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَعَرَّفَ إِلَى اللهِ تَعَالَى بِذِكْرِهِ فِي الرَّخَاءِ عَرَفَهُ فِي الشِّدَّةِ، وَقَدْ جَاءَ أَثَرٌ مَعْنَاهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْمُطِيعَ الذَّاكِرَ لِلَّهِ تَعَالَى إِذَا أَصَابَتْهُ شِدَّةٌ أَوْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى حَاجَةً قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ صَوْتٌ مَعْرُوفٌ، مِنْ عَبْدٍ مَعْرُوفٍ، وَالْغَافِلُ الْمُعْرِضُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا دَعَاهُ وَسَأَلَهُ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، صَوْتٌ مُنْكَرٌ، مِنْ عَبْدٍ مُنْكَرٍ. Kedua puluh dua, seorang hamba yang membiasakan diri mengenal Allah Ta‘ālā dengan banyak berdzikir di waktu lapang, maka Allah akan mengenalnya di waktu sempit. Ada sebuah atsar yang menjelaskan bahwa seorang hamba yang taat dan banyak berdzikir, ketika ia tertimpa kesulitan atau memohon kepada Allah, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang dikenal, dari hamba yang dikenal.” Sebaliknya, orang yang lalai dan berpaling dari Allah, jika suatu saat ia berdoa dan memohon, para malaikat berkata, “Ya Rabb, ini suara yang asing, dari hamba yang asing.”   [الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُنَجِّي مِنْ عَذَابِ اللهِ تَعَالَى، كَمَا قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَيُرْوَى مَرْفُوعًا: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى». Kedua puluh tiga, dzikir dapat menyelamatkan dari azab Allah Ta‘ālā. Sebagaimana perkataan Mu‘ādz radhiyallāhu ‘anhu—dan diriwayatkan pula secara marfū‘—: مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى “Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkan dari azab Allah ‘Azza wa Jalla melebihi dzikir kepada Allah Ta‘ālā.”   [الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ تَنْزِيلِ السَّكِينَةِ، وَغَشْيَانِ الرَّحْمَةِ، وَحُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ بِالذَّاكِرِ كَمَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kedua puluh empat, dzikir menjadi sebab turunnya sakīnah (ketenangan jiwa), turunnya rahmat, serta dikelilinginya para ahli dzikir oleh malaikat, sebagaimana diberitakan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.   [الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّهُ سَبَبُ اشْتِغَالِ اللِّسَانِ عَنِ الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَذِبِ وَالْفُحْشِ وَالْبَاطِلِ. فَإِنَّ الْعَبْدَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ. فَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَذِكْرِ أَوَامِرِهِ تَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ بَعْضِهَا، وَلَا سَبِيلَ إِلَى السَّلَامَةِ مِنْهَا الْبَتَّةَ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى. وَالْمُشَاهَدَةُ وَالتَّجْرِبَةُ شَاهِدَانِ بِذَلِكَ، فَمَنْ عَوَّدَ لِسَانَهُ ذِكْرَ اللهِ صَانَ لِسَانَهُ عَنِ الْبَاطِلِ وَاللَّغْوِ، وَمَنْ يَبِسَ لِسَانُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى تَرَطَّبَ بِكُلِّ بَاطِلٍ وَلَغْوٍ وَفُحْشٍ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. Kedua puluh lima, dzikir menjadi sebab terjaganya lisan dari ghibah, namimah, dusta, kata-kata keji, dan ucapan batil. Sebab, manusia pasti berbicara. Jika ia tidak mengisi lisannya dengan dzikir kepada Allah dan menyebut perintah-perintah-Nya, maka lisannya akan terisi dengan kata-kata haram atau sebagian darinya. Tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali dengan dzikir kepada Allah. Pengalaman nyata menjadi saksi: siapa yang membiasakan lisannya dengan dzikir, Allah akan memelihara lisannya dari ucapan batil dan sia-sia. Sebaliknya, siapa yang lisannya kering dari dzikir, maka lisannya akan basah dengan ucapan batil, sia-sia, dan kotor. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.   [السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُونَ] أَنَّ مَجَالِسَ الذِّكْرِ مَجَالِسُ الْمَلَائِكَةِ، وَمَجَالِسَ اللَّغْوِ وَالْغَفْلَةِ مَجَالِسُ الشَّيَاطِينِ. فَلْيَتَخَيَّرِ الْعَبْدُ أَعْجَبَهُمَا إِلَيْهِ وَأَوْلَاهُمَا بِهِ، فَهُوَ مَعَ أَهْلِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. Kedua puluh enam, majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Sedangkan majelis sia-sia dan lalai adalah majelis para setan. Maka hendaknya seorang hamba memilih: majelis manakah yang lebih ia sukai dan lebih layak baginya. Karena di dunia ia akan bersama mereka, dan di akhirat pun ia akan dikumpulkan bersama mereka.   [السَّابِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُسْعِدُ الذَّاكِرَ بِذِكْرِهِ وَيُسْعِدُ بِهِ جَلِيسَهُ، وَهٰذَا هُوَ المُبَارَكُ أَيْنَ مَا كَانَ. وَالغَافِلُ وَاللَّاغِي يَشْقَى بِلَغْوِهِ وَغَفْلَتِهِ، وَيَشْقَى بِهِ مُجَالِسُهُ. Kedua puluh tujuh, dzikir membahagiakan orang yang berdzikir dengan lisannya, dan kebahagiaan itu juga menular kepada orang yang duduk bersamanya. Inilah hakikat keberkahan; di mana pun ia berada, selalu membawa kebaikan. Sebaliknya, orang yang lalai dan suka berbicara sia-sia akan menjerumuskan dirinya dalam kesengsaraan karena kelalaiannya, dan orang yang duduk bersamanya pun ikut celaka karenanya.   [الثَّامِنَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ يُؤمِّنُ العَبْدَ مِنَ الحَسْرَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ. فَإِنَّ كُلَّ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُ العَبْدُ فِيهِ رَبَّهُ تَعَالَى كَانَ عَلَيْهِ حَسْرَةً وَتْرَةً يَوْمَ القِيَامَةِ. Kedua puluh delapan, dzikir menyelamatkan seorang hamba dari penyesalan di Hari Kiamat. Sebab, setiap majelis yang kosong dari dzikir akan menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari akhir.   [التَّاسِعَةُ وَالعِشْرُونَ] أَنَّهُ مَعَ البُكَاءِ فِي الخَلْوَةِ سَبَبٌ لِإِظْلَالِ اللهِ تَعَالَى العَبْدَ يَوْمَ الحَرِّ الأَكْبَرِ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ، وَالنَّاسُ فِي حَرِّ الشَّمْسِ قَدْ صَهَرَتْهُم فِي المَوْقِفِ. وَهٰذَا الذَّاكِرُ مُسْتَظِلٌّ بِظِلِّ عَرْشِ الرَّحْمٰنِ عَزَّ وَجَلَّ. Kedua puluh sembilan, dzikir yang disertai tangisan dalam kesendirian menjadi sebab Allah menaungi seorang hamba di bawah naungan ‘Arsy pada hari panas yang dahsyat. Saat manusia lainnya tersengat terik matahari yang membakar, orang yang berdzikir itu berada dalam naungan penuh rahmat.   [الثَّلَاثُونَ] أَنَّ الاشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِعَطَاءِ اللهِ لِلذَّاكِرِ أَفْضَلَ مَا يُعْطِي السَّائِلِينَ، فَفِي الحَدِيثِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ». Ketiga puluh, orang yang sibuk dengan dzikir akan diberi oleh Allah karunia terbaik, lebih daripada apa yang Dia berikan kepada para peminta. Rasulullah ﷺ bersabda, meriwayatkan dari Rabb-nya: “Allah Ta‘ala berfirman: Barang siapa yang disibukkan dengan mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”   [الحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ أَيْسَرُ العِبَادَاتِ، وَهُوَ مِنْ أَجَلِّهَا وَأَفْضَلِهَا، فَإِنَّ حَرَكَةَ اللِّسَانِ أَخَفُّ حَرَكَاتِ الجَوَارِحِ وَأَيْسَرُهَا، وَلَوْ تَحَرَّكَ عُضْوٌ مِنَ الإِنسَانِ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِقَدْرِ حَرَكَةِ لِسَانِهِ لَشَقَّ عَلَيْهِ غَايَةَ المَشَقَّةِ، بَلْ لَا يُمْكِنُهُ ذٰلِكَ. Ketiga puluh satu, dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tetapi termasuk yang paling agung dan utama. Gerakan lisan adalah gerakan anggota tubuh yang paling ringan. Seandainya ada satu anggota tubuh manusia yang bergerak sebanyak gerakan lisannya dalam sehari semalam, tentu ia akan merasa sangat berat, bahkan tidak mungkin sanggup melakukannya.   [الثَّانِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّهُ غِرَاسُ الجَنَّةِ. فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَقِيتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ، عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ. وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ». قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. Ketiga puluh dua, dzikir adalah tanaman surga. Dalam riwayat Tirmiżī, dari Abdullah bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada malam Isra’, aku bertemu dengan Ibrāhīm al-Khalīl ‘alaihis-salām. Ia berkata: Wahai Muhammad, sampaikan salam kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya segar, dan ia masih berupa tanah lapang. Tanaman surga adalah bacaan: Subḥānallāh, walḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.” (HR. Tirmidzi, hasan gharib) Juga dalam riwayat at-Tirmiżī dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: Subḥānallāhi wa biḥamdih, maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih).   [الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ العَطَاءَ وَالفَضْلَ الَّذِي رُتِّبَ عَلَيْهِ لَمْ يُرَتَّبْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ. Ketiga puluh tiga, keutamaan dan pahala yang Allah tetapkan bagi dzikir tidak diberikan kepada amal lainnya. فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ. وَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ». Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan memerdekakan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan itu menjadi benteng dari setan pada hari itu hingga sore. Tidak ada yang membawa amal lebih baik darinya kecuali orang yang mengamalkannya lebih banyak. Dan siapa yang mengucapkan: subḥānallāhi wa biḥamdih seratus kali dalam sehari, maka dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.” وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ». Dalam Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat: subḥānallāh, wal-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar lebih aku cintai daripada seluruh yang disinari matahari.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، أَعْتَقَ اللهُ رُبُعَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا مَرَّتَيْنِ أَعْتَقَ اللهُ نِصْفَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثًا أَعْتَقَ اللهُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَهَا أَرْبَعًا أَعْتَقَهُ اللهُ تَعَالَى مِنَ النَّارِ». Dalam riwayat at-Tirmiżī dari Anas, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika pagi atau sore membaca doa: Allāhumma innī aṣbaḥtu usy’hiduka wa usy’hidu ḥamalata ‘arsyika wa malāikataka wa jamī‘a khalqika, annaka anta Allāh, lā ilāha illā anta, wa anna Muḥammadan ‘abduka wa rasūluka, maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari api neraka. Jika membacanya dua kali, Allah membebaskan separuh dirinya dari neraka. Jika membacanya tiga kali, Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka. Jika membacanya empat kali, Allah membebaskannya seluruhnya dari api neraka.” وَفِيهِ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَإِذَا أَصْبَحَ: رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُرْضِيَهُ». Dalam riwayat Tirmiżī dari Tsaubān, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang ketika sore atau pagi membaca doa: raḍītu billāhi rabban, wa bil-islāmi dīnan, wa bi-Muḥammadin ṣallallāhu ‘alaihi wa sallama rasūlā, maka Allah benar-benar menjadikan keridaan baginya.” وَفِي التِّرْمِذِيِّ: «مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ». Dan dalam riwayat Tirmiżī pula: “Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan: lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, lahu al-mulku walahu al-ḥamdu, yuḥyī wa yumītu, wa huwa ḥayyullā yamūtu, biyadihi al-khayru wa huwa ‘alā kulli shay’in qadīr, maka Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta dosa, dan mengangkatnya seribu ribu derajat.”   [الرَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ دَوَامَ ذِكْرِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُوجِبُ الأَمَانَ مِنْ نِسْيَانِهِ الَّذِي هُوَ سَبَبُ شَقَاءِ العَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ، فَإِنَّ نِسْيَانَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُوجِبُ نِسْيَانَ نَفْسِهِ وَمَصَالِحِهَا. قَالَ تَعَالَى: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ﴾ [الحشر: ١٩]. Ketiga puluh empat, dzikir yang terus-menerus menjadikan seorang hamba aman dari kelalaian kepada Allah. Padahal, melupakan Allah adalah sebab utama kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah ﷻ berfirman: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ، أُولٰئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ḥashr [59]: 19) وَإِذَا نَسِيَ العَبْدُ نَفْسَهُ أَعْرَضَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْهَا فَهَلَكَتْ وَفَسَدَتْ وَلَا بُدَّ، كَمَنْ لَهُ زَرْعٌ أَوْ بُسْتَانٌ أَوْ مَاشِيَةٌ أَوْ غَيْرُ ذٰلِكَ مِمَّا صَلَاحُهُ وَفَلَاحُهُ بِتَعَاهُدِهِ وَالقِيَامِ عَلَيْهِ، فَأَهْمَلَهُ وَنَسِيَهُ وَاشْتَغَلَ عَنْهُ بِغَيْرِهِ وَضَيَّعَ مَصَالِحَهُ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ وَلَا بُدَّ. Apabila seorang hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan berpaling dari hal-hal yang menjadi maslahat dan kebaikannya. Ia sibuk dengan perkara lain, meninggalkan apa yang seharusnya ia jaga, hingga dirinya rusak dan binasa. Keadaannya bagaikan orang yang memiliki ladang, kebun, atau ternak, yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan pemeliharaan. Namun, jika ia mengabaikan dan melupakannya, sibuk dengan urusan lain, serta meninggalkan kewajiban menjaganya, niscaya semuanya akan rusak dan hancur tanpa bisa dihindari. هٰذَا مَعَ إِمْكَانِ قِيَامِ غَيْرِهِ مَقَامَهُ فِيهِ، فَكَيْفَ الظَّنُّ بِفَسَادِ نَفْسِهِ وَهَلَاكِهَا وَشَقَائِهَا إِذَا أَهْمَلَهَا وَنَسِيَهَا وَاشْتَغَلَ عَنْ مَصَالِحِهَا وَعَطَّلَ مُرَاعَاتَهَا وَتَرَكَ القِيَامَ عَلَيْهَا بِمَا يُصْلِحُهَا؟ فَمَا شِئْتَ مِنْ فَسَادٍ وَهَلَاكٍ وَخَيْبَةٍ وَحِرْمَانٍ. وَهٰذَا هُوَ الَّذِي صَارَ أَمْرُهُ كُلُّهُ فَرَطًا، فَانْفَرَطَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَضَاعَتْ مَصَالِحُهُ، وَأَحَاطَتْ بِهِ أَسْبَابُ القُطُوعِ وَالخَيْبَةِ وَالهَلَاكِ. Padahal, untuk urusan kebun, ladang, atau ternak, masih mungkin orang lain menggantikannya merawat dan memperbaikinya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Jika ia mengabaikan jiwanya, melupakannya, sibuk dengan urusan lain, meninggalkan pemeliharaan hati, dan tidak menegakkan hal-hal yang bisa memperbaikinya, maka kehancuran, kesengsaraan, dan kerugian pasti menimpanya. Inilah orang yang seluruh urusannya berantakan. Hidupnya tercerai-berai, maslahatnya hilang, dan berbagai sebab kehancuran, kebinasaan, serta kegagalan mengelilinginya dari segala sisi. وَلَا سَبِيلَ إِلَى الأَمَانِ مِنْ ذٰلِكَ إِلَّا بِدَوَامِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاللَّهْجِ بِهِ، وَأَنْ لَا يَزَالَ اللِّسَانُ رَطْبًا بِهِ، وَأَنْ يَتَوَلَّى مَنْزِلَةَ حَيَاتِهِ الَّتِي لَا غِنَى لَهُ عَنْهَا، وَمَنْزِلَةَ غِذَائِهِ الَّذِي إِذَا فَقَدَهُ فَسَدَ جِسْمُهُ وَهَلَكَ، وَبِمَنْزِلَةِ المَاءِ عِنْدَ شِدَّةِ العَطَشِ، وَبِمَنْزِلَةِ اللِّبَاسِ فِي الحَرِّ وَالبَرْدِ، وَبِمَنْزِلَةِ الكِنِّ فِي شِدَّةِ الشِّتَاءِ وَالسَّمُومِ. Tidak ada jalan keselamatan dari kerusakan itu kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepada Allah dan membasahi lisan dengan menyebut nama-Nya. Dzikir harus ditempatkan pada posisi yang sangat penting—seperti kehidupan yang tak mungkin ditinggalkan, seperti makanan yang jika hilang membuat tubuh rusak dan binasa, seperti air bagi orang yang sangat haus, seperti pakaian di tengah panas dan dingin, serta seperti tempat berlindung saat musim dingin yang menusuk atau angin panas yang menyengat. فَحَقِيقٌ بِالعَبْدِ أَنْ يُنَزِّلَ ذِكْرَ اللهِ مِنْهُ بِهَذِهِ المَنْزِلَةِ وَأَعْظَمَ. فَأَيْنَ هَلَاكُ الرُّوحِ وَالقَلْبِ وَفَسَادُهُمَا مِنْ هَلَاكِ البَدَنِ وَفَسَادِهِ؟ هٰذَا هَلَاكٌ لَا بُدَّ مِنْهُ وَقَدْ يَعْقُبُهُ صَلَاحٌ لَا بُدَّ. وَأَمَّا هَلَاكُ القَلْبِ وَالرُّوحِ فَهَلَاكٌ لَا يُرْجَى مَعَهُ صَلَاحٌ وَلَا فَلَاحٌ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ. فِي فَوَائِدِ الذِّكْرِ وَإِدَامَتِهِ: لَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا هٰذِهِ الفَائِدَةُ وَحْدَهَا لَكَفَتْ. فَمَنْ نَسِيَ اللهَ تَعَالَى أَنْسَاهُ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَنَسِيَهُ فِي العَذَابِ يَوْمَ القِيَامَةِ. قَالَ تَعَالَى: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى﴾ [طه: ١٢٤-١٢٦]. أَيْ: تُنْسَى فِي العَذَابِ كَمَا نَسِيتَ آيَاتِي فَلَمْ تَذْكُرْهَا وَلَمْ تَعْمَلْ بِهَا. Maka sudah sepantasnya seorang hamba menempatkan dzikir pada posisi yang sangat penting, bahkan lebih tinggi lagi. Sebab, kerusakan hati dan ruh jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan tubuh. Rusaknya tubuh adalah sesuatu yang pasti, namun sering kali setelah itu datang perbaikan. Adapun rusaknya hati dan ruh, itu adalah kerusakan yang tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki dan tidak membawa keberuntungan sedikit pun. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Dalam faedah dzikir yang terus-menerus, seandainya hanya ada satu manfaat ini saja, sebenarnya sudah cukup: barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri di dunia, dan pada Hari Kiamat Allah pun akan melupakannya di dalam azab. Allah ﷻ berfirman: وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْمَى ۝ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ۝ قَالَ كَذٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذٰلِكَ اليَوْمَ تُنْسَى “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata: Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Allah berfirman: Demikianlah, ayat-ayat Kami telah datang kepadamu, lalu kamu melupakannya; maka pada hari ini kamu pun dilupakan (diabaikan dalam azab).” (QS. Ṭāhā [20]: 124–126). Yakni, seseorang akan ditinggalkan di dalam azab, sebagaimana dahulu ia melupakan ayat-ayat Allah, tidak mengingatnya, dan tidak mengamalkannya. وَإِعْرَاضُهُ عَنْ ذِكْرِهِ يَتَنَاوَلُ إِعْرَاضَهُ عَنِ الذِّكْرِ الَّذِي أَنْزَلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَذْكُرَ الَّذِي أَنْزَلَهُ فِي كِتَابِهِ، وَهُوَ المُرَادُ بِتَنَاوُلِ إِعْرَاضِهِ عَنْ أَنْ يَذْكُرَ رَبَّهُ بِكِتَابِهِ وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ وَآلَائِهِ وَنِعَمِهِ. فَإِنَّ هٰذِهِ كُلَّهَا تَوَابِعُ إِعْرَاضِهِ عَنْ كِتَابِ رَبِّهِ تَعَالَى. فَإِنَّ الذِّكْرَ فِي الآيَةِ إِمَّا مَصْدَرٌ مُضَافٌ إِلَى الفَاعِلِ، أَوْ مُضَافٌ إِضَافَةَ الأَسْمَاءِ المَحْضَةِ. أَعْرَضَ عَنْ كِتَابِي وَلَمْ يَتْلُهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ وَلَا فَهِمَهُ، فَإِنَّ حَيَاتَهُ وَمَعِيشَتَهُ لَا تَكُونُ إِلَّا مُضَيَّقَةً عَلَيْهِ مُنَكَّدَةً مُعَذَّبًا فِيهَا. Berpaling dari dzikir mencakup juga berpaling dari dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Qur’an. Maksudnya, ia berpaling dari mengingat Allah dengan Kitab-Nya, dengan nama-nama dan sifat-Nya, dengan perintah-perintah-Nya, serta dengan nikmat dan karunia-Nya. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada sikap berpaling dari Kitab Allah ﷻ. Kata dzikir dalam ayat bisa dipahami sebagai mashdar yang disandarkan kepada pelakunya, atau sebagai isim yang bermakna Kitab (Al-Qur’an). Artinya, ia berpaling dari Kitab-Ku: tidak membacanya, tidak mentadabburinya, tidak mengamalkannya, dan tidak berusaha memahaminya. Maka kehidupannya pun tidak akan pernah lapang; justru sempit, penuh kesulitan, dan sengsara. وَالدُّنْكُ: الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ وَالبَلَاءُ. وَوَصْفُ المَعِيشَةِ نَفْسِهَا بِالدُّنْكِ مُبَالَغَةٌ. وَفُسِّرَتْ هٰذِهِ المَعِيشَةُ بِعَذَابِ البَرْزَخِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَعِيشَتَهُ فِي الدُّنْيَا وَحَالَهُ فِي البَرْزَخِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي دُنْكٍ فِي الدَّارَيْنِ، وَهُوَ شِدَّةٌ وَجَهْدٌ وَضِيقٌ. وَفِي الآخِرَةِ تُنْسَى فِي العَذَابِ. Kata “dhanka” dalam ayat berarti kesempitan, kesulitan, dan ujian yang berat. Allah bahkan menyifati kehidupan itu sendiri sebagai ḍank, sebuah bentuk penekanan yang kuat. Sebagian ahli tafsir menafsirkannya sebagai azab kubur, namun pendapat yang benar: ia mencakup kehidupan di dunia sekaligus di alam barzakh. Hidupnya akan sempit di dua alam tersebut—penuh dengan kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan. Sedangkan di akhirat, ia akan dibiarkan (dilupakan) di dalam azab. وَهٰذَا عَكْسُ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالفَلَاحِ، فَإِنَّ حَيَاتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ الحَيَاةِ، وَلَهُمْ فِي البَرْزَخِ وَفِي الآخِرَةِ أَفْضَلُ الثَّوَابِ. قَالَ تَعَالَى: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً﴾ فَهٰذَا فِي الدُّنْيَا. ثُمَّ قَالَ: ﴿وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ فَهٰذَا فِي البَرْزَخِ وَالآخِرَةِ. Keadaan ini berbanding terbalik dengan nasib orang-orang yang berbahagia. Hidup mereka di dunia adalah kehidupan yang paling baik, kemudian di alam barzakh dan akhirat kelak mereka mendapatkan pahala terbaik. Allah ﷻ berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً “Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini berbicara tentang kehidupan di dunia. Kemudian Allah berfirman: وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan sungguh Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Naḥl [16]: 97) Ayat ini mencakup pahala di alam barzakh dan di akhirat. وَقَالَ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} فَهَذَا فِي الْآخِرَةِ. وَقَالَ تَعَالَى: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ مَوَاضِعَ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا أَنَّهُ يُجْزِي الْمُحْسِنَ بِإِحْسَانِهِ جَزَاءَيْنِ: جَزَاءً فِي الدُّنْيَا، وَجَزَاءً فِي الْآخِرَةِ. فَالْإِحْسَانُ لَهُ جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ، وَالْإِسَاءَةُ لَهَا جَزَاءٌ مُعَجَّلٌ وَلَا بُدَّ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا يُجَازِي بِهِ الْمُحْسِنَ مِنِ انْشِرَاحِ صَدْرِهِ وَانْفِسَاحِ قَلْبِهِ وَسُرُورِهِ وَلَذَّتِهِ بِمُعَامَلَةِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَطَاعَتِهِ وَذِكْرِهِ وَنَعِيمِ رُوحِهِ بِمَحَبَّتِهِ وَذِكْرِهِ وَفَرَحِهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْظَمُ مِمَّا يَفْرَحُ الْقَرِيبُ مِنَ السُّلْطَانِ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ بِسُلْطَانِهِ. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ وَتَشَتُّتِهِ وَظُلْمَتِهِ وَحَزَازَاتِهِ وَغَمِّهِ وَهَمِّهِ وَحُزْنِهِ وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ. Allah Ta‘ālā berfirman: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami tempatkan mereka di dunia ini pada tempat yang baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. An-Naḥl [16]: 41) Dan Allah Ta‘ālā juga berfirman: {وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ} “Dan hendaklah kamu memohon ampun kepada Tuhanmu lalu bertobat kepada-Nya, niscaya Dia memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada setiap orang yang memiliki keutamaan, keutamaannya (balasan yang layak baginya).” (QS. Hūd [11]: 3) Kemudian Allah berfirman lagi: {قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ} “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (akan mendapat) kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberi pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) Dalam empat ayat ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan bahwa setiap kebaikan (iḥsān) akan dibalas dua kali: 1. Balasan di dunia, berupa kemuliaan, kelapangan hidup, dan ketenangan jiwa. 2. Balasan di akhirat, berupa pahala yang jauh lebih besar dan kekal. Maka, kebaikan pasti memiliki ganjaran yang segera, sebagaimana keburukan pun pasti menimbulkan akibat buruk yang cepat pula. Kalaupun tidak tampak secara lahiriah, balasan bagi orang yang berbuat baik sudah hadir dalam kelapangan dadanya, ketenangan hatinya, kegembiraan dan kenikmatan ruhnya saat ia berinteraksi dengan Tuhannya, menaati perintah-Nya, dan berdzikir mengingat-Nya. Nikmat ruhani semacam ini jauh lebih agung daripada kegembiraan seorang pejabat yang dekat dengan penguasa. Sebaliknya, orang yang berbuat maksiat akan merasakan penyempitan dada, kekerasan hati, kebingungan, kegelapan batin, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup pasti menyadari hal ini. Sesungguhnya, berbagai kesedihan, kecemasan, dan kegelisahan itu merupakan bentuk hukuman (ʿuqūbah) yang Allah timpakan di dunia sebelum azab di akhirat. وَمَا يُجَازِي بِهِ الْمُسِيءَ مِنْ ضِيقِ الصَّدْرِ، وَقَسْوَةِ الْقَلْبِ، وَتَشَتُّتِهِ، وَظُلْمَتِهِ، وَحَزَازَاتِهِ، وَغَمِّهِ، وَهَمِّهِ، وَحُزْنِهِ، وَخَوْفِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَكَادُ مَنْ لَهُ أَدْنَى حِسٍّ وَحَيَاةٍ يَرْتَابُ فِيهِ، بَلِ الْغُمُومُ وَالْهُمُومُ وَالْأَحْزَانُ وَالضِّيقُ عُقُوبَاتٌ عَاجِلَةٌ، وَنَارٌ دُنْيَوِيَّةٌ، وَجَهَنَّمُ حَاضِرَةٌ. Balasan yang diterima oleh orang yang berbuat dosa adalah penyempitan dada, kekerasan hati, kegelapan jiwa, kebingungan, keresahan, kesedihan, dan ketakutan. Siapa pun yang memiliki hati yang hidup dan nurani yang peka tentu tidak akan meragukan hal ini. Sesungguhnya rasa gelisah, gundah, sedih, dan sempit dada merupakan hukuman yang datang lebih cepat, semacam api neraka duniawi dan Jahannam yang hadir di hati sebelum azab akhirat menimpa. وَالْإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِنَابَةُ إِلَيْهِ، وَالرِّضَا بِهِ وَعَنْهُ، وَامْتِلَاءُ الْقَلْبِ مِنْ مَحَبَّتِهِ، وَاللَّهْجُ بِذِكْرِهِ، وَالْفَرَحُ وَالسُّرُورُ بِمَعْرِفَتِهِ، ثَوَابٌ عَاجِلٌ، وَجَنَّةٌ، وَعَيْشٌ لَا نِسْبَةَ لِعَيْشِ الْمُلُوكِ إِلَيْهِ الْبَتَّةَ. Sebaliknya, menghadap kepada Allah, kembali bertobat kepada-Nya, merasa ridha dengan-Nya dan terhadap takdir-Nya, penuh cinta kepada-Nya, senang berdzikir mengingat-Nya, serta bergembira karena mengenal-Nya, semuanya merupakan balasan langsung di dunia, surga yang hadir di hati, dan kenikmatan hidup yang tiada bandingnya dibanding kehidupan para raja sekalipun. وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ يَقُولُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِ. وَقَالَ لِي مَرَّةً: مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِي بِي؟ أَنَا جَنَّتِي وَبُسْتَانِي فِي صَدْرِي، إِنْ رُحْتُ فَهِيَ مَعِي لَا تُفَارِقُنِي، إِنْ حَبْسِي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِي شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِي مِنْ بَلَدِي سِيَاحَةٌ. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: Aku pernah mendengar Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah – semoga Allah menyucikan ruhnya – berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga; siapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.” Beliau juga pernah berkata kepadaku: “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku? Surga dan taman hatiku ada di dalam dadaku. Ke mana pun aku pergi, surga itu selalu bersamaku, tidak akan meninggalkanku. Jika aku dipenjara, maka itu adalah kesempatan untuk menyendiri bersama Allah. Jika aku dibunuh, maka itu adalah syahid. Jika aku diusir dari negeriku, maka itu adalah perjalanan spiritual (siyāḥah).” وَكَانَ يَقُولُ فِي مَحْبَسِهِ فِي الْقَلْعَةِ: لَوْ بُذِلَ مِلْءُ هَذِهِ الْقَاعَةِ ذَهَبًا مَا عَدَلَ عِنْدِي شُكْرَ هَذِهِ النِّعْمَةِ. أَوْ قَالَ: مَا جَزَيْتُهُمْ عَلَى مَا تَسَبَّبُوا لِي فِيهِ مِنَ الْخَيْرِ، وَنَحْوَ هَذَا. Ketika beliau berada di dalam penjara benteng (Qal‘ah Dimasyq), beliau sering berkata: “Seandainya memenuhi seluruh ruangan ini dengan emas, itu belum cukup untuk menandingi rasa syukurku atas nikmat ini.” Atau beliau berkata, “Aku belum mampu membalas mereka yang telah menyebabkan kebaikan besar bagiku melalui peristiwa ini.” وَكَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ مَحْبُوسٌ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. مَا شَاءَ اللَّهُ، وَقَالَ لِي مَرَّةً: الْمَحْبُوسُ مَنْ حَبَسَ قَلْبَهُ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى، وَالْمَأْسُورُ مَنْ أَسَرَهُ هَوَاهُ. Beliau juga biasa berdoa dalam sujudnya saat di penjara: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.” Lalu beliau berkata kepadaku: “Orang yang benar-benar terpenjara adalah siapa pun yang hatinya terhalang dari Rabb-nya. Dan orang yang sesungguhnya menjadi tawanan adalah yang diperbudak oleh hawa nafsunya.” وَلَمَّا دَخَلَ إِلَى الْقَلْعَةِ، وَصَارَ دَاخِلَ سُورِهَا، نَظَرَ إِلَيْهَا وَقَالَ: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} وَعَلِمَ اللَّهُ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَطْيَبَ عَيْشًا مِنْهُ قَطُّ، مَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنْ ضِيقِ الْعَيْشِ، وَخِلَافِ الرَّفَاهِيَةِ وَالنَّعِيمِ، بَلْ ضِدِّهَا، وَمَعَ مَا كَانَ فِيهِ مِنَ الْحَبْسِ، وَالتَّهْدِيدِ، وَالْإِرْهَاقِ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مِنْ أَطْيَبِ النَّاسِ عَيْشًا، وَأَشْرَحِهِمْ صَدْرًا، وَأَقْوَاهُمْ قَلْبًا، وَأَسَرِّهِمْ نَفْسًا، تَلُوحُ نَضْرَةُ النَّعِيمِ عَلَى وَجْهِهِ. Ketika Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah memasuki benteng penjara (Qal‘ah Dimasyq) dan berada di dalam temboknya, beliau memandang ke sekeliling lalu membaca firman Allah: {فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌۭۖ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحْمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلْعَذَابُ} “Lalu diletakkanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu; di bagian dalamnya ada rahmat, sedangkan di bagian luarnya dari arah mereka ada azab.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 13) Aku bersaksi kepada Allah, aku belum pernah melihat seseorang yang kehidupannya lebih bahagia daripada beliau — padahal secara lahir beliau hidup dalam kesempitan, jauh dari kemewahan dan kenikmatan, bahkan berada dalam kondisi berlawanan: terpenjara, diancam, dan disiksa. Namun, beliau termasuk manusia yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, dan paling tenang jiwanya. Wajahnya memancarkan nadhrah an-na‘īm (cahaya kenikmatan). وَكُنَّا إِذَا اشْتَدَّ بِنَا الْخَوْفُ، وَسَاءَتْ مِنَّا الظُّنُونُ، وَضَاقَتْ بِنَا الْأَرْضُ، أَتَيْنَاهُ، فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ نَرَاهُ وَنَسْمَعَ كَلَامَهُ، فَيَذْهَبَ ذَلِكَ كُلُّهُ، وَيَنْقَلِبَ انْشِرَاحًا، وَقُوَّةً، وَيَقِينًا، وَطُمَأْنِينَةً. فَسُبْحَانَ مَنْ أَشْهَدَ عِبَادَهُ جَنَّتَهُ قَبْلَ لِقَائِهِ، وَفَتَحَ لَهُمْ أَبْوَابَهَا فِي دَارِ الْعَمَلِ، فَآتَاهُمْ مِنْ رُوحِهَا وَنَسِيمِهَا وَطِيبِهَا مَا اسْتَفْرَغَ قُوَاهُمْ لِطَلَبِهَا وَالْمُسَابَقَةِ إِلَيْهَا. Setiap kali kami diliputi ketakutan, buruk sangka, dan sempit dada, kami mendatangi beliau. Begitu melihat wajahnya dan mendengar ucapannya, semua kegelisahan itu sirna — berganti dengan kelapangan, kekuatan, keyakinan, dan ketenangan. Maha Suci Allah yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya sebagian surga-Nya sebelum perjumpaan dengan-Nya. Dia telah membuka bagi mereka pintu-pintu surga itu di dunia tempat beramal, lalu menghembuskan kepada mereka sebagian dari ruh, semerbak, dan keharumannya, hingga seluruh tenaga mereka tercurahkan untuk mencarinya dan berlomba meraihnya. وَكَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَقُولُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ، لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ. Sebagian orang ‘arif berkata: “Seandainya para raja dan putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan memeranginya dengan pedang.” وَقَالَ آخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلِ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَذِكْرُهُ. أَوْ نَحْوُ هَذَا. Yang lain berkata: “Kasihan orang-orang dunia! Mereka keluar dari dunia tanpa sempat merasakan hal paling lezat di dalamnya.” Ditanya kepadanya, “Apa yang paling lezat di dunia?” Ia menjawab, “Cinta kepada Allah, mengenal-Nya, dan berdzikir kepada-Nya.” وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِالْقَلْبِ أَوْقَاتٌ يَرْقُصُ فِيهَا طَرَبًا. وَقَالَ آخَرُ: إِنَّهُ لَتَمُرُّ بِي أَوْقَاتٌ، أَقُولُ: إِنْ كَانَ أَهْلُ الْجَنَّةِ فِي مِثْلِ هَذَا، إِنَّهُمْ لَفِي عَيْشٍ طَيِّبٍ. Yang lain berkata: “Terkadang hati ini melewati saat-saat di mana ia menari karena bahagia.” Yang lain lagi berkata: “Ada waktu-waktu tertentu ketika aku berkata: jika penghuni surga merasakan kenikmatan seperti ini, maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang sangat baik.” فَمَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى، وَمَعْرِفَتُهُ، وَدَوَامُ ذِكْرِهِ، وَالسُّكُونُ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةُ بِهِ، وَإِفْرَادُهُ بِالْحُبِّ، وَالْخَوْفِ، وَالرَّجَاءِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالْمُعَامَلَةِ، بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ وَحْدَهُ الْمُسْتَوْلِي عَلَى هُمُومِ الْعَبْدِ وَعَزِيمَاتِهِ وَإِرَادَاتِهِ، هِيَ جَنَّةُ الدُّنْيَا، وَالنَّعِيمُ الَّذِي لَا يُشْبِهُهُ نَعِيمٌ، وَهِيَ قُرَّةُ عُيُونِ الْمُحِبِّينَ، وَحَيَاةُ الْعَارِفِينَ. Maka cinta kepada Allah, mengenal-Nya, terus berdzikir kepada-Nya, bersandar dan merasa tenang bersama-Nya, hanya berharap kepada-Nya, serta menjadikan-Nya satu-satunya tujuan cinta, takut, harap, dan tawakal — inilah surga dunia yang tidak bisa ditandingi oleh kenikmatan apa pun. Inilah penyejuk mata para pecinta dan kehidupan sejati bagi orang-orang yang mengenal Allah. وَإِنَّمَا تَقَرُّ عُيُونُ النَّاسِ بِهِ عَلَى حَسَبِ قُرَّةِ أَعْيُنِهِمْ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَمَنْ قَرَّتْ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، قَرَّتْ بِهِ كُلُّ عَيْنٍ، وَمَنْ لَمْ تَقَرَّ عَيْنُهُ بِاللَّهِ، تَقَطَّعَتْ نَفْسُهُ عَلَى الدُّنْيَا حَسَرَاتٍ. Ketenangan manusia tergantung pada sejauh mana matanya terpuaskan dengan Allah. Siapa yang hatinya tenteram bersama Allah, maka ia akan tenteram dalam segala hal. Namun, siapa yang tidak tenang bersama Allah, hidupnya akan terpecah oleh penyesalan dunia yang tiada akhir. وَإِنَّمَا يَصْدُقُ هَذَا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَأَمَّا مَيِّتُ الْقَلْبِ، فَيُوحِشُكَ مَا لَهُ ثَمَّ، فَاسْتَأْنِسْ بِغَيْبَتِهِ مَا أَمْكَنَكَ، فَإِنَّكَ لَا يُوحِشُكَ إِلَّا حُضُورُهُ عِنْدَكَ. Yang memahami makna ini hanyalah orang yang hatinya hidup. Adapun hati yang mati, ia akan merasa asing dari kebenaran dan tenang dengan kebatilan. Maka berusahalah merasa nyaman saat jauh dari orang yang demikian, karena sesungguhnya yang membuatmu gelisah hanyalah kehadirannya di dekatmu. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهِ، فَأَعْطِهِ ظَاهِرَكَ، وَتَرَحَّلْ عَنْهُ بِقَلْبِكَ، وَفَارِقْهُ بِسِرِّكَ، وَلَا تُشْغَلْ بِهِ عَمَّا هُوَ أَوْلَى بِكَ. Jika engkau diuji dengan pergaulan seperti itu, berikanlah padanya bagian lahirmu, namun pisahkan hatimu dan rahasiamu darinya. Jangan biarkan dia menghalangimu dari urusan yang lebih utama. وَاعْلَمْ أَنَّ الْحَسْرَةَ كُلَّ الْحَسْرَةِ، الِاشْتِغَالُ بِمَنْ لَا يَجُرُّ عَلَيْكَ الِاشْتِغَالُ بِهِ إِلَّا فَوْتَ نَصِيبِكَ وَحَظِّكَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَانْقِطَاعَكَ عَنْهُ، وَضَيَاعَ وَقْتِكَ، وَضَعْفَ عَزِيمَتِكَ، وَتَفَرُّقَ هَمِّكَ. Ketahuilah, penyesalan yang paling dalam adalah ketika seseorang sibuk dengan sesuatu yang tidak mendatangkan apa pun selain kehilangan bagian dirinya dari Allah, terputus dari-Nya, terbuang waktunya, lemah tekadnya, dan tercerai pikirannya. فَإِذَا ابْتُلِيتَ بِهَذَا ـ وَلَا بُدَّ لَكَ مِنْهُ ـ فَعَامِلِ اللَّهَ تَعَالَى فِيهِ، وَاحْتَسِبْ عَلَيْهِ مَا أَمْكَنَكَ، وَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَرْضَاتِهِ فِيهِ، وَاجْعَلِ اجْتِمَاعَكَ بِهِ مَتْجَرًا لَكَ، وَلَا تَجْعَلْهُ خَسَارَةً، وَكُنْ مَعَهُ كَرَجُلٍ سَائِرٍ فِي طَرِيقِهِ عَرَضَ لَهُ رَجُلٌ وَقَفَهُ عَنْ سَيْرِهِ، فَاجْتَهِدْ أَنْ تَأْخُذَهُ مَعَكَ وَتَسِيرَ بِهِ، فَتَحْمِلَهُ وَلَا يَحْمِلُكَ، فَإِنْ أَبَى، وَلَمْ يَكُنْ فِي سَيْرِهِ مَطْمَعٌ، فَلَا تَقِفْ مَعَهُ، بَلِ ارْكَبِ الدَّرْبَ وَدَعْهُ، وَلَا تَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَإِنَّهُ قَاطِعُ الطَّرِيقِ، وَلَوْ كَانَ مَنْ كَانَ، فَانْجُ بِقَلْبِكَ، وَاضْنَنْ بِيَوْمِكَ وَلَيْلَتِكَ، لَا تَغْرُبْ عَلَيْكَ الشَّمْسُ قَبْلَ وُصُولِ الْمَنْزِلَةِ، فَتُؤْخَذَ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ أَنَّى لَكَ بِلِقَائِهِمْ. Apabila engkau harus berinteraksi dengan orang semacam itu, maka niatkan karena Allah. Bersabarlah dan jadikan interaksi itu sebagai ladang pahala, bukan kerugian. Bersikaplah seperti seorang musafir yang dalam perjalanan bertemu seseorang yang mencoba menghentikannya. Usahakan untuk mengajaknya berjalan bersama, bukan sebaliknya. Jika ia menolak, jangan berhenti bersamanya — teruslah berjalan di jalanmu, jangan menoleh ke belakang. Ia hanyalah perampok jalanmu, siapa pun dia. Selamatkan hatimu, jagalah waktu siang dan malammu. Jangan biarkan matahari terbenam sebelum engkau mencapai tujuan, atau fajar menyingsing sementara engkau masih tertahan — karena entah kapan lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang telah sampai ke sana.   [الخامسة والثلاثون] أَنَّ الذِّكْرَ يَسِيرُ العَبْدُ وَهُوَ فِي فِرَاشِهِ، وَفِي سُوقِهِ، وَفِي حَالِ صِحَّتِهِ وَسَقَمِهِ، وَفِي حَالِ نَعِيمِهِ وَلَذَّتِهِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَعُمُّ الأَوْقَاتَ وَالأَحْوَالَ مِثْلَهُ، حَتَّى يَسِيرَ العَبْدُ وَهُوَ نَائِمٌ عَلَى فِرَاشِهِ فَيَسْبِقَ القَائِمَ مَعَ الغَفْلَةِ، فَيُصْبِحَ هَذَا وَقَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَيُصْبِحَ ذَاكَ الغَافِلُ فِي سَاقَةِ الرَّكْبِ، وَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ. وَحُكِيَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ العُبَّادِ أَنَّهُ نَزَلَ بِرَجُلٍ ضَيْفًا، فَقَامَ العَابِدُ لَيْلَهُ يُصَلِّي، وَذَلِكَ الرَّجُلُ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، فَلَمَّا أَصْبَحَا قَالَ لَهُ العَابِدُ: سَبَقَكَ الرَّكْبُ، أَوْ كَمَا قَالَ. فَقَالَ: لَيْسَ الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ مُسَافِرًا وَأَصْبَحَ مَعَ الرَّكْبِ، الشَّأْنُ فِيمَنْ بَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ وَأَصْبَحَ قَدْ قَطَعَ الرَّكْبَ. Ketiga puluh lima, dzikir membuat seorang hamba tetap berjalan menuju Allah meskipun ia berada di atas tempat tidurnya, di pasar, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam kondisi menikmati nikmat atau kesenangan. Tidak ada amalan yang bisa mencakup seluruh waktu dan keadaan seperti dzikir. Bahkan, terkadang seorang hamba yang sedang berbaring di tempat tidurnya tetap melangkah maju dengan dzikirnya, melewati orang yang sedang berdiri dalam keadaan lalai. Maka ketika pagi datang, yang berzikir itu telah menempuh perjalanan jauh (menuju Allah) sementara ia masih berbaring, sedangkan yang lalai itu tertinggal jauh di belakang rombongan. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dikisahkan dari seorang ahli ibadah bahwa ia singgah di rumah seorang lelaki sebagai tamu. Pada malam harinya, si ahli ibadah bangun untuk salat malam, sementara tuan rumahnya tetap berbaring di tempat tidurnya. Ketika pagi tiba, sang ahli ibadah berkata kepadanya, “Rombongan telah mendahuluimu (dalam perjalanan menuju Allah).” Namun si tuan rumah menjawab, “Bukan itu persoalannya. Bukan tentang siapa yang bermalam dalam perjalanan lalu pagi hari sudah bersama rombongan. Yang penting adalah siapa yang bermalam di tempat tidurnya, namun ketika pagi telah melampaui rombongan.” وَهَذَا وَنَحْوُهُ لَهُ مَحْمَلٌ صَحِيحٌ وَمَحْمَلٌ فَاسِدٌ، فَمَنْ حَكَمَ عَلَى أَنَّ الرَّاقِدَ المُضْطَجِعَ عَلَى فِرَاشِهِ يَسْبِقُ القَائِمَ القَانِتَ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنَّمَا مَحْمَلُهُ أَنَّ هَذَا المُسْتَلْقِيَ عَلَى فِرَاشِهِ عَلِقَ بِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَلْصَقَ حَبَّ قَلْبِهِ بِالعَرْشِ، وَبَاتَ قَلْبُهُ يَطُوفُ حَوْلَ العَرْشِ مَعَ المَلَائِكَةِ، قَدْ غَابَ عَنِ الدُّنْيَا وَمَنْ فِيهَا، وَقَدْ عَاقَهُ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ عَائِقٌ مِنْ وَجَعٍ أَوْ بَرْدٍ يَمْنَعُهُ القِيَامَ، أَوْ خَوْفٌ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ رُؤْيَةِ عَدُوٍّ يَطْلُبُهُ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الأَعْذَارِ، فَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى فِرَاشِهِ، وَفِي قَلْبِهِ مَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَلِيمٌ. وَآخَرُ قَائِمٌ يُصَلِّي وَيَتْلُو، وَفِي قَلْبِهِ مِنَ الرِّيَاءِ وَالعُجْبِ وَطَلَبِ الجَاهِ وَالمَحْمَدَةِ عِنْدَ النَّاسِ مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ، أَوْ قَلْبُهُ فِي وَادٍ وَجِسْمُهُ فِي وَادٍ. فَلَا رَيْبَ أَنَّ ذَلِكَ الرَّاقِدَ يُصْبِحُ وَقَدْ سَبَقَ هَذَا القَائِمَ بِمَرَاحِلَ كَثِيرَةٍ، فَالعَمَلُ عَلَى القُلُوبِ لَا عَلَى الأَبْدَانِ، وَالمُعَوَّلُ عَلَى السَّاكِنِ، وَيُهَيِّجُ الحُبَّ المُتَوَارِيَ، وَيَبْعَثُ الطَّلَبَ المَيِّتَ. Perkataan seperti ini memiliki dua kemungkinan makna: makna yang benar dan makna yang keliru. Jika seseorang memahami bahwa orang yang berbaring di tempat tidurnya bisa mengalahkan orang yang bangun untuk beribadah dan salat malam tanpa alasan apa pun, maka pemahaman itu batil (keliru). Namun, makna yang benar adalah bahwa orang yang sedang berbaring itu hatinya terikat kuat dengan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, ia menempelkan cinta hatinya kepada ‘Arsy, dan hatinya berkeliling di sekitar ‘Arsy bersama para malaikat, sementara dirinya telah terlupa dari dunia dan segala isinya. Ia tertahan untuk bangun malam bukan karena malas, melainkan karena ada penghalang seperti sakit, cuaca dingin yang berat, rasa takut dari musuh yang mengincar, atau uzur lain yang benar-benar menghalanginya. Maka ia tetap berbaring di atas tempat tidurnya, namun hatinya dalam keadaan yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahuinya. Sedangkan orang lain berdiri salat dan membaca Al-Qur’an, tetapi dalam hatinya terdapat riya’, rasa bangga diri, mencari kedudukan, atau ingin dipuji manusia. Bisa jadi pula hatinya berada di satu tempat, sementara tubuhnya di tempat lain. Maka tidak diragukan lagi, orang yang berbaring namun hatinya hidup bersama Allah akan mendahului orang yang bangun malam dengan hati yang lalai dalam banyak tingkatan. Sebab, amal dinilai dari hati, bukan dari gerak tubuh. Yang menjadi ukuran adalah kehidupan batin yang diam namun menyala oleh cinta dan keikhlasan, karena ia mampu membangkitkan kembali cinta yang tersembunyi dan menghidupkan semangat ibadah yang hampir mati. [الذِّكْرُ وَحَقِيقَةُ النُّورِ الإِلَهِيِّ] (السَّادِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ) أَنَّ الذِّكْرَ نُورٌ لِلذَّاكِرِ فِي الدُّنْيَا، وَنُورٌ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنُورٌ لَهُ فِي مَعَادِهِ يَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى الصِّرَاطِ، فَمَا اسْتَنَارَتِ القُلُوبُ وَالقُبُورُ بِمِثْلِ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}. فَالأَوَّلُ هُوَ المُؤْمِنُ، اسْتَنَارَ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَحَبَّتِهِ وَمَعْرِفَتِهِ وَذِكْرِهِ، وَالآخَرُ هُوَ الغَافِلُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، المُعْرِضُ عَنْ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ. وَالشَّأْنُ كُلُّ الشَّأْنِ، وَالفَلَاحُ كُلُّ الفَلَاحِ فِي النُّورِ، وَالشَّقَاءُ كُلُّ الشَّقَاءِ فِي فَوَاتِهِ. وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَالِغُ فِي سُؤَالِ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حِينَ يَسْأَلُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي لَحْمِهِ وَعِظَامِهِ وَعَصَبِهِ وَشَعْرِهِ وَبَشَرِهِ وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ، وَمِنْ فَوْقِهِ وَمِنْ تَحْتِهِ، وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، وَخَلْفِهِ وَأَمَامِهِ، حَتَّى يَقُولَ: وَاجْعَلْنِي نُورًا. فَسَأَلَ رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يَجْعَلَ النُّورَ فِي ذَرَّاتِهِ الظَّاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَهُ مُحِيطًا بِهِ مِنْ جَمِيعِ جِهَاتِهِ، وَأَنْ يَجْعَلَ ذَاتَهُ وَجُمْلَتَهُ نُورًا. فَدِينُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نُورٌ، وَكِتَابُهُ نُورٌ، وَرَسُولُهُ نُورٌ، وَدَارُهُ الَّتِي أَعَدَّهَا لِأَوْلِيَائِهِ نُورٌ يَتَلَأْلَأُ، وَهُوَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، وَمِنْ أَسْمَائِهِ النُّورُ، وَأَشْرَقَتِ الظُّلُمَاتُ لِنُورِ وَجْهِهِ. Ketiga puluh enam, [Dzikir dan Hakikat Cahaya Ilahi] Dzikir merupakan cahaya bagi orang yang berdzikir — cahaya baginya di dunia, cahaya baginya di dalam kuburnya, dan cahaya baginya di akhirat yang berjalan di hadapannya di atas shirath (jembatan akhirat). Tidak ada sesuatu pun yang mampu menerangi hati dan kubur sebagaimana zikir kepada Allah Ta‘ala. Allah Ta‘ala berfirman: “Apakah orang yang sebelumnya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan dan tidak dapat keluar darinya?” (QS. Al-An‘ām: 122) Yang pertama adalah seorang mukmin, yang dihidupkan dan diterangi oleh iman kepada Allah, cinta kepada-Nya, pengetahuan tentang-Nya, serta zikir kepada-Nya. Adapun yang kedua adalah orang yang lalai dari Allah Ta‘ala, berpaling dari zikir dan cinta kepada-Nya. Maka, seluruh keberuntungan bergantung pada cahaya itu, dan segala bentuk kesengsaraan bersumber dari hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Rabbnya — Tabāraka wa Ta‘ālā — memohon agar Allah menjadikan cahaya itu menyatu dalam seluruh bagian tubuhnya: dalam daging, tulang, urat, rambut, kulit, pendengaran, dan penglihatannya, dari atas dan bawah, dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang; hingga beliau berdoa: “Dan jadikanlah aku cahaya.” Beliau memohon agar cahaya itu memenuhi seluruh zarrah (bagian kecil) dalam dirinya, baik yang lahir maupun batin, mengelilinginya dari segala arah, bahkan menjadikan seluruh dirinya cahaya. Sebab, agama Allah adalah cahaya, Kitab-Nya adalah cahaya, Rasul-Nya adalah cahaya, dan surga-Nya — tempat yang disiapkan untuk para kekasih-Nya — adalah cahaya yang berkilauan. Sedangkan Dia sendiri, Tabāraka wa Ta‘ālā, adalah Cahaya langit dan bumi. Salah satu nama-Nya adalah An-Nūr (Yang Maha Cahaya), dan seluruh kegelapan akan sirna oleh pancaran cahaya wajah-Nya. [السَّابِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ رَأْسُ الْأُصُولِ، وَطَرِيقُ عَامَّةِ الطَّائِفَةِ، وَمَنْشُورُ الْوِلَايَةِ، فَمَنْ فُتِحَ لَهُ فِيهِ، فَقَدْ فُتِحَ لَهُ بَابُ الدُّخُولِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَلْيَتَطَهَّرْ وَلْيَدْخُلْ عَلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَجِدْ عِنْدَهُ كُلَّ مَا يُرِيدُ، فَإِنْ وَجَدَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَجَدَ كُلَّ شَيْءٍ، وَإِنْ فَاتَهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَاتَهُ كُلُّ شَيْءٍ.   Ketiga puluh tujuh, Dzikir merupakan pokok dari segala pokok, jalan utama bagi kebanyakan orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, dan merupakan tanda (pengumuman) kedekatan seorang hamba dengan-Nya. Barang siapa dibukakan hatinya untuk istiqamah dalam dzikir, maka sesungguhnya telah dibukakan baginya pintu untuk masuk mendekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia mensucikan diri—lahir dan batin—lalu masuk menghadap Rabb-nya. Di sisi Allah, ia akan mendapati segala yang diinginkan. Sebab, siapa yang menemukan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, berarti ia telah mendapatkan segalanya. Namun siapa yang kehilangan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla, sungguh ia telah kehilangan segalanya. [الثَّامِنَةُ وَالثَّلَاثُونَ] فِي الْقَلْبِ خَلَّةٌ وَفَاقَةٌ لَا يَسُدُّهَا شَيْءٌ أَلْبَتَّةَ إِلَّا ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا صَارَ شِعَارَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَكُونُ هُوَ الذَّاكِرَ بِطَرِيقِ الْأَصَالَةِ، وَاللِّسَانُ تَابِعٌ لَهُ، فَهَذَا هُوَ الذِّكْرُ الَّذِي يَسُدُّ الْخَلَّةَ وَيُفْنِي الْفَاقَةَ، فَيَكُونُ صَاحِبُهُ غَنِيًّا بِلَا مَالٍ، عَزِيزًا بِلَا عَشِيرَةٍ، مَهِيبًا بِلَا سُلْطَانٍ. فَإِذَا كَانَ غَافِلًا عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ بِضِدِّ ذَلِكَ: فَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ جِدَّتِهِ، ذَلِيلٌ مَعَ سُلْطَانِهِ، حَقِيرٌ مَعَ كَثْرَةِ عَشِيرَتِهِ. Ketiga puluh delapan, Dalam hati manusia terdapat kekosongan dan kebutuhan mendalam yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh apa pun selain dengan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila dzikir telah menjadi kebiasaan hati—hingga hati itu sendiri yang benar-benar berdzikir secara hakiki, sementara lisan hanya menjadi pengikutnya—maka inilah dzikir yang mampu mengisi kekosongan itu dan menghapus segala rasa kekurangan. Orang yang demikian akan merasa kaya tanpa harta, mulia tanpa keluarga besar, dan disegani tanpa kekuasaan. Sebaliknya, jika seseorang lalai dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia akan merasakan kebalikannya: miskin meski banyak hartanya, hina meski memiliki kekuasaan, dan rendah meski memiliki banyak pengikut dan kerabat. [التَّاسِعَةُ وَالثَّلَاثُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يَجْمَعُ الْمُتَفَرِّقَ، وَيُفَرِّقُ الْمُجْتَمِعَ، وَيُقَرِّبُ الْبَعِيدَ، وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ. فَيَجْمَعُ مَا تَفَرَّقَ عَلَى الْعَبْدِ مِنْ قَلْبِهِ وَإِرَادَتِهِ وَهُمُومِهِ وَعَزَائِمِهِ، وَالْعَذَابُ كُلُّ الْعَذَابِ فِي تَفَرُّقِهَا وَتَشَتُّتِهَا عَلَيْهِ وَانْفِرَاطِهَا لَهُ، وَالْحَيَاةُ وَالنَّعِيمُ فِي اجْتِمَاعِ قَلْبِهِ وَهَمِّهِ وَعَزْمِهِ وَإِرَادَتِهِ. وَيُفَرِّقُ مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَالْحَسَرَاتِ عَلَى فَوْتِ حُظُوظِهِ وَمَطَالِبِهِ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ مِنْ ذُنُوبِهِ وَخَطَايَاهُ وَأَوْزَارِهِ، حَتَّى تَتَسَاقَطَ عَنْهُ وَتَتَلَاشَى وَتَضْمَحِلَّ. وَيُفَرِّقُ أَيْضًا مَا اجْتَمَعَ عَلَى حَرْبِهِ مِنْ جُنْدِ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّ إِبْلِيسَ لَا يَزَالُ يَبْعَثُ لَهُ سَرِيَّةً، وَكُلَّمَا كَانَ أَقْوَى طَلَبًا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَمْثَلَ تَعَلُّقًا بِهِ وَإِرَادَةً لَهُ، كَانَتِ السَّرِيَّةُ أَكْثَفَ وَأَكْثَرَ وَأَعْظَمَ شَوْكَةً، بِحَسَبِ مَا عِنْدَ الْعَبْدِ مِنْ مَوَادِّ الْخَيْرِ وَالْإِرَادَةِ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى تَفْرِيقِ هَذَا الْجَمْعِ إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. وَأَمَّا تَقْرِيبُهُ الْبَعِيدَ فَإِنَّهُ يُقَرِّبُ إِلَيْهِ الْآخِرَةَ الَّتِي يُبْعِدُهَا مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَالْأَمَلُ، فَلَا يَزَالُ يَلْهَجُ بِالذِّكْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ قَدْ دَخَلَهَا وَحَضَرَهَا، فَحِينَئِذٍ تَصْغُرُ فِي عَيْنِهِ الدُّنْيَا، وَتَعْظُمُ فِي قَلْبِهِ الْآخِرَةُ. وَيُبْعِدُ الْقَرِيبَ إِلَيْهِ، وَهِيَ الدُّنْيَا الَّتِي هِيَ أَدْنَى إِلَيْهِ مِنَ الْآخِرَةِ، فَإِنَّ الْآخِرَةَ مَتَى قَرُبَتْ مِنْ قَلْبِهِ بَعُدَتْ مِنْهُ الدُّنْيَا، كُلَّمَا قَرُبَتْ مِنْهُ هَذِهِ مَرْحَلَةً بَعُدَتْ مِنْهُ تِلْكَ مَرْحَلَةً، وَلَا سَبِيلَ إِلَى هَذَا إِلَّا بِدَوَامِ الذِّكْرِ. Ketiga puluh sembilan, Dzikir memiliki kekuatan yang menakjubkan: ia mengumpulkan yang tercerai-berai dan memisahkan yang berhimpun; mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Dzikir mengumpulkan kembali apa pun yang tercerai dalam diri seseorang—hatinya, kehendaknya, pikirannya, dan tekadnya. Sungguh, penderitaan terbesar adalah ketika semua itu tercerai dan tidak terarah; sedangkan kebahagiaan sejati terletak pada bersatunya hati, kehendak, niat, dan tekad seseorang dalam satu tujuan, yaitu menuju Allah. Dzikir juga memisahkan apa yang berkumpul dari tumpukan kesedihan, kegelisahan, dan penyesalan atas hilangnya berbagai keinginan dan kesenangan dunia. Ia memisahkan pula dosa-dosa, kesalahan, dan beban maksiat yang menumpuk di diri seseorang—hingga dosa-dosa itu berjatuhan, lenyap, dan sirna. Dzikir juga memecah barisan pasukan setan yang bersatu untuk memerangi seorang hamba. Setan tak henti mengirimkan bala tentaranya untuk menggoda, dan semakin kuat keinginan seorang hamba untuk mencari Allah, semakin banyak dan besar pula serangan pasukan setan terhadapnya—sesuai dengan kadar kebaikan dan tekad yang ada pada dirinya. Dan tidak ada cara untuk memecah barisan pasukan itu kecuali dengan zikir yang terus-menerus. Adapun dzikir disebut “mendekatkan yang jauh”, karena ia mendekatkan akhirat yang berusaha dijauhkan dari hati oleh setan dan angan-angan duniawi. Ketika lidah seseorang terus melantunkan dzikir, seolah-olah ia sudah berada di negeri akhirat dan menyaksikannya secara langsung. Saat itulah dunia terasa kecil di matanya, sedangkan akhirat menjadi agung dalam hatinya. Dzikir juga disebut “menjauhkan yang dekat”, yakni dunia yang selalu berada di hadapan manusia dan menggoda hatinya. Ketika akhirat semakin dekat di hati, dunia pun semakin jauh darinya. Setiap langkah hati yang mendekat kepada akhirat adalah langkah menjauh dari dunia — dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan zikir yang terus-menerus. [الأَرْبَعُونَ] أَنَّ الذِّكْرَ يُنَبِّهُ الْقَلْبَ مِنْ نَوْمِهِ، وَيُوقِظُهُ مِنْ سِنَتِهِ، وَالْقَلْبُ إِذَا كَانَ نَائِمًا فَاتَتْهُ الْأَرْبَاحُ وَالْمَتَاجِرُ، وَكَانَ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الْخُسْرَانُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ وَعَلِمَ مَا فَاتَهُ فِي نَوْمَتِهِ، شَدَّ الْمِئْزَرَ وَأَحْيَا بَقِيَّةَ عُمْرِهِ، وَاسْتَدْرَكَ مَا فَاتَهُ، وَلَا تَحْصُلُ يَقَظَتُهُ إِلَّا بِالذِّكْرِ، فَإِنَّ الْغَفْلَةَ نَوْمٌ ثَقِيلٌ. Keempat puluh, Dzikir adalah pembangun hati yang tertidur dan penggugah dari kelalaiannya. Ketika hati berada dalam keadaan tidur (lalai), ia kehilangan berbagai keuntungan dan kesempatan berharga dalam hidupnya. Sebaliknya, yang mendominasi adalah kerugian dan kehampaan. Namun saat hati itu terjaga dan menyadari apa yang telah ia lewatkan selama dalam kelalaian, ia pun akan segera bersemangat, mengencangkan ikat pinggangnya, memanfaatkan sisa umurnya, dan berusaha menebus apa yang telah terlewat. Kesadaran dan kebangkitan hati semacam ini tidak akan terjadi kecuali dengan dzikir, sebab kelalaian (ghaflah) adalah tidur yang sangat berat bagi hati.   —   Dzikir itu Menenangkan Hati Di antara faedah besar dari dzikir adalah menenangkan hati. Allah Ta‘ālā berfirman: أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28) Dzikir juga menjadi tanda hidupnya hati seseorang. Dalam hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dengan orang yang tidak berdzikir, bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim) Dzikir juga merupakan sarana membersihkan hati. Dalam hadits disebutkan: إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا جِلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلَاوَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya hati ini berkarat sebagaimana besi berkarat ketika terkena air.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penghapus karatnya?” Beliau menjawab, “Banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur’an.” (HR. al-Baihaqī)   Hadirkan Hati Ketika Berdzikir Para ulama menegaskan bahwa dzikir terbaik adalah dzikir dengan lisan yang disertai hadirnya hati. Jika hanya lisan yang bergerak sementara hati lalai, maka itu berada pada tingkatan dzikir paling rendah. An-Nafrawī menukil dari al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahwa dzikir ada dua macam: dzikir dengan hati saja, dan dzikir dengan lisan bersama hati. Dzikir dengan hati terbagi dua: Dzikir berupa tadabbur dan tafakkur terhadap kebesaran Allah, keagungan-Nya, tanda-tanda-Nya, dan ciptaan-Nya yang ada di langit maupun bumi. Inilah dzikir yang paling tinggi dan paling agung. Mengingat Allah dengan cara menghadirkan-Nya dalam hati ketika berhadapan dengan perintah dan larangan-Nya. Yang pertama lebih utama daripada yang kedua. Sedangkan yang kedua lebih utama dibandingkan dzikir dengan lisan yang disertai hati. Adapun dzikir dengan lisan saja tanpa hati, itu adalah tingkatan paling rendah, meskipun tetap ada pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits. Dari sini jelas, wahai saudaraku, bahwa dzikir dengan lisan saja sementara hati sibuk dengan hal lain—seperti membicarakan obrolan teman atau berita dunia—maka pelakunya tetap mendapat pahala karena lisannya dipenuhi dzikir kepada Allah Ta‘ālā, tetapi tidak akan menyamai derajat orang yang menggabungkan antara dzikir lisan dan hati sekaligus. Adapun terkait melanjutkan dzikir setelah ada pemutus (terhenti sejenak), hal ini dirinci. Jika dzikir tersebut telah ditentukan jumlahnya dalam syariat, seperti dzikir setelah shalat fardhu, maka tidak mengapa melanjutkannya dari hitungan sebelumnya. Namun jika syariat tidak menentukan jumlahnya, maka menetapkan bilangan tertentu tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada bid‘ah dan membuat-buat dalam agama yang tidak ada tuntunannya.   Makna Dzikir Dzikir memiliki makna yang luas, mencakup dua sisi: a) Makna umum Dzikir dalam makna umum meliputi seluruh bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, memuji Allah, berdoa, bertasbih, bertahmid, mengagungkan Allah, dan berbagai ketaatan lainnya. Semua ibadah itu pada hakikatnya ditegakkan untuk mengingat Allah, menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ، وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ، وَتَعْلِيمِهِ، وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفٍ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ، فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ “Segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan dan dihadirkan oleh hati yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti belajar ilmu, mengajarkannya, amar ma‘ruf, dan nahi munkar, maka itu termasuk dzikir kepada Allah.” b) Makna khusus Dzikir dalam makna khusus adalah menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan lafaz yang bersumber dari Allah—seperti membaca Al-Qur’an—atau lafaz yang datang melalui lisan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya terdapat pengagungan, penyucian, pemuliaan, dan peneguhan tauhid kepada Allah. Makna inilah yang dimaksud dalam sunnah ketika berbicara tentang dzikir. Dzikir yang paling agung adalah membaca Kitab Allah Ta‘ālā. Beribadah dengan membaca Al-Qur’an telah membuat mata para salaf sulit terpejam dan membuat mereka rela meninggalkan tidur nyenyak. Allah berfirman: وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan pada waktu sahur, mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. adz-Dzāriyāt: 18) Para salaf mengisi malam mereka dengan membaca Kitab Allah Ta‘ālā dan melantunkan dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka sungguh, alangkah mulianya malam yang dihidupkan oleh mereka dengan ibadah. Sementara kita, betapa besar kerugian kita, betapa banyak kelalaian kita, dan betapa besar keteledoran kita dalam memanfaatkan malam dan waktu sahur! Semoga malam-malam kita selamat dari maksiat kepada Rabb kita, kecuali bagi yang dirahmati Allah Ta‘ālā.   Dzikir Ada Dua: Mutlak dan Muqayyad Seorang hamba hendaknya bersemangat berdzikir kepada Allah Ta‘ālā dengan hati dan lisannya sekaligus. Inilah keadaan yang paling sempurna. Adapun dzikir hanya dengan lisan saja tanpa kehadiran hati, maka itu termasuk keadaan yang kurang. Sebab, ada sebagian orang yang ketika berdzikir tidak merasakan apa yang ia ucapkan. Lisannya memang bergerak, tetapi hatinya tidak ikut hidup. Seandainya hatinya ikut berdzikir, merenungi maknanya, tentu imannya akan bertambah dan hatinya akan lebih lembut. Wahai saudaraku yang diberkahi Allah, ketahuilah juga bahwa dzikir ditinjau dari tempat atau waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua: dzikir muqayyad dan dzikir mutlak. Dzikir muqayyad adalah dzikir yang dibatasi oleh tempat, waktu, atau keadaan tertentu. Dzikir mutlak adalah dzikir yang tidak dibatasi oleh salah satu dari hal tersebut, melainkan bisa dilakukan kapan saja sepanjang hari. Contohnya, dzikir setelah shalat fardhu, dzikir setelah adzan, atau dzikir lain yang diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pada waktu dan tempat tertentu. Semua dzikir muqayyad ini lebih utama dibandingkan dzikir mutlak, karena di dalamnya ada unsur mengikuti sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika seseorang selesai dari shalat wajib, dzikir yang paling utama baginya adalah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Ia tidak menggantinya dengan dzikir lain, meskipun dzikir itu juga utama, seperti membaca Al-Qur’an. Sebab, demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kebaikan yang sempurna adalah dengan meneladani beliau.   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.   — Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (20/03/2011), direvisi 12 September 2025 di Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  www.rumaysho.com   Baca Juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah Yang Sering Menjadi Pertanyaan Seputar Dzikir Pagi Petang [1] HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691 [2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih [3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Hasan bin Qoid, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, 94-198. Tagsdoa dan dzikir Dzikir dzikir pagi dzikir petang keutamaan dzikir

Khutbah Jumat: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya

Dalam khutbah ini dijelaskan penyebab utama perselingkuhan dalam rumah tangga berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, serta temuan ilmiah masa kini. Disertakan pula solusi praktis Islami dan psikologis untuk menjaga keutuhan dan kesucian pernikahan.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1.2. Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 2. Khutbah Kedua 3. Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam ketakwaan, ketakwaan itu dengan menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa besar dan dosa kecil. Semoga dengan ini kita menjadi pengikut Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan syafaat beliau kelak di hari kiamat. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِى بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ Arab-Latin: Allażīna yajtanibụna kabā`iral-iṡmi wal-fawāḥisya illal-lamama inna rabbaka wāsi’ul-magfirah, huwa a’lamu bikum iż ansya`akum minal-arḍi wa iż antum ajinnatun fī buṭụni ummahātikum, fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqā “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32) Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan: Allah kemudian menjelaskan siapa yang dimaksud dengan al-muhsinīn (orang-orang yang berbuat baik). Mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Artinya, mereka tidak melakukan perkara yang diharamkan dan menjauhi dosa-dosa besar. Namun, jika di antara mereka ada yang terjatuh dalam dosa-dosa kecil, maka Allah akan mengampuni dan menutupinya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam ayat lain: إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang untuk kamu kerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.” (QS. An-Nisā’: 31) Demikian pula dalam ayat yang sedang kita bahas, Allah berfirman: ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَاحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.” (QS. An-Najm: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa para muhsin—orang yang berbuat baik—tetap bisa saja melakukan kesalahan kecil, tetapi Allah tidak memperlakukan dosa kecil seperti dosa besar. Ungkapan “illā al-lamam” (kecuali kesalahan kecil) adalah bentuk pengecualian yang terpisah, karena al-lamam termasuk dosa-dosa ringan dan perbuatan yang sepele. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, Abdur Razzaq telah menyampaikan kepada kami, dari Ma‘mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan makna al-lamam (dosa kecil) selain apa yang disampaikan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذٰلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذٰلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ. ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina; dia pasti akan terkena bagian itu, tanpa bisa dihindari. Maka, zina kedua mata adalah pandangan, zina lisan adalah ucapan, sedangkan jiwa berangan-angan dan menginginkannya, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.’” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalur periwayatan Abdur Razzaq. Demikian penjelasan dari Tafsir Ibnu Katsir. Baca juga: Khutbah Jumat, Jauhilah Zina dan Perselingkuhan Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dosa dan maksiat terbagi menjadi dua jenis, yaitu dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil (ash-shaghā’ir) adalah setiap perbuatan dosa yang tidak sampai pada batas dosa besar, atau yang berada di bawah dua batas, yaitu tidak dikenai hukuman had di dunia dan tidak disertai ancaman azab di akhirat. Imam al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan dalam Fayḍ al-Qadīr, “Kata al-kabā’ir (dosa-dosa besar) adalah bentuk jamak dari kabīrah, yaitu setiap perbuatan maksiat yang berat dan dosa yang besar. Para ulama memang berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Namun, pendapat yang paling kuat adalah bahwa dosa besar ialah setiap dosa yang oleh syariat diberi hukuman had (hukuman dunia) atau disebutkan ancaman keras di akhirat.” Sedangkan dalam ‘Umdah al-Qārī dijelaskan, “Sebagian ulama berkata bahwa dosa besar adalah setiap maksiat, sedangkan yang lain mengatakan: setiap dosa yang disertai ancaman api neraka, laknat, murka, atau azab dari Allah.” Baca juga: Apa itu Dosa Besar? Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube kini menjadi sarana yang sangat memudahkan terjadinya perselingkuhan. Melalui fitur interaksi pribadi dan komunikasi rahasia, hubungan terlarang dapat dengan mudah terjalin tanpa terpantau. Selain itu, kemudahan menyebarkan konten oleh pihak yang tersakiti juga membuat kasus perselingkuhan cepat viral dan menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1. Tidak Ada Kehangatan Emosional Pasangan merasa tidak dihargai, tidak didengar, dan kehilangan kedekatan hati. Inilah penyebab utama selingkuh — karena butuh diperhatikan. 2. Kebutuhan Biologis Tidak Terpenuhi Ketika kebutuhan seksual diabaikan atau dianggap tabu untuk dibahas, celah besar terbuka untuk godaan syahwat dari luar. 3. Tekanan Ekonomi Menyesakkan Beban hidup dan keuangan yang berat memicu stres, konflik, dan celah untuk “pelarian” dalam bentuk hubungan gelap. 4. Media Sosial: Jembatan Selingkuh WhatsApp, Instagram, dan Facebook mempermudah komunikasi diam-diam. Awalnya curhat, berujung khianat. 5. Komunikasi Suami Istri Tidak Terbangun Tidak saling bicara dengan jujur, menyimpan emosi, dan saling menyalahkan adalah bom waktu kehancuran rumah tangga. 6. Gangguan Psikis dan Karakter Buruk Narsisme, emosi tidak stabil, dan kecanduan validasi membuat seseorang mudah mencari perhatian dari lawan jenis lain. 7. Menikah Terlalu Muda, Belum Siap Mental Banyak pasangan muda belum siap memikul tanggung jawab rumah tangga. Mereka masih labil, mudah goyah oleh godaan. 8. Lingkungan Sosial yang Merusak Pergaulan yang permisif, tempat kerja yang bebas, atau teman yang mendukung selingkuh ikut menyuburkan dosa ini. 9. Poligami Tak Bijak, Selingkuh Dibungkus Agama Ada yang berdalih ingin poligami tapi tanpa keadilan dan izin istri. Ini bukan syariat, tapi tipu daya hawa nafsu.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 1. Perkuat Takwa dan Rasa Malu kepada Allah Cukup hadits berikut jadi pelajaran. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. 2. Jaga Komunikasi Harian, Walau 10 Menit Dialog emosional harian memperkuat ikatan batin dan mengurangi kesalahpahaman. 3. Penuhi Kebutuhan Pasangan – Batin dan Lahir Islam memerintahkan untuk saling memenuhi hak biologis dan emosional. Jangan remehkan “sentuhan kecil” atau kata mesra. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَحَدُهَا: مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي طَبْعِ الرَّجُلِ مِنْ مَيْلِهِ إِلَى الْمَرْأَةِ، كَمَا يَمِيلُ الْعَطْشَانُ إِلَى الْمَاءِ، وَالْجَائِعُ إِلَى الطَّعَامِ، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَصْبِرُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلَا يَصْبِرُ عَنِ النِّسَاءِ، وَهَذَا لَا يُذَمُّ إِذَا صَادَفَ حَلَالًا، بَلْ يُحْمَدُ، Salah satu penyebab kuatnya dorongan cinta adalah sifat dasar yang Allah Ta’ala tanamkan dalam diri laki-laki, yaitu kecenderungannya kepada perempuan. Kecenderungan ini seperti hausnya seseorang terhadap air, atau laparnya seseorang terhadap makanan. Bahkan, banyak orang yang bisa menahan lapar dan dahaga, tetapi tidak mampu menahan dorongan terhadap perempuan. Dorongan ini tidaklah tercela selama diarahkan kepada yang halal, bahkan justru terpuji. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 295-296) Itulah kenapa menolak hubungan intim itu tanpa ada uzur jadi bermasalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ! مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فَرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا، حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidak ada seorang pun suami yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak, melainkan Tuhan di langit akan murka kepadanya hingga ia meridhoi istrinya.” (HR. Muslim, no. 1436). 4. Batasi Interaksi Non-Mahram dan Medsos Pribadi Terapkan adab digital Islami: tidak DM lawan jenis, tidak curhat di medsos, dan transparan pada pasangan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amir, yaitu Ibnu Rabi’ah, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah bersabda, ” لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ,وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ‘Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya. Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.’ Berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji, sedangkan aku diwajibkan ikut perang ini dan itu.’ Maka beliau bersabda, ‘Berangkatlah dan berhajilah bersama istrimu.’” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaz hadits ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 1862 dan Muslim, no. 1341] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172) Al-Laits berkata bahwa al hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami. Yang dimaksud dengan “maut” di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Kesimpulan penting: Khalwat (berdua-duan) antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram (tidak halal) dihukumi haram. Yang termasuk dilarang adalah berkhalwat dengan istri dari saudara (ipar), istri dari paman dari jalur ayah atau jalur ibu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa al-hamwu al-maut, ipar itu kematian. Maksudnya, sifat bahaya hubungan dengan ipar itu besar. Karena berdua-duaannya dengan ipar itu sudah dianggap biasa tanpa ada pengingkaran, beda dengan ajnabi (orang jauh). Berdua-duaan dengan yang janda ataukah dengan gadis dihukumi sama-sama terlarang.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … 5. Libatkan Allah dalam Rumah Tangga Shalat berjamaah, doa bersama, dan tilawah menjaga rumah dari syaitan. Rumah yang dibacakan Al-Qur’an tidak akan gelap. 6. Bertumbuh Bersama, Bukan Saling Menuntut Pasangan yang saling mendukung perkembangan diri (emosi, iman, ilmu) cenderung lebih setia dan bahagia. 7. Saling Terbuka, Saling Memaafkan Bangun budaya terbuka. Bila ada masalah, bahas. Bila ada luka, obati. Jangan pendam hingga meledak dalam bentuk pengkhianatan.   Baca juga: Curhat pada Suami Orang Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Semoga khutbah ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa rumah tangga bukan sekadar urusan dunia, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mari kita jaga kesetiaan, rawat cinta, dan kuatkan iman — agar keluarga kita menjadi baiti jannati, rumahku adalah surgaku. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya    — Jumat pagi, 9 Jumadilawal 1447 H, 31 Oktober 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab pergaulan islam ayat tentang zina hadits tentang perselingkuhan hubungan suami istri keluarga sakinah khutbah jumat khutbah keluarga muslim khutbah tentang zina komunikasi dalam pernikahan media sosial dan selingkuh menjaga kehormatan menjaga kesetiaan nasehat pernikahan penyebab selingkuh perselingkuhan rumah tangga islami solusi perselingkuhan zina dalam islam

Khutbah Jumat: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya

Dalam khutbah ini dijelaskan penyebab utama perselingkuhan dalam rumah tangga berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, serta temuan ilmiah masa kini. Disertakan pula solusi praktis Islami dan psikologis untuk menjaga keutuhan dan kesucian pernikahan.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1.2. Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 2. Khutbah Kedua 3. Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam ketakwaan, ketakwaan itu dengan menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa besar dan dosa kecil. Semoga dengan ini kita menjadi pengikut Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan syafaat beliau kelak di hari kiamat. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِى بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ Arab-Latin: Allażīna yajtanibụna kabā`iral-iṡmi wal-fawāḥisya illal-lamama inna rabbaka wāsi’ul-magfirah, huwa a’lamu bikum iż ansya`akum minal-arḍi wa iż antum ajinnatun fī buṭụni ummahātikum, fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqā “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32) Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan: Allah kemudian menjelaskan siapa yang dimaksud dengan al-muhsinīn (orang-orang yang berbuat baik). Mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Artinya, mereka tidak melakukan perkara yang diharamkan dan menjauhi dosa-dosa besar. Namun, jika di antara mereka ada yang terjatuh dalam dosa-dosa kecil, maka Allah akan mengampuni dan menutupinya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam ayat lain: إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang untuk kamu kerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.” (QS. An-Nisā’: 31) Demikian pula dalam ayat yang sedang kita bahas, Allah berfirman: ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَاحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.” (QS. An-Najm: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa para muhsin—orang yang berbuat baik—tetap bisa saja melakukan kesalahan kecil, tetapi Allah tidak memperlakukan dosa kecil seperti dosa besar. Ungkapan “illā al-lamam” (kecuali kesalahan kecil) adalah bentuk pengecualian yang terpisah, karena al-lamam termasuk dosa-dosa ringan dan perbuatan yang sepele. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, Abdur Razzaq telah menyampaikan kepada kami, dari Ma‘mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan makna al-lamam (dosa kecil) selain apa yang disampaikan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذٰلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذٰلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ. ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina; dia pasti akan terkena bagian itu, tanpa bisa dihindari. Maka, zina kedua mata adalah pandangan, zina lisan adalah ucapan, sedangkan jiwa berangan-angan dan menginginkannya, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.’” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalur periwayatan Abdur Razzaq. Demikian penjelasan dari Tafsir Ibnu Katsir. Baca juga: Khutbah Jumat, Jauhilah Zina dan Perselingkuhan Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dosa dan maksiat terbagi menjadi dua jenis, yaitu dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil (ash-shaghā’ir) adalah setiap perbuatan dosa yang tidak sampai pada batas dosa besar, atau yang berada di bawah dua batas, yaitu tidak dikenai hukuman had di dunia dan tidak disertai ancaman azab di akhirat. Imam al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan dalam Fayḍ al-Qadīr, “Kata al-kabā’ir (dosa-dosa besar) adalah bentuk jamak dari kabīrah, yaitu setiap perbuatan maksiat yang berat dan dosa yang besar. Para ulama memang berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Namun, pendapat yang paling kuat adalah bahwa dosa besar ialah setiap dosa yang oleh syariat diberi hukuman had (hukuman dunia) atau disebutkan ancaman keras di akhirat.” Sedangkan dalam ‘Umdah al-Qārī dijelaskan, “Sebagian ulama berkata bahwa dosa besar adalah setiap maksiat, sedangkan yang lain mengatakan: setiap dosa yang disertai ancaman api neraka, laknat, murka, atau azab dari Allah.” Baca juga: Apa itu Dosa Besar? Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube kini menjadi sarana yang sangat memudahkan terjadinya perselingkuhan. Melalui fitur interaksi pribadi dan komunikasi rahasia, hubungan terlarang dapat dengan mudah terjalin tanpa terpantau. Selain itu, kemudahan menyebarkan konten oleh pihak yang tersakiti juga membuat kasus perselingkuhan cepat viral dan menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1. Tidak Ada Kehangatan Emosional Pasangan merasa tidak dihargai, tidak didengar, dan kehilangan kedekatan hati. Inilah penyebab utama selingkuh — karena butuh diperhatikan. 2. Kebutuhan Biologis Tidak Terpenuhi Ketika kebutuhan seksual diabaikan atau dianggap tabu untuk dibahas, celah besar terbuka untuk godaan syahwat dari luar. 3. Tekanan Ekonomi Menyesakkan Beban hidup dan keuangan yang berat memicu stres, konflik, dan celah untuk “pelarian” dalam bentuk hubungan gelap. 4. Media Sosial: Jembatan Selingkuh WhatsApp, Instagram, dan Facebook mempermudah komunikasi diam-diam. Awalnya curhat, berujung khianat. 5. Komunikasi Suami Istri Tidak Terbangun Tidak saling bicara dengan jujur, menyimpan emosi, dan saling menyalahkan adalah bom waktu kehancuran rumah tangga. 6. Gangguan Psikis dan Karakter Buruk Narsisme, emosi tidak stabil, dan kecanduan validasi membuat seseorang mudah mencari perhatian dari lawan jenis lain. 7. Menikah Terlalu Muda, Belum Siap Mental Banyak pasangan muda belum siap memikul tanggung jawab rumah tangga. Mereka masih labil, mudah goyah oleh godaan. 8. Lingkungan Sosial yang Merusak Pergaulan yang permisif, tempat kerja yang bebas, atau teman yang mendukung selingkuh ikut menyuburkan dosa ini. 9. Poligami Tak Bijak, Selingkuh Dibungkus Agama Ada yang berdalih ingin poligami tapi tanpa keadilan dan izin istri. Ini bukan syariat, tapi tipu daya hawa nafsu.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 1. Perkuat Takwa dan Rasa Malu kepada Allah Cukup hadits berikut jadi pelajaran. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. 2. Jaga Komunikasi Harian, Walau 10 Menit Dialog emosional harian memperkuat ikatan batin dan mengurangi kesalahpahaman. 3. Penuhi Kebutuhan Pasangan – Batin dan Lahir Islam memerintahkan untuk saling memenuhi hak biologis dan emosional. Jangan remehkan “sentuhan kecil” atau kata mesra. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَحَدُهَا: مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي طَبْعِ الرَّجُلِ مِنْ مَيْلِهِ إِلَى الْمَرْأَةِ، كَمَا يَمِيلُ الْعَطْشَانُ إِلَى الْمَاءِ، وَالْجَائِعُ إِلَى الطَّعَامِ، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَصْبِرُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلَا يَصْبِرُ عَنِ النِّسَاءِ، وَهَذَا لَا يُذَمُّ إِذَا صَادَفَ حَلَالًا، بَلْ يُحْمَدُ، Salah satu penyebab kuatnya dorongan cinta adalah sifat dasar yang Allah Ta’ala tanamkan dalam diri laki-laki, yaitu kecenderungannya kepada perempuan. Kecenderungan ini seperti hausnya seseorang terhadap air, atau laparnya seseorang terhadap makanan. Bahkan, banyak orang yang bisa menahan lapar dan dahaga, tetapi tidak mampu menahan dorongan terhadap perempuan. Dorongan ini tidaklah tercela selama diarahkan kepada yang halal, bahkan justru terpuji. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 295-296) Itulah kenapa menolak hubungan intim itu tanpa ada uzur jadi bermasalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ! مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فَرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا، حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidak ada seorang pun suami yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak, melainkan Tuhan di langit akan murka kepadanya hingga ia meridhoi istrinya.” (HR. Muslim, no. 1436). 4. Batasi Interaksi Non-Mahram dan Medsos Pribadi Terapkan adab digital Islami: tidak DM lawan jenis, tidak curhat di medsos, dan transparan pada pasangan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amir, yaitu Ibnu Rabi’ah, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah bersabda, ” لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ,وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ‘Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya. Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.’ Berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji, sedangkan aku diwajibkan ikut perang ini dan itu.’ Maka beliau bersabda, ‘Berangkatlah dan berhajilah bersama istrimu.’” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaz hadits ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 1862 dan Muslim, no. 1341] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172) Al-Laits berkata bahwa al hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami. Yang dimaksud dengan “maut” di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Kesimpulan penting: Khalwat (berdua-duan) antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram (tidak halal) dihukumi haram. Yang termasuk dilarang adalah berkhalwat dengan istri dari saudara (ipar), istri dari paman dari jalur ayah atau jalur ibu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa al-hamwu al-maut, ipar itu kematian. Maksudnya, sifat bahaya hubungan dengan ipar itu besar. Karena berdua-duaannya dengan ipar itu sudah dianggap biasa tanpa ada pengingkaran, beda dengan ajnabi (orang jauh). Berdua-duaan dengan yang janda ataukah dengan gadis dihukumi sama-sama terlarang.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … 5. Libatkan Allah dalam Rumah Tangga Shalat berjamaah, doa bersama, dan tilawah menjaga rumah dari syaitan. Rumah yang dibacakan Al-Qur’an tidak akan gelap. 6. Bertumbuh Bersama, Bukan Saling Menuntut Pasangan yang saling mendukung perkembangan diri (emosi, iman, ilmu) cenderung lebih setia dan bahagia. 7. Saling Terbuka, Saling Memaafkan Bangun budaya terbuka. Bila ada masalah, bahas. Bila ada luka, obati. Jangan pendam hingga meledak dalam bentuk pengkhianatan.   Baca juga: Curhat pada Suami Orang Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Semoga khutbah ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa rumah tangga bukan sekadar urusan dunia, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mari kita jaga kesetiaan, rawat cinta, dan kuatkan iman — agar keluarga kita menjadi baiti jannati, rumahku adalah surgaku. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya    — Jumat pagi, 9 Jumadilawal 1447 H, 31 Oktober 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab pergaulan islam ayat tentang zina hadits tentang perselingkuhan hubungan suami istri keluarga sakinah khutbah jumat khutbah keluarga muslim khutbah tentang zina komunikasi dalam pernikahan media sosial dan selingkuh menjaga kehormatan menjaga kesetiaan nasehat pernikahan penyebab selingkuh perselingkuhan rumah tangga islami solusi perselingkuhan zina dalam islam
Dalam khutbah ini dijelaskan penyebab utama perselingkuhan dalam rumah tangga berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, serta temuan ilmiah masa kini. Disertakan pula solusi praktis Islami dan psikologis untuk menjaga keutuhan dan kesucian pernikahan.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1.2. Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 2. Khutbah Kedua 3. Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam ketakwaan, ketakwaan itu dengan menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa besar dan dosa kecil. Semoga dengan ini kita menjadi pengikut Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan syafaat beliau kelak di hari kiamat. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِى بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ Arab-Latin: Allażīna yajtanibụna kabā`iral-iṡmi wal-fawāḥisya illal-lamama inna rabbaka wāsi’ul-magfirah, huwa a’lamu bikum iż ansya`akum minal-arḍi wa iż antum ajinnatun fī buṭụni ummahātikum, fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqā “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32) Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan: Allah kemudian menjelaskan siapa yang dimaksud dengan al-muhsinīn (orang-orang yang berbuat baik). Mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Artinya, mereka tidak melakukan perkara yang diharamkan dan menjauhi dosa-dosa besar. Namun, jika di antara mereka ada yang terjatuh dalam dosa-dosa kecil, maka Allah akan mengampuni dan menutupinya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam ayat lain: إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang untuk kamu kerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.” (QS. An-Nisā’: 31) Demikian pula dalam ayat yang sedang kita bahas, Allah berfirman: ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَاحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.” (QS. An-Najm: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa para muhsin—orang yang berbuat baik—tetap bisa saja melakukan kesalahan kecil, tetapi Allah tidak memperlakukan dosa kecil seperti dosa besar. Ungkapan “illā al-lamam” (kecuali kesalahan kecil) adalah bentuk pengecualian yang terpisah, karena al-lamam termasuk dosa-dosa ringan dan perbuatan yang sepele. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, Abdur Razzaq telah menyampaikan kepada kami, dari Ma‘mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan makna al-lamam (dosa kecil) selain apa yang disampaikan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذٰلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذٰلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ. ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina; dia pasti akan terkena bagian itu, tanpa bisa dihindari. Maka, zina kedua mata adalah pandangan, zina lisan adalah ucapan, sedangkan jiwa berangan-angan dan menginginkannya, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.’” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalur periwayatan Abdur Razzaq. Demikian penjelasan dari Tafsir Ibnu Katsir. Baca juga: Khutbah Jumat, Jauhilah Zina dan Perselingkuhan Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dosa dan maksiat terbagi menjadi dua jenis, yaitu dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil (ash-shaghā’ir) adalah setiap perbuatan dosa yang tidak sampai pada batas dosa besar, atau yang berada di bawah dua batas, yaitu tidak dikenai hukuman had di dunia dan tidak disertai ancaman azab di akhirat. Imam al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan dalam Fayḍ al-Qadīr, “Kata al-kabā’ir (dosa-dosa besar) adalah bentuk jamak dari kabīrah, yaitu setiap perbuatan maksiat yang berat dan dosa yang besar. Para ulama memang berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Namun, pendapat yang paling kuat adalah bahwa dosa besar ialah setiap dosa yang oleh syariat diberi hukuman had (hukuman dunia) atau disebutkan ancaman keras di akhirat.” Sedangkan dalam ‘Umdah al-Qārī dijelaskan, “Sebagian ulama berkata bahwa dosa besar adalah setiap maksiat, sedangkan yang lain mengatakan: setiap dosa yang disertai ancaman api neraka, laknat, murka, atau azab dari Allah.” Baca juga: Apa itu Dosa Besar? Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube kini menjadi sarana yang sangat memudahkan terjadinya perselingkuhan. Melalui fitur interaksi pribadi dan komunikasi rahasia, hubungan terlarang dapat dengan mudah terjalin tanpa terpantau. Selain itu, kemudahan menyebarkan konten oleh pihak yang tersakiti juga membuat kasus perselingkuhan cepat viral dan menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1. Tidak Ada Kehangatan Emosional Pasangan merasa tidak dihargai, tidak didengar, dan kehilangan kedekatan hati. Inilah penyebab utama selingkuh — karena butuh diperhatikan. 2. Kebutuhan Biologis Tidak Terpenuhi Ketika kebutuhan seksual diabaikan atau dianggap tabu untuk dibahas, celah besar terbuka untuk godaan syahwat dari luar. 3. Tekanan Ekonomi Menyesakkan Beban hidup dan keuangan yang berat memicu stres, konflik, dan celah untuk “pelarian” dalam bentuk hubungan gelap. 4. Media Sosial: Jembatan Selingkuh WhatsApp, Instagram, dan Facebook mempermudah komunikasi diam-diam. Awalnya curhat, berujung khianat. 5. Komunikasi Suami Istri Tidak Terbangun Tidak saling bicara dengan jujur, menyimpan emosi, dan saling menyalahkan adalah bom waktu kehancuran rumah tangga. 6. Gangguan Psikis dan Karakter Buruk Narsisme, emosi tidak stabil, dan kecanduan validasi membuat seseorang mudah mencari perhatian dari lawan jenis lain. 7. Menikah Terlalu Muda, Belum Siap Mental Banyak pasangan muda belum siap memikul tanggung jawab rumah tangga. Mereka masih labil, mudah goyah oleh godaan. 8. Lingkungan Sosial yang Merusak Pergaulan yang permisif, tempat kerja yang bebas, atau teman yang mendukung selingkuh ikut menyuburkan dosa ini. 9. Poligami Tak Bijak, Selingkuh Dibungkus Agama Ada yang berdalih ingin poligami tapi tanpa keadilan dan izin istri. Ini bukan syariat, tapi tipu daya hawa nafsu.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 1. Perkuat Takwa dan Rasa Malu kepada Allah Cukup hadits berikut jadi pelajaran. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. 2. Jaga Komunikasi Harian, Walau 10 Menit Dialog emosional harian memperkuat ikatan batin dan mengurangi kesalahpahaman. 3. Penuhi Kebutuhan Pasangan – Batin dan Lahir Islam memerintahkan untuk saling memenuhi hak biologis dan emosional. Jangan remehkan “sentuhan kecil” atau kata mesra. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَحَدُهَا: مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي طَبْعِ الرَّجُلِ مِنْ مَيْلِهِ إِلَى الْمَرْأَةِ، كَمَا يَمِيلُ الْعَطْشَانُ إِلَى الْمَاءِ، وَالْجَائِعُ إِلَى الطَّعَامِ، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَصْبِرُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلَا يَصْبِرُ عَنِ النِّسَاءِ، وَهَذَا لَا يُذَمُّ إِذَا صَادَفَ حَلَالًا، بَلْ يُحْمَدُ، Salah satu penyebab kuatnya dorongan cinta adalah sifat dasar yang Allah Ta’ala tanamkan dalam diri laki-laki, yaitu kecenderungannya kepada perempuan. Kecenderungan ini seperti hausnya seseorang terhadap air, atau laparnya seseorang terhadap makanan. Bahkan, banyak orang yang bisa menahan lapar dan dahaga, tetapi tidak mampu menahan dorongan terhadap perempuan. Dorongan ini tidaklah tercela selama diarahkan kepada yang halal, bahkan justru terpuji. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 295-296) Itulah kenapa menolak hubungan intim itu tanpa ada uzur jadi bermasalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ! مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فَرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا، حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidak ada seorang pun suami yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak, melainkan Tuhan di langit akan murka kepadanya hingga ia meridhoi istrinya.” (HR. Muslim, no. 1436). 4. Batasi Interaksi Non-Mahram dan Medsos Pribadi Terapkan adab digital Islami: tidak DM lawan jenis, tidak curhat di medsos, dan transparan pada pasangan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amir, yaitu Ibnu Rabi’ah, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah bersabda, ” لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ,وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ‘Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya. Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.’ Berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji, sedangkan aku diwajibkan ikut perang ini dan itu.’ Maka beliau bersabda, ‘Berangkatlah dan berhajilah bersama istrimu.’” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaz hadits ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 1862 dan Muslim, no. 1341] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172) Al-Laits berkata bahwa al hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami. Yang dimaksud dengan “maut” di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Kesimpulan penting: Khalwat (berdua-duan) antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram (tidak halal) dihukumi haram. Yang termasuk dilarang adalah berkhalwat dengan istri dari saudara (ipar), istri dari paman dari jalur ayah atau jalur ibu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa al-hamwu al-maut, ipar itu kematian. Maksudnya, sifat bahaya hubungan dengan ipar itu besar. Karena berdua-duaannya dengan ipar itu sudah dianggap biasa tanpa ada pengingkaran, beda dengan ajnabi (orang jauh). Berdua-duaan dengan yang janda ataukah dengan gadis dihukumi sama-sama terlarang.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … 5. Libatkan Allah dalam Rumah Tangga Shalat berjamaah, doa bersama, dan tilawah menjaga rumah dari syaitan. Rumah yang dibacakan Al-Qur’an tidak akan gelap. 6. Bertumbuh Bersama, Bukan Saling Menuntut Pasangan yang saling mendukung perkembangan diri (emosi, iman, ilmu) cenderung lebih setia dan bahagia. 7. Saling Terbuka, Saling Memaafkan Bangun budaya terbuka. Bila ada masalah, bahas. Bila ada luka, obati. Jangan pendam hingga meledak dalam bentuk pengkhianatan.   Baca juga: Curhat pada Suami Orang Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Semoga khutbah ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa rumah tangga bukan sekadar urusan dunia, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mari kita jaga kesetiaan, rawat cinta, dan kuatkan iman — agar keluarga kita menjadi baiti jannati, rumahku adalah surgaku. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya    — Jumat pagi, 9 Jumadilawal 1447 H, 31 Oktober 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab pergaulan islam ayat tentang zina hadits tentang perselingkuhan hubungan suami istri keluarga sakinah khutbah jumat khutbah keluarga muslim khutbah tentang zina komunikasi dalam pernikahan media sosial dan selingkuh menjaga kehormatan menjaga kesetiaan nasehat pernikahan penyebab selingkuh perselingkuhan rumah tangga islami solusi perselingkuhan zina dalam islam


Dalam khutbah ini dijelaskan penyebab utama perselingkuhan dalam rumah tangga berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, serta temuan ilmiah masa kini. Disertakan pula solusi praktis Islami dan psikologis untuk menjaga keutuhan dan kesucian pernikahan.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1.2. Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 2. Khutbah Kedua 3. Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam ketakwaan, ketakwaan itu dengan menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi dosa besar dan dosa kecil. Semoga dengan ini kita menjadi pengikut Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan syafaat beliau kelak di hari kiamat. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِى بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ Arab-Latin: Allażīna yajtanibụna kabā`iral-iṡmi wal-fawāḥisya illal-lamama inna rabbaka wāsi’ul-magfirah, huwa a’lamu bikum iż ansya`akum minal-arḍi wa iż antum ajinnatun fī buṭụni ummahātikum, fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqā “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32) Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan: Allah kemudian menjelaskan siapa yang dimaksud dengan al-muhsinīn (orang-orang yang berbuat baik). Mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Artinya, mereka tidak melakukan perkara yang diharamkan dan menjauhi dosa-dosa besar. Namun, jika di antara mereka ada yang terjatuh dalam dosa-dosa kecil, maka Allah akan mengampuni dan menutupinya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam ayat lain: إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang untuk kamu kerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia.” (QS. An-Nisā’: 31) Demikian pula dalam ayat yang sedang kita bahas, Allah berfirman: ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَاحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil.” (QS. An-Najm: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa para muhsin—orang yang berbuat baik—tetap bisa saja melakukan kesalahan kecil, tetapi Allah tidak memperlakukan dosa kecil seperti dosa besar. Ungkapan “illā al-lamam” (kecuali kesalahan kecil) adalah bentuk pengecualian yang terpisah, karena al-lamam termasuk dosa-dosa ringan dan perbuatan yang sepele. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, Abdur Razzaq telah menyampaikan kepada kami, dari Ma‘mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan makna al-lamam (dosa kecil) selain apa yang disampaikan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذٰلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذٰلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ. ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina; dia pasti akan terkena bagian itu, tanpa bisa dihindari. Maka, zina kedua mata adalah pandangan, zina lisan adalah ucapan, sedangkan jiwa berangan-angan dan menginginkannya, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.’” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalur periwayatan Abdur Razzaq. Demikian penjelasan dari Tafsir Ibnu Katsir. Baca juga: Khutbah Jumat, Jauhilah Zina dan Perselingkuhan Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dosa dan maksiat terbagi menjadi dua jenis, yaitu dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil (ash-shaghā’ir) adalah setiap perbuatan dosa yang tidak sampai pada batas dosa besar, atau yang berada di bawah dua batas, yaitu tidak dikenai hukuman had di dunia dan tidak disertai ancaman azab di akhirat. Imam al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan dalam Fayḍ al-Qadīr, “Kata al-kabā’ir (dosa-dosa besar) adalah bentuk jamak dari kabīrah, yaitu setiap perbuatan maksiat yang berat dan dosa yang besar. Para ulama memang berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Namun, pendapat yang paling kuat adalah bahwa dosa besar ialah setiap dosa yang oleh syariat diberi hukuman had (hukuman dunia) atau disebutkan ancaman keras di akhirat.” Sedangkan dalam ‘Umdah al-Qārī dijelaskan, “Sebagian ulama berkata bahwa dosa besar adalah setiap maksiat, sedangkan yang lain mengatakan: setiap dosa yang disertai ancaman api neraka, laknat, murka, atau azab dari Allah.” Baca juga: Apa itu Dosa Besar? Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube kini menjadi sarana yang sangat memudahkan terjadinya perselingkuhan. Melalui fitur interaksi pribadi dan komunikasi rahasia, hubungan terlarang dapat dengan mudah terjalin tanpa terpantau. Selain itu, kemudahan menyebarkan konten oleh pihak yang tersakiti juga membuat kasus perselingkuhan cepat viral dan menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian terkini, perselingkuhan bisa terjadi karena sebab-sebab berikut ini. 1. Tidak Ada Kehangatan Emosional Pasangan merasa tidak dihargai, tidak didengar, dan kehilangan kedekatan hati. Inilah penyebab utama selingkuh — karena butuh diperhatikan. 2. Kebutuhan Biologis Tidak Terpenuhi Ketika kebutuhan seksual diabaikan atau dianggap tabu untuk dibahas, celah besar terbuka untuk godaan syahwat dari luar. 3. Tekanan Ekonomi Menyesakkan Beban hidup dan keuangan yang berat memicu stres, konflik, dan celah untuk “pelarian” dalam bentuk hubungan gelap. 4. Media Sosial: Jembatan Selingkuh WhatsApp, Instagram, dan Facebook mempermudah komunikasi diam-diam. Awalnya curhat, berujung khianat. 5. Komunikasi Suami Istri Tidak Terbangun Tidak saling bicara dengan jujur, menyimpan emosi, dan saling menyalahkan adalah bom waktu kehancuran rumah tangga. 6. Gangguan Psikis dan Karakter Buruk Narsisme, emosi tidak stabil, dan kecanduan validasi membuat seseorang mudah mencari perhatian dari lawan jenis lain. 7. Menikah Terlalu Muda, Belum Siap Mental Banyak pasangan muda belum siap memikul tanggung jawab rumah tangga. Mereka masih labil, mudah goyah oleh godaan. 8. Lingkungan Sosial yang Merusak Pergaulan yang permisif, tempat kerja yang bebas, atau teman yang mendukung selingkuh ikut menyuburkan dosa ini. 9. Poligami Tak Bijak, Selingkuh Dibungkus Agama Ada yang berdalih ingin poligami tapi tanpa keadilan dan izin istri. Ini bukan syariat, tapi tipu daya hawa nafsu.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana menjaga rumah tangga dari godaan dan khianat? 1. Perkuat Takwa dan Rasa Malu kepada Allah Cukup hadits berikut jadi pelajaran. Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkanlah aku untuk berzina.” Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini!” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.” Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.” Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibikmu)?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa: اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.” Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih) Kalau ada yang ingin berzina, ingatlah: (1) malulah pada diri kita sendiri, (2) malulah jika ketahuan keluarga dekat kita, (3) kita pun tidak rida jika perempuan di dekat kita dizinai oleh orang lain, maka kita jangan sampai menzinai yang lainnya, (4) TAKUTLAH PADA SIKSA ALLAH. 2. Jaga Komunikasi Harian, Walau 10 Menit Dialog emosional harian memperkuat ikatan batin dan mengurangi kesalahpahaman. 3. Penuhi Kebutuhan Pasangan – Batin dan Lahir Islam memerintahkan untuk saling memenuhi hak biologis dan emosional. Jangan remehkan “sentuhan kecil” atau kata mesra. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَحَدُهَا: مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي طَبْعِ الرَّجُلِ مِنْ مَيْلِهِ إِلَى الْمَرْأَةِ، كَمَا يَمِيلُ الْعَطْشَانُ إِلَى الْمَاءِ، وَالْجَائِعُ إِلَى الطَّعَامِ، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَصْبِرُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلَا يَصْبِرُ عَنِ النِّسَاءِ، وَهَذَا لَا يُذَمُّ إِذَا صَادَفَ حَلَالًا، بَلْ يُحْمَدُ، Salah satu penyebab kuatnya dorongan cinta adalah sifat dasar yang Allah Ta’ala tanamkan dalam diri laki-laki, yaitu kecenderungannya kepada perempuan. Kecenderungan ini seperti hausnya seseorang terhadap air, atau laparnya seseorang terhadap makanan. Bahkan, banyak orang yang bisa menahan lapar dan dahaga, tetapi tidak mampu menahan dorongan terhadap perempuan. Dorongan ini tidaklah tercela selama diarahkan kepada yang halal, bahkan justru terpuji. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 295-296) Itulah kenapa menolak hubungan intim itu tanpa ada uzur jadi bermasalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ! مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فَرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا، حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidak ada seorang pun suami yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak, melainkan Tuhan di langit akan murka kepadanya hingga ia meridhoi istrinya.” (HR. Muslim, no. 1436). 4. Batasi Interaksi Non-Mahram dan Medsos Pribadi Terapkan adab digital Islami: tidak DM lawan jenis, tidak curhat di medsos, dan transparan pada pasangan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amir, yaitu Ibnu Rabi’ah, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah bersabda, ” لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ,وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ‘Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya. Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.’ Berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji, sedangkan aku diwajibkan ikut perang ini dan itu.’ Maka beliau bersabda, ‘Berangkatlah dan berhajilah bersama istrimu.’” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaz hadits ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 1862 dan Muslim, no. 1341] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172) Al-Laits berkata bahwa al hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami. Yang dimaksud dengan “maut” di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Kesimpulan penting: Khalwat (berdua-duan) antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram (tidak halal) dihukumi haram. Yang termasuk dilarang adalah berkhalwat dengan istri dari saudara (ipar), istri dari paman dari jalur ayah atau jalur ibu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa al-hamwu al-maut, ipar itu kematian. Maksudnya, sifat bahaya hubungan dengan ipar itu besar. Karena berdua-duaannya dengan ipar itu sudah dianggap biasa tanpa ada pengingkaran, beda dengan ajnabi (orang jauh). Berdua-duaan dengan yang janda ataukah dengan gadis dihukumi sama-sama terlarang.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … 5. Libatkan Allah dalam Rumah Tangga Shalat berjamaah, doa bersama, dan tilawah menjaga rumah dari syaitan. Rumah yang dibacakan Al-Qur’an tidak akan gelap. 6. Bertumbuh Bersama, Bukan Saling Menuntut Pasangan yang saling mendukung perkembangan diri (emosi, iman, ilmu) cenderung lebih setia dan bahagia. 7. Saling Terbuka, Saling Memaafkan Bangun budaya terbuka. Bila ada masalah, bahas. Bila ada luka, obati. Jangan pendam hingga meledak dalam bentuk pengkhianatan.   Baca juga: Curhat pada Suami Orang Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Semoga khutbah ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa rumah tangga bukan sekadar urusan dunia, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mari kita jaga kesetiaan, rawat cinta, dan kuatkan iman — agar keluarga kita menjadi baiti jannati, rumahku adalah surgaku. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا، وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Tonton video: Mengapa Suami/Istri Berselingkuh? Ini Penyebab dan Solusinya   <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span> — Jumat pagi, 9 Jumadilawal 1447 H, 31 Oktober 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab pergaulan islam ayat tentang zina hadits tentang perselingkuhan hubungan suami istri keluarga sakinah khutbah jumat khutbah keluarga muslim khutbah tentang zina komunikasi dalam pernikahan media sosial dan selingkuh menjaga kehormatan menjaga kesetiaan nasehat pernikahan penyebab selingkuh perselingkuhan rumah tangga islami solusi perselingkuhan zina dalam islam

Manakah yang Ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat: Amal, Catatan, atau Pelakunya?

Tulisan ini mengulas makna al-Mīzān (timbangan amal) menurut bahasa dan istilah syariat, disertai dalil Al-Qur’an dan hadits sahih. Dijelaskan pula perbedaan pendapat ulama tentang apa yang ditimbang pada Hari Kiamat—apakah amalnya, catatan amalnya, atau pelakunya—beserta upaya pengompromiannya. Tujuannya agar pembaca semakin yakin pada keadilan Allah dan terdorong memperberat timbangan kebaikan dengan iman, akhlak, dan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) 2. Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) 3. Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal 4. Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk 5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal 6. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang 6.1. Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri 6.2. Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya 6.3. Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal 6.4. Kesimpulan Pendapat     Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) Secara bahasa, al-mīzān (الميزان) berarti alat yang digunakan untuk menimbang sesuatu. Kata ini bentuk jamaknya adalah “mawāzīn” (موازين). Adapun az-zinah (الزِّنة) bermakna ukuran berat suatu benda. Sedangkan kata kerja wazn (وزن) secara asal bermakna keseimbangan dan keadilan, karena berasal dari akar kata yang menunjukkan makna penyesuaian, ketepatan, dan keadilan dalam ukuran.   Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) Dalam istilah syariat, al-mīzān adalah timbangan yang hakiki dan nyata, yang memiliki dua daun timbangan (كِفَّتان) dan satu lidah penunjuk (لسان). Dengan timbangan inilah amal perbuatan hamba — baik dan buruk — akan ditimbang pada hari keputusan di Padang Mahsyar.   Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal Allah Ta‘ala telah mengabarkan tentang adanya timbangan amal dalam Al-Qur’an, secara umum dalam beberapa ayat, seperti firman-Nya: ﴿وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ﴾ “Dan Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) Ayat lainnya, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ “Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 8–9) Ayat lainnya lagi, أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap pertemuan dengan-Nya, maka gugurlah amal-amal mereka. Oleh karena itu, Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan (nilai) pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 105) Ibnu Jarīr rahimahullāh menjelaskan: “يَقولُ تعالى ذِكرُه: هؤلاء الذينَ وصَفْنا صِفتَهم، الأخسَرون أعمالًا، الذينَ كَفَروا بحُجَجِ رَبِّهم وأدِلَّتِه، وأنكَروا لِقاءَه، فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ…” “Allah Ta‘ala berfirman: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang paling merugi dalam amalnya, yaitu orang-orang yang kufur terhadap bukti-bukti dan hujjah Rabb mereka, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya di hari akhir.” Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut: “فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ” “Maka gugurlah amal mereka, artinya seluruh amal mereka menjadi sia-sia, tidak ada balasan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka di akhirat.” “فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا” “Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat, maksudnya Kami tidak menjadikan mereka memiliki bobot nilai amal sedikit pun.” Beliau melanjutkan: “وإنما عنى بذلك: أنَّهم لا تَثقُلُ بهم مَوازينُهم؛ لأنَّ المَوازينَ إنَّما تَثقُلُ بالأعمالِ الصَّالِحةِ، وليس لهؤلاء شَيءٌ من الأعمالِ الصَّالِحةِ فتَثقُلَ به مَوازينُهم.” “Maksudnya adalah timbangan mereka tidak akan menjadi berat, karena timbangan hanya menjadi berat dengan amal-amal saleh, sedangkan mereka tidak memiliki amal saleh sama sekali yang bisa memberatkan timbangan mereka.” (Tafsīr ath-Ṭabarī, 18: 105) Baca juga: Orang Kafir Tidak Dihitung Amalannya di Akhirat Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ، فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» “Barang siapa menahan seekor kuda di jalan Allah, karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makanan kuda itu, minumnya, kotorannya, dan air kencingnya akan menjadi (berat) dalam timbangan amalnya pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) ‘Ali Al-Qārī rahimahullāh menjelaskan makna hadits ini dalam Mirqāt al-Mafātīḥ: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ» Maksudnya adalah menahan dan mengikat seekor kuda untuk dirinya, dengan niat menggunakannya di jalan Allah, seperti untuk berjihad atau keperluan lain yang mendukung perjuangan Islam. Bahkan sebagian ulama menyebut maknanya seperti mewakafkan seekor kuda untuk kepentingan jihad. «إِيمَانًا بِاللَّهِ» Kalimat ini menunjukkan niat dan motivasi amalnya, yakni menahannya karena keimanan kepada Allah dan keikhlasan semata-mata karena-Nya. «وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ» Maksudnya adalah percaya terhadap janji Allah akan pahala bagi orang yang menyiapkan dan memelihara kuda untuk jihad. Dengan kata lain, orang itu seolah berkata, “Ya Allah, aku mempercayai janji-Mu atas pahala besar yang Engkau janjikan bagi orang yang menyiapkan kuda di jalan-Mu.” «فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» Artinya: segala hal yang berhubungan dengan kuda itu — makanan yang ia makan, minuman yang ia minum, kotoran dan air kencing yang ia keluarkan — semuanya akan menjadi pahala yang ditimbang di timbangan amal pemiliknya pada hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan niat yang ikhlas di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan sesuatu yang dianggap remeh seperti kotoran kuda pun memiliki nilai pahala di sisi Allah. (Mirqāt al-Mafātīḥ, 7:3002) Baca juga: 6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat Dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata kotor dan kasar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dinilai hasan sahih) Ibnu ‘Allān rahimahullāh menjelaskan dalam Dalīl al-Fāliḥīn: “هذا الحديث ظاهر في أن نفس العمل يُوزن بأن يُجسّد. وتَجسيدُ المعاني جائز، كما جاء: ((يُؤتى بالموت في صورة كبش)) الحديث.” “Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan itu sendiri akan ditimbang setelah dijadikan wujud nyata (tajsīd). Dan perwujudan makna-makna abstrak menjadi bentuk nyata adalah hal yang mungkin terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk seekor kambing, lalu disembelih di antara surga dan neraka.” Artinya, akhlak yang baik bukan sekadar sifat batin, tetapi pada hari Kiamat akan Allah wujudkan dalam bentuk nyata yang memiliki bobot di timbangan amal. Ibnu ‘Allān melanjutkan penjelasannya: “وفي التقييد بالمؤمن إيماء إلى أن الكافر لا يُوزن عمله؛ لأنه لا طاعة له لتُوزن في مقابلة كفره، وهو أحد قولين في ذلك.” “Disebutkan secara khusus kata ‘seorang mukmin’ dalam hadits ini karena orang kafir tidak akan ditimbang amalnya. Sebab ia tidak memiliki amal ketaatan yang dapat ditimbang untuk menandingi kekufurannya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.” Maksudnya, hanya amal orang beriman yang memiliki nilai di timbangan amal, karena amal mereka dibangun di atas fondasi iman. Adapun orang kafir, meskipun banyak berbuat baik di dunia, amalnya tidak memiliki nilai akhirat sebab tidak disertai dengan keimanan.   Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk Ibnu Qudāmah rahimahullāh menjelaskan: «الميزانُ له كِفَّتانِ ولِسانٌ، تُوزَنُ به الأعمالُ، فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ.» “Timbangan amal memiliki dua daun dan satu lidah penunjuk. Dengannya amal perbuatan manusia akan ditimbang. Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾ “Barang siapa berat timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan diri sendiri; mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu’minūn: 102–103)” (Lum‘at al-I‘tiqād, hlm. 39) Pembicaraan tentang mizan dan catatan amal yang ditimbang, bisa dilihat dari tulisan: Kartu Laa Ilaha Illallah Mengalahkan Catatan Dosa Sejauh Mata Memandang As-Saffārīnī rahimahullāh menjelaskan: «دَلَّتِ الآثارُ على أنَّه ميزانٌ حقيقيٌّ ذو كِفَّتينِ ولسانٍ، كما قال ابنُ عباسٍ، والحسنُ البصريُّ، وصَرَّحَ بذلك علماؤُنا، والأشعريَّةُ وغيرُهم، وقد بلغت أحاديثُه مبلغَ التواترِ، وانعقدَ إجماعُ أهلِ الحقِّ من المسلمين عليه.» “Dalil-dalil dari berbagai atsar menunjukkan bahwa timbangan amal adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua daun timbangan dan satu lidah penunjuk, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Al-Hasan Al-Bashrī, dan ditegaskan pula oleh para ulama kita, termasuk kalangan Asy‘ariyyah dan lainnya. Hadits-hadits tentang timbangan amal telah mencapai derajat mutawatir, dan ijma‘ (kesepakatan) Ahlul Haq dari kalangan umat Islam telah terbentuk atas kebenaran keyakinan ini.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:125) Beliau berkata, «ظَواهِرُ الآثارِ وأقوالُ العُلَماءِ: أنَّ كيفيَّةَ الوزنِ في الآخرةِ -خِفَّةً وثِقلًا- مِثلُ كيفيَّتِه في الدنيا، ما ثَقُلَ نَزَلَ إلى أسفلَ، ثُمَّ يُرفَعُ إلى علِّيِّينَ، وما خَفَّ طاشَ إلى أعلى ثُمَّ نَزَلَ إلى سِجِّينٍ، وبه صرَّحَ جموعٌ.» “Teks-teks hadits dan pernyataan para ulama menunjukkan bahwa mekanisme timbangan di akhirat — berat dan ringannya amal — serupa dengan cara kerja timbangan di dunia. Apa yang berat, maka ia akan turun ke bawah lalu diangkat ke tempat yang tinggi (Illiyyīn), dan apa yang ringan, maka ia akan naik ke atas lalu terjatuh ke tempat yang rendah (Sijjīn). Pendapat ini telah ditegaskan oleh banyak ulama.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:126)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal Ibnu Ḥajar rahimahullāh menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī: «الموازينُ جمعُ ميزانٍ… واختُلِفَ في ذِكرِه هنا بلفظِ الجمعِ: هل المرادُ أن لكلِّ شخصٍ ميزانًا، أو لكلِّ عملٍ ميزانٌ، فيكونُ الجمعُ حقيقةً، أو ليس هناك إلا ميزانٌ واحدٌ والجمعُ باعتبارِ تعدُّدِ الأعمالِ أو الأشخاصِ؟» “Kata al-mawāzīn (timbangan-timbangan) adalah bentuk jamak dari al-mīzān. Ulama berbeda pendapat: apakah maksud jamak ini adalah bahwa setiap orang memiliki timbangan masing-masing, atau setiap amal memiliki timbangan tersendiri, sehingga bentuk jamak digunakan secara hakiki? Ataukah sebenarnya hanya ada satu timbangan, namun disebut jamak karena banyaknya amal atau orang yang ditimbang?” Ibnu Ḥajar kemudian menyebutkan kemungkinan lain: «ويُحتملُ أن يكونَ الجمعُ للتفخيمِ، كما في قوله تعالى: كذبت قوم نوح المرسلين، مع أنه لم يُرسل إليهم إلا واحدٌ.» “Ada juga kemungkinan bentuk jamak ini digunakan untuk menunjukkan pengagungan (ta‘ẓīm), sebagaimana firman Allah: ‘Kaum Nuh mendustakan para rasul’ (padahal hanya satu rasul yang diutus kepada mereka).” Beliau menyimpulkan, «والذي يترجحُ أنه ميزانٌ واحدٌ، ولا يُشكِلُ بكثرةِ من يُوزنُ عملُه؛ لأنَّ أحوالَ القيامةِ لا تُكيَّفُ بأحوالِ الدنيا.» “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa timbangan itu hanya satu, dan banyaknya orang yang ditimbang bukanlah masalah, sebab keadaan di akhirat tidak bisa diukur dengan keadaan dunia.” (Fatḥ al-Bārī, 11:365) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimīn rahimahullāh menjelaskan, «اختَلَفَ العُلَماءُ: هل هو ميزانٌ واحدٌ أو متعدِّدٌ؟ فقال بعضُهم: متعدِّدٌ بحسبِ الأممِ أو الأفرادِ أو الأعمالِ؛ لأنَّه لم يرد في القرآن إلا مجموعًا، وأمَّا إفرادُه في الحديث فباعتبارِ الجنسِ. وقال بعضُهم: هو ميزانٌ واحدٌ؛ لأنَّه ورد الحديثُ مفردًا، وأما جمعُه في القرآن فباعتبارِ الموزونِ، وكلا الأمرينِ محتملٌ، والله أعلم.» “Para ulama berbeda pendapat apakah timbangan amal itu satu atau banyak. Sebagian berpendapat banyak, sesuai dengan jenis amal, individu, atau umat, karena dalam Al-Qur’an selalu disebut dalam bentuk jamak. Namun sebagian lain berpendapat satu, karena dalam hadits disebut dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak dalam Al-Qur’an hanya karena banyaknya amal yang ditimbang. Kedua pendapat ini mungkin benar, dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:586)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya ditimbang pada hari Kiamat (al-mawzūn) — apakah amalnya, pelakunya, atau catatan amalnya. Berikut penjelasan dan dalil dari masing-masing pandangan.   Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri Pendapat pertama menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah amalan itu sendiri (al-a‘māl nafsuhā). Dalilnya adalah hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan bahwa amal dapat memiliki berat di timbangan. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ» “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahman, ringan di lisan namun berat di timbangan: Subhānallāh wa biḥamdih, Subhānallāh al-‘Aẓīm.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: «مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) Ibnu Katsir rahimahullāh berkata: **«وقد وردت الأحاديث بوزن الأعمال أنفسها، كما في صحيح مسلم، من طريق أبي سلام، عن أبي مالك الأشعري، قال: قال رسول الله ﷺ: (الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا)).»** “Telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari jalur Abu Salām dari Abu Mālik Al-Asy‘arī radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kesucian adalah separuh dari iman. Ucapan alhamdulillāh memenuhi timbangan. Ucapan subhānallāh dan alhamdulillāh memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berangkat pagi hari, menjual dirinya; ada yang memerdekakannya dan ada pula yang mencelakakannya.’” (HR. Muslim, no. 223) Ibnu Katsir kemudian menegaskan: «فقوله: (والحمد لله تملأ الميزان) فيه دلالة على أن العمل نفسه يوزن، وذلك بأحد شيئين.» “Ucapan Nabi ﷺ ‘alhamdulillāh memenuhi timbangan’ menunjukkan bahwa amal itu sendiri ditimbang, dan hal ini dapat terjadi dengan dua cara.”   Dua Kemungkinan Cara Amal Ditimbang 1. Amal itu sendiri diubah menjadi bentuk nyata Ibnu Katsir menjelaskan: «إما أن العمل نفسه وإن كان عرضًا قد قام بالفاعل، يحيله الله تعالى يوم القيامة، فيجعله ذاتًا توضع في الميزان، كما ورد في الحديث الذي أخرجه ابن أبي الدنيا… عن النبي ﷺ قال: (أثقل شيء يوضع في الميزان خلق حسن).» “Pertama, amal itu sendiri — meskipun bersifat abstrak dan melekat pada pelakunya — akan dijadikan Allah sebagai sesuatu yang nyata di hari Kiamat, lalu diletakkan di timbangan. Sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyā dan juga Imam Ahmad, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Amalan yang paling berat diletakkan di timbangan adalah akhlak yang baik.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunyā) Hadits ini menunjukkan bahwa amal seperti akhlak — meskipun bersifat maknawi — akan diwujudkan secara fisik untuk ditimbang. 2. Amal ditimbang melalui lembaran catatan amal Kemungkinan kedua menurut Ibnu Katsir: «الأمر الثاني: أن العمل نفسه يوزن بوضع الصحيفة التي كتب فيها العمل، فيوزن العمل بالصحيفة، كما في حديث البطاقة. والله أعلم.» “Kedua, amal ditimbang melalui lembaran catatan amal (ash-shaḥīfah) yang mencatat semua perbuatan. Amal itu akan ditimbang bersama catatan amalnya, sebagaimana disebut dalam hadits Al-Bithāqah (kartu amal). Wallāhu a‘lam.” Hadits Al-Bithāqah menjelaskan bahwa seorang hamba akan didatangkan pada hari Kiamat dengan 99 lembar catatan dosa, lalu Allah mendatangkan sebuah kartu kecil bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAH dan kartu itu lebih berat di timbangan daripada semua catatan dosanya (HR. Tirmidzi, no. 2639). Ibnu Katsir menambahkan: «وقد جاء أن العامل نفسه يوزن، كما قال البخاري… عن النبي ﷺ قال: (إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة، وقال: اقرؤوا إن شئتم: فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنًا).» “Telah datang pula riwayat bahwa pelaku amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun ia tidak seberat sayap seekor nyamuk di sisi Allah. Bacalah jika kalian mau: “Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan apa pun pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)’” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 19:504) Hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak memiliki nilai amal — meski besar tubuhnya — tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.   Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah pelaku amal itu sendiri. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa tubuh seseorang bisa memiliki nilai berat atau ringan di sisi Allah, tergantung kadar keimanannya dan amal perbuatannya. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» “Sungguh akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap seekor nyamuk. Bacalah firman Allah:‘Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan pada hari Kiamat’.” (QS. Al-Kahfi: 105, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku amal itu sendiri bisa ditimbang, dan bagi orang kafir, meskipun tubuhnya besar dan kuat, tetap tidak bernilai di sisi Allah karena amalnya tidak memiliki bobot keimanan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia pernah memetik ranting siwak dari pohon arak. Karena betisnya kurus, angin membuatnya oleng, dan para sahabat tertawa melihatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «مِمَّ تَضْحَكُونَ؟!» Mereka menjawab: “Wahai Nabi Allah, kami tertawa karena betisnya yang kurus.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ» “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kedua betisnya lebih berat di timbangan daripada (Gunung) Uhud.” (HR. Ahmad, dengan sanad sahih) Hadits ini tidak bermakna bahwa betis Ibnu Mas‘ūd benar-benar akan diletakkan di timbangan secara fisik, tetapi menunjukkan bahwa nilai amal dan keimanannya yang tinggi menjadikan dirinya memiliki bobot besar di sisi Allah. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiṭī rahimahullāh menjelaskan: “Sunnah yang sahih telah menunjukkan bahwa makna ayat (QS. Al-Kahfi: 105) mencakup orang kafir yang bertubuh besar dan gemuk, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap nyamuk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dalam tafsir ayat tersebut, dengan sanad dari Muhammad bin Abdullah, dari Sa‘id bin Abi Maryam, dari Al-Mughīrah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Az-Zinād, dari Al-A‘raj, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini menjadi dalil bahwa diri orang kafir yang besar dan gemuk tidak memiliki bobot di sisi Allah, dan dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tubuh manusia bisa ditimbang di hari Kiamat.” (Adhwa’ul Bayan, tafsir QS. Al-Kahfi: 105) Para ulama menjelaskan bahwa maksud ditimbangnya seseorang bukan berarti fisiknya semata yang memberi berat, melainkan nilai amal dan keimanannya. Orang kafir tidak memiliki amal saleh yang bisa memberi bobot, sehingga dirinya tidak bernilai di sisi Allah. Sedangkan orang beriman, meskipun tubuhnya kecil dan lemah, namun imannya membuat dirinya berat di timbangan amal.   Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah lembaran catatan amal (ṣaḥā’if al-a‘māl). Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Bithāqah (Hadits Kartu Amal) yang sahih dan masyhur, serta didukung oleh banyak ulama tafsir dan aqidah. Baca juga: Hadits Al-Bithāqah: Kartu Tauhid yang Mengalahkan 99 Catatan Dosa   Kesimpulan Pendapat Dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, beliau berkata: «الذي يوزن العمل؛ لظاهر الآية السابقة والحديث بعدها، وقيل: صحائف العمل؛ لحديث صاحب البطاقة، وقيل: العامل نفسه؛ لحديث أبي هريرة…، وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف، وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمقصود به قدره وحرمته، وهذا جمع حسن، والله أعلم.» “Yang ditimbang adalah amal, sebagaimana tampak jelas dalam ayat dan hadits. Ada juga yang mengatakan catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu lā ilāha illallāh. Ada pula yang mengatakan pelaku amal itu sendiri, sebagaimana hadits Abu Hurairah tentang orang gemuk yang tidak seberat sayap nyamuk di sisi Allah. Sebagian ulama menggabungkan semua riwayat ini dengan mengatakan bahwa semuanya benar: Amal itu sendiri yang ditimbang, Catatan amal juga ditimbang, Dan pelakunya bisa saja ditimbang, atau bahwa yang ditimbang secara nyata adalah catatan amal, karena berat-ringan catatan itu bergantung pada isi amalnya, sehingga seakan-akan yang ditimbang adalah amal itu sendiri. Adapun penimbangan pelaku amal, maka yang dimaksud adalah nilai, kedudukan, dan kehormatannya di sisi Allah. Ini adalah penggabungan yang baik. Wallāhu a‘lam.” Ya Allah, Rabb yang Maha Adil, mudahkan kami untuk memperberat timbangan kebaikan dengan keikhlasan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ampunilah dosa-dosa kami, terimalah amal kami, dan jauhkan kami dari perkara yang meringankan timbangan di hadapan-Mu. اللّهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِينَنَا بِالطَّاعَاتِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ. آمِينَ.   Referensi: Dorar.Net   —- Ditulis @ Pontren DS, 8 Jumadilawal 1447 H, 30 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia al-mizan amal saleh aqidah ahlus sunnah catatan amal Hadits Shahih hari kiamat keadilan Allah tafsir al-qur’an timbangan amal

Manakah yang Ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat: Amal, Catatan, atau Pelakunya?

Tulisan ini mengulas makna al-Mīzān (timbangan amal) menurut bahasa dan istilah syariat, disertai dalil Al-Qur’an dan hadits sahih. Dijelaskan pula perbedaan pendapat ulama tentang apa yang ditimbang pada Hari Kiamat—apakah amalnya, catatan amalnya, atau pelakunya—beserta upaya pengompromiannya. Tujuannya agar pembaca semakin yakin pada keadilan Allah dan terdorong memperberat timbangan kebaikan dengan iman, akhlak, dan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) 2. Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) 3. Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal 4. Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk 5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal 6. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang 6.1. Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri 6.2. Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya 6.3. Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal 6.4. Kesimpulan Pendapat     Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) Secara bahasa, al-mīzān (الميزان) berarti alat yang digunakan untuk menimbang sesuatu. Kata ini bentuk jamaknya adalah “mawāzīn” (موازين). Adapun az-zinah (الزِّنة) bermakna ukuran berat suatu benda. Sedangkan kata kerja wazn (وزن) secara asal bermakna keseimbangan dan keadilan, karena berasal dari akar kata yang menunjukkan makna penyesuaian, ketepatan, dan keadilan dalam ukuran.   Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) Dalam istilah syariat, al-mīzān adalah timbangan yang hakiki dan nyata, yang memiliki dua daun timbangan (كِفَّتان) dan satu lidah penunjuk (لسان). Dengan timbangan inilah amal perbuatan hamba — baik dan buruk — akan ditimbang pada hari keputusan di Padang Mahsyar.   Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal Allah Ta‘ala telah mengabarkan tentang adanya timbangan amal dalam Al-Qur’an, secara umum dalam beberapa ayat, seperti firman-Nya: ﴿وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ﴾ “Dan Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) Ayat lainnya, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ “Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 8–9) Ayat lainnya lagi, أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap pertemuan dengan-Nya, maka gugurlah amal-amal mereka. Oleh karena itu, Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan (nilai) pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 105) Ibnu Jarīr rahimahullāh menjelaskan: “يَقولُ تعالى ذِكرُه: هؤلاء الذينَ وصَفْنا صِفتَهم، الأخسَرون أعمالًا، الذينَ كَفَروا بحُجَجِ رَبِّهم وأدِلَّتِه، وأنكَروا لِقاءَه، فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ…” “Allah Ta‘ala berfirman: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang paling merugi dalam amalnya, yaitu orang-orang yang kufur terhadap bukti-bukti dan hujjah Rabb mereka, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya di hari akhir.” Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut: “فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ” “Maka gugurlah amal mereka, artinya seluruh amal mereka menjadi sia-sia, tidak ada balasan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka di akhirat.” “فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا” “Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat, maksudnya Kami tidak menjadikan mereka memiliki bobot nilai amal sedikit pun.” Beliau melanjutkan: “وإنما عنى بذلك: أنَّهم لا تَثقُلُ بهم مَوازينُهم؛ لأنَّ المَوازينَ إنَّما تَثقُلُ بالأعمالِ الصَّالِحةِ، وليس لهؤلاء شَيءٌ من الأعمالِ الصَّالِحةِ فتَثقُلَ به مَوازينُهم.” “Maksudnya adalah timbangan mereka tidak akan menjadi berat, karena timbangan hanya menjadi berat dengan amal-amal saleh, sedangkan mereka tidak memiliki amal saleh sama sekali yang bisa memberatkan timbangan mereka.” (Tafsīr ath-Ṭabarī, 18: 105) Baca juga: Orang Kafir Tidak Dihitung Amalannya di Akhirat Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ، فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» “Barang siapa menahan seekor kuda di jalan Allah, karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makanan kuda itu, minumnya, kotorannya, dan air kencingnya akan menjadi (berat) dalam timbangan amalnya pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) ‘Ali Al-Qārī rahimahullāh menjelaskan makna hadits ini dalam Mirqāt al-Mafātīḥ: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ» Maksudnya adalah menahan dan mengikat seekor kuda untuk dirinya, dengan niat menggunakannya di jalan Allah, seperti untuk berjihad atau keperluan lain yang mendukung perjuangan Islam. Bahkan sebagian ulama menyebut maknanya seperti mewakafkan seekor kuda untuk kepentingan jihad. «إِيمَانًا بِاللَّهِ» Kalimat ini menunjukkan niat dan motivasi amalnya, yakni menahannya karena keimanan kepada Allah dan keikhlasan semata-mata karena-Nya. «وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ» Maksudnya adalah percaya terhadap janji Allah akan pahala bagi orang yang menyiapkan dan memelihara kuda untuk jihad. Dengan kata lain, orang itu seolah berkata, “Ya Allah, aku mempercayai janji-Mu atas pahala besar yang Engkau janjikan bagi orang yang menyiapkan kuda di jalan-Mu.” «فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» Artinya: segala hal yang berhubungan dengan kuda itu — makanan yang ia makan, minuman yang ia minum, kotoran dan air kencing yang ia keluarkan — semuanya akan menjadi pahala yang ditimbang di timbangan amal pemiliknya pada hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan niat yang ikhlas di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan sesuatu yang dianggap remeh seperti kotoran kuda pun memiliki nilai pahala di sisi Allah. (Mirqāt al-Mafātīḥ, 7:3002) Baca juga: 6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat Dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata kotor dan kasar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dinilai hasan sahih) Ibnu ‘Allān rahimahullāh menjelaskan dalam Dalīl al-Fāliḥīn: “هذا الحديث ظاهر في أن نفس العمل يُوزن بأن يُجسّد. وتَجسيدُ المعاني جائز، كما جاء: ((يُؤتى بالموت في صورة كبش)) الحديث.” “Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan itu sendiri akan ditimbang setelah dijadikan wujud nyata (tajsīd). Dan perwujudan makna-makna abstrak menjadi bentuk nyata adalah hal yang mungkin terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk seekor kambing, lalu disembelih di antara surga dan neraka.” Artinya, akhlak yang baik bukan sekadar sifat batin, tetapi pada hari Kiamat akan Allah wujudkan dalam bentuk nyata yang memiliki bobot di timbangan amal. Ibnu ‘Allān melanjutkan penjelasannya: “وفي التقييد بالمؤمن إيماء إلى أن الكافر لا يُوزن عمله؛ لأنه لا طاعة له لتُوزن في مقابلة كفره، وهو أحد قولين في ذلك.” “Disebutkan secara khusus kata ‘seorang mukmin’ dalam hadits ini karena orang kafir tidak akan ditimbang amalnya. Sebab ia tidak memiliki amal ketaatan yang dapat ditimbang untuk menandingi kekufurannya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.” Maksudnya, hanya amal orang beriman yang memiliki nilai di timbangan amal, karena amal mereka dibangun di atas fondasi iman. Adapun orang kafir, meskipun banyak berbuat baik di dunia, amalnya tidak memiliki nilai akhirat sebab tidak disertai dengan keimanan.   Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk Ibnu Qudāmah rahimahullāh menjelaskan: «الميزانُ له كِفَّتانِ ولِسانٌ، تُوزَنُ به الأعمالُ، فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ.» “Timbangan amal memiliki dua daun dan satu lidah penunjuk. Dengannya amal perbuatan manusia akan ditimbang. Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾ “Barang siapa berat timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan diri sendiri; mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu’minūn: 102–103)” (Lum‘at al-I‘tiqād, hlm. 39) Pembicaraan tentang mizan dan catatan amal yang ditimbang, bisa dilihat dari tulisan: Kartu Laa Ilaha Illallah Mengalahkan Catatan Dosa Sejauh Mata Memandang As-Saffārīnī rahimahullāh menjelaskan: «دَلَّتِ الآثارُ على أنَّه ميزانٌ حقيقيٌّ ذو كِفَّتينِ ولسانٍ، كما قال ابنُ عباسٍ، والحسنُ البصريُّ، وصَرَّحَ بذلك علماؤُنا، والأشعريَّةُ وغيرُهم، وقد بلغت أحاديثُه مبلغَ التواترِ، وانعقدَ إجماعُ أهلِ الحقِّ من المسلمين عليه.» “Dalil-dalil dari berbagai atsar menunjukkan bahwa timbangan amal adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua daun timbangan dan satu lidah penunjuk, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Al-Hasan Al-Bashrī, dan ditegaskan pula oleh para ulama kita, termasuk kalangan Asy‘ariyyah dan lainnya. Hadits-hadits tentang timbangan amal telah mencapai derajat mutawatir, dan ijma‘ (kesepakatan) Ahlul Haq dari kalangan umat Islam telah terbentuk atas kebenaran keyakinan ini.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:125) Beliau berkata, «ظَواهِرُ الآثارِ وأقوالُ العُلَماءِ: أنَّ كيفيَّةَ الوزنِ في الآخرةِ -خِفَّةً وثِقلًا- مِثلُ كيفيَّتِه في الدنيا، ما ثَقُلَ نَزَلَ إلى أسفلَ، ثُمَّ يُرفَعُ إلى علِّيِّينَ، وما خَفَّ طاشَ إلى أعلى ثُمَّ نَزَلَ إلى سِجِّينٍ، وبه صرَّحَ جموعٌ.» “Teks-teks hadits dan pernyataan para ulama menunjukkan bahwa mekanisme timbangan di akhirat — berat dan ringannya amal — serupa dengan cara kerja timbangan di dunia. Apa yang berat, maka ia akan turun ke bawah lalu diangkat ke tempat yang tinggi (Illiyyīn), dan apa yang ringan, maka ia akan naik ke atas lalu terjatuh ke tempat yang rendah (Sijjīn). Pendapat ini telah ditegaskan oleh banyak ulama.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:126)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal Ibnu Ḥajar rahimahullāh menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī: «الموازينُ جمعُ ميزانٍ… واختُلِفَ في ذِكرِه هنا بلفظِ الجمعِ: هل المرادُ أن لكلِّ شخصٍ ميزانًا، أو لكلِّ عملٍ ميزانٌ، فيكونُ الجمعُ حقيقةً، أو ليس هناك إلا ميزانٌ واحدٌ والجمعُ باعتبارِ تعدُّدِ الأعمالِ أو الأشخاصِ؟» “Kata al-mawāzīn (timbangan-timbangan) adalah bentuk jamak dari al-mīzān. Ulama berbeda pendapat: apakah maksud jamak ini adalah bahwa setiap orang memiliki timbangan masing-masing, atau setiap amal memiliki timbangan tersendiri, sehingga bentuk jamak digunakan secara hakiki? Ataukah sebenarnya hanya ada satu timbangan, namun disebut jamak karena banyaknya amal atau orang yang ditimbang?” Ibnu Ḥajar kemudian menyebutkan kemungkinan lain: «ويُحتملُ أن يكونَ الجمعُ للتفخيمِ، كما في قوله تعالى: كذبت قوم نوح المرسلين، مع أنه لم يُرسل إليهم إلا واحدٌ.» “Ada juga kemungkinan bentuk jamak ini digunakan untuk menunjukkan pengagungan (ta‘ẓīm), sebagaimana firman Allah: ‘Kaum Nuh mendustakan para rasul’ (padahal hanya satu rasul yang diutus kepada mereka).” Beliau menyimpulkan, «والذي يترجحُ أنه ميزانٌ واحدٌ، ولا يُشكِلُ بكثرةِ من يُوزنُ عملُه؛ لأنَّ أحوالَ القيامةِ لا تُكيَّفُ بأحوالِ الدنيا.» “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa timbangan itu hanya satu, dan banyaknya orang yang ditimbang bukanlah masalah, sebab keadaan di akhirat tidak bisa diukur dengan keadaan dunia.” (Fatḥ al-Bārī, 11:365) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimīn rahimahullāh menjelaskan, «اختَلَفَ العُلَماءُ: هل هو ميزانٌ واحدٌ أو متعدِّدٌ؟ فقال بعضُهم: متعدِّدٌ بحسبِ الأممِ أو الأفرادِ أو الأعمالِ؛ لأنَّه لم يرد في القرآن إلا مجموعًا، وأمَّا إفرادُه في الحديث فباعتبارِ الجنسِ. وقال بعضُهم: هو ميزانٌ واحدٌ؛ لأنَّه ورد الحديثُ مفردًا، وأما جمعُه في القرآن فباعتبارِ الموزونِ، وكلا الأمرينِ محتملٌ، والله أعلم.» “Para ulama berbeda pendapat apakah timbangan amal itu satu atau banyak. Sebagian berpendapat banyak, sesuai dengan jenis amal, individu, atau umat, karena dalam Al-Qur’an selalu disebut dalam bentuk jamak. Namun sebagian lain berpendapat satu, karena dalam hadits disebut dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak dalam Al-Qur’an hanya karena banyaknya amal yang ditimbang. Kedua pendapat ini mungkin benar, dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:586)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya ditimbang pada hari Kiamat (al-mawzūn) — apakah amalnya, pelakunya, atau catatan amalnya. Berikut penjelasan dan dalil dari masing-masing pandangan.   Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri Pendapat pertama menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah amalan itu sendiri (al-a‘māl nafsuhā). Dalilnya adalah hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan bahwa amal dapat memiliki berat di timbangan. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ» “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahman, ringan di lisan namun berat di timbangan: Subhānallāh wa biḥamdih, Subhānallāh al-‘Aẓīm.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: «مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) Ibnu Katsir rahimahullāh berkata: **«وقد وردت الأحاديث بوزن الأعمال أنفسها، كما في صحيح مسلم، من طريق أبي سلام، عن أبي مالك الأشعري، قال: قال رسول الله ﷺ: (الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا)).»** “Telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari jalur Abu Salām dari Abu Mālik Al-Asy‘arī radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kesucian adalah separuh dari iman. Ucapan alhamdulillāh memenuhi timbangan. Ucapan subhānallāh dan alhamdulillāh memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berangkat pagi hari, menjual dirinya; ada yang memerdekakannya dan ada pula yang mencelakakannya.’” (HR. Muslim, no. 223) Ibnu Katsir kemudian menegaskan: «فقوله: (والحمد لله تملأ الميزان) فيه دلالة على أن العمل نفسه يوزن، وذلك بأحد شيئين.» “Ucapan Nabi ﷺ ‘alhamdulillāh memenuhi timbangan’ menunjukkan bahwa amal itu sendiri ditimbang, dan hal ini dapat terjadi dengan dua cara.”   Dua Kemungkinan Cara Amal Ditimbang 1. Amal itu sendiri diubah menjadi bentuk nyata Ibnu Katsir menjelaskan: «إما أن العمل نفسه وإن كان عرضًا قد قام بالفاعل، يحيله الله تعالى يوم القيامة، فيجعله ذاتًا توضع في الميزان، كما ورد في الحديث الذي أخرجه ابن أبي الدنيا… عن النبي ﷺ قال: (أثقل شيء يوضع في الميزان خلق حسن).» “Pertama, amal itu sendiri — meskipun bersifat abstrak dan melekat pada pelakunya — akan dijadikan Allah sebagai sesuatu yang nyata di hari Kiamat, lalu diletakkan di timbangan. Sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyā dan juga Imam Ahmad, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Amalan yang paling berat diletakkan di timbangan adalah akhlak yang baik.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunyā) Hadits ini menunjukkan bahwa amal seperti akhlak — meskipun bersifat maknawi — akan diwujudkan secara fisik untuk ditimbang. 2. Amal ditimbang melalui lembaran catatan amal Kemungkinan kedua menurut Ibnu Katsir: «الأمر الثاني: أن العمل نفسه يوزن بوضع الصحيفة التي كتب فيها العمل، فيوزن العمل بالصحيفة، كما في حديث البطاقة. والله أعلم.» “Kedua, amal ditimbang melalui lembaran catatan amal (ash-shaḥīfah) yang mencatat semua perbuatan. Amal itu akan ditimbang bersama catatan amalnya, sebagaimana disebut dalam hadits Al-Bithāqah (kartu amal). Wallāhu a‘lam.” Hadits Al-Bithāqah menjelaskan bahwa seorang hamba akan didatangkan pada hari Kiamat dengan 99 lembar catatan dosa, lalu Allah mendatangkan sebuah kartu kecil bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAH dan kartu itu lebih berat di timbangan daripada semua catatan dosanya (HR. Tirmidzi, no. 2639). Ibnu Katsir menambahkan: «وقد جاء أن العامل نفسه يوزن، كما قال البخاري… عن النبي ﷺ قال: (إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة، وقال: اقرؤوا إن شئتم: فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنًا).» “Telah datang pula riwayat bahwa pelaku amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun ia tidak seberat sayap seekor nyamuk di sisi Allah. Bacalah jika kalian mau: “Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan apa pun pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)’” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 19:504) Hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak memiliki nilai amal — meski besar tubuhnya — tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.   Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah pelaku amal itu sendiri. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa tubuh seseorang bisa memiliki nilai berat atau ringan di sisi Allah, tergantung kadar keimanannya dan amal perbuatannya. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» “Sungguh akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap seekor nyamuk. Bacalah firman Allah:‘Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan pada hari Kiamat’.” (QS. Al-Kahfi: 105, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku amal itu sendiri bisa ditimbang, dan bagi orang kafir, meskipun tubuhnya besar dan kuat, tetap tidak bernilai di sisi Allah karena amalnya tidak memiliki bobot keimanan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia pernah memetik ranting siwak dari pohon arak. Karena betisnya kurus, angin membuatnya oleng, dan para sahabat tertawa melihatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «مِمَّ تَضْحَكُونَ؟!» Mereka menjawab: “Wahai Nabi Allah, kami tertawa karena betisnya yang kurus.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ» “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kedua betisnya lebih berat di timbangan daripada (Gunung) Uhud.” (HR. Ahmad, dengan sanad sahih) Hadits ini tidak bermakna bahwa betis Ibnu Mas‘ūd benar-benar akan diletakkan di timbangan secara fisik, tetapi menunjukkan bahwa nilai amal dan keimanannya yang tinggi menjadikan dirinya memiliki bobot besar di sisi Allah. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiṭī rahimahullāh menjelaskan: “Sunnah yang sahih telah menunjukkan bahwa makna ayat (QS. Al-Kahfi: 105) mencakup orang kafir yang bertubuh besar dan gemuk, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap nyamuk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dalam tafsir ayat tersebut, dengan sanad dari Muhammad bin Abdullah, dari Sa‘id bin Abi Maryam, dari Al-Mughīrah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Az-Zinād, dari Al-A‘raj, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini menjadi dalil bahwa diri orang kafir yang besar dan gemuk tidak memiliki bobot di sisi Allah, dan dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tubuh manusia bisa ditimbang di hari Kiamat.” (Adhwa’ul Bayan, tafsir QS. Al-Kahfi: 105) Para ulama menjelaskan bahwa maksud ditimbangnya seseorang bukan berarti fisiknya semata yang memberi berat, melainkan nilai amal dan keimanannya. Orang kafir tidak memiliki amal saleh yang bisa memberi bobot, sehingga dirinya tidak bernilai di sisi Allah. Sedangkan orang beriman, meskipun tubuhnya kecil dan lemah, namun imannya membuat dirinya berat di timbangan amal.   Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah lembaran catatan amal (ṣaḥā’if al-a‘māl). Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Bithāqah (Hadits Kartu Amal) yang sahih dan masyhur, serta didukung oleh banyak ulama tafsir dan aqidah. Baca juga: Hadits Al-Bithāqah: Kartu Tauhid yang Mengalahkan 99 Catatan Dosa   Kesimpulan Pendapat Dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, beliau berkata: «الذي يوزن العمل؛ لظاهر الآية السابقة والحديث بعدها، وقيل: صحائف العمل؛ لحديث صاحب البطاقة، وقيل: العامل نفسه؛ لحديث أبي هريرة…، وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف، وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمقصود به قدره وحرمته، وهذا جمع حسن، والله أعلم.» “Yang ditimbang adalah amal, sebagaimana tampak jelas dalam ayat dan hadits. Ada juga yang mengatakan catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu lā ilāha illallāh. Ada pula yang mengatakan pelaku amal itu sendiri, sebagaimana hadits Abu Hurairah tentang orang gemuk yang tidak seberat sayap nyamuk di sisi Allah. Sebagian ulama menggabungkan semua riwayat ini dengan mengatakan bahwa semuanya benar: Amal itu sendiri yang ditimbang, Catatan amal juga ditimbang, Dan pelakunya bisa saja ditimbang, atau bahwa yang ditimbang secara nyata adalah catatan amal, karena berat-ringan catatan itu bergantung pada isi amalnya, sehingga seakan-akan yang ditimbang adalah amal itu sendiri. Adapun penimbangan pelaku amal, maka yang dimaksud adalah nilai, kedudukan, dan kehormatannya di sisi Allah. Ini adalah penggabungan yang baik. Wallāhu a‘lam.” Ya Allah, Rabb yang Maha Adil, mudahkan kami untuk memperberat timbangan kebaikan dengan keikhlasan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ampunilah dosa-dosa kami, terimalah amal kami, dan jauhkan kami dari perkara yang meringankan timbangan di hadapan-Mu. اللّهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِينَنَا بِالطَّاعَاتِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ. آمِينَ.   Referensi: Dorar.Net   —- Ditulis @ Pontren DS, 8 Jumadilawal 1447 H, 30 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia al-mizan amal saleh aqidah ahlus sunnah catatan amal Hadits Shahih hari kiamat keadilan Allah tafsir al-qur’an timbangan amal
Tulisan ini mengulas makna al-Mīzān (timbangan amal) menurut bahasa dan istilah syariat, disertai dalil Al-Qur’an dan hadits sahih. Dijelaskan pula perbedaan pendapat ulama tentang apa yang ditimbang pada Hari Kiamat—apakah amalnya, catatan amalnya, atau pelakunya—beserta upaya pengompromiannya. Tujuannya agar pembaca semakin yakin pada keadilan Allah dan terdorong memperberat timbangan kebaikan dengan iman, akhlak, dan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) 2. Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) 3. Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal 4. Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk 5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal 6. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang 6.1. Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri 6.2. Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya 6.3. Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal 6.4. Kesimpulan Pendapat     Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) Secara bahasa, al-mīzān (الميزان) berarti alat yang digunakan untuk menimbang sesuatu. Kata ini bentuk jamaknya adalah “mawāzīn” (موازين). Adapun az-zinah (الزِّنة) bermakna ukuran berat suatu benda. Sedangkan kata kerja wazn (وزن) secara asal bermakna keseimbangan dan keadilan, karena berasal dari akar kata yang menunjukkan makna penyesuaian, ketepatan, dan keadilan dalam ukuran.   Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) Dalam istilah syariat, al-mīzān adalah timbangan yang hakiki dan nyata, yang memiliki dua daun timbangan (كِفَّتان) dan satu lidah penunjuk (لسان). Dengan timbangan inilah amal perbuatan hamba — baik dan buruk — akan ditimbang pada hari keputusan di Padang Mahsyar.   Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal Allah Ta‘ala telah mengabarkan tentang adanya timbangan amal dalam Al-Qur’an, secara umum dalam beberapa ayat, seperti firman-Nya: ﴿وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ﴾ “Dan Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) Ayat lainnya, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ “Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 8–9) Ayat lainnya lagi, أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap pertemuan dengan-Nya, maka gugurlah amal-amal mereka. Oleh karena itu, Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan (nilai) pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 105) Ibnu Jarīr rahimahullāh menjelaskan: “يَقولُ تعالى ذِكرُه: هؤلاء الذينَ وصَفْنا صِفتَهم، الأخسَرون أعمالًا، الذينَ كَفَروا بحُجَجِ رَبِّهم وأدِلَّتِه، وأنكَروا لِقاءَه، فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ…” “Allah Ta‘ala berfirman: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang paling merugi dalam amalnya, yaitu orang-orang yang kufur terhadap bukti-bukti dan hujjah Rabb mereka, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya di hari akhir.” Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut: “فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ” “Maka gugurlah amal mereka, artinya seluruh amal mereka menjadi sia-sia, tidak ada balasan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka di akhirat.” “فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا” “Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat, maksudnya Kami tidak menjadikan mereka memiliki bobot nilai amal sedikit pun.” Beliau melanjutkan: “وإنما عنى بذلك: أنَّهم لا تَثقُلُ بهم مَوازينُهم؛ لأنَّ المَوازينَ إنَّما تَثقُلُ بالأعمالِ الصَّالِحةِ، وليس لهؤلاء شَيءٌ من الأعمالِ الصَّالِحةِ فتَثقُلَ به مَوازينُهم.” “Maksudnya adalah timbangan mereka tidak akan menjadi berat, karena timbangan hanya menjadi berat dengan amal-amal saleh, sedangkan mereka tidak memiliki amal saleh sama sekali yang bisa memberatkan timbangan mereka.” (Tafsīr ath-Ṭabarī, 18: 105) Baca juga: Orang Kafir Tidak Dihitung Amalannya di Akhirat Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ، فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» “Barang siapa menahan seekor kuda di jalan Allah, karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makanan kuda itu, minumnya, kotorannya, dan air kencingnya akan menjadi (berat) dalam timbangan amalnya pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) ‘Ali Al-Qārī rahimahullāh menjelaskan makna hadits ini dalam Mirqāt al-Mafātīḥ: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ» Maksudnya adalah menahan dan mengikat seekor kuda untuk dirinya, dengan niat menggunakannya di jalan Allah, seperti untuk berjihad atau keperluan lain yang mendukung perjuangan Islam. Bahkan sebagian ulama menyebut maknanya seperti mewakafkan seekor kuda untuk kepentingan jihad. «إِيمَانًا بِاللَّهِ» Kalimat ini menunjukkan niat dan motivasi amalnya, yakni menahannya karena keimanan kepada Allah dan keikhlasan semata-mata karena-Nya. «وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ» Maksudnya adalah percaya terhadap janji Allah akan pahala bagi orang yang menyiapkan dan memelihara kuda untuk jihad. Dengan kata lain, orang itu seolah berkata, “Ya Allah, aku mempercayai janji-Mu atas pahala besar yang Engkau janjikan bagi orang yang menyiapkan kuda di jalan-Mu.” «فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» Artinya: segala hal yang berhubungan dengan kuda itu — makanan yang ia makan, minuman yang ia minum, kotoran dan air kencing yang ia keluarkan — semuanya akan menjadi pahala yang ditimbang di timbangan amal pemiliknya pada hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan niat yang ikhlas di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan sesuatu yang dianggap remeh seperti kotoran kuda pun memiliki nilai pahala di sisi Allah. (Mirqāt al-Mafātīḥ, 7:3002) Baca juga: 6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat Dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata kotor dan kasar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dinilai hasan sahih) Ibnu ‘Allān rahimahullāh menjelaskan dalam Dalīl al-Fāliḥīn: “هذا الحديث ظاهر في أن نفس العمل يُوزن بأن يُجسّد. وتَجسيدُ المعاني جائز، كما جاء: ((يُؤتى بالموت في صورة كبش)) الحديث.” “Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan itu sendiri akan ditimbang setelah dijadikan wujud nyata (tajsīd). Dan perwujudan makna-makna abstrak menjadi bentuk nyata adalah hal yang mungkin terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk seekor kambing, lalu disembelih di antara surga dan neraka.” Artinya, akhlak yang baik bukan sekadar sifat batin, tetapi pada hari Kiamat akan Allah wujudkan dalam bentuk nyata yang memiliki bobot di timbangan amal. Ibnu ‘Allān melanjutkan penjelasannya: “وفي التقييد بالمؤمن إيماء إلى أن الكافر لا يُوزن عمله؛ لأنه لا طاعة له لتُوزن في مقابلة كفره، وهو أحد قولين في ذلك.” “Disebutkan secara khusus kata ‘seorang mukmin’ dalam hadits ini karena orang kafir tidak akan ditimbang amalnya. Sebab ia tidak memiliki amal ketaatan yang dapat ditimbang untuk menandingi kekufurannya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.” Maksudnya, hanya amal orang beriman yang memiliki nilai di timbangan amal, karena amal mereka dibangun di atas fondasi iman. Adapun orang kafir, meskipun banyak berbuat baik di dunia, amalnya tidak memiliki nilai akhirat sebab tidak disertai dengan keimanan.   Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk Ibnu Qudāmah rahimahullāh menjelaskan: «الميزانُ له كِفَّتانِ ولِسانٌ، تُوزَنُ به الأعمالُ، فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ.» “Timbangan amal memiliki dua daun dan satu lidah penunjuk. Dengannya amal perbuatan manusia akan ditimbang. Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾ “Barang siapa berat timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan diri sendiri; mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu’minūn: 102–103)” (Lum‘at al-I‘tiqād, hlm. 39) Pembicaraan tentang mizan dan catatan amal yang ditimbang, bisa dilihat dari tulisan: Kartu Laa Ilaha Illallah Mengalahkan Catatan Dosa Sejauh Mata Memandang As-Saffārīnī rahimahullāh menjelaskan: «دَلَّتِ الآثارُ على أنَّه ميزانٌ حقيقيٌّ ذو كِفَّتينِ ولسانٍ، كما قال ابنُ عباسٍ، والحسنُ البصريُّ، وصَرَّحَ بذلك علماؤُنا، والأشعريَّةُ وغيرُهم، وقد بلغت أحاديثُه مبلغَ التواترِ، وانعقدَ إجماعُ أهلِ الحقِّ من المسلمين عليه.» “Dalil-dalil dari berbagai atsar menunjukkan bahwa timbangan amal adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua daun timbangan dan satu lidah penunjuk, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Al-Hasan Al-Bashrī, dan ditegaskan pula oleh para ulama kita, termasuk kalangan Asy‘ariyyah dan lainnya. Hadits-hadits tentang timbangan amal telah mencapai derajat mutawatir, dan ijma‘ (kesepakatan) Ahlul Haq dari kalangan umat Islam telah terbentuk atas kebenaran keyakinan ini.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:125) Beliau berkata, «ظَواهِرُ الآثارِ وأقوالُ العُلَماءِ: أنَّ كيفيَّةَ الوزنِ في الآخرةِ -خِفَّةً وثِقلًا- مِثلُ كيفيَّتِه في الدنيا، ما ثَقُلَ نَزَلَ إلى أسفلَ، ثُمَّ يُرفَعُ إلى علِّيِّينَ، وما خَفَّ طاشَ إلى أعلى ثُمَّ نَزَلَ إلى سِجِّينٍ، وبه صرَّحَ جموعٌ.» “Teks-teks hadits dan pernyataan para ulama menunjukkan bahwa mekanisme timbangan di akhirat — berat dan ringannya amal — serupa dengan cara kerja timbangan di dunia. Apa yang berat, maka ia akan turun ke bawah lalu diangkat ke tempat yang tinggi (Illiyyīn), dan apa yang ringan, maka ia akan naik ke atas lalu terjatuh ke tempat yang rendah (Sijjīn). Pendapat ini telah ditegaskan oleh banyak ulama.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:126)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal Ibnu Ḥajar rahimahullāh menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī: «الموازينُ جمعُ ميزانٍ… واختُلِفَ في ذِكرِه هنا بلفظِ الجمعِ: هل المرادُ أن لكلِّ شخصٍ ميزانًا، أو لكلِّ عملٍ ميزانٌ، فيكونُ الجمعُ حقيقةً، أو ليس هناك إلا ميزانٌ واحدٌ والجمعُ باعتبارِ تعدُّدِ الأعمالِ أو الأشخاصِ؟» “Kata al-mawāzīn (timbangan-timbangan) adalah bentuk jamak dari al-mīzān. Ulama berbeda pendapat: apakah maksud jamak ini adalah bahwa setiap orang memiliki timbangan masing-masing, atau setiap amal memiliki timbangan tersendiri, sehingga bentuk jamak digunakan secara hakiki? Ataukah sebenarnya hanya ada satu timbangan, namun disebut jamak karena banyaknya amal atau orang yang ditimbang?” Ibnu Ḥajar kemudian menyebutkan kemungkinan lain: «ويُحتملُ أن يكونَ الجمعُ للتفخيمِ، كما في قوله تعالى: كذبت قوم نوح المرسلين، مع أنه لم يُرسل إليهم إلا واحدٌ.» “Ada juga kemungkinan bentuk jamak ini digunakan untuk menunjukkan pengagungan (ta‘ẓīm), sebagaimana firman Allah: ‘Kaum Nuh mendustakan para rasul’ (padahal hanya satu rasul yang diutus kepada mereka).” Beliau menyimpulkan, «والذي يترجحُ أنه ميزانٌ واحدٌ، ولا يُشكِلُ بكثرةِ من يُوزنُ عملُه؛ لأنَّ أحوالَ القيامةِ لا تُكيَّفُ بأحوالِ الدنيا.» “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa timbangan itu hanya satu, dan banyaknya orang yang ditimbang bukanlah masalah, sebab keadaan di akhirat tidak bisa diukur dengan keadaan dunia.” (Fatḥ al-Bārī, 11:365) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimīn rahimahullāh menjelaskan, «اختَلَفَ العُلَماءُ: هل هو ميزانٌ واحدٌ أو متعدِّدٌ؟ فقال بعضُهم: متعدِّدٌ بحسبِ الأممِ أو الأفرادِ أو الأعمالِ؛ لأنَّه لم يرد في القرآن إلا مجموعًا، وأمَّا إفرادُه في الحديث فباعتبارِ الجنسِ. وقال بعضُهم: هو ميزانٌ واحدٌ؛ لأنَّه ورد الحديثُ مفردًا، وأما جمعُه في القرآن فباعتبارِ الموزونِ، وكلا الأمرينِ محتملٌ، والله أعلم.» “Para ulama berbeda pendapat apakah timbangan amal itu satu atau banyak. Sebagian berpendapat banyak, sesuai dengan jenis amal, individu, atau umat, karena dalam Al-Qur’an selalu disebut dalam bentuk jamak. Namun sebagian lain berpendapat satu, karena dalam hadits disebut dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak dalam Al-Qur’an hanya karena banyaknya amal yang ditimbang. Kedua pendapat ini mungkin benar, dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:586)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya ditimbang pada hari Kiamat (al-mawzūn) — apakah amalnya, pelakunya, atau catatan amalnya. Berikut penjelasan dan dalil dari masing-masing pandangan.   Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri Pendapat pertama menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah amalan itu sendiri (al-a‘māl nafsuhā). Dalilnya adalah hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan bahwa amal dapat memiliki berat di timbangan. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ» “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahman, ringan di lisan namun berat di timbangan: Subhānallāh wa biḥamdih, Subhānallāh al-‘Aẓīm.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: «مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) Ibnu Katsir rahimahullāh berkata: **«وقد وردت الأحاديث بوزن الأعمال أنفسها، كما في صحيح مسلم، من طريق أبي سلام، عن أبي مالك الأشعري، قال: قال رسول الله ﷺ: (الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا)).»** “Telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari jalur Abu Salām dari Abu Mālik Al-Asy‘arī radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kesucian adalah separuh dari iman. Ucapan alhamdulillāh memenuhi timbangan. Ucapan subhānallāh dan alhamdulillāh memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berangkat pagi hari, menjual dirinya; ada yang memerdekakannya dan ada pula yang mencelakakannya.’” (HR. Muslim, no. 223) Ibnu Katsir kemudian menegaskan: «فقوله: (والحمد لله تملأ الميزان) فيه دلالة على أن العمل نفسه يوزن، وذلك بأحد شيئين.» “Ucapan Nabi ﷺ ‘alhamdulillāh memenuhi timbangan’ menunjukkan bahwa amal itu sendiri ditimbang, dan hal ini dapat terjadi dengan dua cara.”   Dua Kemungkinan Cara Amal Ditimbang 1. Amal itu sendiri diubah menjadi bentuk nyata Ibnu Katsir menjelaskan: «إما أن العمل نفسه وإن كان عرضًا قد قام بالفاعل، يحيله الله تعالى يوم القيامة، فيجعله ذاتًا توضع في الميزان، كما ورد في الحديث الذي أخرجه ابن أبي الدنيا… عن النبي ﷺ قال: (أثقل شيء يوضع في الميزان خلق حسن).» “Pertama, amal itu sendiri — meskipun bersifat abstrak dan melekat pada pelakunya — akan dijadikan Allah sebagai sesuatu yang nyata di hari Kiamat, lalu diletakkan di timbangan. Sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyā dan juga Imam Ahmad, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Amalan yang paling berat diletakkan di timbangan adalah akhlak yang baik.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunyā) Hadits ini menunjukkan bahwa amal seperti akhlak — meskipun bersifat maknawi — akan diwujudkan secara fisik untuk ditimbang. 2. Amal ditimbang melalui lembaran catatan amal Kemungkinan kedua menurut Ibnu Katsir: «الأمر الثاني: أن العمل نفسه يوزن بوضع الصحيفة التي كتب فيها العمل، فيوزن العمل بالصحيفة، كما في حديث البطاقة. والله أعلم.» “Kedua, amal ditimbang melalui lembaran catatan amal (ash-shaḥīfah) yang mencatat semua perbuatan. Amal itu akan ditimbang bersama catatan amalnya, sebagaimana disebut dalam hadits Al-Bithāqah (kartu amal). Wallāhu a‘lam.” Hadits Al-Bithāqah menjelaskan bahwa seorang hamba akan didatangkan pada hari Kiamat dengan 99 lembar catatan dosa, lalu Allah mendatangkan sebuah kartu kecil bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAH dan kartu itu lebih berat di timbangan daripada semua catatan dosanya (HR. Tirmidzi, no. 2639). Ibnu Katsir menambahkan: «وقد جاء أن العامل نفسه يوزن، كما قال البخاري… عن النبي ﷺ قال: (إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة، وقال: اقرؤوا إن شئتم: فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنًا).» “Telah datang pula riwayat bahwa pelaku amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun ia tidak seberat sayap seekor nyamuk di sisi Allah. Bacalah jika kalian mau: “Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan apa pun pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)’” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 19:504) Hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak memiliki nilai amal — meski besar tubuhnya — tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.   Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah pelaku amal itu sendiri. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa tubuh seseorang bisa memiliki nilai berat atau ringan di sisi Allah, tergantung kadar keimanannya dan amal perbuatannya. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» “Sungguh akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap seekor nyamuk. Bacalah firman Allah:‘Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan pada hari Kiamat’.” (QS. Al-Kahfi: 105, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku amal itu sendiri bisa ditimbang, dan bagi orang kafir, meskipun tubuhnya besar dan kuat, tetap tidak bernilai di sisi Allah karena amalnya tidak memiliki bobot keimanan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia pernah memetik ranting siwak dari pohon arak. Karena betisnya kurus, angin membuatnya oleng, dan para sahabat tertawa melihatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «مِمَّ تَضْحَكُونَ؟!» Mereka menjawab: “Wahai Nabi Allah, kami tertawa karena betisnya yang kurus.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ» “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kedua betisnya lebih berat di timbangan daripada (Gunung) Uhud.” (HR. Ahmad, dengan sanad sahih) Hadits ini tidak bermakna bahwa betis Ibnu Mas‘ūd benar-benar akan diletakkan di timbangan secara fisik, tetapi menunjukkan bahwa nilai amal dan keimanannya yang tinggi menjadikan dirinya memiliki bobot besar di sisi Allah. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiṭī rahimahullāh menjelaskan: “Sunnah yang sahih telah menunjukkan bahwa makna ayat (QS. Al-Kahfi: 105) mencakup orang kafir yang bertubuh besar dan gemuk, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap nyamuk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dalam tafsir ayat tersebut, dengan sanad dari Muhammad bin Abdullah, dari Sa‘id bin Abi Maryam, dari Al-Mughīrah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Az-Zinād, dari Al-A‘raj, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini menjadi dalil bahwa diri orang kafir yang besar dan gemuk tidak memiliki bobot di sisi Allah, dan dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tubuh manusia bisa ditimbang di hari Kiamat.” (Adhwa’ul Bayan, tafsir QS. Al-Kahfi: 105) Para ulama menjelaskan bahwa maksud ditimbangnya seseorang bukan berarti fisiknya semata yang memberi berat, melainkan nilai amal dan keimanannya. Orang kafir tidak memiliki amal saleh yang bisa memberi bobot, sehingga dirinya tidak bernilai di sisi Allah. Sedangkan orang beriman, meskipun tubuhnya kecil dan lemah, namun imannya membuat dirinya berat di timbangan amal.   Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah lembaran catatan amal (ṣaḥā’if al-a‘māl). Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Bithāqah (Hadits Kartu Amal) yang sahih dan masyhur, serta didukung oleh banyak ulama tafsir dan aqidah. Baca juga: Hadits Al-Bithāqah: Kartu Tauhid yang Mengalahkan 99 Catatan Dosa   Kesimpulan Pendapat Dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, beliau berkata: «الذي يوزن العمل؛ لظاهر الآية السابقة والحديث بعدها، وقيل: صحائف العمل؛ لحديث صاحب البطاقة، وقيل: العامل نفسه؛ لحديث أبي هريرة…، وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف، وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمقصود به قدره وحرمته، وهذا جمع حسن، والله أعلم.» “Yang ditimbang adalah amal, sebagaimana tampak jelas dalam ayat dan hadits. Ada juga yang mengatakan catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu lā ilāha illallāh. Ada pula yang mengatakan pelaku amal itu sendiri, sebagaimana hadits Abu Hurairah tentang orang gemuk yang tidak seberat sayap nyamuk di sisi Allah. Sebagian ulama menggabungkan semua riwayat ini dengan mengatakan bahwa semuanya benar: Amal itu sendiri yang ditimbang, Catatan amal juga ditimbang, Dan pelakunya bisa saja ditimbang, atau bahwa yang ditimbang secara nyata adalah catatan amal, karena berat-ringan catatan itu bergantung pada isi amalnya, sehingga seakan-akan yang ditimbang adalah amal itu sendiri. Adapun penimbangan pelaku amal, maka yang dimaksud adalah nilai, kedudukan, dan kehormatannya di sisi Allah. Ini adalah penggabungan yang baik. Wallāhu a‘lam.” Ya Allah, Rabb yang Maha Adil, mudahkan kami untuk memperberat timbangan kebaikan dengan keikhlasan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ampunilah dosa-dosa kami, terimalah amal kami, dan jauhkan kami dari perkara yang meringankan timbangan di hadapan-Mu. اللّهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِينَنَا بِالطَّاعَاتِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ. آمِينَ.   Referensi: Dorar.Net   —- Ditulis @ Pontren DS, 8 Jumadilawal 1447 H, 30 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia al-mizan amal saleh aqidah ahlus sunnah catatan amal Hadits Shahih hari kiamat keadilan Allah tafsir al-qur’an timbangan amal


Tulisan ini mengulas makna al-Mīzān (timbangan amal) menurut bahasa dan istilah syariat, disertai dalil Al-Qur’an dan hadits sahih. Dijelaskan pula perbedaan pendapat ulama tentang apa yang ditimbang pada Hari Kiamat—apakah amalnya, catatan amalnya, atau pelakunya—beserta upaya pengompromiannya. Tujuannya agar pembaca semakin yakin pada keadilan Allah dan terdorong memperberat timbangan kebaikan dengan iman, akhlak, dan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) 2. Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) 3. Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal 4. Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk 5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal 6. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang 6.1. Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri 6.2. Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya 6.3. Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal 6.4. Kesimpulan Pendapat     Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan) Secara bahasa, al-mīzān (الميزان) berarti alat yang digunakan untuk menimbang sesuatu. Kata ini bentuk jamaknya adalah “mawāzīn” (موازين). Adapun az-zinah (الزِّنة) bermakna ukuran berat suatu benda. Sedangkan kata kerja wazn (وزن) secara asal bermakna keseimbangan dan keadilan, karena berasal dari akar kata yang menunjukkan makna penyesuaian, ketepatan, dan keadilan dalam ukuran.   Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan) Dalam istilah syariat, al-mīzān adalah timbangan yang hakiki dan nyata, yang memiliki dua daun timbangan (كِفَّتان) dan satu lidah penunjuk (لسان). Dengan timbangan inilah amal perbuatan hamba — baik dan buruk — akan ditimbang pada hari keputusan di Padang Mahsyar.   Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal Allah Ta‘ala telah mengabarkan tentang adanya timbangan amal dalam Al-Qur’an, secara umum dalam beberapa ayat, seperti firman-Nya: ﴿وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ﴾ “Dan Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) Ayat lainnya, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ “Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 8–9) Ayat lainnya lagi, أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا “Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap pertemuan dengan-Nya, maka gugurlah amal-amal mereka. Oleh karena itu, Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan (nilai) pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 105) Ibnu Jarīr rahimahullāh menjelaskan: “يَقولُ تعالى ذِكرُه: هؤلاء الذينَ وصَفْنا صِفتَهم، الأخسَرون أعمالًا، الذينَ كَفَروا بحُجَجِ رَبِّهم وأدِلَّتِه، وأنكَروا لِقاءَه، فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ…” “Allah Ta‘ala berfirman: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang paling merugi dalam amalnya, yaitu orang-orang yang kufur terhadap bukti-bukti dan hujjah Rabb mereka, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya di hari akhir.” Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut: “فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ” “Maka gugurlah amal mereka, artinya seluruh amal mereka menjadi sia-sia, tidak ada balasan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka di akhirat.” “فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا” “Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat, maksudnya Kami tidak menjadikan mereka memiliki bobot nilai amal sedikit pun.” Beliau melanjutkan: “وإنما عنى بذلك: أنَّهم لا تَثقُلُ بهم مَوازينُهم؛ لأنَّ المَوازينَ إنَّما تَثقُلُ بالأعمالِ الصَّالِحةِ، وليس لهؤلاء شَيءٌ من الأعمالِ الصَّالِحةِ فتَثقُلَ به مَوازينُهم.” “Maksudnya adalah timbangan mereka tidak akan menjadi berat, karena timbangan hanya menjadi berat dengan amal-amal saleh, sedangkan mereka tidak memiliki amal saleh sama sekali yang bisa memberatkan timbangan mereka.” (Tafsīr ath-Ṭabarī, 18: 105) Baca juga: Orang Kafir Tidak Dihitung Amalannya di Akhirat Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ، فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» “Barang siapa menahan seekor kuda di jalan Allah, karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makanan kuda itu, minumnya, kotorannya, dan air kencingnya akan menjadi (berat) dalam timbangan amalnya pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) ‘Ali Al-Qārī rahimahullāh menjelaskan makna hadits ini dalam Mirqāt al-Mafātīḥ: «مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ» Maksudnya adalah menahan dan mengikat seekor kuda untuk dirinya, dengan niat menggunakannya di jalan Allah, seperti untuk berjihad atau keperluan lain yang mendukung perjuangan Islam. Bahkan sebagian ulama menyebut maknanya seperti mewakafkan seekor kuda untuk kepentingan jihad. «إِيمَانًا بِاللَّهِ» Kalimat ini menunjukkan niat dan motivasi amalnya, yakni menahannya karena keimanan kepada Allah dan keikhlasan semata-mata karena-Nya. «وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ» Maksudnya adalah percaya terhadap janji Allah akan pahala bagi orang yang menyiapkan dan memelihara kuda untuk jihad. Dengan kata lain, orang itu seolah berkata, “Ya Allah, aku mempercayai janji-Mu atas pahala besar yang Engkau janjikan bagi orang yang menyiapkan kuda di jalan-Mu.” «فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» Artinya: segala hal yang berhubungan dengan kuda itu — makanan yang ia makan, minuman yang ia minum, kotoran dan air kencing yang ia keluarkan — semuanya akan menjadi pahala yang ditimbang di timbangan amal pemiliknya pada hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan niat yang ikhlas di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan sesuatu yang dianggap remeh seperti kotoran kuda pun memiliki nilai pahala di sisi Allah. (Mirqāt al-Mafātīḥ, 7:3002) Baca juga: 6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat Dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: «مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata kotor dan kasar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dinilai hasan sahih) Ibnu ‘Allān rahimahullāh menjelaskan dalam Dalīl al-Fāliḥīn: “هذا الحديث ظاهر في أن نفس العمل يُوزن بأن يُجسّد. وتَجسيدُ المعاني جائز، كما جاء: ((يُؤتى بالموت في صورة كبش)) الحديث.” “Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan itu sendiri akan ditimbang setelah dijadikan wujud nyata (tajsīd). Dan perwujudan makna-makna abstrak menjadi bentuk nyata adalah hal yang mungkin terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk seekor kambing, lalu disembelih di antara surga dan neraka.” Artinya, akhlak yang baik bukan sekadar sifat batin, tetapi pada hari Kiamat akan Allah wujudkan dalam bentuk nyata yang memiliki bobot di timbangan amal. Ibnu ‘Allān melanjutkan penjelasannya: “وفي التقييد بالمؤمن إيماء إلى أن الكافر لا يُوزن عمله؛ لأنه لا طاعة له لتُوزن في مقابلة كفره، وهو أحد قولين في ذلك.” “Disebutkan secara khusus kata ‘seorang mukmin’ dalam hadits ini karena orang kafir tidak akan ditimbang amalnya. Sebab ia tidak memiliki amal ketaatan yang dapat ditimbang untuk menandingi kekufurannya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.” Maksudnya, hanya amal orang beriman yang memiliki nilai di timbangan amal, karena amal mereka dibangun di atas fondasi iman. Adapun orang kafir, meskipun banyak berbuat baik di dunia, amalnya tidak memiliki nilai akhirat sebab tidak disertai dengan keimanan.   Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk Ibnu Qudāmah rahimahullāh menjelaskan: «الميزانُ له كِفَّتانِ ولِسانٌ، تُوزَنُ به الأعمالُ، فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ.» “Timbangan amal memiliki dua daun dan satu lidah penunjuk. Dengannya amal perbuatan manusia akan ditimbang. Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾ “Barang siapa berat timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan diri sendiri; mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu’minūn: 102–103)” (Lum‘at al-I‘tiqād, hlm. 39) Pembicaraan tentang mizan dan catatan amal yang ditimbang, bisa dilihat dari tulisan: Kartu Laa Ilaha Illallah Mengalahkan Catatan Dosa Sejauh Mata Memandang As-Saffārīnī rahimahullāh menjelaskan: «دَلَّتِ الآثارُ على أنَّه ميزانٌ حقيقيٌّ ذو كِفَّتينِ ولسانٍ، كما قال ابنُ عباسٍ، والحسنُ البصريُّ، وصَرَّحَ بذلك علماؤُنا، والأشعريَّةُ وغيرُهم، وقد بلغت أحاديثُه مبلغَ التواترِ، وانعقدَ إجماعُ أهلِ الحقِّ من المسلمين عليه.» “Dalil-dalil dari berbagai atsar menunjukkan bahwa timbangan amal adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua daun timbangan dan satu lidah penunjuk, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Al-Hasan Al-Bashrī, dan ditegaskan pula oleh para ulama kita, termasuk kalangan Asy‘ariyyah dan lainnya. Hadits-hadits tentang timbangan amal telah mencapai derajat mutawatir, dan ijma‘ (kesepakatan) Ahlul Haq dari kalangan umat Islam telah terbentuk atas kebenaran keyakinan ini.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:125) Beliau berkata, «ظَواهِرُ الآثارِ وأقوالُ العُلَماءِ: أنَّ كيفيَّةَ الوزنِ في الآخرةِ -خِفَّةً وثِقلًا- مِثلُ كيفيَّتِه في الدنيا، ما ثَقُلَ نَزَلَ إلى أسفلَ، ثُمَّ يُرفَعُ إلى علِّيِّينَ، وما خَفَّ طاشَ إلى أعلى ثُمَّ نَزَلَ إلى سِجِّينٍ، وبه صرَّحَ جموعٌ.» “Teks-teks hadits dan pernyataan para ulama menunjukkan bahwa mekanisme timbangan di akhirat — berat dan ringannya amal — serupa dengan cara kerja timbangan di dunia. Apa yang berat, maka ia akan turun ke bawah lalu diangkat ke tempat yang tinggi (Illiyyīn), dan apa yang ringan, maka ia akan naik ke atas lalu terjatuh ke tempat yang rendah (Sijjīn). Pendapat ini telah ditegaskan oleh banyak ulama.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:126)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal Ibnu Ḥajar rahimahullāh menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī: «الموازينُ جمعُ ميزانٍ… واختُلِفَ في ذِكرِه هنا بلفظِ الجمعِ: هل المرادُ أن لكلِّ شخصٍ ميزانًا، أو لكلِّ عملٍ ميزانٌ، فيكونُ الجمعُ حقيقةً، أو ليس هناك إلا ميزانٌ واحدٌ والجمعُ باعتبارِ تعدُّدِ الأعمالِ أو الأشخاصِ؟» “Kata al-mawāzīn (timbangan-timbangan) adalah bentuk jamak dari al-mīzān. Ulama berbeda pendapat: apakah maksud jamak ini adalah bahwa setiap orang memiliki timbangan masing-masing, atau setiap amal memiliki timbangan tersendiri, sehingga bentuk jamak digunakan secara hakiki? Ataukah sebenarnya hanya ada satu timbangan, namun disebut jamak karena banyaknya amal atau orang yang ditimbang?” Ibnu Ḥajar kemudian menyebutkan kemungkinan lain: «ويُحتملُ أن يكونَ الجمعُ للتفخيمِ، كما في قوله تعالى: كذبت قوم نوح المرسلين، مع أنه لم يُرسل إليهم إلا واحدٌ.» “Ada juga kemungkinan bentuk jamak ini digunakan untuk menunjukkan pengagungan (ta‘ẓīm), sebagaimana firman Allah: ‘Kaum Nuh mendustakan para rasul’ (padahal hanya satu rasul yang diutus kepada mereka).” Beliau menyimpulkan, «والذي يترجحُ أنه ميزانٌ واحدٌ، ولا يُشكِلُ بكثرةِ من يُوزنُ عملُه؛ لأنَّ أحوالَ القيامةِ لا تُكيَّفُ بأحوالِ الدنيا.» “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa timbangan itu hanya satu, dan banyaknya orang yang ditimbang bukanlah masalah, sebab keadaan di akhirat tidak bisa diukur dengan keadaan dunia.” (Fatḥ al-Bārī, 11:365) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimīn rahimahullāh menjelaskan, «اختَلَفَ العُلَماءُ: هل هو ميزانٌ واحدٌ أو متعدِّدٌ؟ فقال بعضُهم: متعدِّدٌ بحسبِ الأممِ أو الأفرادِ أو الأعمالِ؛ لأنَّه لم يرد في القرآن إلا مجموعًا، وأمَّا إفرادُه في الحديث فباعتبارِ الجنسِ. وقال بعضُهم: هو ميزانٌ واحدٌ؛ لأنَّه ورد الحديثُ مفردًا، وأما جمعُه في القرآن فباعتبارِ الموزونِ، وكلا الأمرينِ محتملٌ، والله أعلم.» “Para ulama berbeda pendapat apakah timbangan amal itu satu atau banyak. Sebagian berpendapat banyak, sesuai dengan jenis amal, individu, atau umat, karena dalam Al-Qur’an selalu disebut dalam bentuk jamak. Namun sebagian lain berpendapat satu, karena dalam hadits disebut dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak dalam Al-Qur’an hanya karena banyaknya amal yang ditimbang. Kedua pendapat ini mungkin benar, dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:586)   Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya ditimbang pada hari Kiamat (al-mawzūn) — apakah amalnya, pelakunya, atau catatan amalnya. Berikut penjelasan dan dalil dari masing-masing pandangan.   Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri Pendapat pertama menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah amalan itu sendiri (al-a‘māl nafsuhā). Dalilnya adalah hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan bahwa amal dapat memiliki berat di timbangan. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ» “Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahman, ringan di lisan namun berat di timbangan: Subhānallāh wa biḥamdih, Subhānallāh al-‘Aẓīm.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: «مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ» “Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) Ibnu Katsir rahimahullāh berkata: **«وقد وردت الأحاديث بوزن الأعمال أنفسها، كما في صحيح مسلم، من طريق أبي سلام، عن أبي مالك الأشعري، قال: قال رسول الله ﷺ: (الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا)).»** “Telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari jalur Abu Salām dari Abu Mālik Al-Asy‘arī radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kesucian adalah separuh dari iman. Ucapan alhamdulillāh memenuhi timbangan. Ucapan subhānallāh dan alhamdulillāh memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berangkat pagi hari, menjual dirinya; ada yang memerdekakannya dan ada pula yang mencelakakannya.’” (HR. Muslim, no. 223) Ibnu Katsir kemudian menegaskan: «فقوله: (والحمد لله تملأ الميزان) فيه دلالة على أن العمل نفسه يوزن، وذلك بأحد شيئين.» “Ucapan Nabi ﷺ ‘alhamdulillāh memenuhi timbangan’ menunjukkan bahwa amal itu sendiri ditimbang, dan hal ini dapat terjadi dengan dua cara.”   Dua Kemungkinan Cara Amal Ditimbang 1. Amal itu sendiri diubah menjadi bentuk nyata Ibnu Katsir menjelaskan: «إما أن العمل نفسه وإن كان عرضًا قد قام بالفاعل، يحيله الله تعالى يوم القيامة، فيجعله ذاتًا توضع في الميزان، كما ورد في الحديث الذي أخرجه ابن أبي الدنيا… عن النبي ﷺ قال: (أثقل شيء يوضع في الميزان خلق حسن).» “Pertama, amal itu sendiri — meskipun bersifat abstrak dan melekat pada pelakunya — akan dijadikan Allah sebagai sesuatu yang nyata di hari Kiamat, lalu diletakkan di timbangan. Sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyā dan juga Imam Ahmad, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Amalan yang paling berat diletakkan di timbangan adalah akhlak yang baik.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunyā) Hadits ini menunjukkan bahwa amal seperti akhlak — meskipun bersifat maknawi — akan diwujudkan secara fisik untuk ditimbang. 2. Amal ditimbang melalui lembaran catatan amal Kemungkinan kedua menurut Ibnu Katsir: «الأمر الثاني: أن العمل نفسه يوزن بوضع الصحيفة التي كتب فيها العمل، فيوزن العمل بالصحيفة، كما في حديث البطاقة. والله أعلم.» “Kedua, amal ditimbang melalui lembaran catatan amal (ash-shaḥīfah) yang mencatat semua perbuatan. Amal itu akan ditimbang bersama catatan amalnya, sebagaimana disebut dalam hadits Al-Bithāqah (kartu amal). Wallāhu a‘lam.” Hadits Al-Bithāqah menjelaskan bahwa seorang hamba akan didatangkan pada hari Kiamat dengan 99 lembar catatan dosa, lalu Allah mendatangkan sebuah kartu kecil bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAH dan kartu itu lebih berat di timbangan daripada semua catatan dosanya (HR. Tirmidzi, no. 2639). Ibnu Katsir menambahkan: «وقد جاء أن العامل نفسه يوزن، كما قال البخاري… عن النبي ﷺ قال: (إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة، وقال: اقرؤوا إن شئتم: فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنًا).» “Telah datang pula riwayat bahwa pelaku amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun ia tidak seberat sayap seekor nyamuk di sisi Allah. Bacalah jika kalian mau: “Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan apa pun pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)’” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 19:504) Hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak memiliki nilai amal — meski besar tubuhnya — tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.   Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah pelaku amal itu sendiri. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa tubuh seseorang bisa memiliki nilai berat atau ringan di sisi Allah, tergantung kadar keimanannya dan amal perbuatannya. Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» “Sungguh akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap seekor nyamuk. Bacalah firman Allah:‘Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan pada hari Kiamat’.” (QS. Al-Kahfi: 105, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku amal itu sendiri bisa ditimbang, dan bagi orang kafir, meskipun tubuhnya besar dan kuat, tetap tidak bernilai di sisi Allah karena amalnya tidak memiliki bobot keimanan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia pernah memetik ranting siwak dari pohon arak. Karena betisnya kurus, angin membuatnya oleng, dan para sahabat tertawa melihatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «مِمَّ تَضْحَكُونَ؟!» Mereka menjawab: “Wahai Nabi Allah, kami tertawa karena betisnya yang kurus.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ» “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kedua betisnya lebih berat di timbangan daripada (Gunung) Uhud.” (HR. Ahmad, dengan sanad sahih) Hadits ini tidak bermakna bahwa betis Ibnu Mas‘ūd benar-benar akan diletakkan di timbangan secara fisik, tetapi menunjukkan bahwa nilai amal dan keimanannya yang tinggi menjadikan dirinya memiliki bobot besar di sisi Allah. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiṭī rahimahullāh menjelaskan: “Sunnah yang sahih telah menunjukkan bahwa makna ayat (QS. Al-Kahfi: 105) mencakup orang kafir yang bertubuh besar dan gemuk, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap nyamuk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dalam tafsir ayat tersebut, dengan sanad dari Muhammad bin Abdullah, dari Sa‘id bin Abi Maryam, dari Al-Mughīrah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Az-Zinād, dari Al-A‘raj, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ: «إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا» Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini menjadi dalil bahwa diri orang kafir yang besar dan gemuk tidak memiliki bobot di sisi Allah, dan dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tubuh manusia bisa ditimbang di hari Kiamat.” (Adhwa’ul Bayan, tafsir QS. Al-Kahfi: 105) Para ulama menjelaskan bahwa maksud ditimbangnya seseorang bukan berarti fisiknya semata yang memberi berat, melainkan nilai amal dan keimanannya. Orang kafir tidak memiliki amal saleh yang bisa memberi bobot, sehingga dirinya tidak bernilai di sisi Allah. Sedangkan orang beriman, meskipun tubuhnya kecil dan lemah, namun imannya membuat dirinya berat di timbangan amal.   Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah lembaran catatan amal (ṣaḥā’if al-a‘māl). Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Bithāqah (Hadits Kartu Amal) yang sahih dan masyhur, serta didukung oleh banyak ulama tafsir dan aqidah. Baca juga: Hadits Al-Bithāqah: Kartu Tauhid yang Mengalahkan 99 Catatan Dosa   Kesimpulan Pendapat Dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, beliau berkata: «الذي يوزن العمل؛ لظاهر الآية السابقة والحديث بعدها، وقيل: صحائف العمل؛ لحديث صاحب البطاقة، وقيل: العامل نفسه؛ لحديث أبي هريرة…، وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف، وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمقصود به قدره وحرمته، وهذا جمع حسن، والله أعلم.» “Yang ditimbang adalah amal, sebagaimana tampak jelas dalam ayat dan hadits. Ada juga yang mengatakan catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu lā ilāha illallāh. Ada pula yang mengatakan pelaku amal itu sendiri, sebagaimana hadits Abu Hurairah tentang orang gemuk yang tidak seberat sayap nyamuk di sisi Allah. Sebagian ulama menggabungkan semua riwayat ini dengan mengatakan bahwa semuanya benar: Amal itu sendiri yang ditimbang, Catatan amal juga ditimbang, Dan pelakunya bisa saja ditimbang, atau bahwa yang ditimbang secara nyata adalah catatan amal, karena berat-ringan catatan itu bergantung pada isi amalnya, sehingga seakan-akan yang ditimbang adalah amal itu sendiri. Adapun penimbangan pelaku amal, maka yang dimaksud adalah nilai, kedudukan, dan kehormatannya di sisi Allah. Ini adalah penggabungan yang baik. Wallāhu a‘lam.” Ya Allah, Rabb yang Maha Adil, mudahkan kami untuk memperberat timbangan kebaikan dengan keikhlasan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ampunilah dosa-dosa kami, terimalah amal kami, dan jauhkan kami dari perkara yang meringankan timbangan di hadapan-Mu. اللّهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِينَنَا بِالطَّاعَاتِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ. آمِينَ.   Referensi: Dorar.Net   —- Ditulis @ Pontren DS, 8 Jumadilawal 1447 H, 30 Oktober 2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia al-mizan amal saleh aqidah ahlus sunnah catatan amal Hadits Shahih hari kiamat keadilan Allah tafsir al-qur’an timbangan amal

Sembuh dengan Sedekah: Bukti Ajaib Pengobatan yang Diajarkan Rasulullah

Sakit adalah ujian yang bisa menjadi sebab dihapusnya dosa, namun Islam juga mengajarkan berbagai sebab untuk meraih kesembuhan. Salah satu cara yang sering dilupakan adalah pengobatan dengan sedekah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Amalan ini bukan sekadar memberi, tetapi juga menjadi sarana menjemput rahmat dan pertolongan Allah Ta‘ālā.   Daftar Isi tutup 1. Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan 2. Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah 3. Sedekah Paling Utama dengan Air 4. Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat 4.1. Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur 4.2. Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah 4.3. Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka 4.4. Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ “Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
(HR. Abū Dāwūd dalam al-Marāsīl no. 105, dan ath-Thabarānī dalam al-Awsath no. 1963). Para ulama berbeda pendapat dalam menilai keabsahan hadis ini; al-Albānī menilainya hasan dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ (no. 3358). Ahmad al-Ghumārī bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Zawājir al-Muqalliqah li-Munkir at-Tadāwī bi-ṣ-Ṣadaqah (“Peringatan Keras bagi yang Mengingkari Pengobatan dengan Sedekah”).   Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan Tidak mengapa seorang yang sakit menggali sumur dengan niat memohon kesembuhan dari Allah Ta‘ālā—baik untuk dirinya sendiri, anaknya, maupun orang lain—karena sedekah merupakan salah satu sebab datangnya kesembuhan. Diharapkan dengan izin Allah Ta‘ālā penyakit anaknya pun akan sembuh, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis tersebut. Kita juga dianjurkan berbaik sangka kepada Allah Ta‘ālā, karena Dia berfirman dalam hadis qudsī dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675] Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hambaku   Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah Dari hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah” dapat dipahami bahwa bersedekah dianjurkan sebagai sebab diangkatnya penyakit. Ibn al-Ḥājj raḥimahullāh berkata, “Sunnah yang paling ditekankan bagi orang sakit atau walinya adalah menunaikan sedekah, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah, tolaklah bala dengan sedekah, dan mintalah pertolongan untuk memenuhi kebutuhan kalian dengan sedekah.’
Hal ini disesuaikan dengan keadaan penyakit dan kondisi penderita: bila penyakitnya berat, perbanyaklah sedekah; bila ia mampu, demikian pula; bila ia fakir, maka bersedekahlah sesuai kemampuan, sebagaimana hadis tentang ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā yang bersedekah dengan sebutir kurma kepada seorang ibu dan dua putrinya—lalu kurma itu dibelah dua dan diberikan masing-masing separuh.
Hakikat sedekah ialah bahwa orang sakit seakan menebus dirinya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla sesuai nilai dirinya di sisi-Nya. Sedekah pasti memberi pengaruh nyata, sebab penyampai berita (Rasul ﷺ) adalah yang benar ucapannya, dan yang diberitakan adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.”
(al-Madkhal, 4/141) Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu ia berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Sedekah yang dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit harta, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.’
(HR. Abū Dāūd no. 1677, an-Nasā’ī no. 2526; disahihkan oleh al-Albānī). وَقَوْلُهُ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ»،
فَـ«الْجُهْدُ»: الْوُسْعُ وَالطَّاقَةُ،
وَ«الْمُقِلُّ»: الْفَقِيرُ الَّذِي مَعَهُ شَيْءٌ قَلِيلٌ مِنَ الْمَالِ؛ Istilah “Juhd al-muqill” berarti “sedekah yang diberikan oleh orang yang miskin sesuai kadar kemampuannya.” Sedekah semacam ini lebih utama daripada sedekah orang kaya karena si fakir memberi sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan, sedangkan orang kaya memberi dari kelebihan hartanya. Hal ini sejalan dengan hadis: “Satu dirham dapat mengalahkan seratus ribu dirham.” Tidak ada pertentangan antara hadis ini dengan hadis lain: “Sedekah terbaik ialah yang dilakukan setelah tercukupi kebutuhan diri.” Hadis “Juhd al-muqill” berlaku bagi orang yang kuat imannya dan sabar terhadap kefakiran, sedangkan hadis “dari kelebihan harta” berlaku bagi yang lemah imannya. Keutamaan sedekah karenanya berbeda-beda menurut tingkat iman, tawakal, dan keyakinan seseorang.
(Lihat Syarḥ al-Mishkāt karya ath-Ṭībī 5/1564; Dzakīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā 22/346). Baca juga: Sedekah Saat Susah   Sedekah Paling Utama dengan Air Sedekah berupa air memiliki keutamaan besar. Dari Sa‘d bin ‘Ubādah raḍiyallāhu ‘anhu, ia bertanya, 
«يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟» قَالَ: «سَقْيُ الْمَاءِ» “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Memberikan air minum.’
(HR. an-Nasā’ī no. 3664, Ibnu Mājah no. 3684; dinilai hasan oleh al-Albānī). Dalam riwayat lain, Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu Sa‘d telah meninggal dunia. Sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Air.’ Maka Sa‘d menggali sebuah sumur dan berkata: ‘Ini untuk ibuku, Sa‘dah.’”
(HR. Abū Dāwūd no. 1681; hasan menurut al-Albānī). Sedekah yang disebut dalam hadis tidak terbatas pada menggali sumur semata, tetapi mencakup seluruh bentuk sedekah sunnah dan amal kebajikan lainnya.
(Lihat Fayḍ al-Qadīr, 3/514 & 687).   Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat Sejak dahulu para ulama dan masyarakat umum menolak penyakit dan bala dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah. Ibn Mufliḥ raḥimahullāh berkata setelah menyebut hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, “Sekelompok ulama dari kalangan kami dan lainnya mempraktikkan hal ini; dan itu perbuatan yang baik dengan makna yang benar.”
(al-Furū‘, 3/261). Ibnul Qayyim raḥimahullāh menambahkan: “Sebab kedelapan (dari penolak bala) adalah bersedekah dan berbuat baik sebisa mungkin, karena hal itu memiliki pengaruh menakjubkan dalam menolak musibah, menolak ‘ain, serta kejahatan orang yang dengki. Cukuplah bukti dari pengalaman bangsa-bangsa dahulu dan sekarang bahwa hampir tidak pernah ‘ain, hasad, atau gangguan menimpa orang yang gemar berbuat baik dan bersedekah. Kalaupun terkena, ia akan diperlakukan Allah dengan kelembutan, pertolongan, dan dukungan hingga berakhir dengan kesudahan yang baik.”
(Badā’i‘ al-Fawā’id, 2/771) Terdapat banyak riwayat dari kalangan salaf yang menunjukkan amal nyata berdasarkan hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah”, di antaranya:   Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Syu‘ab al-Īmān (5/69) bahwa ‘Alī bin al-Ḥasan bin Syaqīq berkata:
“Aku mendengar Ibn al-Mubārak ditanya oleh seseorang, ‘Wahai Abā ‘Abdir-Raḥmān, ada luka di lututku yang telah tujuh tahun tak kunjung sembuh. Aku sudah mencoba berbagai pengobatan dan bertanya kepada para dokter, namun tidak ada hasil.’
Ibn al-Mubārak menjawab: ‘Pergilah, carilah tempat di mana orang membutuhkan air, lalu galilah sumur di sana. Aku berharap air akan memancar di situ dan pendarahanmu berhenti.’
Maka orang itu melakukannya, dan ia pun sembuh.”   Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah Komentar al-Baihaqī setelah kisah tersebut:
“Dalam makna serupa ada kisah guru kami, al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh. Beliau mengalami luka di wajah yang diobati dengan berbagai cara namun tidak sembuh hampir setahun. Beliau lalu meminta Syaikh Abū ‘Utsmān aṣ-Ṣābūnī mendoakan dirinya pada majelis Jumat. Banyak orang mengaminkan doa itu.
Pada Jumat berikutnya seorang wanita menyampaikan secarik kertas: bahwa malam itu ia berdoa sungguh-sungguh untuk al-Ḥākim dan bermimpi melihat Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sampaikan kepada Abū ‘Abdillāh agar memperluas pemberian air bagi kaum Muslimin.’
Setelah membaca surat itu, al-Ḥākim segera membangun tempat air minum di depan rumahnya. Ketika telah selesai, ia memerintahkan untuk mengisinya dengan air dan es, lalu orang-orang pun minum darinya. Belum genap seminggu, beliau sembuh total, wajahnya kembali seperti semula, dan hidup bertahun-tahun sesudahnya.”
(Kata al-jamad berarti air beku, yakni es; al-Mu‘jam al-Wasīṭ, 1/133).
Al-Albānī menilai kisah ini sahih dalam Ṣaḥīḥ at-Targhīb wa t-Tarhīb, 1/568 (no. 964).   Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka Riwayat Abū Ṭāhir as-Silafī dalam Mu‘jam as-Safar (h. 251, no. 827):
“Aku mendengar Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Abī Bakr al-Kātib al-Maynizī di Damaskus berkata: Aku mendengar Abū Bakr al-Khabbāzī di Naisabur berkata:
‘Aku pernah sakit parah. Seorang tetangga saleh berkata kepadaku, “Amalkan sabda Rasulullah ﷺ: Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah.”
Saat itu musim panas dan waktu sempit, maka aku membeli banyak buah semangka, lalu mengundang para fakir dan anak-anak untuk makan bersama. Mereka pun makan, menengadahkan tangan berdoa memohon kesembuhan bagiku. Demi Allah, keesokan paginya aku bangun dalam keadaan sehat tanpa sisa penyakit sedikit pun.’”   Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Ucapan al-Munāwī raḥimahullāh:
“Orang-orang yang memahami rahasia hubungan dengan Allah, bila mereka memiliki hajat yang ingin segera dikabulkan—seperti kesembuhan orang sakit—mereka memerintahkan untuk membuat hidangan lezat dari daging kambing utuh, lalu mengundang orang fakir dengan niat menebus satu nyawa dengan nyawa.
Sebagian mereka bahkan bersedekah dengan sesuatu yang paling berharga: bila orang yang sangat dicintainya sakit, ia bersedekah dengan barang paling berharga yang ia miliki—seperti budak, kuda, atau barang berharga lainnya—lalu hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir yang menjaga kehormatan diri.”
(Fayḍ al-Qadīr, 3/687) Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Ya Allah, jadikanlah sedekah kami sebagai sebab keridaan-Mu, penolak bala-Mu, penyembuh bagi penyakit kami dan keluarga kami, serta sumber keberkahan dalam umur dan harta kami.     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis Pagi Bakda Shubuh, 30-10-2025, 8 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamal jariyah amalan penyembuh penyakit cara nabi mengobati penyakit doa kesembuhan hadis tentang sedekah keutamaan sedekah kisah ulama salaf pengobatan dengan sedekah sedekah tolak bala dengan sedekah

Sembuh dengan Sedekah: Bukti Ajaib Pengobatan yang Diajarkan Rasulullah

Sakit adalah ujian yang bisa menjadi sebab dihapusnya dosa, namun Islam juga mengajarkan berbagai sebab untuk meraih kesembuhan. Salah satu cara yang sering dilupakan adalah pengobatan dengan sedekah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Amalan ini bukan sekadar memberi, tetapi juga menjadi sarana menjemput rahmat dan pertolongan Allah Ta‘ālā.   Daftar Isi tutup 1. Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan 2. Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah 3. Sedekah Paling Utama dengan Air 4. Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat 4.1. Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur 4.2. Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah 4.3. Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka 4.4. Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ “Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
(HR. Abū Dāwūd dalam al-Marāsīl no. 105, dan ath-Thabarānī dalam al-Awsath no. 1963). Para ulama berbeda pendapat dalam menilai keabsahan hadis ini; al-Albānī menilainya hasan dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ (no. 3358). Ahmad al-Ghumārī bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Zawājir al-Muqalliqah li-Munkir at-Tadāwī bi-ṣ-Ṣadaqah (“Peringatan Keras bagi yang Mengingkari Pengobatan dengan Sedekah”).   Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan Tidak mengapa seorang yang sakit menggali sumur dengan niat memohon kesembuhan dari Allah Ta‘ālā—baik untuk dirinya sendiri, anaknya, maupun orang lain—karena sedekah merupakan salah satu sebab datangnya kesembuhan. Diharapkan dengan izin Allah Ta‘ālā penyakit anaknya pun akan sembuh, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis tersebut. Kita juga dianjurkan berbaik sangka kepada Allah Ta‘ālā, karena Dia berfirman dalam hadis qudsī dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675] Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hambaku   Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah Dari hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah” dapat dipahami bahwa bersedekah dianjurkan sebagai sebab diangkatnya penyakit. Ibn al-Ḥājj raḥimahullāh berkata, “Sunnah yang paling ditekankan bagi orang sakit atau walinya adalah menunaikan sedekah, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah, tolaklah bala dengan sedekah, dan mintalah pertolongan untuk memenuhi kebutuhan kalian dengan sedekah.’
Hal ini disesuaikan dengan keadaan penyakit dan kondisi penderita: bila penyakitnya berat, perbanyaklah sedekah; bila ia mampu, demikian pula; bila ia fakir, maka bersedekahlah sesuai kemampuan, sebagaimana hadis tentang ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā yang bersedekah dengan sebutir kurma kepada seorang ibu dan dua putrinya—lalu kurma itu dibelah dua dan diberikan masing-masing separuh.
Hakikat sedekah ialah bahwa orang sakit seakan menebus dirinya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla sesuai nilai dirinya di sisi-Nya. Sedekah pasti memberi pengaruh nyata, sebab penyampai berita (Rasul ﷺ) adalah yang benar ucapannya, dan yang diberitakan adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.”
(al-Madkhal, 4/141) Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu ia berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Sedekah yang dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit harta, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.’
(HR. Abū Dāūd no. 1677, an-Nasā’ī no. 2526; disahihkan oleh al-Albānī). وَقَوْلُهُ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ»،
فَـ«الْجُهْدُ»: الْوُسْعُ وَالطَّاقَةُ،
وَ«الْمُقِلُّ»: الْفَقِيرُ الَّذِي مَعَهُ شَيْءٌ قَلِيلٌ مِنَ الْمَالِ؛ Istilah “Juhd al-muqill” berarti “sedekah yang diberikan oleh orang yang miskin sesuai kadar kemampuannya.” Sedekah semacam ini lebih utama daripada sedekah orang kaya karena si fakir memberi sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan, sedangkan orang kaya memberi dari kelebihan hartanya. Hal ini sejalan dengan hadis: “Satu dirham dapat mengalahkan seratus ribu dirham.” Tidak ada pertentangan antara hadis ini dengan hadis lain: “Sedekah terbaik ialah yang dilakukan setelah tercukupi kebutuhan diri.” Hadis “Juhd al-muqill” berlaku bagi orang yang kuat imannya dan sabar terhadap kefakiran, sedangkan hadis “dari kelebihan harta” berlaku bagi yang lemah imannya. Keutamaan sedekah karenanya berbeda-beda menurut tingkat iman, tawakal, dan keyakinan seseorang.
(Lihat Syarḥ al-Mishkāt karya ath-Ṭībī 5/1564; Dzakīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā 22/346). Baca juga: Sedekah Saat Susah   Sedekah Paling Utama dengan Air Sedekah berupa air memiliki keutamaan besar. Dari Sa‘d bin ‘Ubādah raḍiyallāhu ‘anhu, ia bertanya, 
«يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟» قَالَ: «سَقْيُ الْمَاءِ» “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Memberikan air minum.’
(HR. an-Nasā’ī no. 3664, Ibnu Mājah no. 3684; dinilai hasan oleh al-Albānī). Dalam riwayat lain, Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu Sa‘d telah meninggal dunia. Sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Air.’ Maka Sa‘d menggali sebuah sumur dan berkata: ‘Ini untuk ibuku, Sa‘dah.’”
(HR. Abū Dāwūd no. 1681; hasan menurut al-Albānī). Sedekah yang disebut dalam hadis tidak terbatas pada menggali sumur semata, tetapi mencakup seluruh bentuk sedekah sunnah dan amal kebajikan lainnya.
(Lihat Fayḍ al-Qadīr, 3/514 & 687).   Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat Sejak dahulu para ulama dan masyarakat umum menolak penyakit dan bala dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah. Ibn Mufliḥ raḥimahullāh berkata setelah menyebut hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, “Sekelompok ulama dari kalangan kami dan lainnya mempraktikkan hal ini; dan itu perbuatan yang baik dengan makna yang benar.”
(al-Furū‘, 3/261). Ibnul Qayyim raḥimahullāh menambahkan: “Sebab kedelapan (dari penolak bala) adalah bersedekah dan berbuat baik sebisa mungkin, karena hal itu memiliki pengaruh menakjubkan dalam menolak musibah, menolak ‘ain, serta kejahatan orang yang dengki. Cukuplah bukti dari pengalaman bangsa-bangsa dahulu dan sekarang bahwa hampir tidak pernah ‘ain, hasad, atau gangguan menimpa orang yang gemar berbuat baik dan bersedekah. Kalaupun terkena, ia akan diperlakukan Allah dengan kelembutan, pertolongan, dan dukungan hingga berakhir dengan kesudahan yang baik.”
(Badā’i‘ al-Fawā’id, 2/771) Terdapat banyak riwayat dari kalangan salaf yang menunjukkan amal nyata berdasarkan hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah”, di antaranya:   Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Syu‘ab al-Īmān (5/69) bahwa ‘Alī bin al-Ḥasan bin Syaqīq berkata:
“Aku mendengar Ibn al-Mubārak ditanya oleh seseorang, ‘Wahai Abā ‘Abdir-Raḥmān, ada luka di lututku yang telah tujuh tahun tak kunjung sembuh. Aku sudah mencoba berbagai pengobatan dan bertanya kepada para dokter, namun tidak ada hasil.’
Ibn al-Mubārak menjawab: ‘Pergilah, carilah tempat di mana orang membutuhkan air, lalu galilah sumur di sana. Aku berharap air akan memancar di situ dan pendarahanmu berhenti.’
Maka orang itu melakukannya, dan ia pun sembuh.”   Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah Komentar al-Baihaqī setelah kisah tersebut:
“Dalam makna serupa ada kisah guru kami, al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh. Beliau mengalami luka di wajah yang diobati dengan berbagai cara namun tidak sembuh hampir setahun. Beliau lalu meminta Syaikh Abū ‘Utsmān aṣ-Ṣābūnī mendoakan dirinya pada majelis Jumat. Banyak orang mengaminkan doa itu.
Pada Jumat berikutnya seorang wanita menyampaikan secarik kertas: bahwa malam itu ia berdoa sungguh-sungguh untuk al-Ḥākim dan bermimpi melihat Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sampaikan kepada Abū ‘Abdillāh agar memperluas pemberian air bagi kaum Muslimin.’
Setelah membaca surat itu, al-Ḥākim segera membangun tempat air minum di depan rumahnya. Ketika telah selesai, ia memerintahkan untuk mengisinya dengan air dan es, lalu orang-orang pun minum darinya. Belum genap seminggu, beliau sembuh total, wajahnya kembali seperti semula, dan hidup bertahun-tahun sesudahnya.”
(Kata al-jamad berarti air beku, yakni es; al-Mu‘jam al-Wasīṭ, 1/133).
Al-Albānī menilai kisah ini sahih dalam Ṣaḥīḥ at-Targhīb wa t-Tarhīb, 1/568 (no. 964).   Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka Riwayat Abū Ṭāhir as-Silafī dalam Mu‘jam as-Safar (h. 251, no. 827):
“Aku mendengar Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Abī Bakr al-Kātib al-Maynizī di Damaskus berkata: Aku mendengar Abū Bakr al-Khabbāzī di Naisabur berkata:
‘Aku pernah sakit parah. Seorang tetangga saleh berkata kepadaku, “Amalkan sabda Rasulullah ﷺ: Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah.”
Saat itu musim panas dan waktu sempit, maka aku membeli banyak buah semangka, lalu mengundang para fakir dan anak-anak untuk makan bersama. Mereka pun makan, menengadahkan tangan berdoa memohon kesembuhan bagiku. Demi Allah, keesokan paginya aku bangun dalam keadaan sehat tanpa sisa penyakit sedikit pun.’”   Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Ucapan al-Munāwī raḥimahullāh:
“Orang-orang yang memahami rahasia hubungan dengan Allah, bila mereka memiliki hajat yang ingin segera dikabulkan—seperti kesembuhan orang sakit—mereka memerintahkan untuk membuat hidangan lezat dari daging kambing utuh, lalu mengundang orang fakir dengan niat menebus satu nyawa dengan nyawa.
Sebagian mereka bahkan bersedekah dengan sesuatu yang paling berharga: bila orang yang sangat dicintainya sakit, ia bersedekah dengan barang paling berharga yang ia miliki—seperti budak, kuda, atau barang berharga lainnya—lalu hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir yang menjaga kehormatan diri.”
(Fayḍ al-Qadīr, 3/687) Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Ya Allah, jadikanlah sedekah kami sebagai sebab keridaan-Mu, penolak bala-Mu, penyembuh bagi penyakit kami dan keluarga kami, serta sumber keberkahan dalam umur dan harta kami.     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis Pagi Bakda Shubuh, 30-10-2025, 8 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamal jariyah amalan penyembuh penyakit cara nabi mengobati penyakit doa kesembuhan hadis tentang sedekah keutamaan sedekah kisah ulama salaf pengobatan dengan sedekah sedekah tolak bala dengan sedekah
Sakit adalah ujian yang bisa menjadi sebab dihapusnya dosa, namun Islam juga mengajarkan berbagai sebab untuk meraih kesembuhan. Salah satu cara yang sering dilupakan adalah pengobatan dengan sedekah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Amalan ini bukan sekadar memberi, tetapi juga menjadi sarana menjemput rahmat dan pertolongan Allah Ta‘ālā.   Daftar Isi tutup 1. Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan 2. Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah 3. Sedekah Paling Utama dengan Air 4. Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat 4.1. Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur 4.2. Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah 4.3. Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka 4.4. Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ “Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
(HR. Abū Dāwūd dalam al-Marāsīl no. 105, dan ath-Thabarānī dalam al-Awsath no. 1963). Para ulama berbeda pendapat dalam menilai keabsahan hadis ini; al-Albānī menilainya hasan dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ (no. 3358). Ahmad al-Ghumārī bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Zawājir al-Muqalliqah li-Munkir at-Tadāwī bi-ṣ-Ṣadaqah (“Peringatan Keras bagi yang Mengingkari Pengobatan dengan Sedekah”).   Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan Tidak mengapa seorang yang sakit menggali sumur dengan niat memohon kesembuhan dari Allah Ta‘ālā—baik untuk dirinya sendiri, anaknya, maupun orang lain—karena sedekah merupakan salah satu sebab datangnya kesembuhan. Diharapkan dengan izin Allah Ta‘ālā penyakit anaknya pun akan sembuh, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis tersebut. Kita juga dianjurkan berbaik sangka kepada Allah Ta‘ālā, karena Dia berfirman dalam hadis qudsī dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675] Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hambaku   Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah Dari hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah” dapat dipahami bahwa bersedekah dianjurkan sebagai sebab diangkatnya penyakit. Ibn al-Ḥājj raḥimahullāh berkata, “Sunnah yang paling ditekankan bagi orang sakit atau walinya adalah menunaikan sedekah, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah, tolaklah bala dengan sedekah, dan mintalah pertolongan untuk memenuhi kebutuhan kalian dengan sedekah.’
Hal ini disesuaikan dengan keadaan penyakit dan kondisi penderita: bila penyakitnya berat, perbanyaklah sedekah; bila ia mampu, demikian pula; bila ia fakir, maka bersedekahlah sesuai kemampuan, sebagaimana hadis tentang ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā yang bersedekah dengan sebutir kurma kepada seorang ibu dan dua putrinya—lalu kurma itu dibelah dua dan diberikan masing-masing separuh.
Hakikat sedekah ialah bahwa orang sakit seakan menebus dirinya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla sesuai nilai dirinya di sisi-Nya. Sedekah pasti memberi pengaruh nyata, sebab penyampai berita (Rasul ﷺ) adalah yang benar ucapannya, dan yang diberitakan adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.”
(al-Madkhal, 4/141) Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu ia berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Sedekah yang dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit harta, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.’
(HR. Abū Dāūd no. 1677, an-Nasā’ī no. 2526; disahihkan oleh al-Albānī). وَقَوْلُهُ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ»،
فَـ«الْجُهْدُ»: الْوُسْعُ وَالطَّاقَةُ،
وَ«الْمُقِلُّ»: الْفَقِيرُ الَّذِي مَعَهُ شَيْءٌ قَلِيلٌ مِنَ الْمَالِ؛ Istilah “Juhd al-muqill” berarti “sedekah yang diberikan oleh orang yang miskin sesuai kadar kemampuannya.” Sedekah semacam ini lebih utama daripada sedekah orang kaya karena si fakir memberi sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan, sedangkan orang kaya memberi dari kelebihan hartanya. Hal ini sejalan dengan hadis: “Satu dirham dapat mengalahkan seratus ribu dirham.” Tidak ada pertentangan antara hadis ini dengan hadis lain: “Sedekah terbaik ialah yang dilakukan setelah tercukupi kebutuhan diri.” Hadis “Juhd al-muqill” berlaku bagi orang yang kuat imannya dan sabar terhadap kefakiran, sedangkan hadis “dari kelebihan harta” berlaku bagi yang lemah imannya. Keutamaan sedekah karenanya berbeda-beda menurut tingkat iman, tawakal, dan keyakinan seseorang.
(Lihat Syarḥ al-Mishkāt karya ath-Ṭībī 5/1564; Dzakīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā 22/346). Baca juga: Sedekah Saat Susah   Sedekah Paling Utama dengan Air Sedekah berupa air memiliki keutamaan besar. Dari Sa‘d bin ‘Ubādah raḍiyallāhu ‘anhu, ia bertanya, 
«يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟» قَالَ: «سَقْيُ الْمَاءِ» “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Memberikan air minum.’
(HR. an-Nasā’ī no. 3664, Ibnu Mājah no. 3684; dinilai hasan oleh al-Albānī). Dalam riwayat lain, Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu Sa‘d telah meninggal dunia. Sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Air.’ Maka Sa‘d menggali sebuah sumur dan berkata: ‘Ini untuk ibuku, Sa‘dah.’”
(HR. Abū Dāwūd no. 1681; hasan menurut al-Albānī). Sedekah yang disebut dalam hadis tidak terbatas pada menggali sumur semata, tetapi mencakup seluruh bentuk sedekah sunnah dan amal kebajikan lainnya.
(Lihat Fayḍ al-Qadīr, 3/514 & 687).   Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat Sejak dahulu para ulama dan masyarakat umum menolak penyakit dan bala dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah. Ibn Mufliḥ raḥimahullāh berkata setelah menyebut hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, “Sekelompok ulama dari kalangan kami dan lainnya mempraktikkan hal ini; dan itu perbuatan yang baik dengan makna yang benar.”
(al-Furū‘, 3/261). Ibnul Qayyim raḥimahullāh menambahkan: “Sebab kedelapan (dari penolak bala) adalah bersedekah dan berbuat baik sebisa mungkin, karena hal itu memiliki pengaruh menakjubkan dalam menolak musibah, menolak ‘ain, serta kejahatan orang yang dengki. Cukuplah bukti dari pengalaman bangsa-bangsa dahulu dan sekarang bahwa hampir tidak pernah ‘ain, hasad, atau gangguan menimpa orang yang gemar berbuat baik dan bersedekah. Kalaupun terkena, ia akan diperlakukan Allah dengan kelembutan, pertolongan, dan dukungan hingga berakhir dengan kesudahan yang baik.”
(Badā’i‘ al-Fawā’id, 2/771) Terdapat banyak riwayat dari kalangan salaf yang menunjukkan amal nyata berdasarkan hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah”, di antaranya:   Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Syu‘ab al-Īmān (5/69) bahwa ‘Alī bin al-Ḥasan bin Syaqīq berkata:
“Aku mendengar Ibn al-Mubārak ditanya oleh seseorang, ‘Wahai Abā ‘Abdir-Raḥmān, ada luka di lututku yang telah tujuh tahun tak kunjung sembuh. Aku sudah mencoba berbagai pengobatan dan bertanya kepada para dokter, namun tidak ada hasil.’
Ibn al-Mubārak menjawab: ‘Pergilah, carilah tempat di mana orang membutuhkan air, lalu galilah sumur di sana. Aku berharap air akan memancar di situ dan pendarahanmu berhenti.’
Maka orang itu melakukannya, dan ia pun sembuh.”   Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah Komentar al-Baihaqī setelah kisah tersebut:
“Dalam makna serupa ada kisah guru kami, al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh. Beliau mengalami luka di wajah yang diobati dengan berbagai cara namun tidak sembuh hampir setahun. Beliau lalu meminta Syaikh Abū ‘Utsmān aṣ-Ṣābūnī mendoakan dirinya pada majelis Jumat. Banyak orang mengaminkan doa itu.
Pada Jumat berikutnya seorang wanita menyampaikan secarik kertas: bahwa malam itu ia berdoa sungguh-sungguh untuk al-Ḥākim dan bermimpi melihat Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sampaikan kepada Abū ‘Abdillāh agar memperluas pemberian air bagi kaum Muslimin.’
Setelah membaca surat itu, al-Ḥākim segera membangun tempat air minum di depan rumahnya. Ketika telah selesai, ia memerintahkan untuk mengisinya dengan air dan es, lalu orang-orang pun minum darinya. Belum genap seminggu, beliau sembuh total, wajahnya kembali seperti semula, dan hidup bertahun-tahun sesudahnya.”
(Kata al-jamad berarti air beku, yakni es; al-Mu‘jam al-Wasīṭ, 1/133).
Al-Albānī menilai kisah ini sahih dalam Ṣaḥīḥ at-Targhīb wa t-Tarhīb, 1/568 (no. 964).   Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka Riwayat Abū Ṭāhir as-Silafī dalam Mu‘jam as-Safar (h. 251, no. 827):
“Aku mendengar Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Abī Bakr al-Kātib al-Maynizī di Damaskus berkata: Aku mendengar Abū Bakr al-Khabbāzī di Naisabur berkata:
‘Aku pernah sakit parah. Seorang tetangga saleh berkata kepadaku, “Amalkan sabda Rasulullah ﷺ: Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah.”
Saat itu musim panas dan waktu sempit, maka aku membeli banyak buah semangka, lalu mengundang para fakir dan anak-anak untuk makan bersama. Mereka pun makan, menengadahkan tangan berdoa memohon kesembuhan bagiku. Demi Allah, keesokan paginya aku bangun dalam keadaan sehat tanpa sisa penyakit sedikit pun.’”   Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Ucapan al-Munāwī raḥimahullāh:
“Orang-orang yang memahami rahasia hubungan dengan Allah, bila mereka memiliki hajat yang ingin segera dikabulkan—seperti kesembuhan orang sakit—mereka memerintahkan untuk membuat hidangan lezat dari daging kambing utuh, lalu mengundang orang fakir dengan niat menebus satu nyawa dengan nyawa.
Sebagian mereka bahkan bersedekah dengan sesuatu yang paling berharga: bila orang yang sangat dicintainya sakit, ia bersedekah dengan barang paling berharga yang ia miliki—seperti budak, kuda, atau barang berharga lainnya—lalu hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir yang menjaga kehormatan diri.”
(Fayḍ al-Qadīr, 3/687) Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Ya Allah, jadikanlah sedekah kami sebagai sebab keridaan-Mu, penolak bala-Mu, penyembuh bagi penyakit kami dan keluarga kami, serta sumber keberkahan dalam umur dan harta kami.     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis Pagi Bakda Shubuh, 30-10-2025, 8 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamal jariyah amalan penyembuh penyakit cara nabi mengobati penyakit doa kesembuhan hadis tentang sedekah keutamaan sedekah kisah ulama salaf pengobatan dengan sedekah sedekah tolak bala dengan sedekah


Sakit adalah ujian yang bisa menjadi sebab dihapusnya dosa, namun Islam juga mengajarkan berbagai sebab untuk meraih kesembuhan. Salah satu cara yang sering dilupakan adalah pengobatan dengan sedekah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Amalan ini bukan sekadar memberi, tetapi juga menjadi sarana menjemput rahmat dan pertolongan Allah Ta‘ālā.   Daftar Isi tutup 1. Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan 2. Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah 3. Sedekah Paling Utama dengan Air 4. Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat 4.1. Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur 4.2. Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah 4.3. Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka 4.4. Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ “Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
(HR. Abū Dāwūd dalam al-Marāsīl no. 105, dan ath-Thabarānī dalam al-Awsath no. 1963). Para ulama berbeda pendapat dalam menilai keabsahan hadis ini; al-Albānī menilainya hasan dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ (no. 3358). Ahmad al-Ghumārī bahkan menulis risalah khusus berjudul al-Zawājir al-Muqalliqah li-Munkir at-Tadāwī bi-ṣ-Ṣadaqah (“Peringatan Keras bagi yang Mengingkari Pengobatan dengan Sedekah”).   Berbaik Sangka kepada Allah, Perkuatkan Harapan Kesembuhan Tidak mengapa seorang yang sakit menggali sumur dengan niat memohon kesembuhan dari Allah Ta‘ālā—baik untuk dirinya sendiri, anaknya, maupun orang lain—karena sedekah merupakan salah satu sebab datangnya kesembuhan. Diharapkan dengan izin Allah Ta‘ālā penyakit anaknya pun akan sembuh, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis tersebut. Kita juga dianjurkan berbaik sangka kepada Allah Ta‘ālā, karena Dia berfirman dalam hadis qudsī dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675] Baca juga: Aku Sesuai Persangkaan Hambaku   Sedekah Jadi Sebab Diangkatnya Penyakit Walau Dalam Keadaan Susah Dari hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah” dapat dipahami bahwa bersedekah dianjurkan sebagai sebab diangkatnya penyakit. Ibn al-Ḥājj raḥimahullāh berkata, “Sunnah yang paling ditekankan bagi orang sakit atau walinya adalah menunaikan sedekah, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah, tolaklah bala dengan sedekah, dan mintalah pertolongan untuk memenuhi kebutuhan kalian dengan sedekah.’
Hal ini disesuaikan dengan keadaan penyakit dan kondisi penderita: bila penyakitnya berat, perbanyaklah sedekah; bila ia mampu, demikian pula; bila ia fakir, maka bersedekahlah sesuai kemampuan, sebagaimana hadis tentang ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā yang bersedekah dengan sebutir kurma kepada seorang ibu dan dua putrinya—lalu kurma itu dibelah dua dan diberikan masing-masing separuh.
Hakikat sedekah ialah bahwa orang sakit seakan menebus dirinya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla sesuai nilai dirinya di sisi-Nya. Sedekah pasti memberi pengaruh nyata, sebab penyampai berita (Rasul ﷺ) adalah yang benar ucapannya, dan yang diberitakan adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.”
(al-Madkhal, 4/141) Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu ia berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Sedekah yang dilakukan oleh orang yang memiliki sedikit harta, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.’
(HR. Abū Dāūd no. 1677, an-Nasā’ī no. 2526; disahihkan oleh al-Albānī). وَقَوْلُهُ: «جُهْدُ الْمُقِلِّ»،
فَـ«الْجُهْدُ»: الْوُسْعُ وَالطَّاقَةُ،
وَ«الْمُقِلُّ»: الْفَقِيرُ الَّذِي مَعَهُ شَيْءٌ قَلِيلٌ مِنَ الْمَالِ؛ Istilah “Juhd al-muqill” berarti “sedekah yang diberikan oleh orang yang miskin sesuai kadar kemampuannya.” Sedekah semacam ini lebih utama daripada sedekah orang kaya karena si fakir memberi sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan, sedangkan orang kaya memberi dari kelebihan hartanya. Hal ini sejalan dengan hadis: “Satu dirham dapat mengalahkan seratus ribu dirham.” Tidak ada pertentangan antara hadis ini dengan hadis lain: “Sedekah terbaik ialah yang dilakukan setelah tercukupi kebutuhan diri.” Hadis “Juhd al-muqill” berlaku bagi orang yang kuat imannya dan sabar terhadap kefakiran, sedangkan hadis “dari kelebihan harta” berlaku bagi yang lemah imannya. Keutamaan sedekah karenanya berbeda-beda menurut tingkat iman, tawakal, dan keyakinan seseorang.
(Lihat Syarḥ al-Mishkāt karya ath-Ṭībī 5/1564; Dzakīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā 22/346). Baca juga: Sedekah Saat Susah   Sedekah Paling Utama dengan Air Sedekah berupa air memiliki keutamaan besar. Dari Sa‘d bin ‘Ubādah raḍiyallāhu ‘anhu, ia bertanya, 
«يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟» قَالَ: «سَقْيُ الْمَاءِ» “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Memberikan air minum.’
(HR. an-Nasā’ī no. 3664, Ibnu Mājah no. 3684; dinilai hasan oleh al-Albānī). Dalam riwayat lain, Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu Sa‘d telah meninggal dunia. Sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, ‘Air.’ Maka Sa‘d menggali sebuah sumur dan berkata: ‘Ini untuk ibuku, Sa‘dah.’”
(HR. Abū Dāwūd no. 1681; hasan menurut al-Albānī). Sedekah yang disebut dalam hadis tidak terbatas pada menggali sumur semata, tetapi mencakup seluruh bentuk sedekah sunnah dan amal kebajikan lainnya.
(Lihat Fayḍ al-Qadīr, 3/514 & 687).   Para Salaf Membuktikan Sedekah untuk Disembuhkan dari Penyakit Berat Sejak dahulu para ulama dan masyarakat umum menolak penyakit dan bala dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah. Ibn Mufliḥ raḥimahullāh berkata setelah menyebut hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, “Sekelompok ulama dari kalangan kami dan lainnya mempraktikkan hal ini; dan itu perbuatan yang baik dengan makna yang benar.”
(al-Furū‘, 3/261). Ibnul Qayyim raḥimahullāh menambahkan: “Sebab kedelapan (dari penolak bala) adalah bersedekah dan berbuat baik sebisa mungkin, karena hal itu memiliki pengaruh menakjubkan dalam menolak musibah, menolak ‘ain, serta kejahatan orang yang dengki. Cukuplah bukti dari pengalaman bangsa-bangsa dahulu dan sekarang bahwa hampir tidak pernah ‘ain, hasad, atau gangguan menimpa orang yang gemar berbuat baik dan bersedekah. Kalaupun terkena, ia akan diperlakukan Allah dengan kelembutan, pertolongan, dan dukungan hingga berakhir dengan kesudahan yang baik.”
(Badā’i‘ al-Fawā’id, 2/771) Terdapat banyak riwayat dari kalangan salaf yang menunjukkan amal nyata berdasarkan hadis “Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah”, di antaranya:   Kisah Pertama: Tujuh Tahun Tak Kunjung Sembuh, Lalu Sedekah Sumur Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Syu‘ab al-Īmān (5/69) bahwa ‘Alī bin al-Ḥasan bin Syaqīq berkata:
“Aku mendengar Ibn al-Mubārak ditanya oleh seseorang, ‘Wahai Abā ‘Abdir-Raḥmān, ada luka di lututku yang telah tujuh tahun tak kunjung sembuh. Aku sudah mencoba berbagai pengobatan dan bertanya kepada para dokter, namun tidak ada hasil.’
Ibn al-Mubārak menjawab: ‘Pergilah, carilah tempat di mana orang membutuhkan air, lalu galilah sumur di sana. Aku berharap air akan memancar di situ dan pendarahanmu berhenti.’
Maka orang itu melakukannya, dan ia pun sembuh.”   Kisah Kedua: Sedekah senan Beri Minum Air dan Es di Depan Rumah Lantas Sembuh dari Penyakit dengan Izin Allah Komentar al-Baihaqī setelah kisah tersebut:
“Dalam makna serupa ada kisah guru kami, al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh. Beliau mengalami luka di wajah yang diobati dengan berbagai cara namun tidak sembuh hampir setahun. Beliau lalu meminta Syaikh Abū ‘Utsmān aṣ-Ṣābūnī mendoakan dirinya pada majelis Jumat. Banyak orang mengaminkan doa itu.
Pada Jumat berikutnya seorang wanita menyampaikan secarik kertas: bahwa malam itu ia berdoa sungguh-sungguh untuk al-Ḥākim dan bermimpi melihat Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sampaikan kepada Abū ‘Abdillāh agar memperluas pemberian air bagi kaum Muslimin.’
Setelah membaca surat itu, al-Ḥākim segera membangun tempat air minum di depan rumahnya. Ketika telah selesai, ia memerintahkan untuk mengisinya dengan air dan es, lalu orang-orang pun minum darinya. Belum genap seminggu, beliau sembuh total, wajahnya kembali seperti semula, dan hidup bertahun-tahun sesudahnya.”
(Kata al-jamad berarti air beku, yakni es; al-Mu‘jam al-Wasīṭ, 1/133).
Al-Albānī menilai kisah ini sahih dalam Ṣaḥīḥ at-Targhīb wa t-Tarhīb, 1/568 (no. 964).   Kisah Ketiga: Kesembuhan Datang dengan Beri Makan Semangka Riwayat Abū Ṭāhir as-Silafī dalam Mu‘jam as-Safar (h. 251, no. 827):
“Aku mendengar Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Abī Bakr al-Kātib al-Maynizī di Damaskus berkata: Aku mendengar Abū Bakr al-Khabbāzī di Naisabur berkata:
‘Aku pernah sakit parah. Seorang tetangga saleh berkata kepadaku, “Amalkan sabda Rasulullah ﷺ: Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah.”
Saat itu musim panas dan waktu sempit, maka aku membeli banyak buah semangka, lalu mengundang para fakir dan anak-anak untuk makan bersama. Mereka pun makan, menengadahkan tangan berdoa memohon kesembuhan bagiku. Demi Allah, keesokan paginya aku bangun dalam keadaan sehat tanpa sisa penyakit sedikit pun.’”   Kisah Keempat: Bersedekah dengan Harta Berharga Demi Kesembuhan Ucapan al-Munāwī raḥimahullāh:
“Orang-orang yang memahami rahasia hubungan dengan Allah, bila mereka memiliki hajat yang ingin segera dikabulkan—seperti kesembuhan orang sakit—mereka memerintahkan untuk membuat hidangan lezat dari daging kambing utuh, lalu mengundang orang fakir dengan niat menebus satu nyawa dengan nyawa.
Sebagian mereka bahkan bersedekah dengan sesuatu yang paling berharga: bila orang yang sangat dicintainya sakit, ia bersedekah dengan barang paling berharga yang ia miliki—seperti budak, kuda, atau barang berharga lainnya—lalu hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir yang menjaga kehormatan diri.”
(Fayḍ al-Qadīr, 3/687) Baca juga: Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai   Ya Allah, jadikanlah sedekah kami sebagai sebab keridaan-Mu, penolak bala-Mu, penyembuh bagi penyakit kami dan keluarga kami, serta sumber keberkahan dalam umur dan harta kami.     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis Pagi Bakda Shubuh, 30-10-2025, 8 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamal jariyah amalan penyembuh penyakit cara nabi mengobati penyakit doa kesembuhan hadis tentang sedekah keutamaan sedekah kisah ulama salaf pengobatan dengan sedekah sedekah tolak bala dengan sedekah

Arti Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un: Kalimat yang Mengubah Cara Kita Memandang Musibah

Siapa orang-orang sabar yang dimaksud dalam ayat ini? Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah, berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali). Betapa agung kalimat ini, wahai saudara-saudara! Betapa agung keutamaannya! Betapa agung maknanya! “Kami milik Allah,” artinya: kami hamba-hamba-Nya. Kami milik-Nya, sedangkan Dia Tuhan kami, Pemilik kami, dan Raja kami, Subhanahu wa bihamdihi. Pemilik berhak memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya, maka tidak selayaknya kita untuk keberatan terhadap takdir-Nya Subhanahu wa bihamdihi. Tidak ada yang layak kita lakukan selain berserah diri, beriman, dan meridai segala yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala atur dan tetapkan. “Sungguh, kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali.” Apa makna “kepada-Nya kami kembali,” wahai saudara-saudara? Kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu, apa lagi maknanya? Pertama, kalimat ini menjelaskan kedudukan dunia, bahwa suatu hari nanti kita pasti kembali kepada Allah dan meninggalkan dunia ini seluruhnya. Jadi, dalam kalimat ini terkandung penggambaran betapa sempitnya dunia dan betapa singkat waktunya. Juga terdapat sikap menantikan dan mengharapkan, mengharapkan apa? Mengharapkan balasan yang agung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bahwa jika kamu bersabar, maka kelak kamu akan kembali kepada Tuhanmu, dan kamu akan mendapatkan di sisi-Nya balasan terbesar. ===== مَنْ هُمُ الصَّابِرُونَ فِي الْآيَةِ؟ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا أَعْظَمَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ يَا إِخْوَانُ مَا أَعْظَمَ فَضْلَهَا وَمَا أَعْظَمَ مَعْنَاهَا إِنَّا لِلَّهِ نَحْنُ عَبِيْدُهُ نَحْنُ مَمْلُوكُونَ لَهُ وَهُوَ رَبُّنَا مَالِكُنَا سَيِّدُنَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَالْمَالِكُ يَتَصَرَّفُ بِعَبِيْدِهِ كَمَا يَشَاءُ فَلَا اعْتِرَاضَ إِذًا عَلَى قَدَرِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَلَيْسَ لَنَا إِلَّا التَّسْلِيمُ وَالْإِيمَانُ وَالرِّضَا بِمَا دَبَّرَ وَقَضَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا مَعْنَى وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ يَا إِخْوَانُ الرَّاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَيِّبٌ وَأَيْضًا ثُمَّ مَاذَا؟ أَوَّلًا فِيهِ بَيَانٌ لِقَدْرِ الدُّنْيَا وَأَنَّنَا فِي يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ رَاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ وَتَارِكُوْنَ هَذِهِ الدُّنْيَا بِأَكْمَلِهَا فِيْهِ تَقْلِيْلُ مِسَاحَةِ الدُّنْيَا وَمُدَّتِهَا وَأَيْضًا فِيهِ تَرَقُّبٌ وَتَوَقُّعٌ لِمَاذَا؟ لِعَظِيْمِ الْجَزَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّكَ إِذْ صَبَرْتَ سَوْفَ تَرْجِعُ إِلَى رَبِّكَ وَسَوْفَ تَجِدُ عِنْدَهُ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ

Arti Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un: Kalimat yang Mengubah Cara Kita Memandang Musibah

Siapa orang-orang sabar yang dimaksud dalam ayat ini? Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah, berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali). Betapa agung kalimat ini, wahai saudara-saudara! Betapa agung keutamaannya! Betapa agung maknanya! “Kami milik Allah,” artinya: kami hamba-hamba-Nya. Kami milik-Nya, sedangkan Dia Tuhan kami, Pemilik kami, dan Raja kami, Subhanahu wa bihamdihi. Pemilik berhak memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya, maka tidak selayaknya kita untuk keberatan terhadap takdir-Nya Subhanahu wa bihamdihi. Tidak ada yang layak kita lakukan selain berserah diri, beriman, dan meridai segala yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala atur dan tetapkan. “Sungguh, kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali.” Apa makna “kepada-Nya kami kembali,” wahai saudara-saudara? Kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu, apa lagi maknanya? Pertama, kalimat ini menjelaskan kedudukan dunia, bahwa suatu hari nanti kita pasti kembali kepada Allah dan meninggalkan dunia ini seluruhnya. Jadi, dalam kalimat ini terkandung penggambaran betapa sempitnya dunia dan betapa singkat waktunya. Juga terdapat sikap menantikan dan mengharapkan, mengharapkan apa? Mengharapkan balasan yang agung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bahwa jika kamu bersabar, maka kelak kamu akan kembali kepada Tuhanmu, dan kamu akan mendapatkan di sisi-Nya balasan terbesar. ===== مَنْ هُمُ الصَّابِرُونَ فِي الْآيَةِ؟ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا أَعْظَمَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ يَا إِخْوَانُ مَا أَعْظَمَ فَضْلَهَا وَمَا أَعْظَمَ مَعْنَاهَا إِنَّا لِلَّهِ نَحْنُ عَبِيْدُهُ نَحْنُ مَمْلُوكُونَ لَهُ وَهُوَ رَبُّنَا مَالِكُنَا سَيِّدُنَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَالْمَالِكُ يَتَصَرَّفُ بِعَبِيْدِهِ كَمَا يَشَاءُ فَلَا اعْتِرَاضَ إِذًا عَلَى قَدَرِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَلَيْسَ لَنَا إِلَّا التَّسْلِيمُ وَالْإِيمَانُ وَالرِّضَا بِمَا دَبَّرَ وَقَضَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا مَعْنَى وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ يَا إِخْوَانُ الرَّاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَيِّبٌ وَأَيْضًا ثُمَّ مَاذَا؟ أَوَّلًا فِيهِ بَيَانٌ لِقَدْرِ الدُّنْيَا وَأَنَّنَا فِي يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ رَاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ وَتَارِكُوْنَ هَذِهِ الدُّنْيَا بِأَكْمَلِهَا فِيْهِ تَقْلِيْلُ مِسَاحَةِ الدُّنْيَا وَمُدَّتِهَا وَأَيْضًا فِيهِ تَرَقُّبٌ وَتَوَقُّعٌ لِمَاذَا؟ لِعَظِيْمِ الْجَزَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّكَ إِذْ صَبَرْتَ سَوْفَ تَرْجِعُ إِلَى رَبِّكَ وَسَوْفَ تَجِدُ عِنْدَهُ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ
Siapa orang-orang sabar yang dimaksud dalam ayat ini? Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah, berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali). Betapa agung kalimat ini, wahai saudara-saudara! Betapa agung keutamaannya! Betapa agung maknanya! “Kami milik Allah,” artinya: kami hamba-hamba-Nya. Kami milik-Nya, sedangkan Dia Tuhan kami, Pemilik kami, dan Raja kami, Subhanahu wa bihamdihi. Pemilik berhak memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya, maka tidak selayaknya kita untuk keberatan terhadap takdir-Nya Subhanahu wa bihamdihi. Tidak ada yang layak kita lakukan selain berserah diri, beriman, dan meridai segala yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala atur dan tetapkan. “Sungguh, kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali.” Apa makna “kepada-Nya kami kembali,” wahai saudara-saudara? Kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu, apa lagi maknanya? Pertama, kalimat ini menjelaskan kedudukan dunia, bahwa suatu hari nanti kita pasti kembali kepada Allah dan meninggalkan dunia ini seluruhnya. Jadi, dalam kalimat ini terkandung penggambaran betapa sempitnya dunia dan betapa singkat waktunya. Juga terdapat sikap menantikan dan mengharapkan, mengharapkan apa? Mengharapkan balasan yang agung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bahwa jika kamu bersabar, maka kelak kamu akan kembali kepada Tuhanmu, dan kamu akan mendapatkan di sisi-Nya balasan terbesar. ===== مَنْ هُمُ الصَّابِرُونَ فِي الْآيَةِ؟ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا أَعْظَمَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ يَا إِخْوَانُ مَا أَعْظَمَ فَضْلَهَا وَمَا أَعْظَمَ مَعْنَاهَا إِنَّا لِلَّهِ نَحْنُ عَبِيْدُهُ نَحْنُ مَمْلُوكُونَ لَهُ وَهُوَ رَبُّنَا مَالِكُنَا سَيِّدُنَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَالْمَالِكُ يَتَصَرَّفُ بِعَبِيْدِهِ كَمَا يَشَاءُ فَلَا اعْتِرَاضَ إِذًا عَلَى قَدَرِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَلَيْسَ لَنَا إِلَّا التَّسْلِيمُ وَالْإِيمَانُ وَالرِّضَا بِمَا دَبَّرَ وَقَضَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا مَعْنَى وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ يَا إِخْوَانُ الرَّاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَيِّبٌ وَأَيْضًا ثُمَّ مَاذَا؟ أَوَّلًا فِيهِ بَيَانٌ لِقَدْرِ الدُّنْيَا وَأَنَّنَا فِي يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ رَاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ وَتَارِكُوْنَ هَذِهِ الدُّنْيَا بِأَكْمَلِهَا فِيْهِ تَقْلِيْلُ مِسَاحَةِ الدُّنْيَا وَمُدَّتِهَا وَأَيْضًا فِيهِ تَرَقُّبٌ وَتَوَقُّعٌ لِمَاذَا؟ لِعَظِيْمِ الْجَزَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّكَ إِذْ صَبَرْتَ سَوْفَ تَرْجِعُ إِلَى رَبِّكَ وَسَوْفَ تَجِدُ عِنْدَهُ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ


Siapa orang-orang sabar yang dimaksud dalam ayat ini? Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah, berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali). Betapa agung kalimat ini, wahai saudara-saudara! Betapa agung keutamaannya! Betapa agung maknanya! “Kami milik Allah,” artinya: kami hamba-hamba-Nya. Kami milik-Nya, sedangkan Dia Tuhan kami, Pemilik kami, dan Raja kami, Subhanahu wa bihamdihi. Pemilik berhak memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya, maka tidak selayaknya kita untuk keberatan terhadap takdir-Nya Subhanahu wa bihamdihi. Tidak ada yang layak kita lakukan selain berserah diri, beriman, dan meridai segala yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala atur dan tetapkan. “Sungguh, kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali.” Apa makna “kepada-Nya kami kembali,” wahai saudara-saudara? Kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu, apa lagi maknanya? Pertama, kalimat ini menjelaskan kedudukan dunia, bahwa suatu hari nanti kita pasti kembali kepada Allah dan meninggalkan dunia ini seluruhnya. Jadi, dalam kalimat ini terkandung penggambaran betapa sempitnya dunia dan betapa singkat waktunya. Juga terdapat sikap menantikan dan mengharapkan, mengharapkan apa? Mengharapkan balasan yang agung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bahwa jika kamu bersabar, maka kelak kamu akan kembali kepada Tuhanmu, dan kamu akan mendapatkan di sisi-Nya balasan terbesar. ===== مَنْ هُمُ الصَّابِرُونَ فِي الْآيَةِ؟ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا أَعْظَمَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ يَا إِخْوَانُ مَا أَعْظَمَ فَضْلَهَا وَمَا أَعْظَمَ مَعْنَاهَا إِنَّا لِلَّهِ نَحْنُ عَبِيْدُهُ نَحْنُ مَمْلُوكُونَ لَهُ وَهُوَ رَبُّنَا مَالِكُنَا سَيِّدُنَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَالْمَالِكُ يَتَصَرَّفُ بِعَبِيْدِهِ كَمَا يَشَاءُ فَلَا اعْتِرَاضَ إِذًا عَلَى قَدَرِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَلَيْسَ لَنَا إِلَّا التَّسْلِيمُ وَالْإِيمَانُ وَالرِّضَا بِمَا دَبَّرَ وَقَضَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ مَا مَعْنَى وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ يَا إِخْوَانُ الرَّاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَيِّبٌ وَأَيْضًا ثُمَّ مَاذَا؟ أَوَّلًا فِيهِ بَيَانٌ لِقَدْرِ الدُّنْيَا وَأَنَّنَا فِي يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ رَاجِعُونَ إِلَى اللَّهِ وَتَارِكُوْنَ هَذِهِ الدُّنْيَا بِأَكْمَلِهَا فِيْهِ تَقْلِيْلُ مِسَاحَةِ الدُّنْيَا وَمُدَّتِهَا وَأَيْضًا فِيهِ تَرَقُّبٌ وَتَوَقُّعٌ لِمَاذَا؟ لِعَظِيْمِ الْجَزَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّكَ إِذْ صَبَرْتَ سَوْفَ تَرْجِعُ إِلَى رَبِّكَ وَسَوْفَ تَجِدُ عِنْدَهُ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 5): Menjauhi Majelis Kebatilan, Mengagungkan Firman Allah, dan Perhatian dalam Berdoa

Daftar Isi ToggleMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranMengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaPerhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (memberikan) persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Salah satu akhlak ‘ibadurrahman dan keindahan sifat mereka ialah bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari majelis yang dipenuhi kemungkaran, yang isinya hanyalah kebatilan dan ucapan yang Allah larang. Ini sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ“Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu, ..” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelisnya, tidak mendatanginya, dan tidak berkumpul bersama para pelakunya.Yang termasuk dalam cakupan ayat tersebut adalah majelis-majelis yang isinya hanya seputar maksiat dan dosa saja, seperti gosip (gibah), adu domba (namimah), mengejek atau merendahkan (kehormatan) orang lain, kedustaan, nyanyian, menampakkan atau mempertontonkan maksiat (terang-terangan), serta hal-hal keji lainnya yang seringkali ditayangkan di televisi, smartphone (HP), dan media lainnya.Termasuk juga dalam ayat di atas adalah majelis-majelis yang menggencarkan atau menyebarkan pemikiran sesat dan menyimpang, kerusakan pemikiran, dan amalan sesat yang biasanya dipopulerkan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Termasuk juga perayaan-perayaan orang-orang musyrik maupun acara khusus mereka. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, apalagi memberi ucapan selamat atau ikut bergembira dengan diadakannya perayaan itu.Maka, semua yang telah disebutkan di atas termasuk dalam maksud ayat tersebut. Oleh karenanya, para ulama salaf menafsirkan makna ‘az-zūr’ dalam berbagai macam ungkapan untuk menjelaskannya.Setelah menyebutkan berbagai macam pendapat mengenai ayat tersebut dari para salaf as-shalih, Al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,فأولى الأقوال بالصواب في تأويله أن يُقال: والذين لا يشهدون شيئًا من الباطل؛ لا شركًا، ولا غناءً، ولا كذبًا، ولا غيره، وكلُّ ما لَزِمَه اسمُ الزُّور؛ لأن الله عمَّ في وصفهم إيّاهم أنهم: لا يشهدون الزور“Pendapat yang paling tepat dalam menafsirkannya adalah bahwa yang dimaksudkan (ayat) itu adalah mereka tidak menghadiri sesuatu pun yang di dalamnya ada kebatilan, baik itu kesyirikan, nyanyian, kedustaan, atau semisalnya, serta segala sesuatu yang termasuk dalam makna ‘az-zūr’ (kepalsuan atau kebatilan). Karenanya, Allah menyebut mereka (hamba-hamba Ar-Rahman) dengan sifat tidak menghadiri ‘az-zūr’.” (Lihat Jāmi‘ al-Bayān, 17: 523)Hamba-hamba Ar-Rahman pastinya tidak mungkin menghadiri majelis-majelis tersebut dalam bentuk apa pun, dan yang paling utama ialah mereka tidak ingin terjatuh dalam (melakukan) kebatilan itu sendiri.Pada potongan ayat tersebut, Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak bermaksud mendatanginya dan tidak pula sengaja mendekatinya. Akan tetapi, jika mereka kebetulan (terpaksa) melewati sebuah majelis yang penuh dengan kemungkaran atau kebatilan, maka mereka akan melewatinya dengan menjaga (kehormatan) diri darinya, tidak peduli dengannya, serta menjauhkan diri dari duduk bersama di dalamnya.Mengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sangatlah agung dan mulia di hati ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Ar-Rahman). Mereka tidak menolaknya maupun berpaling darinya, tetapi mereka justru mengagungkannya, memuliakannya, mendengarkannya dengan baik, dan mengambil manfaat darinya.Pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Maksudnya, pada saat mereka mendengarkan firman Allah, mereka tidak bersikap sebagaimana orang tuli yang tidak bisa mendengar, maupun orang buta yang tidak bisa melihat. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan baik (sungguh-sungguh), mengambil pelajaran (manfaat), lalu mengamalkan hukum dan petunjuk-Nya.Qatadah bin Di‘amah rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini,لَمْ يَصِمُّوا عَنِ الحَقِّ، ولَمْ يَعْمَوا فِيهِ، هُم قَومٌ عَقَلوا عن الله، فانتفعوا بما سَمِعوا من كتابِ الله“Mereka tidak menutup telinga dari kebenaran dan tidak berpura-pura buta terhadapnya. Mereka adalah orang-orang yang mau memahami ajaran Allah, sehingga bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir-nya, 8: 2740)Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bersikap menyombongkan diri terhadap ayat-ayat Allah dan petunjuk-Nya. Kesombongan tersebut akan menyeretnya kepada dosa sehingga ia terus-menerus berada dalam kebatilan. Allah mengancamnya dengan azab neraka Jahanam. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, kesombongan dirinya mendorongnya terus berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya neraka Jahanam, dan sungguh, neraka itu seburuk-buruknya tempat tinggal.” (QS. Al-Baqarah: 206)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللهَ، فَيَقُولُ: عَلَيْكَ نَفْسُك“Sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah saat seseorang berkata kepada yang lainnya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 10619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 2598)Perhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Furqan: 74)Di antara kesempurnaan sifat para hamba Ar-Rahman adalah perhatian mereka terhadap doa. Mereka sangat bergantung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya, kembali kepada-Nya, dan semua kebutuhan serta urusan agama maupun dunia mereka hanya mereka harapkan dari Allah Ta’ala semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.Kemudian ketika berdoa, mereka sangat bersemangat dalam berdoa dengan doa-doa yang penuh dengan faidah dan sangat bermanfaat. Misalnya, mereka berdoa,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)Doa ini termasuk doa yang paling lengkap (faidahnya) dan paling bermanfaat. Di dalamnya terkandung permohonan seorang hamba agar hatinya merasa bahagia (tenang dan nyaman) dengan keluarga yang saleh, yaitu pasangan dan anak-anak yang baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, kehidupan, senantiasa berbakti kepada orang tua, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.Kemudian, dalam doa mereka,وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”, mengandung permohonan agar diri mereka terlebih dulu dibenahi dan diperbaiki sehingga bisa menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain.Karena seseorang tidak akan bisa menjadi suri teladan dan pemimpin yang baik bagi orang-orang yang bertakwa, jika dirinya sendiri belum meneladani orang-orang bertakwa sebelum dirinya. Ia harus terlebih dulu menanamkan kebaikan pada dirinya, berusaha sungguh-sungguh meraih sifat-sifat yang baik dan mulia tersebut. Pada saat itulah, orang-orang yang bertakwa akan bersemangat untuk meneladani dan mengikuti dirinya, serta mengambil manfaat dari bimbingan dan petunjuknya.Oleh karena itu, setiap muslim sepantasnya bersemangat untuk senantiasa mengamalkan dan sering melafalkan doa ini, agar ia memperoleh kebaikan besar yang terkandung di dalamnya.[Selesai]Kembali ke bagian 4 Mulai dari bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 23–29.

Sifat ‘Ibadurrahman (Bag. 5): Menjauhi Majelis Kebatilan, Mengagungkan Firman Allah, dan Perhatian dalam Berdoa

Daftar Isi ToggleMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranMengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaPerhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (memberikan) persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Salah satu akhlak ‘ibadurrahman dan keindahan sifat mereka ialah bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari majelis yang dipenuhi kemungkaran, yang isinya hanyalah kebatilan dan ucapan yang Allah larang. Ini sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ“Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu, ..” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelisnya, tidak mendatanginya, dan tidak berkumpul bersama para pelakunya.Yang termasuk dalam cakupan ayat tersebut adalah majelis-majelis yang isinya hanya seputar maksiat dan dosa saja, seperti gosip (gibah), adu domba (namimah), mengejek atau merendahkan (kehormatan) orang lain, kedustaan, nyanyian, menampakkan atau mempertontonkan maksiat (terang-terangan), serta hal-hal keji lainnya yang seringkali ditayangkan di televisi, smartphone (HP), dan media lainnya.Termasuk juga dalam ayat di atas adalah majelis-majelis yang menggencarkan atau menyebarkan pemikiran sesat dan menyimpang, kerusakan pemikiran, dan amalan sesat yang biasanya dipopulerkan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Termasuk juga perayaan-perayaan orang-orang musyrik maupun acara khusus mereka. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, apalagi memberi ucapan selamat atau ikut bergembira dengan diadakannya perayaan itu.Maka, semua yang telah disebutkan di atas termasuk dalam maksud ayat tersebut. Oleh karenanya, para ulama salaf menafsirkan makna ‘az-zūr’ dalam berbagai macam ungkapan untuk menjelaskannya.Setelah menyebutkan berbagai macam pendapat mengenai ayat tersebut dari para salaf as-shalih, Al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,فأولى الأقوال بالصواب في تأويله أن يُقال: والذين لا يشهدون شيئًا من الباطل؛ لا شركًا، ولا غناءً، ولا كذبًا، ولا غيره، وكلُّ ما لَزِمَه اسمُ الزُّور؛ لأن الله عمَّ في وصفهم إيّاهم أنهم: لا يشهدون الزور“Pendapat yang paling tepat dalam menafsirkannya adalah bahwa yang dimaksudkan (ayat) itu adalah mereka tidak menghadiri sesuatu pun yang di dalamnya ada kebatilan, baik itu kesyirikan, nyanyian, kedustaan, atau semisalnya, serta segala sesuatu yang termasuk dalam makna ‘az-zūr’ (kepalsuan atau kebatilan). Karenanya, Allah menyebut mereka (hamba-hamba Ar-Rahman) dengan sifat tidak menghadiri ‘az-zūr’.” (Lihat Jāmi‘ al-Bayān, 17: 523)Hamba-hamba Ar-Rahman pastinya tidak mungkin menghadiri majelis-majelis tersebut dalam bentuk apa pun, dan yang paling utama ialah mereka tidak ingin terjatuh dalam (melakukan) kebatilan itu sendiri.Pada potongan ayat tersebut, Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak bermaksud mendatanginya dan tidak pula sengaja mendekatinya. Akan tetapi, jika mereka kebetulan (terpaksa) melewati sebuah majelis yang penuh dengan kemungkaran atau kebatilan, maka mereka akan melewatinya dengan menjaga (kehormatan) diri darinya, tidak peduli dengannya, serta menjauhkan diri dari duduk bersama di dalamnya.Mengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sangatlah agung dan mulia di hati ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Ar-Rahman). Mereka tidak menolaknya maupun berpaling darinya, tetapi mereka justru mengagungkannya, memuliakannya, mendengarkannya dengan baik, dan mengambil manfaat darinya.Pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Maksudnya, pada saat mereka mendengarkan firman Allah, mereka tidak bersikap sebagaimana orang tuli yang tidak bisa mendengar, maupun orang buta yang tidak bisa melihat. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan baik (sungguh-sungguh), mengambil pelajaran (manfaat), lalu mengamalkan hukum dan petunjuk-Nya.Qatadah bin Di‘amah rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini,لَمْ يَصِمُّوا عَنِ الحَقِّ، ولَمْ يَعْمَوا فِيهِ، هُم قَومٌ عَقَلوا عن الله، فانتفعوا بما سَمِعوا من كتابِ الله“Mereka tidak menutup telinga dari kebenaran dan tidak berpura-pura buta terhadapnya. Mereka adalah orang-orang yang mau memahami ajaran Allah, sehingga bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir-nya, 8: 2740)Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bersikap menyombongkan diri terhadap ayat-ayat Allah dan petunjuk-Nya. Kesombongan tersebut akan menyeretnya kepada dosa sehingga ia terus-menerus berada dalam kebatilan. Allah mengancamnya dengan azab neraka Jahanam. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, kesombongan dirinya mendorongnya terus berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya neraka Jahanam, dan sungguh, neraka itu seburuk-buruknya tempat tinggal.” (QS. Al-Baqarah: 206)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللهَ، فَيَقُولُ: عَلَيْكَ نَفْسُك“Sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah saat seseorang berkata kepada yang lainnya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 10619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 2598)Perhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Furqan: 74)Di antara kesempurnaan sifat para hamba Ar-Rahman adalah perhatian mereka terhadap doa. Mereka sangat bergantung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya, kembali kepada-Nya, dan semua kebutuhan serta urusan agama maupun dunia mereka hanya mereka harapkan dari Allah Ta’ala semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.Kemudian ketika berdoa, mereka sangat bersemangat dalam berdoa dengan doa-doa yang penuh dengan faidah dan sangat bermanfaat. Misalnya, mereka berdoa,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)Doa ini termasuk doa yang paling lengkap (faidahnya) dan paling bermanfaat. Di dalamnya terkandung permohonan seorang hamba agar hatinya merasa bahagia (tenang dan nyaman) dengan keluarga yang saleh, yaitu pasangan dan anak-anak yang baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, kehidupan, senantiasa berbakti kepada orang tua, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.Kemudian, dalam doa mereka,وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”, mengandung permohonan agar diri mereka terlebih dulu dibenahi dan diperbaiki sehingga bisa menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain.Karena seseorang tidak akan bisa menjadi suri teladan dan pemimpin yang baik bagi orang-orang yang bertakwa, jika dirinya sendiri belum meneladani orang-orang bertakwa sebelum dirinya. Ia harus terlebih dulu menanamkan kebaikan pada dirinya, berusaha sungguh-sungguh meraih sifat-sifat yang baik dan mulia tersebut. Pada saat itulah, orang-orang yang bertakwa akan bersemangat untuk meneladani dan mengikuti dirinya, serta mengambil manfaat dari bimbingan dan petunjuknya.Oleh karena itu, setiap muslim sepantasnya bersemangat untuk senantiasa mengamalkan dan sering melafalkan doa ini, agar ia memperoleh kebaikan besar yang terkandung di dalamnya.[Selesai]Kembali ke bagian 4 Mulai dari bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 23–29.
Daftar Isi ToggleMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranMengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaPerhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (memberikan) persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Salah satu akhlak ‘ibadurrahman dan keindahan sifat mereka ialah bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari majelis yang dipenuhi kemungkaran, yang isinya hanyalah kebatilan dan ucapan yang Allah larang. Ini sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ“Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu, ..” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelisnya, tidak mendatanginya, dan tidak berkumpul bersama para pelakunya.Yang termasuk dalam cakupan ayat tersebut adalah majelis-majelis yang isinya hanya seputar maksiat dan dosa saja, seperti gosip (gibah), adu domba (namimah), mengejek atau merendahkan (kehormatan) orang lain, kedustaan, nyanyian, menampakkan atau mempertontonkan maksiat (terang-terangan), serta hal-hal keji lainnya yang seringkali ditayangkan di televisi, smartphone (HP), dan media lainnya.Termasuk juga dalam ayat di atas adalah majelis-majelis yang menggencarkan atau menyebarkan pemikiran sesat dan menyimpang, kerusakan pemikiran, dan amalan sesat yang biasanya dipopulerkan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Termasuk juga perayaan-perayaan orang-orang musyrik maupun acara khusus mereka. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, apalagi memberi ucapan selamat atau ikut bergembira dengan diadakannya perayaan itu.Maka, semua yang telah disebutkan di atas termasuk dalam maksud ayat tersebut. Oleh karenanya, para ulama salaf menafsirkan makna ‘az-zūr’ dalam berbagai macam ungkapan untuk menjelaskannya.Setelah menyebutkan berbagai macam pendapat mengenai ayat tersebut dari para salaf as-shalih, Al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,فأولى الأقوال بالصواب في تأويله أن يُقال: والذين لا يشهدون شيئًا من الباطل؛ لا شركًا، ولا غناءً، ولا كذبًا، ولا غيره، وكلُّ ما لَزِمَه اسمُ الزُّور؛ لأن الله عمَّ في وصفهم إيّاهم أنهم: لا يشهدون الزور“Pendapat yang paling tepat dalam menafsirkannya adalah bahwa yang dimaksudkan (ayat) itu adalah mereka tidak menghadiri sesuatu pun yang di dalamnya ada kebatilan, baik itu kesyirikan, nyanyian, kedustaan, atau semisalnya, serta segala sesuatu yang termasuk dalam makna ‘az-zūr’ (kepalsuan atau kebatilan). Karenanya, Allah menyebut mereka (hamba-hamba Ar-Rahman) dengan sifat tidak menghadiri ‘az-zūr’.” (Lihat Jāmi‘ al-Bayān, 17: 523)Hamba-hamba Ar-Rahman pastinya tidak mungkin menghadiri majelis-majelis tersebut dalam bentuk apa pun, dan yang paling utama ialah mereka tidak ingin terjatuh dalam (melakukan) kebatilan itu sendiri.Pada potongan ayat tersebut, Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak bermaksud mendatanginya dan tidak pula sengaja mendekatinya. Akan tetapi, jika mereka kebetulan (terpaksa) melewati sebuah majelis yang penuh dengan kemungkaran atau kebatilan, maka mereka akan melewatinya dengan menjaga (kehormatan) diri darinya, tidak peduli dengannya, serta menjauhkan diri dari duduk bersama di dalamnya.Mengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sangatlah agung dan mulia di hati ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Ar-Rahman). Mereka tidak menolaknya maupun berpaling darinya, tetapi mereka justru mengagungkannya, memuliakannya, mendengarkannya dengan baik, dan mengambil manfaat darinya.Pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Maksudnya, pada saat mereka mendengarkan firman Allah, mereka tidak bersikap sebagaimana orang tuli yang tidak bisa mendengar, maupun orang buta yang tidak bisa melihat. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan baik (sungguh-sungguh), mengambil pelajaran (manfaat), lalu mengamalkan hukum dan petunjuk-Nya.Qatadah bin Di‘amah rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini,لَمْ يَصِمُّوا عَنِ الحَقِّ، ولَمْ يَعْمَوا فِيهِ، هُم قَومٌ عَقَلوا عن الله، فانتفعوا بما سَمِعوا من كتابِ الله“Mereka tidak menutup telinga dari kebenaran dan tidak berpura-pura buta terhadapnya. Mereka adalah orang-orang yang mau memahami ajaran Allah, sehingga bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir-nya, 8: 2740)Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bersikap menyombongkan diri terhadap ayat-ayat Allah dan petunjuk-Nya. Kesombongan tersebut akan menyeretnya kepada dosa sehingga ia terus-menerus berada dalam kebatilan. Allah mengancamnya dengan azab neraka Jahanam. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, kesombongan dirinya mendorongnya terus berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya neraka Jahanam, dan sungguh, neraka itu seburuk-buruknya tempat tinggal.” (QS. Al-Baqarah: 206)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللهَ، فَيَقُولُ: عَلَيْكَ نَفْسُك“Sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah saat seseorang berkata kepada yang lainnya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 10619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 2598)Perhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Furqan: 74)Di antara kesempurnaan sifat para hamba Ar-Rahman adalah perhatian mereka terhadap doa. Mereka sangat bergantung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya, kembali kepada-Nya, dan semua kebutuhan serta urusan agama maupun dunia mereka hanya mereka harapkan dari Allah Ta’ala semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.Kemudian ketika berdoa, mereka sangat bersemangat dalam berdoa dengan doa-doa yang penuh dengan faidah dan sangat bermanfaat. Misalnya, mereka berdoa,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)Doa ini termasuk doa yang paling lengkap (faidahnya) dan paling bermanfaat. Di dalamnya terkandung permohonan seorang hamba agar hatinya merasa bahagia (tenang dan nyaman) dengan keluarga yang saleh, yaitu pasangan dan anak-anak yang baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, kehidupan, senantiasa berbakti kepada orang tua, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.Kemudian, dalam doa mereka,وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”, mengandung permohonan agar diri mereka terlebih dulu dibenahi dan diperbaiki sehingga bisa menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain.Karena seseorang tidak akan bisa menjadi suri teladan dan pemimpin yang baik bagi orang-orang yang bertakwa, jika dirinya sendiri belum meneladani orang-orang bertakwa sebelum dirinya. Ia harus terlebih dulu menanamkan kebaikan pada dirinya, berusaha sungguh-sungguh meraih sifat-sifat yang baik dan mulia tersebut. Pada saat itulah, orang-orang yang bertakwa akan bersemangat untuk meneladani dan mengikuti dirinya, serta mengambil manfaat dari bimbingan dan petunjuknya.Oleh karena itu, setiap muslim sepantasnya bersemangat untuk senantiasa mengamalkan dan sering melafalkan doa ini, agar ia memperoleh kebaikan besar yang terkandung di dalamnya.[Selesai]Kembali ke bagian 4 Mulai dari bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 23–29.


Daftar Isi ToggleMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranMengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaPerhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahMenjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaranAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (memberikan) persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Salah satu akhlak ‘ibadurrahman dan keindahan sifat mereka ialah bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari majelis yang dipenuhi kemungkaran, yang isinya hanyalah kebatilan dan ucapan yang Allah larang. Ini sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ“Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu, ..” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelisnya, tidak mendatanginya, dan tidak berkumpul bersama para pelakunya.Yang termasuk dalam cakupan ayat tersebut adalah majelis-majelis yang isinya hanya seputar maksiat dan dosa saja, seperti gosip (gibah), adu domba (namimah), mengejek atau merendahkan (kehormatan) orang lain, kedustaan, nyanyian, menampakkan atau mempertontonkan maksiat (terang-terangan), serta hal-hal keji lainnya yang seringkali ditayangkan di televisi, smartphone (HP), dan media lainnya.Termasuk juga dalam ayat di atas adalah majelis-majelis yang menggencarkan atau menyebarkan pemikiran sesat dan menyimpang, kerusakan pemikiran, dan amalan sesat yang biasanya dipopulerkan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Termasuk juga perayaan-perayaan orang-orang musyrik maupun acara khusus mereka. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, apalagi memberi ucapan selamat atau ikut bergembira dengan diadakannya perayaan itu.Maka, semua yang telah disebutkan di atas termasuk dalam maksud ayat tersebut. Oleh karenanya, para ulama salaf menafsirkan makna ‘az-zūr’ dalam berbagai macam ungkapan untuk menjelaskannya.Setelah menyebutkan berbagai macam pendapat mengenai ayat tersebut dari para salaf as-shalih, Al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,فأولى الأقوال بالصواب في تأويله أن يُقال: والذين لا يشهدون شيئًا من الباطل؛ لا شركًا، ولا غناءً، ولا كذبًا، ولا غيره، وكلُّ ما لَزِمَه اسمُ الزُّور؛ لأن الله عمَّ في وصفهم إيّاهم أنهم: لا يشهدون الزور“Pendapat yang paling tepat dalam menafsirkannya adalah bahwa yang dimaksudkan (ayat) itu adalah mereka tidak menghadiri sesuatu pun yang di dalamnya ada kebatilan, baik itu kesyirikan, nyanyian, kedustaan, atau semisalnya, serta segala sesuatu yang termasuk dalam makna ‘az-zūr’ (kepalsuan atau kebatilan). Karenanya, Allah menyebut mereka (hamba-hamba Ar-Rahman) dengan sifat tidak menghadiri ‘az-zūr’.” (Lihat Jāmi‘ al-Bayān, 17: 523)Hamba-hamba Ar-Rahman pastinya tidak mungkin menghadiri majelis-majelis tersebut dalam bentuk apa pun, dan yang paling utama ialah mereka tidak ingin terjatuh dalam (melakukan) kebatilan itu sendiri.Pada potongan ayat tersebut, Allah Ta’ala juga berfirman,وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)Maksudnya, mereka tidak bermaksud mendatanginya dan tidak pula sengaja mendekatinya. Akan tetapi, jika mereka kebetulan (terpaksa) melewati sebuah majelis yang penuh dengan kemungkaran atau kebatilan, maka mereka akan melewatinya dengan menjaga (kehormatan) diri darinya, tidak peduli dengannya, serta menjauhkan diri dari duduk bersama di dalamnya.Mengagungkan firman Allah dan mengamalkannyaAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sangatlah agung dan mulia di hati ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Ar-Rahman). Mereka tidak menolaknya maupun berpaling darinya, tetapi mereka justru mengagungkannya, memuliakannya, mendengarkannya dengan baik, dan mengambil manfaat darinya.Pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا“Mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)Maksudnya, pada saat mereka mendengarkan firman Allah, mereka tidak bersikap sebagaimana orang tuli yang tidak bisa mendengar, maupun orang buta yang tidak bisa melihat. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan baik (sungguh-sungguh), mengambil pelajaran (manfaat), lalu mengamalkan hukum dan petunjuk-Nya.Qatadah bin Di‘amah rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini,لَمْ يَصِمُّوا عَنِ الحَقِّ، ولَمْ يَعْمَوا فِيهِ، هُم قَومٌ عَقَلوا عن الله، فانتفعوا بما سَمِعوا من كتابِ الله“Mereka tidak menutup telinga dari kebenaran dan tidak berpura-pura buta terhadapnya. Mereka adalah orang-orang yang mau memahami ajaran Allah, sehingga bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir-nya, 8: 2740)Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bersikap menyombongkan diri terhadap ayat-ayat Allah dan petunjuk-Nya. Kesombongan tersebut akan menyeretnya kepada dosa sehingga ia terus-menerus berada dalam kebatilan. Allah mengancamnya dengan azab neraka Jahanam. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, kesombongan dirinya mendorongnya terus berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya neraka Jahanam, dan sungguh, neraka itu seburuk-buruknya tempat tinggal.” (QS. Al-Baqarah: 206)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللهَ، فَيَقُولُ: عَلَيْكَ نَفْسُك“Sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah saat seseorang berkata kepada yang lainnya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 10619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 2598)Perhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan AllahAllah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Furqan: 74)Di antara kesempurnaan sifat para hamba Ar-Rahman adalah perhatian mereka terhadap doa. Mereka sangat bergantung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya, kembali kepada-Nya, dan semua kebutuhan serta urusan agama maupun dunia mereka hanya mereka harapkan dari Allah Ta’ala semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.Kemudian ketika berdoa, mereka sangat bersemangat dalam berdoa dengan doa-doa yang penuh dengan faidah dan sangat bermanfaat. Misalnya, mereka berdoa,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)Doa ini termasuk doa yang paling lengkap (faidahnya) dan paling bermanfaat. Di dalamnya terkandung permohonan seorang hamba agar hatinya merasa bahagia (tenang dan nyaman) dengan keluarga yang saleh, yaitu pasangan dan anak-anak yang baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, kehidupan, senantiasa berbakti kepada orang tua, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.Kemudian, dalam doa mereka,وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”, mengandung permohonan agar diri mereka terlebih dulu dibenahi dan diperbaiki sehingga bisa menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain.Karena seseorang tidak akan bisa menjadi suri teladan dan pemimpin yang baik bagi orang-orang yang bertakwa, jika dirinya sendiri belum meneladani orang-orang bertakwa sebelum dirinya. Ia harus terlebih dulu menanamkan kebaikan pada dirinya, berusaha sungguh-sungguh meraih sifat-sifat yang baik dan mulia tersebut. Pada saat itulah, orang-orang yang bertakwa akan bersemangat untuk meneladani dan mengikuti dirinya, serta mengambil manfaat dari bimbingan dan petunjuknya.Oleh karena itu, setiap muslim sepantasnya bersemangat untuk senantiasa mengamalkan dan sering melafalkan doa ini, agar ia memperoleh kebaikan besar yang terkandung di dalamnya.[Selesai]Kembali ke bagian 4 Mulai dari bagian 1***Penerjemah: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 23–29.

Fikih Utang Piutang (Bag. 11): Hadiah dari Pengutang untuk Pemberi Utang

Daftar Isi ToggleHukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasBolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanTidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, masih terkait dengan “manfaat” yang ada pada akad utang piutang. Pembahasan sebelumnya terkait dengan utang yang mendatangkan keuntungan atau manfaat. Adapun pembahasan ini terkait dengan “hadiah” yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang dalam status utang belum lunas.Apakah dalam kurun waktu berjalannya akad utang piutang, diperbolehkan bagi pengutang untuk memberikan sesuatu berupa hadiah, manfaat, dan lain sebagainya kepada pemberi utang? Ataukah justru hal ini terlarang?Terkait dengan pembahasan ini, gambaran sederhananya adalah sebagaimana berikut ini:A memiliki utang kepada B sebesar Rp1.000.000. Dalam status utang masih berjalan, A memberikan hadiah kepada B dengan nominal yang tidak besar. Inilah yang dimaksud dengan memberi hadiah dalam status utang masih berjalan.Atau gambaran lain, yang sering terjadi yaitu:A menitip untuk dibelikan nasi goreng kepada B dengan cara “ditalangi”, artinya menggunakan uang B terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini, statusnya adalah utang. A berutang kepada B seharga nasi goreng tersebut. Sesampainya B di rumah, A pun langsung mengajak B untuk makan nasi goreng yang dibeli tersebut bersama A, sebelum A membayar utangnya. Maka manfaat yang diterima oleh B (berupa makan nasi goreng bareng A) hukumnya adalah tambahan dari utang tersebut.Hukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasSecara hukum asal, pengutang tidak diperbolehkan memberikan hadiah apapun selama utang masih berstatus belum dilunasi. Karena tidaklah hadiah diberikan kecuali karena adanya utang piutang tersebut, istilahnya “karena pemberi utang sudah berbuat baik” atau dalam rangka membalas kebaikan pemberi utang. Sehingga pengutang pun ingin membalasnya dengan memberikannya hadiah.Yang demikian ini tentunya tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah yang telah berlalu, bahwasanya setiap tambahan manfaat dari utang piutang, maka hukumnya adalah riba.Terkait dengan hal ini, terdapat hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا أَقرَضَ أَحَدُكُم قَرضاً، فَأَهدَى لَهُ، أَو حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَركَبُهَا وَلَا يَقبَلُهُ، إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Jika salah seorang dari kalian meminjamkan suatu pinjaman, kemudian pengutang memberikan kepadanya hadiah, atau (menawarkan) untuk membawanya di atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menunggangi hewannya dan menerimanya, kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Selain hadis ini, terdapat atsar yang lain dari para sahabat akan terlarangnya hal yang demikian. Sebagaimana dalam hadis Abu Burdah, beliau berkata, “Aku mendatangi Madinah, kemudian bertemu dengan Abdullah bin Salam radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau berkata,إِنَّكَ بِأَرضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهدَى إِلَيكَ حِملَ تِبنٍ، أَو حِملَ شَعِيرٍ، أَو حِملَ قَتٍّ ، فَلَا تَأخُذهُ فَإِنَّهُ رِبَا“Sesungguhnya engkau berada di negeri yang riba telah menyebar di dalamnya. Jika engkau memiliki piutang atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, atau satu muatan jelai (gandum), atau satu muatan rumput kering, jangan engkau menerimanya, karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)Sehingga hukum asalnya adalah pengutang tidak boleh memberikan hadiah atau yang semisalnya kepada pemberi utang, sebagaimana pula pemberi utang tidak boleh menerima pemberian hadiah atau yang semisalnya dari pengutang. Karena yang demikian termasuk riba.Bolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanDari hukum asal di atas, terdapat beberapa pengecualian berupa bolehnya memberikan hadiah ketika akad utang piutang sedang berlangsung. Hal seperti ini cukup banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam.Setidaknya terdapat tiga pengecualian diperbolehkannya pengutang memberikan hadiah kepada pemberi utang:Pertama, jika kebiasaan seperti itu (saling memberi hadiah) sudah terjadi sebelum akad utang piutang berlangsung. Maka hadiah tersebut boleh diterima, sebagaimana yang terdapat pada hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.”Seperti halnya teman dekat, sahabat, kerabat, keluarga yang sudah terbiasa saling memberi hadiah. Tatkala akad utang piutang sedang berjalan, maka tidak mengapa pihak pengutang memberikan hadiah dan boleh bagi pemberi utang untuk menerimanya. Karena hadiah di sini bukan lagi soal “tambahan atau manfaat”, namun karena kebiasaan antara kedua belah pihak yang telah berjalan sebelum adanya akad utang piutang.Kedua, jika pemberi pinjaman berniat untuk membalas hadiah itu dengan hal serupa yang bermanfaat bagi si pemberi hadiah (pengutang), maka boleh baginya menerimanya. Maksudnya, setelah pengutang memberikan hadiah, pemberi utang membalas kembali hadiah yang diberikan kepada pengutang.Ketiga, jika hadiah itu diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utangnya, maka hal inipun boleh diterima oleh pemberi utang. Yakni, pengutang menyampaikan bahwa hadiah itu seharga sekian, dan hadiah itu sebagai bentuk pembayaran dari sebagian utangnya.Sehingga kesimpulan dari pembahasan ini, memberikan hadiah dalam kondisi akad utang piutang sedang berlangsung, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa pengecualian dari hukum asal ini, artinya boleh dalam beberapa keadaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 10 Lanjut ke bagian 12***Depok, 25 Rabi’ul akhir 1447/ 18 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar.

Fikih Utang Piutang (Bag. 11): Hadiah dari Pengutang untuk Pemberi Utang

Daftar Isi ToggleHukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasBolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanTidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, masih terkait dengan “manfaat” yang ada pada akad utang piutang. Pembahasan sebelumnya terkait dengan utang yang mendatangkan keuntungan atau manfaat. Adapun pembahasan ini terkait dengan “hadiah” yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang dalam status utang belum lunas.Apakah dalam kurun waktu berjalannya akad utang piutang, diperbolehkan bagi pengutang untuk memberikan sesuatu berupa hadiah, manfaat, dan lain sebagainya kepada pemberi utang? Ataukah justru hal ini terlarang?Terkait dengan pembahasan ini, gambaran sederhananya adalah sebagaimana berikut ini:A memiliki utang kepada B sebesar Rp1.000.000. Dalam status utang masih berjalan, A memberikan hadiah kepada B dengan nominal yang tidak besar. Inilah yang dimaksud dengan memberi hadiah dalam status utang masih berjalan.Atau gambaran lain, yang sering terjadi yaitu:A menitip untuk dibelikan nasi goreng kepada B dengan cara “ditalangi”, artinya menggunakan uang B terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini, statusnya adalah utang. A berutang kepada B seharga nasi goreng tersebut. Sesampainya B di rumah, A pun langsung mengajak B untuk makan nasi goreng yang dibeli tersebut bersama A, sebelum A membayar utangnya. Maka manfaat yang diterima oleh B (berupa makan nasi goreng bareng A) hukumnya adalah tambahan dari utang tersebut.Hukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasSecara hukum asal, pengutang tidak diperbolehkan memberikan hadiah apapun selama utang masih berstatus belum dilunasi. Karena tidaklah hadiah diberikan kecuali karena adanya utang piutang tersebut, istilahnya “karena pemberi utang sudah berbuat baik” atau dalam rangka membalas kebaikan pemberi utang. Sehingga pengutang pun ingin membalasnya dengan memberikannya hadiah.Yang demikian ini tentunya tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah yang telah berlalu, bahwasanya setiap tambahan manfaat dari utang piutang, maka hukumnya adalah riba.Terkait dengan hal ini, terdapat hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا أَقرَضَ أَحَدُكُم قَرضاً، فَأَهدَى لَهُ، أَو حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَركَبُهَا وَلَا يَقبَلُهُ، إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Jika salah seorang dari kalian meminjamkan suatu pinjaman, kemudian pengutang memberikan kepadanya hadiah, atau (menawarkan) untuk membawanya di atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menunggangi hewannya dan menerimanya, kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Selain hadis ini, terdapat atsar yang lain dari para sahabat akan terlarangnya hal yang demikian. Sebagaimana dalam hadis Abu Burdah, beliau berkata, “Aku mendatangi Madinah, kemudian bertemu dengan Abdullah bin Salam radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau berkata,إِنَّكَ بِأَرضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهدَى إِلَيكَ حِملَ تِبنٍ، أَو حِملَ شَعِيرٍ، أَو حِملَ قَتٍّ ، فَلَا تَأخُذهُ فَإِنَّهُ رِبَا“Sesungguhnya engkau berada di negeri yang riba telah menyebar di dalamnya. Jika engkau memiliki piutang atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, atau satu muatan jelai (gandum), atau satu muatan rumput kering, jangan engkau menerimanya, karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)Sehingga hukum asalnya adalah pengutang tidak boleh memberikan hadiah atau yang semisalnya kepada pemberi utang, sebagaimana pula pemberi utang tidak boleh menerima pemberian hadiah atau yang semisalnya dari pengutang. Karena yang demikian termasuk riba.Bolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanDari hukum asal di atas, terdapat beberapa pengecualian berupa bolehnya memberikan hadiah ketika akad utang piutang sedang berlangsung. Hal seperti ini cukup banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam.Setidaknya terdapat tiga pengecualian diperbolehkannya pengutang memberikan hadiah kepada pemberi utang:Pertama, jika kebiasaan seperti itu (saling memberi hadiah) sudah terjadi sebelum akad utang piutang berlangsung. Maka hadiah tersebut boleh diterima, sebagaimana yang terdapat pada hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.”Seperti halnya teman dekat, sahabat, kerabat, keluarga yang sudah terbiasa saling memberi hadiah. Tatkala akad utang piutang sedang berjalan, maka tidak mengapa pihak pengutang memberikan hadiah dan boleh bagi pemberi utang untuk menerimanya. Karena hadiah di sini bukan lagi soal “tambahan atau manfaat”, namun karena kebiasaan antara kedua belah pihak yang telah berjalan sebelum adanya akad utang piutang.Kedua, jika pemberi pinjaman berniat untuk membalas hadiah itu dengan hal serupa yang bermanfaat bagi si pemberi hadiah (pengutang), maka boleh baginya menerimanya. Maksudnya, setelah pengutang memberikan hadiah, pemberi utang membalas kembali hadiah yang diberikan kepada pengutang.Ketiga, jika hadiah itu diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utangnya, maka hal inipun boleh diterima oleh pemberi utang. Yakni, pengutang menyampaikan bahwa hadiah itu seharga sekian, dan hadiah itu sebagai bentuk pembayaran dari sebagian utangnya.Sehingga kesimpulan dari pembahasan ini, memberikan hadiah dalam kondisi akad utang piutang sedang berlangsung, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa pengecualian dari hukum asal ini, artinya boleh dalam beberapa keadaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 10 Lanjut ke bagian 12***Depok, 25 Rabi’ul akhir 1447/ 18 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar.
Daftar Isi ToggleHukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasBolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanTidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, masih terkait dengan “manfaat” yang ada pada akad utang piutang. Pembahasan sebelumnya terkait dengan utang yang mendatangkan keuntungan atau manfaat. Adapun pembahasan ini terkait dengan “hadiah” yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang dalam status utang belum lunas.Apakah dalam kurun waktu berjalannya akad utang piutang, diperbolehkan bagi pengutang untuk memberikan sesuatu berupa hadiah, manfaat, dan lain sebagainya kepada pemberi utang? Ataukah justru hal ini terlarang?Terkait dengan pembahasan ini, gambaran sederhananya adalah sebagaimana berikut ini:A memiliki utang kepada B sebesar Rp1.000.000. Dalam status utang masih berjalan, A memberikan hadiah kepada B dengan nominal yang tidak besar. Inilah yang dimaksud dengan memberi hadiah dalam status utang masih berjalan.Atau gambaran lain, yang sering terjadi yaitu:A menitip untuk dibelikan nasi goreng kepada B dengan cara “ditalangi”, artinya menggunakan uang B terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini, statusnya adalah utang. A berutang kepada B seharga nasi goreng tersebut. Sesampainya B di rumah, A pun langsung mengajak B untuk makan nasi goreng yang dibeli tersebut bersama A, sebelum A membayar utangnya. Maka manfaat yang diterima oleh B (berupa makan nasi goreng bareng A) hukumnya adalah tambahan dari utang tersebut.Hukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasSecara hukum asal, pengutang tidak diperbolehkan memberikan hadiah apapun selama utang masih berstatus belum dilunasi. Karena tidaklah hadiah diberikan kecuali karena adanya utang piutang tersebut, istilahnya “karena pemberi utang sudah berbuat baik” atau dalam rangka membalas kebaikan pemberi utang. Sehingga pengutang pun ingin membalasnya dengan memberikannya hadiah.Yang demikian ini tentunya tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah yang telah berlalu, bahwasanya setiap tambahan manfaat dari utang piutang, maka hukumnya adalah riba.Terkait dengan hal ini, terdapat hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا أَقرَضَ أَحَدُكُم قَرضاً، فَأَهدَى لَهُ، أَو حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَركَبُهَا وَلَا يَقبَلُهُ، إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Jika salah seorang dari kalian meminjamkan suatu pinjaman, kemudian pengutang memberikan kepadanya hadiah, atau (menawarkan) untuk membawanya di atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menunggangi hewannya dan menerimanya, kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Selain hadis ini, terdapat atsar yang lain dari para sahabat akan terlarangnya hal yang demikian. Sebagaimana dalam hadis Abu Burdah, beliau berkata, “Aku mendatangi Madinah, kemudian bertemu dengan Abdullah bin Salam radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau berkata,إِنَّكَ بِأَرضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهدَى إِلَيكَ حِملَ تِبنٍ، أَو حِملَ شَعِيرٍ، أَو حِملَ قَتٍّ ، فَلَا تَأخُذهُ فَإِنَّهُ رِبَا“Sesungguhnya engkau berada di negeri yang riba telah menyebar di dalamnya. Jika engkau memiliki piutang atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, atau satu muatan jelai (gandum), atau satu muatan rumput kering, jangan engkau menerimanya, karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)Sehingga hukum asalnya adalah pengutang tidak boleh memberikan hadiah atau yang semisalnya kepada pemberi utang, sebagaimana pula pemberi utang tidak boleh menerima pemberian hadiah atau yang semisalnya dari pengutang. Karena yang demikian termasuk riba.Bolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanDari hukum asal di atas, terdapat beberapa pengecualian berupa bolehnya memberikan hadiah ketika akad utang piutang sedang berlangsung. Hal seperti ini cukup banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam.Setidaknya terdapat tiga pengecualian diperbolehkannya pengutang memberikan hadiah kepada pemberi utang:Pertama, jika kebiasaan seperti itu (saling memberi hadiah) sudah terjadi sebelum akad utang piutang berlangsung. Maka hadiah tersebut boleh diterima, sebagaimana yang terdapat pada hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.”Seperti halnya teman dekat, sahabat, kerabat, keluarga yang sudah terbiasa saling memberi hadiah. Tatkala akad utang piutang sedang berjalan, maka tidak mengapa pihak pengutang memberikan hadiah dan boleh bagi pemberi utang untuk menerimanya. Karena hadiah di sini bukan lagi soal “tambahan atau manfaat”, namun karena kebiasaan antara kedua belah pihak yang telah berjalan sebelum adanya akad utang piutang.Kedua, jika pemberi pinjaman berniat untuk membalas hadiah itu dengan hal serupa yang bermanfaat bagi si pemberi hadiah (pengutang), maka boleh baginya menerimanya. Maksudnya, setelah pengutang memberikan hadiah, pemberi utang membalas kembali hadiah yang diberikan kepada pengutang.Ketiga, jika hadiah itu diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utangnya, maka hal inipun boleh diterima oleh pemberi utang. Yakni, pengutang menyampaikan bahwa hadiah itu seharga sekian, dan hadiah itu sebagai bentuk pembayaran dari sebagian utangnya.Sehingga kesimpulan dari pembahasan ini, memberikan hadiah dalam kondisi akad utang piutang sedang berlangsung, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa pengecualian dari hukum asal ini, artinya boleh dalam beberapa keadaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 10 Lanjut ke bagian 12***Depok, 25 Rabi’ul akhir 1447/ 18 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar.


Daftar Isi ToggleHukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasBolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanTidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, masih terkait dengan “manfaat” yang ada pada akad utang piutang. Pembahasan sebelumnya terkait dengan utang yang mendatangkan keuntungan atau manfaat. Adapun pembahasan ini terkait dengan “hadiah” yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang dalam status utang belum lunas.Apakah dalam kurun waktu berjalannya akad utang piutang, diperbolehkan bagi pengutang untuk memberikan sesuatu berupa hadiah, manfaat, dan lain sebagainya kepada pemberi utang? Ataukah justru hal ini terlarang?Terkait dengan pembahasan ini, gambaran sederhananya adalah sebagaimana berikut ini:A memiliki utang kepada B sebesar Rp1.000.000. Dalam status utang masih berjalan, A memberikan hadiah kepada B dengan nominal yang tidak besar. Inilah yang dimaksud dengan memberi hadiah dalam status utang masih berjalan.Atau gambaran lain, yang sering terjadi yaitu:A menitip untuk dibelikan nasi goreng kepada B dengan cara “ditalangi”, artinya menggunakan uang B terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini, statusnya adalah utang. A berutang kepada B seharga nasi goreng tersebut. Sesampainya B di rumah, A pun langsung mengajak B untuk makan nasi goreng yang dibeli tersebut bersama A, sebelum A membayar utangnya. Maka manfaat yang diterima oleh B (berupa makan nasi goreng bareng A) hukumnya adalah tambahan dari utang tersebut.Hukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunasSecara hukum asal, pengutang tidak diperbolehkan memberikan hadiah apapun selama utang masih berstatus belum dilunasi. Karena tidaklah hadiah diberikan kecuali karena adanya utang piutang tersebut, istilahnya “karena pemberi utang sudah berbuat baik” atau dalam rangka membalas kebaikan pemberi utang. Sehingga pengutang pun ingin membalasnya dengan memberikannya hadiah.Yang demikian ini tentunya tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah yang telah berlalu, bahwasanya setiap tambahan manfaat dari utang piutang, maka hukumnya adalah riba.Terkait dengan hal ini, terdapat hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا أَقرَضَ أَحَدُكُم قَرضاً، فَأَهدَى لَهُ، أَو حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَركَبُهَا وَلَا يَقبَلُهُ، إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Jika salah seorang dari kalian meminjamkan suatu pinjaman, kemudian pengutang memberikan kepadanya hadiah, atau (menawarkan) untuk membawanya di atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menunggangi hewannya dan menerimanya, kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Selain hadis ini, terdapat atsar yang lain dari para sahabat akan terlarangnya hal yang demikian. Sebagaimana dalam hadis Abu Burdah, beliau berkata, “Aku mendatangi Madinah, kemudian bertemu dengan Abdullah bin Salam radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau berkata,إِنَّكَ بِأَرضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهدَى إِلَيكَ حِملَ تِبنٍ، أَو حِملَ شَعِيرٍ، أَو حِملَ قَتٍّ ، فَلَا تَأخُذهُ فَإِنَّهُ رِبَا“Sesungguhnya engkau berada di negeri yang riba telah menyebar di dalamnya. Jika engkau memiliki piutang atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, atau satu muatan jelai (gandum), atau satu muatan rumput kering, jangan engkau menerimanya, karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)Sehingga hukum asalnya adalah pengutang tidak boleh memberikan hadiah atau yang semisalnya kepada pemberi utang, sebagaimana pula pemberi utang tidak boleh menerima pemberian hadiah atau yang semisalnya dari pengutang. Karena yang demikian termasuk riba.Bolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaanDari hukum asal di atas, terdapat beberapa pengecualian berupa bolehnya memberikan hadiah ketika akad utang piutang sedang berlangsung. Hal seperti ini cukup banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam.Setidaknya terdapat tiga pengecualian diperbolehkannya pengutang memberikan hadiah kepada pemberi utang:Pertama, jika kebiasaan seperti itu (saling memberi hadiah) sudah terjadi sebelum akad utang piutang berlangsung. Maka hadiah tersebut boleh diterima, sebagaimana yang terdapat pada hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ“Kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.”Seperti halnya teman dekat, sahabat, kerabat, keluarga yang sudah terbiasa saling memberi hadiah. Tatkala akad utang piutang sedang berjalan, maka tidak mengapa pihak pengutang memberikan hadiah dan boleh bagi pemberi utang untuk menerimanya. Karena hadiah di sini bukan lagi soal “tambahan atau manfaat”, namun karena kebiasaan antara kedua belah pihak yang telah berjalan sebelum adanya akad utang piutang.Kedua, jika pemberi pinjaman berniat untuk membalas hadiah itu dengan hal serupa yang bermanfaat bagi si pemberi hadiah (pengutang), maka boleh baginya menerimanya. Maksudnya, setelah pengutang memberikan hadiah, pemberi utang membalas kembali hadiah yang diberikan kepada pengutang.Ketiga, jika hadiah itu diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utangnya, maka hal inipun boleh diterima oleh pemberi utang. Yakni, pengutang menyampaikan bahwa hadiah itu seharga sekian, dan hadiah itu sebagai bentuk pembayaran dari sebagian utangnya.Sehingga kesimpulan dari pembahasan ini, memberikan hadiah dalam kondisi akad utang piutang sedang berlangsung, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa pengecualian dari hukum asal ini, artinya boleh dalam beberapa keadaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 10 Lanjut ke bagian 12***Depok, 25 Rabi’ul akhir 1447/ 18 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar.

Membaca atau Mendengar Al-Qur’an, Mana yang Lebih Banyak Pahalanya? – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Apakah pahala mendengarkan bacaan Al-Qur’an sama dengan pahala membacanya? Yang tampak (dari dalil-dalilnya) adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah, baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali.” (HR. At-Tirmidzi). Namun, mendengarkan bacaan Al-Qur’an juga memiliki keutamaan dan pahala tersendiri. Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mendengarkan Al-Qur’an dapat menambah keimanan. “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya.” (QS. Al-Anfal: 2). Namun pahala orang yang mendengar bacaan Al-Quran lebih sedikit daripada pahala orang yang membacanya. Di antara dalilnya adalah bahwa mayoritas tuntunan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam adalah membaca Al-Qur’an, sedangkan tuntunan beliau dalam mendengarkan bacaan orang lain hanya sedikit. Seandainya pahalanya sama, niscaya tuntunan mendengarkan bacaan orang lain tidak akan sedikit. Selain itu, tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa pahala mendengarkan Al-Qur’an setara dengan pahala membacanya. Maka, pendapat yang lebih kuat adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Meski demikian, seorang Muslim tetap memperoleh pahala ketika mendengarkan Al-Qur’an, dan hal itu termasuk sebab bertambahnya keimanan. Maka, hendaklah seorang Muslim memvariasikan kedua aktivitas ini. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah untukku!” Ibnu Mas‘ud berkata, “Aku membacakan untukmu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Seakan-akan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam suka mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain ketika itu. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah memvariasikan: membaca Al-Qur’an, dan inilah yang lebih banyak dilakukan, sebagaimana yang paling banyak dilakukan oleh Nabi ‘alaihis shalatu wassalam. Namun, terkadang juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. ===== هَلْ أَجْرُ الِاسْتِمَاعِ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ مِثْلُ أَجْرِ تِلَاوَتِهِ؟ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ أَجْرَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَكِنْ الِاسْتِمَاعُ فِيهِ فَضْلٌ وَأَجْرٌ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا أَخْبَرَ بِأَنَّ الِاسْتِمَاعَ لِلْقُرْآنِ أَنَّهُ يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا لَكِنَّ أَجْرَ وَثَوَابَ الْمُسْتَمِعِ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَجْرِ وَثَوَابِ الْقَارِئِ وَمِمَّا يَدُلُّ لِهَذَا أَنَّ غَالِبَ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هُوَ التِّلَاوَةُ التِّلَاوَةُ وَأَمَّا اسْتِمَاعُهُ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ قَلِيلٌ وَلَوْ كَانَ الْأَجْرُ وَاحِدًا لَمَا كَانَ الِاسْتِمَاعُ قَلِيلًا ثُمَّ أَيْضًا هُوَ لَا يُوجَدُ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ثَوَابَ الِاسْتِمَاعِ يُعَادِلُ أَجْرَ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا وَثَوَابًا وَالِاسْتِمَاعُ أَيْضًا يُؤْجَرُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَهُوَ مِمَّا يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَالَّذِي يَنْبَغِي أَنَّ الْمُسْلِمَ يُنَوِّعُ وَلِهَذَا لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي كَأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَحَبَّ أَنْ يَسْتَمِعَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ فَالَّذِي يَنْبَغِي هُوَ التَّنْوِيْعُ يَعْنِي يَتْلُو القُرْآنَ وَيَكُونُ هَذَا هُوَ الْغَالِبُ كَمَا كَانَ هُوَ الْغَالِبُ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَكِنْ يَسْتَمِعُ أَحْيَانًا لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ مِنْ غَيْرِهِ

Membaca atau Mendengar Al-Qur’an, Mana yang Lebih Banyak Pahalanya? – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Apakah pahala mendengarkan bacaan Al-Qur’an sama dengan pahala membacanya? Yang tampak (dari dalil-dalilnya) adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah, baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali.” (HR. At-Tirmidzi). Namun, mendengarkan bacaan Al-Qur’an juga memiliki keutamaan dan pahala tersendiri. Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mendengarkan Al-Qur’an dapat menambah keimanan. “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya.” (QS. Al-Anfal: 2). Namun pahala orang yang mendengar bacaan Al-Quran lebih sedikit daripada pahala orang yang membacanya. Di antara dalilnya adalah bahwa mayoritas tuntunan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam adalah membaca Al-Qur’an, sedangkan tuntunan beliau dalam mendengarkan bacaan orang lain hanya sedikit. Seandainya pahalanya sama, niscaya tuntunan mendengarkan bacaan orang lain tidak akan sedikit. Selain itu, tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa pahala mendengarkan Al-Qur’an setara dengan pahala membacanya. Maka, pendapat yang lebih kuat adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Meski demikian, seorang Muslim tetap memperoleh pahala ketika mendengarkan Al-Qur’an, dan hal itu termasuk sebab bertambahnya keimanan. Maka, hendaklah seorang Muslim memvariasikan kedua aktivitas ini. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah untukku!” Ibnu Mas‘ud berkata, “Aku membacakan untukmu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Seakan-akan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam suka mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain ketika itu. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah memvariasikan: membaca Al-Qur’an, dan inilah yang lebih banyak dilakukan, sebagaimana yang paling banyak dilakukan oleh Nabi ‘alaihis shalatu wassalam. Namun, terkadang juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. ===== هَلْ أَجْرُ الِاسْتِمَاعِ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ مِثْلُ أَجْرِ تِلَاوَتِهِ؟ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ أَجْرَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَكِنْ الِاسْتِمَاعُ فِيهِ فَضْلٌ وَأَجْرٌ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا أَخْبَرَ بِأَنَّ الِاسْتِمَاعَ لِلْقُرْآنِ أَنَّهُ يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا لَكِنَّ أَجْرَ وَثَوَابَ الْمُسْتَمِعِ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَجْرِ وَثَوَابِ الْقَارِئِ وَمِمَّا يَدُلُّ لِهَذَا أَنَّ غَالِبَ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هُوَ التِّلَاوَةُ التِّلَاوَةُ وَأَمَّا اسْتِمَاعُهُ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ قَلِيلٌ وَلَوْ كَانَ الْأَجْرُ وَاحِدًا لَمَا كَانَ الِاسْتِمَاعُ قَلِيلًا ثُمَّ أَيْضًا هُوَ لَا يُوجَدُ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ثَوَابَ الِاسْتِمَاعِ يُعَادِلُ أَجْرَ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا وَثَوَابًا وَالِاسْتِمَاعُ أَيْضًا يُؤْجَرُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَهُوَ مِمَّا يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَالَّذِي يَنْبَغِي أَنَّ الْمُسْلِمَ يُنَوِّعُ وَلِهَذَا لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي كَأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَحَبَّ أَنْ يَسْتَمِعَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ فَالَّذِي يَنْبَغِي هُوَ التَّنْوِيْعُ يَعْنِي يَتْلُو القُرْآنَ وَيَكُونُ هَذَا هُوَ الْغَالِبُ كَمَا كَانَ هُوَ الْغَالِبُ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَكِنْ يَسْتَمِعُ أَحْيَانًا لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ مِنْ غَيْرِهِ
Apakah pahala mendengarkan bacaan Al-Qur’an sama dengan pahala membacanya? Yang tampak (dari dalil-dalilnya) adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah, baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali.” (HR. At-Tirmidzi). Namun, mendengarkan bacaan Al-Qur’an juga memiliki keutamaan dan pahala tersendiri. Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mendengarkan Al-Qur’an dapat menambah keimanan. “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya.” (QS. Al-Anfal: 2). Namun pahala orang yang mendengar bacaan Al-Quran lebih sedikit daripada pahala orang yang membacanya. Di antara dalilnya adalah bahwa mayoritas tuntunan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam adalah membaca Al-Qur’an, sedangkan tuntunan beliau dalam mendengarkan bacaan orang lain hanya sedikit. Seandainya pahalanya sama, niscaya tuntunan mendengarkan bacaan orang lain tidak akan sedikit. Selain itu, tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa pahala mendengarkan Al-Qur’an setara dengan pahala membacanya. Maka, pendapat yang lebih kuat adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Meski demikian, seorang Muslim tetap memperoleh pahala ketika mendengarkan Al-Qur’an, dan hal itu termasuk sebab bertambahnya keimanan. Maka, hendaklah seorang Muslim memvariasikan kedua aktivitas ini. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah untukku!” Ibnu Mas‘ud berkata, “Aku membacakan untukmu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Seakan-akan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam suka mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain ketika itu. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah memvariasikan: membaca Al-Qur’an, dan inilah yang lebih banyak dilakukan, sebagaimana yang paling banyak dilakukan oleh Nabi ‘alaihis shalatu wassalam. Namun, terkadang juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. ===== هَلْ أَجْرُ الِاسْتِمَاعِ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ مِثْلُ أَجْرِ تِلَاوَتِهِ؟ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ أَجْرَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَكِنْ الِاسْتِمَاعُ فِيهِ فَضْلٌ وَأَجْرٌ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا أَخْبَرَ بِأَنَّ الِاسْتِمَاعَ لِلْقُرْآنِ أَنَّهُ يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا لَكِنَّ أَجْرَ وَثَوَابَ الْمُسْتَمِعِ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَجْرِ وَثَوَابِ الْقَارِئِ وَمِمَّا يَدُلُّ لِهَذَا أَنَّ غَالِبَ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هُوَ التِّلَاوَةُ التِّلَاوَةُ وَأَمَّا اسْتِمَاعُهُ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ قَلِيلٌ وَلَوْ كَانَ الْأَجْرُ وَاحِدًا لَمَا كَانَ الِاسْتِمَاعُ قَلِيلًا ثُمَّ أَيْضًا هُوَ لَا يُوجَدُ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ثَوَابَ الِاسْتِمَاعِ يُعَادِلُ أَجْرَ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا وَثَوَابًا وَالِاسْتِمَاعُ أَيْضًا يُؤْجَرُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَهُوَ مِمَّا يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَالَّذِي يَنْبَغِي أَنَّ الْمُسْلِمَ يُنَوِّعُ وَلِهَذَا لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي كَأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَحَبَّ أَنْ يَسْتَمِعَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ فَالَّذِي يَنْبَغِي هُوَ التَّنْوِيْعُ يَعْنِي يَتْلُو القُرْآنَ وَيَكُونُ هَذَا هُوَ الْغَالِبُ كَمَا كَانَ هُوَ الْغَالِبُ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَكِنْ يَسْتَمِعُ أَحْيَانًا لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ مِنْ غَيْرِهِ


Apakah pahala mendengarkan bacaan Al-Qur’an sama dengan pahala membacanya? Yang tampak (dari dalil-dalilnya) adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah, baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali.” (HR. At-Tirmidzi). Namun, mendengarkan bacaan Al-Qur’an juga memiliki keutamaan dan pahala tersendiri. Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mendengarkan Al-Qur’an dapat menambah keimanan. “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya.” (QS. Al-Anfal: 2). Namun pahala orang yang mendengar bacaan Al-Quran lebih sedikit daripada pahala orang yang membacanya. Di antara dalilnya adalah bahwa mayoritas tuntunan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam adalah membaca Al-Qur’an, sedangkan tuntunan beliau dalam mendengarkan bacaan orang lain hanya sedikit. Seandainya pahalanya sama, niscaya tuntunan mendengarkan bacaan orang lain tidak akan sedikit. Selain itu, tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa pahala mendengarkan Al-Qur’an setara dengan pahala membacanya. Maka, pendapat yang lebih kuat adalah pahala membaca Al-Qur’an lebih besar. Meski demikian, seorang Muslim tetap memperoleh pahala ketika mendengarkan Al-Qur’an, dan hal itu termasuk sebab bertambahnya keimanan. Maka, hendaklah seorang Muslim memvariasikan kedua aktivitas ini. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah untukku!” Ibnu Mas‘ud berkata, “Aku membacakan untukmu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Seakan-akan Nabi ‘alaihis shalatu wassalam suka mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain ketika itu. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah memvariasikan: membaca Al-Qur’an, dan inilah yang lebih banyak dilakukan, sebagaimana yang paling banyak dilakukan oleh Nabi ‘alaihis shalatu wassalam. Namun, terkadang juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. ===== هَلْ أَجْرُ الِاسْتِمَاعِ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ مِثْلُ أَجْرِ تِلَاوَتِهِ؟ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ أَجْرَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَكِنْ الِاسْتِمَاعُ فِيهِ فَضْلٌ وَأَجْرٌ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا أَخْبَرَ بِأَنَّ الِاسْتِمَاعَ لِلْقُرْآنِ أَنَّهُ يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا لَكِنَّ أَجْرَ وَثَوَابَ الْمُسْتَمِعِ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَجْرِ وَثَوَابِ الْقَارِئِ وَمِمَّا يَدُلُّ لِهَذَا أَنَّ غَالِبَ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هُوَ التِّلَاوَةُ التِّلَاوَةُ وَأَمَّا اسْتِمَاعُهُ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ قَلِيلٌ وَلَوْ كَانَ الْأَجْرُ وَاحِدًا لَمَا كَانَ الِاسْتِمَاعُ قَلِيلًا ثُمَّ أَيْضًا هُوَ لَا يُوجَدُ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ثَوَابَ الِاسْتِمَاعِ يُعَادِلُ أَجْرَ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا وَثَوَابًا وَالِاسْتِمَاعُ أَيْضًا يُؤْجَرُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَهُوَ مِمَّا يَزِيدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَالَّذِي يَنْبَغِي أَنَّ الْمُسْلِمَ يُنَوِّعُ وَلِهَذَا لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي كَأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَحَبَّ أَنْ يَسْتَمِعَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لِلتِّلَاوَةِ مِنْ غَيْرِهِ فَالَّذِي يَنْبَغِي هُوَ التَّنْوِيْعُ يَعْنِي يَتْلُو القُرْآنَ وَيَكُونُ هَذَا هُوَ الْغَالِبُ كَمَا كَانَ هُوَ الْغَالِبُ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَكِنْ يَسْتَمِعُ أَحْيَانًا لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ مِنْ غَيْرِهِ

Penjelasan Makna Kalimat: Laa ilaha illallah

(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 197 times, 1 visit(s) today Post Views: 131 QRIS donasi Yufid

Penjelasan Makna Kalimat: Laa ilaha illallah

(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 197 times, 1 visit(s) today Post Views: 131 QRIS donasi Yufid
(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 197 times, 1 visit(s) today Post Views: 131 QRIS donasi Yufid


(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 197 times, 1 visit(s) today Post Views: 131 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Sunnah saat Hujan Turun: Buka Kepala & Ucapkan Doa Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

Sunnah saat Hujan Turun: Buka Kepala & Ucapkan Doa Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ


Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

Mau Cita-Citamu Terwujud? Usaha + Amal + Harapan kepada Allah – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf

“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ

Mau Cita-Citamu Terwujud? Usaha + Amal + Harapan kepada Allah – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf

“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ
“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ


“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ
Prev     Next