Cara Kirim Salam yang Benar Kepada Nabi – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا

Cara Kirim Salam yang Benar Kepada Nabi – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا
Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا


Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا

Teks Khotbah Jumat: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat sekalian.Segala puji bagi Allah Ta’ala, Dzat yang kita memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.Wahai kaum Muslimin sekalian,Hidup ini hanyalah rangkaian waktu yang datang dan pergi, mereka yang beruntung adalah yang mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu yang ada sebelum terlewatkan. Tiada cara terbaik untuk memanfaatkan waktu kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa tiada sesuatu yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala melebihi salatnya.Wahai hamba Allah, salat adalah pilar utama agama Islam, kewajiban agung yang Allah tetapkan atas seluruh kaum Muslimin, dan ia adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafat.Salat, wahai orang-orang yang dimuliakan Allah, adalah kunci ketenangan dan keberuntungan jiwa. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengarkan firman Allah Ta’ala, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)Salat, wahai jemaah sekalian, juga merupakan cahaya penerang bagi hati, kelapangan bagi dada, keberkahan bagi umur, serrta mendatangkan kelapangan pada rezeki kita. Renungkanlah kisah Maryam dengan Nabi Zakaria,كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran: 37)Lihatlah bagaimana Allah meluaskan rezeki kepada Maryam tatkala ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Allah akan senantiasa menolong hamba tersebut dan memudahkan hamba tersebut.Salat, wahai hamba Allah, akan menghapus dosa-dosa kita. Allah berfirman,وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّـيّئَـٰتِ ذٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّكِرِينَ“Dirikanlah salat pada dua tepi siang dan pada waktu-waktu malam yang dekat darinya. Sesungguhnya amal-amal yang baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mengingat Allah.” (QS. Hud: 114)Bahkan saat kita sedang merasa sempit, bingung, dilema, merasa berat menghadapi berbagai permasalahan dan cobaan, maka salat adalah sebaik-baik penenang dan obat dari semua itu. Rasulullah tatkala merasa sempit atas ujian yang beliau hadapi dalam berdakwah, maka Allah Ta’ala memerintahkannya untuk salat.وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ “Kami sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah termasuk orang-orang yang bersujud.” (QS. Al-Hijr: 97-98)Karenanya, setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi persoalan berat, beliau segera menunaikan salat. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh sabahat Huzaifah Ibnu Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا حزَبه أمرٌ صلَّى“(Menjadi kebiasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila ada sesuatu yang membuatnya khawatir, beliau mendirikan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan Ahmad no. 23299)Salah seorang sahabat Nabi dari Kabilah Khuzaah bercerita bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا بلالُ أقمِ الصلاةَ وأرِحْنا بها“Wahai Bilal, dirikanlah salat (kumandangkan ikamah salat), istirahatkan kami dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 4985. Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwat no. 1209 mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Salat memiliki rasa yang manis dan kenikmatan mendalam, sebuah telaga yang sejuk untuk beristirahat dari lelah dan sibuknya urusan duniawi. Barang siapa yang tidak merasakan manis dan sejuknya ibadah salat, maka sungguh ia terhalang dari kenikmatan yang besar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ“Dan dijadikan penyejuk mataku dalam salat.” (HR. An-Nasa’i no. 3939)Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Carilah kenikmatan dalam tiga hal: dalam salat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam zikir. Jika kalian menemukannya, maka teruslah (dalam perbuatan tersebut) dan bergembiralah. Jika engkau tidak menemukannya, ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.” (Hilyatu Al-Aulia, 6: 171)Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah menjelaskan bahwa apabila diri kita tidak mendapati manisnya beramal saleh, belum bisa menikmati manisnya salat, masih bermalas-malasan di dalam melaksanakannya, maka pasti ada yang salah dan keliru dalam proses pelaksanaannya. Entah itu niat kita yang masih belum tepat, kekhusyukan yang belum terwujud, wudu yang belum sempurna, banyak bergerak dan kekurangan kekurangan lainnya. Itulah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu.Pertanyaannya wahai jemaah sekalian,Sudahkah kita merasakan kenikmatan pada salat-salat kita yang telah lalu? Apakah kita memperhatikan syarat, rukun, dan adabnya? Bagaimana khusyuk dan ketenangan kita di dalamnya?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seseorang yang pernah salat di belakang beliau dengan salat yang buruk dan tidak khusyuk,يا فلانُ ، ألا تُحسِنُ صلاتَكَ ؟ ألا ينظرُ المصلِّي كيفَ يصلِّي لنفسِهِ“Wahai fulan, tidakkah engkau memperbagus salatmu? Hendaknya seorang yang salat melihat bagaimana dia salat untuk dirinya sendiri?” (HR. An-Nasa’i no. 872)Sungguh tidak ada yang membutuhkan salat kita melebihi diri kita sendiri, tidaklah kita melaksanakan salat kecuali pahalanya akan kembali kepada kita sendiri.Mari kita perbaiki kembali ibadah salat kita. Kita hadirkan keikhlasan dan kekhusyukan di dalamnya, kita kerjakan semua rukun, wajib, dan sunahnya. Sehingga salat kita diterima oleh Allah Ta’ala.أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُWahai hamba Allah,Kedudukan kita di sisi Allah bergantung pada kualitas salat kita. Wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memperhatikan salatnya, karena ia adalah amal terbaik dan tiang utama agama seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ“Beristikamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah salat; dan tidak ada yang menjaga wudu, kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah no. 279 dan At-Thabrani, 8: 352. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)Salat adalah tolak ukur kebaikan seorang muslim. Jika baik salatnya, maka baik pula amal ibadah lainnya. Sebaliknya, jika buruk salatnya, maka buruk pula seluruh ibadah lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِه“Amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka seluruh amalnya baik. Jika rusak, maka rusak pula seluruh amalnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 1859. Syekh Al-Albani menghukumi hadis ini dengan hadis shahih lighairihi)Nasihat terakhir kami, janganlah kita termasuk orang yang lalai dari salat kita, lalai dari melaksanakan salat lima waktu, lalai dari melaksanakannya secara berjemaah. Jangan sampai diri kita termasuk yang mendapatkan doa celaka dan celaan Allah dalam firman-Nya,فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) mereka yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)Wahai kaum Muslimin sekalian,Sesibuk apapun diri kita, secapek apapun diri kita, seletih apapun diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jangan sekali-kali meninggalkan salat kita. Karena Allah Ta’ala menjanjikan pahala yang jauh lebih baik dari amalan kita, Allah juga menjamin rezeki kita. Ia berfirman,رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ *لِيَجْزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37-38)Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang selalu ingat untuk bersyukur dan melaksanakan salat. Ya Allah, berilah kami kekhusyukan dan ketenangan dalam salat, jadikan salat sebagai penyejuk pandangan kami.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat sekalian.Segala puji bagi Allah Ta’ala, Dzat yang kita memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.Wahai kaum Muslimin sekalian,Hidup ini hanyalah rangkaian waktu yang datang dan pergi, mereka yang beruntung adalah yang mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu yang ada sebelum terlewatkan. Tiada cara terbaik untuk memanfaatkan waktu kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa tiada sesuatu yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala melebihi salatnya.Wahai hamba Allah, salat adalah pilar utama agama Islam, kewajiban agung yang Allah tetapkan atas seluruh kaum Muslimin, dan ia adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafat.Salat, wahai orang-orang yang dimuliakan Allah, adalah kunci ketenangan dan keberuntungan jiwa. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengarkan firman Allah Ta’ala, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)Salat, wahai jemaah sekalian, juga merupakan cahaya penerang bagi hati, kelapangan bagi dada, keberkahan bagi umur, serrta mendatangkan kelapangan pada rezeki kita. Renungkanlah kisah Maryam dengan Nabi Zakaria,كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran: 37)Lihatlah bagaimana Allah meluaskan rezeki kepada Maryam tatkala ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Allah akan senantiasa menolong hamba tersebut dan memudahkan hamba tersebut.Salat, wahai hamba Allah, akan menghapus dosa-dosa kita. Allah berfirman,وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّـيّئَـٰتِ ذٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّكِرِينَ“Dirikanlah salat pada dua tepi siang dan pada waktu-waktu malam yang dekat darinya. Sesungguhnya amal-amal yang baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mengingat Allah.” (QS. Hud: 114)Bahkan saat kita sedang merasa sempit, bingung, dilema, merasa berat menghadapi berbagai permasalahan dan cobaan, maka salat adalah sebaik-baik penenang dan obat dari semua itu. Rasulullah tatkala merasa sempit atas ujian yang beliau hadapi dalam berdakwah, maka Allah Ta’ala memerintahkannya untuk salat.وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ “Kami sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah termasuk orang-orang yang bersujud.” (QS. Al-Hijr: 97-98)Karenanya, setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi persoalan berat, beliau segera menunaikan salat. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh sabahat Huzaifah Ibnu Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا حزَبه أمرٌ صلَّى“(Menjadi kebiasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila ada sesuatu yang membuatnya khawatir, beliau mendirikan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan Ahmad no. 23299)Salah seorang sahabat Nabi dari Kabilah Khuzaah bercerita bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا بلالُ أقمِ الصلاةَ وأرِحْنا بها“Wahai Bilal, dirikanlah salat (kumandangkan ikamah salat), istirahatkan kami dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 4985. Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwat no. 1209 mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Salat memiliki rasa yang manis dan kenikmatan mendalam, sebuah telaga yang sejuk untuk beristirahat dari lelah dan sibuknya urusan duniawi. Barang siapa yang tidak merasakan manis dan sejuknya ibadah salat, maka sungguh ia terhalang dari kenikmatan yang besar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ“Dan dijadikan penyejuk mataku dalam salat.” (HR. An-Nasa’i no. 3939)Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Carilah kenikmatan dalam tiga hal: dalam salat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam zikir. Jika kalian menemukannya, maka teruslah (dalam perbuatan tersebut) dan bergembiralah. Jika engkau tidak menemukannya, ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.” (Hilyatu Al-Aulia, 6: 171)Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah menjelaskan bahwa apabila diri kita tidak mendapati manisnya beramal saleh, belum bisa menikmati manisnya salat, masih bermalas-malasan di dalam melaksanakannya, maka pasti ada yang salah dan keliru dalam proses pelaksanaannya. Entah itu niat kita yang masih belum tepat, kekhusyukan yang belum terwujud, wudu yang belum sempurna, banyak bergerak dan kekurangan kekurangan lainnya. Itulah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu.Pertanyaannya wahai jemaah sekalian,Sudahkah kita merasakan kenikmatan pada salat-salat kita yang telah lalu? Apakah kita memperhatikan syarat, rukun, dan adabnya? Bagaimana khusyuk dan ketenangan kita di dalamnya?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seseorang yang pernah salat di belakang beliau dengan salat yang buruk dan tidak khusyuk,يا فلانُ ، ألا تُحسِنُ صلاتَكَ ؟ ألا ينظرُ المصلِّي كيفَ يصلِّي لنفسِهِ“Wahai fulan, tidakkah engkau memperbagus salatmu? Hendaknya seorang yang salat melihat bagaimana dia salat untuk dirinya sendiri?” (HR. An-Nasa’i no. 872)Sungguh tidak ada yang membutuhkan salat kita melebihi diri kita sendiri, tidaklah kita melaksanakan salat kecuali pahalanya akan kembali kepada kita sendiri.Mari kita perbaiki kembali ibadah salat kita. Kita hadirkan keikhlasan dan kekhusyukan di dalamnya, kita kerjakan semua rukun, wajib, dan sunahnya. Sehingga salat kita diterima oleh Allah Ta’ala.أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُWahai hamba Allah,Kedudukan kita di sisi Allah bergantung pada kualitas salat kita. Wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memperhatikan salatnya, karena ia adalah amal terbaik dan tiang utama agama seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ“Beristikamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah salat; dan tidak ada yang menjaga wudu, kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah no. 279 dan At-Thabrani, 8: 352. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)Salat adalah tolak ukur kebaikan seorang muslim. Jika baik salatnya, maka baik pula amal ibadah lainnya. Sebaliknya, jika buruk salatnya, maka buruk pula seluruh ibadah lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِه“Amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka seluruh amalnya baik. Jika rusak, maka rusak pula seluruh amalnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 1859. Syekh Al-Albani menghukumi hadis ini dengan hadis shahih lighairihi)Nasihat terakhir kami, janganlah kita termasuk orang yang lalai dari salat kita, lalai dari melaksanakan salat lima waktu, lalai dari melaksanakannya secara berjemaah. Jangan sampai diri kita termasuk yang mendapatkan doa celaka dan celaan Allah dalam firman-Nya,فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) mereka yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)Wahai kaum Muslimin sekalian,Sesibuk apapun diri kita, secapek apapun diri kita, seletih apapun diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jangan sekali-kali meninggalkan salat kita. Karena Allah Ta’ala menjanjikan pahala yang jauh lebih baik dari amalan kita, Allah juga menjamin rezeki kita. Ia berfirman,رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ *لِيَجْزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37-38)Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang selalu ingat untuk bersyukur dan melaksanakan salat. Ya Allah, berilah kami kekhusyukan dan ketenangan dalam salat, jadikan salat sebagai penyejuk pandangan kami.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat sekalian.Segala puji bagi Allah Ta’ala, Dzat yang kita memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.Wahai kaum Muslimin sekalian,Hidup ini hanyalah rangkaian waktu yang datang dan pergi, mereka yang beruntung adalah yang mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu yang ada sebelum terlewatkan. Tiada cara terbaik untuk memanfaatkan waktu kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa tiada sesuatu yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala melebihi salatnya.Wahai hamba Allah, salat adalah pilar utama agama Islam, kewajiban agung yang Allah tetapkan atas seluruh kaum Muslimin, dan ia adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafat.Salat, wahai orang-orang yang dimuliakan Allah, adalah kunci ketenangan dan keberuntungan jiwa. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengarkan firman Allah Ta’ala, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)Salat, wahai jemaah sekalian, juga merupakan cahaya penerang bagi hati, kelapangan bagi dada, keberkahan bagi umur, serrta mendatangkan kelapangan pada rezeki kita. Renungkanlah kisah Maryam dengan Nabi Zakaria,كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran: 37)Lihatlah bagaimana Allah meluaskan rezeki kepada Maryam tatkala ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Allah akan senantiasa menolong hamba tersebut dan memudahkan hamba tersebut.Salat, wahai hamba Allah, akan menghapus dosa-dosa kita. Allah berfirman,وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّـيّئَـٰتِ ذٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّكِرِينَ“Dirikanlah salat pada dua tepi siang dan pada waktu-waktu malam yang dekat darinya. Sesungguhnya amal-amal yang baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mengingat Allah.” (QS. Hud: 114)Bahkan saat kita sedang merasa sempit, bingung, dilema, merasa berat menghadapi berbagai permasalahan dan cobaan, maka salat adalah sebaik-baik penenang dan obat dari semua itu. Rasulullah tatkala merasa sempit atas ujian yang beliau hadapi dalam berdakwah, maka Allah Ta’ala memerintahkannya untuk salat.وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ “Kami sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah termasuk orang-orang yang bersujud.” (QS. Al-Hijr: 97-98)Karenanya, setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi persoalan berat, beliau segera menunaikan salat. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh sabahat Huzaifah Ibnu Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا حزَبه أمرٌ صلَّى“(Menjadi kebiasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila ada sesuatu yang membuatnya khawatir, beliau mendirikan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan Ahmad no. 23299)Salah seorang sahabat Nabi dari Kabilah Khuzaah bercerita bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا بلالُ أقمِ الصلاةَ وأرِحْنا بها“Wahai Bilal, dirikanlah salat (kumandangkan ikamah salat), istirahatkan kami dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 4985. Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwat no. 1209 mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Salat memiliki rasa yang manis dan kenikmatan mendalam, sebuah telaga yang sejuk untuk beristirahat dari lelah dan sibuknya urusan duniawi. Barang siapa yang tidak merasakan manis dan sejuknya ibadah salat, maka sungguh ia terhalang dari kenikmatan yang besar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ“Dan dijadikan penyejuk mataku dalam salat.” (HR. An-Nasa’i no. 3939)Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Carilah kenikmatan dalam tiga hal: dalam salat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam zikir. Jika kalian menemukannya, maka teruslah (dalam perbuatan tersebut) dan bergembiralah. Jika engkau tidak menemukannya, ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.” (Hilyatu Al-Aulia, 6: 171)Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah menjelaskan bahwa apabila diri kita tidak mendapati manisnya beramal saleh, belum bisa menikmati manisnya salat, masih bermalas-malasan di dalam melaksanakannya, maka pasti ada yang salah dan keliru dalam proses pelaksanaannya. Entah itu niat kita yang masih belum tepat, kekhusyukan yang belum terwujud, wudu yang belum sempurna, banyak bergerak dan kekurangan kekurangan lainnya. Itulah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu.Pertanyaannya wahai jemaah sekalian,Sudahkah kita merasakan kenikmatan pada salat-salat kita yang telah lalu? Apakah kita memperhatikan syarat, rukun, dan adabnya? Bagaimana khusyuk dan ketenangan kita di dalamnya?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seseorang yang pernah salat di belakang beliau dengan salat yang buruk dan tidak khusyuk,يا فلانُ ، ألا تُحسِنُ صلاتَكَ ؟ ألا ينظرُ المصلِّي كيفَ يصلِّي لنفسِهِ“Wahai fulan, tidakkah engkau memperbagus salatmu? Hendaknya seorang yang salat melihat bagaimana dia salat untuk dirinya sendiri?” (HR. An-Nasa’i no. 872)Sungguh tidak ada yang membutuhkan salat kita melebihi diri kita sendiri, tidaklah kita melaksanakan salat kecuali pahalanya akan kembali kepada kita sendiri.Mari kita perbaiki kembali ibadah salat kita. Kita hadirkan keikhlasan dan kekhusyukan di dalamnya, kita kerjakan semua rukun, wajib, dan sunahnya. Sehingga salat kita diterima oleh Allah Ta’ala.أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُWahai hamba Allah,Kedudukan kita di sisi Allah bergantung pada kualitas salat kita. Wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memperhatikan salatnya, karena ia adalah amal terbaik dan tiang utama agama seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ“Beristikamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah salat; dan tidak ada yang menjaga wudu, kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah no. 279 dan At-Thabrani, 8: 352. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)Salat adalah tolak ukur kebaikan seorang muslim. Jika baik salatnya, maka baik pula amal ibadah lainnya. Sebaliknya, jika buruk salatnya, maka buruk pula seluruh ibadah lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِه“Amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka seluruh amalnya baik. Jika rusak, maka rusak pula seluruh amalnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 1859. Syekh Al-Albani menghukumi hadis ini dengan hadis shahih lighairihi)Nasihat terakhir kami, janganlah kita termasuk orang yang lalai dari salat kita, lalai dari melaksanakan salat lima waktu, lalai dari melaksanakannya secara berjemaah. Jangan sampai diri kita termasuk yang mendapatkan doa celaka dan celaan Allah dalam firman-Nya,فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) mereka yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)Wahai kaum Muslimin sekalian,Sesibuk apapun diri kita, secapek apapun diri kita, seletih apapun diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jangan sekali-kali meninggalkan salat kita. Karena Allah Ta’ala menjanjikan pahala yang jauh lebih baik dari amalan kita, Allah juga menjamin rezeki kita. Ia berfirman,رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ *لِيَجْزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37-38)Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang selalu ingat untuk bersyukur dan melaksanakan salat. Ya Allah, berilah kami kekhusyukan dan ketenangan dalam salat, jadikan salat sebagai penyejuk pandangan kami.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah Jumat sekalian.Segala puji bagi Allah Ta’ala, Dzat yang kita memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.Wahai kaum Muslimin sekalian,Hidup ini hanyalah rangkaian waktu yang datang dan pergi, mereka yang beruntung adalah yang mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu yang ada sebelum terlewatkan. Tiada cara terbaik untuk memanfaatkan waktu kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa tiada sesuatu yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala melebihi salatnya.Wahai hamba Allah, salat adalah pilar utama agama Islam, kewajiban agung yang Allah tetapkan atas seluruh kaum Muslimin, dan ia adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafat.Salat, wahai orang-orang yang dimuliakan Allah, adalah kunci ketenangan dan keberuntungan jiwa. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengarkan firman Allah Ta’ala, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)Salat, wahai jemaah sekalian, juga merupakan cahaya penerang bagi hati, kelapangan bagi dada, keberkahan bagi umur, serrta mendatangkan kelapangan pada rezeki kita. Renungkanlah kisah Maryam dengan Nabi Zakaria,كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran: 37)Lihatlah bagaimana Allah meluaskan rezeki kepada Maryam tatkala ia rajin beribadah kepada Allah Ta’ala. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Allah akan senantiasa menolong hamba tersebut dan memudahkan hamba tersebut.Salat, wahai hamba Allah, akan menghapus dosa-dosa kita. Allah berfirman,وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّـيّئَـٰتِ ذٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّكِرِينَ“Dirikanlah salat pada dua tepi siang dan pada waktu-waktu malam yang dekat darinya. Sesungguhnya amal-amal yang baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mengingat Allah.” (QS. Hud: 114)Bahkan saat kita sedang merasa sempit, bingung, dilema, merasa berat menghadapi berbagai permasalahan dan cobaan, maka salat adalah sebaik-baik penenang dan obat dari semua itu. Rasulullah tatkala merasa sempit atas ujian yang beliau hadapi dalam berdakwah, maka Allah Ta’ala memerintahkannya untuk salat.وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ “Kami sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah termasuk orang-orang yang bersujud.” (QS. Al-Hijr: 97-98)Karenanya, setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi persoalan berat, beliau segera menunaikan salat. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh sabahat Huzaifah Ibnu Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا حزَبه أمرٌ صلَّى“(Menjadi kebiasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila ada sesuatu yang membuatnya khawatir, beliau mendirikan salat.” (HR. Abu Dawud no. 1319 dan Ahmad no. 23299)Salah seorang sahabat Nabi dari Kabilah Khuzaah bercerita bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يا بلالُ أقمِ الصلاةَ وأرِحْنا بها“Wahai Bilal, dirikanlah salat (kumandangkan ikamah salat), istirahatkan kami dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 4985. Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwat no. 1209 mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)Salat memiliki rasa yang manis dan kenikmatan mendalam, sebuah telaga yang sejuk untuk beristirahat dari lelah dan sibuknya urusan duniawi. Barang siapa yang tidak merasakan manis dan sejuknya ibadah salat, maka sungguh ia terhalang dari kenikmatan yang besar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ“Dan dijadikan penyejuk mataku dalam salat.” (HR. An-Nasa’i no. 3939)Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Carilah kenikmatan dalam tiga hal: dalam salat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam zikir. Jika kalian menemukannya, maka teruslah (dalam perbuatan tersebut) dan bergembiralah. Jika engkau tidak menemukannya, ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.” (Hilyatu Al-Aulia, 6: 171)Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah menjelaskan bahwa apabila diri kita tidak mendapati manisnya beramal saleh, belum bisa menikmati manisnya salat, masih bermalas-malasan di dalam melaksanakannya, maka pasti ada yang salah dan keliru dalam proses pelaksanaannya. Entah itu niat kita yang masih belum tepat, kekhusyukan yang belum terwujud, wudu yang belum sempurna, banyak bergerak dan kekurangan kekurangan lainnya. Itulah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu.Pertanyaannya wahai jemaah sekalian,Sudahkah kita merasakan kenikmatan pada salat-salat kita yang telah lalu? Apakah kita memperhatikan syarat, rukun, dan adabnya? Bagaimana khusyuk dan ketenangan kita di dalamnya?Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seseorang yang pernah salat di belakang beliau dengan salat yang buruk dan tidak khusyuk,يا فلانُ ، ألا تُحسِنُ صلاتَكَ ؟ ألا ينظرُ المصلِّي كيفَ يصلِّي لنفسِهِ“Wahai fulan, tidakkah engkau memperbagus salatmu? Hendaknya seorang yang salat melihat bagaimana dia salat untuk dirinya sendiri?” (HR. An-Nasa’i no. 872)Sungguh tidak ada yang membutuhkan salat kita melebihi diri kita sendiri, tidaklah kita melaksanakan salat kecuali pahalanya akan kembali kepada kita sendiri.Mari kita perbaiki kembali ibadah salat kita. Kita hadirkan keikhlasan dan kekhusyukan di dalamnya, kita kerjakan semua rukun, wajib, dan sunahnya. Sehingga salat kita diterima oleh Allah Ta’ala.أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُWahai hamba Allah,Kedudukan kita di sisi Allah bergantung pada kualitas salat kita. Wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memperhatikan salatnya, karena ia adalah amal terbaik dan tiang utama agama seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ“Beristikamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah salat; dan tidak ada yang menjaga wudu, kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah no. 279 dan At-Thabrani, 8: 352. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)Salat adalah tolak ukur kebaikan seorang muslim. Jika baik salatnya, maka baik pula amal ibadah lainnya. Sebaliknya, jika buruk salatnya, maka buruk pula seluruh ibadah lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِه“Amal pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka seluruh amalnya baik. Jika rusak, maka rusak pula seluruh amalnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 1859. Syekh Al-Albani menghukumi hadis ini dengan hadis shahih lighairihi)Nasihat terakhir kami, janganlah kita termasuk orang yang lalai dari salat kita, lalai dari melaksanakan salat lima waktu, lalai dari melaksanakannya secara berjemaah. Jangan sampai diri kita termasuk yang mendapatkan doa celaka dan celaan Allah dalam firman-Nya,فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) mereka yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)Wahai kaum Muslimin sekalian,Sesibuk apapun diri kita, secapek apapun diri kita, seletih apapun diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jangan sekali-kali meninggalkan salat kita. Karena Allah Ta’ala menjanjikan pahala yang jauh lebih baik dari amalan kita, Allah juga menjamin rezeki kita. Ia berfirman,رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ *لِيَجْزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37-38)Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang selalu ingat untuk bersyukur dan melaksanakan salat. Ya Allah, berilah kami kekhusyukan dan ketenangan dalam salat, jadikan salat sebagai penyejuk pandangan kami.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Jangan Lalai Selagi Masih Ada Kesempatan***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Mau Tahajud di Waktu Mustajab? Begini Cara Hitung Sepertiga Malam Terakhir!

Bagaimana cara mengetahui kapan waktu sepertiga malam terakhir? Waktu sepertiga malam terakhir dapat diketahui dengan membagi rentang waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar menjadi tiga bagian. Setiap bagian tersebut dianggap sebagai sepertiga malam. Yaitu: sepertiga pertama, sepertiga kedua, dan sepertiga terakhir. Jadi, hitunglah durasi waktu dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, lalu bagi durasi tersebut menjadi tiga bagian. Dengan demikian, Anda memperoleh tiga sepertiga malam: sepertiga pertama, sepertiga kedua (pertengahan), dan sepertiga terakhir. ===== مَا طَرِيقَةُ مَعْرِفَةِ وَقْتِ الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ؟ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ يُعْرَفُ بِأَنْ تُقْسَمَ الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مَا بَيْنَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَكُلُّ قِسْمٍ يُعْتَبَرُ ثُلُثًا الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَتُحْسَبُ إِذًا الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَتُقْسَمُ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَيَخْرُجُ لَكَ أَثْلَاثُ اللَّيْلِ الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي الْأَوْسَطُ ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ

Mau Tahajud di Waktu Mustajab? Begini Cara Hitung Sepertiga Malam Terakhir!

Bagaimana cara mengetahui kapan waktu sepertiga malam terakhir? Waktu sepertiga malam terakhir dapat diketahui dengan membagi rentang waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar menjadi tiga bagian. Setiap bagian tersebut dianggap sebagai sepertiga malam. Yaitu: sepertiga pertama, sepertiga kedua, dan sepertiga terakhir. Jadi, hitunglah durasi waktu dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, lalu bagi durasi tersebut menjadi tiga bagian. Dengan demikian, Anda memperoleh tiga sepertiga malam: sepertiga pertama, sepertiga kedua (pertengahan), dan sepertiga terakhir. ===== مَا طَرِيقَةُ مَعْرِفَةِ وَقْتِ الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ؟ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ يُعْرَفُ بِأَنْ تُقْسَمَ الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مَا بَيْنَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَكُلُّ قِسْمٍ يُعْتَبَرُ ثُلُثًا الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَتُحْسَبُ إِذًا الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَتُقْسَمُ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَيَخْرُجُ لَكَ أَثْلَاثُ اللَّيْلِ الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي الْأَوْسَطُ ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ
Bagaimana cara mengetahui kapan waktu sepertiga malam terakhir? Waktu sepertiga malam terakhir dapat diketahui dengan membagi rentang waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar menjadi tiga bagian. Setiap bagian tersebut dianggap sebagai sepertiga malam. Yaitu: sepertiga pertama, sepertiga kedua, dan sepertiga terakhir. Jadi, hitunglah durasi waktu dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, lalu bagi durasi tersebut menjadi tiga bagian. Dengan demikian, Anda memperoleh tiga sepertiga malam: sepertiga pertama, sepertiga kedua (pertengahan), dan sepertiga terakhir. ===== مَا طَرِيقَةُ مَعْرِفَةِ وَقْتِ الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ؟ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ يُعْرَفُ بِأَنْ تُقْسَمَ الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مَا بَيْنَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَكُلُّ قِسْمٍ يُعْتَبَرُ ثُلُثًا الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَتُحْسَبُ إِذًا الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَتُقْسَمُ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَيَخْرُجُ لَكَ أَثْلَاثُ اللَّيْلِ الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي الْأَوْسَطُ ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ


Bagaimana cara mengetahui kapan waktu sepertiga malam terakhir? Waktu sepertiga malam terakhir dapat diketahui dengan membagi rentang waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar menjadi tiga bagian. Setiap bagian tersebut dianggap sebagai sepertiga malam. Yaitu: sepertiga pertama, sepertiga kedua, dan sepertiga terakhir. Jadi, hitunglah durasi waktu dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, lalu bagi durasi tersebut menjadi tiga bagian. Dengan demikian, Anda memperoleh tiga sepertiga malam: sepertiga pertama, sepertiga kedua (pertengahan), dan sepertiga terakhir. ===== مَا طَرِيقَةُ مَعْرِفَةِ وَقْتِ الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ؟ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ يُعْرَفُ بِأَنْ تُقْسَمَ الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مَا بَيْنَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَكُلُّ قِسْمٍ يُعْتَبَرُ ثُلُثًا الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ فَتُحْسَبُ إِذًا الْمُدَّةُ الزَّمَنِيَّةُ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَتُقْسَمُ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَيَخْرُجُ لَكَ أَثْلَاثُ اللَّيْلِ الثُّلُثُ الْأَوَّلُ ثُمَّ الثُّلُثُ الثَّانِي الْأَوْسَطُ ثُمَّ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ

3 Jenis Nafsu dalam Diri Manusia Menurut Islam: Ammarah, Lawwāmah, dan Muṭma’innah

Setiap manusia membawa potensi kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa jiwa manusia dapat berubah—kadang tunduk pada dorongan maksiat, kadang menyesali dosa, hingga mencapai ketenangan bersama Allah. Memahami tiga jenis nafsu ini membantu kita mengenali kondisi hati dan menapaki jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muṭma’innah).   Daftar Isi tutup 1. Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? 2. 1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram 3. 2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela 3.1. Dua Jenis Nafsu Lawwāmah 4. 3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan 5. Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa 6. Kesimpulan Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? Sebagian orang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga macam jiwa: نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ (nafs muṭma’innah, jiwa yang tenang), نَفْسٌ لَوَّامَةٌ (nafs lawwāmah, jiwa yang suka mencela), dan نَفْسٌ أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (nafs ammārah bis-sū’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa setiap orang akan dikuasai oleh salah satu dari tiga jenis jiwa ini. Sebagai dalil, mereka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ “Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr: 27) لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ۝ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 1–2) إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي “Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53) Namun, menurut penelitian para ulama, hakikatnya jiwa manusia itu satu, hanya saja memiliki banyak sifat dan keadaan. Karena itu, setiap kali ia menampakkan satu sifat tertentu, ia dinamai sesuai dengan sifat tersebut.   1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram Disebut nafs muṭma’innah karena ia tenang kepada Rabb-nya. Ia tunduk dalam peribadahan, cinta, dan kembali kepada-Nya; bertawakal kepada-Nya, ridha dengan ketetapan-Nya, dan bersandar penuh kepada-Nya. Ketenangan kepada Allah adalah hakikat yang datang dari-Nya ke dalam hati seorang hamba. Allah mengumpulkan hatinya agar fokus kepada-Nya, menarik hati yang tadinya lalai agar kembali kepada-Nya, hingga seolah-olah ia duduk di hadapan Allah dengan penuh ketenangan batin. Rasa tenteram itu meresap ke seluruh jiwa, hati, persendian, dan kekuatannya—lahir maupun batin. Ketenangan sejati tidak mungkin didapatkan kecuali dengan Allah dan zikir kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)   2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela Allah bersumpah dengan jiwa ini dalam firman-Nya: وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 2) Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya: a. Dihubungkan dengan taluwwum (berubah-ubah) Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah jiwa yang tidak menetap pada satu keadaan. Ia mudah berubah dan berbolak-balik, diambil dari kata taluwwum yang berarti kebimbangan atau keraguan. Jiwa manusia memang penuh perubahan — bahkan dalam satu jam saja bisa berganti banyak keadaan. Ia bisa: ingat lalu lalai, mencintai lalu membenci, lembut lalu keras, taat lalu maksiat, bertakwa lalu tergelincir, gembira lalu sedih, ridha lalu marah. Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah, karena Dia menciptakan makhluk yang begitu dinamis dan berubah-ubah dalam waktu singkat. b. Dihubungkan dengan lawm (celaan) Sebagian ulama lain mengatakan, lawwāmah berarti jiwa yang mencela dirinya sendiri. Hasan Al-Bashri rahimahullāh berkata: “Seorang mukmin selalu mencela dirinya. Ia berkata: Apa maksudku dengan ini? Mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku melakukan yang lebih baik.” Jadi, nafs lawwāmah adalah jiwa orang beriman yang menyesali dosa, menegur dirinya atas kesalahan. Celaan itu adalah tanda keimanan. Berbeda dengan orang durhaka, yang tidak pernah menyesali dosanya — bahkan menyesal ketika kehilangan kenikmatan maksiat. Sebagian ulama juga berpendapat: Jiwa orang saleh mencela diri karena meninggalkan ketaatan, Sedangkan jiwa orang jahat mencela diri karena kehilangan hawa nafsu dan dunia. Ada pula yang menafsirkan bahwa celaan itu terjadi pada Hari Kiamat, ketika setiap jiwa menyesal—baik karena dosa, maupun karena kurang dalam kebaikan. Kesemua penafsiran ini benar dan tidak saling bertentangan, karena jiwa manusia memiliki semua sifat tersebut, sehingga ia dinamai lawwāmah (yang suka mencela).   Dua Jenis Nafsu Lawwāmah Lawwāmah yang tercela, yaitu jiwa yang zalim dan bodoh, yang dicela oleh Allah dan para malaikat. Lawwāmah yang terpuji, yaitu jiwa yang selalu menegur pemiliknya karena merasa kurang dalam beribadah, meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Jiwa seperti ini tidak tercela, bahkan terpuji di sisi Allah.   3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan Inilah jenis jiwa yang tercela. Secara fitrah, ia selalu mengajak kepada keburukan kecuali bila Allah menolong dan meneguhkannya. Tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari kejahatan jiwanya tanpa taufik Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam ucapan istri Al-‘Azīz: وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sungguh, Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53) Allah menguji manusia dengan dua sisi jiwanya — nafs ammārah dan nafs lawwāmah — serta memuliakannya dengan nafs muṭma’innah. Semuanya adalah satu jiwa yang bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain: dari ammārah menjadi lawwāmah, lalu naik menjadi muṭma’innah. Itulah puncak kesempurnaan dan kebaikan jiwa manusia.   Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa Allah menolong jiwa yang tenang dengan bala tentaranya: Malaikat menjadi teman dan penolongnya, membimbing serta meneguhkannya di jalan kebaikan. Sementara jiwa yang jahat dikelilingi oleh setan yang menjadi temannya, menyesatkan dan melemahkannya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّ لِلشَّيْطَانِ لَمَّةً بِابْنِ آدَمَ، وَلِلْمَلَكِ لَمَّةً، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» “Sesungguhnya setan memiliki bisikan (limmah) kepada anak Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji keburukan dan pendustaan terhadap kebenaran, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Maka siapa yang merasakan bisikan baik itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah. Dan siapa yang merasakan sebaliknya, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Kemudian beliau membaca firman Allah: الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji.” (QS. Al-Baqarah: 268) Riwayat ini juga disebutkan oleh ‘Amr dari ‘Aṭā’ bin As-Sā’ib. Dalam riwayatnya, ‘Amr menambahkan penjelasan: «إِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ لَمَّةِ الْمَلَكِ شَيْئًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَلْيَسْأَلْهُ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا أَحَسَّ مِنْ لَمَّةِ الشَّيْطَانِ شَيْئًا فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ، وَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ». “Kami mendengar dalam hadits ini bahwa dahulu dikatakan: ‘Apabila salah seorang di antara kalian merasakan bisikan (ilham) dari malaikat, hendaklah ia memuji Allah dan memohon karunia-Nya. Namun apabila ia merasakan bisikan dari setan, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari setan.’”   Kesimpulan Jiwa manusia hanya satu, tetapi memiliki tiga keadaan: أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (ammārah) — condong kepada keburukan. لَوَّامَةٌ (lawwāmah) — menyesali dosa dan menegur diri. مُطْمَئِنَّةٌ (muṭma’innah) — mencapai ketenangan sempurna dalam ketaatan. Perjalanan ruhani seorang mukmin adalah perjalanan menaikkan jiwanya dari tingkat terendah menuju tingkat tertinggi, hingga menjadi jiwa yang dipanggil lembut oleh Allah: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۝ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. الفجر [Al-Fajr]: 27–28)     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis, 06-11-2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang jiwa hakikat nafsu manusia jalan menuju jiwa yang tenang jenis-jenis nafsu jiwa tenang menurut al-quran keimanan dan nafsu ketenangan hati mengenal diri dalam islam muhasabah diri nafsu ammarah nafsu dalam islam nafsu lawwamah nafsu mutmainnah pembersihan jiwa penyakit hati dan pengobatannya spiritualitas islam tafsir al-quran tentang jiwa tafsir surat Al-Fajr tazkiyatun nafs tingkatan jiwa manusia

3 Jenis Nafsu dalam Diri Manusia Menurut Islam: Ammarah, Lawwāmah, dan Muṭma’innah

Setiap manusia membawa potensi kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa jiwa manusia dapat berubah—kadang tunduk pada dorongan maksiat, kadang menyesali dosa, hingga mencapai ketenangan bersama Allah. Memahami tiga jenis nafsu ini membantu kita mengenali kondisi hati dan menapaki jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muṭma’innah).   Daftar Isi tutup 1. Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? 2. 1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram 3. 2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela 3.1. Dua Jenis Nafsu Lawwāmah 4. 3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan 5. Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa 6. Kesimpulan Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? Sebagian orang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga macam jiwa: نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ (nafs muṭma’innah, jiwa yang tenang), نَفْسٌ لَوَّامَةٌ (nafs lawwāmah, jiwa yang suka mencela), dan نَفْسٌ أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (nafs ammārah bis-sū’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa setiap orang akan dikuasai oleh salah satu dari tiga jenis jiwa ini. Sebagai dalil, mereka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ “Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr: 27) لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ۝ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 1–2) إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي “Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53) Namun, menurut penelitian para ulama, hakikatnya jiwa manusia itu satu, hanya saja memiliki banyak sifat dan keadaan. Karena itu, setiap kali ia menampakkan satu sifat tertentu, ia dinamai sesuai dengan sifat tersebut.   1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram Disebut nafs muṭma’innah karena ia tenang kepada Rabb-nya. Ia tunduk dalam peribadahan, cinta, dan kembali kepada-Nya; bertawakal kepada-Nya, ridha dengan ketetapan-Nya, dan bersandar penuh kepada-Nya. Ketenangan kepada Allah adalah hakikat yang datang dari-Nya ke dalam hati seorang hamba. Allah mengumpulkan hatinya agar fokus kepada-Nya, menarik hati yang tadinya lalai agar kembali kepada-Nya, hingga seolah-olah ia duduk di hadapan Allah dengan penuh ketenangan batin. Rasa tenteram itu meresap ke seluruh jiwa, hati, persendian, dan kekuatannya—lahir maupun batin. Ketenangan sejati tidak mungkin didapatkan kecuali dengan Allah dan zikir kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)   2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela Allah bersumpah dengan jiwa ini dalam firman-Nya: وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 2) Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya: a. Dihubungkan dengan taluwwum (berubah-ubah) Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah jiwa yang tidak menetap pada satu keadaan. Ia mudah berubah dan berbolak-balik, diambil dari kata taluwwum yang berarti kebimbangan atau keraguan. Jiwa manusia memang penuh perubahan — bahkan dalam satu jam saja bisa berganti banyak keadaan. Ia bisa: ingat lalu lalai, mencintai lalu membenci, lembut lalu keras, taat lalu maksiat, bertakwa lalu tergelincir, gembira lalu sedih, ridha lalu marah. Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah, karena Dia menciptakan makhluk yang begitu dinamis dan berubah-ubah dalam waktu singkat. b. Dihubungkan dengan lawm (celaan) Sebagian ulama lain mengatakan, lawwāmah berarti jiwa yang mencela dirinya sendiri. Hasan Al-Bashri rahimahullāh berkata: “Seorang mukmin selalu mencela dirinya. Ia berkata: Apa maksudku dengan ini? Mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku melakukan yang lebih baik.” Jadi, nafs lawwāmah adalah jiwa orang beriman yang menyesali dosa, menegur dirinya atas kesalahan. Celaan itu adalah tanda keimanan. Berbeda dengan orang durhaka, yang tidak pernah menyesali dosanya — bahkan menyesal ketika kehilangan kenikmatan maksiat. Sebagian ulama juga berpendapat: Jiwa orang saleh mencela diri karena meninggalkan ketaatan, Sedangkan jiwa orang jahat mencela diri karena kehilangan hawa nafsu dan dunia. Ada pula yang menafsirkan bahwa celaan itu terjadi pada Hari Kiamat, ketika setiap jiwa menyesal—baik karena dosa, maupun karena kurang dalam kebaikan. Kesemua penafsiran ini benar dan tidak saling bertentangan, karena jiwa manusia memiliki semua sifat tersebut, sehingga ia dinamai lawwāmah (yang suka mencela).   Dua Jenis Nafsu Lawwāmah Lawwāmah yang tercela, yaitu jiwa yang zalim dan bodoh, yang dicela oleh Allah dan para malaikat. Lawwāmah yang terpuji, yaitu jiwa yang selalu menegur pemiliknya karena merasa kurang dalam beribadah, meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Jiwa seperti ini tidak tercela, bahkan terpuji di sisi Allah.   3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan Inilah jenis jiwa yang tercela. Secara fitrah, ia selalu mengajak kepada keburukan kecuali bila Allah menolong dan meneguhkannya. Tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari kejahatan jiwanya tanpa taufik Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam ucapan istri Al-‘Azīz: وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sungguh, Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53) Allah menguji manusia dengan dua sisi jiwanya — nafs ammārah dan nafs lawwāmah — serta memuliakannya dengan nafs muṭma’innah. Semuanya adalah satu jiwa yang bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain: dari ammārah menjadi lawwāmah, lalu naik menjadi muṭma’innah. Itulah puncak kesempurnaan dan kebaikan jiwa manusia.   Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa Allah menolong jiwa yang tenang dengan bala tentaranya: Malaikat menjadi teman dan penolongnya, membimbing serta meneguhkannya di jalan kebaikan. Sementara jiwa yang jahat dikelilingi oleh setan yang menjadi temannya, menyesatkan dan melemahkannya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّ لِلشَّيْطَانِ لَمَّةً بِابْنِ آدَمَ، وَلِلْمَلَكِ لَمَّةً، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» “Sesungguhnya setan memiliki bisikan (limmah) kepada anak Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji keburukan dan pendustaan terhadap kebenaran, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Maka siapa yang merasakan bisikan baik itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah. Dan siapa yang merasakan sebaliknya, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Kemudian beliau membaca firman Allah: الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji.” (QS. Al-Baqarah: 268) Riwayat ini juga disebutkan oleh ‘Amr dari ‘Aṭā’ bin As-Sā’ib. Dalam riwayatnya, ‘Amr menambahkan penjelasan: «إِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ لَمَّةِ الْمَلَكِ شَيْئًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَلْيَسْأَلْهُ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا أَحَسَّ مِنْ لَمَّةِ الشَّيْطَانِ شَيْئًا فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ، وَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ». “Kami mendengar dalam hadits ini bahwa dahulu dikatakan: ‘Apabila salah seorang di antara kalian merasakan bisikan (ilham) dari malaikat, hendaklah ia memuji Allah dan memohon karunia-Nya. Namun apabila ia merasakan bisikan dari setan, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari setan.’”   Kesimpulan Jiwa manusia hanya satu, tetapi memiliki tiga keadaan: أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (ammārah) — condong kepada keburukan. لَوَّامَةٌ (lawwāmah) — menyesali dosa dan menegur diri. مُطْمَئِنَّةٌ (muṭma’innah) — mencapai ketenangan sempurna dalam ketaatan. Perjalanan ruhani seorang mukmin adalah perjalanan menaikkan jiwanya dari tingkat terendah menuju tingkat tertinggi, hingga menjadi jiwa yang dipanggil lembut oleh Allah: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۝ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. الفجر [Al-Fajr]: 27–28)     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis, 06-11-2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang jiwa hakikat nafsu manusia jalan menuju jiwa yang tenang jenis-jenis nafsu jiwa tenang menurut al-quran keimanan dan nafsu ketenangan hati mengenal diri dalam islam muhasabah diri nafsu ammarah nafsu dalam islam nafsu lawwamah nafsu mutmainnah pembersihan jiwa penyakit hati dan pengobatannya spiritualitas islam tafsir al-quran tentang jiwa tafsir surat Al-Fajr tazkiyatun nafs tingkatan jiwa manusia
Setiap manusia membawa potensi kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa jiwa manusia dapat berubah—kadang tunduk pada dorongan maksiat, kadang menyesali dosa, hingga mencapai ketenangan bersama Allah. Memahami tiga jenis nafsu ini membantu kita mengenali kondisi hati dan menapaki jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muṭma’innah).   Daftar Isi tutup 1. Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? 2. 1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram 3. 2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela 3.1. Dua Jenis Nafsu Lawwāmah 4. 3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan 5. Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa 6. Kesimpulan Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? Sebagian orang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga macam jiwa: نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ (nafs muṭma’innah, jiwa yang tenang), نَفْسٌ لَوَّامَةٌ (nafs lawwāmah, jiwa yang suka mencela), dan نَفْسٌ أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (nafs ammārah bis-sū’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa setiap orang akan dikuasai oleh salah satu dari tiga jenis jiwa ini. Sebagai dalil, mereka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ “Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr: 27) لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ۝ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 1–2) إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي “Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53) Namun, menurut penelitian para ulama, hakikatnya jiwa manusia itu satu, hanya saja memiliki banyak sifat dan keadaan. Karena itu, setiap kali ia menampakkan satu sifat tertentu, ia dinamai sesuai dengan sifat tersebut.   1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram Disebut nafs muṭma’innah karena ia tenang kepada Rabb-nya. Ia tunduk dalam peribadahan, cinta, dan kembali kepada-Nya; bertawakal kepada-Nya, ridha dengan ketetapan-Nya, dan bersandar penuh kepada-Nya. Ketenangan kepada Allah adalah hakikat yang datang dari-Nya ke dalam hati seorang hamba. Allah mengumpulkan hatinya agar fokus kepada-Nya, menarik hati yang tadinya lalai agar kembali kepada-Nya, hingga seolah-olah ia duduk di hadapan Allah dengan penuh ketenangan batin. Rasa tenteram itu meresap ke seluruh jiwa, hati, persendian, dan kekuatannya—lahir maupun batin. Ketenangan sejati tidak mungkin didapatkan kecuali dengan Allah dan zikir kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)   2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela Allah bersumpah dengan jiwa ini dalam firman-Nya: وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 2) Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya: a. Dihubungkan dengan taluwwum (berubah-ubah) Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah jiwa yang tidak menetap pada satu keadaan. Ia mudah berubah dan berbolak-balik, diambil dari kata taluwwum yang berarti kebimbangan atau keraguan. Jiwa manusia memang penuh perubahan — bahkan dalam satu jam saja bisa berganti banyak keadaan. Ia bisa: ingat lalu lalai, mencintai lalu membenci, lembut lalu keras, taat lalu maksiat, bertakwa lalu tergelincir, gembira lalu sedih, ridha lalu marah. Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah, karena Dia menciptakan makhluk yang begitu dinamis dan berubah-ubah dalam waktu singkat. b. Dihubungkan dengan lawm (celaan) Sebagian ulama lain mengatakan, lawwāmah berarti jiwa yang mencela dirinya sendiri. Hasan Al-Bashri rahimahullāh berkata: “Seorang mukmin selalu mencela dirinya. Ia berkata: Apa maksudku dengan ini? Mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku melakukan yang lebih baik.” Jadi, nafs lawwāmah adalah jiwa orang beriman yang menyesali dosa, menegur dirinya atas kesalahan. Celaan itu adalah tanda keimanan. Berbeda dengan orang durhaka, yang tidak pernah menyesali dosanya — bahkan menyesal ketika kehilangan kenikmatan maksiat. Sebagian ulama juga berpendapat: Jiwa orang saleh mencela diri karena meninggalkan ketaatan, Sedangkan jiwa orang jahat mencela diri karena kehilangan hawa nafsu dan dunia. Ada pula yang menafsirkan bahwa celaan itu terjadi pada Hari Kiamat, ketika setiap jiwa menyesal—baik karena dosa, maupun karena kurang dalam kebaikan. Kesemua penafsiran ini benar dan tidak saling bertentangan, karena jiwa manusia memiliki semua sifat tersebut, sehingga ia dinamai lawwāmah (yang suka mencela).   Dua Jenis Nafsu Lawwāmah Lawwāmah yang tercela, yaitu jiwa yang zalim dan bodoh, yang dicela oleh Allah dan para malaikat. Lawwāmah yang terpuji, yaitu jiwa yang selalu menegur pemiliknya karena merasa kurang dalam beribadah, meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Jiwa seperti ini tidak tercela, bahkan terpuji di sisi Allah.   3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan Inilah jenis jiwa yang tercela. Secara fitrah, ia selalu mengajak kepada keburukan kecuali bila Allah menolong dan meneguhkannya. Tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari kejahatan jiwanya tanpa taufik Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam ucapan istri Al-‘Azīz: وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sungguh, Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53) Allah menguji manusia dengan dua sisi jiwanya — nafs ammārah dan nafs lawwāmah — serta memuliakannya dengan nafs muṭma’innah. Semuanya adalah satu jiwa yang bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain: dari ammārah menjadi lawwāmah, lalu naik menjadi muṭma’innah. Itulah puncak kesempurnaan dan kebaikan jiwa manusia.   Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa Allah menolong jiwa yang tenang dengan bala tentaranya: Malaikat menjadi teman dan penolongnya, membimbing serta meneguhkannya di jalan kebaikan. Sementara jiwa yang jahat dikelilingi oleh setan yang menjadi temannya, menyesatkan dan melemahkannya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّ لِلشَّيْطَانِ لَمَّةً بِابْنِ آدَمَ، وَلِلْمَلَكِ لَمَّةً، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» “Sesungguhnya setan memiliki bisikan (limmah) kepada anak Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji keburukan dan pendustaan terhadap kebenaran, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Maka siapa yang merasakan bisikan baik itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah. Dan siapa yang merasakan sebaliknya, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Kemudian beliau membaca firman Allah: الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji.” (QS. Al-Baqarah: 268) Riwayat ini juga disebutkan oleh ‘Amr dari ‘Aṭā’ bin As-Sā’ib. Dalam riwayatnya, ‘Amr menambahkan penjelasan: «إِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ لَمَّةِ الْمَلَكِ شَيْئًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَلْيَسْأَلْهُ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا أَحَسَّ مِنْ لَمَّةِ الشَّيْطَانِ شَيْئًا فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ، وَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ». “Kami mendengar dalam hadits ini bahwa dahulu dikatakan: ‘Apabila salah seorang di antara kalian merasakan bisikan (ilham) dari malaikat, hendaklah ia memuji Allah dan memohon karunia-Nya. Namun apabila ia merasakan bisikan dari setan, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari setan.’”   Kesimpulan Jiwa manusia hanya satu, tetapi memiliki tiga keadaan: أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (ammārah) — condong kepada keburukan. لَوَّامَةٌ (lawwāmah) — menyesali dosa dan menegur diri. مُطْمَئِنَّةٌ (muṭma’innah) — mencapai ketenangan sempurna dalam ketaatan. Perjalanan ruhani seorang mukmin adalah perjalanan menaikkan jiwanya dari tingkat terendah menuju tingkat tertinggi, hingga menjadi jiwa yang dipanggil lembut oleh Allah: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۝ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. الفجر [Al-Fajr]: 27–28)     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis, 06-11-2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang jiwa hakikat nafsu manusia jalan menuju jiwa yang tenang jenis-jenis nafsu jiwa tenang menurut al-quran keimanan dan nafsu ketenangan hati mengenal diri dalam islam muhasabah diri nafsu ammarah nafsu dalam islam nafsu lawwamah nafsu mutmainnah pembersihan jiwa penyakit hati dan pengobatannya spiritualitas islam tafsir al-quran tentang jiwa tafsir surat Al-Fajr tazkiyatun nafs tingkatan jiwa manusia


Setiap manusia membawa potensi kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa jiwa manusia dapat berubah—kadang tunduk pada dorongan maksiat, kadang menyesali dosa, hingga mencapai ketenangan bersama Allah. Memahami tiga jenis nafsu ini membantu kita mengenali kondisi hati dan menapaki jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muṭma’innah).   Daftar Isi tutup 1. Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? 2. 1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram 3. 2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela 3.1. Dua Jenis Nafsu Lawwāmah 4. 3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan 5. Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa 6. Kesimpulan Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat? Sebagian orang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga macam jiwa: نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ (nafs muṭma’innah, jiwa yang tenang), نَفْسٌ لَوَّامَةٌ (nafs lawwāmah, jiwa yang suka mencela), dan نَفْسٌ أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (nafs ammārah bis-sū’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa setiap orang akan dikuasai oleh salah satu dari tiga jenis jiwa ini. Sebagai dalil, mereka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ “Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr: 27) لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ۝ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 1–2) إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي “Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53) Namun, menurut penelitian para ulama, hakikatnya jiwa manusia itu satu, hanya saja memiliki banyak sifat dan keadaan. Karena itu, setiap kali ia menampakkan satu sifat tertentu, ia dinamai sesuai dengan sifat tersebut.   1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram Disebut nafs muṭma’innah karena ia tenang kepada Rabb-nya. Ia tunduk dalam peribadahan, cinta, dan kembali kepada-Nya; bertawakal kepada-Nya, ridha dengan ketetapan-Nya, dan bersandar penuh kepada-Nya. Ketenangan kepada Allah adalah hakikat yang datang dari-Nya ke dalam hati seorang hamba. Allah mengumpulkan hatinya agar fokus kepada-Nya, menarik hati yang tadinya lalai agar kembali kepada-Nya, hingga seolah-olah ia duduk di hadapan Allah dengan penuh ketenangan batin. Rasa tenteram itu meresap ke seluruh jiwa, hati, persendian, dan kekuatannya—lahir maupun batin. Ketenangan sejati tidak mungkin didapatkan kecuali dengan Allah dan zikir kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)   2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela Allah bersumpah dengan jiwa ini dalam firman-Nya: وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 2) Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya: a. Dihubungkan dengan taluwwum (berubah-ubah) Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah jiwa yang tidak menetap pada satu keadaan. Ia mudah berubah dan berbolak-balik, diambil dari kata taluwwum yang berarti kebimbangan atau keraguan. Jiwa manusia memang penuh perubahan — bahkan dalam satu jam saja bisa berganti banyak keadaan. Ia bisa: ingat lalu lalai, mencintai lalu membenci, lembut lalu keras, taat lalu maksiat, bertakwa lalu tergelincir, gembira lalu sedih, ridha lalu marah. Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah, karena Dia menciptakan makhluk yang begitu dinamis dan berubah-ubah dalam waktu singkat. b. Dihubungkan dengan lawm (celaan) Sebagian ulama lain mengatakan, lawwāmah berarti jiwa yang mencela dirinya sendiri. Hasan Al-Bashri rahimahullāh berkata: “Seorang mukmin selalu mencela dirinya. Ia berkata: Apa maksudku dengan ini? Mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku melakukan yang lebih baik.” Jadi, nafs lawwāmah adalah jiwa orang beriman yang menyesali dosa, menegur dirinya atas kesalahan. Celaan itu adalah tanda keimanan. Berbeda dengan orang durhaka, yang tidak pernah menyesali dosanya — bahkan menyesal ketika kehilangan kenikmatan maksiat. Sebagian ulama juga berpendapat: Jiwa orang saleh mencela diri karena meninggalkan ketaatan, Sedangkan jiwa orang jahat mencela diri karena kehilangan hawa nafsu dan dunia. Ada pula yang menafsirkan bahwa celaan itu terjadi pada Hari Kiamat, ketika setiap jiwa menyesal—baik karena dosa, maupun karena kurang dalam kebaikan. Kesemua penafsiran ini benar dan tidak saling bertentangan, karena jiwa manusia memiliki semua sifat tersebut, sehingga ia dinamai lawwāmah (yang suka mencela).   Dua Jenis Nafsu Lawwāmah Lawwāmah yang tercela, yaitu jiwa yang zalim dan bodoh, yang dicela oleh Allah dan para malaikat. Lawwāmah yang terpuji, yaitu jiwa yang selalu menegur pemiliknya karena merasa kurang dalam beribadah, meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Jiwa seperti ini tidak tercela, bahkan terpuji di sisi Allah.   3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan Inilah jenis jiwa yang tercela. Secara fitrah, ia selalu mengajak kepada keburukan kecuali bila Allah menolong dan meneguhkannya. Tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari kejahatan jiwanya tanpa taufik Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam ucapan istri Al-‘Azīz: وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sungguh, Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53) Allah menguji manusia dengan dua sisi jiwanya — nafs ammārah dan nafs lawwāmah — serta memuliakannya dengan nafs muṭma’innah. Semuanya adalah satu jiwa yang bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain: dari ammārah menjadi lawwāmah, lalu naik menjadi muṭma’innah. Itulah puncak kesempurnaan dan kebaikan jiwa manusia.   Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa Allah menolong jiwa yang tenang dengan bala tentaranya: Malaikat menjadi teman dan penolongnya, membimbing serta meneguhkannya di jalan kebaikan. Sementara jiwa yang jahat dikelilingi oleh setan yang menjadi temannya, menyesatkan dan melemahkannya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إِنَّ لِلشَّيْطَانِ لَمَّةً بِابْنِ آدَمَ، وَلِلْمَلَكِ لَمَّةً، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» “Sesungguhnya setan memiliki bisikan (limmah) kepada anak Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji keburukan dan pendustaan terhadap kebenaran, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Maka siapa yang merasakan bisikan baik itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah. Dan siapa yang merasakan sebaliknya, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Kemudian beliau membaca firman Allah: الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji.” (QS. Al-Baqarah: 268) Riwayat ini juga disebutkan oleh ‘Amr dari ‘Aṭā’ bin As-Sā’ib. Dalam riwayatnya, ‘Amr menambahkan penjelasan: «إِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ لَمَّةِ الْمَلَكِ شَيْئًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَلْيَسْأَلْهُ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا أَحَسَّ مِنْ لَمَّةِ الشَّيْطَانِ شَيْئًا فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ، وَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ». “Kami mendengar dalam hadits ini bahwa dahulu dikatakan: ‘Apabila salah seorang di antara kalian merasakan bisikan (ilham) dari malaikat, hendaklah ia memuji Allah dan memohon karunia-Nya. Namun apabila ia merasakan bisikan dari setan, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari setan.’”   Kesimpulan Jiwa manusia hanya satu, tetapi memiliki tiga keadaan: أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (ammārah) — condong kepada keburukan. لَوَّامَةٌ (lawwāmah) — menyesali dosa dan menegur diri. مُطْمَئِنَّةٌ (muṭma’innah) — mencapai ketenangan sempurna dalam ketaatan. Perjalanan ruhani seorang mukmin adalah perjalanan menaikkan jiwanya dari tingkat terendah menuju tingkat tertinggi, hingga menjadi jiwa yang dipanggil lembut oleh Allah: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۝ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. الفجر [Al-Fajr]: 27–28)     —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis, 06-11-2025 Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang jiwa hakikat nafsu manusia jalan menuju jiwa yang tenang jenis-jenis nafsu jiwa tenang menurut al-quran keimanan dan nafsu ketenangan hati mengenal diri dalam islam muhasabah diri nafsu ammarah nafsu dalam islam nafsu lawwamah nafsu mutmainnah pembersihan jiwa penyakit hati dan pengobatannya spiritualitas islam tafsir al-quran tentang jiwa tafsir surat Al-Fajr tazkiyatun nafs tingkatan jiwa manusia

Tanda Kiamat Besar: Munculnya Imam Al-Mahdi

Daftar Isi ToggleMengenal Imam MahdiTempat munculnya Al-MahdiPerkataan para ulama tentang Al-MahdiPara ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiDi akhir zaman, akan muncul seorang lelaki dari Ahlul Bait yang Allah teguhkan agama dengannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منا أهل البيت، يصلحه الله في ليلة“Al-Mahdi itu dari kami, Ahlul Bait. Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Allah menerima tobatnya, memberinya taufik, mengilhaminya, dan menunjukinya, setelah sebelumnya ia tidak demikian.”Al-Mahdi akan memimpin selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Umat akan merasakan kenikmatan pada masa pemerintahannya, kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Bumi akan mengeluarkan tumbuhannya, langit akan menurunkan hujannya, dan harta akan diberikan tanpa hitungan. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian tentang al-Mahdi. Ia akan diutus pada saat manusia berada dalam perselisihan dan gempa (kekacauan). Lalu ia memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan, sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Penduduk langit dan penduduk bumi akan rida kepadanya. Ia akan membagi-bagikan harta secara adil.”Seorang laki-laki bertanya, “Apa maksudnya membagi dengan adil?”Beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sama rata di antara manusia.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,“Allah akan memenuhi hati umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan, dan keadilan pemerintahannya meliputi mereka, hingga seorang penyeru menyerukan, “Siapa yang masih membutuhkan harta?” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang lelaki. Lalu ia berkata, “Pergilah kepada bendahara (penjaga harta), katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkanmu agar memberiku harta.'” Maka bendahara itu berkata, “Ambillah!” Lalu ia mengambil hingga penuh di pangkuannya. Namun setelah keluar, ia menyesal dan berkata, “Aku adalah manusia yang paling tamak dari umat Muhammad. Bukankah cukup bagiku apa yang telah mencukupi mereka?” Lalu ia ingin mengembalikan harta itu, tetapi tidak diterima darinya. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kami tidak akan mengambil kembali sesuatu yang telah kami berikan.” Ia pun hidup dalam masa kekuasaan al-Mahdi selama tujuh atau delapan atau sembilan tahun. Setelah itu, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian tidak ada lagi kebaikan dalam hidup setelah itu.” (HR. Ahmad)Dalam hal ini terdapat dalil bahwa setelah wafatnya al-Mahdi, akan muncul kejahatan dan fitnah-fitnah besar.Mengenal Imam MahdiAl-Mahdi ini memiliki nama yang sama dengan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga namanya adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تذهبُ أوَّلًا تنقضي الدنيا حتّى يملك العرب رجلٌ من أهل بيتي، يواطىء اسمُه اسمي“Tidak akan lenyap (atau tidak akan berakhir) dunia ini hingga bangsa Arab dipimpin oleh seorang lelaki dari Ahlul Baitku, yang namanya sesuai dengan namaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)Dalam satu riwayat disebutkan,يواطىءُ اسمُه اسمي واسم أبيه اسم أبي“Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.” (HR. Abu Daud)Al-Mahdi berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dari keturunan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي من عترتي، من ولد فاطمة“Al-Mahdi adalah dari keturunanku, dari anak cucu Fathimah.” (HR. Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi bahwa dia adalah Muhammad bin Abdullah Al-‘Alawi, Al-Fathimi, Al-Hasani.Sifat-sifatnya yang disebutkan adalah dahinya lebar dan hidungnya mancung. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منِّي أجلى الجبهة، أقنى الأنف، يملأ الأرض قسطًا وعدلًا كما مُلِئت ظلمًا وجورًا، يملك سبع سنين“Al-Mahdi berasal dari keturunanku. Dahinya lebar, hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Ia akan memimpin selama tujuh tahun.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)Tempat munculnya Al-MahdiKemunculan al-Mahdi akan datang dari arah timur. Hal ini telah disebutkan dalam hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقتَتِلُ عند كنزكم ثلاثة؛ كلهم ابن خليفة، ثمّ لا يصير إلى واحد منهم، ثمّ تطلع الرايات السود من قِبَل المشرق، فيقتلونكم قتلًا لم يقتله قومٌ … (ثمّ ذكر شيئًا لا أحفظه، فقال:) فإذا رأيتُمو؛ فبايِعوه، ولو حبوًا على الثَّلج؛ فإنّه خليفة الله المهدي“Akan terjadi perebutan di sisi harta simpanan kalian oleh tiga orang, semuanya anak khalifah. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendapatkannya. Kemudian muncullah panji-panji hitam dari arah timur, lalu mereka membunuh kalian dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dilakukan oleh suatu kaum sebelumnya … (kemudian beliau menyebutkan sesuatu yang tidak kuingat, lalu beliau bersabda:) Maka apabila kalian melihatnya, baiatlah dia, sekalipun harus merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah Khalifah Allah al-Mahdi.’” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, disahihkan oleh Syeikh Albani)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan harta simpanan (kanz) dalam konteks ini adalah harta simpanan Ka‘bah. Tiga orang dari anak-anak khalifah akan saling berebut untuk mengambilnya hingga datang akhir zaman, lalu keluarlah al-Mahdi. Kemunculannya akan dari negeri-negeri bagian timur, bukan dari ruang bawah tanah (Sardab) di Samarra, tidak sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Rafidhah yang jahil, bahwa ia sekarang berada di sana dan mereka menunggu kemunculannya di akhir zaman. Sesungguhnya itu hanyalah bentuk khayalan, kesesatan besar, dan godaan dari setan; sebab tidak ada dalil atasnya, tidak dari al-Qur’an, tidak dari Sunah, tidak dari akal yang sehat, dan tidak pula dari istihsan (pertimbangan yang baik).”Beliau juga berkata, “Ia akan ditolong oleh sekelompok orang dari arah timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan menguatkan fondasi kerajaannya. Panji-panji mereka juga berwarna hitam, dan itu adalah simbol yang penuh wibawa; karena panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam yang dikenal dengan sebutan al-‘Uqab.”Hingga beliau berkata, “Kesimpulannya, bahwa al-Mahdi yang dipuji dan dijanjikan kemunculannya di akhir zaman, asal mula kemunculan dan keluarnya adalah dari arah timur. Lalu ia akan dibaiat di sisi Ka‘bah, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian hadis.”Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تزال طائفةٌ من أُمَّتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka tampak menang hingga hari kiamat.” Beliau bersabda,فينزل عيسى بن مريم صلى الله عليه وسلم، فيقول أميرُهم: تعالَ صلّ لنا. فيقول: لا، إن بعضَكُم على بعض إمراء؛ تكرمة الله هذه الأمة“Kemudian turunlah Isa bin Maryam ‘alaihissalam, lalu pemimpin mereka berkata, ‘Silakan engkau mengimami kami salat.’ Isa menjawab, ‘Tidak, sebagian kalian menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini.’” (HR. Muslim)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كيف أنتُم إذا نزل ابن مريم فيكم، وإمامُكم منكم؟“Bagaimana keadaan kalian ketika Ibnu Maryam (Isa) turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian sendiri?!” (HR. Bukhari)Perkataan para ulama tentang Al-MahdiSyekh Shiddiq Hasan dalam kitabnya al-Idza‘ah menyebutkan sekumpulan besar hadis-hadis tentang al-Mahdi. Beliau menjadikan hadis Jabir yang telah disebutkan sebelumnya sebagai penutup hadis-hadis tentang al-Mahdi, kemudian beliau berkata setelahnya,“Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan nama al-Mahdi, tetapi tidak mungkin dipahami selain al-Mahdi al-Muntazhar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadis-hadis sebelumnya dan atsar-atsar yang sangat banyak.”Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Abari berkata, “Telah mutawatir dan tersebar luas berita-berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi bahwa ia dari Ahlul Bait beliau, ia akan memimpin selama tujuh tahun, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan, bahwa Isa ‘alaihissalam akan turun, lalu membantu al-Mahdi membunuh Dajjal, dan bahwa al-Mahdi akan menjadi imam bagi umat ini, sementara Isa akan salat di belakangnya.”Asy-Syaukani berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan tawatur tentang al-Mahdi al-Muntazhar yang sempat saya temukan berjumlah lima puluh hadis. Di dalamnya terdapat hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‘if yang saling menguatkan. Kesemuanya mutawatir tanpa ada keraguan sedikit pun. Bahkan, derajat yang lebih rendah dari itu saja sudah cukup untuk disebut tawatur menurut istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu ushul. Adapun atsar dari para sahabat yang menegaskan tentang al-Mahdi juga sangat banyak, dan kedudukannya sama dengan hadis marfū‘, sebab perkara seperti ini tidak mungkin didasarkan pada ijtihad semata.”Para ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiSelain dari kitab-kitab hadis yang terkenal, seperti as-Sunan al-Arba‘ah dan al-Masanid seperti Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya‘la, Musnad al-Harits bin Abi Usamah, al-Mustadrak karya al-Hakim, al-Mushannaf karya Ibnu Abi Shaybah, Shahih Ibnu Khuzaymah, dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya disebutkan hadis-hadis tentang al-Mahdi, sekelompok ulama telah mengkhususkan penulisan kitab tentang al-Mahdi al-Muntazhar, yang di dalamnya mereka mengumpulkan banyak hadis yang berhubungan dengannya.Di antara kitab-kitab tersebut adalah:Al-Hafizh Abu Bakr Ibn Abi Khaytsamah menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan al-Mahdi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menukil dari al-Suhayli.As-Suyuthi menulis sebuah karya kecil yang diberi nama al-‘Arf al-Wardi fi Akhbar al-Mahdi, yang tercetak dalam al-Hawi lil-Fatawi.Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim bahwa ia menulis sebuah karya khusus tersendiri mengenai al-Mahdi.Ali al-Muttaqi al-Hindi berupa sebuah risalah tentang masalah al-Mahdi.Ibnu Hajar al-Makki memiliki sebuah karya yang diberi judul al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar.Al-Mulla ‘Ali al-Qari menulis kitab berjudul al-Mashrab al-Wardi fi Madzhab al-Mahdi.Wallahu a’lam.Baca juga: Kapan Terjadinya Hari Kiamat?***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari kitab Asyraathu As-Saa’ah karya Syekh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal. 215-237.

Tanda Kiamat Besar: Munculnya Imam Al-Mahdi

Daftar Isi ToggleMengenal Imam MahdiTempat munculnya Al-MahdiPerkataan para ulama tentang Al-MahdiPara ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiDi akhir zaman, akan muncul seorang lelaki dari Ahlul Bait yang Allah teguhkan agama dengannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منا أهل البيت، يصلحه الله في ليلة“Al-Mahdi itu dari kami, Ahlul Bait. Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Allah menerima tobatnya, memberinya taufik, mengilhaminya, dan menunjukinya, setelah sebelumnya ia tidak demikian.”Al-Mahdi akan memimpin selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Umat akan merasakan kenikmatan pada masa pemerintahannya, kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Bumi akan mengeluarkan tumbuhannya, langit akan menurunkan hujannya, dan harta akan diberikan tanpa hitungan. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian tentang al-Mahdi. Ia akan diutus pada saat manusia berada dalam perselisihan dan gempa (kekacauan). Lalu ia memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan, sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Penduduk langit dan penduduk bumi akan rida kepadanya. Ia akan membagi-bagikan harta secara adil.”Seorang laki-laki bertanya, “Apa maksudnya membagi dengan adil?”Beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sama rata di antara manusia.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,“Allah akan memenuhi hati umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan, dan keadilan pemerintahannya meliputi mereka, hingga seorang penyeru menyerukan, “Siapa yang masih membutuhkan harta?” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang lelaki. Lalu ia berkata, “Pergilah kepada bendahara (penjaga harta), katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkanmu agar memberiku harta.'” Maka bendahara itu berkata, “Ambillah!” Lalu ia mengambil hingga penuh di pangkuannya. Namun setelah keluar, ia menyesal dan berkata, “Aku adalah manusia yang paling tamak dari umat Muhammad. Bukankah cukup bagiku apa yang telah mencukupi mereka?” Lalu ia ingin mengembalikan harta itu, tetapi tidak diterima darinya. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kami tidak akan mengambil kembali sesuatu yang telah kami berikan.” Ia pun hidup dalam masa kekuasaan al-Mahdi selama tujuh atau delapan atau sembilan tahun. Setelah itu, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian tidak ada lagi kebaikan dalam hidup setelah itu.” (HR. Ahmad)Dalam hal ini terdapat dalil bahwa setelah wafatnya al-Mahdi, akan muncul kejahatan dan fitnah-fitnah besar.Mengenal Imam MahdiAl-Mahdi ini memiliki nama yang sama dengan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga namanya adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تذهبُ أوَّلًا تنقضي الدنيا حتّى يملك العرب رجلٌ من أهل بيتي، يواطىء اسمُه اسمي“Tidak akan lenyap (atau tidak akan berakhir) dunia ini hingga bangsa Arab dipimpin oleh seorang lelaki dari Ahlul Baitku, yang namanya sesuai dengan namaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)Dalam satu riwayat disebutkan,يواطىءُ اسمُه اسمي واسم أبيه اسم أبي“Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.” (HR. Abu Daud)Al-Mahdi berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dari keturunan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي من عترتي، من ولد فاطمة“Al-Mahdi adalah dari keturunanku, dari anak cucu Fathimah.” (HR. Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi bahwa dia adalah Muhammad bin Abdullah Al-‘Alawi, Al-Fathimi, Al-Hasani.Sifat-sifatnya yang disebutkan adalah dahinya lebar dan hidungnya mancung. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منِّي أجلى الجبهة، أقنى الأنف، يملأ الأرض قسطًا وعدلًا كما مُلِئت ظلمًا وجورًا، يملك سبع سنين“Al-Mahdi berasal dari keturunanku. Dahinya lebar, hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Ia akan memimpin selama tujuh tahun.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)Tempat munculnya Al-MahdiKemunculan al-Mahdi akan datang dari arah timur. Hal ini telah disebutkan dalam hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقتَتِلُ عند كنزكم ثلاثة؛ كلهم ابن خليفة، ثمّ لا يصير إلى واحد منهم، ثمّ تطلع الرايات السود من قِبَل المشرق، فيقتلونكم قتلًا لم يقتله قومٌ … (ثمّ ذكر شيئًا لا أحفظه، فقال:) فإذا رأيتُمو؛ فبايِعوه، ولو حبوًا على الثَّلج؛ فإنّه خليفة الله المهدي“Akan terjadi perebutan di sisi harta simpanan kalian oleh tiga orang, semuanya anak khalifah. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendapatkannya. Kemudian muncullah panji-panji hitam dari arah timur, lalu mereka membunuh kalian dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dilakukan oleh suatu kaum sebelumnya … (kemudian beliau menyebutkan sesuatu yang tidak kuingat, lalu beliau bersabda:) Maka apabila kalian melihatnya, baiatlah dia, sekalipun harus merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah Khalifah Allah al-Mahdi.’” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, disahihkan oleh Syeikh Albani)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan harta simpanan (kanz) dalam konteks ini adalah harta simpanan Ka‘bah. Tiga orang dari anak-anak khalifah akan saling berebut untuk mengambilnya hingga datang akhir zaman, lalu keluarlah al-Mahdi. Kemunculannya akan dari negeri-negeri bagian timur, bukan dari ruang bawah tanah (Sardab) di Samarra, tidak sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Rafidhah yang jahil, bahwa ia sekarang berada di sana dan mereka menunggu kemunculannya di akhir zaman. Sesungguhnya itu hanyalah bentuk khayalan, kesesatan besar, dan godaan dari setan; sebab tidak ada dalil atasnya, tidak dari al-Qur’an, tidak dari Sunah, tidak dari akal yang sehat, dan tidak pula dari istihsan (pertimbangan yang baik).”Beliau juga berkata, “Ia akan ditolong oleh sekelompok orang dari arah timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan menguatkan fondasi kerajaannya. Panji-panji mereka juga berwarna hitam, dan itu adalah simbol yang penuh wibawa; karena panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam yang dikenal dengan sebutan al-‘Uqab.”Hingga beliau berkata, “Kesimpulannya, bahwa al-Mahdi yang dipuji dan dijanjikan kemunculannya di akhir zaman, asal mula kemunculan dan keluarnya adalah dari arah timur. Lalu ia akan dibaiat di sisi Ka‘bah, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian hadis.”Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تزال طائفةٌ من أُمَّتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka tampak menang hingga hari kiamat.” Beliau bersabda,فينزل عيسى بن مريم صلى الله عليه وسلم، فيقول أميرُهم: تعالَ صلّ لنا. فيقول: لا، إن بعضَكُم على بعض إمراء؛ تكرمة الله هذه الأمة“Kemudian turunlah Isa bin Maryam ‘alaihissalam, lalu pemimpin mereka berkata, ‘Silakan engkau mengimami kami salat.’ Isa menjawab, ‘Tidak, sebagian kalian menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini.’” (HR. Muslim)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كيف أنتُم إذا نزل ابن مريم فيكم، وإمامُكم منكم؟“Bagaimana keadaan kalian ketika Ibnu Maryam (Isa) turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian sendiri?!” (HR. Bukhari)Perkataan para ulama tentang Al-MahdiSyekh Shiddiq Hasan dalam kitabnya al-Idza‘ah menyebutkan sekumpulan besar hadis-hadis tentang al-Mahdi. Beliau menjadikan hadis Jabir yang telah disebutkan sebelumnya sebagai penutup hadis-hadis tentang al-Mahdi, kemudian beliau berkata setelahnya,“Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan nama al-Mahdi, tetapi tidak mungkin dipahami selain al-Mahdi al-Muntazhar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadis-hadis sebelumnya dan atsar-atsar yang sangat banyak.”Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Abari berkata, “Telah mutawatir dan tersebar luas berita-berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi bahwa ia dari Ahlul Bait beliau, ia akan memimpin selama tujuh tahun, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan, bahwa Isa ‘alaihissalam akan turun, lalu membantu al-Mahdi membunuh Dajjal, dan bahwa al-Mahdi akan menjadi imam bagi umat ini, sementara Isa akan salat di belakangnya.”Asy-Syaukani berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan tawatur tentang al-Mahdi al-Muntazhar yang sempat saya temukan berjumlah lima puluh hadis. Di dalamnya terdapat hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‘if yang saling menguatkan. Kesemuanya mutawatir tanpa ada keraguan sedikit pun. Bahkan, derajat yang lebih rendah dari itu saja sudah cukup untuk disebut tawatur menurut istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu ushul. Adapun atsar dari para sahabat yang menegaskan tentang al-Mahdi juga sangat banyak, dan kedudukannya sama dengan hadis marfū‘, sebab perkara seperti ini tidak mungkin didasarkan pada ijtihad semata.”Para ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiSelain dari kitab-kitab hadis yang terkenal, seperti as-Sunan al-Arba‘ah dan al-Masanid seperti Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya‘la, Musnad al-Harits bin Abi Usamah, al-Mustadrak karya al-Hakim, al-Mushannaf karya Ibnu Abi Shaybah, Shahih Ibnu Khuzaymah, dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya disebutkan hadis-hadis tentang al-Mahdi, sekelompok ulama telah mengkhususkan penulisan kitab tentang al-Mahdi al-Muntazhar, yang di dalamnya mereka mengumpulkan banyak hadis yang berhubungan dengannya.Di antara kitab-kitab tersebut adalah:Al-Hafizh Abu Bakr Ibn Abi Khaytsamah menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan al-Mahdi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menukil dari al-Suhayli.As-Suyuthi menulis sebuah karya kecil yang diberi nama al-‘Arf al-Wardi fi Akhbar al-Mahdi, yang tercetak dalam al-Hawi lil-Fatawi.Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim bahwa ia menulis sebuah karya khusus tersendiri mengenai al-Mahdi.Ali al-Muttaqi al-Hindi berupa sebuah risalah tentang masalah al-Mahdi.Ibnu Hajar al-Makki memiliki sebuah karya yang diberi judul al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar.Al-Mulla ‘Ali al-Qari menulis kitab berjudul al-Mashrab al-Wardi fi Madzhab al-Mahdi.Wallahu a’lam.Baca juga: Kapan Terjadinya Hari Kiamat?***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari kitab Asyraathu As-Saa’ah karya Syekh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal. 215-237.
Daftar Isi ToggleMengenal Imam MahdiTempat munculnya Al-MahdiPerkataan para ulama tentang Al-MahdiPara ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiDi akhir zaman, akan muncul seorang lelaki dari Ahlul Bait yang Allah teguhkan agama dengannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منا أهل البيت، يصلحه الله في ليلة“Al-Mahdi itu dari kami, Ahlul Bait. Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Allah menerima tobatnya, memberinya taufik, mengilhaminya, dan menunjukinya, setelah sebelumnya ia tidak demikian.”Al-Mahdi akan memimpin selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Umat akan merasakan kenikmatan pada masa pemerintahannya, kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Bumi akan mengeluarkan tumbuhannya, langit akan menurunkan hujannya, dan harta akan diberikan tanpa hitungan. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian tentang al-Mahdi. Ia akan diutus pada saat manusia berada dalam perselisihan dan gempa (kekacauan). Lalu ia memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan, sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Penduduk langit dan penduduk bumi akan rida kepadanya. Ia akan membagi-bagikan harta secara adil.”Seorang laki-laki bertanya, “Apa maksudnya membagi dengan adil?”Beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sama rata di antara manusia.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,“Allah akan memenuhi hati umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan, dan keadilan pemerintahannya meliputi mereka, hingga seorang penyeru menyerukan, “Siapa yang masih membutuhkan harta?” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang lelaki. Lalu ia berkata, “Pergilah kepada bendahara (penjaga harta), katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkanmu agar memberiku harta.'” Maka bendahara itu berkata, “Ambillah!” Lalu ia mengambil hingga penuh di pangkuannya. Namun setelah keluar, ia menyesal dan berkata, “Aku adalah manusia yang paling tamak dari umat Muhammad. Bukankah cukup bagiku apa yang telah mencukupi mereka?” Lalu ia ingin mengembalikan harta itu, tetapi tidak diterima darinya. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kami tidak akan mengambil kembali sesuatu yang telah kami berikan.” Ia pun hidup dalam masa kekuasaan al-Mahdi selama tujuh atau delapan atau sembilan tahun. Setelah itu, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian tidak ada lagi kebaikan dalam hidup setelah itu.” (HR. Ahmad)Dalam hal ini terdapat dalil bahwa setelah wafatnya al-Mahdi, akan muncul kejahatan dan fitnah-fitnah besar.Mengenal Imam MahdiAl-Mahdi ini memiliki nama yang sama dengan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga namanya adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تذهبُ أوَّلًا تنقضي الدنيا حتّى يملك العرب رجلٌ من أهل بيتي، يواطىء اسمُه اسمي“Tidak akan lenyap (atau tidak akan berakhir) dunia ini hingga bangsa Arab dipimpin oleh seorang lelaki dari Ahlul Baitku, yang namanya sesuai dengan namaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)Dalam satu riwayat disebutkan,يواطىءُ اسمُه اسمي واسم أبيه اسم أبي“Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.” (HR. Abu Daud)Al-Mahdi berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dari keturunan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي من عترتي، من ولد فاطمة“Al-Mahdi adalah dari keturunanku, dari anak cucu Fathimah.” (HR. Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi bahwa dia adalah Muhammad bin Abdullah Al-‘Alawi, Al-Fathimi, Al-Hasani.Sifat-sifatnya yang disebutkan adalah dahinya lebar dan hidungnya mancung. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منِّي أجلى الجبهة، أقنى الأنف، يملأ الأرض قسطًا وعدلًا كما مُلِئت ظلمًا وجورًا، يملك سبع سنين“Al-Mahdi berasal dari keturunanku. Dahinya lebar, hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Ia akan memimpin selama tujuh tahun.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)Tempat munculnya Al-MahdiKemunculan al-Mahdi akan datang dari arah timur. Hal ini telah disebutkan dalam hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقتَتِلُ عند كنزكم ثلاثة؛ كلهم ابن خليفة، ثمّ لا يصير إلى واحد منهم، ثمّ تطلع الرايات السود من قِبَل المشرق، فيقتلونكم قتلًا لم يقتله قومٌ … (ثمّ ذكر شيئًا لا أحفظه، فقال:) فإذا رأيتُمو؛ فبايِعوه، ولو حبوًا على الثَّلج؛ فإنّه خليفة الله المهدي“Akan terjadi perebutan di sisi harta simpanan kalian oleh tiga orang, semuanya anak khalifah. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendapatkannya. Kemudian muncullah panji-panji hitam dari arah timur, lalu mereka membunuh kalian dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dilakukan oleh suatu kaum sebelumnya … (kemudian beliau menyebutkan sesuatu yang tidak kuingat, lalu beliau bersabda:) Maka apabila kalian melihatnya, baiatlah dia, sekalipun harus merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah Khalifah Allah al-Mahdi.’” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, disahihkan oleh Syeikh Albani)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan harta simpanan (kanz) dalam konteks ini adalah harta simpanan Ka‘bah. Tiga orang dari anak-anak khalifah akan saling berebut untuk mengambilnya hingga datang akhir zaman, lalu keluarlah al-Mahdi. Kemunculannya akan dari negeri-negeri bagian timur, bukan dari ruang bawah tanah (Sardab) di Samarra, tidak sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Rafidhah yang jahil, bahwa ia sekarang berada di sana dan mereka menunggu kemunculannya di akhir zaman. Sesungguhnya itu hanyalah bentuk khayalan, kesesatan besar, dan godaan dari setan; sebab tidak ada dalil atasnya, tidak dari al-Qur’an, tidak dari Sunah, tidak dari akal yang sehat, dan tidak pula dari istihsan (pertimbangan yang baik).”Beliau juga berkata, “Ia akan ditolong oleh sekelompok orang dari arah timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan menguatkan fondasi kerajaannya. Panji-panji mereka juga berwarna hitam, dan itu adalah simbol yang penuh wibawa; karena panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam yang dikenal dengan sebutan al-‘Uqab.”Hingga beliau berkata, “Kesimpulannya, bahwa al-Mahdi yang dipuji dan dijanjikan kemunculannya di akhir zaman, asal mula kemunculan dan keluarnya adalah dari arah timur. Lalu ia akan dibaiat di sisi Ka‘bah, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian hadis.”Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تزال طائفةٌ من أُمَّتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka tampak menang hingga hari kiamat.” Beliau bersabda,فينزل عيسى بن مريم صلى الله عليه وسلم، فيقول أميرُهم: تعالَ صلّ لنا. فيقول: لا، إن بعضَكُم على بعض إمراء؛ تكرمة الله هذه الأمة“Kemudian turunlah Isa bin Maryam ‘alaihissalam, lalu pemimpin mereka berkata, ‘Silakan engkau mengimami kami salat.’ Isa menjawab, ‘Tidak, sebagian kalian menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini.’” (HR. Muslim)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كيف أنتُم إذا نزل ابن مريم فيكم، وإمامُكم منكم؟“Bagaimana keadaan kalian ketika Ibnu Maryam (Isa) turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian sendiri?!” (HR. Bukhari)Perkataan para ulama tentang Al-MahdiSyekh Shiddiq Hasan dalam kitabnya al-Idza‘ah menyebutkan sekumpulan besar hadis-hadis tentang al-Mahdi. Beliau menjadikan hadis Jabir yang telah disebutkan sebelumnya sebagai penutup hadis-hadis tentang al-Mahdi, kemudian beliau berkata setelahnya,“Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan nama al-Mahdi, tetapi tidak mungkin dipahami selain al-Mahdi al-Muntazhar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadis-hadis sebelumnya dan atsar-atsar yang sangat banyak.”Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Abari berkata, “Telah mutawatir dan tersebar luas berita-berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi bahwa ia dari Ahlul Bait beliau, ia akan memimpin selama tujuh tahun, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan, bahwa Isa ‘alaihissalam akan turun, lalu membantu al-Mahdi membunuh Dajjal, dan bahwa al-Mahdi akan menjadi imam bagi umat ini, sementara Isa akan salat di belakangnya.”Asy-Syaukani berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan tawatur tentang al-Mahdi al-Muntazhar yang sempat saya temukan berjumlah lima puluh hadis. Di dalamnya terdapat hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‘if yang saling menguatkan. Kesemuanya mutawatir tanpa ada keraguan sedikit pun. Bahkan, derajat yang lebih rendah dari itu saja sudah cukup untuk disebut tawatur menurut istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu ushul. Adapun atsar dari para sahabat yang menegaskan tentang al-Mahdi juga sangat banyak, dan kedudukannya sama dengan hadis marfū‘, sebab perkara seperti ini tidak mungkin didasarkan pada ijtihad semata.”Para ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiSelain dari kitab-kitab hadis yang terkenal, seperti as-Sunan al-Arba‘ah dan al-Masanid seperti Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya‘la, Musnad al-Harits bin Abi Usamah, al-Mustadrak karya al-Hakim, al-Mushannaf karya Ibnu Abi Shaybah, Shahih Ibnu Khuzaymah, dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya disebutkan hadis-hadis tentang al-Mahdi, sekelompok ulama telah mengkhususkan penulisan kitab tentang al-Mahdi al-Muntazhar, yang di dalamnya mereka mengumpulkan banyak hadis yang berhubungan dengannya.Di antara kitab-kitab tersebut adalah:Al-Hafizh Abu Bakr Ibn Abi Khaytsamah menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan al-Mahdi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menukil dari al-Suhayli.As-Suyuthi menulis sebuah karya kecil yang diberi nama al-‘Arf al-Wardi fi Akhbar al-Mahdi, yang tercetak dalam al-Hawi lil-Fatawi.Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim bahwa ia menulis sebuah karya khusus tersendiri mengenai al-Mahdi.Ali al-Muttaqi al-Hindi berupa sebuah risalah tentang masalah al-Mahdi.Ibnu Hajar al-Makki memiliki sebuah karya yang diberi judul al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar.Al-Mulla ‘Ali al-Qari menulis kitab berjudul al-Mashrab al-Wardi fi Madzhab al-Mahdi.Wallahu a’lam.Baca juga: Kapan Terjadinya Hari Kiamat?***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari kitab Asyraathu As-Saa’ah karya Syekh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal. 215-237.


Daftar Isi ToggleMengenal Imam MahdiTempat munculnya Al-MahdiPerkataan para ulama tentang Al-MahdiPara ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiDi akhir zaman, akan muncul seorang lelaki dari Ahlul Bait yang Allah teguhkan agama dengannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منا أهل البيت، يصلحه الله في ليلة“Al-Mahdi itu dari kami, Ahlul Bait. Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Allah menerima tobatnya, memberinya taufik, mengilhaminya, dan menunjukinya, setelah sebelumnya ia tidak demikian.”Al-Mahdi akan memimpin selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Umat akan merasakan kenikmatan pada masa pemerintahannya, kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Bumi akan mengeluarkan tumbuhannya, langit akan menurunkan hujannya, dan harta akan diberikan tanpa hitungan. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku sampaikan kabar gembira kepada kalian tentang al-Mahdi. Ia akan diutus pada saat manusia berada dalam perselisihan dan gempa (kekacauan). Lalu ia memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan, sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Penduduk langit dan penduduk bumi akan rida kepadanya. Ia akan membagi-bagikan harta secara adil.”Seorang laki-laki bertanya, “Apa maksudnya membagi dengan adil?”Beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sama rata di antara manusia.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,“Allah akan memenuhi hati umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan, dan keadilan pemerintahannya meliputi mereka, hingga seorang penyeru menyerukan, “Siapa yang masih membutuhkan harta?” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang lelaki. Lalu ia berkata, “Pergilah kepada bendahara (penjaga harta), katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkanmu agar memberiku harta.'” Maka bendahara itu berkata, “Ambillah!” Lalu ia mengambil hingga penuh di pangkuannya. Namun setelah keluar, ia menyesal dan berkata, “Aku adalah manusia yang paling tamak dari umat Muhammad. Bukankah cukup bagiku apa yang telah mencukupi mereka?” Lalu ia ingin mengembalikan harta itu, tetapi tidak diterima darinya. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kami tidak akan mengambil kembali sesuatu yang telah kami berikan.” Ia pun hidup dalam masa kekuasaan al-Mahdi selama tujuh atau delapan atau sembilan tahun. Setelah itu, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian tidak ada lagi kebaikan dalam hidup setelah itu.” (HR. Ahmad)Dalam hal ini terdapat dalil bahwa setelah wafatnya al-Mahdi, akan muncul kejahatan dan fitnah-fitnah besar.Mengenal Imam MahdiAl-Mahdi ini memiliki nama yang sama dengan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga namanya adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تذهبُ أوَّلًا تنقضي الدنيا حتّى يملك العرب رجلٌ من أهل بيتي، يواطىء اسمُه اسمي“Tidak akan lenyap (atau tidak akan berakhir) dunia ini hingga bangsa Arab dipimpin oleh seorang lelaki dari Ahlul Baitku, yang namanya sesuai dengan namaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)Dalam satu riwayat disebutkan,يواطىءُ اسمُه اسمي واسم أبيه اسم أبي“Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.” (HR. Abu Daud)Al-Mahdi berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dari keturunan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي من عترتي، من ولد فاطمة“Al-Mahdi adalah dari keturunanku, dari anak cucu Fathimah.” (HR. Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah)Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi bahwa dia adalah Muhammad bin Abdullah Al-‘Alawi, Al-Fathimi, Al-Hasani.Sifat-sifatnya yang disebutkan adalah dahinya lebar dan hidungnya mancung. Dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المهدي منِّي أجلى الجبهة، أقنى الأنف، يملأ الأرض قسطًا وعدلًا كما مُلِئت ظلمًا وجورًا، يملك سبع سنين“Al-Mahdi berasal dari keturunanku. Dahinya lebar, hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan keseimbangan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Ia akan memimpin selama tujuh tahun.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)Tempat munculnya Al-MahdiKemunculan al-Mahdi akan datang dari arah timur. Hal ini telah disebutkan dalam hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقتَتِلُ عند كنزكم ثلاثة؛ كلهم ابن خليفة، ثمّ لا يصير إلى واحد منهم، ثمّ تطلع الرايات السود من قِبَل المشرق، فيقتلونكم قتلًا لم يقتله قومٌ … (ثمّ ذكر شيئًا لا أحفظه، فقال:) فإذا رأيتُمو؛ فبايِعوه، ولو حبوًا على الثَّلج؛ فإنّه خليفة الله المهدي“Akan terjadi perebutan di sisi harta simpanan kalian oleh tiga orang, semuanya anak khalifah. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendapatkannya. Kemudian muncullah panji-panji hitam dari arah timur, lalu mereka membunuh kalian dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dilakukan oleh suatu kaum sebelumnya … (kemudian beliau menyebutkan sesuatu yang tidak kuingat, lalu beliau bersabda:) Maka apabila kalian melihatnya, baiatlah dia, sekalipun harus merangkak di atas salju, karena sesungguhnya dia adalah Khalifah Allah al-Mahdi.’” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, disahihkan oleh Syeikh Albani)Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan harta simpanan (kanz) dalam konteks ini adalah harta simpanan Ka‘bah. Tiga orang dari anak-anak khalifah akan saling berebut untuk mengambilnya hingga datang akhir zaman, lalu keluarlah al-Mahdi. Kemunculannya akan dari negeri-negeri bagian timur, bukan dari ruang bawah tanah (Sardab) di Samarra, tidak sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Rafidhah yang jahil, bahwa ia sekarang berada di sana dan mereka menunggu kemunculannya di akhir zaman. Sesungguhnya itu hanyalah bentuk khayalan, kesesatan besar, dan godaan dari setan; sebab tidak ada dalil atasnya, tidak dari al-Qur’an, tidak dari Sunah, tidak dari akal yang sehat, dan tidak pula dari istihsan (pertimbangan yang baik).”Beliau juga berkata, “Ia akan ditolong oleh sekelompok orang dari arah timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan menguatkan fondasi kerajaannya. Panji-panji mereka juga berwarna hitam, dan itu adalah simbol yang penuh wibawa; karena panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam yang dikenal dengan sebutan al-‘Uqab.”Hingga beliau berkata, “Kesimpulannya, bahwa al-Mahdi yang dipuji dan dijanjikan kemunculannya di akhir zaman, asal mula kemunculan dan keluarnya adalah dari arah timur. Lalu ia akan dibaiat di sisi Ka‘bah, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian hadis.”Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تزال طائفةٌ من أُمَّتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka tampak menang hingga hari kiamat.” Beliau bersabda,فينزل عيسى بن مريم صلى الله عليه وسلم، فيقول أميرُهم: تعالَ صلّ لنا. فيقول: لا، إن بعضَكُم على بعض إمراء؛ تكرمة الله هذه الأمة“Kemudian turunlah Isa bin Maryam ‘alaihissalam, lalu pemimpin mereka berkata, ‘Silakan engkau mengimami kami salat.’ Isa menjawab, ‘Tidak, sebagian kalian menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini.’” (HR. Muslim)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كيف أنتُم إذا نزل ابن مريم فيكم، وإمامُكم منكم؟“Bagaimana keadaan kalian ketika Ibnu Maryam (Isa) turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian sendiri?!” (HR. Bukhari)Perkataan para ulama tentang Al-MahdiSyekh Shiddiq Hasan dalam kitabnya al-Idza‘ah menyebutkan sekumpulan besar hadis-hadis tentang al-Mahdi. Beliau menjadikan hadis Jabir yang telah disebutkan sebelumnya sebagai penutup hadis-hadis tentang al-Mahdi, kemudian beliau berkata setelahnya,“Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan nama al-Mahdi, tetapi tidak mungkin dipahami selain al-Mahdi al-Muntazhar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadis-hadis sebelumnya dan atsar-atsar yang sangat banyak.”Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Abari berkata, “Telah mutawatir dan tersebar luas berita-berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi bahwa ia dari Ahlul Bait beliau, ia akan memimpin selama tujuh tahun, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan, bahwa Isa ‘alaihissalam akan turun, lalu membantu al-Mahdi membunuh Dajjal, dan bahwa al-Mahdi akan menjadi imam bagi umat ini, sementara Isa akan salat di belakangnya.”Asy-Syaukani berkata, “Hadis-hadis yang menunjukkan tawatur tentang al-Mahdi al-Muntazhar yang sempat saya temukan berjumlah lima puluh hadis. Di dalamnya terdapat hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‘if yang saling menguatkan. Kesemuanya mutawatir tanpa ada keraguan sedikit pun. Bahkan, derajat yang lebih rendah dari itu saja sudah cukup untuk disebut tawatur menurut istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu ushul. Adapun atsar dari para sahabat yang menegaskan tentang al-Mahdi juga sangat banyak, dan kedudukannya sama dengan hadis marfū‘, sebab perkara seperti ini tidak mungkin didasarkan pada ijtihad semata.”Para ulama yang menulis kitab khusus tentang Al-MahdiSelain dari kitab-kitab hadis yang terkenal, seperti as-Sunan al-Arba‘ah dan al-Masanid seperti Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya‘la, Musnad al-Harits bin Abi Usamah, al-Mustadrak karya al-Hakim, al-Mushannaf karya Ibnu Abi Shaybah, Shahih Ibnu Khuzaymah, dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya disebutkan hadis-hadis tentang al-Mahdi, sekelompok ulama telah mengkhususkan penulisan kitab tentang al-Mahdi al-Muntazhar, yang di dalamnya mereka mengumpulkan banyak hadis yang berhubungan dengannya.Di antara kitab-kitab tersebut adalah:Al-Hafizh Abu Bakr Ibn Abi Khaytsamah menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan al-Mahdi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menukil dari al-Suhayli.As-Suyuthi menulis sebuah karya kecil yang diberi nama al-‘Arf al-Wardi fi Akhbar al-Mahdi, yang tercetak dalam al-Hawi lil-Fatawi.Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim bahwa ia menulis sebuah karya khusus tersendiri mengenai al-Mahdi.Ali al-Muttaqi al-Hindi berupa sebuah risalah tentang masalah al-Mahdi.Ibnu Hajar al-Makki memiliki sebuah karya yang diberi judul al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar.Al-Mulla ‘Ali al-Qari menulis kitab berjudul al-Mashrab al-Wardi fi Madzhab al-Mahdi.Wallahu a’lam.Baca juga: Kapan Terjadinya Hari Kiamat?***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari kitab Asyraathu As-Saa’ah karya Syekh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal. 215-237.

Allah Janjikan Reuni Keluarga di Surga – Tapi Ini Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khotslan

Di antara kenikmatan penghuni surga adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga di surga. Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang dengan anak keturunannya, kedua orang tuanya, dan pasangannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,” maksudnya: jika terdapat perbedaan tingkatan di surga di antara mereka, maka Allah Ta’ala akan meninggikan anggota keluarga yang tingkatannya lebih rendah agar dapat berkumpul dengan yang lebih tinggi. Tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang lebih tinggi derajatnya. Oleh sebab itu, Allah berfirman: “…dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” Hal ini agar ketenteraman mereka semakin besar dan kebahagiaan mereka menjadi sempurna. Allah Subhanahu juga berfirman: “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki, bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan kembali kebersamaan keluarga. Allah mengumpulkan penghuni surga dengan kedua orang tuanya, pasangannya, dan anak keturunannya. Allah meninggikan orang yang derajatnya lebih rendah agar dapat bersama dengan yang derajatnya lebih tinggi, dengan satu syarat: mereka semua telah masuk surga. Namun, jika terdapat perbedaan tingkatan di antara mereka, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan meninggikan yang lebih rendah agar dapat bergabung dengan yang lebih tinggi derajatnya. “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan…” Inilah syaratnya. “…Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang yang saleh…” Inilah syaratnya: kesalehan. “…bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah Ta’ala menyatukan kembali kebersamaan keluarga, lalu Allah menghilangkan segala bentuk perselisihan yang ada dalam jiwa mereka. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam dada mereka, sedang mereka merasa bersaudara…” (QS. Al-Hijr: 47) Sehingga keadaan mereka benar-benar berbeda dari keadaan mereka di dunia. Segala permusuhan di antara mereka telah lenyap, dan kedamaian, kebahagiaan, serta sukacita memenuhi surga. Inilah salah satu kenikmatan bagi penghuni surga: Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang di surga dengan anggota keluarganya yang saleh, menyatukan mereka agar kebahagiaan dan kedamaian mereka semakin sempurna. ===== مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ اجْتِمَاعُ شَمْلِ العَائِلةِ فِي الْجَنَّةِ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى الْإِنْسَانَ بِذُرِّيَّاتِهِ وَبِوَالِدَيْهِ وَبِأَزْوَاجِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ يَعْنِي إِذَا كَانَ هُنَاكَ تَفَاوُتٌ فِي مَرَاتِبِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْفَعُ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الدُّنْيَا لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الْعُلْيَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقِصَ الْأَعْلَى شَيْئًا وَلِهَذَا قَالَ وَمَا أَلَتْنَاهُم يَعْنِي مَا أَنْقَصْنَاهُم مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ لِأَجْلِ أَنْ يَعْظُمَ الْأُنْسُ وَيَكْتَمِلَ السُّرُورُ وَيَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَمْلَ العَائِلةِ يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ بِأَزْوَاجِهِ وَبِذُرِّيَّتِهِ وَيَرْفَعُ مَنْ كَانَ فِي الدَّرَجَةِ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الدَّرَجَةِ الْأَعْلَى بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْجَمِيعُ قَدْ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَكِنْ مَعَ تَفَاوُتِ الْمَرَاتِبِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ الْأَعْلَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ الصَّلَاحُِ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى شَمْلَ العَائِلةِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ يُزِيْلُ مَا فِي النُّفُوسِ مِنَ الشَّحْنَاءِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا فَيَكُونُونَ عَلَى هَيْئَةٍ مُخْتَلِفَةٍ تَمَامًا عَمَّا فِي الدُّنْيَا قَدْ زَالَ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ الشَّحْنَاءِ وَيَعْظُمُ الْأُنْسُ وَالسُّرُورُ وَالْحُبُورُ فِي الْجَنَّةِ فَهَذَا مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ فِيهَا بِمَنْ صَلَحَ مِنْ عَائِلَتِهِ يَجْمَعُهُمْ سُبْحَانَهُ لِيَعْظُمَ سُرُورُهُمْ وَأُنْسُهُمْ

Allah Janjikan Reuni Keluarga di Surga – Tapi Ini Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khotslan

Di antara kenikmatan penghuni surga adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga di surga. Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang dengan anak keturunannya, kedua orang tuanya, dan pasangannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,” maksudnya: jika terdapat perbedaan tingkatan di surga di antara mereka, maka Allah Ta’ala akan meninggikan anggota keluarga yang tingkatannya lebih rendah agar dapat berkumpul dengan yang lebih tinggi. Tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang lebih tinggi derajatnya. Oleh sebab itu, Allah berfirman: “…dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” Hal ini agar ketenteraman mereka semakin besar dan kebahagiaan mereka menjadi sempurna. Allah Subhanahu juga berfirman: “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki, bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan kembali kebersamaan keluarga. Allah mengumpulkan penghuni surga dengan kedua orang tuanya, pasangannya, dan anak keturunannya. Allah meninggikan orang yang derajatnya lebih rendah agar dapat bersama dengan yang derajatnya lebih tinggi, dengan satu syarat: mereka semua telah masuk surga. Namun, jika terdapat perbedaan tingkatan di antara mereka, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan meninggikan yang lebih rendah agar dapat bergabung dengan yang lebih tinggi derajatnya. “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan…” Inilah syaratnya. “…Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang yang saleh…” Inilah syaratnya: kesalehan. “…bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah Ta’ala menyatukan kembali kebersamaan keluarga, lalu Allah menghilangkan segala bentuk perselisihan yang ada dalam jiwa mereka. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam dada mereka, sedang mereka merasa bersaudara…” (QS. Al-Hijr: 47) Sehingga keadaan mereka benar-benar berbeda dari keadaan mereka di dunia. Segala permusuhan di antara mereka telah lenyap, dan kedamaian, kebahagiaan, serta sukacita memenuhi surga. Inilah salah satu kenikmatan bagi penghuni surga: Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang di surga dengan anggota keluarganya yang saleh, menyatukan mereka agar kebahagiaan dan kedamaian mereka semakin sempurna. ===== مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ اجْتِمَاعُ شَمْلِ العَائِلةِ فِي الْجَنَّةِ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى الْإِنْسَانَ بِذُرِّيَّاتِهِ وَبِوَالِدَيْهِ وَبِأَزْوَاجِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ يَعْنِي إِذَا كَانَ هُنَاكَ تَفَاوُتٌ فِي مَرَاتِبِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْفَعُ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الدُّنْيَا لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الْعُلْيَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقِصَ الْأَعْلَى شَيْئًا وَلِهَذَا قَالَ وَمَا أَلَتْنَاهُم يَعْنِي مَا أَنْقَصْنَاهُم مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ لِأَجْلِ أَنْ يَعْظُمَ الْأُنْسُ وَيَكْتَمِلَ السُّرُورُ وَيَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَمْلَ العَائِلةِ يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ بِأَزْوَاجِهِ وَبِذُرِّيَّتِهِ وَيَرْفَعُ مَنْ كَانَ فِي الدَّرَجَةِ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الدَّرَجَةِ الْأَعْلَى بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْجَمِيعُ قَدْ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَكِنْ مَعَ تَفَاوُتِ الْمَرَاتِبِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ الْأَعْلَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ الصَّلَاحُِ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى شَمْلَ العَائِلةِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ يُزِيْلُ مَا فِي النُّفُوسِ مِنَ الشَّحْنَاءِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا فَيَكُونُونَ عَلَى هَيْئَةٍ مُخْتَلِفَةٍ تَمَامًا عَمَّا فِي الدُّنْيَا قَدْ زَالَ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ الشَّحْنَاءِ وَيَعْظُمُ الْأُنْسُ وَالسُّرُورُ وَالْحُبُورُ فِي الْجَنَّةِ فَهَذَا مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ فِيهَا بِمَنْ صَلَحَ مِنْ عَائِلَتِهِ يَجْمَعُهُمْ سُبْحَانَهُ لِيَعْظُمَ سُرُورُهُمْ وَأُنْسُهُمْ
Di antara kenikmatan penghuni surga adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga di surga. Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang dengan anak keturunannya, kedua orang tuanya, dan pasangannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,” maksudnya: jika terdapat perbedaan tingkatan di surga di antara mereka, maka Allah Ta’ala akan meninggikan anggota keluarga yang tingkatannya lebih rendah agar dapat berkumpul dengan yang lebih tinggi. Tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang lebih tinggi derajatnya. Oleh sebab itu, Allah berfirman: “…dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” Hal ini agar ketenteraman mereka semakin besar dan kebahagiaan mereka menjadi sempurna. Allah Subhanahu juga berfirman: “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki, bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan kembali kebersamaan keluarga. Allah mengumpulkan penghuni surga dengan kedua orang tuanya, pasangannya, dan anak keturunannya. Allah meninggikan orang yang derajatnya lebih rendah agar dapat bersama dengan yang derajatnya lebih tinggi, dengan satu syarat: mereka semua telah masuk surga. Namun, jika terdapat perbedaan tingkatan di antara mereka, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan meninggikan yang lebih rendah agar dapat bergabung dengan yang lebih tinggi derajatnya. “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan…” Inilah syaratnya. “…Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang yang saleh…” Inilah syaratnya: kesalehan. “…bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah Ta’ala menyatukan kembali kebersamaan keluarga, lalu Allah menghilangkan segala bentuk perselisihan yang ada dalam jiwa mereka. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam dada mereka, sedang mereka merasa bersaudara…” (QS. Al-Hijr: 47) Sehingga keadaan mereka benar-benar berbeda dari keadaan mereka di dunia. Segala permusuhan di antara mereka telah lenyap, dan kedamaian, kebahagiaan, serta sukacita memenuhi surga. Inilah salah satu kenikmatan bagi penghuni surga: Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang di surga dengan anggota keluarganya yang saleh, menyatukan mereka agar kebahagiaan dan kedamaian mereka semakin sempurna. ===== مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ اجْتِمَاعُ شَمْلِ العَائِلةِ فِي الْجَنَّةِ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى الْإِنْسَانَ بِذُرِّيَّاتِهِ وَبِوَالِدَيْهِ وَبِأَزْوَاجِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ يَعْنِي إِذَا كَانَ هُنَاكَ تَفَاوُتٌ فِي مَرَاتِبِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْفَعُ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الدُّنْيَا لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الْعُلْيَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقِصَ الْأَعْلَى شَيْئًا وَلِهَذَا قَالَ وَمَا أَلَتْنَاهُم يَعْنِي مَا أَنْقَصْنَاهُم مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ لِأَجْلِ أَنْ يَعْظُمَ الْأُنْسُ وَيَكْتَمِلَ السُّرُورُ وَيَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَمْلَ العَائِلةِ يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ بِأَزْوَاجِهِ وَبِذُرِّيَّتِهِ وَيَرْفَعُ مَنْ كَانَ فِي الدَّرَجَةِ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الدَّرَجَةِ الْأَعْلَى بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْجَمِيعُ قَدْ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَكِنْ مَعَ تَفَاوُتِ الْمَرَاتِبِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ الْأَعْلَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ الصَّلَاحُِ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى شَمْلَ العَائِلةِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ يُزِيْلُ مَا فِي النُّفُوسِ مِنَ الشَّحْنَاءِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا فَيَكُونُونَ عَلَى هَيْئَةٍ مُخْتَلِفَةٍ تَمَامًا عَمَّا فِي الدُّنْيَا قَدْ زَالَ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ الشَّحْنَاءِ وَيَعْظُمُ الْأُنْسُ وَالسُّرُورُ وَالْحُبُورُ فِي الْجَنَّةِ فَهَذَا مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ فِيهَا بِمَنْ صَلَحَ مِنْ عَائِلَتِهِ يَجْمَعُهُمْ سُبْحَانَهُ لِيَعْظُمَ سُرُورُهُمْ وَأُنْسُهُمْ


Di antara kenikmatan penghuni surga adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga di surga. Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang dengan anak keturunannya, kedua orang tuanya, dan pasangannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,” maksudnya: jika terdapat perbedaan tingkatan di surga di antara mereka, maka Allah Ta’ala akan meninggikan anggota keluarga yang tingkatannya lebih rendah agar dapat berkumpul dengan yang lebih tinggi. Tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang lebih tinggi derajatnya. Oleh sebab itu, Allah berfirman: “…dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” Hal ini agar ketenteraman mereka semakin besar dan kebahagiaan mereka menjadi sempurna. Allah Subhanahu juga berfirman: “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki, bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan kembali kebersamaan keluarga. Allah mengumpulkan penghuni surga dengan kedua orang tuanya, pasangannya, dan anak keturunannya. Allah meninggikan orang yang derajatnya lebih rendah agar dapat bersama dengan yang derajatnya lebih tinggi, dengan satu syarat: mereka semua telah masuk surga. Namun, jika terdapat perbedaan tingkatan di antara mereka, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan meninggikan yang lebih rendah agar dapat bergabung dengan yang lebih tinggi derajatnya. “Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan…” Inilah syaratnya. “…Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. Ath-Thur: 21) “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang yang saleh…” Inilah syaratnya: kesalehan. “…bersama orang-orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak cucu mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 23) Allah Ta’ala menyatukan kembali kebersamaan keluarga, lalu Allah menghilangkan segala bentuk perselisihan yang ada dalam jiwa mereka. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam dada mereka, sedang mereka merasa bersaudara…” (QS. Al-Hijr: 47) Sehingga keadaan mereka benar-benar berbeda dari keadaan mereka di dunia. Segala permusuhan di antara mereka telah lenyap, dan kedamaian, kebahagiaan, serta sukacita memenuhi surga. Inilah salah satu kenikmatan bagi penghuni surga: Allah Ta’ala mengumpulkan seseorang di surga dengan anggota keluarganya yang saleh, menyatukan mereka agar kebahagiaan dan kedamaian mereka semakin sempurna. ===== مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ اجْتِمَاعُ شَمْلِ العَائِلةِ فِي الْجَنَّةِ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى الْإِنْسَانَ بِذُرِّيَّاتِهِ وَبِوَالِدَيْهِ وَبِأَزْوَاجِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ يَعْنِي إِذَا كَانَ هُنَاكَ تَفَاوُتٌ فِي مَرَاتِبِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْفَعُ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الدُّنْيَا لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الْمَرْتَبَةِ الْعُلْيَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقِصَ الْأَعْلَى شَيْئًا وَلِهَذَا قَالَ وَمَا أَلَتْنَاهُم يَعْنِي مَا أَنْقَصْنَاهُم مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ لِأَجْلِ أَنْ يَعْظُمَ الْأُنْسُ وَيَكْتَمِلَ السُّرُورُ وَيَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَمْلَ العَائِلةِ يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ بِأَزْوَاجِهِ وَبِذُرِّيَّتِهِ وَيَرْفَعُ مَنْ كَانَ فِي الدَّرَجَةِ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ مَنْ فِي الدَّرَجَةِ الْأَعْلَى بِشَرْطٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْجَمِيعُ قَدْ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَكِنْ مَعَ تَفَاوُتِ الْمَرَاتِبِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ الْأَدْنَى لِيَكُونَ مَعَ الْأَعْلَى وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ هَذَا هُوَ الشَّرْطُ الصَّلَاحُِ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ فَيَجْمَعُ اللَّهُ تَعَالَى شَمْلَ العَائِلةِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ يُزِيْلُ مَا فِي النُّفُوسِ مِنَ الشَّحْنَاءِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا فَيَكُونُونَ عَلَى هَيْئَةٍ مُخْتَلِفَةٍ تَمَامًا عَمَّا فِي الدُّنْيَا قَدْ زَالَ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ الشَّحْنَاءِ وَيَعْظُمُ الْأُنْسُ وَالسُّرُورُ وَالْحُبُورُ فِي الْجَنَّةِ فَهَذَا مِنْ نَعِيمِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْمَعُ الْإِنْسَانَ فِيهَا بِمَنْ صَلَحَ مِنْ عَائِلَتِهِ يَجْمَعُهُمْ سُبْحَانَهُ لِيَعْظُمَ سُرُورُهُمْ وَأُنْسُهُمْ

Anda Budak Syahwat atau Sudah Merdeka? Cek 5 Ciri Ini! – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27) Maksudnya: orang-orang yang hatinya berpenyakit. Laa quwwata illa billah! Serta orang-orang yang hatinya terkena penyakit syahwat. Sebab, hati dapat terkena dua penyakit kronis yang menjadi akar dari seluruh penyakit hati lainnya: yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. “…dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud…” Perhatikanlah frasa: “mengikuti hawa nafsu”. Artinya: mengikuti hawa nafsu ke mana pun ia pergi. Laa quwwata illa billah! Hal ini menunjukkan betapa lemah agama dan imannya, serta lemahnya akal dan perenungannya terhadap akibat perbuatannya. Ia menjadi budak yang hina bagi syahwatnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka datanglah setelah mereka generasi penerus yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, maka kelak mereka akan mendapat kesesatan.” (QS. Maryam: 59) “(Mereka) bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27). Yakni ingin kalian menyimpang, tersesat, dan berbelok dari jalan keistiqamahan dan kebenaran. Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dirinya: Apakah ia mengikuti firman Tuhannya dan ajakan-Nya? Sesungguhnya Allah Ta’ala mengajak kepada kebaikan, petunjuk, dan kesalehan, serta menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga). “Allah menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga) dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 25) “Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah: 221) Atau justru ia mengikuti setan-setan itu? Baik setan dari kalangan manusia maupun jin, para budak syahwat, dan orang-orang yang mengajak manusia kepada kesesatan, penyimpangan, dan kerusakan. Barang siapa mengikuti setan, maka sesungguhnya setan hanya mengajaknya menuju azab yang menyala-nyala. “Sesungguhnya setan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuhmu! Sungguh, setan-setan itu hanya mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) “…dan apakah mereka akan mengikuti (nenek moyang mereka), padahal setan itu menyeru mereka ke dalam azab yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21) Wahai saudara-saudara! Tidak sepatutnya orang yang memiliki akal lebih memilih mengikuti setan daripada menaati Ar-Rahman. Lebih memilih mengikuti para budak syahwat dan orang-orang yang berusaha berbuat kerusakan, daripada mengikuti orang yang mengajaknya kepada kebaikan dan keistiqamahan, serta kepada perkara yang membawa keselamatan baginya dalam agama, dunia, dan akhiratnya. ===== وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُ مَرْضَى الْقُلُوبِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَالَّذِين أُصِيبَتْ قُلُوبُهُمْ بِمَرَضِ الشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الْقُلُوبَ تَتَعَرَّضُ إِلَى مَرَضَيْنِ شَدِيْدَيْنِ هُمَا أَصْلٌ لِعَامَّةِ أَمْرَاضِ الْقُلُوبِ وَهُمَا مَرَضُ الشَّهَوَاتِ وَمَرَضُ الشُّبُهَاتِ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ وَتَأَمَّلُوا يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ يَتْبَعُ الشَّهْوَةَ أَيْنَمَا كَانَتْ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ دِينِهِ وَضَعْفِ إِيْمَانِهِ وَضَعْفِ تَفْكِيرِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْعَوَاقِبِ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا ذَلِيلًا لِشَهَوَاتِهِ قَالَ تَعَالَى فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُونَ مِنْكُم أَنْ تَزِيْغُوا وَتَضِلُّوا وَتَنْحَرِفُوا عَنِ الِاسْتِقَامَةِ وَجَادَّةِ الصَّوَابِ وَلْيَنْظُرْ الْعَاقِلُ اللَّبِيْبُ لِنَفْسِهِ هَلْ يَتَّبِعُ قَوْلَ رَبِّهِ وَمَا يَدْعُوهُ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ تَعَالَى يَدْعُو إِلَى الْخَيْرِ وَالرَّشَادِ وَالصَّلَاحِ وَيَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ أَوْ يَتَّبِعُ هَؤُلَاءِ الشَّيَاطِينَ مِنْ شَيَاطِينِ الإِنْسِ وَالجِنِّ عُبَّدُ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ النَّاسَ إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالِ وَالِانْحِرَافِ وَمَنْ يَتَّبِعِ الشَّيْطَانَ فَإِنَّمَا يَدْعُوهُ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ وَلَا يُظَنُّ يَا إِخْوَانِي أَنَّ مَنْ لَدَيْهِ عَقْلٌ يُؤْثِرُ اتِّبَاعَ الشَّيْطَانِ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ وَيُؤْثِرُ اتِّبَاعَ أَصْحَابِ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِيْنَ يَسْعَوْنَ إِلَى الْفَسَادِ وَالْإِفْسَادِ عَلَى الِاتِّبَاعِ مَنْ يَدْعُوهُ إِلَى الصَّلَاحِ وَالِاسْتِقَامَةِ وَإِلَى مَا فِيهِ سَلَامَتُهُ وَنَجَاتُهُ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ

Anda Budak Syahwat atau Sudah Merdeka? Cek 5 Ciri Ini! – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27) Maksudnya: orang-orang yang hatinya berpenyakit. Laa quwwata illa billah! Serta orang-orang yang hatinya terkena penyakit syahwat. Sebab, hati dapat terkena dua penyakit kronis yang menjadi akar dari seluruh penyakit hati lainnya: yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. “…dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud…” Perhatikanlah frasa: “mengikuti hawa nafsu”. Artinya: mengikuti hawa nafsu ke mana pun ia pergi. Laa quwwata illa billah! Hal ini menunjukkan betapa lemah agama dan imannya, serta lemahnya akal dan perenungannya terhadap akibat perbuatannya. Ia menjadi budak yang hina bagi syahwatnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka datanglah setelah mereka generasi penerus yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, maka kelak mereka akan mendapat kesesatan.” (QS. Maryam: 59) “(Mereka) bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27). Yakni ingin kalian menyimpang, tersesat, dan berbelok dari jalan keistiqamahan dan kebenaran. Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dirinya: Apakah ia mengikuti firman Tuhannya dan ajakan-Nya? Sesungguhnya Allah Ta’ala mengajak kepada kebaikan, petunjuk, dan kesalehan, serta menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga). “Allah menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga) dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 25) “Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah: 221) Atau justru ia mengikuti setan-setan itu? Baik setan dari kalangan manusia maupun jin, para budak syahwat, dan orang-orang yang mengajak manusia kepada kesesatan, penyimpangan, dan kerusakan. Barang siapa mengikuti setan, maka sesungguhnya setan hanya mengajaknya menuju azab yang menyala-nyala. “Sesungguhnya setan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuhmu! Sungguh, setan-setan itu hanya mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) “…dan apakah mereka akan mengikuti (nenek moyang mereka), padahal setan itu menyeru mereka ke dalam azab yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21) Wahai saudara-saudara! Tidak sepatutnya orang yang memiliki akal lebih memilih mengikuti setan daripada menaati Ar-Rahman. Lebih memilih mengikuti para budak syahwat dan orang-orang yang berusaha berbuat kerusakan, daripada mengikuti orang yang mengajaknya kepada kebaikan dan keistiqamahan, serta kepada perkara yang membawa keselamatan baginya dalam agama, dunia, dan akhiratnya. ===== وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُ مَرْضَى الْقُلُوبِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَالَّذِين أُصِيبَتْ قُلُوبُهُمْ بِمَرَضِ الشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الْقُلُوبَ تَتَعَرَّضُ إِلَى مَرَضَيْنِ شَدِيْدَيْنِ هُمَا أَصْلٌ لِعَامَّةِ أَمْرَاضِ الْقُلُوبِ وَهُمَا مَرَضُ الشَّهَوَاتِ وَمَرَضُ الشُّبُهَاتِ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ وَتَأَمَّلُوا يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ يَتْبَعُ الشَّهْوَةَ أَيْنَمَا كَانَتْ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ دِينِهِ وَضَعْفِ إِيْمَانِهِ وَضَعْفِ تَفْكِيرِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْعَوَاقِبِ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا ذَلِيلًا لِشَهَوَاتِهِ قَالَ تَعَالَى فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُونَ مِنْكُم أَنْ تَزِيْغُوا وَتَضِلُّوا وَتَنْحَرِفُوا عَنِ الِاسْتِقَامَةِ وَجَادَّةِ الصَّوَابِ وَلْيَنْظُرْ الْعَاقِلُ اللَّبِيْبُ لِنَفْسِهِ هَلْ يَتَّبِعُ قَوْلَ رَبِّهِ وَمَا يَدْعُوهُ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ تَعَالَى يَدْعُو إِلَى الْخَيْرِ وَالرَّشَادِ وَالصَّلَاحِ وَيَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ أَوْ يَتَّبِعُ هَؤُلَاءِ الشَّيَاطِينَ مِنْ شَيَاطِينِ الإِنْسِ وَالجِنِّ عُبَّدُ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ النَّاسَ إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالِ وَالِانْحِرَافِ وَمَنْ يَتَّبِعِ الشَّيْطَانَ فَإِنَّمَا يَدْعُوهُ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ وَلَا يُظَنُّ يَا إِخْوَانِي أَنَّ مَنْ لَدَيْهِ عَقْلٌ يُؤْثِرُ اتِّبَاعَ الشَّيْطَانِ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ وَيُؤْثِرُ اتِّبَاعَ أَصْحَابِ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِيْنَ يَسْعَوْنَ إِلَى الْفَسَادِ وَالْإِفْسَادِ عَلَى الِاتِّبَاعِ مَنْ يَدْعُوهُ إِلَى الصَّلَاحِ وَالِاسْتِقَامَةِ وَإِلَى مَا فِيهِ سَلَامَتُهُ وَنَجَاتُهُ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ
“…sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27) Maksudnya: orang-orang yang hatinya berpenyakit. Laa quwwata illa billah! Serta orang-orang yang hatinya terkena penyakit syahwat. Sebab, hati dapat terkena dua penyakit kronis yang menjadi akar dari seluruh penyakit hati lainnya: yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. “…dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud…” Perhatikanlah frasa: “mengikuti hawa nafsu”. Artinya: mengikuti hawa nafsu ke mana pun ia pergi. Laa quwwata illa billah! Hal ini menunjukkan betapa lemah agama dan imannya, serta lemahnya akal dan perenungannya terhadap akibat perbuatannya. Ia menjadi budak yang hina bagi syahwatnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka datanglah setelah mereka generasi penerus yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, maka kelak mereka akan mendapat kesesatan.” (QS. Maryam: 59) “(Mereka) bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27). Yakni ingin kalian menyimpang, tersesat, dan berbelok dari jalan keistiqamahan dan kebenaran. Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dirinya: Apakah ia mengikuti firman Tuhannya dan ajakan-Nya? Sesungguhnya Allah Ta’ala mengajak kepada kebaikan, petunjuk, dan kesalehan, serta menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga). “Allah menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga) dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 25) “Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah: 221) Atau justru ia mengikuti setan-setan itu? Baik setan dari kalangan manusia maupun jin, para budak syahwat, dan orang-orang yang mengajak manusia kepada kesesatan, penyimpangan, dan kerusakan. Barang siapa mengikuti setan, maka sesungguhnya setan hanya mengajaknya menuju azab yang menyala-nyala. “Sesungguhnya setan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuhmu! Sungguh, setan-setan itu hanya mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) “…dan apakah mereka akan mengikuti (nenek moyang mereka), padahal setan itu menyeru mereka ke dalam azab yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21) Wahai saudara-saudara! Tidak sepatutnya orang yang memiliki akal lebih memilih mengikuti setan daripada menaati Ar-Rahman. Lebih memilih mengikuti para budak syahwat dan orang-orang yang berusaha berbuat kerusakan, daripada mengikuti orang yang mengajaknya kepada kebaikan dan keistiqamahan, serta kepada perkara yang membawa keselamatan baginya dalam agama, dunia, dan akhiratnya. ===== وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُ مَرْضَى الْقُلُوبِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَالَّذِين أُصِيبَتْ قُلُوبُهُمْ بِمَرَضِ الشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الْقُلُوبَ تَتَعَرَّضُ إِلَى مَرَضَيْنِ شَدِيْدَيْنِ هُمَا أَصْلٌ لِعَامَّةِ أَمْرَاضِ الْقُلُوبِ وَهُمَا مَرَضُ الشَّهَوَاتِ وَمَرَضُ الشُّبُهَاتِ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ وَتَأَمَّلُوا يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ يَتْبَعُ الشَّهْوَةَ أَيْنَمَا كَانَتْ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ دِينِهِ وَضَعْفِ إِيْمَانِهِ وَضَعْفِ تَفْكِيرِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْعَوَاقِبِ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا ذَلِيلًا لِشَهَوَاتِهِ قَالَ تَعَالَى فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُونَ مِنْكُم أَنْ تَزِيْغُوا وَتَضِلُّوا وَتَنْحَرِفُوا عَنِ الِاسْتِقَامَةِ وَجَادَّةِ الصَّوَابِ وَلْيَنْظُرْ الْعَاقِلُ اللَّبِيْبُ لِنَفْسِهِ هَلْ يَتَّبِعُ قَوْلَ رَبِّهِ وَمَا يَدْعُوهُ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ تَعَالَى يَدْعُو إِلَى الْخَيْرِ وَالرَّشَادِ وَالصَّلَاحِ وَيَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ أَوْ يَتَّبِعُ هَؤُلَاءِ الشَّيَاطِينَ مِنْ شَيَاطِينِ الإِنْسِ وَالجِنِّ عُبَّدُ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ النَّاسَ إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالِ وَالِانْحِرَافِ وَمَنْ يَتَّبِعِ الشَّيْطَانَ فَإِنَّمَا يَدْعُوهُ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ وَلَا يُظَنُّ يَا إِخْوَانِي أَنَّ مَنْ لَدَيْهِ عَقْلٌ يُؤْثِرُ اتِّبَاعَ الشَّيْطَانِ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ وَيُؤْثِرُ اتِّبَاعَ أَصْحَابِ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِيْنَ يَسْعَوْنَ إِلَى الْفَسَادِ وَالْإِفْسَادِ عَلَى الِاتِّبَاعِ مَنْ يَدْعُوهُ إِلَى الصَّلَاحِ وَالِاسْتِقَامَةِ وَإِلَى مَا فِيهِ سَلَامَتُهُ وَنَجَاتُهُ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ


“…sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27) Maksudnya: orang-orang yang hatinya berpenyakit. Laa quwwata illa billah! Serta orang-orang yang hatinya terkena penyakit syahwat. Sebab, hati dapat terkena dua penyakit kronis yang menjadi akar dari seluruh penyakit hati lainnya: yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. “…dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud…” Perhatikanlah frasa: “mengikuti hawa nafsu”. Artinya: mengikuti hawa nafsu ke mana pun ia pergi. Laa quwwata illa billah! Hal ini menunjukkan betapa lemah agama dan imannya, serta lemahnya akal dan perenungannya terhadap akibat perbuatannya. Ia menjadi budak yang hina bagi syahwatnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman: “Maka datanglah setelah mereka generasi penerus yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, maka kelak mereka akan mendapat kesesatan.” (QS. Maryam: 59) “(Mereka) bermaksud agar kamu berpaling sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 27). Yakni ingin kalian menyimpang, tersesat, dan berbelok dari jalan keistiqamahan dan kebenaran. Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dirinya: Apakah ia mengikuti firman Tuhannya dan ajakan-Nya? Sesungguhnya Allah Ta’ala mengajak kepada kebaikan, petunjuk, dan kesalehan, serta menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga). “Allah menyeru kepada negeri kesejahteraan (surga) dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 25) “Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah: 221) Atau justru ia mengikuti setan-setan itu? Baik setan dari kalangan manusia maupun jin, para budak syahwat, dan orang-orang yang mengajak manusia kepada kesesatan, penyimpangan, dan kerusakan. Barang siapa mengikuti setan, maka sesungguhnya setan hanya mengajaknya menuju azab yang menyala-nyala. “Sesungguhnya setan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuhmu! Sungguh, setan-setan itu hanya mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) “…dan apakah mereka akan mengikuti (nenek moyang mereka), padahal setan itu menyeru mereka ke dalam azab yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21) Wahai saudara-saudara! Tidak sepatutnya orang yang memiliki akal lebih memilih mengikuti setan daripada menaati Ar-Rahman. Lebih memilih mengikuti para budak syahwat dan orang-orang yang berusaha berbuat kerusakan, daripada mengikuti orang yang mengajaknya kepada kebaikan dan keistiqamahan, serta kepada perkara yang membawa keselamatan baginya dalam agama, dunia, dan akhiratnya. ===== وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُ مَرْضَى الْقُلُوبِ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَالَّذِين أُصِيبَتْ قُلُوبُهُمْ بِمَرَضِ الشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الْقُلُوبَ تَتَعَرَّضُ إِلَى مَرَضَيْنِ شَدِيْدَيْنِ هُمَا أَصْلٌ لِعَامَّةِ أَمْرَاضِ الْقُلُوبِ وَهُمَا مَرَضُ الشَّهَوَاتِ وَمَرَضُ الشُّبُهَاتِ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ وَتَأَمَّلُوا يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ يَتْبَعُ الشَّهْوَةَ أَيْنَمَا كَانَتْ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ دِينِهِ وَضَعْفِ إِيْمَانِهِ وَضَعْفِ تَفْكِيرِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْعَوَاقِبِ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا ذَلِيلًا لِشَهَوَاتِهِ قَالَ تَعَالَى فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا يُرِيدُونَ مِنْكُم أَنْ تَزِيْغُوا وَتَضِلُّوا وَتَنْحَرِفُوا عَنِ الِاسْتِقَامَةِ وَجَادَّةِ الصَّوَابِ وَلْيَنْظُرْ الْعَاقِلُ اللَّبِيْبُ لِنَفْسِهِ هَلْ يَتَّبِعُ قَوْلَ رَبِّهِ وَمَا يَدْعُوهُ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ تَعَالَى يَدْعُو إِلَى الْخَيْرِ وَالرَّشَادِ وَالصَّلَاحِ وَيَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ أَوْ يَتَّبِعُ هَؤُلَاءِ الشَّيَاطِينَ مِنْ شَيَاطِينِ الإِنْسِ وَالجِنِّ عُبَّدُ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ النَّاسَ إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الزَّيْغِ وَالضَّلَالِ وَالِانْحِرَافِ وَمَنْ يَتَّبِعِ الشَّيْطَانَ فَإِنَّمَا يَدْعُوهُ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ وَلَا يُظَنُّ يَا إِخْوَانِي أَنَّ مَنْ لَدَيْهِ عَقْلٌ يُؤْثِرُ اتِّبَاعَ الشَّيْطَانِ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ وَيُؤْثِرُ اتِّبَاعَ أَصْحَابِ الشَّهَوَاتِ وَالَّذِيْنَ يَسْعَوْنَ إِلَى الْفَسَادِ وَالْإِفْسَادِ عَلَى الِاتِّبَاعِ مَنْ يَدْعُوهُ إِلَى الصَّلَاحِ وَالِاسْتِقَامَةِ وَإِلَى مَا فِيهِ سَلَامَتُهُ وَنَجَاتُهُ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ

Hukum Memarkir Kendaraan di Jalan Umum yang Mengganggu Orang Lain

Tidak boleh memarkir kendaraan di jalan umum sehingga mengganggu orang lain. Dengan membuat lalu lintas terhambat, sulit untuk lewat, terjadi kemacetan, atau semisalnya. Perbuatan seperti ini termasuk mengganggu sesama Muslim. Padahal Allah Ta’ala berfirman,وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا“Dan orang-orang yang mengganggu orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ فِي قَلْبِه،ِ لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ“Wahai orang-orang yang telah masuk Islam, namun iman belum masuk pada hatinya, janganlah kalian mengganggu sesama Muslim.” (HR. Tirmidzi no. 2032, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)Terutama jika yang merasa terganggu dengan kendaraan yang diparkir bukan pada tempatnya adalah tetangga, maka lebih besar lagi dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ قالوا وما ذاكَ يا رسولَ اللَّهِ قالَ الجارُ لا يأمنُ جارُهُ بوائقَهُ قالوا يا رسولَ اللَّهِ وما بَوائقُهُ قالَ شرُّهُ“Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Seseorang yang tetangganya merasa tidak aman dari bawaiq-nya.” Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Keburukannya.” (HR. Ahmad, 14: 262. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2550)Berusaha untuk tidak mengganggu jalan kaum Muslimin adalah salah satu konsekuensi iman. Sehingga mengganggu jalan adalah perkara yang mencacati keimanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ“Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan laailaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim no. 35).Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,“Tidak boleh mengganggu kaum Muslimin di jalan yang mereka lalui, bahkan wajib memberikan kelapangan jalan dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itu, menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Tidak boleh seseorang untuk membuat sesuatu di dalam wilayah kepemilikannya yang dapat mengganggu jalan, seperti membangun atap di atas jalan yang menghalangi lewatnya kendaraan atau hewan pembawa barang, atau membangun panggung untuk tempat duduk yang menjorok ke jalan.Tidak boleh ia menjadikan jalan umum sebagai tempat parkir hewan tunggangannya atau mobilnya, karena hal itu dapat menyempitkan jalan atau dapat menyebabkan kecelakaan.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,لا يجوز لأحد أن يخرج شيئا في طريق المسلمين من أجزاء البناء، حتى إنه ينهى عن تجصيص الحائط؛ إلا أن يدخل رب الحائط منه في حده بقدر غلظه“Tidak boleh bagi seseorang membuat sesuatu pada bagian bangunannya sehingga menjorok ke jalan kaum Muslimin. Bahkan ia dilarang untuk melapisi tembok dengan plester kecuali jika plesterannya tersebut masih dalam batas tanah miliknya sendiri sesuai dengan ketebalannya.”Demikian juga di jalan umum, tidak diperbolehkan menanam pohon yang mengganggu, membangun, menggali, menaruh kayu bakar, menyembelih hewan, membuang sampah, membuang abu, dan hal-hal lain yang dapat membahayakan para pengguna jalan.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2: 113)Solusi bagi yang kendaraannya sering diparkir di jalan umum di antaranya:Membangun garasi di area tanah sendiri, walaupun harus mengorbankan sebagian area rumah dan berkurang sedikit kenyamanan.Menyewa rumah lain untuk memarkir kendaraan.Menyewa lahan parkir yang tidak menganggu jalan.Mengganti moda kendaraan dengan yang lebih sesuai dengan lahan yang dimiliki.Dan solusi-solusi lainnya yang bisa diusahakan. Wallahu a’lam, semoga Allah memberikan taufik.Baca juga: Mengganggu Shalat Adalah Perbuatan Setan***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id

Hukum Memarkir Kendaraan di Jalan Umum yang Mengganggu Orang Lain

Tidak boleh memarkir kendaraan di jalan umum sehingga mengganggu orang lain. Dengan membuat lalu lintas terhambat, sulit untuk lewat, terjadi kemacetan, atau semisalnya. Perbuatan seperti ini termasuk mengganggu sesama Muslim. Padahal Allah Ta’ala berfirman,وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا“Dan orang-orang yang mengganggu orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ فِي قَلْبِه،ِ لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ“Wahai orang-orang yang telah masuk Islam, namun iman belum masuk pada hatinya, janganlah kalian mengganggu sesama Muslim.” (HR. Tirmidzi no. 2032, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)Terutama jika yang merasa terganggu dengan kendaraan yang diparkir bukan pada tempatnya adalah tetangga, maka lebih besar lagi dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ قالوا وما ذاكَ يا رسولَ اللَّهِ قالَ الجارُ لا يأمنُ جارُهُ بوائقَهُ قالوا يا رسولَ اللَّهِ وما بَوائقُهُ قالَ شرُّهُ“Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Seseorang yang tetangganya merasa tidak aman dari bawaiq-nya.” Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Keburukannya.” (HR. Ahmad, 14: 262. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2550)Berusaha untuk tidak mengganggu jalan kaum Muslimin adalah salah satu konsekuensi iman. Sehingga mengganggu jalan adalah perkara yang mencacati keimanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ“Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan laailaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim no. 35).Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,“Tidak boleh mengganggu kaum Muslimin di jalan yang mereka lalui, bahkan wajib memberikan kelapangan jalan dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itu, menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Tidak boleh seseorang untuk membuat sesuatu di dalam wilayah kepemilikannya yang dapat mengganggu jalan, seperti membangun atap di atas jalan yang menghalangi lewatnya kendaraan atau hewan pembawa barang, atau membangun panggung untuk tempat duduk yang menjorok ke jalan.Tidak boleh ia menjadikan jalan umum sebagai tempat parkir hewan tunggangannya atau mobilnya, karena hal itu dapat menyempitkan jalan atau dapat menyebabkan kecelakaan.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,لا يجوز لأحد أن يخرج شيئا في طريق المسلمين من أجزاء البناء، حتى إنه ينهى عن تجصيص الحائط؛ إلا أن يدخل رب الحائط منه في حده بقدر غلظه“Tidak boleh bagi seseorang membuat sesuatu pada bagian bangunannya sehingga menjorok ke jalan kaum Muslimin. Bahkan ia dilarang untuk melapisi tembok dengan plester kecuali jika plesterannya tersebut masih dalam batas tanah miliknya sendiri sesuai dengan ketebalannya.”Demikian juga di jalan umum, tidak diperbolehkan menanam pohon yang mengganggu, membangun, menggali, menaruh kayu bakar, menyembelih hewan, membuang sampah, membuang abu, dan hal-hal lain yang dapat membahayakan para pengguna jalan.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2: 113)Solusi bagi yang kendaraannya sering diparkir di jalan umum di antaranya:Membangun garasi di area tanah sendiri, walaupun harus mengorbankan sebagian area rumah dan berkurang sedikit kenyamanan.Menyewa rumah lain untuk memarkir kendaraan.Menyewa lahan parkir yang tidak menganggu jalan.Mengganti moda kendaraan dengan yang lebih sesuai dengan lahan yang dimiliki.Dan solusi-solusi lainnya yang bisa diusahakan. Wallahu a’lam, semoga Allah memberikan taufik.Baca juga: Mengganggu Shalat Adalah Perbuatan Setan***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id
Tidak boleh memarkir kendaraan di jalan umum sehingga mengganggu orang lain. Dengan membuat lalu lintas terhambat, sulit untuk lewat, terjadi kemacetan, atau semisalnya. Perbuatan seperti ini termasuk mengganggu sesama Muslim. Padahal Allah Ta’ala berfirman,وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا“Dan orang-orang yang mengganggu orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ فِي قَلْبِه،ِ لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ“Wahai orang-orang yang telah masuk Islam, namun iman belum masuk pada hatinya, janganlah kalian mengganggu sesama Muslim.” (HR. Tirmidzi no. 2032, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)Terutama jika yang merasa terganggu dengan kendaraan yang diparkir bukan pada tempatnya adalah tetangga, maka lebih besar lagi dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ قالوا وما ذاكَ يا رسولَ اللَّهِ قالَ الجارُ لا يأمنُ جارُهُ بوائقَهُ قالوا يا رسولَ اللَّهِ وما بَوائقُهُ قالَ شرُّهُ“Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Seseorang yang tetangganya merasa tidak aman dari bawaiq-nya.” Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Keburukannya.” (HR. Ahmad, 14: 262. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2550)Berusaha untuk tidak mengganggu jalan kaum Muslimin adalah salah satu konsekuensi iman. Sehingga mengganggu jalan adalah perkara yang mencacati keimanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ“Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan laailaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim no. 35).Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,“Tidak boleh mengganggu kaum Muslimin di jalan yang mereka lalui, bahkan wajib memberikan kelapangan jalan dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itu, menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Tidak boleh seseorang untuk membuat sesuatu di dalam wilayah kepemilikannya yang dapat mengganggu jalan, seperti membangun atap di atas jalan yang menghalangi lewatnya kendaraan atau hewan pembawa barang, atau membangun panggung untuk tempat duduk yang menjorok ke jalan.Tidak boleh ia menjadikan jalan umum sebagai tempat parkir hewan tunggangannya atau mobilnya, karena hal itu dapat menyempitkan jalan atau dapat menyebabkan kecelakaan.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,لا يجوز لأحد أن يخرج شيئا في طريق المسلمين من أجزاء البناء، حتى إنه ينهى عن تجصيص الحائط؛ إلا أن يدخل رب الحائط منه في حده بقدر غلظه“Tidak boleh bagi seseorang membuat sesuatu pada bagian bangunannya sehingga menjorok ke jalan kaum Muslimin. Bahkan ia dilarang untuk melapisi tembok dengan plester kecuali jika plesterannya tersebut masih dalam batas tanah miliknya sendiri sesuai dengan ketebalannya.”Demikian juga di jalan umum, tidak diperbolehkan menanam pohon yang mengganggu, membangun, menggali, menaruh kayu bakar, menyembelih hewan, membuang sampah, membuang abu, dan hal-hal lain yang dapat membahayakan para pengguna jalan.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2: 113)Solusi bagi yang kendaraannya sering diparkir di jalan umum di antaranya:Membangun garasi di area tanah sendiri, walaupun harus mengorbankan sebagian area rumah dan berkurang sedikit kenyamanan.Menyewa rumah lain untuk memarkir kendaraan.Menyewa lahan parkir yang tidak menganggu jalan.Mengganti moda kendaraan dengan yang lebih sesuai dengan lahan yang dimiliki.Dan solusi-solusi lainnya yang bisa diusahakan. Wallahu a’lam, semoga Allah memberikan taufik.Baca juga: Mengganggu Shalat Adalah Perbuatan Setan***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id


Tidak boleh memarkir kendaraan di jalan umum sehingga mengganggu orang lain. Dengan membuat lalu lintas terhambat, sulit untuk lewat, terjadi kemacetan, atau semisalnya. Perbuatan seperti ini termasuk mengganggu sesama Muslim. Padahal Allah Ta’ala berfirman,وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا“Dan orang-orang yang mengganggu orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ فِي قَلْبِه،ِ لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ“Wahai orang-orang yang telah masuk Islam, namun iman belum masuk pada hatinya, janganlah kalian mengganggu sesama Muslim.” (HR. Tirmidzi no. 2032, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)Terutama jika yang merasa terganggu dengan kendaraan yang diparkir bukan pada tempatnya adalah tetangga, maka lebih besar lagi dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ واللَّهِ لا يؤمنُ قالوا وما ذاكَ يا رسولَ اللَّهِ قالَ الجارُ لا يأمنُ جارُهُ بوائقَهُ قالوا يا رسولَ اللَّهِ وما بَوائقُهُ قالَ شرُّهُ“Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman. Demi Allah, (dia) tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Seseorang yang tetangganya merasa tidak aman dari bawaiq-nya.” Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Keburukannya.” (HR. Ahmad, 14: 262. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2550)Berusaha untuk tidak mengganggu jalan kaum Muslimin adalah salah satu konsekuensi iman. Sehingga mengganggu jalan adalah perkara yang mencacati keimanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ“Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, yang paling utama adalah perkataan laailaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim no. 35).Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,“Tidak boleh mengganggu kaum Muslimin di jalan yang mereka lalui, bahkan wajib memberikan kelapangan jalan dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itu, menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Tidak boleh seseorang untuk membuat sesuatu di dalam wilayah kepemilikannya yang dapat mengganggu jalan, seperti membangun atap di atas jalan yang menghalangi lewatnya kendaraan atau hewan pembawa barang, atau membangun panggung untuk tempat duduk yang menjorok ke jalan.Tidak boleh ia menjadikan jalan umum sebagai tempat parkir hewan tunggangannya atau mobilnya, karena hal itu dapat menyempitkan jalan atau dapat menyebabkan kecelakaan.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,لا يجوز لأحد أن يخرج شيئا في طريق المسلمين من أجزاء البناء، حتى إنه ينهى عن تجصيص الحائط؛ إلا أن يدخل رب الحائط منه في حده بقدر غلظه“Tidak boleh bagi seseorang membuat sesuatu pada bagian bangunannya sehingga menjorok ke jalan kaum Muslimin. Bahkan ia dilarang untuk melapisi tembok dengan plester kecuali jika plesterannya tersebut masih dalam batas tanah miliknya sendiri sesuai dengan ketebalannya.”Demikian juga di jalan umum, tidak diperbolehkan menanam pohon yang mengganggu, membangun, menggali, menaruh kayu bakar, menyembelih hewan, membuang sampah, membuang abu, dan hal-hal lain yang dapat membahayakan para pengguna jalan.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2: 113)Solusi bagi yang kendaraannya sering diparkir di jalan umum di antaranya:Membangun garasi di area tanah sendiri, walaupun harus mengorbankan sebagian area rumah dan berkurang sedikit kenyamanan.Menyewa rumah lain untuk memarkir kendaraan.Menyewa lahan parkir yang tidak menganggu jalan.Mengganti moda kendaraan dengan yang lebih sesuai dengan lahan yang dimiliki.Dan solusi-solusi lainnya yang bisa diusahakan. Wallahu a’lam, semoga Allah memberikan taufik.Baca juga: Mengganggu Shalat Adalah Perbuatan Setan***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id

Satu-Satunya Kesempatan untuk Menentukan Nasib Abadi Kita – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #NasehatUlama

Surga dan neraka adalah akhir dari perjalanan manusia. Kita, sebagai manusia, sedang berada dalam perjalanan yang agung. Saat ini, kita berada pada tahap paling menentukan dari perjalanan itu: yaitu masa ujian dan kesempatan beramal, yang darinya bergantung segala sesuatu. Segala sesuatu ditentukan oleh apa yang kita lakukan dalam masa singkat ini: masa hidup di dunia. Lalu setelah itu, setelah tahap dunia ini akan ada kehidupan yang kekal. Entah dalam kenikmatan abadi, atau dalam azab yang tak berkesudahan. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan. Tidak ada tempat setelah dunia ini selain surga atau neraka. Tidak ada tempat setelah kematian selain surga atau neraka. Jadi, kita sekarang berada pada tahap paling krusial dalam perjalanan kemanusiaan: yaitu masa beramal dan masa diuji. Barang siapa memanfaatkannya untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan bahagia selamanya di kehidupan yang kekal. Namun, barang siapa menyia-nyiakan umurnya dalam senda gurau dan kelalaian, niscaya ia menanggung penyesalan yang sangat besar di kehidupan yang kekal. ===== وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ هُمَا نِهَايَةُ الْمَطَافِ لِلْبَشَرِيَّةِ فَإِنَّنَا نَحْنُ الْبَشَرُ فِي رِحْلَِةٍ عَظِيمَةٍ وَنَحْنُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ هَذِهِ الرِّحْلَةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الِاخْتِبَارِ وَالْعَمَلِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ كُلُّ شَيْءٍ مُتَرَتِّبٌ عَلَى مَا نَعْمَلُهُ فِي هَذِهِ الْفَتْرَةِ الْقَصِيْرَةِ فَتْرَةِ الْعُمُرِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ هَذِهِ الْفَتْرَةِ تَكُونُ حَيَاةَ الْخُلُودِ إِمَّا فِي نَعِيمٍ أَبَدِيٍّ أَوْ فِي عَذَابٍ سَرْمَدِيٍّ نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ وَمَا بَعْدَ الدُّنْيَا مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ مَا بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ فَنَحْنُ الْآنَ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الْعَمَلِ وَالِاخْتِبَارِ فَمَنِ اغْتَنَمَهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَعِدَ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ نَدِمَ النَّدَمَ الْعَظِيمَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ

Satu-Satunya Kesempatan untuk Menentukan Nasib Abadi Kita – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #NasehatUlama

Surga dan neraka adalah akhir dari perjalanan manusia. Kita, sebagai manusia, sedang berada dalam perjalanan yang agung. Saat ini, kita berada pada tahap paling menentukan dari perjalanan itu: yaitu masa ujian dan kesempatan beramal, yang darinya bergantung segala sesuatu. Segala sesuatu ditentukan oleh apa yang kita lakukan dalam masa singkat ini: masa hidup di dunia. Lalu setelah itu, setelah tahap dunia ini akan ada kehidupan yang kekal. Entah dalam kenikmatan abadi, atau dalam azab yang tak berkesudahan. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan. Tidak ada tempat setelah dunia ini selain surga atau neraka. Tidak ada tempat setelah kematian selain surga atau neraka. Jadi, kita sekarang berada pada tahap paling krusial dalam perjalanan kemanusiaan: yaitu masa beramal dan masa diuji. Barang siapa memanfaatkannya untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan bahagia selamanya di kehidupan yang kekal. Namun, barang siapa menyia-nyiakan umurnya dalam senda gurau dan kelalaian, niscaya ia menanggung penyesalan yang sangat besar di kehidupan yang kekal. ===== وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ هُمَا نِهَايَةُ الْمَطَافِ لِلْبَشَرِيَّةِ فَإِنَّنَا نَحْنُ الْبَشَرُ فِي رِحْلَِةٍ عَظِيمَةٍ وَنَحْنُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ هَذِهِ الرِّحْلَةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الِاخْتِبَارِ وَالْعَمَلِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ كُلُّ شَيْءٍ مُتَرَتِّبٌ عَلَى مَا نَعْمَلُهُ فِي هَذِهِ الْفَتْرَةِ الْقَصِيْرَةِ فَتْرَةِ الْعُمُرِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ هَذِهِ الْفَتْرَةِ تَكُونُ حَيَاةَ الْخُلُودِ إِمَّا فِي نَعِيمٍ أَبَدِيٍّ أَوْ فِي عَذَابٍ سَرْمَدِيٍّ نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ وَمَا بَعْدَ الدُّنْيَا مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ مَا بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ فَنَحْنُ الْآنَ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الْعَمَلِ وَالِاخْتِبَارِ فَمَنِ اغْتَنَمَهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَعِدَ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ نَدِمَ النَّدَمَ الْعَظِيمَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ
Surga dan neraka adalah akhir dari perjalanan manusia. Kita, sebagai manusia, sedang berada dalam perjalanan yang agung. Saat ini, kita berada pada tahap paling menentukan dari perjalanan itu: yaitu masa ujian dan kesempatan beramal, yang darinya bergantung segala sesuatu. Segala sesuatu ditentukan oleh apa yang kita lakukan dalam masa singkat ini: masa hidup di dunia. Lalu setelah itu, setelah tahap dunia ini akan ada kehidupan yang kekal. Entah dalam kenikmatan abadi, atau dalam azab yang tak berkesudahan. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan. Tidak ada tempat setelah dunia ini selain surga atau neraka. Tidak ada tempat setelah kematian selain surga atau neraka. Jadi, kita sekarang berada pada tahap paling krusial dalam perjalanan kemanusiaan: yaitu masa beramal dan masa diuji. Barang siapa memanfaatkannya untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan bahagia selamanya di kehidupan yang kekal. Namun, barang siapa menyia-nyiakan umurnya dalam senda gurau dan kelalaian, niscaya ia menanggung penyesalan yang sangat besar di kehidupan yang kekal. ===== وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ هُمَا نِهَايَةُ الْمَطَافِ لِلْبَشَرِيَّةِ فَإِنَّنَا نَحْنُ الْبَشَرُ فِي رِحْلَِةٍ عَظِيمَةٍ وَنَحْنُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ هَذِهِ الرِّحْلَةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الِاخْتِبَارِ وَالْعَمَلِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ كُلُّ شَيْءٍ مُتَرَتِّبٌ عَلَى مَا نَعْمَلُهُ فِي هَذِهِ الْفَتْرَةِ الْقَصِيْرَةِ فَتْرَةِ الْعُمُرِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ هَذِهِ الْفَتْرَةِ تَكُونُ حَيَاةَ الْخُلُودِ إِمَّا فِي نَعِيمٍ أَبَدِيٍّ أَوْ فِي عَذَابٍ سَرْمَدِيٍّ نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ وَمَا بَعْدَ الدُّنْيَا مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ مَا بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ فَنَحْنُ الْآنَ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الْعَمَلِ وَالِاخْتِبَارِ فَمَنِ اغْتَنَمَهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَعِدَ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ نَدِمَ النَّدَمَ الْعَظِيمَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ


Surga dan neraka adalah akhir dari perjalanan manusia. Kita, sebagai manusia, sedang berada dalam perjalanan yang agung. Saat ini, kita berada pada tahap paling menentukan dari perjalanan itu: yaitu masa ujian dan kesempatan beramal, yang darinya bergantung segala sesuatu. Segala sesuatu ditentukan oleh apa yang kita lakukan dalam masa singkat ini: masa hidup di dunia. Lalu setelah itu, setelah tahap dunia ini akan ada kehidupan yang kekal. Entah dalam kenikmatan abadi, atau dalam azab yang tak berkesudahan. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan. Tidak ada tempat setelah dunia ini selain surga atau neraka. Tidak ada tempat setelah kematian selain surga atau neraka. Jadi, kita sekarang berada pada tahap paling krusial dalam perjalanan kemanusiaan: yaitu masa beramal dan masa diuji. Barang siapa memanfaatkannya untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan bahagia selamanya di kehidupan yang kekal. Namun, barang siapa menyia-nyiakan umurnya dalam senda gurau dan kelalaian, niscaya ia menanggung penyesalan yang sangat besar di kehidupan yang kekal. ===== وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ هُمَا نِهَايَةُ الْمَطَافِ لِلْبَشَرِيَّةِ فَإِنَّنَا نَحْنُ الْبَشَرُ فِي رِحْلَِةٍ عَظِيمَةٍ وَنَحْنُ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ هَذِهِ الرِّحْلَةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الِاخْتِبَارِ وَالْعَمَلِ الَّذِي يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ كُلُّ شَيْءٍ مُتَرَتِّبٌ عَلَى مَا نَعْمَلُهُ فِي هَذِهِ الْفَتْرَةِ الْقَصِيْرَةِ فَتْرَةِ الْعُمُرِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ هَذِهِ الْفَتْرَةِ تَكُونُ حَيَاةَ الْخُلُودِ إِمَّا فِي نَعِيمٍ أَبَدِيٍّ أَوْ فِي عَذَابٍ سَرْمَدِيٍّ نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ وَمَا بَعْدَ الدُّنْيَا مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ مَا بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ أَوِ النَّارُ فَنَحْنُ الْآنَ فِي أَخْطَرِ مَرَاحِلِ الرِّحْلَةِ الْبَشَرِيَّةِ وَهِيَ مَرْحَلَةُ الْعَمَلِ وَالِاخْتِبَارِ فَمَنِ اغْتَنَمَهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَعِدَ السَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ وَمَنْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمْرُهُ فِي لَهْوٍ وَفِي غَفْلَةٍ نَدِمَ النَّدَمَ الْعَظِيمَ فِي حَيَاةِ الْخُلُودِ

Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?

Daftar Isi ToggleKaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarNabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiKristal hikmahKeindahan akhlak Nabi ﷺ tidak ada habisnya untuk dibahas. Salah satu nilai istimewa dari akhlak Nabi kita ﷺ adalah akhlak indahnya tidak hanya kepada orang yang baik kepadanya, tetapi juga kepada mereka yang menzalimi Nabi ﷺ. Bahkan kezalimannya begitu besar, sampai tidak terbayang oleh kita bahwa Nabi ﷺ dapat dengan lapang dada dan bersikap rahmat kepadanya.Dalam artikel ini, kita akan mengulas keindahan akhlak Nabi ﷺ kepada para musuh yang menzaliminya. Sehingga dapat menjadi teladan bagi kita semua yang dalam kehidupannya tidak hanya dibersamai orang baik, tetapi juga menghadapi orang-orang yang menzalimi kita. Termasuk pula sisi manusiawi dari Rasulullah ﷺ yang tetap memiliki perasaan dan pernah terluka hatinya.Kaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarAsalnya, Nabi ﷺ tidak marah kecuali bila hak Allah ﷻ dilanggar. Bahkan ketika Nabi ﷺ dizalimi personalnya dengan tindakan yang sangat menghinakan. Beberapa contoh kisah yang sangat terkenal berkaitan ini adalah ketika Nabi ﷺ bersujud mengarah Kabah, lalu ada seorang yang menumpahkan isian perut unta di atas punggung Nabi ﷺ. Nabi ﷺ tidak marah meledak, padahal begitu direndahkan. Nabi ﷺ hanya terus bersujud, sampai Fatimah membersihkan isi perut unta tersebut, lalu beliau bangkit dan menyelesaikan salatnya. Kemudian Nabi ﷺ berdoa,اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ“Ya Allah, aku serahkan (urusan) para pembesar Quraisy kepada-Mu. Yaitu, Abu Jahal bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.” (HR. Bukhari No. 3565)Kisah lain adalah ketika di Taif, Rasulullah ﷺ berdakwah di kampung ibunya tersebut, tetapi dibalas dengan lemparan batu sampai wajahnya berdarah. Rasulullah ﷺ tidak membalas atau marah dengan perbuatan itu, tetapi justru mendoakan agar muncul generasi Islami dari keturunan mereka. Begitupula dengan konspirasi Quraisy yang hendak membunuh Nabi ﷺ, pelakunya tidak Nabi apa-apakan, malah justru diajak ke dalam Islam.Namun, ketika hak Allah ﷻ dihinakan, maka Rasulullah ﷺ akan marah sesuai dengan kadar yang Allah takdirkan untuk Nabi-Nya. [1]Tersebar ungkapan ini dalam bahasa Arab yang disandarkan kepada Nabi ﷺ riwayat Bukhari no. 6288, Muslim no. 4294, dan riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4153. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin,‎وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ“Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi. Tapi jika ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah).” (HR. Bukhari no. 6288)Dalam narasi lain yang senada, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan dengan predikat hadis sahih,ما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منتَصِرًا مِن مظلِمةٍ ظُلِمَها قَطُّ ما لم تُنتَهك محارمُ اللَّهِ فإذا انتُهكَ من محارمِ اللَّهِ شيءٌ كانَ أشدَّهم في ذلِك غضبًا“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah selama larangan Allah tidak dilanggar. Namun, jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah dalam hal itu.” [2] (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8: 132; dinukilkan Tirmidzi dalam Syamail no. 332)Dalam Tahdzib Siratin Nabi, An-Nawawi rahimahullah menyebut ungkapan yang meringkas sifat Nabi ﷺ dari beragam riwayat,ولا يغضب لنفسه، ولا ينتقم لها“Beliau tidak pernah marah atau (merasa) membalas dendam karena kepentingan pribadi.”وإنما يغضب إذا انتهكت حرمات الله عز وجل فحينئذ يغضب ولا يقوم لغضبه شيء حتى ينتصر للحق“Beliau akan marah apabila ada yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allāh. Dan tidak ada yang bisa menghentikan kemarahannya sedikit pun sampai beliau bisa menunjukkan kebenaran.”Maka, beragam riwayat dan penegasan dari para ulama terdahulu menunjukkan bahwasanya memang Rasul kita ﷺ terkenal dengan akhlaknya yang mulia, yakni beliau tidak akan marah kecuali untuk urusan hak Allah ﷻ.Akan tetapi, hal ini bukanlah kemutlakan. Nabi ﷺ tetap memiliki sifat manusia yang dapat marah dan juga rida. Kaidah ini bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah marah sama sekali, melainkan marahnya Nabi ﷺ adalah praktik marah terbaik, berupa caranya, momentumnya, terlebih lagi alasannya. Hal ini didasarkan kepada dalil umum bahwa Rasulullah ﷺ memiliki akhlak yang agung.وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ tidak menampik bahwa beliau juga seorang manusia yang juga kadang marah dan kadang rida, tetapi semua yang keluar dari Nabi ﷺ tertuntun Allah ﷻ,قال عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنه: كنت أكتب كل شيء أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلَّا حَقٌّ. رواه أحمد في المسند وأبو داود في السنن.Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku biasa menulis semua yang kudengar dari Rasulullah ﷺ untuk dihafal. Kaum Quraisy melarangku melakukannya, dengan mengatakan: Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang. Maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau berkata: Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Abu Dawud dalam As-Sunan)Dalam hadis ini diisyaratkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap memiliki sisi manusiawi. Akan tetapi, kita tidak boleh memutlakkannya sebagaimana Quraisy menilai Nabi. Sikap yang tepat adalah mengakui sisi manusiawi dari Nabi dan sisi tersebut tidak membuat cela pada kesempurnaan sifatnya sebagai manusia terbaik.Dalam hadis lain, terdapat testimoni dari Aisyah, istri terkasih baginda Nabi ﷺ dalam praktik akhlak Nabi di rumah,قالت عائشة ـ رضي الله عنها: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ خَادِمًا لَهُ قَطُّ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ، إِلَّا كَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ أَيْسَرُهُمَا، حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ الْإِثْمِ، وَلَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ، حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّAisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita dengan tangannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali ketika berperang di jalan Allah. Dan beliau tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali perkara yang lebih dicintainya adalah perkara yang lebih mudah baginya, hingga perkara itu menjadi dosa. Dan jika perkara itu menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa, dan beliau tidak pernah membalas dendam. Untuk dirinya sendiri dari apa pun yang dibawa kepadanya, hingga kehormatan Allah ﷻ dilanggar.”Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, beliau adalah orang yang penyabar dan pemaaf. Beliau akan selalu memaafkan, kecuali jika itu adalah hak Allah ﷻ, yang dalam hal itu beliau akan membalas urusan itu untuk Allah ﷻ.Dalam hadis lain, dengan tegas Nabi ﷺ mengakui bahwa dirinya juga diliputi amarah pada momen tertentu, alias punya potensi untuk marah sebagaimana manusia lainnya.عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: اللهم إنما محمد بشر يغضب كما يغضب البشر، وإنى قد اتخذت عندك عهدا لن تخلفنيه فأيما مؤمن آذيته أو سببته أو جلدته فاجعلها له كفارة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة.Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah manusia, dapat marah sebagaimana manusia marah. Dan sungguh aku telah berjanji kepada-Mu yang tidak akan Engkau ingkari. Maka, jika aku menyakiti, menghina, atau mencambuk seorang mukmin, jadikanlah itu sebagai penebus dosa dan sarana untuk mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Terdapat hikmah yang besar dari beberapa momen Nabi ﷺ marah dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan pribadinya. Beberapa di antaranya mengandung pelajaran dan hukum yang berbeda. Mari kita simak beberapa di antaranya:Nabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ pernah marah kepada salah seorang yang mengkritisi keputusannya. Dalam sebuah pembagian ghanimah (rampasan perang) di perang Hunain, Rasulullah ﷺ mengatur pembagian ghanimah dengan jumlah lebih banyak kepada orang tertentu. Pembagian ghanimah memang menjadi hak prerogatif beliau sebagai pemimpin, tentu tidak boleh ada yang mengintervensi. Terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi ﷺ yang perbuatannya dituntun wahyu Allah ﷻ. Dalam hal ini juga Nabi ﷺ memiliki alasan yang kuat, yakni dalam rangka untuk melembutkan hati beberapa orang yang diharapkan masuk ke dalam Islam.Namun, orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami merasa tidak terima dengan sistem pembagian itu. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!”Nabi ﷺ marah kepada orang badui yang mengkritik integritas dan keadilan Nabi ﷺ. Sebagian ulama menjelaskan bahwa marahnya Nabi ﷺ ketika dimintai keadilan, karena ini adalah sifat yang paling melekat dan menjadi inti dari kenabian. Jika seorang nabi tidak memiliki integritas, maka patut dipertanyakan syariat yang dibawanya benar-benar masih murni atau tidak. Sedangkan seorang nabi umumnya disebut Al-Amin, terlebih lagi Nabi kita ﷺ. Jika Nabi ﷺ saja tidak bisa adil, lantas siapa lagi yang mampu bersikap adil?Maka, jelas bahwasanya Nabi ﷺ pernah marah berkaitan personalnya yang melekat dengan sifat utama seorang Nabi dan ini merupakan bentuk kemarahan yang sesuai pada porsinya.Nabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pernah marah hingga ditegur Allah ﷻ. Dalam QS. Abasa, Allah ﷻ memberikan teguran kepada Nabi ﷺ yang marah ketika seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, menyela Nabi ﷺ yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Asalnya tindakan berdakwah kepada para pembesar ini adalah strategi dakwah yang tepat. Namun, Allah ﷻ menegur Nabi ﷺ ketika beliau berpaling dari orang yang lebih kecil dalam mendakwahi orang-orang besar. Padahal, perintah dakwah Nabi ﷺ adalah diarahkan kepada semua kalangan tanpa ada yang diistimewakan.Secara personal, tentu kita pun akan tersinggung ketika berbicara kemudian disela. Apalagi ini dalam momen berdakwah kepada orang-orang penting. Bayangkan Anda sedang memberikan nasihat kepada Presiden dan para menteri, lalu seorang buta dari kalangan murid Anda menyela ceramah Anda. Apakah Anda bisa menahan diri untuk tidak marah? Maka, secara manusiawi hal ini wajar sekali. Terlebih Nabi ﷺ tidak mengeluarkan satu pun perkataan batil, beliau hanya memalingkan wajah saja. Namun, di sisi Allah hal ini perlu diluruskan agar menjadi hikmah bagi umat manusia.Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan salah satu momen di mana Nabi ﷺ pernah marah secara pribadi. Dalam contoh ini, Allah ﷻ langsung memberikan teguran. Tujuannya agar menjadi asas dalam berdakwah bahwasanya dakwah tidak boleh terklasifikasi, serta tidak membuka celah sama sekali menghadirkan suasana eksklusif kepada sebagian orang.Nabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiNabi ﷺ pada suatu momen pun pernah menunjukkan bahwa hatinya yang terluka tak semudah itu terobati. Sebagaimana manusia pada umumnya, ketika ia terluka hatinya, pasti mengalami kesulitan dalam memaafkan apalagi melupakan kejadian pahit itu. Hal ini terjadi pada Nabi ﷺ pula ketika masuk Islamnya Wahsy, yang telah membunuh Hamzah, paman kesayangan Nabi ﷺ. Wahsy bin Harb adalah sosok yang membunuh Hamzah di medan Perang Uhud. Kehilangan Hamzah adalah kesedihan yang teramat bagi baginda Nabi ﷺ. Hamzah adalah paman kesayangannya yang tumbuh besar bersama. Perjuangan Hamzah berbalas gelar dari Nabi ﷺ sebagai asadullah atau singanya Allah ﷻ. Gelar ini selain menunjukkan keberanian Hamzah, juga mengandung perasaan kasih yang mendalam dari Nabi kepada Hamzah. Tertoreh luka yang begitu dalam di hati Nabi ﷺ kepada orang yang telah menghilangkan nyawa Hamzah.Namun, takdir Allah ﷻ begitu indahnya. Seorang yang menyiratkan luka di hati Nabi kita, akhirnya masuk Islam di masa Fathu Makkah. Wahsy datang kepada Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mengenalinya, kemudian terjadilah dialog berikut,فَلَمَّا رَآنِي قَالَ:  آنْتَ وَحْشِيٌّ  قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:  أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ  قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ، قَالَ:  فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟  قَالَ: فَخَرَجْتُ ،“Ketika beliau melihatku, beliau berkata, “Kau Wahsyi.” Aku berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Kau telah membunuh Hamzah.” Aku berkata, “Apa yang telah sampai padamu telah terjadi.” Beliau berkata, “Bisakah kau menyembunyikan wajahmu dariku?” Beliau berkata, “Maka aku pun pergi.” (HR. Bukhari no. 4072 dan lainnya)Potongan hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pun tak dapat menahan dirinya sepenuhnya dari gejolak luka di hatinya. Meskipun seorang yang berdosa itu telah tertebus dengan masuk Islam, tetapi luka secara personal tak mudah hilang.Nabi ﷺ tentu berbahagia dengan masuknya Wahsy ke dalam Islam. Nabi ﷺ adalah orang yang paling berkasih-sayang di antara seluruh umat manusia. Namun, kelukaan hati itu tak dapat dielakkannya. Wajah yang membunuh pamannya, sudah barang tentu dapat membangkitkan luka itu. Dan Nabi ﷺ pun tidak keluar dari batas halal-haram dan keadilan, ia pun tetap menerima keislaman Wahsy, mengakuinya sebagai masyarakat kaum muslimin. Hanya saja, Nabi kita ﷺ tak mampu melihat wajahnya, karena tak ingin luka kesedihan itu timbul kembali.Sikap Nabi ﷺ kepada Wahsy ini juga menelurkan faidah bahwasanya boleh saja orang menjaga jarak dengan saudara sesama muslim dalam rangka menjaga kondisi hatinya. Namun, ia tak boleh membenci seorang muslim secara mutlak, karena keislaman telah mempersaudarakan siapapun di antara muslim. Wajar sekali bagi manusia untuk terluka hatinya, terkenang memori buruk, atau timbul rasa tidak suka kepada sesama muslim. Namun, tidak boleh ia melewati batas keadilan hingga menzalimi. Di antara bentuk kezaliman itu adalah mencaci-maki, gibah, apalagi fitnah. Maka, betapa indah kehidupan seorang muslim, saat bertengkar pun tetap menjaga hak-hak sesamanya.Kisah Wahsy ini masih memiliki kelanjutan yang mengandung faidah besar, tetapi fokus nilai yang diambil sudah didapatkan pada potongan ini. Semoga Allah mudahkan kita untuk mempelajarinya di momen berikutnya.Kristal hikmahTiga contoh yang kami sebutkan harapannya dapat menunjukkan bahwa ada banyak ragam momen dari baginda Nabi ﷺ ketika marah. Semua keadaan itu berbeda-beda kondisinya dan hukumnya. Maha suci Allah yang telah menjadikan Muhammad ﷺ sebagai suri teladan yang sempurna. Bahkan momen marahnya pun menjadi pelajaran bagi kita semua di hari ini.Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Fisik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/172943/[2] https://dorar.net/hadith/sharh/85211

Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?

Daftar Isi ToggleKaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarNabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiKristal hikmahKeindahan akhlak Nabi ﷺ tidak ada habisnya untuk dibahas. Salah satu nilai istimewa dari akhlak Nabi kita ﷺ adalah akhlak indahnya tidak hanya kepada orang yang baik kepadanya, tetapi juga kepada mereka yang menzalimi Nabi ﷺ. Bahkan kezalimannya begitu besar, sampai tidak terbayang oleh kita bahwa Nabi ﷺ dapat dengan lapang dada dan bersikap rahmat kepadanya.Dalam artikel ini, kita akan mengulas keindahan akhlak Nabi ﷺ kepada para musuh yang menzaliminya. Sehingga dapat menjadi teladan bagi kita semua yang dalam kehidupannya tidak hanya dibersamai orang baik, tetapi juga menghadapi orang-orang yang menzalimi kita. Termasuk pula sisi manusiawi dari Rasulullah ﷺ yang tetap memiliki perasaan dan pernah terluka hatinya.Kaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarAsalnya, Nabi ﷺ tidak marah kecuali bila hak Allah ﷻ dilanggar. Bahkan ketika Nabi ﷺ dizalimi personalnya dengan tindakan yang sangat menghinakan. Beberapa contoh kisah yang sangat terkenal berkaitan ini adalah ketika Nabi ﷺ bersujud mengarah Kabah, lalu ada seorang yang menumpahkan isian perut unta di atas punggung Nabi ﷺ. Nabi ﷺ tidak marah meledak, padahal begitu direndahkan. Nabi ﷺ hanya terus bersujud, sampai Fatimah membersihkan isi perut unta tersebut, lalu beliau bangkit dan menyelesaikan salatnya. Kemudian Nabi ﷺ berdoa,اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ“Ya Allah, aku serahkan (urusan) para pembesar Quraisy kepada-Mu. Yaitu, Abu Jahal bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.” (HR. Bukhari No. 3565)Kisah lain adalah ketika di Taif, Rasulullah ﷺ berdakwah di kampung ibunya tersebut, tetapi dibalas dengan lemparan batu sampai wajahnya berdarah. Rasulullah ﷺ tidak membalas atau marah dengan perbuatan itu, tetapi justru mendoakan agar muncul generasi Islami dari keturunan mereka. Begitupula dengan konspirasi Quraisy yang hendak membunuh Nabi ﷺ, pelakunya tidak Nabi apa-apakan, malah justru diajak ke dalam Islam.Namun, ketika hak Allah ﷻ dihinakan, maka Rasulullah ﷺ akan marah sesuai dengan kadar yang Allah takdirkan untuk Nabi-Nya. [1]Tersebar ungkapan ini dalam bahasa Arab yang disandarkan kepada Nabi ﷺ riwayat Bukhari no. 6288, Muslim no. 4294, dan riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4153. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin,‎وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ“Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi. Tapi jika ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah).” (HR. Bukhari no. 6288)Dalam narasi lain yang senada, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan dengan predikat hadis sahih,ما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منتَصِرًا مِن مظلِمةٍ ظُلِمَها قَطُّ ما لم تُنتَهك محارمُ اللَّهِ فإذا انتُهكَ من محارمِ اللَّهِ شيءٌ كانَ أشدَّهم في ذلِك غضبًا“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah selama larangan Allah tidak dilanggar. Namun, jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah dalam hal itu.” [2] (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8: 132; dinukilkan Tirmidzi dalam Syamail no. 332)Dalam Tahdzib Siratin Nabi, An-Nawawi rahimahullah menyebut ungkapan yang meringkas sifat Nabi ﷺ dari beragam riwayat,ولا يغضب لنفسه، ولا ينتقم لها“Beliau tidak pernah marah atau (merasa) membalas dendam karena kepentingan pribadi.”وإنما يغضب إذا انتهكت حرمات الله عز وجل فحينئذ يغضب ولا يقوم لغضبه شيء حتى ينتصر للحق“Beliau akan marah apabila ada yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allāh. Dan tidak ada yang bisa menghentikan kemarahannya sedikit pun sampai beliau bisa menunjukkan kebenaran.”Maka, beragam riwayat dan penegasan dari para ulama terdahulu menunjukkan bahwasanya memang Rasul kita ﷺ terkenal dengan akhlaknya yang mulia, yakni beliau tidak akan marah kecuali untuk urusan hak Allah ﷻ.Akan tetapi, hal ini bukanlah kemutlakan. Nabi ﷺ tetap memiliki sifat manusia yang dapat marah dan juga rida. Kaidah ini bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah marah sama sekali, melainkan marahnya Nabi ﷺ adalah praktik marah terbaik, berupa caranya, momentumnya, terlebih lagi alasannya. Hal ini didasarkan kepada dalil umum bahwa Rasulullah ﷺ memiliki akhlak yang agung.وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ tidak menampik bahwa beliau juga seorang manusia yang juga kadang marah dan kadang rida, tetapi semua yang keluar dari Nabi ﷺ tertuntun Allah ﷻ,قال عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنه: كنت أكتب كل شيء أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلَّا حَقٌّ. رواه أحمد في المسند وأبو داود في السنن.Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku biasa menulis semua yang kudengar dari Rasulullah ﷺ untuk dihafal. Kaum Quraisy melarangku melakukannya, dengan mengatakan: Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang. Maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau berkata: Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Abu Dawud dalam As-Sunan)Dalam hadis ini diisyaratkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap memiliki sisi manusiawi. Akan tetapi, kita tidak boleh memutlakkannya sebagaimana Quraisy menilai Nabi. Sikap yang tepat adalah mengakui sisi manusiawi dari Nabi dan sisi tersebut tidak membuat cela pada kesempurnaan sifatnya sebagai manusia terbaik.Dalam hadis lain, terdapat testimoni dari Aisyah, istri terkasih baginda Nabi ﷺ dalam praktik akhlak Nabi di rumah,قالت عائشة ـ رضي الله عنها: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ خَادِمًا لَهُ قَطُّ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ، إِلَّا كَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ أَيْسَرُهُمَا، حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ الْإِثْمِ، وَلَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ، حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّAisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita dengan tangannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali ketika berperang di jalan Allah. Dan beliau tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali perkara yang lebih dicintainya adalah perkara yang lebih mudah baginya, hingga perkara itu menjadi dosa. Dan jika perkara itu menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa, dan beliau tidak pernah membalas dendam. Untuk dirinya sendiri dari apa pun yang dibawa kepadanya, hingga kehormatan Allah ﷻ dilanggar.”Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, beliau adalah orang yang penyabar dan pemaaf. Beliau akan selalu memaafkan, kecuali jika itu adalah hak Allah ﷻ, yang dalam hal itu beliau akan membalas urusan itu untuk Allah ﷻ.Dalam hadis lain, dengan tegas Nabi ﷺ mengakui bahwa dirinya juga diliputi amarah pada momen tertentu, alias punya potensi untuk marah sebagaimana manusia lainnya.عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: اللهم إنما محمد بشر يغضب كما يغضب البشر، وإنى قد اتخذت عندك عهدا لن تخلفنيه فأيما مؤمن آذيته أو سببته أو جلدته فاجعلها له كفارة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة.Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah manusia, dapat marah sebagaimana manusia marah. Dan sungguh aku telah berjanji kepada-Mu yang tidak akan Engkau ingkari. Maka, jika aku menyakiti, menghina, atau mencambuk seorang mukmin, jadikanlah itu sebagai penebus dosa dan sarana untuk mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Terdapat hikmah yang besar dari beberapa momen Nabi ﷺ marah dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan pribadinya. Beberapa di antaranya mengandung pelajaran dan hukum yang berbeda. Mari kita simak beberapa di antaranya:Nabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ pernah marah kepada salah seorang yang mengkritisi keputusannya. Dalam sebuah pembagian ghanimah (rampasan perang) di perang Hunain, Rasulullah ﷺ mengatur pembagian ghanimah dengan jumlah lebih banyak kepada orang tertentu. Pembagian ghanimah memang menjadi hak prerogatif beliau sebagai pemimpin, tentu tidak boleh ada yang mengintervensi. Terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi ﷺ yang perbuatannya dituntun wahyu Allah ﷻ. Dalam hal ini juga Nabi ﷺ memiliki alasan yang kuat, yakni dalam rangka untuk melembutkan hati beberapa orang yang diharapkan masuk ke dalam Islam.Namun, orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami merasa tidak terima dengan sistem pembagian itu. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!”Nabi ﷺ marah kepada orang badui yang mengkritik integritas dan keadilan Nabi ﷺ. Sebagian ulama menjelaskan bahwa marahnya Nabi ﷺ ketika dimintai keadilan, karena ini adalah sifat yang paling melekat dan menjadi inti dari kenabian. Jika seorang nabi tidak memiliki integritas, maka patut dipertanyakan syariat yang dibawanya benar-benar masih murni atau tidak. Sedangkan seorang nabi umumnya disebut Al-Amin, terlebih lagi Nabi kita ﷺ. Jika Nabi ﷺ saja tidak bisa adil, lantas siapa lagi yang mampu bersikap adil?Maka, jelas bahwasanya Nabi ﷺ pernah marah berkaitan personalnya yang melekat dengan sifat utama seorang Nabi dan ini merupakan bentuk kemarahan yang sesuai pada porsinya.Nabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pernah marah hingga ditegur Allah ﷻ. Dalam QS. Abasa, Allah ﷻ memberikan teguran kepada Nabi ﷺ yang marah ketika seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, menyela Nabi ﷺ yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Asalnya tindakan berdakwah kepada para pembesar ini adalah strategi dakwah yang tepat. Namun, Allah ﷻ menegur Nabi ﷺ ketika beliau berpaling dari orang yang lebih kecil dalam mendakwahi orang-orang besar. Padahal, perintah dakwah Nabi ﷺ adalah diarahkan kepada semua kalangan tanpa ada yang diistimewakan.Secara personal, tentu kita pun akan tersinggung ketika berbicara kemudian disela. Apalagi ini dalam momen berdakwah kepada orang-orang penting. Bayangkan Anda sedang memberikan nasihat kepada Presiden dan para menteri, lalu seorang buta dari kalangan murid Anda menyela ceramah Anda. Apakah Anda bisa menahan diri untuk tidak marah? Maka, secara manusiawi hal ini wajar sekali. Terlebih Nabi ﷺ tidak mengeluarkan satu pun perkataan batil, beliau hanya memalingkan wajah saja. Namun, di sisi Allah hal ini perlu diluruskan agar menjadi hikmah bagi umat manusia.Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan salah satu momen di mana Nabi ﷺ pernah marah secara pribadi. Dalam contoh ini, Allah ﷻ langsung memberikan teguran. Tujuannya agar menjadi asas dalam berdakwah bahwasanya dakwah tidak boleh terklasifikasi, serta tidak membuka celah sama sekali menghadirkan suasana eksklusif kepada sebagian orang.Nabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiNabi ﷺ pada suatu momen pun pernah menunjukkan bahwa hatinya yang terluka tak semudah itu terobati. Sebagaimana manusia pada umumnya, ketika ia terluka hatinya, pasti mengalami kesulitan dalam memaafkan apalagi melupakan kejadian pahit itu. Hal ini terjadi pada Nabi ﷺ pula ketika masuk Islamnya Wahsy, yang telah membunuh Hamzah, paman kesayangan Nabi ﷺ. Wahsy bin Harb adalah sosok yang membunuh Hamzah di medan Perang Uhud. Kehilangan Hamzah adalah kesedihan yang teramat bagi baginda Nabi ﷺ. Hamzah adalah paman kesayangannya yang tumbuh besar bersama. Perjuangan Hamzah berbalas gelar dari Nabi ﷺ sebagai asadullah atau singanya Allah ﷻ. Gelar ini selain menunjukkan keberanian Hamzah, juga mengandung perasaan kasih yang mendalam dari Nabi kepada Hamzah. Tertoreh luka yang begitu dalam di hati Nabi ﷺ kepada orang yang telah menghilangkan nyawa Hamzah.Namun, takdir Allah ﷻ begitu indahnya. Seorang yang menyiratkan luka di hati Nabi kita, akhirnya masuk Islam di masa Fathu Makkah. Wahsy datang kepada Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mengenalinya, kemudian terjadilah dialog berikut,فَلَمَّا رَآنِي قَالَ:  آنْتَ وَحْشِيٌّ  قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:  أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ  قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ، قَالَ:  فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟  قَالَ: فَخَرَجْتُ ،“Ketika beliau melihatku, beliau berkata, “Kau Wahsyi.” Aku berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Kau telah membunuh Hamzah.” Aku berkata, “Apa yang telah sampai padamu telah terjadi.” Beliau berkata, “Bisakah kau menyembunyikan wajahmu dariku?” Beliau berkata, “Maka aku pun pergi.” (HR. Bukhari no. 4072 dan lainnya)Potongan hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pun tak dapat menahan dirinya sepenuhnya dari gejolak luka di hatinya. Meskipun seorang yang berdosa itu telah tertebus dengan masuk Islam, tetapi luka secara personal tak mudah hilang.Nabi ﷺ tentu berbahagia dengan masuknya Wahsy ke dalam Islam. Nabi ﷺ adalah orang yang paling berkasih-sayang di antara seluruh umat manusia. Namun, kelukaan hati itu tak dapat dielakkannya. Wajah yang membunuh pamannya, sudah barang tentu dapat membangkitkan luka itu. Dan Nabi ﷺ pun tidak keluar dari batas halal-haram dan keadilan, ia pun tetap menerima keislaman Wahsy, mengakuinya sebagai masyarakat kaum muslimin. Hanya saja, Nabi kita ﷺ tak mampu melihat wajahnya, karena tak ingin luka kesedihan itu timbul kembali.Sikap Nabi ﷺ kepada Wahsy ini juga menelurkan faidah bahwasanya boleh saja orang menjaga jarak dengan saudara sesama muslim dalam rangka menjaga kondisi hatinya. Namun, ia tak boleh membenci seorang muslim secara mutlak, karena keislaman telah mempersaudarakan siapapun di antara muslim. Wajar sekali bagi manusia untuk terluka hatinya, terkenang memori buruk, atau timbul rasa tidak suka kepada sesama muslim. Namun, tidak boleh ia melewati batas keadilan hingga menzalimi. Di antara bentuk kezaliman itu adalah mencaci-maki, gibah, apalagi fitnah. Maka, betapa indah kehidupan seorang muslim, saat bertengkar pun tetap menjaga hak-hak sesamanya.Kisah Wahsy ini masih memiliki kelanjutan yang mengandung faidah besar, tetapi fokus nilai yang diambil sudah didapatkan pada potongan ini. Semoga Allah mudahkan kita untuk mempelajarinya di momen berikutnya.Kristal hikmahTiga contoh yang kami sebutkan harapannya dapat menunjukkan bahwa ada banyak ragam momen dari baginda Nabi ﷺ ketika marah. Semua keadaan itu berbeda-beda kondisinya dan hukumnya. Maha suci Allah yang telah menjadikan Muhammad ﷺ sebagai suri teladan yang sempurna. Bahkan momen marahnya pun menjadi pelajaran bagi kita semua di hari ini.Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Fisik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/172943/[2] https://dorar.net/hadith/sharh/85211
Daftar Isi ToggleKaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarNabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiKristal hikmahKeindahan akhlak Nabi ﷺ tidak ada habisnya untuk dibahas. Salah satu nilai istimewa dari akhlak Nabi kita ﷺ adalah akhlak indahnya tidak hanya kepada orang yang baik kepadanya, tetapi juga kepada mereka yang menzalimi Nabi ﷺ. Bahkan kezalimannya begitu besar, sampai tidak terbayang oleh kita bahwa Nabi ﷺ dapat dengan lapang dada dan bersikap rahmat kepadanya.Dalam artikel ini, kita akan mengulas keindahan akhlak Nabi ﷺ kepada para musuh yang menzaliminya. Sehingga dapat menjadi teladan bagi kita semua yang dalam kehidupannya tidak hanya dibersamai orang baik, tetapi juga menghadapi orang-orang yang menzalimi kita. Termasuk pula sisi manusiawi dari Rasulullah ﷺ yang tetap memiliki perasaan dan pernah terluka hatinya.Kaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarAsalnya, Nabi ﷺ tidak marah kecuali bila hak Allah ﷻ dilanggar. Bahkan ketika Nabi ﷺ dizalimi personalnya dengan tindakan yang sangat menghinakan. Beberapa contoh kisah yang sangat terkenal berkaitan ini adalah ketika Nabi ﷺ bersujud mengarah Kabah, lalu ada seorang yang menumpahkan isian perut unta di atas punggung Nabi ﷺ. Nabi ﷺ tidak marah meledak, padahal begitu direndahkan. Nabi ﷺ hanya terus bersujud, sampai Fatimah membersihkan isi perut unta tersebut, lalu beliau bangkit dan menyelesaikan salatnya. Kemudian Nabi ﷺ berdoa,اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ“Ya Allah, aku serahkan (urusan) para pembesar Quraisy kepada-Mu. Yaitu, Abu Jahal bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.” (HR. Bukhari No. 3565)Kisah lain adalah ketika di Taif, Rasulullah ﷺ berdakwah di kampung ibunya tersebut, tetapi dibalas dengan lemparan batu sampai wajahnya berdarah. Rasulullah ﷺ tidak membalas atau marah dengan perbuatan itu, tetapi justru mendoakan agar muncul generasi Islami dari keturunan mereka. Begitupula dengan konspirasi Quraisy yang hendak membunuh Nabi ﷺ, pelakunya tidak Nabi apa-apakan, malah justru diajak ke dalam Islam.Namun, ketika hak Allah ﷻ dihinakan, maka Rasulullah ﷺ akan marah sesuai dengan kadar yang Allah takdirkan untuk Nabi-Nya. [1]Tersebar ungkapan ini dalam bahasa Arab yang disandarkan kepada Nabi ﷺ riwayat Bukhari no. 6288, Muslim no. 4294, dan riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4153. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin,‎وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ“Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi. Tapi jika ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah).” (HR. Bukhari no. 6288)Dalam narasi lain yang senada, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan dengan predikat hadis sahih,ما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منتَصِرًا مِن مظلِمةٍ ظُلِمَها قَطُّ ما لم تُنتَهك محارمُ اللَّهِ فإذا انتُهكَ من محارمِ اللَّهِ شيءٌ كانَ أشدَّهم في ذلِك غضبًا“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah selama larangan Allah tidak dilanggar. Namun, jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah dalam hal itu.” [2] (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8: 132; dinukilkan Tirmidzi dalam Syamail no. 332)Dalam Tahdzib Siratin Nabi, An-Nawawi rahimahullah menyebut ungkapan yang meringkas sifat Nabi ﷺ dari beragam riwayat,ولا يغضب لنفسه، ولا ينتقم لها“Beliau tidak pernah marah atau (merasa) membalas dendam karena kepentingan pribadi.”وإنما يغضب إذا انتهكت حرمات الله عز وجل فحينئذ يغضب ولا يقوم لغضبه شيء حتى ينتصر للحق“Beliau akan marah apabila ada yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allāh. Dan tidak ada yang bisa menghentikan kemarahannya sedikit pun sampai beliau bisa menunjukkan kebenaran.”Maka, beragam riwayat dan penegasan dari para ulama terdahulu menunjukkan bahwasanya memang Rasul kita ﷺ terkenal dengan akhlaknya yang mulia, yakni beliau tidak akan marah kecuali untuk urusan hak Allah ﷻ.Akan tetapi, hal ini bukanlah kemutlakan. Nabi ﷺ tetap memiliki sifat manusia yang dapat marah dan juga rida. Kaidah ini bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah marah sama sekali, melainkan marahnya Nabi ﷺ adalah praktik marah terbaik, berupa caranya, momentumnya, terlebih lagi alasannya. Hal ini didasarkan kepada dalil umum bahwa Rasulullah ﷺ memiliki akhlak yang agung.وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ tidak menampik bahwa beliau juga seorang manusia yang juga kadang marah dan kadang rida, tetapi semua yang keluar dari Nabi ﷺ tertuntun Allah ﷻ,قال عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنه: كنت أكتب كل شيء أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلَّا حَقٌّ. رواه أحمد في المسند وأبو داود في السنن.Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku biasa menulis semua yang kudengar dari Rasulullah ﷺ untuk dihafal. Kaum Quraisy melarangku melakukannya, dengan mengatakan: Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang. Maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau berkata: Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Abu Dawud dalam As-Sunan)Dalam hadis ini diisyaratkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap memiliki sisi manusiawi. Akan tetapi, kita tidak boleh memutlakkannya sebagaimana Quraisy menilai Nabi. Sikap yang tepat adalah mengakui sisi manusiawi dari Nabi dan sisi tersebut tidak membuat cela pada kesempurnaan sifatnya sebagai manusia terbaik.Dalam hadis lain, terdapat testimoni dari Aisyah, istri terkasih baginda Nabi ﷺ dalam praktik akhlak Nabi di rumah,قالت عائشة ـ رضي الله عنها: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ خَادِمًا لَهُ قَطُّ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ، إِلَّا كَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ أَيْسَرُهُمَا، حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ الْإِثْمِ، وَلَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ، حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّAisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita dengan tangannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali ketika berperang di jalan Allah. Dan beliau tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali perkara yang lebih dicintainya adalah perkara yang lebih mudah baginya, hingga perkara itu menjadi dosa. Dan jika perkara itu menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa, dan beliau tidak pernah membalas dendam. Untuk dirinya sendiri dari apa pun yang dibawa kepadanya, hingga kehormatan Allah ﷻ dilanggar.”Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, beliau adalah orang yang penyabar dan pemaaf. Beliau akan selalu memaafkan, kecuali jika itu adalah hak Allah ﷻ, yang dalam hal itu beliau akan membalas urusan itu untuk Allah ﷻ.Dalam hadis lain, dengan tegas Nabi ﷺ mengakui bahwa dirinya juga diliputi amarah pada momen tertentu, alias punya potensi untuk marah sebagaimana manusia lainnya.عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: اللهم إنما محمد بشر يغضب كما يغضب البشر، وإنى قد اتخذت عندك عهدا لن تخلفنيه فأيما مؤمن آذيته أو سببته أو جلدته فاجعلها له كفارة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة.Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah manusia, dapat marah sebagaimana manusia marah. Dan sungguh aku telah berjanji kepada-Mu yang tidak akan Engkau ingkari. Maka, jika aku menyakiti, menghina, atau mencambuk seorang mukmin, jadikanlah itu sebagai penebus dosa dan sarana untuk mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Terdapat hikmah yang besar dari beberapa momen Nabi ﷺ marah dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan pribadinya. Beberapa di antaranya mengandung pelajaran dan hukum yang berbeda. Mari kita simak beberapa di antaranya:Nabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ pernah marah kepada salah seorang yang mengkritisi keputusannya. Dalam sebuah pembagian ghanimah (rampasan perang) di perang Hunain, Rasulullah ﷺ mengatur pembagian ghanimah dengan jumlah lebih banyak kepada orang tertentu. Pembagian ghanimah memang menjadi hak prerogatif beliau sebagai pemimpin, tentu tidak boleh ada yang mengintervensi. Terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi ﷺ yang perbuatannya dituntun wahyu Allah ﷻ. Dalam hal ini juga Nabi ﷺ memiliki alasan yang kuat, yakni dalam rangka untuk melembutkan hati beberapa orang yang diharapkan masuk ke dalam Islam.Namun, orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami merasa tidak terima dengan sistem pembagian itu. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!”Nabi ﷺ marah kepada orang badui yang mengkritik integritas dan keadilan Nabi ﷺ. Sebagian ulama menjelaskan bahwa marahnya Nabi ﷺ ketika dimintai keadilan, karena ini adalah sifat yang paling melekat dan menjadi inti dari kenabian. Jika seorang nabi tidak memiliki integritas, maka patut dipertanyakan syariat yang dibawanya benar-benar masih murni atau tidak. Sedangkan seorang nabi umumnya disebut Al-Amin, terlebih lagi Nabi kita ﷺ. Jika Nabi ﷺ saja tidak bisa adil, lantas siapa lagi yang mampu bersikap adil?Maka, jelas bahwasanya Nabi ﷺ pernah marah berkaitan personalnya yang melekat dengan sifat utama seorang Nabi dan ini merupakan bentuk kemarahan yang sesuai pada porsinya.Nabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pernah marah hingga ditegur Allah ﷻ. Dalam QS. Abasa, Allah ﷻ memberikan teguran kepada Nabi ﷺ yang marah ketika seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, menyela Nabi ﷺ yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Asalnya tindakan berdakwah kepada para pembesar ini adalah strategi dakwah yang tepat. Namun, Allah ﷻ menegur Nabi ﷺ ketika beliau berpaling dari orang yang lebih kecil dalam mendakwahi orang-orang besar. Padahal, perintah dakwah Nabi ﷺ adalah diarahkan kepada semua kalangan tanpa ada yang diistimewakan.Secara personal, tentu kita pun akan tersinggung ketika berbicara kemudian disela. Apalagi ini dalam momen berdakwah kepada orang-orang penting. Bayangkan Anda sedang memberikan nasihat kepada Presiden dan para menteri, lalu seorang buta dari kalangan murid Anda menyela ceramah Anda. Apakah Anda bisa menahan diri untuk tidak marah? Maka, secara manusiawi hal ini wajar sekali. Terlebih Nabi ﷺ tidak mengeluarkan satu pun perkataan batil, beliau hanya memalingkan wajah saja. Namun, di sisi Allah hal ini perlu diluruskan agar menjadi hikmah bagi umat manusia.Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan salah satu momen di mana Nabi ﷺ pernah marah secara pribadi. Dalam contoh ini, Allah ﷻ langsung memberikan teguran. Tujuannya agar menjadi asas dalam berdakwah bahwasanya dakwah tidak boleh terklasifikasi, serta tidak membuka celah sama sekali menghadirkan suasana eksklusif kepada sebagian orang.Nabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiNabi ﷺ pada suatu momen pun pernah menunjukkan bahwa hatinya yang terluka tak semudah itu terobati. Sebagaimana manusia pada umumnya, ketika ia terluka hatinya, pasti mengalami kesulitan dalam memaafkan apalagi melupakan kejadian pahit itu. Hal ini terjadi pada Nabi ﷺ pula ketika masuk Islamnya Wahsy, yang telah membunuh Hamzah, paman kesayangan Nabi ﷺ. Wahsy bin Harb adalah sosok yang membunuh Hamzah di medan Perang Uhud. Kehilangan Hamzah adalah kesedihan yang teramat bagi baginda Nabi ﷺ. Hamzah adalah paman kesayangannya yang tumbuh besar bersama. Perjuangan Hamzah berbalas gelar dari Nabi ﷺ sebagai asadullah atau singanya Allah ﷻ. Gelar ini selain menunjukkan keberanian Hamzah, juga mengandung perasaan kasih yang mendalam dari Nabi kepada Hamzah. Tertoreh luka yang begitu dalam di hati Nabi ﷺ kepada orang yang telah menghilangkan nyawa Hamzah.Namun, takdir Allah ﷻ begitu indahnya. Seorang yang menyiratkan luka di hati Nabi kita, akhirnya masuk Islam di masa Fathu Makkah. Wahsy datang kepada Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mengenalinya, kemudian terjadilah dialog berikut,فَلَمَّا رَآنِي قَالَ:  آنْتَ وَحْشِيٌّ  قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:  أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ  قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ، قَالَ:  فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟  قَالَ: فَخَرَجْتُ ،“Ketika beliau melihatku, beliau berkata, “Kau Wahsyi.” Aku berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Kau telah membunuh Hamzah.” Aku berkata, “Apa yang telah sampai padamu telah terjadi.” Beliau berkata, “Bisakah kau menyembunyikan wajahmu dariku?” Beliau berkata, “Maka aku pun pergi.” (HR. Bukhari no. 4072 dan lainnya)Potongan hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pun tak dapat menahan dirinya sepenuhnya dari gejolak luka di hatinya. Meskipun seorang yang berdosa itu telah tertebus dengan masuk Islam, tetapi luka secara personal tak mudah hilang.Nabi ﷺ tentu berbahagia dengan masuknya Wahsy ke dalam Islam. Nabi ﷺ adalah orang yang paling berkasih-sayang di antara seluruh umat manusia. Namun, kelukaan hati itu tak dapat dielakkannya. Wajah yang membunuh pamannya, sudah barang tentu dapat membangkitkan luka itu. Dan Nabi ﷺ pun tidak keluar dari batas halal-haram dan keadilan, ia pun tetap menerima keislaman Wahsy, mengakuinya sebagai masyarakat kaum muslimin. Hanya saja, Nabi kita ﷺ tak mampu melihat wajahnya, karena tak ingin luka kesedihan itu timbul kembali.Sikap Nabi ﷺ kepada Wahsy ini juga menelurkan faidah bahwasanya boleh saja orang menjaga jarak dengan saudara sesama muslim dalam rangka menjaga kondisi hatinya. Namun, ia tak boleh membenci seorang muslim secara mutlak, karena keislaman telah mempersaudarakan siapapun di antara muslim. Wajar sekali bagi manusia untuk terluka hatinya, terkenang memori buruk, atau timbul rasa tidak suka kepada sesama muslim. Namun, tidak boleh ia melewati batas keadilan hingga menzalimi. Di antara bentuk kezaliman itu adalah mencaci-maki, gibah, apalagi fitnah. Maka, betapa indah kehidupan seorang muslim, saat bertengkar pun tetap menjaga hak-hak sesamanya.Kisah Wahsy ini masih memiliki kelanjutan yang mengandung faidah besar, tetapi fokus nilai yang diambil sudah didapatkan pada potongan ini. Semoga Allah mudahkan kita untuk mempelajarinya di momen berikutnya.Kristal hikmahTiga contoh yang kami sebutkan harapannya dapat menunjukkan bahwa ada banyak ragam momen dari baginda Nabi ﷺ ketika marah. Semua keadaan itu berbeda-beda kondisinya dan hukumnya. Maha suci Allah yang telah menjadikan Muhammad ﷺ sebagai suri teladan yang sempurna. Bahkan momen marahnya pun menjadi pelajaran bagi kita semua di hari ini.Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Fisik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/172943/[2] https://dorar.net/hadith/sharh/85211


Daftar Isi ToggleKaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarNabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiKristal hikmahKeindahan akhlak Nabi ﷺ tidak ada habisnya untuk dibahas. Salah satu nilai istimewa dari akhlak Nabi kita ﷺ adalah akhlak indahnya tidak hanya kepada orang yang baik kepadanya, tetapi juga kepada mereka yang menzalimi Nabi ﷺ. Bahkan kezalimannya begitu besar, sampai tidak terbayang oleh kita bahwa Nabi ﷺ dapat dengan lapang dada dan bersikap rahmat kepadanya.Dalam artikel ini, kita akan mengulas keindahan akhlak Nabi ﷺ kepada para musuh yang menzaliminya. Sehingga dapat menjadi teladan bagi kita semua yang dalam kehidupannya tidak hanya dibersamai orang baik, tetapi juga menghadapi orang-orang yang menzalimi kita. Termasuk pula sisi manusiawi dari Rasulullah ﷺ yang tetap memiliki perasaan dan pernah terluka hatinya.Kaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggarAsalnya, Nabi ﷺ tidak marah kecuali bila hak Allah ﷻ dilanggar. Bahkan ketika Nabi ﷺ dizalimi personalnya dengan tindakan yang sangat menghinakan. Beberapa contoh kisah yang sangat terkenal berkaitan ini adalah ketika Nabi ﷺ bersujud mengarah Kabah, lalu ada seorang yang menumpahkan isian perut unta di atas punggung Nabi ﷺ. Nabi ﷺ tidak marah meledak, padahal begitu direndahkan. Nabi ﷺ hanya terus bersujud, sampai Fatimah membersihkan isi perut unta tersebut, lalu beliau bangkit dan menyelesaikan salatnya. Kemudian Nabi ﷺ berdoa,اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ“Ya Allah, aku serahkan (urusan) para pembesar Quraisy kepada-Mu. Yaitu, Abu Jahal bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.” (HR. Bukhari No. 3565)Kisah lain adalah ketika di Taif, Rasulullah ﷺ berdakwah di kampung ibunya tersebut, tetapi dibalas dengan lemparan batu sampai wajahnya berdarah. Rasulullah ﷺ tidak membalas atau marah dengan perbuatan itu, tetapi justru mendoakan agar muncul generasi Islami dari keturunan mereka. Begitupula dengan konspirasi Quraisy yang hendak membunuh Nabi ﷺ, pelakunya tidak Nabi apa-apakan, malah justru diajak ke dalam Islam.Namun, ketika hak Allah ﷻ dihinakan, maka Rasulullah ﷺ akan marah sesuai dengan kadar yang Allah takdirkan untuk Nabi-Nya. [1]Tersebar ungkapan ini dalam bahasa Arab yang disandarkan kepada Nabi ﷺ riwayat Bukhari no. 6288, Muslim no. 4294, dan riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4153. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin,‎وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ“Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi. Tapi jika ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah).” (HR. Bukhari no. 6288)Dalam narasi lain yang senada, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan dengan predikat hadis sahih,ما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منتَصِرًا مِن مظلِمةٍ ظُلِمَها قَطُّ ما لم تُنتَهك محارمُ اللَّهِ فإذا انتُهكَ من محارمِ اللَّهِ شيءٌ كانَ أشدَّهم في ذلِك غضبًا“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah selama larangan Allah tidak dilanggar. Namun, jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah dalam hal itu.” [2] (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8: 132; dinukilkan Tirmidzi dalam Syamail no. 332)Dalam Tahdzib Siratin Nabi, An-Nawawi rahimahullah menyebut ungkapan yang meringkas sifat Nabi ﷺ dari beragam riwayat,ولا يغضب لنفسه، ولا ينتقم لها“Beliau tidak pernah marah atau (merasa) membalas dendam karena kepentingan pribadi.”وإنما يغضب إذا انتهكت حرمات الله عز وجل فحينئذ يغضب ولا يقوم لغضبه شيء حتى ينتصر للحق“Beliau akan marah apabila ada yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allāh. Dan tidak ada yang bisa menghentikan kemarahannya sedikit pun sampai beliau bisa menunjukkan kebenaran.”Maka, beragam riwayat dan penegasan dari para ulama terdahulu menunjukkan bahwasanya memang Rasul kita ﷺ terkenal dengan akhlaknya yang mulia, yakni beliau tidak akan marah kecuali untuk urusan hak Allah ﷻ.Akan tetapi, hal ini bukanlah kemutlakan. Nabi ﷺ tetap memiliki sifat manusia yang dapat marah dan juga rida. Kaidah ini bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah marah sama sekali, melainkan marahnya Nabi ﷺ adalah praktik marah terbaik, berupa caranya, momentumnya, terlebih lagi alasannya. Hal ini didasarkan kepada dalil umum bahwa Rasulullah ﷺ memiliki akhlak yang agung.وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ tidak menampik bahwa beliau juga seorang manusia yang juga kadang marah dan kadang rida, tetapi semua yang keluar dari Nabi ﷺ tertuntun Allah ﷻ,قال عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنه: كنت أكتب كل شيء أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلَّا حَقٌّ. رواه أحمد في المسند وأبو داود في السنن.Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku biasa menulis semua yang kudengar dari Rasulullah ﷺ untuk dihafal. Kaum Quraisy melarangku melakukannya, dengan mengatakan: Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang. Maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau berkata: Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Abu Dawud dalam As-Sunan)Dalam hadis ini diisyaratkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap memiliki sisi manusiawi. Akan tetapi, kita tidak boleh memutlakkannya sebagaimana Quraisy menilai Nabi. Sikap yang tepat adalah mengakui sisi manusiawi dari Nabi dan sisi tersebut tidak membuat cela pada kesempurnaan sifatnya sebagai manusia terbaik.Dalam hadis lain, terdapat testimoni dari Aisyah, istri terkasih baginda Nabi ﷺ dalam praktik akhlak Nabi di rumah,قالت عائشة ـ رضي الله عنها: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ خَادِمًا لَهُ قَطُّ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ، إِلَّا كَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ أَيْسَرُهُمَا، حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ الْإِثْمِ، وَلَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ، حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّAisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita dengan tangannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali ketika berperang di jalan Allah. Dan beliau tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali perkara yang lebih dicintainya adalah perkara yang lebih mudah baginya, hingga perkara itu menjadi dosa. Dan jika perkara itu menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa, dan beliau tidak pernah membalas dendam. Untuk dirinya sendiri dari apa pun yang dibawa kepadanya, hingga kehormatan Allah ﷻ dilanggar.”Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, beliau adalah orang yang penyabar dan pemaaf. Beliau akan selalu memaafkan, kecuali jika itu adalah hak Allah ﷻ, yang dalam hal itu beliau akan membalas urusan itu untuk Allah ﷻ.Dalam hadis lain, dengan tegas Nabi ﷺ mengakui bahwa dirinya juga diliputi amarah pada momen tertentu, alias punya potensi untuk marah sebagaimana manusia lainnya.عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: اللهم إنما محمد بشر يغضب كما يغضب البشر، وإنى قد اتخذت عندك عهدا لن تخلفنيه فأيما مؤمن آذيته أو سببته أو جلدته فاجعلها له كفارة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة.Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah manusia, dapat marah sebagaimana manusia marah. Dan sungguh aku telah berjanji kepada-Mu yang tidak akan Engkau ingkari. Maka, jika aku menyakiti, menghina, atau mencambuk seorang mukmin, jadikanlah itu sebagai penebus dosa dan sarana untuk mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Terdapat hikmah yang besar dari beberapa momen Nabi ﷺ marah dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan pribadinya. Beberapa di antaranya mengandung pelajaran dan hukum yang berbeda. Mari kita simak beberapa di antaranya:Nabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakanNabi ﷺ pernah marah kepada salah seorang yang mengkritisi keputusannya. Dalam sebuah pembagian ghanimah (rampasan perang) di perang Hunain, Rasulullah ﷺ mengatur pembagian ghanimah dengan jumlah lebih banyak kepada orang tertentu. Pembagian ghanimah memang menjadi hak prerogatif beliau sebagai pemimpin, tentu tidak boleh ada yang mengintervensi. Terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi ﷺ yang perbuatannya dituntun wahyu Allah ﷻ. Dalam hal ini juga Nabi ﷺ memiliki alasan yang kuat, yakni dalam rangka untuk melembutkan hati beberapa orang yang diharapkan masuk ke dalam Islam.Namun, orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami merasa tidak terima dengan sistem pembagian itu. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!”Nabi ﷺ marah kepada orang badui yang mengkritik integritas dan keadilan Nabi ﷺ. Sebagian ulama menjelaskan bahwa marahnya Nabi ﷺ ketika dimintai keadilan, karena ini adalah sifat yang paling melekat dan menjadi inti dari kenabian. Jika seorang nabi tidak memiliki integritas, maka patut dipertanyakan syariat yang dibawanya benar-benar masih murni atau tidak. Sedangkan seorang nabi umumnya disebut Al-Amin, terlebih lagi Nabi kita ﷺ. Jika Nabi ﷺ saja tidak bisa adil, lantas siapa lagi yang mampu bersikap adil?Maka, jelas bahwasanya Nabi ﷺ pernah marah berkaitan personalnya yang melekat dengan sifat utama seorang Nabi dan ini merupakan bentuk kemarahan yang sesuai pada porsinya.Nabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻNabi ﷺ pernah marah hingga ditegur Allah ﷻ. Dalam QS. Abasa, Allah ﷻ memberikan teguran kepada Nabi ﷺ yang marah ketika seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, menyela Nabi ﷺ yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Asalnya tindakan berdakwah kepada para pembesar ini adalah strategi dakwah yang tepat. Namun, Allah ﷻ menegur Nabi ﷺ ketika beliau berpaling dari orang yang lebih kecil dalam mendakwahi orang-orang besar. Padahal, perintah dakwah Nabi ﷺ adalah diarahkan kepada semua kalangan tanpa ada yang diistimewakan.Secara personal, tentu kita pun akan tersinggung ketika berbicara kemudian disela. Apalagi ini dalam momen berdakwah kepada orang-orang penting. Bayangkan Anda sedang memberikan nasihat kepada Presiden dan para menteri, lalu seorang buta dari kalangan murid Anda menyela ceramah Anda. Apakah Anda bisa menahan diri untuk tidak marah? Maka, secara manusiawi hal ini wajar sekali. Terlebih Nabi ﷺ tidak mengeluarkan satu pun perkataan batil, beliau hanya memalingkan wajah saja. Namun, di sisi Allah hal ini perlu diluruskan agar menjadi hikmah bagi umat manusia.Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan salah satu momen di mana Nabi ﷺ pernah marah secara pribadi. Dalam contoh ini, Allah ﷻ langsung memberikan teguran. Tujuannya agar menjadi asas dalam berdakwah bahwasanya dakwah tidak boleh terklasifikasi, serta tidak membuka celah sama sekali menghadirkan suasana eksklusif kepada sebagian orang.Nabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hatiNabi ﷺ pada suatu momen pun pernah menunjukkan bahwa hatinya yang terluka tak semudah itu terobati. Sebagaimana manusia pada umumnya, ketika ia terluka hatinya, pasti mengalami kesulitan dalam memaafkan apalagi melupakan kejadian pahit itu. Hal ini terjadi pada Nabi ﷺ pula ketika masuk Islamnya Wahsy, yang telah membunuh Hamzah, paman kesayangan Nabi ﷺ. Wahsy bin Harb adalah sosok yang membunuh Hamzah di medan Perang Uhud. Kehilangan Hamzah adalah kesedihan yang teramat bagi baginda Nabi ﷺ. Hamzah adalah paman kesayangannya yang tumbuh besar bersama. Perjuangan Hamzah berbalas gelar dari Nabi ﷺ sebagai asadullah atau singanya Allah ﷻ. Gelar ini selain menunjukkan keberanian Hamzah, juga mengandung perasaan kasih yang mendalam dari Nabi kepada Hamzah. Tertoreh luka yang begitu dalam di hati Nabi ﷺ kepada orang yang telah menghilangkan nyawa Hamzah.Namun, takdir Allah ﷻ begitu indahnya. Seorang yang menyiratkan luka di hati Nabi kita, akhirnya masuk Islam di masa Fathu Makkah. Wahsy datang kepada Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mengenalinya, kemudian terjadilah dialog berikut,فَلَمَّا رَآنِي قَالَ:  آنْتَ وَحْشِيٌّ  قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:  أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ  قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ، قَالَ:  فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟  قَالَ: فَخَرَجْتُ ،“Ketika beliau melihatku, beliau berkata, “Kau Wahsyi.” Aku berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Kau telah membunuh Hamzah.” Aku berkata, “Apa yang telah sampai padamu telah terjadi.” Beliau berkata, “Bisakah kau menyembunyikan wajahmu dariku?” Beliau berkata, “Maka aku pun pergi.” (HR. Bukhari no. 4072 dan lainnya)Potongan hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pun tak dapat menahan dirinya sepenuhnya dari gejolak luka di hatinya. Meskipun seorang yang berdosa itu telah tertebus dengan masuk Islam, tetapi luka secara personal tak mudah hilang.Nabi ﷺ tentu berbahagia dengan masuknya Wahsy ke dalam Islam. Nabi ﷺ adalah orang yang paling berkasih-sayang di antara seluruh umat manusia. Namun, kelukaan hati itu tak dapat dielakkannya. Wajah yang membunuh pamannya, sudah barang tentu dapat membangkitkan luka itu. Dan Nabi ﷺ pun tidak keluar dari batas halal-haram dan keadilan, ia pun tetap menerima keislaman Wahsy, mengakuinya sebagai masyarakat kaum muslimin. Hanya saja, Nabi kita ﷺ tak mampu melihat wajahnya, karena tak ingin luka kesedihan itu timbul kembali.Sikap Nabi ﷺ kepada Wahsy ini juga menelurkan faidah bahwasanya boleh saja orang menjaga jarak dengan saudara sesama muslim dalam rangka menjaga kondisi hatinya. Namun, ia tak boleh membenci seorang muslim secara mutlak, karena keislaman telah mempersaudarakan siapapun di antara muslim. Wajar sekali bagi manusia untuk terluka hatinya, terkenang memori buruk, atau timbul rasa tidak suka kepada sesama muslim. Namun, tidak boleh ia melewati batas keadilan hingga menzalimi. Di antara bentuk kezaliman itu adalah mencaci-maki, gibah, apalagi fitnah. Maka, betapa indah kehidupan seorang muslim, saat bertengkar pun tetap menjaga hak-hak sesamanya.Kisah Wahsy ini masih memiliki kelanjutan yang mengandung faidah besar, tetapi fokus nilai yang diambil sudah didapatkan pada potongan ini. Semoga Allah mudahkan kita untuk mempelajarinya di momen berikutnya.Kristal hikmahTiga contoh yang kami sebutkan harapannya dapat menunjukkan bahwa ada banyak ragam momen dari baginda Nabi ﷺ ketika marah. Semua keadaan itu berbeda-beda kondisinya dan hukumnya. Maha suci Allah yang telah menjadikan Muhammad ﷺ sebagai suri teladan yang sempurna. Bahkan momen marahnya pun menjadi pelajaran bagi kita semua di hari ini.Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Fisik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/172943/[2] https://dorar.net/hadith/sharh/85211

Fikih Utang Piutang (Bag. 12): Adab-Adab dalam Utang Piutang

Daftar Isi ToggleKaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaAdab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakBerniat untuk melunasi utangnyaMencatat utang dengan jelasSegera melunasi ketika mampuMengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangTidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Mencatat dan menghadirkan saksiSebagai penghujung dari pembahasan dari Fikih Utang Piutang, seorang muslim sebaiknya mengetahui bagaimana muamalah bersama manusia lainnya, khususnya dalam masalah utang piutang. Dalam urusan utang piutang, terkadang teman bisa menjadi lawan, keluarga bisa menjadi musuh, dan tetangga yang semula rukun dan damai, berubah menjadi acuh tak acuh.Barangkali hal tersebut terjadi karena tidak mengetahui adab-adab dalam utang piutang. Sehingga tidak sedikit perselisihan terjadi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap adab-adab tersebut.Kaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaTerdapat kaidah yang harus diketahui dalam bermuamalah dengan manusia,حُقوقُ اللهِ تَعالى مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ، وَحُقوقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ، لِاسْتِغْنَاءِ اللهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ“Hak-hak Allah Ta’ala dibangun di atas dasar toleransi (pemaafan), sedangkan hak-hak hamba (manusia) dibangun di atas dasar tuntutan (sifat pelit), karena Allah tidak membutuhkan apapun, sedangkan manusia saling membutuhkan.” Yakni, Allah Ta’ala yang Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya jika hamba-hamba-Nya lalai dalam memenuhi hak-hak Allah. Adapun manusia, hak-hak mereka dibangun di atas rasa pelit. Artinya, manusia tidak ingin haknya itu diambil, dirampas, atau tidak dibayarkan utangnya. Demikianlah hukum asal dari muamalah dengan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ“Dan pada diri manusia telah dihadirkan sifat kikir (pelit).” (QS. An-Nisa: 128)Sehingga ketika posisi Anda sebagai pengutang, jangan beralasan Anda tidak mau membayar utang Anda karena pemberi utang adalah orang yang kaya. Hak tetaplah hak; seberapapun kayanya orang yang memberikan Anda utang, hak dia tetaplah harus ditunaikan. Jika tidak, maka hal tersebut termasuk perbuatan zalim yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ“Barang siapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya —baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain— maka hendaklah ia meminta halal (kerelaan) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham di dalamnya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi), lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)Telah jelas pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan, kemudian ia menunda-nunda untuk membayar utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فإذا أُتْبِعَ أحَدُكُمْ علَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang kaya, hendaklah ia menerima pengalihan itu.” (HR. Bukhari)Artinya, orang yang mampu membayar utang tetapi menunda-nunda dengan sengaja, maka ia zalim, karena menahan hak orang lain tanpa alasan syar’i. Kemudian jika pihak pengutang mengalihkan utangnya kepada orang yang kaya, maka hendaknya pemberi utang menerimanya dan tidak mempersulitnya. Hal ini dikenal dengan fikih hiwalah.Adab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakTidak menjadikan utang sebagai kebiasaan hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salatnya sering sekali berlindung dari utang. Ummul Mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha mengatakan,وكان يقولُ في صلاتِهِ كثيرًا : اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِن المَأثمِ والمَغرمِ الدَّينِ فقيلَ لهُ : إنَّكَ تستعيذُ مِن المَغرمِ كثيرًا يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : إنَّ الرَّجلَ إذا غرِمَ استدانَ حدَّثَ فكذَبَ وَوعدَ فأخلفَ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam salatnya, ’Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan lilitan utang.’ Lalu dikatakan kepada beliau, ’Wahai Rasulullah, engkau sering sekali memohon perlindungan dari utang.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya apabila seseorang telah berutang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (Muttafaqun ‘alaih)Berniat untuk melunasi utangnyaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَن أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَن أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan berniat ingin melunasinya, maka Allah akan membantu untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambil harta manusia dengan berniat ingin merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)Niat yang baik merupakan sebab kuat untuk mendapatkan rezeki dan Allah berikan kemampuan untuk melunasi utang-utang. Sebaliknya, niat yang buruk justru akan menjadi penyebab Allah binasakan harta seseorang.Mencatat utang dengan jelasSebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 282, dan telah berlalu pembahasannya.Segera melunasi ketika mampuSebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari)Mengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangSebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu, itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah: 280)Tidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Seperti mensyaratkan adanya hadiah, tambahan, atau jasa sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan. Ini semua termasuk dari riba.Mencatat dan menghadirkan saksiSebagaimana perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282, baik itu utangnya besar atau kecil. Hal ini tentunya agar tidak timbul sengketa di kemudian hari.Demikianlah di antara hal-hal yang harus diketahui sebelum Anda berutang atau mengutangi seseorang. Yang paling penting, janganlah berutang kecuali dalam kondisi terdesak. Tidak perlu berutang jika memang tidak mampu untuk membayarnya. Jangan letakkan penyesalan di kemudian hari setelah sebelumnya menghalau penyesalan itu adalah suatu kemampuan.Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak bermudah-mudahan dalam berutang; menjadikan kita orang-orang yang jika memiliki utang, maka Allah mudahkan untuk melunaskanya. Dan semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin yang memiliki utang, agar Allah melunaskan utang-utang mereka dan meringankan urusan mereka.Sampai di sini serial tulisan kami terkait dengan Fikih Utang Piutang, semoga yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi diri pribadi dan juga para pembaca. Wallahu a’lam.[Selesai]Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1***Depok, 26 Rabi’ul akhir 1447/ 19 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id

Fikih Utang Piutang (Bag. 12): Adab-Adab dalam Utang Piutang

Daftar Isi ToggleKaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaAdab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakBerniat untuk melunasi utangnyaMencatat utang dengan jelasSegera melunasi ketika mampuMengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangTidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Mencatat dan menghadirkan saksiSebagai penghujung dari pembahasan dari Fikih Utang Piutang, seorang muslim sebaiknya mengetahui bagaimana muamalah bersama manusia lainnya, khususnya dalam masalah utang piutang. Dalam urusan utang piutang, terkadang teman bisa menjadi lawan, keluarga bisa menjadi musuh, dan tetangga yang semula rukun dan damai, berubah menjadi acuh tak acuh.Barangkali hal tersebut terjadi karena tidak mengetahui adab-adab dalam utang piutang. Sehingga tidak sedikit perselisihan terjadi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap adab-adab tersebut.Kaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaTerdapat kaidah yang harus diketahui dalam bermuamalah dengan manusia,حُقوقُ اللهِ تَعالى مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ، وَحُقوقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ، لِاسْتِغْنَاءِ اللهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ“Hak-hak Allah Ta’ala dibangun di atas dasar toleransi (pemaafan), sedangkan hak-hak hamba (manusia) dibangun di atas dasar tuntutan (sifat pelit), karena Allah tidak membutuhkan apapun, sedangkan manusia saling membutuhkan.” Yakni, Allah Ta’ala yang Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya jika hamba-hamba-Nya lalai dalam memenuhi hak-hak Allah. Adapun manusia, hak-hak mereka dibangun di atas rasa pelit. Artinya, manusia tidak ingin haknya itu diambil, dirampas, atau tidak dibayarkan utangnya. Demikianlah hukum asal dari muamalah dengan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ“Dan pada diri manusia telah dihadirkan sifat kikir (pelit).” (QS. An-Nisa: 128)Sehingga ketika posisi Anda sebagai pengutang, jangan beralasan Anda tidak mau membayar utang Anda karena pemberi utang adalah orang yang kaya. Hak tetaplah hak; seberapapun kayanya orang yang memberikan Anda utang, hak dia tetaplah harus ditunaikan. Jika tidak, maka hal tersebut termasuk perbuatan zalim yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ“Barang siapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya —baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain— maka hendaklah ia meminta halal (kerelaan) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham di dalamnya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi), lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)Telah jelas pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan, kemudian ia menunda-nunda untuk membayar utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فإذا أُتْبِعَ أحَدُكُمْ علَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang kaya, hendaklah ia menerima pengalihan itu.” (HR. Bukhari)Artinya, orang yang mampu membayar utang tetapi menunda-nunda dengan sengaja, maka ia zalim, karena menahan hak orang lain tanpa alasan syar’i. Kemudian jika pihak pengutang mengalihkan utangnya kepada orang yang kaya, maka hendaknya pemberi utang menerimanya dan tidak mempersulitnya. Hal ini dikenal dengan fikih hiwalah.Adab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakTidak menjadikan utang sebagai kebiasaan hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salatnya sering sekali berlindung dari utang. Ummul Mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha mengatakan,وكان يقولُ في صلاتِهِ كثيرًا : اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِن المَأثمِ والمَغرمِ الدَّينِ فقيلَ لهُ : إنَّكَ تستعيذُ مِن المَغرمِ كثيرًا يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : إنَّ الرَّجلَ إذا غرِمَ استدانَ حدَّثَ فكذَبَ وَوعدَ فأخلفَ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam salatnya, ’Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan lilitan utang.’ Lalu dikatakan kepada beliau, ’Wahai Rasulullah, engkau sering sekali memohon perlindungan dari utang.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya apabila seseorang telah berutang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (Muttafaqun ‘alaih)Berniat untuk melunasi utangnyaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَن أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَن أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan berniat ingin melunasinya, maka Allah akan membantu untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambil harta manusia dengan berniat ingin merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)Niat yang baik merupakan sebab kuat untuk mendapatkan rezeki dan Allah berikan kemampuan untuk melunasi utang-utang. Sebaliknya, niat yang buruk justru akan menjadi penyebab Allah binasakan harta seseorang.Mencatat utang dengan jelasSebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 282, dan telah berlalu pembahasannya.Segera melunasi ketika mampuSebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari)Mengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangSebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu, itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah: 280)Tidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Seperti mensyaratkan adanya hadiah, tambahan, atau jasa sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan. Ini semua termasuk dari riba.Mencatat dan menghadirkan saksiSebagaimana perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282, baik itu utangnya besar atau kecil. Hal ini tentunya agar tidak timbul sengketa di kemudian hari.Demikianlah di antara hal-hal yang harus diketahui sebelum Anda berutang atau mengutangi seseorang. Yang paling penting, janganlah berutang kecuali dalam kondisi terdesak. Tidak perlu berutang jika memang tidak mampu untuk membayarnya. Jangan letakkan penyesalan di kemudian hari setelah sebelumnya menghalau penyesalan itu adalah suatu kemampuan.Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak bermudah-mudahan dalam berutang; menjadikan kita orang-orang yang jika memiliki utang, maka Allah mudahkan untuk melunaskanya. Dan semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin yang memiliki utang, agar Allah melunaskan utang-utang mereka dan meringankan urusan mereka.Sampai di sini serial tulisan kami terkait dengan Fikih Utang Piutang, semoga yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi diri pribadi dan juga para pembaca. Wallahu a’lam.[Selesai]Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1***Depok, 26 Rabi’ul akhir 1447/ 19 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaAdab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakBerniat untuk melunasi utangnyaMencatat utang dengan jelasSegera melunasi ketika mampuMengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangTidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Mencatat dan menghadirkan saksiSebagai penghujung dari pembahasan dari Fikih Utang Piutang, seorang muslim sebaiknya mengetahui bagaimana muamalah bersama manusia lainnya, khususnya dalam masalah utang piutang. Dalam urusan utang piutang, terkadang teman bisa menjadi lawan, keluarga bisa menjadi musuh, dan tetangga yang semula rukun dan damai, berubah menjadi acuh tak acuh.Barangkali hal tersebut terjadi karena tidak mengetahui adab-adab dalam utang piutang. Sehingga tidak sedikit perselisihan terjadi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap adab-adab tersebut.Kaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaTerdapat kaidah yang harus diketahui dalam bermuamalah dengan manusia,حُقوقُ اللهِ تَعالى مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ، وَحُقوقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ، لِاسْتِغْنَاءِ اللهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ“Hak-hak Allah Ta’ala dibangun di atas dasar toleransi (pemaafan), sedangkan hak-hak hamba (manusia) dibangun di atas dasar tuntutan (sifat pelit), karena Allah tidak membutuhkan apapun, sedangkan manusia saling membutuhkan.” Yakni, Allah Ta’ala yang Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya jika hamba-hamba-Nya lalai dalam memenuhi hak-hak Allah. Adapun manusia, hak-hak mereka dibangun di atas rasa pelit. Artinya, manusia tidak ingin haknya itu diambil, dirampas, atau tidak dibayarkan utangnya. Demikianlah hukum asal dari muamalah dengan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ“Dan pada diri manusia telah dihadirkan sifat kikir (pelit).” (QS. An-Nisa: 128)Sehingga ketika posisi Anda sebagai pengutang, jangan beralasan Anda tidak mau membayar utang Anda karena pemberi utang adalah orang yang kaya. Hak tetaplah hak; seberapapun kayanya orang yang memberikan Anda utang, hak dia tetaplah harus ditunaikan. Jika tidak, maka hal tersebut termasuk perbuatan zalim yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ“Barang siapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya —baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain— maka hendaklah ia meminta halal (kerelaan) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham di dalamnya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi), lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)Telah jelas pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan, kemudian ia menunda-nunda untuk membayar utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فإذا أُتْبِعَ أحَدُكُمْ علَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang kaya, hendaklah ia menerima pengalihan itu.” (HR. Bukhari)Artinya, orang yang mampu membayar utang tetapi menunda-nunda dengan sengaja, maka ia zalim, karena menahan hak orang lain tanpa alasan syar’i. Kemudian jika pihak pengutang mengalihkan utangnya kepada orang yang kaya, maka hendaknya pemberi utang menerimanya dan tidak mempersulitnya. Hal ini dikenal dengan fikih hiwalah.Adab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakTidak menjadikan utang sebagai kebiasaan hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salatnya sering sekali berlindung dari utang. Ummul Mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha mengatakan,وكان يقولُ في صلاتِهِ كثيرًا : اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِن المَأثمِ والمَغرمِ الدَّينِ فقيلَ لهُ : إنَّكَ تستعيذُ مِن المَغرمِ كثيرًا يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : إنَّ الرَّجلَ إذا غرِمَ استدانَ حدَّثَ فكذَبَ وَوعدَ فأخلفَ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam salatnya, ’Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan lilitan utang.’ Lalu dikatakan kepada beliau, ’Wahai Rasulullah, engkau sering sekali memohon perlindungan dari utang.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya apabila seseorang telah berutang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (Muttafaqun ‘alaih)Berniat untuk melunasi utangnyaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَن أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَن أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan berniat ingin melunasinya, maka Allah akan membantu untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambil harta manusia dengan berniat ingin merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)Niat yang baik merupakan sebab kuat untuk mendapatkan rezeki dan Allah berikan kemampuan untuk melunasi utang-utang. Sebaliknya, niat yang buruk justru akan menjadi penyebab Allah binasakan harta seseorang.Mencatat utang dengan jelasSebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 282, dan telah berlalu pembahasannya.Segera melunasi ketika mampuSebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari)Mengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangSebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu, itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah: 280)Tidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Seperti mensyaratkan adanya hadiah, tambahan, atau jasa sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan. Ini semua termasuk dari riba.Mencatat dan menghadirkan saksiSebagaimana perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282, baik itu utangnya besar atau kecil. Hal ini tentunya agar tidak timbul sengketa di kemudian hari.Demikianlah di antara hal-hal yang harus diketahui sebelum Anda berutang atau mengutangi seseorang. Yang paling penting, janganlah berutang kecuali dalam kondisi terdesak. Tidak perlu berutang jika memang tidak mampu untuk membayarnya. Jangan letakkan penyesalan di kemudian hari setelah sebelumnya menghalau penyesalan itu adalah suatu kemampuan.Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak bermudah-mudahan dalam berutang; menjadikan kita orang-orang yang jika memiliki utang, maka Allah mudahkan untuk melunaskanya. Dan semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin yang memiliki utang, agar Allah melunaskan utang-utang mereka dan meringankan urusan mereka.Sampai di sini serial tulisan kami terkait dengan Fikih Utang Piutang, semoga yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi diri pribadi dan juga para pembaca. Wallahu a’lam.[Selesai]Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1***Depok, 26 Rabi’ul akhir 1447/ 19 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaAdab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakBerniat untuk melunasi utangnyaMencatat utang dengan jelasSegera melunasi ketika mampuMengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangTidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Mencatat dan menghadirkan saksiSebagai penghujung dari pembahasan dari Fikih Utang Piutang, seorang muslim sebaiknya mengetahui bagaimana muamalah bersama manusia lainnya, khususnya dalam masalah utang piutang. Dalam urusan utang piutang, terkadang teman bisa menjadi lawan, keluarga bisa menjadi musuh, dan tetangga yang semula rukun dan damai, berubah menjadi acuh tak acuh.Barangkali hal tersebut terjadi karena tidak mengetahui adab-adab dalam utang piutang. Sehingga tidak sedikit perselisihan terjadi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap adab-adab tersebut.Kaidah penting dalam bermuamalah dengan manusiaTerdapat kaidah yang harus diketahui dalam bermuamalah dengan manusia,حُقوقُ اللهِ تَعالى مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ، وَحُقوقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ، لِاسْتِغْنَاءِ اللهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ“Hak-hak Allah Ta’ala dibangun di atas dasar toleransi (pemaafan), sedangkan hak-hak hamba (manusia) dibangun di atas dasar tuntutan (sifat pelit), karena Allah tidak membutuhkan apapun, sedangkan manusia saling membutuhkan.” Yakni, Allah Ta’ala yang Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya jika hamba-hamba-Nya lalai dalam memenuhi hak-hak Allah. Adapun manusia, hak-hak mereka dibangun di atas rasa pelit. Artinya, manusia tidak ingin haknya itu diambil, dirampas, atau tidak dibayarkan utangnya. Demikianlah hukum asal dari muamalah dengan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ“Dan pada diri manusia telah dihadirkan sifat kikir (pelit).” (QS. An-Nisa: 128)Sehingga ketika posisi Anda sebagai pengutang, jangan beralasan Anda tidak mau membayar utang Anda karena pemberi utang adalah orang yang kaya. Hak tetaplah hak; seberapapun kayanya orang yang memberikan Anda utang, hak dia tetaplah harus ditunaikan. Jika tidak, maka hal tersebut termasuk perbuatan zalim yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ“Barang siapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya —baik mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain— maka hendaklah ia meminta halal (kerelaan) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham di dalamnya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka diambil dari dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi), lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)Telah jelas pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan, kemudian ia menunda-nunda untuk membayar utang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فإذا أُتْبِعَ أحَدُكُمْ علَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan (piutangnya) kepada orang yang kaya, hendaklah ia menerima pengalihan itu.” (HR. Bukhari)Artinya, orang yang mampu membayar utang tetapi menunda-nunda dengan sengaja, maka ia zalim, karena menahan hak orang lain tanpa alasan syar’i. Kemudian jika pihak pengutang mengalihkan utangnya kepada orang yang kaya, maka hendaknya pemberi utang menerimanya dan tidak mempersulitnya. Hal ini dikenal dengan fikih hiwalah.Adab pengutangHendaknya pengutang meminjam hanya karena kebutuhan yang mendesakTidak menjadikan utang sebagai kebiasaan hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam salatnya sering sekali berlindung dari utang. Ummul Mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha mengatakan,وكان يقولُ في صلاتِهِ كثيرًا : اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِن المَأثمِ والمَغرمِ الدَّينِ فقيلَ لهُ : إنَّكَ تستعيذُ مِن المَغرمِ كثيرًا يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : إنَّ الرَّجلَ إذا غرِمَ استدانَ حدَّثَ فكذَبَ وَوعدَ فأخلفَ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa dalam salatnya, ’Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan lilitan utang.’ Lalu dikatakan kepada beliau, ’Wahai Rasulullah, engkau sering sekali memohon perlindungan dari utang.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya apabila seseorang telah berutang, ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (Muttafaqun ‘alaih)Berniat untuk melunasi utangnyaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَن أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَن أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ“Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan berniat ingin melunasinya, maka Allah akan membantu untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambil harta manusia dengan berniat ingin merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)Niat yang baik merupakan sebab kuat untuk mendapatkan rezeki dan Allah berikan kemampuan untuk melunasi utang-utang. Sebaliknya, niat yang buruk justru akan menjadi penyebab Allah binasakan harta seseorang.Mencatat utang dengan jelasSebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 282, dan telah berlalu pembahasannya.Segera melunasi ketika mampuSebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari)Mengembalikan dengan yang setara atau lebih baik (tanpa syarat di awal akad)Adab pemberi utangMemberi pinjaman dengan niat membantu dan mengharap pahala dari Allah Ta’alaTidak mempersulit orang yang berutangSebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu, itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS. Al-Baqarah: 280)Tidak mengambil manfaat dari utang (riba terselubung)Seperti mensyaratkan adanya hadiah, tambahan, atau jasa sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan. Ini semua termasuk dari riba.Mencatat dan menghadirkan saksiSebagaimana perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282, baik itu utangnya besar atau kecil. Hal ini tentunya agar tidak timbul sengketa di kemudian hari.Demikianlah di antara hal-hal yang harus diketahui sebelum Anda berutang atau mengutangi seseorang. Yang paling penting, janganlah berutang kecuali dalam kondisi terdesak. Tidak perlu berutang jika memang tidak mampu untuk membayarnya. Jangan letakkan penyesalan di kemudian hari setelah sebelumnya menghalau penyesalan itu adalah suatu kemampuan.Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak bermudah-mudahan dalam berutang; menjadikan kita orang-orang yang jika memiliki utang, maka Allah mudahkan untuk melunaskanya. Dan semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin yang memiliki utang, agar Allah melunaskan utang-utang mereka dan meringankan urusan mereka.Sampai di sini serial tulisan kami terkait dengan Fikih Utang Piutang, semoga yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi diri pribadi dan juga para pembaca. Wallahu a’lam.[Selesai]Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1***Depok, 26 Rabi’ul akhir 1447/ 19 Oktober 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id

Rahasia Agar Selalu Produktif Setiap Hari – Syaikh Sa’ad Al-Khotslan #NasehatUlama

Di antara sebab lain untuk meraih produktivitas adalah apa yang disebutkan Asy-Syaukani dalam biografi gurunya, Ali Asy-Syahid. Asy-Syaukani berkata, “Dahulu saya takjub melihat kecepatan beliau menulis buku dengan tangan sendiri, padahal beliau sangat sibuk mengajar. Maka, saya pun bertanya tentang rahasianya. Beliau menjawab bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kegiatan menulis walau sehari pun. Jika ada hal yang menghalanginya menulis banyak, beliau tetap menulis sedikit, meski hanya satu atau dua baris.” Maksudnya, beliau tidak pernah berhenti mengerjakan hal yang dicita-citakannya, meski hanya sehari. Meski hanya sedikit yang dikerjakan, yang penting setiap hari tetap ada usaha untuk produktif. Asy-Syaukani berkata, “Lalu saya pun menerapkan prinsip ini, dan saya menyaksikan manfaat besar darinya.” Inilah salah satu rahasia produktivitas. Seorang insan hendaklah setiap hari mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, meski hanya sedikit. Yang penting, setiap hari ada kemajuan. Inilah metode yang disebutkan Asy-Syaukani dari salah satu gurunya, dan beliau sendiri menerapkannya hingga menyaksikan manfaat besar darinya. ===== وَأَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الْإِنْجَازِ مَا ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِهِ عَلِيِّ الشَّهِيدِ قَالَ كُنْتُ أَعْجَبُ مِنْ سُرْعَةِ مَا يَكْتُبُ مِنَ الْكُتُبِ بِخَطِّهِ مَعَ شُغْلِهِ بِالتَّدْرِيْسِ فَسَأَلْتُهُ عَنِ السِّرِّ فَقَالَ إِنَّهُ لَا يَتْرُكُ النَّسْخَ يَوْمًا وَاحِدًا وَإِذَا عَرَضَ مَا يَمْنَعُ فَعَلَ مِنَ النَّسْخِ شَيْئًا يَسِيرًا وَلَوْ سَطْرًا أَوْ سَطْرَيْنِ يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَتْرُكُ الْعَمَلَ فِي هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُرِيدُهُ يَوْمًا وَاحِدًا وَلَوْ أَنْ يَعْمَلَ عَمَلًا قَلِيلًا الْمُهِمُّ أَنَّهُ كُلَّ يَوْمٍ يَعْمَلُ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فَلَزِمْتُ قَاعِدَتَهُ هَذِهِ فَرَأَيْتُ بِذَلِكَ مَنْفَعَةً عَظِيمَةً وَهَذِهِ أَيْضًا مِنْ أَسْرَارِ الْإِنْجَازِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُنْجِزُ كُلَّ يَوْمٍ لِتَحْقِيقِ الْهَدَفِ الَّذِي يُرِيدُ وَلَوْ شَيْئًا يَسِيرًا الْمُهِمُّ أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ يُنْجِزُ فَهَذَا هُوَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ عَنْ أَحَدِ مَشَايِخِهِ وَكَانَ يُطَبِّقُهُ الشَّوْكَانِيُّ وَرَأَى فِي ذَلِكَ مَنْفَعَةً كَبِيرَةً

Rahasia Agar Selalu Produktif Setiap Hari – Syaikh Sa’ad Al-Khotslan #NasehatUlama

Di antara sebab lain untuk meraih produktivitas adalah apa yang disebutkan Asy-Syaukani dalam biografi gurunya, Ali Asy-Syahid. Asy-Syaukani berkata, “Dahulu saya takjub melihat kecepatan beliau menulis buku dengan tangan sendiri, padahal beliau sangat sibuk mengajar. Maka, saya pun bertanya tentang rahasianya. Beliau menjawab bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kegiatan menulis walau sehari pun. Jika ada hal yang menghalanginya menulis banyak, beliau tetap menulis sedikit, meski hanya satu atau dua baris.” Maksudnya, beliau tidak pernah berhenti mengerjakan hal yang dicita-citakannya, meski hanya sehari. Meski hanya sedikit yang dikerjakan, yang penting setiap hari tetap ada usaha untuk produktif. Asy-Syaukani berkata, “Lalu saya pun menerapkan prinsip ini, dan saya menyaksikan manfaat besar darinya.” Inilah salah satu rahasia produktivitas. Seorang insan hendaklah setiap hari mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, meski hanya sedikit. Yang penting, setiap hari ada kemajuan. Inilah metode yang disebutkan Asy-Syaukani dari salah satu gurunya, dan beliau sendiri menerapkannya hingga menyaksikan manfaat besar darinya. ===== وَأَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الْإِنْجَازِ مَا ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِهِ عَلِيِّ الشَّهِيدِ قَالَ كُنْتُ أَعْجَبُ مِنْ سُرْعَةِ مَا يَكْتُبُ مِنَ الْكُتُبِ بِخَطِّهِ مَعَ شُغْلِهِ بِالتَّدْرِيْسِ فَسَأَلْتُهُ عَنِ السِّرِّ فَقَالَ إِنَّهُ لَا يَتْرُكُ النَّسْخَ يَوْمًا وَاحِدًا وَإِذَا عَرَضَ مَا يَمْنَعُ فَعَلَ مِنَ النَّسْخِ شَيْئًا يَسِيرًا وَلَوْ سَطْرًا أَوْ سَطْرَيْنِ يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَتْرُكُ الْعَمَلَ فِي هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُرِيدُهُ يَوْمًا وَاحِدًا وَلَوْ أَنْ يَعْمَلَ عَمَلًا قَلِيلًا الْمُهِمُّ أَنَّهُ كُلَّ يَوْمٍ يَعْمَلُ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فَلَزِمْتُ قَاعِدَتَهُ هَذِهِ فَرَأَيْتُ بِذَلِكَ مَنْفَعَةً عَظِيمَةً وَهَذِهِ أَيْضًا مِنْ أَسْرَارِ الْإِنْجَازِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُنْجِزُ كُلَّ يَوْمٍ لِتَحْقِيقِ الْهَدَفِ الَّذِي يُرِيدُ وَلَوْ شَيْئًا يَسِيرًا الْمُهِمُّ أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ يُنْجِزُ فَهَذَا هُوَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ عَنْ أَحَدِ مَشَايِخِهِ وَكَانَ يُطَبِّقُهُ الشَّوْكَانِيُّ وَرَأَى فِي ذَلِكَ مَنْفَعَةً كَبِيرَةً
Di antara sebab lain untuk meraih produktivitas adalah apa yang disebutkan Asy-Syaukani dalam biografi gurunya, Ali Asy-Syahid. Asy-Syaukani berkata, “Dahulu saya takjub melihat kecepatan beliau menulis buku dengan tangan sendiri, padahal beliau sangat sibuk mengajar. Maka, saya pun bertanya tentang rahasianya. Beliau menjawab bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kegiatan menulis walau sehari pun. Jika ada hal yang menghalanginya menulis banyak, beliau tetap menulis sedikit, meski hanya satu atau dua baris.” Maksudnya, beliau tidak pernah berhenti mengerjakan hal yang dicita-citakannya, meski hanya sehari. Meski hanya sedikit yang dikerjakan, yang penting setiap hari tetap ada usaha untuk produktif. Asy-Syaukani berkata, “Lalu saya pun menerapkan prinsip ini, dan saya menyaksikan manfaat besar darinya.” Inilah salah satu rahasia produktivitas. Seorang insan hendaklah setiap hari mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, meski hanya sedikit. Yang penting, setiap hari ada kemajuan. Inilah metode yang disebutkan Asy-Syaukani dari salah satu gurunya, dan beliau sendiri menerapkannya hingga menyaksikan manfaat besar darinya. ===== وَأَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الْإِنْجَازِ مَا ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِهِ عَلِيِّ الشَّهِيدِ قَالَ كُنْتُ أَعْجَبُ مِنْ سُرْعَةِ مَا يَكْتُبُ مِنَ الْكُتُبِ بِخَطِّهِ مَعَ شُغْلِهِ بِالتَّدْرِيْسِ فَسَأَلْتُهُ عَنِ السِّرِّ فَقَالَ إِنَّهُ لَا يَتْرُكُ النَّسْخَ يَوْمًا وَاحِدًا وَإِذَا عَرَضَ مَا يَمْنَعُ فَعَلَ مِنَ النَّسْخِ شَيْئًا يَسِيرًا وَلَوْ سَطْرًا أَوْ سَطْرَيْنِ يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَتْرُكُ الْعَمَلَ فِي هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُرِيدُهُ يَوْمًا وَاحِدًا وَلَوْ أَنْ يَعْمَلَ عَمَلًا قَلِيلًا الْمُهِمُّ أَنَّهُ كُلَّ يَوْمٍ يَعْمَلُ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فَلَزِمْتُ قَاعِدَتَهُ هَذِهِ فَرَأَيْتُ بِذَلِكَ مَنْفَعَةً عَظِيمَةً وَهَذِهِ أَيْضًا مِنْ أَسْرَارِ الْإِنْجَازِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُنْجِزُ كُلَّ يَوْمٍ لِتَحْقِيقِ الْهَدَفِ الَّذِي يُرِيدُ وَلَوْ شَيْئًا يَسِيرًا الْمُهِمُّ أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ يُنْجِزُ فَهَذَا هُوَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ عَنْ أَحَدِ مَشَايِخِهِ وَكَانَ يُطَبِّقُهُ الشَّوْكَانِيُّ وَرَأَى فِي ذَلِكَ مَنْفَعَةً كَبِيرَةً


Di antara sebab lain untuk meraih produktivitas adalah apa yang disebutkan Asy-Syaukani dalam biografi gurunya, Ali Asy-Syahid. Asy-Syaukani berkata, “Dahulu saya takjub melihat kecepatan beliau menulis buku dengan tangan sendiri, padahal beliau sangat sibuk mengajar. Maka, saya pun bertanya tentang rahasianya. Beliau menjawab bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kegiatan menulis walau sehari pun. Jika ada hal yang menghalanginya menulis banyak, beliau tetap menulis sedikit, meski hanya satu atau dua baris.” Maksudnya, beliau tidak pernah berhenti mengerjakan hal yang dicita-citakannya, meski hanya sehari. Meski hanya sedikit yang dikerjakan, yang penting setiap hari tetap ada usaha untuk produktif. Asy-Syaukani berkata, “Lalu saya pun menerapkan prinsip ini, dan saya menyaksikan manfaat besar darinya.” Inilah salah satu rahasia produktivitas. Seorang insan hendaklah setiap hari mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, meski hanya sedikit. Yang penting, setiap hari ada kemajuan. Inilah metode yang disebutkan Asy-Syaukani dari salah satu gurunya, dan beliau sendiri menerapkannya hingga menyaksikan manfaat besar darinya. ===== وَأَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الْإِنْجَازِ مَا ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَرْجَمَةِ شَيْخِهِ عَلِيِّ الشَّهِيدِ قَالَ كُنْتُ أَعْجَبُ مِنْ سُرْعَةِ مَا يَكْتُبُ مِنَ الْكُتُبِ بِخَطِّهِ مَعَ شُغْلِهِ بِالتَّدْرِيْسِ فَسَأَلْتُهُ عَنِ السِّرِّ فَقَالَ إِنَّهُ لَا يَتْرُكُ النَّسْخَ يَوْمًا وَاحِدًا وَإِذَا عَرَضَ مَا يَمْنَعُ فَعَلَ مِنَ النَّسْخِ شَيْئًا يَسِيرًا وَلَوْ سَطْرًا أَوْ سَطْرَيْنِ يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَتْرُكُ الْعَمَلَ فِي هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُرِيدُهُ يَوْمًا وَاحِدًا وَلَوْ أَنْ يَعْمَلَ عَمَلًا قَلِيلًا الْمُهِمُّ أَنَّهُ كُلَّ يَوْمٍ يَعْمَلُ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فَلَزِمْتُ قَاعِدَتَهُ هَذِهِ فَرَأَيْتُ بِذَلِكَ مَنْفَعَةً عَظِيمَةً وَهَذِهِ أَيْضًا مِنْ أَسْرَارِ الْإِنْجَازِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُنْجِزُ كُلَّ يَوْمٍ لِتَحْقِيقِ الْهَدَفِ الَّذِي يُرِيدُ وَلَوْ شَيْئًا يَسِيرًا الْمُهِمُّ أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ يُنْجِزُ فَهَذَا هُوَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ الشَّوْكَانِيُّ عَنْ أَحَدِ مَشَايِخِهِ وَكَانَ يُطَبِّقُهُ الشَّوْكَانِيُّ وَرَأَى فِي ذَلِكَ مَنْفَعَةً كَبِيرَةً

Potret Sosial, Ekonomi, dan Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

Daftar Isi ToggleKondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamKondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamKondisi akhlak penduduk JahiliahBangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ memiliki kondisi sosial yang khas dan kompleks. Memahami situasi masyarakat pra-Islam sangat penting agar kita mengetahui bagaimana Islam hadir dan membawa perubahan besar di tengah kehidupan mereka. Dalam artikel ini, akan dibahas kondisi sosial, ekonomi, dan akhlak bangsa Arab sebelum datangnya risalah Islam, sebagai latar penting dalam memahami konteks dakwah kenabian.Kondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamMasyarakat Arab jahiliah terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial. Di kalangan bangsawan, hubungan suami istri cukup maju. Wanita memiliki kebebasan berpendapat, dihormati, dan turut berperan dalam perdamaian maupun peperangan. Meski demikian, tetap saja laki-laki adalah kepala rumah tangga. Pernikahan dilakukan secara resmi dengan persetujuan wali, tanpa hak bagi wanita untuk melangkahi mereka.Namun, di lapisan masyarakat lainnya, interaksi antara pria dan wanita berlangsung dalam bentuk yang hanya bisa digambarkan sebagai perzinaan.Aisyah radhiyallahu ‘anha [1] menceritakan empat macam pernikahan yang ada di masa jahiliah:1) Pernikahan normal: pria datang kepada wali, memberi mahar, lalu menikahi wanita.2) Nikah istibdhā’: suami meminta istrinya berhubungan dengan pria lain agar hamil, baru setelah itu suami bisa menggaulinya.3) Nikah kelompok: beberapa pria menggauli seorang wanita. Saat wanita hamil, ia menunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak anaknya setelah kelahirannya.4) Nikah pelacuran: banyak pria menggauli seorang wanita yang memasang tanda di depan pintu rumahnya. Jika ia hamil lalu melahirkan, seorang ahli nasab menentukan siapa bapaknya.Islam menghapus semua pernikahan ini, kecuali pernikahan yang sah secara syariat.Selain itu, poligami tidak dibatasi dan pria bebas menikahi dua saudari atau istri bapaknya ketika sang bapak menalaknya atau meninggal dunia. Talak di masa itu juga tanpa batas. Perzinaan merajalela di semua kalangan. Hanya sedikit orang yang menjaga kehormatannya dari kehinaan tersebut.Hubungan bapak dengan anaknya bermacam-macam. Di antaranya ada yang menganggap anak-anaknya adalah bagian dari dirinya. Ada juga yang membunuh anak-anak perempuannya lantaran takut malu dan beban biaya hidup. Ada pula yang membunuh anak-anaknya lantaran takut jatuh miskin dan kesusahan. Namun peristiwa ini bukan termasuk perilaku yang tersebar di masyarakat, karena mereka juga membutuhkan anak-anak lelaki sebagai pelindung dari musuh.Hubungan seseorang dengan saudara, anak-anak paman, dan kerabatnya sangat kokoh. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kabilah. Semangat kebersamaan sangat dominan dalam satu kabilah yang diperkuat oleh fanatisme ini. Dasar dari sistem sosial mereka adalah fanatisme darah dan hubungan rahim.Hubungan antar kabilah yang berbeda sangatlah renggang. Kekuatan mereka saling melemahkan dalam peperangan. Dalam beberapa kondisi, persekutuan dan perjanjian bisa menyebabkan terbentuknya aliansi antara kabilah-kabilah yang berbeda. Bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) juga menjadi rahmat bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan.Kondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamMata pencaharian terbesar bangsa Arab adalah berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perjalanan dagang hanya bisa dilakukan dengan lancar ketika keamanan dan perdamaian terjamin. Hal itu hanya terjadi di bulan-bulan haram. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu penyelenggaraan pasar-pasar besar seperti ‘Ukāzh (عكاظ), Dzul Majāz (ذو المجاز), dan Majannah (مجنة).Adapun pekerjaan industri, sangat jauh dari bangsa Arab. Mayoritas industri yang ada di jazirah adalah penenunan dan penyamakan yang berada di Yaman, Hirah, dan perbatasan Syam. Memang ada di dalam jazirah pekerjaan berupa bertani, beternak, dan menenun benang. Hanya saja, barang-barang hasil industri ini sering kali menjadi sasaran dalam peperangan.Kondisi akhlak penduduk JahiliahDi tengah banyaknya tindakan amoral penduduk jahiliah, tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki akhlak yang terpuji yang membuat manusia takjub.Di antaranya adalah kedermawanan. Penduduk Arab berlomba-lomba dan merasa bangga dengan akhlak ini. Dikisahkan ada seseorang yang kedatangan tamu pada hari yang sangat dingin dan kelaparan, ia tidak memiliki harta kecuali unta yang digunakan untuk mencari penghidupan. Ia pun menyembelih unta tersebut lantaran tergerak oleh semangat kedermawanan demi menjamu tamunya.Salah satu dampak semangat kedermawanan ini adalah munculnya pujian terhadap orang yang meminum khamar. Bukan karena bangga dengan khamar, tetapi karena khamar dianggap sebagai salah satu sarana untuk meraih kedermawanan dan melunakkan jiwa. Karena itulah, mereka menamai pohon anggur dengan karm (الكرم) yang mirip dengan kata dermawan dalam bahasa Arab.Dampak kedermawanan juga berimbas pada perjudian. Perjudian mereka anggap salah satu sarana mendapatkan kedermawanan. Hal ini karena mereka menganggap perjudian sebagai sarana untuk bersedekah, mereka akan memberikan hasil kemenangan judi tersebut kepada orang miskin. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa khamar dan perjudian itu memiliki manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. [2]Di antara akhlak mulia mereka adalah menepati janji. Janji bagi mereka adalah sesuatu yang sakral dan mereka pegang teguh sampai mereka rela mengorbankan nyawa anak-anak mereka dan menghancurkan rumah mereka, demi menunaikannya.Di antara akhlak terpuji mereka adalah harga diri dan menolak kehinaan serta penindasan. Dampaknya, muncullah keberanian berlebih, kecemburuan yang kuat, dan kepekaan yang tinggi. Ketika mereka mendengar satu kata yang mengandung kehinaan, mereka tidak akan tinggal diam, tetapi langsung mengangkat pedang dan tombak, lalu memantik peperangan hebat. Mereka tidak peduli untuk mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kehormatan.Di antara akhlak baik mereka adalah keteguhan tekad. Apabila mereka telah bertekad terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai kemuliaan dan kebanggaan, maka mereka tidak akan berpaling darinya meskipun ada penghalang. Mereka siap mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkannya.Di antara akhlak mulia mereka adalah murah hati, sabar, dan tenang. Mereka memuji sikap ini meski kenyataannya sikap ini cukup langka di tengah mereka. Hal ini karena kuatnya keberanian mereka dan cepatnya mereka dalam mengambil tindakan untuk berperang.Di antara akhlak mulia mereka adalah kesederhanaan hidup ala badui dan tidak terkontaminasi polusi peradaban dan tipu dayanya. Akibat dari kesederhanaan ini, muncul sifat jujur, amanah, dan jauh dari penipuan dan pengkhianatan.Akhlak mulia yang dimiliki masyarakat Arab, bersamaan dengan posisi geografis mereka yang strategis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka dipilih untuk menerima risalah Islam. Meski sebagian akhlaknya masih berpotensi disalahgunakan, pada dasarnya sifat-sifat ini bermanfaat setelah diperbaiki. Itulah yang dilakukan oleh Islam.Baca juga: Jazirah Arab dalam Sejarah***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan. Catatan kaki:[1] HR. Abu Dawud.[2] QS. Al-Baqarah: 219.

Potret Sosial, Ekonomi, dan Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

Daftar Isi ToggleKondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamKondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamKondisi akhlak penduduk JahiliahBangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ memiliki kondisi sosial yang khas dan kompleks. Memahami situasi masyarakat pra-Islam sangat penting agar kita mengetahui bagaimana Islam hadir dan membawa perubahan besar di tengah kehidupan mereka. Dalam artikel ini, akan dibahas kondisi sosial, ekonomi, dan akhlak bangsa Arab sebelum datangnya risalah Islam, sebagai latar penting dalam memahami konteks dakwah kenabian.Kondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamMasyarakat Arab jahiliah terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial. Di kalangan bangsawan, hubungan suami istri cukup maju. Wanita memiliki kebebasan berpendapat, dihormati, dan turut berperan dalam perdamaian maupun peperangan. Meski demikian, tetap saja laki-laki adalah kepala rumah tangga. Pernikahan dilakukan secara resmi dengan persetujuan wali, tanpa hak bagi wanita untuk melangkahi mereka.Namun, di lapisan masyarakat lainnya, interaksi antara pria dan wanita berlangsung dalam bentuk yang hanya bisa digambarkan sebagai perzinaan.Aisyah radhiyallahu ‘anha [1] menceritakan empat macam pernikahan yang ada di masa jahiliah:1) Pernikahan normal: pria datang kepada wali, memberi mahar, lalu menikahi wanita.2) Nikah istibdhā’: suami meminta istrinya berhubungan dengan pria lain agar hamil, baru setelah itu suami bisa menggaulinya.3) Nikah kelompok: beberapa pria menggauli seorang wanita. Saat wanita hamil, ia menunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak anaknya setelah kelahirannya.4) Nikah pelacuran: banyak pria menggauli seorang wanita yang memasang tanda di depan pintu rumahnya. Jika ia hamil lalu melahirkan, seorang ahli nasab menentukan siapa bapaknya.Islam menghapus semua pernikahan ini, kecuali pernikahan yang sah secara syariat.Selain itu, poligami tidak dibatasi dan pria bebas menikahi dua saudari atau istri bapaknya ketika sang bapak menalaknya atau meninggal dunia. Talak di masa itu juga tanpa batas. Perzinaan merajalela di semua kalangan. Hanya sedikit orang yang menjaga kehormatannya dari kehinaan tersebut.Hubungan bapak dengan anaknya bermacam-macam. Di antaranya ada yang menganggap anak-anaknya adalah bagian dari dirinya. Ada juga yang membunuh anak-anak perempuannya lantaran takut malu dan beban biaya hidup. Ada pula yang membunuh anak-anaknya lantaran takut jatuh miskin dan kesusahan. Namun peristiwa ini bukan termasuk perilaku yang tersebar di masyarakat, karena mereka juga membutuhkan anak-anak lelaki sebagai pelindung dari musuh.Hubungan seseorang dengan saudara, anak-anak paman, dan kerabatnya sangat kokoh. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kabilah. Semangat kebersamaan sangat dominan dalam satu kabilah yang diperkuat oleh fanatisme ini. Dasar dari sistem sosial mereka adalah fanatisme darah dan hubungan rahim.Hubungan antar kabilah yang berbeda sangatlah renggang. Kekuatan mereka saling melemahkan dalam peperangan. Dalam beberapa kondisi, persekutuan dan perjanjian bisa menyebabkan terbentuknya aliansi antara kabilah-kabilah yang berbeda. Bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) juga menjadi rahmat bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan.Kondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamMata pencaharian terbesar bangsa Arab adalah berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perjalanan dagang hanya bisa dilakukan dengan lancar ketika keamanan dan perdamaian terjamin. Hal itu hanya terjadi di bulan-bulan haram. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu penyelenggaraan pasar-pasar besar seperti ‘Ukāzh (عكاظ), Dzul Majāz (ذو المجاز), dan Majannah (مجنة).Adapun pekerjaan industri, sangat jauh dari bangsa Arab. Mayoritas industri yang ada di jazirah adalah penenunan dan penyamakan yang berada di Yaman, Hirah, dan perbatasan Syam. Memang ada di dalam jazirah pekerjaan berupa bertani, beternak, dan menenun benang. Hanya saja, barang-barang hasil industri ini sering kali menjadi sasaran dalam peperangan.Kondisi akhlak penduduk JahiliahDi tengah banyaknya tindakan amoral penduduk jahiliah, tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki akhlak yang terpuji yang membuat manusia takjub.Di antaranya adalah kedermawanan. Penduduk Arab berlomba-lomba dan merasa bangga dengan akhlak ini. Dikisahkan ada seseorang yang kedatangan tamu pada hari yang sangat dingin dan kelaparan, ia tidak memiliki harta kecuali unta yang digunakan untuk mencari penghidupan. Ia pun menyembelih unta tersebut lantaran tergerak oleh semangat kedermawanan demi menjamu tamunya.Salah satu dampak semangat kedermawanan ini adalah munculnya pujian terhadap orang yang meminum khamar. Bukan karena bangga dengan khamar, tetapi karena khamar dianggap sebagai salah satu sarana untuk meraih kedermawanan dan melunakkan jiwa. Karena itulah, mereka menamai pohon anggur dengan karm (الكرم) yang mirip dengan kata dermawan dalam bahasa Arab.Dampak kedermawanan juga berimbas pada perjudian. Perjudian mereka anggap salah satu sarana mendapatkan kedermawanan. Hal ini karena mereka menganggap perjudian sebagai sarana untuk bersedekah, mereka akan memberikan hasil kemenangan judi tersebut kepada orang miskin. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa khamar dan perjudian itu memiliki manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. [2]Di antara akhlak mulia mereka adalah menepati janji. Janji bagi mereka adalah sesuatu yang sakral dan mereka pegang teguh sampai mereka rela mengorbankan nyawa anak-anak mereka dan menghancurkan rumah mereka, demi menunaikannya.Di antara akhlak terpuji mereka adalah harga diri dan menolak kehinaan serta penindasan. Dampaknya, muncullah keberanian berlebih, kecemburuan yang kuat, dan kepekaan yang tinggi. Ketika mereka mendengar satu kata yang mengandung kehinaan, mereka tidak akan tinggal diam, tetapi langsung mengangkat pedang dan tombak, lalu memantik peperangan hebat. Mereka tidak peduli untuk mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kehormatan.Di antara akhlak baik mereka adalah keteguhan tekad. Apabila mereka telah bertekad terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai kemuliaan dan kebanggaan, maka mereka tidak akan berpaling darinya meskipun ada penghalang. Mereka siap mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkannya.Di antara akhlak mulia mereka adalah murah hati, sabar, dan tenang. Mereka memuji sikap ini meski kenyataannya sikap ini cukup langka di tengah mereka. Hal ini karena kuatnya keberanian mereka dan cepatnya mereka dalam mengambil tindakan untuk berperang.Di antara akhlak mulia mereka adalah kesederhanaan hidup ala badui dan tidak terkontaminasi polusi peradaban dan tipu dayanya. Akibat dari kesederhanaan ini, muncul sifat jujur, amanah, dan jauh dari penipuan dan pengkhianatan.Akhlak mulia yang dimiliki masyarakat Arab, bersamaan dengan posisi geografis mereka yang strategis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka dipilih untuk menerima risalah Islam. Meski sebagian akhlaknya masih berpotensi disalahgunakan, pada dasarnya sifat-sifat ini bermanfaat setelah diperbaiki. Itulah yang dilakukan oleh Islam.Baca juga: Jazirah Arab dalam Sejarah***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan. Catatan kaki:[1] HR. Abu Dawud.[2] QS. Al-Baqarah: 219.
Daftar Isi ToggleKondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamKondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamKondisi akhlak penduduk JahiliahBangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ memiliki kondisi sosial yang khas dan kompleks. Memahami situasi masyarakat pra-Islam sangat penting agar kita mengetahui bagaimana Islam hadir dan membawa perubahan besar di tengah kehidupan mereka. Dalam artikel ini, akan dibahas kondisi sosial, ekonomi, dan akhlak bangsa Arab sebelum datangnya risalah Islam, sebagai latar penting dalam memahami konteks dakwah kenabian.Kondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamMasyarakat Arab jahiliah terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial. Di kalangan bangsawan, hubungan suami istri cukup maju. Wanita memiliki kebebasan berpendapat, dihormati, dan turut berperan dalam perdamaian maupun peperangan. Meski demikian, tetap saja laki-laki adalah kepala rumah tangga. Pernikahan dilakukan secara resmi dengan persetujuan wali, tanpa hak bagi wanita untuk melangkahi mereka.Namun, di lapisan masyarakat lainnya, interaksi antara pria dan wanita berlangsung dalam bentuk yang hanya bisa digambarkan sebagai perzinaan.Aisyah radhiyallahu ‘anha [1] menceritakan empat macam pernikahan yang ada di masa jahiliah:1) Pernikahan normal: pria datang kepada wali, memberi mahar, lalu menikahi wanita.2) Nikah istibdhā’: suami meminta istrinya berhubungan dengan pria lain agar hamil, baru setelah itu suami bisa menggaulinya.3) Nikah kelompok: beberapa pria menggauli seorang wanita. Saat wanita hamil, ia menunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak anaknya setelah kelahirannya.4) Nikah pelacuran: banyak pria menggauli seorang wanita yang memasang tanda di depan pintu rumahnya. Jika ia hamil lalu melahirkan, seorang ahli nasab menentukan siapa bapaknya.Islam menghapus semua pernikahan ini, kecuali pernikahan yang sah secara syariat.Selain itu, poligami tidak dibatasi dan pria bebas menikahi dua saudari atau istri bapaknya ketika sang bapak menalaknya atau meninggal dunia. Talak di masa itu juga tanpa batas. Perzinaan merajalela di semua kalangan. Hanya sedikit orang yang menjaga kehormatannya dari kehinaan tersebut.Hubungan bapak dengan anaknya bermacam-macam. Di antaranya ada yang menganggap anak-anaknya adalah bagian dari dirinya. Ada juga yang membunuh anak-anak perempuannya lantaran takut malu dan beban biaya hidup. Ada pula yang membunuh anak-anaknya lantaran takut jatuh miskin dan kesusahan. Namun peristiwa ini bukan termasuk perilaku yang tersebar di masyarakat, karena mereka juga membutuhkan anak-anak lelaki sebagai pelindung dari musuh.Hubungan seseorang dengan saudara, anak-anak paman, dan kerabatnya sangat kokoh. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kabilah. Semangat kebersamaan sangat dominan dalam satu kabilah yang diperkuat oleh fanatisme ini. Dasar dari sistem sosial mereka adalah fanatisme darah dan hubungan rahim.Hubungan antar kabilah yang berbeda sangatlah renggang. Kekuatan mereka saling melemahkan dalam peperangan. Dalam beberapa kondisi, persekutuan dan perjanjian bisa menyebabkan terbentuknya aliansi antara kabilah-kabilah yang berbeda. Bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) juga menjadi rahmat bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan.Kondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamMata pencaharian terbesar bangsa Arab adalah berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perjalanan dagang hanya bisa dilakukan dengan lancar ketika keamanan dan perdamaian terjamin. Hal itu hanya terjadi di bulan-bulan haram. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu penyelenggaraan pasar-pasar besar seperti ‘Ukāzh (عكاظ), Dzul Majāz (ذو المجاز), dan Majannah (مجنة).Adapun pekerjaan industri, sangat jauh dari bangsa Arab. Mayoritas industri yang ada di jazirah adalah penenunan dan penyamakan yang berada di Yaman, Hirah, dan perbatasan Syam. Memang ada di dalam jazirah pekerjaan berupa bertani, beternak, dan menenun benang. Hanya saja, barang-barang hasil industri ini sering kali menjadi sasaran dalam peperangan.Kondisi akhlak penduduk JahiliahDi tengah banyaknya tindakan amoral penduduk jahiliah, tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki akhlak yang terpuji yang membuat manusia takjub.Di antaranya adalah kedermawanan. Penduduk Arab berlomba-lomba dan merasa bangga dengan akhlak ini. Dikisahkan ada seseorang yang kedatangan tamu pada hari yang sangat dingin dan kelaparan, ia tidak memiliki harta kecuali unta yang digunakan untuk mencari penghidupan. Ia pun menyembelih unta tersebut lantaran tergerak oleh semangat kedermawanan demi menjamu tamunya.Salah satu dampak semangat kedermawanan ini adalah munculnya pujian terhadap orang yang meminum khamar. Bukan karena bangga dengan khamar, tetapi karena khamar dianggap sebagai salah satu sarana untuk meraih kedermawanan dan melunakkan jiwa. Karena itulah, mereka menamai pohon anggur dengan karm (الكرم) yang mirip dengan kata dermawan dalam bahasa Arab.Dampak kedermawanan juga berimbas pada perjudian. Perjudian mereka anggap salah satu sarana mendapatkan kedermawanan. Hal ini karena mereka menganggap perjudian sebagai sarana untuk bersedekah, mereka akan memberikan hasil kemenangan judi tersebut kepada orang miskin. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa khamar dan perjudian itu memiliki manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. [2]Di antara akhlak mulia mereka adalah menepati janji. Janji bagi mereka adalah sesuatu yang sakral dan mereka pegang teguh sampai mereka rela mengorbankan nyawa anak-anak mereka dan menghancurkan rumah mereka, demi menunaikannya.Di antara akhlak terpuji mereka adalah harga diri dan menolak kehinaan serta penindasan. Dampaknya, muncullah keberanian berlebih, kecemburuan yang kuat, dan kepekaan yang tinggi. Ketika mereka mendengar satu kata yang mengandung kehinaan, mereka tidak akan tinggal diam, tetapi langsung mengangkat pedang dan tombak, lalu memantik peperangan hebat. Mereka tidak peduli untuk mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kehormatan.Di antara akhlak baik mereka adalah keteguhan tekad. Apabila mereka telah bertekad terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai kemuliaan dan kebanggaan, maka mereka tidak akan berpaling darinya meskipun ada penghalang. Mereka siap mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkannya.Di antara akhlak mulia mereka adalah murah hati, sabar, dan tenang. Mereka memuji sikap ini meski kenyataannya sikap ini cukup langka di tengah mereka. Hal ini karena kuatnya keberanian mereka dan cepatnya mereka dalam mengambil tindakan untuk berperang.Di antara akhlak mulia mereka adalah kesederhanaan hidup ala badui dan tidak terkontaminasi polusi peradaban dan tipu dayanya. Akibat dari kesederhanaan ini, muncul sifat jujur, amanah, dan jauh dari penipuan dan pengkhianatan.Akhlak mulia yang dimiliki masyarakat Arab, bersamaan dengan posisi geografis mereka yang strategis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka dipilih untuk menerima risalah Islam. Meski sebagian akhlaknya masih berpotensi disalahgunakan, pada dasarnya sifat-sifat ini bermanfaat setelah diperbaiki. Itulah yang dilakukan oleh Islam.Baca juga: Jazirah Arab dalam Sejarah***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan. Catatan kaki:[1] HR. Abu Dawud.[2] QS. Al-Baqarah: 219.


Daftar Isi ToggleKondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamKondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamKondisi akhlak penduduk JahiliahBangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ memiliki kondisi sosial yang khas dan kompleks. Memahami situasi masyarakat pra-Islam sangat penting agar kita mengetahui bagaimana Islam hadir dan membawa perubahan besar di tengah kehidupan mereka. Dalam artikel ini, akan dibahas kondisi sosial, ekonomi, dan akhlak bangsa Arab sebelum datangnya risalah Islam, sebagai latar penting dalam memahami konteks dakwah kenabian.Kondisi sosial masyarakat Arab pra-IslamMasyarakat Arab jahiliah terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial. Di kalangan bangsawan, hubungan suami istri cukup maju. Wanita memiliki kebebasan berpendapat, dihormati, dan turut berperan dalam perdamaian maupun peperangan. Meski demikian, tetap saja laki-laki adalah kepala rumah tangga. Pernikahan dilakukan secara resmi dengan persetujuan wali, tanpa hak bagi wanita untuk melangkahi mereka.Namun, di lapisan masyarakat lainnya, interaksi antara pria dan wanita berlangsung dalam bentuk yang hanya bisa digambarkan sebagai perzinaan.Aisyah radhiyallahu ‘anha [1] menceritakan empat macam pernikahan yang ada di masa jahiliah:1) Pernikahan normal: pria datang kepada wali, memberi mahar, lalu menikahi wanita.2) Nikah istibdhā’: suami meminta istrinya berhubungan dengan pria lain agar hamil, baru setelah itu suami bisa menggaulinya.3) Nikah kelompok: beberapa pria menggauli seorang wanita. Saat wanita hamil, ia menunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak anaknya setelah kelahirannya.4) Nikah pelacuran: banyak pria menggauli seorang wanita yang memasang tanda di depan pintu rumahnya. Jika ia hamil lalu melahirkan, seorang ahli nasab menentukan siapa bapaknya.Islam menghapus semua pernikahan ini, kecuali pernikahan yang sah secara syariat.Selain itu, poligami tidak dibatasi dan pria bebas menikahi dua saudari atau istri bapaknya ketika sang bapak menalaknya atau meninggal dunia. Talak di masa itu juga tanpa batas. Perzinaan merajalela di semua kalangan. Hanya sedikit orang yang menjaga kehormatannya dari kehinaan tersebut.Hubungan bapak dengan anaknya bermacam-macam. Di antaranya ada yang menganggap anak-anaknya adalah bagian dari dirinya. Ada juga yang membunuh anak-anak perempuannya lantaran takut malu dan beban biaya hidup. Ada pula yang membunuh anak-anaknya lantaran takut jatuh miskin dan kesusahan. Namun peristiwa ini bukan termasuk perilaku yang tersebar di masyarakat, karena mereka juga membutuhkan anak-anak lelaki sebagai pelindung dari musuh.Hubungan seseorang dengan saudara, anak-anak paman, dan kerabatnya sangat kokoh. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kabilah. Semangat kebersamaan sangat dominan dalam satu kabilah yang diperkuat oleh fanatisme ini. Dasar dari sistem sosial mereka adalah fanatisme darah dan hubungan rahim.Hubungan antar kabilah yang berbeda sangatlah renggang. Kekuatan mereka saling melemahkan dalam peperangan. Dalam beberapa kondisi, persekutuan dan perjanjian bisa menyebabkan terbentuknya aliansi antara kabilah-kabilah yang berbeda. Bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) juga menjadi rahmat bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan.Kondisi ekonomi masyarakat Arab pra-IslamMata pencaharian terbesar bangsa Arab adalah berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perjalanan dagang hanya bisa dilakukan dengan lancar ketika keamanan dan perdamaian terjamin. Hal itu hanya terjadi di bulan-bulan haram. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu penyelenggaraan pasar-pasar besar seperti ‘Ukāzh (عكاظ), Dzul Majāz (ذو المجاز), dan Majannah (مجنة).Adapun pekerjaan industri, sangat jauh dari bangsa Arab. Mayoritas industri yang ada di jazirah adalah penenunan dan penyamakan yang berada di Yaman, Hirah, dan perbatasan Syam. Memang ada di dalam jazirah pekerjaan berupa bertani, beternak, dan menenun benang. Hanya saja, barang-barang hasil industri ini sering kali menjadi sasaran dalam peperangan.Kondisi akhlak penduduk JahiliahDi tengah banyaknya tindakan amoral penduduk jahiliah, tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki akhlak yang terpuji yang membuat manusia takjub.Di antaranya adalah kedermawanan. Penduduk Arab berlomba-lomba dan merasa bangga dengan akhlak ini. Dikisahkan ada seseorang yang kedatangan tamu pada hari yang sangat dingin dan kelaparan, ia tidak memiliki harta kecuali unta yang digunakan untuk mencari penghidupan. Ia pun menyembelih unta tersebut lantaran tergerak oleh semangat kedermawanan demi menjamu tamunya.Salah satu dampak semangat kedermawanan ini adalah munculnya pujian terhadap orang yang meminum khamar. Bukan karena bangga dengan khamar, tetapi karena khamar dianggap sebagai salah satu sarana untuk meraih kedermawanan dan melunakkan jiwa. Karena itulah, mereka menamai pohon anggur dengan karm (الكرم) yang mirip dengan kata dermawan dalam bahasa Arab.Dampak kedermawanan juga berimbas pada perjudian. Perjudian mereka anggap salah satu sarana mendapatkan kedermawanan. Hal ini karena mereka menganggap perjudian sebagai sarana untuk bersedekah, mereka akan memberikan hasil kemenangan judi tersebut kepada orang miskin. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa khamar dan perjudian itu memiliki manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. [2]Di antara akhlak mulia mereka adalah menepati janji. Janji bagi mereka adalah sesuatu yang sakral dan mereka pegang teguh sampai mereka rela mengorbankan nyawa anak-anak mereka dan menghancurkan rumah mereka, demi menunaikannya.Di antara akhlak terpuji mereka adalah harga diri dan menolak kehinaan serta penindasan. Dampaknya, muncullah keberanian berlebih, kecemburuan yang kuat, dan kepekaan yang tinggi. Ketika mereka mendengar satu kata yang mengandung kehinaan, mereka tidak akan tinggal diam, tetapi langsung mengangkat pedang dan tombak, lalu memantik peperangan hebat. Mereka tidak peduli untuk mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kehormatan.Di antara akhlak baik mereka adalah keteguhan tekad. Apabila mereka telah bertekad terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai kemuliaan dan kebanggaan, maka mereka tidak akan berpaling darinya meskipun ada penghalang. Mereka siap mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkannya.Di antara akhlak mulia mereka adalah murah hati, sabar, dan tenang. Mereka memuji sikap ini meski kenyataannya sikap ini cukup langka di tengah mereka. Hal ini karena kuatnya keberanian mereka dan cepatnya mereka dalam mengambil tindakan untuk berperang.Di antara akhlak mulia mereka adalah kesederhanaan hidup ala badui dan tidak terkontaminasi polusi peradaban dan tipu dayanya. Akibat dari kesederhanaan ini, muncul sifat jujur, amanah, dan jauh dari penipuan dan pengkhianatan.Akhlak mulia yang dimiliki masyarakat Arab, bersamaan dengan posisi geografis mereka yang strategis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka dipilih untuk menerima risalah Islam. Meski sebagian akhlaknya masih berpotensi disalahgunakan, pada dasarnya sifat-sifat ini bermanfaat setelah diperbaiki. Itulah yang dilakukan oleh Islam.Baca juga: Jazirah Arab dalam Sejarah***Penulis: Fajar RiantoArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan. Catatan kaki:[1] HR. Abu Dawud.[2] QS. Al-Baqarah: 219.

Tujuh Faidah Tarbawiyah dari Ushul Tsalatsah

Daftar Isi ToggleFaidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agamaFaidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridFaidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaFaidah keempat: Ketundukan kepada RasulFaidah kelima: Jalan mengenal AllahFaidah keenam: Seruan bagi semua orangFaidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semataBismillah.Bagi para dai penyeru akidah, nama kitab Ushul Tsalatsah tentu sudah tidak asing. Walaupun judul aslinya yang dimaksud adalah Tsalatsatul Ushul; tiga landasan pokok dalam agama. Kitab atau risalah ini ditulis oleh seorang pembaharu besar Islam di abad ke-12 H; Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah.Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang gigih mendakwahkan tauhid. Seperti tercermin dalam banyak karyanya seperti; Kitab Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid, Kasyfu Syubuhaat, Qawa’id Arba’, Masa’il Jahiliyah, Nawaqidhul Islam, dan sebagainya. Di antara sekian banyak karya beliau kitab Ushul Tsalatsah merupakan panduan untuk mengenal dasar-dasar dalam ilmu tauhid dan akidah Islam.Di antara keistimewaan kitab ini adalah ia sarat dengan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, wlaupun secara umum penulis lebih banyak mencantumkan dalil dari ayat al-Qur’an daripada hadis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi bobot ilmiah yang ada di dalamnya. Uniknya, kitab ini disusun dengan cukup ringkas, sehingga hal itu akan lebih memudahkan bagi para penimba ilmu maupun masyarakat awam dalam memetik manfaat dan menyerap ilmu yang terkandung di dalamnya.Pada kesempatan ini, kami mencoba merangkum beberapa faidah dan pelajaran terkait tarbiyah (pendidikan dan pembinaan umat) yang terkandung dalam risalah yang agung ini. Yang pada hakikatnya, ini semua sudah ada di dalam kitab atau penjelasan para ulama. Adapun di sini, kami sekedar menyusun dan menata ulang apa yang mereka jelaskan.Faidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agama Hal ini dapat kita petik secara langsung dari bagian awal-awal risalah Ushul Tsalatsah; yang di sana penulis mencantumkan ucapan Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; bahwa ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Penulis membawakan keterangan ini setelah menyampaikan empat kewajiban mendasar bagi setiap manusia; yaitu berilmu, beramal. Berdakwah, dan bersabar.Faidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridDi dalam risalah Ushul Tsalatsah, penulis sering mendoakan kebaikan bagi para pembaca. Misalnya, beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu…” atau, “Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya…” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya penyampaian ilmu itu dilandasi oleh sifat dan perasaan kasih sayang; kasih sayang antara pengajar dengan orang yang diajari.Ibnu Qudamah rahimahullah membawakan hadis dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww, no. 15)Faidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaPenulis kitab Ushul Tsalatsah telah menjelaskan bahwa ilmu yang paling pokok adalah mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berdasarkan dalil-dalil. Inilah tiga ilmu utama yang wajib untuk dimengerti oleh setiap muslim. Oleh sebab itu, di alam kubur seorang akan ditanya tentang tiga hal; ‘Siapa Rabbmu, siapa nabimu, dan apa agamamu’. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali orang beriman yang Allah beri keteguhan dengan ilmu dan pemahaman di dalam hatinya.Apabila kita ringkas, ketiga materi ilmu ini telah terwakili dalam istilah ilmu akidah, atau lebih khusus lagi akidah tauhid. Akidah yang mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syariat dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah poros utama agama Islam yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat.Faidah keempat: Ketundukan kepada Rasul Di antara pelajaran yang sangat berharga di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah pentingnya mengimani rububiyah Allah dan wajibnya menaati Rasul. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini. Yang pertama; bahwa Allah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi, Allah mengutus kepada kita seorang rasul; barangsiapa yang taat kepadanya, niscaya masuk surga dan barangsiapa yang durhaka, niscaya dia masuk neraka.” Saudaraku yang dirahmati Allah, yang dimaksud dengan tauhid rububiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Termasuk dalam rububiyah Allah adalah memberikan petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul untuk menerangkan kepada manusia cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.Faidah kelima: Jalan mengenal Allah Di antara pelajaran penting dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah mengenali jalan untuk mengenal Allah. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Apabila dikatakan kepadamu; dengan apa kamu bisa mengenali Rabbmu? Katakanlah; aku mengenalnya dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Di antara ayat-ayat Alllah adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Adapun di antara makhluk ciptaan-Nya adalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh beserta semua yang ada di dalamnya dan diantara keduanya.”Di dalamnya, Syekh ingin menunjukkan kepada kita bahwa cara untuk mengenal Allah mencakup ayat-ayat Allah dan juga makhluk ciptaaan-Nya. Ayat Allah ini mencakup ayat syar’iyah dan ayat kauniyah. Ayat syar’iyah berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul. Adapun ayat kauniyah adalah segala sesuatu yang terjadi di alam semesta dan menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah. Termasuk ayat kauniyah adalah malam dan siang, matahari, dan bulan. Begitu juga langit dan bumi adalah bagian dari ayat kauniyah berupa makhluk ciptaan Allah.Faidah keenam: Seruan bagi semua orangDi antara faidah penting yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah seruan yang Allah tujukan kepada segenap manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Rabb itulah yang berhak untuk disembah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap serta menurunkan air hujan dari langit sehingga Allah mengeluarkan dengan sebab air itu berbagai buah-buahan (hasil panen) sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 21-22). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang menciptakan segala sesuatu inilah yang berhak untuk disembah.”Seruan ini ditujukan kepada semua orang dari anak keturunan Adam; yaitu Allah perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya semata dan tidak boleh menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu (sesembahan tandingan), dan Allah menjelaskan bahwasanya Allah yang berhak disembah disebabkan hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini.” (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syekh al-Utsaimin, hal. 51 cet. Dar Tsurayya, 1426 H)Faidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semata Di antara faidah indah yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah wajibnya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik; karena hal itu adalah konsekuensi dari pengakuan terhadap rububiyah Allah.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan firman Allah dalam surah Fushshilat ayat 37,وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ“Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, bersujudlah kepada Allah yang menciptakan itu semuanya, jika kalian hanya kepada-Nya beribadah.”Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,وقوله: ( إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ) يقول: إن كنتم تعبدون الله, وتذلون له بالطاعة; وإن من طاعته أن تخلصوا له العبادة, ولا تشركوا في طاعتكم إياه وعبادتكموه شيئا سواه, فإن العبادة لا تصلح لغيره ولا تنبغي لشيء سواه“Firman-Nya (yang artinya), ‘Jika kalian hanya kepada-Nya beribadah’, maksudnya: Jika kalian benar-benar beribadah kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh ketaatan. Karena sesungguhnya termasuk bagian ketaatan kepada Allah adalah dengan memurnikan ibadah untuk-Nya dan jangan kalian mempersekutukan dalam ketaatan kalian kepada-Nya dengan siapa pun selain-Nya. Karena ibadah tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya dan tidak pantas ditujukan kepada siapa pun selain Allah.” (Lihat Tafsir ath-Thabari)Ibnu Katsir rahimahullah berkata,أي : ولا تشركوا به فما تنفعكم عبادتكم له مع عبادتكم لغيره ، فإنه لا يغفر أن يشرك به“Artinya, janganlah kalian mempersekutukan apa pun dengan-Nya; tidak akan berguna bagi kalian ibadah kalian kepada Allah jika disertai dengan ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,ومن فوائد الآية الكريمة النَّهْي عن السجود للشمس والقمر، لقوله: (( لا تسجدوا للشمس ولا للقمر )) مع أنهما مِن آيات الله لكنَّها مخلوقة، والسجود إنما يكون للخالق“D iantara faidah dari ayat yang mulia ini adalah larangan bersujud kepada matahari dan bulan. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan.’ Walaupun keduanya termasuk bagian dari ayat-ayat Allah tetapi ia merupakan makhluk, sedangkan sujud hanya boleh ditujukan kepada al-Khaliq (yang menciptakan makhluk)…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim)Wallahu a’lam.Baca juga: Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id Referensi: Tafsir ath-Thabari, oleh Ibnu Jari ath-Thabari rahimahullah.Tafsir Ibnu Katsir, oleh Ibnu Katsir rahimahullah.Tafsir al-Qur’an, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.Syarh Tsalatsah al-Ushul, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.

Tujuh Faidah Tarbawiyah dari Ushul Tsalatsah

Daftar Isi ToggleFaidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agamaFaidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridFaidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaFaidah keempat: Ketundukan kepada RasulFaidah kelima: Jalan mengenal AllahFaidah keenam: Seruan bagi semua orangFaidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semataBismillah.Bagi para dai penyeru akidah, nama kitab Ushul Tsalatsah tentu sudah tidak asing. Walaupun judul aslinya yang dimaksud adalah Tsalatsatul Ushul; tiga landasan pokok dalam agama. Kitab atau risalah ini ditulis oleh seorang pembaharu besar Islam di abad ke-12 H; Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah.Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang gigih mendakwahkan tauhid. Seperti tercermin dalam banyak karyanya seperti; Kitab Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid, Kasyfu Syubuhaat, Qawa’id Arba’, Masa’il Jahiliyah, Nawaqidhul Islam, dan sebagainya. Di antara sekian banyak karya beliau kitab Ushul Tsalatsah merupakan panduan untuk mengenal dasar-dasar dalam ilmu tauhid dan akidah Islam.Di antara keistimewaan kitab ini adalah ia sarat dengan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, wlaupun secara umum penulis lebih banyak mencantumkan dalil dari ayat al-Qur’an daripada hadis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi bobot ilmiah yang ada di dalamnya. Uniknya, kitab ini disusun dengan cukup ringkas, sehingga hal itu akan lebih memudahkan bagi para penimba ilmu maupun masyarakat awam dalam memetik manfaat dan menyerap ilmu yang terkandung di dalamnya.Pada kesempatan ini, kami mencoba merangkum beberapa faidah dan pelajaran terkait tarbiyah (pendidikan dan pembinaan umat) yang terkandung dalam risalah yang agung ini. Yang pada hakikatnya, ini semua sudah ada di dalam kitab atau penjelasan para ulama. Adapun di sini, kami sekedar menyusun dan menata ulang apa yang mereka jelaskan.Faidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agama Hal ini dapat kita petik secara langsung dari bagian awal-awal risalah Ushul Tsalatsah; yang di sana penulis mencantumkan ucapan Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; bahwa ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Penulis membawakan keterangan ini setelah menyampaikan empat kewajiban mendasar bagi setiap manusia; yaitu berilmu, beramal. Berdakwah, dan bersabar.Faidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridDi dalam risalah Ushul Tsalatsah, penulis sering mendoakan kebaikan bagi para pembaca. Misalnya, beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu…” atau, “Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya…” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya penyampaian ilmu itu dilandasi oleh sifat dan perasaan kasih sayang; kasih sayang antara pengajar dengan orang yang diajari.Ibnu Qudamah rahimahullah membawakan hadis dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww, no. 15)Faidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaPenulis kitab Ushul Tsalatsah telah menjelaskan bahwa ilmu yang paling pokok adalah mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berdasarkan dalil-dalil. Inilah tiga ilmu utama yang wajib untuk dimengerti oleh setiap muslim. Oleh sebab itu, di alam kubur seorang akan ditanya tentang tiga hal; ‘Siapa Rabbmu, siapa nabimu, dan apa agamamu’. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali orang beriman yang Allah beri keteguhan dengan ilmu dan pemahaman di dalam hatinya.Apabila kita ringkas, ketiga materi ilmu ini telah terwakili dalam istilah ilmu akidah, atau lebih khusus lagi akidah tauhid. Akidah yang mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syariat dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah poros utama agama Islam yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat.Faidah keempat: Ketundukan kepada Rasul Di antara pelajaran yang sangat berharga di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah pentingnya mengimani rububiyah Allah dan wajibnya menaati Rasul. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini. Yang pertama; bahwa Allah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi, Allah mengutus kepada kita seorang rasul; barangsiapa yang taat kepadanya, niscaya masuk surga dan barangsiapa yang durhaka, niscaya dia masuk neraka.” Saudaraku yang dirahmati Allah, yang dimaksud dengan tauhid rububiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Termasuk dalam rububiyah Allah adalah memberikan petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul untuk menerangkan kepada manusia cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.Faidah kelima: Jalan mengenal Allah Di antara pelajaran penting dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah mengenali jalan untuk mengenal Allah. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Apabila dikatakan kepadamu; dengan apa kamu bisa mengenali Rabbmu? Katakanlah; aku mengenalnya dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Di antara ayat-ayat Alllah adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Adapun di antara makhluk ciptaan-Nya adalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh beserta semua yang ada di dalamnya dan diantara keduanya.”Di dalamnya, Syekh ingin menunjukkan kepada kita bahwa cara untuk mengenal Allah mencakup ayat-ayat Allah dan juga makhluk ciptaaan-Nya. Ayat Allah ini mencakup ayat syar’iyah dan ayat kauniyah. Ayat syar’iyah berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul. Adapun ayat kauniyah adalah segala sesuatu yang terjadi di alam semesta dan menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah. Termasuk ayat kauniyah adalah malam dan siang, matahari, dan bulan. Begitu juga langit dan bumi adalah bagian dari ayat kauniyah berupa makhluk ciptaan Allah.Faidah keenam: Seruan bagi semua orangDi antara faidah penting yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah seruan yang Allah tujukan kepada segenap manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Rabb itulah yang berhak untuk disembah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap serta menurunkan air hujan dari langit sehingga Allah mengeluarkan dengan sebab air itu berbagai buah-buahan (hasil panen) sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 21-22). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang menciptakan segala sesuatu inilah yang berhak untuk disembah.”Seruan ini ditujukan kepada semua orang dari anak keturunan Adam; yaitu Allah perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya semata dan tidak boleh menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu (sesembahan tandingan), dan Allah menjelaskan bahwasanya Allah yang berhak disembah disebabkan hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini.” (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syekh al-Utsaimin, hal. 51 cet. Dar Tsurayya, 1426 H)Faidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semata Di antara faidah indah yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah wajibnya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik; karena hal itu adalah konsekuensi dari pengakuan terhadap rububiyah Allah.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan firman Allah dalam surah Fushshilat ayat 37,وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ“Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, bersujudlah kepada Allah yang menciptakan itu semuanya, jika kalian hanya kepada-Nya beribadah.”Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,وقوله: ( إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ) يقول: إن كنتم تعبدون الله, وتذلون له بالطاعة; وإن من طاعته أن تخلصوا له العبادة, ولا تشركوا في طاعتكم إياه وعبادتكموه شيئا سواه, فإن العبادة لا تصلح لغيره ولا تنبغي لشيء سواه“Firman-Nya (yang artinya), ‘Jika kalian hanya kepada-Nya beribadah’, maksudnya: Jika kalian benar-benar beribadah kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh ketaatan. Karena sesungguhnya termasuk bagian ketaatan kepada Allah adalah dengan memurnikan ibadah untuk-Nya dan jangan kalian mempersekutukan dalam ketaatan kalian kepada-Nya dengan siapa pun selain-Nya. Karena ibadah tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya dan tidak pantas ditujukan kepada siapa pun selain Allah.” (Lihat Tafsir ath-Thabari)Ibnu Katsir rahimahullah berkata,أي : ولا تشركوا به فما تنفعكم عبادتكم له مع عبادتكم لغيره ، فإنه لا يغفر أن يشرك به“Artinya, janganlah kalian mempersekutukan apa pun dengan-Nya; tidak akan berguna bagi kalian ibadah kalian kepada Allah jika disertai dengan ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,ومن فوائد الآية الكريمة النَّهْي عن السجود للشمس والقمر، لقوله: (( لا تسجدوا للشمس ولا للقمر )) مع أنهما مِن آيات الله لكنَّها مخلوقة، والسجود إنما يكون للخالق“D iantara faidah dari ayat yang mulia ini adalah larangan bersujud kepada matahari dan bulan. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan.’ Walaupun keduanya termasuk bagian dari ayat-ayat Allah tetapi ia merupakan makhluk, sedangkan sujud hanya boleh ditujukan kepada al-Khaliq (yang menciptakan makhluk)…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim)Wallahu a’lam.Baca juga: Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id Referensi: Tafsir ath-Thabari, oleh Ibnu Jari ath-Thabari rahimahullah.Tafsir Ibnu Katsir, oleh Ibnu Katsir rahimahullah.Tafsir al-Qur’an, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.Syarh Tsalatsah al-Ushul, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.
Daftar Isi ToggleFaidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agamaFaidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridFaidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaFaidah keempat: Ketundukan kepada RasulFaidah kelima: Jalan mengenal AllahFaidah keenam: Seruan bagi semua orangFaidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semataBismillah.Bagi para dai penyeru akidah, nama kitab Ushul Tsalatsah tentu sudah tidak asing. Walaupun judul aslinya yang dimaksud adalah Tsalatsatul Ushul; tiga landasan pokok dalam agama. Kitab atau risalah ini ditulis oleh seorang pembaharu besar Islam di abad ke-12 H; Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah.Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang gigih mendakwahkan tauhid. Seperti tercermin dalam banyak karyanya seperti; Kitab Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid, Kasyfu Syubuhaat, Qawa’id Arba’, Masa’il Jahiliyah, Nawaqidhul Islam, dan sebagainya. Di antara sekian banyak karya beliau kitab Ushul Tsalatsah merupakan panduan untuk mengenal dasar-dasar dalam ilmu tauhid dan akidah Islam.Di antara keistimewaan kitab ini adalah ia sarat dengan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, wlaupun secara umum penulis lebih banyak mencantumkan dalil dari ayat al-Qur’an daripada hadis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi bobot ilmiah yang ada di dalamnya. Uniknya, kitab ini disusun dengan cukup ringkas, sehingga hal itu akan lebih memudahkan bagi para penimba ilmu maupun masyarakat awam dalam memetik manfaat dan menyerap ilmu yang terkandung di dalamnya.Pada kesempatan ini, kami mencoba merangkum beberapa faidah dan pelajaran terkait tarbiyah (pendidikan dan pembinaan umat) yang terkandung dalam risalah yang agung ini. Yang pada hakikatnya, ini semua sudah ada di dalam kitab atau penjelasan para ulama. Adapun di sini, kami sekedar menyusun dan menata ulang apa yang mereka jelaskan.Faidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agama Hal ini dapat kita petik secara langsung dari bagian awal-awal risalah Ushul Tsalatsah; yang di sana penulis mencantumkan ucapan Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; bahwa ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Penulis membawakan keterangan ini setelah menyampaikan empat kewajiban mendasar bagi setiap manusia; yaitu berilmu, beramal. Berdakwah, dan bersabar.Faidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridDi dalam risalah Ushul Tsalatsah, penulis sering mendoakan kebaikan bagi para pembaca. Misalnya, beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu…” atau, “Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya…” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya penyampaian ilmu itu dilandasi oleh sifat dan perasaan kasih sayang; kasih sayang antara pengajar dengan orang yang diajari.Ibnu Qudamah rahimahullah membawakan hadis dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww, no. 15)Faidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaPenulis kitab Ushul Tsalatsah telah menjelaskan bahwa ilmu yang paling pokok adalah mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berdasarkan dalil-dalil. Inilah tiga ilmu utama yang wajib untuk dimengerti oleh setiap muslim. Oleh sebab itu, di alam kubur seorang akan ditanya tentang tiga hal; ‘Siapa Rabbmu, siapa nabimu, dan apa agamamu’. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali orang beriman yang Allah beri keteguhan dengan ilmu dan pemahaman di dalam hatinya.Apabila kita ringkas, ketiga materi ilmu ini telah terwakili dalam istilah ilmu akidah, atau lebih khusus lagi akidah tauhid. Akidah yang mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syariat dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah poros utama agama Islam yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat.Faidah keempat: Ketundukan kepada Rasul Di antara pelajaran yang sangat berharga di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah pentingnya mengimani rububiyah Allah dan wajibnya menaati Rasul. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini. Yang pertama; bahwa Allah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi, Allah mengutus kepada kita seorang rasul; barangsiapa yang taat kepadanya, niscaya masuk surga dan barangsiapa yang durhaka, niscaya dia masuk neraka.” Saudaraku yang dirahmati Allah, yang dimaksud dengan tauhid rububiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Termasuk dalam rububiyah Allah adalah memberikan petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul untuk menerangkan kepada manusia cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.Faidah kelima: Jalan mengenal Allah Di antara pelajaran penting dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah mengenali jalan untuk mengenal Allah. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Apabila dikatakan kepadamu; dengan apa kamu bisa mengenali Rabbmu? Katakanlah; aku mengenalnya dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Di antara ayat-ayat Alllah adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Adapun di antara makhluk ciptaan-Nya adalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh beserta semua yang ada di dalamnya dan diantara keduanya.”Di dalamnya, Syekh ingin menunjukkan kepada kita bahwa cara untuk mengenal Allah mencakup ayat-ayat Allah dan juga makhluk ciptaaan-Nya. Ayat Allah ini mencakup ayat syar’iyah dan ayat kauniyah. Ayat syar’iyah berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul. Adapun ayat kauniyah adalah segala sesuatu yang terjadi di alam semesta dan menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah. Termasuk ayat kauniyah adalah malam dan siang, matahari, dan bulan. Begitu juga langit dan bumi adalah bagian dari ayat kauniyah berupa makhluk ciptaan Allah.Faidah keenam: Seruan bagi semua orangDi antara faidah penting yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah seruan yang Allah tujukan kepada segenap manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Rabb itulah yang berhak untuk disembah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap serta menurunkan air hujan dari langit sehingga Allah mengeluarkan dengan sebab air itu berbagai buah-buahan (hasil panen) sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 21-22). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang menciptakan segala sesuatu inilah yang berhak untuk disembah.”Seruan ini ditujukan kepada semua orang dari anak keturunan Adam; yaitu Allah perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya semata dan tidak boleh menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu (sesembahan tandingan), dan Allah menjelaskan bahwasanya Allah yang berhak disembah disebabkan hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini.” (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syekh al-Utsaimin, hal. 51 cet. Dar Tsurayya, 1426 H)Faidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semata Di antara faidah indah yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah wajibnya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik; karena hal itu adalah konsekuensi dari pengakuan terhadap rububiyah Allah.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan firman Allah dalam surah Fushshilat ayat 37,وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ“Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, bersujudlah kepada Allah yang menciptakan itu semuanya, jika kalian hanya kepada-Nya beribadah.”Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,وقوله: ( إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ) يقول: إن كنتم تعبدون الله, وتذلون له بالطاعة; وإن من طاعته أن تخلصوا له العبادة, ولا تشركوا في طاعتكم إياه وعبادتكموه شيئا سواه, فإن العبادة لا تصلح لغيره ولا تنبغي لشيء سواه“Firman-Nya (yang artinya), ‘Jika kalian hanya kepada-Nya beribadah’, maksudnya: Jika kalian benar-benar beribadah kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh ketaatan. Karena sesungguhnya termasuk bagian ketaatan kepada Allah adalah dengan memurnikan ibadah untuk-Nya dan jangan kalian mempersekutukan dalam ketaatan kalian kepada-Nya dengan siapa pun selain-Nya. Karena ibadah tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya dan tidak pantas ditujukan kepada siapa pun selain Allah.” (Lihat Tafsir ath-Thabari)Ibnu Katsir rahimahullah berkata,أي : ولا تشركوا به فما تنفعكم عبادتكم له مع عبادتكم لغيره ، فإنه لا يغفر أن يشرك به“Artinya, janganlah kalian mempersekutukan apa pun dengan-Nya; tidak akan berguna bagi kalian ibadah kalian kepada Allah jika disertai dengan ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,ومن فوائد الآية الكريمة النَّهْي عن السجود للشمس والقمر، لقوله: (( لا تسجدوا للشمس ولا للقمر )) مع أنهما مِن آيات الله لكنَّها مخلوقة، والسجود إنما يكون للخالق“D iantara faidah dari ayat yang mulia ini adalah larangan bersujud kepada matahari dan bulan. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan.’ Walaupun keduanya termasuk bagian dari ayat-ayat Allah tetapi ia merupakan makhluk, sedangkan sujud hanya boleh ditujukan kepada al-Khaliq (yang menciptakan makhluk)…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim)Wallahu a’lam.Baca juga: Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id Referensi: Tafsir ath-Thabari, oleh Ibnu Jari ath-Thabari rahimahullah.Tafsir Ibnu Katsir, oleh Ibnu Katsir rahimahullah.Tafsir al-Qur’an, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.Syarh Tsalatsah al-Ushul, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.


Daftar Isi ToggleFaidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agamaFaidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridFaidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaFaidah keempat: Ketundukan kepada RasulFaidah kelima: Jalan mengenal AllahFaidah keenam: Seruan bagi semua orangFaidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semataBismillah.Bagi para dai penyeru akidah, nama kitab Ushul Tsalatsah tentu sudah tidak asing. Walaupun judul aslinya yang dimaksud adalah Tsalatsatul Ushul; tiga landasan pokok dalam agama. Kitab atau risalah ini ditulis oleh seorang pembaharu besar Islam di abad ke-12 H; Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah.Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang gigih mendakwahkan tauhid. Seperti tercermin dalam banyak karyanya seperti; Kitab Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid, Kasyfu Syubuhaat, Qawa’id Arba’, Masa’il Jahiliyah, Nawaqidhul Islam, dan sebagainya. Di antara sekian banyak karya beliau kitab Ushul Tsalatsah merupakan panduan untuk mengenal dasar-dasar dalam ilmu tauhid dan akidah Islam.Di antara keistimewaan kitab ini adalah ia sarat dengan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, wlaupun secara umum penulis lebih banyak mencantumkan dalil dari ayat al-Qur’an daripada hadis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi bobot ilmiah yang ada di dalamnya. Uniknya, kitab ini disusun dengan cukup ringkas, sehingga hal itu akan lebih memudahkan bagi para penimba ilmu maupun masyarakat awam dalam memetik manfaat dan menyerap ilmu yang terkandung di dalamnya.Pada kesempatan ini, kami mencoba merangkum beberapa faidah dan pelajaran terkait tarbiyah (pendidikan dan pembinaan umat) yang terkandung dalam risalah yang agung ini. Yang pada hakikatnya, ini semua sudah ada di dalam kitab atau penjelasan para ulama. Adapun di sini, kami sekedar menyusun dan menata ulang apa yang mereka jelaskan.Faidah pertama: Pentingnya pondasi ilmu agama Hal ini dapat kita petik secara langsung dari bagian awal-awal risalah Ushul Tsalatsah; yang di sana penulis mencantumkan ucapan Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya; bahwa ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Penulis membawakan keterangan ini setelah menyampaikan empat kewajiban mendasar bagi setiap manusia; yaitu berilmu, beramal. Berdakwah, dan bersabar.Faidah kedua: Mendoakan kebaikan bagi muridDi dalam risalah Ushul Tsalatsah, penulis sering mendoakan kebaikan bagi para pembaca. Misalnya, beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu…” atau, “Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya…” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya penyampaian ilmu itu dilandasi oleh sifat dan perasaan kasih sayang; kasih sayang antara pengajar dengan orang yang diajari.Ibnu Qudamah rahimahullah membawakan hadis dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww, no. 15)Faidah ketiga: Mengenal pokok dari ilmu agamaPenulis kitab Ushul Tsalatsah telah menjelaskan bahwa ilmu yang paling pokok adalah mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berdasarkan dalil-dalil. Inilah tiga ilmu utama yang wajib untuk dimengerti oleh setiap muslim. Oleh sebab itu, di alam kubur seorang akan ditanya tentang tiga hal; ‘Siapa Rabbmu, siapa nabimu, dan apa agamamu’. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali orang beriman yang Allah beri keteguhan dengan ilmu dan pemahaman di dalam hatinya.Apabila kita ringkas, ketiga materi ilmu ini telah terwakili dalam istilah ilmu akidah, atau lebih khusus lagi akidah tauhid. Akidah yang mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syariat dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah poros utama agama Islam yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat.Faidah keempat: Ketundukan kepada Rasul Di antara pelajaran yang sangat berharga di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah pentingnya mengimani rububiyah Allah dan wajibnya menaati Rasul. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini. Yang pertama; bahwa Allah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi, Allah mengutus kepada kita seorang rasul; barangsiapa yang taat kepadanya, niscaya masuk surga dan barangsiapa yang durhaka, niscaya dia masuk neraka.” Saudaraku yang dirahmati Allah, yang dimaksud dengan tauhid rububiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Termasuk dalam rububiyah Allah adalah memberikan petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul untuk menerangkan kepada manusia cara yang benar dalam beribadah kepada Allah.Faidah kelima: Jalan mengenal Allah Di antara pelajaran penting dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah mengenali jalan untuk mengenal Allah. Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Apabila dikatakan kepadamu; dengan apa kamu bisa mengenali Rabbmu? Katakanlah; aku mengenalnya dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Di antara ayat-ayat Alllah adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Adapun di antara makhluk ciptaan-Nya adalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh beserta semua yang ada di dalamnya dan diantara keduanya.”Di dalamnya, Syekh ingin menunjukkan kepada kita bahwa cara untuk mengenal Allah mencakup ayat-ayat Allah dan juga makhluk ciptaaan-Nya. Ayat Allah ini mencakup ayat syar’iyah dan ayat kauniyah. Ayat syar’iyah berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul. Adapun ayat kauniyah adalah segala sesuatu yang terjadi di alam semesta dan menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah. Termasuk ayat kauniyah adalah malam dan siang, matahari, dan bulan. Begitu juga langit dan bumi adalah bagian dari ayat kauniyah berupa makhluk ciptaan Allah.Faidah keenam: Seruan bagi semua orangDi antara faidah penting yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah seruan yang Allah tujukan kepada segenap manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Rabb itulah yang berhak untuk disembah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap serta menurunkan air hujan dari langit sehingga Allah mengeluarkan dengan sebab air itu berbagai buah-buahan (hasil panen) sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 21-22). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang menciptakan segala sesuatu inilah yang berhak untuk disembah.”Seruan ini ditujukan kepada semua orang dari anak keturunan Adam; yaitu Allah perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya semata dan tidak boleh menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu (sesembahan tandingan), dan Allah menjelaskan bahwasanya Allah yang berhak disembah disebabkan hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini.” (Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syekh al-Utsaimin, hal. 51 cet. Dar Tsurayya, 1426 H)Faidah ketujuh: Ibadah adalah hak Allah semata Di antara faidah indah yang terkandung di dalam risalah Ushul Tsalatsah adalah wajibnya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik; karena hal itu adalah konsekuensi dari pengakuan terhadap rububiyah Allah.Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan firman Allah dalam surah Fushshilat ayat 37,وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ“Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, bersujudlah kepada Allah yang menciptakan itu semuanya, jika kalian hanya kepada-Nya beribadah.”Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,وقوله: ( إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ) يقول: إن كنتم تعبدون الله, وتذلون له بالطاعة; وإن من طاعته أن تخلصوا له العبادة, ولا تشركوا في طاعتكم إياه وعبادتكموه شيئا سواه, فإن العبادة لا تصلح لغيره ولا تنبغي لشيء سواه“Firman-Nya (yang artinya), ‘Jika kalian hanya kepada-Nya beribadah’, maksudnya: Jika kalian benar-benar beribadah kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh ketaatan. Karena sesungguhnya termasuk bagian ketaatan kepada Allah adalah dengan memurnikan ibadah untuk-Nya dan jangan kalian mempersekutukan dalam ketaatan kalian kepada-Nya dengan siapa pun selain-Nya. Karena ibadah tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya dan tidak pantas ditujukan kepada siapa pun selain Allah.” (Lihat Tafsir ath-Thabari)Ibnu Katsir rahimahullah berkata,أي : ولا تشركوا به فما تنفعكم عبادتكم له مع عبادتكم لغيره ، فإنه لا يغفر أن يشرك به“Artinya, janganlah kalian mempersekutukan apa pun dengan-Nya; tidak akan berguna bagi kalian ibadah kalian kepada Allah jika disertai dengan ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,ومن فوائد الآية الكريمة النَّهْي عن السجود للشمس والقمر، لقوله: (( لا تسجدوا للشمس ولا للقمر )) مع أنهما مِن آيات الله لكنَّها مخلوقة، والسجود إنما يكون للخالق“D iantara faidah dari ayat yang mulia ini adalah larangan bersujud kepada matahari dan bulan. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan.’ Walaupun keduanya termasuk bagian dari ayat-ayat Allah tetapi ia merupakan makhluk, sedangkan sujud hanya boleh ditujukan kepada al-Khaliq (yang menciptakan makhluk)…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim)Wallahu a’lam.Baca juga: Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id Referensi: Tafsir ath-Thabari, oleh Ibnu Jari ath-Thabari rahimahullah.Tafsir Ibnu Katsir, oleh Ibnu Katsir rahimahullah.Tafsir al-Qur’an, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.Syarh Tsalatsah al-Ushul, oleh Syekh al-Utsaimin rahimahullah.
Prev     Next