Tinju dan Harga Darah Seorang Muslim

Daftar Isi ToggleHaramnya darah seorang MuslimAntara hiburan dan pelanggaran syariatTinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatDarah seorang Muslim lebih mulia dari duniaSikap seorang Muslim yang benarJagalah darah dan kehormatan saudaramuZaman modern melahirkan banyak bentuk hiburan dan kompetisi yang diklaim sebagai “olahraga”. Di antaranya adalah pertandingan tinju — dua orang saling memukul hingga salah satunya tersungkur atau bahkan terluka parah. Sebagian kaum Muslimin menganggapnya permainan yang sportif, bahkan menjadikannya sebagai tontonan rutin. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap tinju yang menyebabkan pertumpahan darah antara sesama Muslim?Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum Muslimin.” (HR. Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676)Hadis ini menjadi pondasi agung dalam menjaga kehormatan nyawa seorang Muslim. Darah seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga keadaan yang ditetapkan oleh syariat — bukan karena adu kekuatan, bukan karena olahraga, apalagi karena gengsi duniawi.Haramnya darah seorang MuslimDalam khotbah haji wada‘, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadapan para sahabat,فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah), dan negeri ini (Mekah).” (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 30)Perhatikan bagaimana Nabi membandingkan kehormatan darah seorang Muslim dengan kesucian kota Mekah. Seolah beliau berkata, “Sebagaimana kalian tidak boleh menumpahkan darah di tanah haram, begitu pula kalian tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim di mana pun.”Maka, menyakiti, memukul, atau melukai tubuh seorang Muslim tanpa hak adalah dosa besar, meskipun dilakukan atas dasar “olahraga” atau “latihan”.Antara hiburan dan pelanggaran syariatDalam tinju profesional, dua orang saling berhadapan dengan tujuan menjatuhkan dan melumpuhkan lawan. Kemenangan ditentukan bukan oleh kecerdasan, ketangkasan, atau strategi semata, tetapi oleh kemampuan melukai lawan. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)Bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman tega memukul wajah saudaranya sendiri, padahal Nabi bersabda,إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ“Apabila salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka hendaklah ia menghindari (memukul) wajah.” (HR. Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)Dalam hadis ini Nabi melarang keras memukul wajah — bahkan dalam pertikaian spontan — karena wajah adalah tempat kehormatan manusia. Maka lebih terlarang lagi jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja, diatur, dan menjadi tontonan publik.Tinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatIslam tidak menolak olahraga. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk kuat dan terlatih secara fisik. Beliau bersabda,الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, 8: 260.)Namun, kekuatan yang dicintai Allah bukanlah kekuatan yang diperoleh dengan menyakiti atau menzalimi orang lain. Islam hanya membenarkan olahraga yang:Melatih tubuh tanpa merusak anggota badan,Tidak menampakkan aurat,Tidak menimbulkan permusuhan,Tidak mengandung unsur haram seperti taruhan dan penganiayaan.Tinju modern gagal memenuhi semua kriteria ini:Ia menjadikan luka dan darah sebagai bagian dari permainan,Mempertontonkan aurat dan kehinaan,Menyulut ego, permusuhan, dan kebanggaan jahiliah.Oleh karena itu, para ulama seperti Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh [1] dan Syekh Ibnu Baz rahimahumallah [2] menjelaskan bahwa tinju (boxing) termasuk olahraga yang diharamkan, karena mengandung unsur bahaya fisik, pelanggaran kehormatan, dan penumpahan darah tanpa hak.Darah seorang Muslim lebih mulia dari duniaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, dikatakan shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram, no. 439)Jika membunuh seorang Muslim lebih berat dosanya daripada hancurnya dunia, maka melukai dan menumpahkan darahnya tanpa hak pun termasuk dosa besar, meski tidak sampai menyebabkan kematian. Para ulama menjelaskan bahwa menyakiti seorang Muslim, bahkan sekadar menamparnya tanpa sebab yang benar, sudah termasuk kezaliman.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64)Jika hanya mencaci saja sudah termasuk dosa besar, maka memukul dan menumpahkan darah saudaranya tentu lebih berat lagi dosanya.Sikap seorang Muslim yang benarBagaimana jika seseorang diajak bertinju di atas ring?Seorang Muslim yang memahami agamanya akan menjawab dengan lembut namun tegas, “Aku tidak akan memukul saudaraku hanya demi hiburan. Rasulullah telah mengharamkan darah sesama Muslim.”Menolak tantangan semacam itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti keteguhan iman dan ketinggian akhlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“Bukanlah orang kuat itu yang mampu mengalahkan orang lain dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 6114, Muslim no. 2609)Kekuatan sejati bukan diukur dari pukulan atau kecepatan tinju, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri dan menahan emosi. Itulah kekuatan yang Allah cintai dan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang jahiliah.Jagalah darah dan kehormatan saudaramu Tinju mungkin tampak sebagai olahraga di mata manusia, tetapi sejatinya ia mengandung kekerasan dan keburukan yang bertentangan dengan ruh Islam. Menyakiti sesama demi gengsi, hiburan, atau kemenangan hanyalah menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kendali diri. Islam tidak memuliakan tangan yang memukul, melainkan hati yang mampu menahan amarah dan menjaga kehormatan saudaranya.Lebih mulia bagi seorang Muslim untuk menolak ajakan bertarung dan memilih menjaga diri serta saudaranya dari bahaya. Menahan tangan dari menyakiti orang lain adalah tanda kekuatan iman dan kematangan jiwa. Orang yang mampu menundukkan egonya dan menolak kekerasan sesungguhnya lebih gagah daripada mereka yang menang di atas ring.Hidup seorang Muslim adalah untuk menebar rahmat, bukan menoreh luka. Kekuatan sejati bukan pada kerasnya pukulan, tetapi pada lembutnya hati yang menjaga persaudaraan. Maka, jadilah hamba yang memelihara darah dan kehormatan saudaranya, karena di situlah letak kemuliaan yang sejati.Wallahu a‘lam bish-shawâb.Baca juga: Agar Olahraga Bernilai Ibadah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] “Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” (Ensiklopedia Fikih / Ad-Durar as-Sunniyyah), Bab “الفَصْل الثَّامِنُ: المُلاَكَمَةُ”[2] Majmû‘ Fatawa wa Maqâlât Mutanawwi‘ah Ibn Baz, hal. 393.

Tinju dan Harga Darah Seorang Muslim

Daftar Isi ToggleHaramnya darah seorang MuslimAntara hiburan dan pelanggaran syariatTinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatDarah seorang Muslim lebih mulia dari duniaSikap seorang Muslim yang benarJagalah darah dan kehormatan saudaramuZaman modern melahirkan banyak bentuk hiburan dan kompetisi yang diklaim sebagai “olahraga”. Di antaranya adalah pertandingan tinju — dua orang saling memukul hingga salah satunya tersungkur atau bahkan terluka parah. Sebagian kaum Muslimin menganggapnya permainan yang sportif, bahkan menjadikannya sebagai tontonan rutin. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap tinju yang menyebabkan pertumpahan darah antara sesama Muslim?Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum Muslimin.” (HR. Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676)Hadis ini menjadi pondasi agung dalam menjaga kehormatan nyawa seorang Muslim. Darah seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga keadaan yang ditetapkan oleh syariat — bukan karena adu kekuatan, bukan karena olahraga, apalagi karena gengsi duniawi.Haramnya darah seorang MuslimDalam khotbah haji wada‘, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadapan para sahabat,فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah), dan negeri ini (Mekah).” (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 30)Perhatikan bagaimana Nabi membandingkan kehormatan darah seorang Muslim dengan kesucian kota Mekah. Seolah beliau berkata, “Sebagaimana kalian tidak boleh menumpahkan darah di tanah haram, begitu pula kalian tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim di mana pun.”Maka, menyakiti, memukul, atau melukai tubuh seorang Muslim tanpa hak adalah dosa besar, meskipun dilakukan atas dasar “olahraga” atau “latihan”.Antara hiburan dan pelanggaran syariatDalam tinju profesional, dua orang saling berhadapan dengan tujuan menjatuhkan dan melumpuhkan lawan. Kemenangan ditentukan bukan oleh kecerdasan, ketangkasan, atau strategi semata, tetapi oleh kemampuan melukai lawan. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)Bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman tega memukul wajah saudaranya sendiri, padahal Nabi bersabda,إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ“Apabila salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka hendaklah ia menghindari (memukul) wajah.” (HR. Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)Dalam hadis ini Nabi melarang keras memukul wajah — bahkan dalam pertikaian spontan — karena wajah adalah tempat kehormatan manusia. Maka lebih terlarang lagi jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja, diatur, dan menjadi tontonan publik.Tinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatIslam tidak menolak olahraga. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk kuat dan terlatih secara fisik. Beliau bersabda,الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, 8: 260.)Namun, kekuatan yang dicintai Allah bukanlah kekuatan yang diperoleh dengan menyakiti atau menzalimi orang lain. Islam hanya membenarkan olahraga yang:Melatih tubuh tanpa merusak anggota badan,Tidak menampakkan aurat,Tidak menimbulkan permusuhan,Tidak mengandung unsur haram seperti taruhan dan penganiayaan.Tinju modern gagal memenuhi semua kriteria ini:Ia menjadikan luka dan darah sebagai bagian dari permainan,Mempertontonkan aurat dan kehinaan,Menyulut ego, permusuhan, dan kebanggaan jahiliah.Oleh karena itu, para ulama seperti Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh [1] dan Syekh Ibnu Baz rahimahumallah [2] menjelaskan bahwa tinju (boxing) termasuk olahraga yang diharamkan, karena mengandung unsur bahaya fisik, pelanggaran kehormatan, dan penumpahan darah tanpa hak.Darah seorang Muslim lebih mulia dari duniaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, dikatakan shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram, no. 439)Jika membunuh seorang Muslim lebih berat dosanya daripada hancurnya dunia, maka melukai dan menumpahkan darahnya tanpa hak pun termasuk dosa besar, meski tidak sampai menyebabkan kematian. Para ulama menjelaskan bahwa menyakiti seorang Muslim, bahkan sekadar menamparnya tanpa sebab yang benar, sudah termasuk kezaliman.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64)Jika hanya mencaci saja sudah termasuk dosa besar, maka memukul dan menumpahkan darah saudaranya tentu lebih berat lagi dosanya.Sikap seorang Muslim yang benarBagaimana jika seseorang diajak bertinju di atas ring?Seorang Muslim yang memahami agamanya akan menjawab dengan lembut namun tegas, “Aku tidak akan memukul saudaraku hanya demi hiburan. Rasulullah telah mengharamkan darah sesama Muslim.”Menolak tantangan semacam itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti keteguhan iman dan ketinggian akhlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“Bukanlah orang kuat itu yang mampu mengalahkan orang lain dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 6114, Muslim no. 2609)Kekuatan sejati bukan diukur dari pukulan atau kecepatan tinju, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri dan menahan emosi. Itulah kekuatan yang Allah cintai dan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang jahiliah.Jagalah darah dan kehormatan saudaramu Tinju mungkin tampak sebagai olahraga di mata manusia, tetapi sejatinya ia mengandung kekerasan dan keburukan yang bertentangan dengan ruh Islam. Menyakiti sesama demi gengsi, hiburan, atau kemenangan hanyalah menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kendali diri. Islam tidak memuliakan tangan yang memukul, melainkan hati yang mampu menahan amarah dan menjaga kehormatan saudaranya.Lebih mulia bagi seorang Muslim untuk menolak ajakan bertarung dan memilih menjaga diri serta saudaranya dari bahaya. Menahan tangan dari menyakiti orang lain adalah tanda kekuatan iman dan kematangan jiwa. Orang yang mampu menundukkan egonya dan menolak kekerasan sesungguhnya lebih gagah daripada mereka yang menang di atas ring.Hidup seorang Muslim adalah untuk menebar rahmat, bukan menoreh luka. Kekuatan sejati bukan pada kerasnya pukulan, tetapi pada lembutnya hati yang menjaga persaudaraan. Maka, jadilah hamba yang memelihara darah dan kehormatan saudaranya, karena di situlah letak kemuliaan yang sejati.Wallahu a‘lam bish-shawâb.Baca juga: Agar Olahraga Bernilai Ibadah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] “Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” (Ensiklopedia Fikih / Ad-Durar as-Sunniyyah), Bab “الفَصْل الثَّامِنُ: المُلاَكَمَةُ”[2] Majmû‘ Fatawa wa Maqâlât Mutanawwi‘ah Ibn Baz, hal. 393.
Daftar Isi ToggleHaramnya darah seorang MuslimAntara hiburan dan pelanggaran syariatTinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatDarah seorang Muslim lebih mulia dari duniaSikap seorang Muslim yang benarJagalah darah dan kehormatan saudaramuZaman modern melahirkan banyak bentuk hiburan dan kompetisi yang diklaim sebagai “olahraga”. Di antaranya adalah pertandingan tinju — dua orang saling memukul hingga salah satunya tersungkur atau bahkan terluka parah. Sebagian kaum Muslimin menganggapnya permainan yang sportif, bahkan menjadikannya sebagai tontonan rutin. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap tinju yang menyebabkan pertumpahan darah antara sesama Muslim?Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum Muslimin.” (HR. Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676)Hadis ini menjadi pondasi agung dalam menjaga kehormatan nyawa seorang Muslim. Darah seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga keadaan yang ditetapkan oleh syariat — bukan karena adu kekuatan, bukan karena olahraga, apalagi karena gengsi duniawi.Haramnya darah seorang MuslimDalam khotbah haji wada‘, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadapan para sahabat,فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah), dan negeri ini (Mekah).” (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 30)Perhatikan bagaimana Nabi membandingkan kehormatan darah seorang Muslim dengan kesucian kota Mekah. Seolah beliau berkata, “Sebagaimana kalian tidak boleh menumpahkan darah di tanah haram, begitu pula kalian tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim di mana pun.”Maka, menyakiti, memukul, atau melukai tubuh seorang Muslim tanpa hak adalah dosa besar, meskipun dilakukan atas dasar “olahraga” atau “latihan”.Antara hiburan dan pelanggaran syariatDalam tinju profesional, dua orang saling berhadapan dengan tujuan menjatuhkan dan melumpuhkan lawan. Kemenangan ditentukan bukan oleh kecerdasan, ketangkasan, atau strategi semata, tetapi oleh kemampuan melukai lawan. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)Bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman tega memukul wajah saudaranya sendiri, padahal Nabi bersabda,إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ“Apabila salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka hendaklah ia menghindari (memukul) wajah.” (HR. Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)Dalam hadis ini Nabi melarang keras memukul wajah — bahkan dalam pertikaian spontan — karena wajah adalah tempat kehormatan manusia. Maka lebih terlarang lagi jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja, diatur, dan menjadi tontonan publik.Tinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatIslam tidak menolak olahraga. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk kuat dan terlatih secara fisik. Beliau bersabda,الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, 8: 260.)Namun, kekuatan yang dicintai Allah bukanlah kekuatan yang diperoleh dengan menyakiti atau menzalimi orang lain. Islam hanya membenarkan olahraga yang:Melatih tubuh tanpa merusak anggota badan,Tidak menampakkan aurat,Tidak menimbulkan permusuhan,Tidak mengandung unsur haram seperti taruhan dan penganiayaan.Tinju modern gagal memenuhi semua kriteria ini:Ia menjadikan luka dan darah sebagai bagian dari permainan,Mempertontonkan aurat dan kehinaan,Menyulut ego, permusuhan, dan kebanggaan jahiliah.Oleh karena itu, para ulama seperti Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh [1] dan Syekh Ibnu Baz rahimahumallah [2] menjelaskan bahwa tinju (boxing) termasuk olahraga yang diharamkan, karena mengandung unsur bahaya fisik, pelanggaran kehormatan, dan penumpahan darah tanpa hak.Darah seorang Muslim lebih mulia dari duniaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, dikatakan shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram, no. 439)Jika membunuh seorang Muslim lebih berat dosanya daripada hancurnya dunia, maka melukai dan menumpahkan darahnya tanpa hak pun termasuk dosa besar, meski tidak sampai menyebabkan kematian. Para ulama menjelaskan bahwa menyakiti seorang Muslim, bahkan sekadar menamparnya tanpa sebab yang benar, sudah termasuk kezaliman.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64)Jika hanya mencaci saja sudah termasuk dosa besar, maka memukul dan menumpahkan darah saudaranya tentu lebih berat lagi dosanya.Sikap seorang Muslim yang benarBagaimana jika seseorang diajak bertinju di atas ring?Seorang Muslim yang memahami agamanya akan menjawab dengan lembut namun tegas, “Aku tidak akan memukul saudaraku hanya demi hiburan. Rasulullah telah mengharamkan darah sesama Muslim.”Menolak tantangan semacam itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti keteguhan iman dan ketinggian akhlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“Bukanlah orang kuat itu yang mampu mengalahkan orang lain dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 6114, Muslim no. 2609)Kekuatan sejati bukan diukur dari pukulan atau kecepatan tinju, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri dan menahan emosi. Itulah kekuatan yang Allah cintai dan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang jahiliah.Jagalah darah dan kehormatan saudaramu Tinju mungkin tampak sebagai olahraga di mata manusia, tetapi sejatinya ia mengandung kekerasan dan keburukan yang bertentangan dengan ruh Islam. Menyakiti sesama demi gengsi, hiburan, atau kemenangan hanyalah menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kendali diri. Islam tidak memuliakan tangan yang memukul, melainkan hati yang mampu menahan amarah dan menjaga kehormatan saudaranya.Lebih mulia bagi seorang Muslim untuk menolak ajakan bertarung dan memilih menjaga diri serta saudaranya dari bahaya. Menahan tangan dari menyakiti orang lain adalah tanda kekuatan iman dan kematangan jiwa. Orang yang mampu menundukkan egonya dan menolak kekerasan sesungguhnya lebih gagah daripada mereka yang menang di atas ring.Hidup seorang Muslim adalah untuk menebar rahmat, bukan menoreh luka. Kekuatan sejati bukan pada kerasnya pukulan, tetapi pada lembutnya hati yang menjaga persaudaraan. Maka, jadilah hamba yang memelihara darah dan kehormatan saudaranya, karena di situlah letak kemuliaan yang sejati.Wallahu a‘lam bish-shawâb.Baca juga: Agar Olahraga Bernilai Ibadah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] “Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” (Ensiklopedia Fikih / Ad-Durar as-Sunniyyah), Bab “الفَصْل الثَّامِنُ: المُلاَكَمَةُ”[2] Majmû‘ Fatawa wa Maqâlât Mutanawwi‘ah Ibn Baz, hal. 393.


Daftar Isi ToggleHaramnya darah seorang MuslimAntara hiburan dan pelanggaran syariatTinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatDarah seorang Muslim lebih mulia dari duniaSikap seorang Muslim yang benarJagalah darah dan kehormatan saudaramuZaman modern melahirkan banyak bentuk hiburan dan kompetisi yang diklaim sebagai “olahraga”. Di antaranya adalah pertandingan tinju — dua orang saling memukul hingga salah satunya tersungkur atau bahkan terluka parah. Sebagian kaum Muslimin menganggapnya permainan yang sportif, bahkan menjadikannya sebagai tontonan rutin. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap tinju yang menyebabkan pertumpahan darah antara sesama Muslim?Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ“Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum Muslimin.” (HR. Bukhari no. 6878, Muslim no. 1676)Hadis ini menjadi pondasi agung dalam menjaga kehormatan nyawa seorang Muslim. Darah seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan kecuali dalam tiga keadaan yang ditetapkan oleh syariat — bukan karena adu kekuatan, bukan karena olahraga, apalagi karena gengsi duniawi.Haramnya darah seorang MuslimDalam khotbah haji wada‘, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hadapan para sahabat,فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah), dan negeri ini (Mekah).” (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 30)Perhatikan bagaimana Nabi membandingkan kehormatan darah seorang Muslim dengan kesucian kota Mekah. Seolah beliau berkata, “Sebagaimana kalian tidak boleh menumpahkan darah di tanah haram, begitu pula kalian tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim di mana pun.”Maka, menyakiti, memukul, atau melukai tubuh seorang Muslim tanpa hak adalah dosa besar, meskipun dilakukan atas dasar “olahraga” atau “latihan”.Antara hiburan dan pelanggaran syariatDalam tinju profesional, dua orang saling berhadapan dengan tujuan menjatuhkan dan melumpuhkan lawan. Kemenangan ditentukan bukan oleh kecerdasan, ketangkasan, atau strategi semata, tetapi oleh kemampuan melukai lawan. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)Bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman tega memukul wajah saudaranya sendiri, padahal Nabi bersabda,إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ“Apabila salah seorang di antara kalian berkelahi dengan saudaranya, maka hendaklah ia menghindari (memukul) wajah.” (HR. Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)Dalam hadis ini Nabi melarang keras memukul wajah — bahkan dalam pertikaian spontan — karena wajah adalah tempat kehormatan manusia. Maka lebih terlarang lagi jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja, diatur, dan menjadi tontonan publik.Tinju bukan olahraga yang dibenarkan syariatIslam tidak menolak olahraga. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk kuat dan terlatih secara fisik. Beliau bersabda,الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, 8: 260.)Namun, kekuatan yang dicintai Allah bukanlah kekuatan yang diperoleh dengan menyakiti atau menzalimi orang lain. Islam hanya membenarkan olahraga yang:Melatih tubuh tanpa merusak anggota badan,Tidak menampakkan aurat,Tidak menimbulkan permusuhan,Tidak mengandung unsur haram seperti taruhan dan penganiayaan.Tinju modern gagal memenuhi semua kriteria ini:Ia menjadikan luka dan darah sebagai bagian dari permainan,Mempertontonkan aurat dan kehinaan,Menyulut ego, permusuhan, dan kebanggaan jahiliah.Oleh karena itu, para ulama seperti Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh [1] dan Syekh Ibnu Baz rahimahumallah [2] menjelaskan bahwa tinju (boxing) termasuk olahraga yang diharamkan, karena mengandung unsur bahaya fisik, pelanggaran kehormatan, dan penumpahan darah tanpa hak.Darah seorang Muslim lebih mulia dari duniaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, dikatakan shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram, no. 439)Jika membunuh seorang Muslim lebih berat dosanya daripada hancurnya dunia, maka melukai dan menumpahkan darahnya tanpa hak pun termasuk dosa besar, meski tidak sampai menyebabkan kematian. Para ulama menjelaskan bahwa menyakiti seorang Muslim, bahkan sekadar menamparnya tanpa sebab yang benar, sudah termasuk kezaliman.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64)Jika hanya mencaci saja sudah termasuk dosa besar, maka memukul dan menumpahkan darah saudaranya tentu lebih berat lagi dosanya.Sikap seorang Muslim yang benarBagaimana jika seseorang diajak bertinju di atas ring?Seorang Muslim yang memahami agamanya akan menjawab dengan lembut namun tegas, “Aku tidak akan memukul saudaraku hanya demi hiburan. Rasulullah telah mengharamkan darah sesama Muslim.”Menolak tantangan semacam itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti keteguhan iman dan ketinggian akhlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“Bukanlah orang kuat itu yang mampu mengalahkan orang lain dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 6114, Muslim no. 2609)Kekuatan sejati bukan diukur dari pukulan atau kecepatan tinju, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri dan menahan emosi. Itulah kekuatan yang Allah cintai dan yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang jahiliah.Jagalah darah dan kehormatan saudaramu Tinju mungkin tampak sebagai olahraga di mata manusia, tetapi sejatinya ia mengandung kekerasan dan keburukan yang bertentangan dengan ruh Islam. Menyakiti sesama demi gengsi, hiburan, atau kemenangan hanyalah menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kendali diri. Islam tidak memuliakan tangan yang memukul, melainkan hati yang mampu menahan amarah dan menjaga kehormatan saudaranya.Lebih mulia bagi seorang Muslim untuk menolak ajakan bertarung dan memilih menjaga diri serta saudaranya dari bahaya. Menahan tangan dari menyakiti orang lain adalah tanda kekuatan iman dan kematangan jiwa. Orang yang mampu menundukkan egonya dan menolak kekerasan sesungguhnya lebih gagah daripada mereka yang menang di atas ring.Hidup seorang Muslim adalah untuk menebar rahmat, bukan menoreh luka. Kekuatan sejati bukan pada kerasnya pukulan, tetapi pada lembutnya hati yang menjaga persaudaraan. Maka, jadilah hamba yang memelihara darah dan kehormatan saudaranya, karena di situlah letak kemuliaan yang sejati.Wallahu a‘lam bish-shawâb.Baca juga: Agar Olahraga Bernilai Ibadah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] “Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” (Ensiklopedia Fikih / Ad-Durar as-Sunniyyah), Bab “الفَصْل الثَّامِنُ: المُلاَكَمَةُ”[2] Majmû‘ Fatawa wa Maqâlât Mutanawwi‘ah Ibn Baz, hal. 393.

Fikih Hadiah (Bag. 1): Hukum Memberikan Hadiah kepada Orang Kafir

Daftar Isi TogglePendahuluanBatasan muamalah dengan non-MuslimPraktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniKetentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramTidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamTidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamKesimpulanPendahuluanPada serial sebelumnya, telah kita bahas tentang fikih hibah berikut rambu-rambu dan permasalahan fikih seputarnya. Hanya saja masih tersisa beberapa pembahasan yang belum kita bahas di dalamnya. Pada serial Fikih Hadiah ini, penulis sengaja memisahkan beberapa permasalahan seputar hibah/hadiah yang menurut pandangan masyarakat awam lebih erat dengan istilah “hadiah” daripada “hibah”; meskipun pada kenyataanya, dalam pandangan Islam, keduanya merupakan istilah yang merujuk pada makna yang sama.Memberi hadiah (هدية / هبة) adalah akhlak mulia dalam Islam. Namun ketika penerima adalah non-Muslim atau “kafir” dalam istilah fikih, muncul pertanyaan: apakah halal memberikan hadiah kepada mereka? Bagaimana kalau pemberian itu berisiko memperkuat pihak yang memusuhi umat Islam, atau dimaksudkan untuk ikut merayakan hari ibadah mereka? Para ulama membahas masalah ini dengan memperhatikan dalil Al-Qur’an dan hadis, maqāṣid, serta realitas sosial dan niat pemberi. Untuk menegaskan jawaban yang tepat, perlu dibedakan konteks dan syarat-syaratnya. Batasan muamalah dengan non-MuslimMemberi hadiah termasuk salah satu bentuk muamalah. Oleh karenanya, di dalam membahas permasalahan ini, perlu kita kembalikan kepada hukum asal muamalah dengan non-Muslim. Ayat yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah Ta’ala,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak melarang perbuatan baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir umat Islam dari kampung halaman. Sehingga memberi kebaikan, termasuk di antaranya adalah hadiah yang halal, diperbolehkan dalam kondisi tersebut. Praktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniAbdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,رَأَى عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ المَسْجِدِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَهَا، فَلَبِسْتَهَا يَومَ الجُمُعَةِ ولِلْوَفْدِ، قالَ: إنَّما يَلْبَسُهَا مَن لا خَلَاقَ له في الآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ حُلَلٌ، فأعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُمَرَ منها حُلَّةً ، وقالَ: أكَسَوْتَنِيهَا، وقُلْتَ في حُلَّةِ عُطَارِدٍ ما قُلْتَ؟ فَقالَ: إنِّي لَمْ أكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا له بمَكَّةَ مُشْرِكًا“Umar bin Khattab pernah melihat kain campuran sutera di jual dekat pintu masjid, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika anda membelinya kemudian anda kenakan pada hari Jumat, dan untuk menyambut delegasi yang datang kepada anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa pakaian yang di antaranya terbuat dari sutera, kemudian beliau berikan kain sutera itu kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, anda memakaikannya kepadaku, padahal anda telah mengatakannya kepadaku tentang status pakaian ‘Utharid tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku memberikan itu bukan bermaksud untuk kamu pakai.” Maka Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih Musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari no. 2612)An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (14: 38), “Dan diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memberikan pakaian dan lainnya kepada orang musyrik.”Dalil yang menguatkan juga perbuatan Umar bin Khattab adalah ijma’ sukuti (konsensus diam-diam): di mana tidak ada sahabat lainnya yang mengingkari tindakan yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut.Ketentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramHadiah yang diberikan harus berupa barang atau hal yang diperbolehkan syariat (makanan halal, benda bukan najis, dan sebagainya). Tidak boleh memberi sesuatu yang haram seperti minuman khamr, daging haram, atau benda yang mendorong kemaksiatan seperti alat musik. Para ulama menegaskan: apa yang haram bagi Muslim juga tidak boleh diberikan sebagai hadiah kepada non-Muslim. Karena hukum asalnya, mereka juga dilarang menggunakan benda-benda tersebut.Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa orang kafir juga terkena kewajiban syariat. Sehingga meskipun mereka menganggap hal-hal tersebut halal bagi mereka, sejatinya di akhirat nanti mereka akan bertanggung jawab dengan dosanya. Hal ini karena pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ؛ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-47)Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan keadaan penduduk neraka. Sebab mereka masuk neraka adalah “mendustakan hari pembalasan”, dan ini termasuk sebab kekafiran seseorang.Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun mereka tidak beragama Islam, di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas salat yang tidak mereka kerjakan; atas kemaksiatan yang mereka lakukan; dan atas hal-hal yang Allah haramkan, lalu tidak mereka pedulikan.Di dalam memberikan hadiah kepada orang-orang kafir, kita juga harus melihat kehalalan hadiah tersebut, bukan atas anggapan mereka, akan tetapi berdasarkan apa yang telah menjadi ketetapan Allah kepada seluruh manusia.Di ayat yang lainnya, Allah dengan jelas menyebutkan bahwa perintah Allah Ta’ala untuk beribadah bersifat umum kepada semua jenis manusia. Tanpa ada pengecualian satupun. Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)Tidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamJika penerima adalah orang atau kelompok yang sedang memerangi umat Islam atau menggunakan pemberian untuk memperkuat posisi melawan Muslim (misal pendanaan untuk kegiatan permusuhan), maka memberi adalah terlarang dan berbahaya. Kebolehan dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 bersifat spesifik untuk yang tidak memerangi atau mengusir. Seorang Muslim perlu membedakan antara non-Muslim yang damai dan yang memusuhi. Tidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Mayoritas ulama memperingatkan kita untuk berhati-hati agar jangan sampai memberi hadiah yang membuat kita ikut serta dan berpartisipasi mendukung perayaan agama lain. Karena ini termasuk salah satu bentuk ta’awun dan saling membantu dalam perbuatan dosa yang telah Allah larang dalam firman-Nya,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqiim mengatakan, “Demikian juga, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim pada hari perayaan mereka untuk memberikan hadiah kepada mereka dalam rangka merayakan hari raya tersebut. Apalagi jika dimaksudkan untuk menyerupai mereka, seperti yang telah kami sebutkan (berbagi di hari Natal atau Thanksgiving, misalnya).” (Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim, 1: 227)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamJika niat pemberi adalah untuk menguatkan silaturahim, meredakan permusuhan, atau mendakwahkan dengan cara yang bijak (ta’lif al-qulub), maka memberi bisa bernilai positif. Ulama klasik dan kontemporer sependapat bahwa niat menjadi faktor penilai tindakan ini. KesimpulanSecara umum: diperbolehkan memberi hadiah kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, dengan syarat hadiah itu halal, tidak dipakai untuk memperkuat permusuhan terhadap umat Islam, dan tidak dimaksudkan sebagai partisipasi dalam ibadah (perayaan) agama mereka.Dalam situasi yang menyangkut keamanan, politik, atau dukungan terhadap praktik yang batil, maka memberi hadiah bisa menjadi haram atau tidak dianjurkan dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam bisshowaab.[Bersambung]Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hadiah (Bag. 1): Hukum Memberikan Hadiah kepada Orang Kafir

Daftar Isi TogglePendahuluanBatasan muamalah dengan non-MuslimPraktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniKetentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramTidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamTidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamKesimpulanPendahuluanPada serial sebelumnya, telah kita bahas tentang fikih hibah berikut rambu-rambu dan permasalahan fikih seputarnya. Hanya saja masih tersisa beberapa pembahasan yang belum kita bahas di dalamnya. Pada serial Fikih Hadiah ini, penulis sengaja memisahkan beberapa permasalahan seputar hibah/hadiah yang menurut pandangan masyarakat awam lebih erat dengan istilah “hadiah” daripada “hibah”; meskipun pada kenyataanya, dalam pandangan Islam, keduanya merupakan istilah yang merujuk pada makna yang sama.Memberi hadiah (هدية / هبة) adalah akhlak mulia dalam Islam. Namun ketika penerima adalah non-Muslim atau “kafir” dalam istilah fikih, muncul pertanyaan: apakah halal memberikan hadiah kepada mereka? Bagaimana kalau pemberian itu berisiko memperkuat pihak yang memusuhi umat Islam, atau dimaksudkan untuk ikut merayakan hari ibadah mereka? Para ulama membahas masalah ini dengan memperhatikan dalil Al-Qur’an dan hadis, maqāṣid, serta realitas sosial dan niat pemberi. Untuk menegaskan jawaban yang tepat, perlu dibedakan konteks dan syarat-syaratnya. Batasan muamalah dengan non-MuslimMemberi hadiah termasuk salah satu bentuk muamalah. Oleh karenanya, di dalam membahas permasalahan ini, perlu kita kembalikan kepada hukum asal muamalah dengan non-Muslim. Ayat yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah Ta’ala,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak melarang perbuatan baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir umat Islam dari kampung halaman. Sehingga memberi kebaikan, termasuk di antaranya adalah hadiah yang halal, diperbolehkan dalam kondisi tersebut. Praktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniAbdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,رَأَى عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ المَسْجِدِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَهَا، فَلَبِسْتَهَا يَومَ الجُمُعَةِ ولِلْوَفْدِ، قالَ: إنَّما يَلْبَسُهَا مَن لا خَلَاقَ له في الآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ حُلَلٌ، فأعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُمَرَ منها حُلَّةً ، وقالَ: أكَسَوْتَنِيهَا، وقُلْتَ في حُلَّةِ عُطَارِدٍ ما قُلْتَ؟ فَقالَ: إنِّي لَمْ أكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا له بمَكَّةَ مُشْرِكًا“Umar bin Khattab pernah melihat kain campuran sutera di jual dekat pintu masjid, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika anda membelinya kemudian anda kenakan pada hari Jumat, dan untuk menyambut delegasi yang datang kepada anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa pakaian yang di antaranya terbuat dari sutera, kemudian beliau berikan kain sutera itu kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, anda memakaikannya kepadaku, padahal anda telah mengatakannya kepadaku tentang status pakaian ‘Utharid tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku memberikan itu bukan bermaksud untuk kamu pakai.” Maka Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih Musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari no. 2612)An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (14: 38), “Dan diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memberikan pakaian dan lainnya kepada orang musyrik.”Dalil yang menguatkan juga perbuatan Umar bin Khattab adalah ijma’ sukuti (konsensus diam-diam): di mana tidak ada sahabat lainnya yang mengingkari tindakan yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut.Ketentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramHadiah yang diberikan harus berupa barang atau hal yang diperbolehkan syariat (makanan halal, benda bukan najis, dan sebagainya). Tidak boleh memberi sesuatu yang haram seperti minuman khamr, daging haram, atau benda yang mendorong kemaksiatan seperti alat musik. Para ulama menegaskan: apa yang haram bagi Muslim juga tidak boleh diberikan sebagai hadiah kepada non-Muslim. Karena hukum asalnya, mereka juga dilarang menggunakan benda-benda tersebut.Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa orang kafir juga terkena kewajiban syariat. Sehingga meskipun mereka menganggap hal-hal tersebut halal bagi mereka, sejatinya di akhirat nanti mereka akan bertanggung jawab dengan dosanya. Hal ini karena pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ؛ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-47)Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan keadaan penduduk neraka. Sebab mereka masuk neraka adalah “mendustakan hari pembalasan”, dan ini termasuk sebab kekafiran seseorang.Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun mereka tidak beragama Islam, di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas salat yang tidak mereka kerjakan; atas kemaksiatan yang mereka lakukan; dan atas hal-hal yang Allah haramkan, lalu tidak mereka pedulikan.Di dalam memberikan hadiah kepada orang-orang kafir, kita juga harus melihat kehalalan hadiah tersebut, bukan atas anggapan mereka, akan tetapi berdasarkan apa yang telah menjadi ketetapan Allah kepada seluruh manusia.Di ayat yang lainnya, Allah dengan jelas menyebutkan bahwa perintah Allah Ta’ala untuk beribadah bersifat umum kepada semua jenis manusia. Tanpa ada pengecualian satupun. Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)Tidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamJika penerima adalah orang atau kelompok yang sedang memerangi umat Islam atau menggunakan pemberian untuk memperkuat posisi melawan Muslim (misal pendanaan untuk kegiatan permusuhan), maka memberi adalah terlarang dan berbahaya. Kebolehan dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 bersifat spesifik untuk yang tidak memerangi atau mengusir. Seorang Muslim perlu membedakan antara non-Muslim yang damai dan yang memusuhi. Tidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Mayoritas ulama memperingatkan kita untuk berhati-hati agar jangan sampai memberi hadiah yang membuat kita ikut serta dan berpartisipasi mendukung perayaan agama lain. Karena ini termasuk salah satu bentuk ta’awun dan saling membantu dalam perbuatan dosa yang telah Allah larang dalam firman-Nya,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqiim mengatakan, “Demikian juga, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim pada hari perayaan mereka untuk memberikan hadiah kepada mereka dalam rangka merayakan hari raya tersebut. Apalagi jika dimaksudkan untuk menyerupai mereka, seperti yang telah kami sebutkan (berbagi di hari Natal atau Thanksgiving, misalnya).” (Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim, 1: 227)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamJika niat pemberi adalah untuk menguatkan silaturahim, meredakan permusuhan, atau mendakwahkan dengan cara yang bijak (ta’lif al-qulub), maka memberi bisa bernilai positif. Ulama klasik dan kontemporer sependapat bahwa niat menjadi faktor penilai tindakan ini. KesimpulanSecara umum: diperbolehkan memberi hadiah kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, dengan syarat hadiah itu halal, tidak dipakai untuk memperkuat permusuhan terhadap umat Islam, dan tidak dimaksudkan sebagai partisipasi dalam ibadah (perayaan) agama mereka.Dalam situasi yang menyangkut keamanan, politik, atau dukungan terhadap praktik yang batil, maka memberi hadiah bisa menjadi haram atau tidak dianjurkan dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam bisshowaab.[Bersambung]Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePendahuluanBatasan muamalah dengan non-MuslimPraktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniKetentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramTidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamTidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamKesimpulanPendahuluanPada serial sebelumnya, telah kita bahas tentang fikih hibah berikut rambu-rambu dan permasalahan fikih seputarnya. Hanya saja masih tersisa beberapa pembahasan yang belum kita bahas di dalamnya. Pada serial Fikih Hadiah ini, penulis sengaja memisahkan beberapa permasalahan seputar hibah/hadiah yang menurut pandangan masyarakat awam lebih erat dengan istilah “hadiah” daripada “hibah”; meskipun pada kenyataanya, dalam pandangan Islam, keduanya merupakan istilah yang merujuk pada makna yang sama.Memberi hadiah (هدية / هبة) adalah akhlak mulia dalam Islam. Namun ketika penerima adalah non-Muslim atau “kafir” dalam istilah fikih, muncul pertanyaan: apakah halal memberikan hadiah kepada mereka? Bagaimana kalau pemberian itu berisiko memperkuat pihak yang memusuhi umat Islam, atau dimaksudkan untuk ikut merayakan hari ibadah mereka? Para ulama membahas masalah ini dengan memperhatikan dalil Al-Qur’an dan hadis, maqāṣid, serta realitas sosial dan niat pemberi. Untuk menegaskan jawaban yang tepat, perlu dibedakan konteks dan syarat-syaratnya. Batasan muamalah dengan non-MuslimMemberi hadiah termasuk salah satu bentuk muamalah. Oleh karenanya, di dalam membahas permasalahan ini, perlu kita kembalikan kepada hukum asal muamalah dengan non-Muslim. Ayat yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah Ta’ala,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak melarang perbuatan baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir umat Islam dari kampung halaman. Sehingga memberi kebaikan, termasuk di antaranya adalah hadiah yang halal, diperbolehkan dalam kondisi tersebut. Praktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniAbdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,رَأَى عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ المَسْجِدِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَهَا، فَلَبِسْتَهَا يَومَ الجُمُعَةِ ولِلْوَفْدِ، قالَ: إنَّما يَلْبَسُهَا مَن لا خَلَاقَ له في الآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ حُلَلٌ، فأعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُمَرَ منها حُلَّةً ، وقالَ: أكَسَوْتَنِيهَا، وقُلْتَ في حُلَّةِ عُطَارِدٍ ما قُلْتَ؟ فَقالَ: إنِّي لَمْ أكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا له بمَكَّةَ مُشْرِكًا“Umar bin Khattab pernah melihat kain campuran sutera di jual dekat pintu masjid, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika anda membelinya kemudian anda kenakan pada hari Jumat, dan untuk menyambut delegasi yang datang kepada anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa pakaian yang di antaranya terbuat dari sutera, kemudian beliau berikan kain sutera itu kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, anda memakaikannya kepadaku, padahal anda telah mengatakannya kepadaku tentang status pakaian ‘Utharid tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku memberikan itu bukan bermaksud untuk kamu pakai.” Maka Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih Musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari no. 2612)An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (14: 38), “Dan diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memberikan pakaian dan lainnya kepada orang musyrik.”Dalil yang menguatkan juga perbuatan Umar bin Khattab adalah ijma’ sukuti (konsensus diam-diam): di mana tidak ada sahabat lainnya yang mengingkari tindakan yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut.Ketentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramHadiah yang diberikan harus berupa barang atau hal yang diperbolehkan syariat (makanan halal, benda bukan najis, dan sebagainya). Tidak boleh memberi sesuatu yang haram seperti minuman khamr, daging haram, atau benda yang mendorong kemaksiatan seperti alat musik. Para ulama menegaskan: apa yang haram bagi Muslim juga tidak boleh diberikan sebagai hadiah kepada non-Muslim. Karena hukum asalnya, mereka juga dilarang menggunakan benda-benda tersebut.Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa orang kafir juga terkena kewajiban syariat. Sehingga meskipun mereka menganggap hal-hal tersebut halal bagi mereka, sejatinya di akhirat nanti mereka akan bertanggung jawab dengan dosanya. Hal ini karena pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ؛ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-47)Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan keadaan penduduk neraka. Sebab mereka masuk neraka adalah “mendustakan hari pembalasan”, dan ini termasuk sebab kekafiran seseorang.Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun mereka tidak beragama Islam, di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas salat yang tidak mereka kerjakan; atas kemaksiatan yang mereka lakukan; dan atas hal-hal yang Allah haramkan, lalu tidak mereka pedulikan.Di dalam memberikan hadiah kepada orang-orang kafir, kita juga harus melihat kehalalan hadiah tersebut, bukan atas anggapan mereka, akan tetapi berdasarkan apa yang telah menjadi ketetapan Allah kepada seluruh manusia.Di ayat yang lainnya, Allah dengan jelas menyebutkan bahwa perintah Allah Ta’ala untuk beribadah bersifat umum kepada semua jenis manusia. Tanpa ada pengecualian satupun. Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)Tidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamJika penerima adalah orang atau kelompok yang sedang memerangi umat Islam atau menggunakan pemberian untuk memperkuat posisi melawan Muslim (misal pendanaan untuk kegiatan permusuhan), maka memberi adalah terlarang dan berbahaya. Kebolehan dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 bersifat spesifik untuk yang tidak memerangi atau mengusir. Seorang Muslim perlu membedakan antara non-Muslim yang damai dan yang memusuhi. Tidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Mayoritas ulama memperingatkan kita untuk berhati-hati agar jangan sampai memberi hadiah yang membuat kita ikut serta dan berpartisipasi mendukung perayaan agama lain. Karena ini termasuk salah satu bentuk ta’awun dan saling membantu dalam perbuatan dosa yang telah Allah larang dalam firman-Nya,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqiim mengatakan, “Demikian juga, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim pada hari perayaan mereka untuk memberikan hadiah kepada mereka dalam rangka merayakan hari raya tersebut. Apalagi jika dimaksudkan untuk menyerupai mereka, seperti yang telah kami sebutkan (berbagi di hari Natal atau Thanksgiving, misalnya).” (Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim, 1: 227)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamJika niat pemberi adalah untuk menguatkan silaturahim, meredakan permusuhan, atau mendakwahkan dengan cara yang bijak (ta’lif al-qulub), maka memberi bisa bernilai positif. Ulama klasik dan kontemporer sependapat bahwa niat menjadi faktor penilai tindakan ini. KesimpulanSecara umum: diperbolehkan memberi hadiah kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, dengan syarat hadiah itu halal, tidak dipakai untuk memperkuat permusuhan terhadap umat Islam, dan tidak dimaksudkan sebagai partisipasi dalam ibadah (perayaan) agama mereka.Dalam situasi yang menyangkut keamanan, politik, atau dukungan terhadap praktik yang batil, maka memberi hadiah bisa menjadi haram atau tidak dianjurkan dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam bisshowaab.[Bersambung]Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePendahuluanBatasan muamalah dengan non-MuslimPraktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniKetentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramTidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamTidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamKesimpulanPendahuluanPada serial sebelumnya, telah kita bahas tentang fikih hibah berikut rambu-rambu dan permasalahan fikih seputarnya. Hanya saja masih tersisa beberapa pembahasan yang belum kita bahas di dalamnya. Pada serial Fikih Hadiah ini, penulis sengaja memisahkan beberapa permasalahan seputar hibah/hadiah yang menurut pandangan masyarakat awam lebih erat dengan istilah “hadiah” daripada “hibah”; meskipun pada kenyataanya, dalam pandangan Islam, keduanya merupakan istilah yang merujuk pada makna yang sama.Memberi hadiah (هدية / هبة) adalah akhlak mulia dalam Islam. Namun ketika penerima adalah non-Muslim atau “kafir” dalam istilah fikih, muncul pertanyaan: apakah halal memberikan hadiah kepada mereka? Bagaimana kalau pemberian itu berisiko memperkuat pihak yang memusuhi umat Islam, atau dimaksudkan untuk ikut merayakan hari ibadah mereka? Para ulama membahas masalah ini dengan memperhatikan dalil Al-Qur’an dan hadis, maqāṣid, serta realitas sosial dan niat pemberi. Untuk menegaskan jawaban yang tepat, perlu dibedakan konteks dan syarat-syaratnya. Batasan muamalah dengan non-MuslimMemberi hadiah termasuk salah satu bentuk muamalah. Oleh karenanya, di dalam membahas permasalahan ini, perlu kita kembalikan kepada hukum asal muamalah dengan non-Muslim. Ayat yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah Ta’ala,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak melarang perbuatan baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir umat Islam dari kampung halaman. Sehingga memberi kebaikan, termasuk di antaranya adalah hadiah yang halal, diperbolehkan dalam kondisi tersebut. Praktik sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu dalam hal iniAbdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,رَأَى عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ المَسْجِدِ، فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَهَا، فَلَبِسْتَهَا يَومَ الجُمُعَةِ ولِلْوَفْدِ، قالَ: إنَّما يَلْبَسُهَا مَن لا خَلَاقَ له في الآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ حُلَلٌ، فأعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُمَرَ منها حُلَّةً ، وقالَ: أكَسَوْتَنِيهَا، وقُلْتَ في حُلَّةِ عُطَارِدٍ ما قُلْتَ؟ فَقالَ: إنِّي لَمْ أكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا له بمَكَّةَ مُشْرِكًا“Umar bin Khattab pernah melihat kain campuran sutera di jual dekat pintu masjid, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika anda membelinya kemudian anda kenakan pada hari Jumat, dan untuk menyambut delegasi yang datang kepada anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi beberapa pakaian yang di antaranya terbuat dari sutera, kemudian beliau berikan kain sutera itu kepada Umar. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, anda memakaikannya kepadaku, padahal anda telah mengatakannya kepadaku tentang status pakaian ‘Utharid tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku memberikan itu bukan bermaksud untuk kamu pakai.” Maka Umar memberikannya kepada saudaranya yang masih Musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari no. 2612)An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (14: 38), “Dan diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memberikan pakaian dan lainnya kepada orang musyrik.”Dalil yang menguatkan juga perbuatan Umar bin Khattab adalah ijma’ sukuti (konsensus diam-diam): di mana tidak ada sahabat lainnya yang mengingkari tindakan yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut.Ketentuan dan syarat penting dalam memberikan hadiah kepada non-MuslimHadiah bukan barang haramHadiah yang diberikan harus berupa barang atau hal yang diperbolehkan syariat (makanan halal, benda bukan najis, dan sebagainya). Tidak boleh memberi sesuatu yang haram seperti minuman khamr, daging haram, atau benda yang mendorong kemaksiatan seperti alat musik. Para ulama menegaskan: apa yang haram bagi Muslim juga tidak boleh diberikan sebagai hadiah kepada non-Muslim. Karena hukum asalnya, mereka juga dilarang menggunakan benda-benda tersebut.Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa orang kafir juga terkena kewajiban syariat. Sehingga meskipun mereka menganggap hal-hal tersebut halal bagi mereka, sejatinya di akhirat nanti mereka akan bertanggung jawab dengan dosanya. Hal ini karena pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang sangat kuat. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ؛ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ؛ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ؛ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-47)Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan keadaan penduduk neraka. Sebab mereka masuk neraka adalah “mendustakan hari pembalasan”, dan ini termasuk sebab kekafiran seseorang.Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa meskipun mereka tidak beragama Islam, di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas salat yang tidak mereka kerjakan; atas kemaksiatan yang mereka lakukan; dan atas hal-hal yang Allah haramkan, lalu tidak mereka pedulikan.Di dalam memberikan hadiah kepada orang-orang kafir, kita juga harus melihat kehalalan hadiah tersebut, bukan atas anggapan mereka, akan tetapi berdasarkan apa yang telah menjadi ketetapan Allah kepada seluruh manusia.Di ayat yang lainnya, Allah dengan jelas menyebutkan bahwa perintah Allah Ta’ala untuk beribadah bersifat umum kepada semua jenis manusia. Tanpa ada pengecualian satupun. Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)Tidak memberi pada musuh yang memerangi umat IslamJika penerima adalah orang atau kelompok yang sedang memerangi umat Islam atau menggunakan pemberian untuk memperkuat posisi melawan Muslim (misal pendanaan untuk kegiatan permusuhan), maka memberi adalah terlarang dan berbahaya. Kebolehan dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 bersifat spesifik untuk yang tidak memerangi atau mengusir. Seorang Muslim perlu membedakan antara non-Muslim yang damai dan yang memusuhi. Tidak memberi hadiah pada hari-hari ibadah mereka (seperti pada hari raya mereka)Mayoritas ulama memperingatkan kita untuk berhati-hati agar jangan sampai memberi hadiah yang membuat kita ikut serta dan berpartisipasi mendukung perayaan agama lain. Karena ini termasuk salah satu bentuk ta’awun dan saling membantu dalam perbuatan dosa yang telah Allah larang dalam firman-Nya,وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2)Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqiim mengatakan, “Demikian juga, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim pada hari perayaan mereka untuk memberikan hadiah kepada mereka dalam rangka merayakan hari raya tersebut. Apalagi jika dimaksudkan untuk menyerupai mereka, seperti yang telah kami sebutkan (berbagi di hari Natal atau Thanksgiving, misalnya).” (Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim, 1: 227)Di dalam memberi orang kafir, sangat dianjurkan untuk diniatkan sebagai bentuk dakwah dan melembutkan hati mereka agar menerima IslamJika niat pemberi adalah untuk menguatkan silaturahim, meredakan permusuhan, atau mendakwahkan dengan cara yang bijak (ta’lif al-qulub), maka memberi bisa bernilai positif. Ulama klasik dan kontemporer sependapat bahwa niat menjadi faktor penilai tindakan ini. KesimpulanSecara umum: diperbolehkan memberi hadiah kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, dengan syarat hadiah itu halal, tidak dipakai untuk memperkuat permusuhan terhadap umat Islam, dan tidak dimaksudkan sebagai partisipasi dalam ibadah (perayaan) agama mereka.Dalam situasi yang menyangkut keamanan, politik, atau dukungan terhadap praktik yang batil, maka memberi hadiah bisa menjadi haram atau tidak dianjurkan dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam bisshowaab.[Bersambung]Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

5 Cacat yang Membolehkan Pembatalan Pernikahan dalam Islam

Pernikahan dalam Islam dibangun di atas asas kasih sayang dan tujuan menjaga keturunan. Namun, terkadang muncul cacat fisik atau mental yang dapat menghalangi terwujudnya tujuan itu. Syariat pun memberi ruang bagi suami atau istri untuk membatalkan akad jika ditemukan cacat yang menghalangi kenikmatan atau keberlangsungan rumah tangga. Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib berkata, وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالرَّتْقِ، وَالْقَرَنِ.
وَيُرَدُّ الرَّجُلُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالْجَبِّ، وَالْعُنَّةِ. Seorang perempuan dapat ditolak pernikahannya (atau dikembalikan) karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), rahim atau kemaluan yang tertutup (ratq), dan gangguan organ kelamin yang menghalangi hubungan (qarn). Demikian pula, seorang laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), kebiri atau hilangnya kemampuan alat kelamin (jabb), dan impotensi permanen (‘innah). PENJELASAN Bab Cacat pada Perempuan dan Laki-laki Perempuan dapat ditolak pernikahannya karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), rahim atau kemaluan yang tertutup (al-ratq), dan kelainan pada vagina berupa tulang/benjolan yang menghalangi hubungan intim (al-qarn).
Demikian pula, laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), kebiri (al-jabb), dan impotensi permanen (‘innah). Tidak diragukan lagi, pernikahan pada hakikatnya bertujuan untuk keberlangsungan rumah tangga, dengan tujuan utama adalah tercapainya kenikmatan dan hubungan suami-istri (istimtā‘). Namun, sebagian cacat tersebut menghalangi tujuan inti tersebut. Misalnya: * Al-jabb (kebiri) yaitu terpotongnya alat kelamin laki-laki, dan al-‘innah (impotensi), keduanya menyebabkan hilangnya kemampuan berhubungan seksual. * Al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan perempuan dengan daging) dan al-qarn (adanya tulang atau daging tumbuh dalam vagina) juga menghalangi terjadinya hubungan seksual. * Adapun gila, kusta, dan belang, meskipun tidak selalu menghalangi secara fisik, tetapi menimbulkan ketidaksenangan jiwa dan merusak kesempurnaan kenikmatan. Karena itu, syariat memberikan hak khiyār (pilihan untuk membatalkan akad nikah) bila cacat-cacat ini ditemukan. Bila tidak ada hak khiyār, maka pernikahan berpotensi menimbulkan mudharat yang berkelanjutan, sementara Islam menegaskan prinsip: “lā dharar wa lā dhirār” (tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan). Dasar dari ketentuan ini adalah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang wanita dari kabilah Ghifār. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau melihat ada bercak putih pada sisi tubuhnya (menandakan belang/lepra). Rasulullah ﷺ pun bersabda: «ٱلْبَسِي ثِيَابَكِ وَٱلْحَقِي بِأَهْلِكِ» “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau ﷺ kemudian menegur keluarganya: “Kalian telah menipu saya (dengan menyembunyikan aib ini).”
Menurut riwayat dari Ibn ‘Umar, yang dimaksud dengan al-kish adalah sisi tubuh. Maka, nash (teks tegas) menetapkan adanya hak khiyār pada kasus belang (barash), sedangkan cacat lain diqiyaskan kepadanya karena sama-sama menghalangi kesempurnaan kenikmatan pernikahan. Ibn ‘Umar juga meriwayatkan sabda Nabi ﷺ: «أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ ٱمْرَأَةً بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا عَلَى وَلِيِّهَا» “Siapa saja lelaki yang menikahi seorang perempuan, lalu ternyata padanya terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, kemudian ia telah menyentuhnya, maka bagi perempuan itu mahar, dan tanggung jawabnya kembali kepada walinya.” Karena itu, pernikahan dipandang sebagai akad mu‘āwadah (akad timbal balik) yang dapat dibatalkan bila terdapat cacat yang berpengaruh pada tujuan utama pernikahan, sebagaimana akad jual-beli yang dapat dibatalkan bila barang rusak. Cacat-cacat ini terbagi menjadi tujuh: 1. Tiga yang sama-sama bisa menimpa laki-laki dan perempuan: gila, kusta, dan belang. 2. Dua yang khusus pada laki-laki: al-jabb (kebiri) dan al-‘innah (impotensi). 3. Dua yang khusus pada perempuan: al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan) dan al-qarn (kelainan pada vagina). Dengan demikian, jumlah cacat yang memungkinkan khiyār bisa mencapai lima pada masing-masing pihak, sebagaimana dijelaskan para ulama. Adapun cacat selain itu, menurut mayoritas ulama, tidak menyebabkan adanya hak khiyār, meskipun menimbulkan ketidaknyamanan, seperti bau badan menyengat (ṣanān), bau mulut (bukhr), istihādhah yang terus-menerus, atau luka bernanah yang mengeluarkan cairan. Ada juga pendapat yang memberi hak khiyār karena hal-hal tersebut menimbulkan rasa jijik, tetapi pendapat yang kuat tidak membolehkannya. Selain itu, ada perincian dalam kasus sempitnya jalan kemaluan perempuan sehingga tidak bisa berhubungan kecuali menyebabkan ifḍā’ (sobeknya jalan antara kemaluan dan saluran kencing). Menurut sebagian ulama, bila penyebabnya adalah kelainan yang tidak wajar (di luar kebiasaan), maka suami berhak membatalkan. Namun, jika masih memungkinkan berhubungan dengan laki-laki bertubuh kecil atau normal, maka tidak ada hak khiyār. Terakhir, kemandulan (al-‘uqm) pada suami atau istri, atau kondisi istri yang mengalami ifḍā’ (robeknya saluran antara kemaluan dan kencing), tidak termasuk alasan untuk khiyār menurut mayoritas ulama.   Referensi: Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar   ___   Makkah Al-Mukarramah, 20 Jumadilawal 1447 H, 11 November 2025 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsaib nikah cacat nikah cinta dan pernikahan fikih nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

5 Cacat yang Membolehkan Pembatalan Pernikahan dalam Islam

Pernikahan dalam Islam dibangun di atas asas kasih sayang dan tujuan menjaga keturunan. Namun, terkadang muncul cacat fisik atau mental yang dapat menghalangi terwujudnya tujuan itu. Syariat pun memberi ruang bagi suami atau istri untuk membatalkan akad jika ditemukan cacat yang menghalangi kenikmatan atau keberlangsungan rumah tangga. Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib berkata, وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالرَّتْقِ، وَالْقَرَنِ.
وَيُرَدُّ الرَّجُلُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالْجَبِّ، وَالْعُنَّةِ. Seorang perempuan dapat ditolak pernikahannya (atau dikembalikan) karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), rahim atau kemaluan yang tertutup (ratq), dan gangguan organ kelamin yang menghalangi hubungan (qarn). Demikian pula, seorang laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), kebiri atau hilangnya kemampuan alat kelamin (jabb), dan impotensi permanen (‘innah). PENJELASAN Bab Cacat pada Perempuan dan Laki-laki Perempuan dapat ditolak pernikahannya karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), rahim atau kemaluan yang tertutup (al-ratq), dan kelainan pada vagina berupa tulang/benjolan yang menghalangi hubungan intim (al-qarn).
Demikian pula, laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), kebiri (al-jabb), dan impotensi permanen (‘innah). Tidak diragukan lagi, pernikahan pada hakikatnya bertujuan untuk keberlangsungan rumah tangga, dengan tujuan utama adalah tercapainya kenikmatan dan hubungan suami-istri (istimtā‘). Namun, sebagian cacat tersebut menghalangi tujuan inti tersebut. Misalnya: * Al-jabb (kebiri) yaitu terpotongnya alat kelamin laki-laki, dan al-‘innah (impotensi), keduanya menyebabkan hilangnya kemampuan berhubungan seksual. * Al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan perempuan dengan daging) dan al-qarn (adanya tulang atau daging tumbuh dalam vagina) juga menghalangi terjadinya hubungan seksual. * Adapun gila, kusta, dan belang, meskipun tidak selalu menghalangi secara fisik, tetapi menimbulkan ketidaksenangan jiwa dan merusak kesempurnaan kenikmatan. Karena itu, syariat memberikan hak khiyār (pilihan untuk membatalkan akad nikah) bila cacat-cacat ini ditemukan. Bila tidak ada hak khiyār, maka pernikahan berpotensi menimbulkan mudharat yang berkelanjutan, sementara Islam menegaskan prinsip: “lā dharar wa lā dhirār” (tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan). Dasar dari ketentuan ini adalah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang wanita dari kabilah Ghifār. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau melihat ada bercak putih pada sisi tubuhnya (menandakan belang/lepra). Rasulullah ﷺ pun bersabda: «ٱلْبَسِي ثِيَابَكِ وَٱلْحَقِي بِأَهْلِكِ» “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau ﷺ kemudian menegur keluarganya: “Kalian telah menipu saya (dengan menyembunyikan aib ini).”
Menurut riwayat dari Ibn ‘Umar, yang dimaksud dengan al-kish adalah sisi tubuh. Maka, nash (teks tegas) menetapkan adanya hak khiyār pada kasus belang (barash), sedangkan cacat lain diqiyaskan kepadanya karena sama-sama menghalangi kesempurnaan kenikmatan pernikahan. Ibn ‘Umar juga meriwayatkan sabda Nabi ﷺ: «أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ ٱمْرَأَةً بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا عَلَى وَلِيِّهَا» “Siapa saja lelaki yang menikahi seorang perempuan, lalu ternyata padanya terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, kemudian ia telah menyentuhnya, maka bagi perempuan itu mahar, dan tanggung jawabnya kembali kepada walinya.” Karena itu, pernikahan dipandang sebagai akad mu‘āwadah (akad timbal balik) yang dapat dibatalkan bila terdapat cacat yang berpengaruh pada tujuan utama pernikahan, sebagaimana akad jual-beli yang dapat dibatalkan bila barang rusak. Cacat-cacat ini terbagi menjadi tujuh: 1. Tiga yang sama-sama bisa menimpa laki-laki dan perempuan: gila, kusta, dan belang. 2. Dua yang khusus pada laki-laki: al-jabb (kebiri) dan al-‘innah (impotensi). 3. Dua yang khusus pada perempuan: al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan) dan al-qarn (kelainan pada vagina). Dengan demikian, jumlah cacat yang memungkinkan khiyār bisa mencapai lima pada masing-masing pihak, sebagaimana dijelaskan para ulama. Adapun cacat selain itu, menurut mayoritas ulama, tidak menyebabkan adanya hak khiyār, meskipun menimbulkan ketidaknyamanan, seperti bau badan menyengat (ṣanān), bau mulut (bukhr), istihādhah yang terus-menerus, atau luka bernanah yang mengeluarkan cairan. Ada juga pendapat yang memberi hak khiyār karena hal-hal tersebut menimbulkan rasa jijik, tetapi pendapat yang kuat tidak membolehkannya. Selain itu, ada perincian dalam kasus sempitnya jalan kemaluan perempuan sehingga tidak bisa berhubungan kecuali menyebabkan ifḍā’ (sobeknya jalan antara kemaluan dan saluran kencing). Menurut sebagian ulama, bila penyebabnya adalah kelainan yang tidak wajar (di luar kebiasaan), maka suami berhak membatalkan. Namun, jika masih memungkinkan berhubungan dengan laki-laki bertubuh kecil atau normal, maka tidak ada hak khiyār. Terakhir, kemandulan (al-‘uqm) pada suami atau istri, atau kondisi istri yang mengalami ifḍā’ (robeknya saluran antara kemaluan dan kencing), tidak termasuk alasan untuk khiyār menurut mayoritas ulama.   Referensi: Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar   ___   Makkah Al-Mukarramah, 20 Jumadilawal 1447 H, 11 November 2025 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsaib nikah cacat nikah cinta dan pernikahan fikih nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah
Pernikahan dalam Islam dibangun di atas asas kasih sayang dan tujuan menjaga keturunan. Namun, terkadang muncul cacat fisik atau mental yang dapat menghalangi terwujudnya tujuan itu. Syariat pun memberi ruang bagi suami atau istri untuk membatalkan akad jika ditemukan cacat yang menghalangi kenikmatan atau keberlangsungan rumah tangga. Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib berkata, وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالرَّتْقِ، وَالْقَرَنِ.
وَيُرَدُّ الرَّجُلُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالْجَبِّ، وَالْعُنَّةِ. Seorang perempuan dapat ditolak pernikahannya (atau dikembalikan) karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), rahim atau kemaluan yang tertutup (ratq), dan gangguan organ kelamin yang menghalangi hubungan (qarn). Demikian pula, seorang laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), kebiri atau hilangnya kemampuan alat kelamin (jabb), dan impotensi permanen (‘innah). PENJELASAN Bab Cacat pada Perempuan dan Laki-laki Perempuan dapat ditolak pernikahannya karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), rahim atau kemaluan yang tertutup (al-ratq), dan kelainan pada vagina berupa tulang/benjolan yang menghalangi hubungan intim (al-qarn).
Demikian pula, laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), kebiri (al-jabb), dan impotensi permanen (‘innah). Tidak diragukan lagi, pernikahan pada hakikatnya bertujuan untuk keberlangsungan rumah tangga, dengan tujuan utama adalah tercapainya kenikmatan dan hubungan suami-istri (istimtā‘). Namun, sebagian cacat tersebut menghalangi tujuan inti tersebut. Misalnya: * Al-jabb (kebiri) yaitu terpotongnya alat kelamin laki-laki, dan al-‘innah (impotensi), keduanya menyebabkan hilangnya kemampuan berhubungan seksual. * Al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan perempuan dengan daging) dan al-qarn (adanya tulang atau daging tumbuh dalam vagina) juga menghalangi terjadinya hubungan seksual. * Adapun gila, kusta, dan belang, meskipun tidak selalu menghalangi secara fisik, tetapi menimbulkan ketidaksenangan jiwa dan merusak kesempurnaan kenikmatan. Karena itu, syariat memberikan hak khiyār (pilihan untuk membatalkan akad nikah) bila cacat-cacat ini ditemukan. Bila tidak ada hak khiyār, maka pernikahan berpotensi menimbulkan mudharat yang berkelanjutan, sementara Islam menegaskan prinsip: “lā dharar wa lā dhirār” (tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan). Dasar dari ketentuan ini adalah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang wanita dari kabilah Ghifār. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau melihat ada bercak putih pada sisi tubuhnya (menandakan belang/lepra). Rasulullah ﷺ pun bersabda: «ٱلْبَسِي ثِيَابَكِ وَٱلْحَقِي بِأَهْلِكِ» “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau ﷺ kemudian menegur keluarganya: “Kalian telah menipu saya (dengan menyembunyikan aib ini).”
Menurut riwayat dari Ibn ‘Umar, yang dimaksud dengan al-kish adalah sisi tubuh. Maka, nash (teks tegas) menetapkan adanya hak khiyār pada kasus belang (barash), sedangkan cacat lain diqiyaskan kepadanya karena sama-sama menghalangi kesempurnaan kenikmatan pernikahan. Ibn ‘Umar juga meriwayatkan sabda Nabi ﷺ: «أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ ٱمْرَأَةً بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا عَلَى وَلِيِّهَا» “Siapa saja lelaki yang menikahi seorang perempuan, lalu ternyata padanya terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, kemudian ia telah menyentuhnya, maka bagi perempuan itu mahar, dan tanggung jawabnya kembali kepada walinya.” Karena itu, pernikahan dipandang sebagai akad mu‘āwadah (akad timbal balik) yang dapat dibatalkan bila terdapat cacat yang berpengaruh pada tujuan utama pernikahan, sebagaimana akad jual-beli yang dapat dibatalkan bila barang rusak. Cacat-cacat ini terbagi menjadi tujuh: 1. Tiga yang sama-sama bisa menimpa laki-laki dan perempuan: gila, kusta, dan belang. 2. Dua yang khusus pada laki-laki: al-jabb (kebiri) dan al-‘innah (impotensi). 3. Dua yang khusus pada perempuan: al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan) dan al-qarn (kelainan pada vagina). Dengan demikian, jumlah cacat yang memungkinkan khiyār bisa mencapai lima pada masing-masing pihak, sebagaimana dijelaskan para ulama. Adapun cacat selain itu, menurut mayoritas ulama, tidak menyebabkan adanya hak khiyār, meskipun menimbulkan ketidaknyamanan, seperti bau badan menyengat (ṣanān), bau mulut (bukhr), istihādhah yang terus-menerus, atau luka bernanah yang mengeluarkan cairan. Ada juga pendapat yang memberi hak khiyār karena hal-hal tersebut menimbulkan rasa jijik, tetapi pendapat yang kuat tidak membolehkannya. Selain itu, ada perincian dalam kasus sempitnya jalan kemaluan perempuan sehingga tidak bisa berhubungan kecuali menyebabkan ifḍā’ (sobeknya jalan antara kemaluan dan saluran kencing). Menurut sebagian ulama, bila penyebabnya adalah kelainan yang tidak wajar (di luar kebiasaan), maka suami berhak membatalkan. Namun, jika masih memungkinkan berhubungan dengan laki-laki bertubuh kecil atau normal, maka tidak ada hak khiyār. Terakhir, kemandulan (al-‘uqm) pada suami atau istri, atau kondisi istri yang mengalami ifḍā’ (robeknya saluran antara kemaluan dan kencing), tidak termasuk alasan untuk khiyār menurut mayoritas ulama.   Referensi: Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar   ___   Makkah Al-Mukarramah, 20 Jumadilawal 1447 H, 11 November 2025 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsaib nikah cacat nikah cinta dan pernikahan fikih nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah


Pernikahan dalam Islam dibangun di atas asas kasih sayang dan tujuan menjaga keturunan. Namun, terkadang muncul cacat fisik atau mental yang dapat menghalangi terwujudnya tujuan itu. Syariat pun memberi ruang bagi suami atau istri untuk membatalkan akad jika ditemukan cacat yang menghalangi kenikmatan atau keberlangsungan rumah tangga. Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib berkata, وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالرَّتْقِ، وَالْقَرَنِ.
وَيُرَدُّ الرَّجُلُ بِخَمْسَةِ عُيُوبٍ: بِالْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَالْجَبِّ، وَالْعُنَّةِ. Seorang perempuan dapat ditolak pernikahannya (atau dikembalikan) karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), rahim atau kemaluan yang tertutup (ratq), dan gangguan organ kelamin yang menghalangi hubungan (qarn). Demikian pula, seorang laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo/albarash), kebiri atau hilangnya kemampuan alat kelamin (jabb), dan impotensi permanen (‘innah). PENJELASAN Bab Cacat pada Perempuan dan Laki-laki Perempuan dapat ditolak pernikahannya karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), rahim atau kemaluan yang tertutup (al-ratq), dan kelainan pada vagina berupa tulang/benjolan yang menghalangi hubungan intim (al-qarn).
Demikian pula, laki-laki dapat ditolak karena lima cacat: gila, kusta, belang (vitiligo), kebiri (al-jabb), dan impotensi permanen (‘innah). Tidak diragukan lagi, pernikahan pada hakikatnya bertujuan untuk keberlangsungan rumah tangga, dengan tujuan utama adalah tercapainya kenikmatan dan hubungan suami-istri (istimtā‘). Namun, sebagian cacat tersebut menghalangi tujuan inti tersebut. Misalnya: * Al-jabb (kebiri) yaitu terpotongnya alat kelamin laki-laki, dan al-‘innah (impotensi), keduanya menyebabkan hilangnya kemampuan berhubungan seksual. * Al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan perempuan dengan daging) dan al-qarn (adanya tulang atau daging tumbuh dalam vagina) juga menghalangi terjadinya hubungan seksual. * Adapun gila, kusta, dan belang, meskipun tidak selalu menghalangi secara fisik, tetapi menimbulkan ketidaksenangan jiwa dan merusak kesempurnaan kenikmatan. Karena itu, syariat memberikan hak khiyār (pilihan untuk membatalkan akad nikah) bila cacat-cacat ini ditemukan. Bila tidak ada hak khiyār, maka pernikahan berpotensi menimbulkan mudharat yang berkelanjutan, sementara Islam menegaskan prinsip: “lā dharar wa lā dhirār” (tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan). Dasar dari ketentuan ini adalah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang wanita dari kabilah Ghifār. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau melihat ada bercak putih pada sisi tubuhnya (menandakan belang/lepra). Rasulullah ﷺ pun bersabda: «ٱلْبَسِي ثِيَابَكِ وَٱلْحَقِي بِأَهْلِكِ» “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau ﷺ kemudian menegur keluarganya: “Kalian telah menipu saya (dengan menyembunyikan aib ini).”
Menurut riwayat dari Ibn ‘Umar, yang dimaksud dengan al-kish adalah sisi tubuh. Maka, nash (teks tegas) menetapkan adanya hak khiyār pada kasus belang (barash), sedangkan cacat lain diqiyaskan kepadanya karena sama-sama menghalangi kesempurnaan kenikmatan pernikahan. Ibn ‘Umar juga meriwayatkan sabda Nabi ﷺ: «أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ ٱمْرَأَةً بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا عَلَى وَلِيِّهَا» “Siapa saja lelaki yang menikahi seorang perempuan, lalu ternyata padanya terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, kemudian ia telah menyentuhnya, maka bagi perempuan itu mahar, dan tanggung jawabnya kembali kepada walinya.” Karena itu, pernikahan dipandang sebagai akad mu‘āwadah (akad timbal balik) yang dapat dibatalkan bila terdapat cacat yang berpengaruh pada tujuan utama pernikahan, sebagaimana akad jual-beli yang dapat dibatalkan bila barang rusak. Cacat-cacat ini terbagi menjadi tujuh: 1. Tiga yang sama-sama bisa menimpa laki-laki dan perempuan: gila, kusta, dan belang. 2. Dua yang khusus pada laki-laki: al-jabb (kebiri) dan al-‘innah (impotensi). 3. Dua yang khusus pada perempuan: al-ratq (tertutupnya jalan kemaluan) dan al-qarn (kelainan pada vagina). Dengan demikian, jumlah cacat yang memungkinkan khiyār bisa mencapai lima pada masing-masing pihak, sebagaimana dijelaskan para ulama. Adapun cacat selain itu, menurut mayoritas ulama, tidak menyebabkan adanya hak khiyār, meskipun menimbulkan ketidaknyamanan, seperti bau badan menyengat (ṣanān), bau mulut (bukhr), istihādhah yang terus-menerus, atau luka bernanah yang mengeluarkan cairan. Ada juga pendapat yang memberi hak khiyār karena hal-hal tersebut menimbulkan rasa jijik, tetapi pendapat yang kuat tidak membolehkannya. Selain itu, ada perincian dalam kasus sempitnya jalan kemaluan perempuan sehingga tidak bisa berhubungan kecuali menyebabkan ifḍā’ (sobeknya jalan antara kemaluan dan saluran kencing). Menurut sebagian ulama, bila penyebabnya adalah kelainan yang tidak wajar (di luar kebiasaan), maka suami berhak membatalkan. Namun, jika masih memungkinkan berhubungan dengan laki-laki bertubuh kecil atau normal, maka tidak ada hak khiyār. Terakhir, kemandulan (al-‘uqm) pada suami atau istri, atau kondisi istri yang mengalami ifḍā’ (robeknya saluran antara kemaluan dan kencing), tidak termasuk alasan untuk khiyār menurut mayoritas ulama.   Referensi: Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar   ___   Makkah Al-Mukarramah, 20 Jumadilawal 1447 H, 11 November 2025 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsaib nikah cacat nikah cinta dan pernikahan fikih nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Perang Sudan dan Rebutan Gunung Emas: Sebuah Peringatan tentang Fitnah Harta

Perang saudara di Sudan yang salah satu pemicunya adalah perebutan emas Jabal Amer kembali membuka mata kita betapa ambisi dunia bisa menyeret sebuah negeri ke jurang kehancuran. Umat Islam sesungguhnya sudah diperingatkan bahwa fitnah terbesar mereka adalah harta, ketika saudara bisa berubah menjadi musuh demi kepentingan dunia yang hina dan fana. Khutbah ini mengajak kita merenungi bahaya cinta dunia dan menghidupkan doa, “اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا” agar hati tetap selamat meski dunia di sekitar kita bergolak.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat 1.2. Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama 1.3. Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah 1.4. Gara-Gara Ambisi Dunia 1.5. Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud 2. Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati 2.1. Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? 3. Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami 4. Khutbah Kedua     Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Allah memerintahkan kita untuk bertakwa. Bentuk ketakwaan adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menjalankan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ittiba’ atau mengikuti tuntunan beliau adalah bentuk ketakwaan. Menjaga diri dari permusuhan dan pertikaian antara sesama saudara muslim, juga adalah bagian dari ketakwaan. Menjauhkan diri dari ambisi duniawi pada harta adalah juga bagian dari ketakwaan, terlalu rakus pada dunia itu tercela. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftaah Daar As-Sa’adah: “Para pemikir dari berbagai bangsa sepakat dalam satu hal: bahwa orang yang tamak mengejar harta, yang hatinya selalu haus dan tak pernah cukup, layak dicela. Mereka memandang rendah orang seperti ini, bahkan menganggapnya hina karena menundukkan diri pada sesuatu yang fana.” Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kita sedang menyaksikan berita duka yang mengguncang dunia Islam hari ini: perang yang berkecamuk di Sudan, perang saudara yang memakan korban ribuan jiwa, meruntuhkan kota-kota, memecah masyarakat, dan menghancurkan tatanan negeri. Di balik konflik itu, para pengamat menunjukkan bahwa salah satu faktor penting adalah rebutan dunia, termasuk perebutan Gunung Emas Jabal Amer—sebuah ladang emas terbesar di benua Afrika yang menjadi sumber perselisihan antarkelompok. Inilah pemicu peperangan antara dua penguasa militer di Sudan. Betapa mahal harga sebuah ambisi dunia. Betapa banyak darah tumpah hanya demi harta yang sejatinya tak lebih dari debu yang akan ditinggalkan. Namun sesungguhnya, kejadian ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah umat. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi dalam skala yang berbeda, dalam umat terbaik sekalipun—umat Nabi Muhammad ﷺ. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat Perang Uhud adalah saksi abadi tentang bagaimana dunia — meski sedikit — dapat membutakan mata sebagian orang beriman. Allah telah menceritakan momen itu dalam firman-Nya: ﴿ وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ ﴾ “Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kalian mengalahkan mereka… sampai ketika kalian berselisih dan kalian bermaksiat setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian inginkan.” (QS. Āli ‘Imrān: 152) Yang diinginkan para pemanah itu apa? Ghanīmah. Harta. Rampasan perang. Mereka melihat tanda kemenangan, lalu sebagian berkata: “Turunlah! Kita harus ambil bagian dari harta perang ini.” Meskipun Rasulullah ﷺ telah memerintahkan: “Jangan tinggalkan pos kalian, apapun yang terjadi.” Ketika perintah Rasul ditinggalkan, barulah malapetaka datang: pasukan Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik memukul dari belakang, dan keadaan berubah total. Tercatat 70 sahabat mati syahid, termasuk paman Rasul yang mulia, Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Semua itu terjadi karena apa? Karena rebutan dunia. Karena mengutamakan harta daripada ketaatan. Baca juga: Perang Uhud, Pelajaran di Dalamnya Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama Jamaah sekalian, Apa yang terjadi di Sudan hari ini mencerminkan sunnatullah yang sama. Ketika dunia menjadi tujuan, maka: saudara menjadi musuh, perjanjian mudah diingkari, amanah dikhianati, darah manusia menjadi murah, dan ketaatan kepada Allah serta rasa takut kepada-Nya menjadi hilang. Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: « إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ » “Setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, no. 2336. Hadits ini sahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani) Bukankah yang terjadi hari ini di Sudan—dan juga di banyak negeri Muslim lainnya—adalah bentuk nyata dari hadits ini? Perselisihan demi harta. Pembunuhan demi harta. Perebutan wilayah karena sumber daya. Fitnah dunia memecah belah umat, sebagaimana dulu memecah barisan pemanah Uhud.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah Jika para sahabat saja diuji dan sebagian goyah oleh dunia, apalagi manusia zaman sekarang yang hatinya lebih rapuh? Namun perbedaannya satu: Para sahabat langsung bertaubat, kembali kepada Allah, menangis dalam penyesalan, dan Allah pun memuliakan mereka. Sedangkan manusia hari ini sering tidak merasa salah, karena dunia telah membutakan mata. Padahal Allah telah mengingatkan: ﴿ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴾ “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān: 185) Dunia menipu mata yang lemah. Dunia memecah hati yang tak terjaga. Dunia merusak kaum yang tidak menundukkannya.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Gara-Gara Ambisi Dunia Saat perang Uhud yang terjadi pada tiga Hijriyah yang melibatkan 700 pasukan kaum muslimin melawan 3.000 pasukan kafir Quraisy …. Teriakan para pemanah yang berada di Jabal Ramah ketika mereka merasa sudah menang, tetapi tidak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menetap di bukit tersebut: “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!”. Perhatikan segala risiko yang terjadi, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman, مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152) Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ. “Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296) Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia. Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud Khutbah ini bukan sekadar tentang Sudan. Ini adalah tentang siapa saja, umat mana saja, termasuk diri kita, yang terjebak oleh dunia. Cobalah kita ambil pelajaran: Taat Rasul lebih utama daripada harta apa pun. Kemenangan sejati bukan pada banyaknya emas, tetapi tegaknya ketaatan. Dunia adalah fitnah yang akan meruntuhkan siapa pun yang tidak mengendalikannya. Ketika umat saling berebut dunia, mereka pasti kalah — meski jumlah mereka banyak. Darah seorang Muslim lebih berharga daripada seluruh isi bumi.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati Apa yang terjadi di Sudan adalah tragedi yang mengingatkan kita pada hukum Allah yang tidak berubah: ketika dunia menjadi tujuan, kehancuran menjadi konsekuensi. Jika dunia menjadi puncak ambisi, maka ujungnya pasti seperti Uhud — kekalahan. Atau seperti Sudan hari ini — kehancuran dan kekacauan. Karena itu, mari kuatkan doa kita untuk saudara-saudara di Sudan, dan lebih penting lagi: perbaiki diri kita agar tidak menjadi bagian dari umat yang hancur karena cinta dunia.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? Marilah kita belajar agama, luangkan waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam. Harus yakini dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi. Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri. Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga dan kepentingan dunia. Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga. Semoga Allah melindungi umat ini dari fitnah harta, menguatkan hati kita dengan iman, dan menjadikan peristiwa Sudan serta pelajaran Uhud sebagai cermin bagi kita semua.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan: “Jarang sekali Rasulullah ﷺ bangkit dari suatu majelis melainkan beliau selalu berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya: اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، ALLAHUMMAQSIM LANĀ MIN KHASYATIKA MĀ TAḤŪLU BIHI BAYNANĀ WA BAYNA MA‘ĀṢĪKA,WA MIN ṬĀ‘ATIKA MĀ TUBALLIGHUNĀ BIHI JANNATAKA,WA MINAL-YAQĪNI MĀ TUHAWWINU BIHI ‘ALAYNĀ MAṢĀ’IBAD-DUNYĀ. ‘Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menjadi penghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami keyakinan yang dengannya Engkau ringankan bagi kami musibah-musibah dunia. اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، ALLAHUMMA MATTI‘NĀ BI-ASMA‘INĀ, WA ABṢĀRINĀ, WA QUWWATINĀ MĀ AḤYAYTANĀ,WAJ‘ALHU AL-WĀRITSA MINNĀ,WAJ‘AL THA’RANĀ ‘ALĀ MAN ẒALAMANĀ,WA ANṢURNĀ ‘ALĀ MAN ‘ĀDĀNĀ. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kenikmatan pada pendengaran kami, penglihatan kami, dan kekuatan kami selama Engkau masih menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai warisan yang tersisa pada diri kami (hingga akhir hayat). Jadikanlah pembalasan kami hanya kepada orang-orang yang menzalimi kami. Dan tolonglah kami menghadapi orang-orang yang memusuhi kami. وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. WA LĀ TAJ‘AL MUṢĪBATANĀ FĪ DĪNINĀ,WA LĀ TAJ‘ALID-DUNYĀ AKBARA HAMMINĀ,WA LĀ MABLAGHA ‘ILMINĀ,WA LĀ TUSALLIṬ ‘ALAYNĀ MAN LĀ YARḤAMUNĀ. Ya Allah, jangan Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami. Jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak ilmu kami. Dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 3502; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 10234; dan Ath-Thabrani dalam Ad-Du‘a, no. 1911. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ — Jumat pagi, 23 Jumadilawal 1447 H, 14 November 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscinta dunia Fitnah Harta ghanimah Jabal Amer ketakwaan khutbah jumat Konflik Sudan Nasehat Islami perang uhud Sudan

Perang Sudan dan Rebutan Gunung Emas: Sebuah Peringatan tentang Fitnah Harta

Perang saudara di Sudan yang salah satu pemicunya adalah perebutan emas Jabal Amer kembali membuka mata kita betapa ambisi dunia bisa menyeret sebuah negeri ke jurang kehancuran. Umat Islam sesungguhnya sudah diperingatkan bahwa fitnah terbesar mereka adalah harta, ketika saudara bisa berubah menjadi musuh demi kepentingan dunia yang hina dan fana. Khutbah ini mengajak kita merenungi bahaya cinta dunia dan menghidupkan doa, “اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا” agar hati tetap selamat meski dunia di sekitar kita bergolak.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat 1.2. Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama 1.3. Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah 1.4. Gara-Gara Ambisi Dunia 1.5. Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud 2. Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati 2.1. Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? 3. Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami 4. Khutbah Kedua     Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Allah memerintahkan kita untuk bertakwa. Bentuk ketakwaan adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menjalankan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ittiba’ atau mengikuti tuntunan beliau adalah bentuk ketakwaan. Menjaga diri dari permusuhan dan pertikaian antara sesama saudara muslim, juga adalah bagian dari ketakwaan. Menjauhkan diri dari ambisi duniawi pada harta adalah juga bagian dari ketakwaan, terlalu rakus pada dunia itu tercela. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftaah Daar As-Sa’adah: “Para pemikir dari berbagai bangsa sepakat dalam satu hal: bahwa orang yang tamak mengejar harta, yang hatinya selalu haus dan tak pernah cukup, layak dicela. Mereka memandang rendah orang seperti ini, bahkan menganggapnya hina karena menundukkan diri pada sesuatu yang fana.” Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kita sedang menyaksikan berita duka yang mengguncang dunia Islam hari ini: perang yang berkecamuk di Sudan, perang saudara yang memakan korban ribuan jiwa, meruntuhkan kota-kota, memecah masyarakat, dan menghancurkan tatanan negeri. Di balik konflik itu, para pengamat menunjukkan bahwa salah satu faktor penting adalah rebutan dunia, termasuk perebutan Gunung Emas Jabal Amer—sebuah ladang emas terbesar di benua Afrika yang menjadi sumber perselisihan antarkelompok. Inilah pemicu peperangan antara dua penguasa militer di Sudan. Betapa mahal harga sebuah ambisi dunia. Betapa banyak darah tumpah hanya demi harta yang sejatinya tak lebih dari debu yang akan ditinggalkan. Namun sesungguhnya, kejadian ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah umat. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi dalam skala yang berbeda, dalam umat terbaik sekalipun—umat Nabi Muhammad ﷺ. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat Perang Uhud adalah saksi abadi tentang bagaimana dunia — meski sedikit — dapat membutakan mata sebagian orang beriman. Allah telah menceritakan momen itu dalam firman-Nya: ﴿ وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ ﴾ “Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kalian mengalahkan mereka… sampai ketika kalian berselisih dan kalian bermaksiat setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian inginkan.” (QS. Āli ‘Imrān: 152) Yang diinginkan para pemanah itu apa? Ghanīmah. Harta. Rampasan perang. Mereka melihat tanda kemenangan, lalu sebagian berkata: “Turunlah! Kita harus ambil bagian dari harta perang ini.” Meskipun Rasulullah ﷺ telah memerintahkan: “Jangan tinggalkan pos kalian, apapun yang terjadi.” Ketika perintah Rasul ditinggalkan, barulah malapetaka datang: pasukan Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik memukul dari belakang, dan keadaan berubah total. Tercatat 70 sahabat mati syahid, termasuk paman Rasul yang mulia, Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Semua itu terjadi karena apa? Karena rebutan dunia. Karena mengutamakan harta daripada ketaatan. Baca juga: Perang Uhud, Pelajaran di Dalamnya Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama Jamaah sekalian, Apa yang terjadi di Sudan hari ini mencerminkan sunnatullah yang sama. Ketika dunia menjadi tujuan, maka: saudara menjadi musuh, perjanjian mudah diingkari, amanah dikhianati, darah manusia menjadi murah, dan ketaatan kepada Allah serta rasa takut kepada-Nya menjadi hilang. Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: « إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ » “Setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, no. 2336. Hadits ini sahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani) Bukankah yang terjadi hari ini di Sudan—dan juga di banyak negeri Muslim lainnya—adalah bentuk nyata dari hadits ini? Perselisihan demi harta. Pembunuhan demi harta. Perebutan wilayah karena sumber daya. Fitnah dunia memecah belah umat, sebagaimana dulu memecah barisan pemanah Uhud.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah Jika para sahabat saja diuji dan sebagian goyah oleh dunia, apalagi manusia zaman sekarang yang hatinya lebih rapuh? Namun perbedaannya satu: Para sahabat langsung bertaubat, kembali kepada Allah, menangis dalam penyesalan, dan Allah pun memuliakan mereka. Sedangkan manusia hari ini sering tidak merasa salah, karena dunia telah membutakan mata. Padahal Allah telah mengingatkan: ﴿ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴾ “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān: 185) Dunia menipu mata yang lemah. Dunia memecah hati yang tak terjaga. Dunia merusak kaum yang tidak menundukkannya.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Gara-Gara Ambisi Dunia Saat perang Uhud yang terjadi pada tiga Hijriyah yang melibatkan 700 pasukan kaum muslimin melawan 3.000 pasukan kafir Quraisy …. Teriakan para pemanah yang berada di Jabal Ramah ketika mereka merasa sudah menang, tetapi tidak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menetap di bukit tersebut: “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!”. Perhatikan segala risiko yang terjadi, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman, مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152) Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ. “Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296) Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia. Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud Khutbah ini bukan sekadar tentang Sudan. Ini adalah tentang siapa saja, umat mana saja, termasuk diri kita, yang terjebak oleh dunia. Cobalah kita ambil pelajaran: Taat Rasul lebih utama daripada harta apa pun. Kemenangan sejati bukan pada banyaknya emas, tetapi tegaknya ketaatan. Dunia adalah fitnah yang akan meruntuhkan siapa pun yang tidak mengendalikannya. Ketika umat saling berebut dunia, mereka pasti kalah — meski jumlah mereka banyak. Darah seorang Muslim lebih berharga daripada seluruh isi bumi.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati Apa yang terjadi di Sudan adalah tragedi yang mengingatkan kita pada hukum Allah yang tidak berubah: ketika dunia menjadi tujuan, kehancuran menjadi konsekuensi. Jika dunia menjadi puncak ambisi, maka ujungnya pasti seperti Uhud — kekalahan. Atau seperti Sudan hari ini — kehancuran dan kekacauan. Karena itu, mari kuatkan doa kita untuk saudara-saudara di Sudan, dan lebih penting lagi: perbaiki diri kita agar tidak menjadi bagian dari umat yang hancur karena cinta dunia.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? Marilah kita belajar agama, luangkan waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam. Harus yakini dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi. Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri. Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga dan kepentingan dunia. Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga. Semoga Allah melindungi umat ini dari fitnah harta, menguatkan hati kita dengan iman, dan menjadikan peristiwa Sudan serta pelajaran Uhud sebagai cermin bagi kita semua.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan: “Jarang sekali Rasulullah ﷺ bangkit dari suatu majelis melainkan beliau selalu berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya: اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، ALLAHUMMAQSIM LANĀ MIN KHASYATIKA MĀ TAḤŪLU BIHI BAYNANĀ WA BAYNA MA‘ĀṢĪKA,WA MIN ṬĀ‘ATIKA MĀ TUBALLIGHUNĀ BIHI JANNATAKA,WA MINAL-YAQĪNI MĀ TUHAWWINU BIHI ‘ALAYNĀ MAṢĀ’IBAD-DUNYĀ. ‘Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menjadi penghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami keyakinan yang dengannya Engkau ringankan bagi kami musibah-musibah dunia. اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، ALLAHUMMA MATTI‘NĀ BI-ASMA‘INĀ, WA ABṢĀRINĀ, WA QUWWATINĀ MĀ AḤYAYTANĀ,WAJ‘ALHU AL-WĀRITSA MINNĀ,WAJ‘AL THA’RANĀ ‘ALĀ MAN ẒALAMANĀ,WA ANṢURNĀ ‘ALĀ MAN ‘ĀDĀNĀ. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kenikmatan pada pendengaran kami, penglihatan kami, dan kekuatan kami selama Engkau masih menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai warisan yang tersisa pada diri kami (hingga akhir hayat). Jadikanlah pembalasan kami hanya kepada orang-orang yang menzalimi kami. Dan tolonglah kami menghadapi orang-orang yang memusuhi kami. وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. WA LĀ TAJ‘AL MUṢĪBATANĀ FĪ DĪNINĀ,WA LĀ TAJ‘ALID-DUNYĀ AKBARA HAMMINĀ,WA LĀ MABLAGHA ‘ILMINĀ,WA LĀ TUSALLIṬ ‘ALAYNĀ MAN LĀ YARḤAMUNĀ. Ya Allah, jangan Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami. Jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak ilmu kami. Dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 3502; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 10234; dan Ath-Thabrani dalam Ad-Du‘a, no. 1911. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ — Jumat pagi, 23 Jumadilawal 1447 H, 14 November 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscinta dunia Fitnah Harta ghanimah Jabal Amer ketakwaan khutbah jumat Konflik Sudan Nasehat Islami perang uhud Sudan
Perang saudara di Sudan yang salah satu pemicunya adalah perebutan emas Jabal Amer kembali membuka mata kita betapa ambisi dunia bisa menyeret sebuah negeri ke jurang kehancuran. Umat Islam sesungguhnya sudah diperingatkan bahwa fitnah terbesar mereka adalah harta, ketika saudara bisa berubah menjadi musuh demi kepentingan dunia yang hina dan fana. Khutbah ini mengajak kita merenungi bahaya cinta dunia dan menghidupkan doa, “اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا” agar hati tetap selamat meski dunia di sekitar kita bergolak.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat 1.2. Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama 1.3. Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah 1.4. Gara-Gara Ambisi Dunia 1.5. Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud 2. Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati 2.1. Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? 3. Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami 4. Khutbah Kedua     Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Allah memerintahkan kita untuk bertakwa. Bentuk ketakwaan adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menjalankan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ittiba’ atau mengikuti tuntunan beliau adalah bentuk ketakwaan. Menjaga diri dari permusuhan dan pertikaian antara sesama saudara muslim, juga adalah bagian dari ketakwaan. Menjauhkan diri dari ambisi duniawi pada harta adalah juga bagian dari ketakwaan, terlalu rakus pada dunia itu tercela. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftaah Daar As-Sa’adah: “Para pemikir dari berbagai bangsa sepakat dalam satu hal: bahwa orang yang tamak mengejar harta, yang hatinya selalu haus dan tak pernah cukup, layak dicela. Mereka memandang rendah orang seperti ini, bahkan menganggapnya hina karena menundukkan diri pada sesuatu yang fana.” Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kita sedang menyaksikan berita duka yang mengguncang dunia Islam hari ini: perang yang berkecamuk di Sudan, perang saudara yang memakan korban ribuan jiwa, meruntuhkan kota-kota, memecah masyarakat, dan menghancurkan tatanan negeri. Di balik konflik itu, para pengamat menunjukkan bahwa salah satu faktor penting adalah rebutan dunia, termasuk perebutan Gunung Emas Jabal Amer—sebuah ladang emas terbesar di benua Afrika yang menjadi sumber perselisihan antarkelompok. Inilah pemicu peperangan antara dua penguasa militer di Sudan. Betapa mahal harga sebuah ambisi dunia. Betapa banyak darah tumpah hanya demi harta yang sejatinya tak lebih dari debu yang akan ditinggalkan. Namun sesungguhnya, kejadian ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah umat. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi dalam skala yang berbeda, dalam umat terbaik sekalipun—umat Nabi Muhammad ﷺ. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat Perang Uhud adalah saksi abadi tentang bagaimana dunia — meski sedikit — dapat membutakan mata sebagian orang beriman. Allah telah menceritakan momen itu dalam firman-Nya: ﴿ وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ ﴾ “Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kalian mengalahkan mereka… sampai ketika kalian berselisih dan kalian bermaksiat setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian inginkan.” (QS. Āli ‘Imrān: 152) Yang diinginkan para pemanah itu apa? Ghanīmah. Harta. Rampasan perang. Mereka melihat tanda kemenangan, lalu sebagian berkata: “Turunlah! Kita harus ambil bagian dari harta perang ini.” Meskipun Rasulullah ﷺ telah memerintahkan: “Jangan tinggalkan pos kalian, apapun yang terjadi.” Ketika perintah Rasul ditinggalkan, barulah malapetaka datang: pasukan Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik memukul dari belakang, dan keadaan berubah total. Tercatat 70 sahabat mati syahid, termasuk paman Rasul yang mulia, Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Semua itu terjadi karena apa? Karena rebutan dunia. Karena mengutamakan harta daripada ketaatan. Baca juga: Perang Uhud, Pelajaran di Dalamnya Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama Jamaah sekalian, Apa yang terjadi di Sudan hari ini mencerminkan sunnatullah yang sama. Ketika dunia menjadi tujuan, maka: saudara menjadi musuh, perjanjian mudah diingkari, amanah dikhianati, darah manusia menjadi murah, dan ketaatan kepada Allah serta rasa takut kepada-Nya menjadi hilang. Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: « إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ » “Setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, no. 2336. Hadits ini sahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani) Bukankah yang terjadi hari ini di Sudan—dan juga di banyak negeri Muslim lainnya—adalah bentuk nyata dari hadits ini? Perselisihan demi harta. Pembunuhan demi harta. Perebutan wilayah karena sumber daya. Fitnah dunia memecah belah umat, sebagaimana dulu memecah barisan pemanah Uhud.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah Jika para sahabat saja diuji dan sebagian goyah oleh dunia, apalagi manusia zaman sekarang yang hatinya lebih rapuh? Namun perbedaannya satu: Para sahabat langsung bertaubat, kembali kepada Allah, menangis dalam penyesalan, dan Allah pun memuliakan mereka. Sedangkan manusia hari ini sering tidak merasa salah, karena dunia telah membutakan mata. Padahal Allah telah mengingatkan: ﴿ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴾ “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān: 185) Dunia menipu mata yang lemah. Dunia memecah hati yang tak terjaga. Dunia merusak kaum yang tidak menundukkannya.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Gara-Gara Ambisi Dunia Saat perang Uhud yang terjadi pada tiga Hijriyah yang melibatkan 700 pasukan kaum muslimin melawan 3.000 pasukan kafir Quraisy …. Teriakan para pemanah yang berada di Jabal Ramah ketika mereka merasa sudah menang, tetapi tidak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menetap di bukit tersebut: “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!”. Perhatikan segala risiko yang terjadi, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman, مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152) Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ. “Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296) Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia. Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud Khutbah ini bukan sekadar tentang Sudan. Ini adalah tentang siapa saja, umat mana saja, termasuk diri kita, yang terjebak oleh dunia. Cobalah kita ambil pelajaran: Taat Rasul lebih utama daripada harta apa pun. Kemenangan sejati bukan pada banyaknya emas, tetapi tegaknya ketaatan. Dunia adalah fitnah yang akan meruntuhkan siapa pun yang tidak mengendalikannya. Ketika umat saling berebut dunia, mereka pasti kalah — meski jumlah mereka banyak. Darah seorang Muslim lebih berharga daripada seluruh isi bumi.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati Apa yang terjadi di Sudan adalah tragedi yang mengingatkan kita pada hukum Allah yang tidak berubah: ketika dunia menjadi tujuan, kehancuran menjadi konsekuensi. Jika dunia menjadi puncak ambisi, maka ujungnya pasti seperti Uhud — kekalahan. Atau seperti Sudan hari ini — kehancuran dan kekacauan. Karena itu, mari kuatkan doa kita untuk saudara-saudara di Sudan, dan lebih penting lagi: perbaiki diri kita agar tidak menjadi bagian dari umat yang hancur karena cinta dunia.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? Marilah kita belajar agama, luangkan waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam. Harus yakini dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi. Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri. Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga dan kepentingan dunia. Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga. Semoga Allah melindungi umat ini dari fitnah harta, menguatkan hati kita dengan iman, dan menjadikan peristiwa Sudan serta pelajaran Uhud sebagai cermin bagi kita semua.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan: “Jarang sekali Rasulullah ﷺ bangkit dari suatu majelis melainkan beliau selalu berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya: اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، ALLAHUMMAQSIM LANĀ MIN KHASYATIKA MĀ TAḤŪLU BIHI BAYNANĀ WA BAYNA MA‘ĀṢĪKA,WA MIN ṬĀ‘ATIKA MĀ TUBALLIGHUNĀ BIHI JANNATAKA,WA MINAL-YAQĪNI MĀ TUHAWWINU BIHI ‘ALAYNĀ MAṢĀ’IBAD-DUNYĀ. ‘Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menjadi penghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami keyakinan yang dengannya Engkau ringankan bagi kami musibah-musibah dunia. اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، ALLAHUMMA MATTI‘NĀ BI-ASMA‘INĀ, WA ABṢĀRINĀ, WA QUWWATINĀ MĀ AḤYAYTANĀ,WAJ‘ALHU AL-WĀRITSA MINNĀ,WAJ‘AL THA’RANĀ ‘ALĀ MAN ẒALAMANĀ,WA ANṢURNĀ ‘ALĀ MAN ‘ĀDĀNĀ. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kenikmatan pada pendengaran kami, penglihatan kami, dan kekuatan kami selama Engkau masih menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai warisan yang tersisa pada diri kami (hingga akhir hayat). Jadikanlah pembalasan kami hanya kepada orang-orang yang menzalimi kami. Dan tolonglah kami menghadapi orang-orang yang memusuhi kami. وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. WA LĀ TAJ‘AL MUṢĪBATANĀ FĪ DĪNINĀ,WA LĀ TAJ‘ALID-DUNYĀ AKBARA HAMMINĀ,WA LĀ MABLAGHA ‘ILMINĀ,WA LĀ TUSALLIṬ ‘ALAYNĀ MAN LĀ YARḤAMUNĀ. Ya Allah, jangan Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami. Jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak ilmu kami. Dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 3502; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 10234; dan Ath-Thabrani dalam Ad-Du‘a, no. 1911. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ — Jumat pagi, 23 Jumadilawal 1447 H, 14 November 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscinta dunia Fitnah Harta ghanimah Jabal Amer ketakwaan khutbah jumat Konflik Sudan Nasehat Islami perang uhud Sudan


Perang saudara di Sudan yang salah satu pemicunya adalah perebutan emas Jabal Amer kembali membuka mata kita betapa ambisi dunia bisa menyeret sebuah negeri ke jurang kehancuran. Umat Islam sesungguhnya sudah diperingatkan bahwa fitnah terbesar mereka adalah harta, ketika saudara bisa berubah menjadi musuh demi kepentingan dunia yang hina dan fana. Khutbah ini mengajak kita merenungi bahaya cinta dunia dan menghidupkan doa, “اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا” agar hati tetap selamat meski dunia di sekitar kita bergolak.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 1.1. Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat 1.2. Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama 1.3. Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah 1.4. Gara-Gara Ambisi Dunia 1.5. Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud 2. Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati 2.1. Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? 3. Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami 4. Khutbah Kedua     Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Allah memerintahkan kita untuk bertakwa. Bentuk ketakwaan adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menjalankan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ittiba’ atau mengikuti tuntunan beliau adalah bentuk ketakwaan. Menjaga diri dari permusuhan dan pertikaian antara sesama saudara muslim, juga adalah bagian dari ketakwaan. Menjauhkan diri dari ambisi duniawi pada harta adalah juga bagian dari ketakwaan, terlalu rakus pada dunia itu tercela. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftaah Daar As-Sa’adah: “Para pemikir dari berbagai bangsa sepakat dalam satu hal: bahwa orang yang tamak mengejar harta, yang hatinya selalu haus dan tak pernah cukup, layak dicela. Mereka memandang rendah orang seperti ini, bahkan menganggapnya hina karena menundukkan diri pada sesuatu yang fana.” Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kita sedang menyaksikan berita duka yang mengguncang dunia Islam hari ini: perang yang berkecamuk di Sudan, perang saudara yang memakan korban ribuan jiwa, meruntuhkan kota-kota, memecah masyarakat, dan menghancurkan tatanan negeri. Di balik konflik itu, para pengamat menunjukkan bahwa salah satu faktor penting adalah rebutan dunia, termasuk perebutan Gunung Emas Jabal Amer—sebuah ladang emas terbesar di benua Afrika yang menjadi sumber perselisihan antarkelompok. Inilah pemicu peperangan antara dua penguasa militer di Sudan. Betapa mahal harga sebuah ambisi dunia. Betapa banyak darah tumpah hanya demi harta yang sejatinya tak lebih dari debu yang akan ditinggalkan. Namun sesungguhnya, kejadian ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah umat. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi dalam skala yang berbeda, dalam umat terbaik sekalipun—umat Nabi Muhammad ﷺ. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran dari Perang Uhud: Ketika Dunia Mengalahkan Taat Perang Uhud adalah saksi abadi tentang bagaimana dunia — meski sedikit — dapat membutakan mata sebagian orang beriman. Allah telah menceritakan momen itu dalam firman-Nya: ﴿ وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ ﴾ “Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kalian mengalahkan mereka… sampai ketika kalian berselisih dan kalian bermaksiat setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian inginkan.” (QS. Āli ‘Imrān: 152) Yang diinginkan para pemanah itu apa? Ghanīmah. Harta. Rampasan perang. Mereka melihat tanda kemenangan, lalu sebagian berkata: “Turunlah! Kita harus ambil bagian dari harta perang ini.” Meskipun Rasulullah ﷺ telah memerintahkan: “Jangan tinggalkan pos kalian, apapun yang terjadi.” Ketika perintah Rasul ditinggalkan, barulah malapetaka datang: pasukan Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik memukul dari belakang, dan keadaan berubah total. Tercatat 70 sahabat mati syahid, termasuk paman Rasul yang mulia, Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Semua itu terjadi karena apa? Karena rebutan dunia. Karena mengutamakan harta daripada ketaatan. Baca juga: Perang Uhud, Pelajaran di Dalamnya Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan, Dunia, dan Umat yang Mengulangi Kesalahan yang Sama Jamaah sekalian, Apa yang terjadi di Sudan hari ini mencerminkan sunnatullah yang sama. Ketika dunia menjadi tujuan, maka: saudara menjadi musuh, perjanjian mudah diingkari, amanah dikhianati, darah manusia menjadi murah, dan ketaatan kepada Allah serta rasa takut kepada-Nya menjadi hilang. Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: « إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ » “Setiap umat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, no. 2336. Hadits ini sahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani) Bukankah yang terjadi hari ini di Sudan—dan juga di banyak negeri Muslim lainnya—adalah bentuk nyata dari hadits ini? Perselisihan demi harta. Pembunuhan demi harta. Perebutan wilayah karena sumber daya. Fitnah dunia memecah belah umat, sebagaimana dulu memecah barisan pemanah Uhud.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Dunia Tidak Pernah Layak Dipertaruhkan dengan Darah Jika para sahabat saja diuji dan sebagian goyah oleh dunia, apalagi manusia zaman sekarang yang hatinya lebih rapuh? Namun perbedaannya satu: Para sahabat langsung bertaubat, kembali kepada Allah, menangis dalam penyesalan, dan Allah pun memuliakan mereka. Sedangkan manusia hari ini sering tidak merasa salah, karena dunia telah membutakan mata. Padahal Allah telah mengingatkan: ﴿ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴾ “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān: 185) Dunia menipu mata yang lemah. Dunia memecah hati yang tak terjaga. Dunia merusak kaum yang tidak menundukkannya.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Gara-Gara Ambisi Dunia Saat perang Uhud yang terjadi pada tiga Hijriyah yang melibatkan 700 pasukan kaum muslimin melawan 3.000 pasukan kafir Quraisy …. Teriakan para pemanah yang berada di Jabal Ramah ketika mereka merasa sudah menang, tetapi tidak mengindahkan perintah Rasulullah untuk menetap di bukit tersebut: “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!”. Perhatikan segala risiko yang terjadi, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman, مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152) Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ. “Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296) Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia. Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Pelajaran Besar untuk Kita: Jangan Ulangi Kesalahan Uhud Khutbah ini bukan sekadar tentang Sudan. Ini adalah tentang siapa saja, umat mana saja, termasuk diri kita, yang terjebak oleh dunia. Cobalah kita ambil pelajaran: Taat Rasul lebih utama daripada harta apa pun. Kemenangan sejati bukan pada banyaknya emas, tetapi tegaknya ketaatan. Dunia adalah fitnah yang akan meruntuhkan siapa pun yang tidak mengendalikannya. Ketika umat saling berebut dunia, mereka pasti kalah — meski jumlah mereka banyak. Darah seorang Muslim lebih berharga daripada seluruh isi bumi.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Sudan Hanya Contoh, Kita Semua Bisa Terjatuh Jika Cinta Dunia Menguasai Hati Apa yang terjadi di Sudan adalah tragedi yang mengingatkan kita pada hukum Allah yang tidak berubah: ketika dunia menjadi tujuan, kehancuran menjadi konsekuensi. Jika dunia menjadi puncak ambisi, maka ujungnya pasti seperti Uhud — kekalahan. Atau seperti Sudan hari ini — kehancuran dan kekacauan. Karena itu, mari kuatkan doa kita untuk saudara-saudara di Sudan, dan lebih penting lagi: perbaiki diri kita agar tidak menjadi bagian dari umat yang hancur karena cinta dunia.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Lalu bagaimana agar tidak gila dunia? Marilah kita belajar agama, luangkan waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam. Harus yakini dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi. Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri. Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga dan kepentingan dunia. Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga. Semoga Allah melindungi umat ini dari fitnah harta, menguatkan hati kita dengan iman, dan menjadikan peristiwa Sudan serta pelajaran Uhud sebagai cermin bagi kita semua.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Penutup: Ya Allah, Janganlah Jadikan Dunia Sebagai Tujuan Terbesar Kami Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan: “Jarang sekali Rasulullah ﷺ bangkit dari suatu majelis melainkan beliau selalu berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya: اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، ALLAHUMMAQSIM LANĀ MIN KHASYATIKA MĀ TAḤŪLU BIHI BAYNANĀ WA BAYNA MA‘ĀṢĪKA,WA MIN ṬĀ‘ATIKA MĀ TUBALLIGHUNĀ BIHI JANNATAKA,WA MINAL-YAQĪNI MĀ TUHAWWINU BIHI ‘ALAYNĀ MAṢĀ’IBAD-DUNYĀ. ‘Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menjadi penghalang antara kami dan maksiat kepada-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu. Dan anugerahkanlah kepada kami keyakinan yang dengannya Engkau ringankan bagi kami musibah-musibah dunia. اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، ALLAHUMMA MATTI‘NĀ BI-ASMA‘INĀ, WA ABṢĀRINĀ, WA QUWWATINĀ MĀ AḤYAYTANĀ,WAJ‘ALHU AL-WĀRITSA MINNĀ,WAJ‘AL THA’RANĀ ‘ALĀ MAN ẒALAMANĀ,WA ANṢURNĀ ‘ALĀ MAN ‘ĀDĀNĀ. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kenikmatan pada pendengaran kami, penglihatan kami, dan kekuatan kami selama Engkau masih menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai warisan yang tersisa pada diri kami (hingga akhir hayat). Jadikanlah pembalasan kami hanya kepada orang-orang yang menzalimi kami. Dan tolonglah kami menghadapi orang-orang yang memusuhi kami. وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. WA LĀ TAJ‘AL MUṢĪBATANĀ FĪ DĪNINĀ,WA LĀ TAJ‘ALID-DUNYĀ AKBARA HAMMINĀ,WA LĀ MABLAGHA ‘ILMINĀ,WA LĀ TUSALLIṬ ‘ALAYNĀ MAN LĀ YARḤAMUNĀ. Ya Allah, jangan Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami. Jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak ilmu kami. Dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 3502; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 10234; dan Ath-Thabrani dalam Ad-Du‘a, no. 1911. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا. اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ — Jumat pagi, 23 Jumadilawal 1447 H, 14 November 2025 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscinta dunia Fitnah Harta ghanimah Jabal Amer ketakwaan khutbah jumat Konflik Sudan Nasehat Islami perang uhud Sudan

Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah Nabawiyah

Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.   Daftar Isi tutup 1. Sebab Terjadinya Fathu Makkah 2. Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian 3. Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah 4. Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah 5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya 6. Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib 7. Abu Sufyan Masuk Islam 8. Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati 9. Pembersihan Ka‘bah dari Berhala 10. Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram 11. Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga 12. Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar 13. Baiat Agung di Shafā 14. Keislaman Abū Quḥāfah 15. Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl 16. Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy 17. Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm 18. Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah 18.1. 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam 18.2. 2. Pentingnya Menepati Janji 18.3. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian 18.4. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh 18.5. 5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah 18.6. 6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah 18.7. 7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam 18.8. 8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib 18.9. 9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir 18.10. 10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib 18.11. 11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar 18.12. 12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka 18.13. 13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman 18.14. 14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat 18.15. 15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama 18.16. 16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu 18.17. 17. Keutamaan Ahli Badar 18.18. 18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ 18.19. 19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah 18.20. 20. Marah Demi Agama 18.21. 21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar 18.22. 22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah 18.23. 23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya 18.24. 24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ 18.25. 25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik 18.26. 26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān 18.27. 27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan 18.28. 28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong 18.29. 29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah 18.30. 30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar 18.31. 31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah 18.32. 32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci 18.33. 33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah 18.34. 34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir 18.35. 35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid 18.36. 36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? 18.37. 37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah 18.38. 38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah 18.39. 39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy 18.40. 40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua 18.41. 41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan: ﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ۝ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ۝ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3) Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang: ﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾ “Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10) Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)   Sebab Terjadinya Fathu Makkah Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah. Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.   Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278) Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)   Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: «اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا» “Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)   Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita. ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu. Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ. Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib: «يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟» “Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?” Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.” Rasulullah ﷺ bersabda: «أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ» “Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.” Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!” Nabi ﷺ menanggapi: «إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim) Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.” Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah ﷺ menjawab: “Bukankah dia termasuk ahli Badar?” Beliau kemudian menambahkan: فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki karena kalian sudah dijamin surga, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb. ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت». Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي». Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.” وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ». Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”   Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya. Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.   Abu Sufyan Masuk Islam Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam. Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu: احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين “Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.” Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam. Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن». “Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”   Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ. Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang. Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah. Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang. Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur. Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah: ‘Ikrimah bin Abī Jahl, ‘Abdullāh bin Khathal, Miqyas bin Shubābah, ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ. ‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam. Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal. Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ “Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.” Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata: “Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”   Pembersihan Ka‘bah dari Berhala Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81) Dan juga firman Allah Ta‘ālā: قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49) Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau. Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda: قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ “Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.” Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus. Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda: قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ “Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”   Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.” Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13) Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya: لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.” Beliau pun berkata: اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ “Pergilah kalian, kalian semua bebas.” Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.   Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?” Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ “Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.” Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.   Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.” Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?” Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ “Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.” Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata: “Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka: إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”   Baiat Agung di Shafā Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak: “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka. Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda: هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ “Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau). ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”   Keislaman Abū Quḥāfah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ “Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?” Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.” Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam. Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata: هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ» “Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”   Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata: “Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.” ‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.” Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.   Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ “Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 3298) Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala. Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah. Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy. Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘. Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj. Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab. Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ» “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.” Setelah itu, tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masih menyimpan berhala di rumahnya. Jika ada yang memelihara, berhala itu akan dihapus atau dihancurkan, bahkan sekadar disentuh pun ditinggalkan dengan penuh rasa jijik. Kaum Muslimin pun berbondong-bondong menghancurkan patung-patung tersebut. Ketika itu, ‘Ikrimah bin Abī Jahl radhiyallāhu ‘anhu—yang saat itu belum masuk Islam—pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ada satu rumah di antara rumah-rumah Quraisy kecuali berhalanya dihancurkan.” Setelah itu, Hindun binti ‘Utbah radhiyallāhu ‘anhā—istri Abu Sufyān—masuk Islam dan berkata, “Dulu kami menyembah berhala-berhala itu. Ketika tamimah (jimat) itu rusak, kami merasa tertipu.” Maka berhala-berhala pun dihancurkan oleh kaum Muslimin.   Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm Ketika Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah setelah penaklukan (Fathu Makkah), terjadi sebuah peristiwa penting. Seorang wanita terpandang dari kalangan Bani Makhzūm melakukan pencurian. Kaum Quraisy sangat gelisah karena mengetahui bahwa hukum syariat akan menuntut agar tangannya dipotong. Mereka pun berembuk dan berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini?” Akhirnya mereka memilih Usāmah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu, kesayangan Rasulullah ﷺ, untuk menyampaikan permohonan. Usāmah radhiyallāhu ‘anhu pun berbicara kepada Nabi ﷺ tentang wanita itu, meminta agar hukuman diringankan. Wajah Rasulullah ﷺ pun berubah, lalu beliau bersabda: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللّٰهِ؟ “Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam perkara hukum hudud Allah?” Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ berdiri menyampaikan khutbah kepada manusia. Beliau ﷺ bersabda: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللّٰهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fāṭimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita itu dihukum sesuai syariat, maka dipotonglah tangannya. Diriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Wanita dari Bani Makhzūm itu bertaubat dengan sungguh-sungguh setelah menjalani hukumannya. Ia menikah kemudian hidup terhormat. Pernah suatu ketika ia datang kepadaku untuk suatu keperluan, lalu aku sampaikan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari, no. 3475 dan Muslim, no. 1315)   Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah Dari peristiwa penaklukan Makkah, kita dapat mengambil sejumlah faedah penting berikut: 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam Fathu Makkah menjadi batas tegas antara dua tahap dalam perjalanan Islam. Allah Ta‘ālā berfirman: لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُو۟لَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا۟ مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا۟ ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 10) Ibnu Juzay rahimahullāh berkata: “Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin dalam keadaan lemah, sangat membutuhkan infak dan jihad, sehingga pahala orang yang berinfak dan berperang sebelum fathu Makkah lebih besar daripada setelahnya.” Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin menghadapi musuh besar di Makkah, Ṭāif, serta berbagai kabilah Arab yang masih menunggu waktu untuk menyerang. Namun setelah Makkah ditaklukkan, Allah memuliakan agama ini, pusat kesyirikan dihancurkan, panji tauhid berkibar, dan kemenangan datang dari Allah. Islam pun semakin jelas jalannya, dan masa depan umat ini menjadi lebih terang. Karena itu, Allah tidak menyamakan antara orang yang berinfak dan berjuang sebelum fathu Makkah dengan yang melakukannya setelahnya, meskipun Allah tetap menjanjikan kebaikan bagi keduanya. 2. Pentingnya Menepati Janji Kemenangan kaum Muslimin menunjukkan betapa pentingnya menepati janji. Orang-orang kafir Quraisy ketika itu sebenarnya masih terikat dengan perjanjian damai bersama Rasulullah ﷺ. Namun, ketika mereka melanggarnya, Allah menurunkan akibatnya, hingga Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala, dan menghapus sisa-sisa jahiliyah yang ada di dalamnya. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian Peristiwa ini juga menegaskan bahwa mengkhianati perjanjian adalah perbuatan tercela. Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada ‘Amr bin Sālim: نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau akan ditolong, wahai ‘Amr bin Sālim.” Sabda ini muncul karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai dianggap sebagai pelanggaran besar yang mengundang hukuman dari Allah. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh Sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Sālim: «نُصِرْتَ يا عَمْرُو بنَ سَالِمٍ» (“Engkau telah diberi pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim!”) Ungkapan ini menunjukkan sejauh mana wibawa negara Islam saat itu. Islam telah menjadi kekuatan besar di kawasan, membela yang terzalimi dan menentang kezhaliman. Kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun menghitung kekuatan Islam sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Maka, ketika Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat ini, ‘Amr bin Sālim pun yakin benar bahwa beliau pasti akan menolongnya. Buktinya, kaum Muslimin berangkat cepat hingga tiba di Makkah, lalu mereka menyerang Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy dan membunuh mereka di peristiwa Hudaibiyah. ‘Amr bin Sālim pun kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira bahwa mereka akan mendapat kemenangan, sedangkan musuh-musuh mereka akan kalah. Hal ini semakin diperkuat dengan berangkatnya Abu Sufyān ke Madinah untuk memperbarui perjanjian damai, karena ia takut akan akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut. Quraisy benar-benar ketakutan menghadapi konfrontasi besar itu. Peristiwa ini memperlihatkan perubahan besar dalam neraca kekuatan, yang jelas menguntungkan umat Islam. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.   5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah Kisah kedatangan Abu Sufyān ke Madinah dan masuknya ia menemui Ummul Mu’minīn, Ummu Habībah radhiyallahu ‘anha, putrinya sendiri. Ketika Abu Sufyān ingin duduk di atas tikar Rasulullah ﷺ, Ummu Habībah segera melipatnya agar ayahnya tidak bisa duduk di atasnya. Ia berkata: “Ini adalah tikar Rasulullah ﷺ, dan engkau adalah seorang lelaki musyrik yang najis.” Sikap ini memperlihatkan betapa jelasnya kebencian para sahabat terhadap syirik dan kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat. Abu Sufyān adalah ayah kandungnya, tetapi itu tidak mengubah sikapnya sedikit pun.   6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah Abu Sufyān lalu datang kepada Rasulullah ﷺ untuk berbicara, agar beliau memperpanjang dan memperkuat perjanjian damai. Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapi sedikit pun. Maka Abu Sufyān pergi kepada Abū Bakr, kemudian kepada ‘Umar, lalu kepada ‘Uthmān, dan terakhir kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Perhatikanlah urutan yang dilakukan Abu Sufyān! Ia datang pertama kepada Abū Bakr, lalu kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Uthmān, lalu kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Persis sebagaimana yang kemudian terjadi dalam penetapan Khilāfah Rāsyidah. Ini pula yang terkenal di kalangan sahabat tentang urutan keutamaan mereka.   7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam Disyariatkan untuk menyembunyikan (merahasiakan) sesuatu apabila dikhawatirkan menimbulkan mudarat bila diumumkan. Rasulullah ﷺ pun tidak selalu memberitahukan arah tujuan perjalanannya kepada manusia, agar tetap terjaga maslahatnya, dan supaya Quraisy tidak bersiap lebih awal untuk menghadang. Allah Ta‘ālā berfirman tentang kisah Ashḥābul Kahfi: ﴿ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا ﴾ [الكهف: 19] “Dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahf: 19) Maknanya adalah hendaknya mereka bersikap hati-hati, merahasiakan urusan mereka, termasuk ketika masuk kota dan membeli makanan, jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan mereka. Demikian pula kaum Muslimin dahulu: “Ista‘īnū ‘alā injāḥi ḥawā’ijikum bil-kitmān” (Mintalah pertolongan untuk menyelesaikan kebutuhan kalian dengan cara merahasiakannya).   8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib Di antara tanda kenabian Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk membuntuti seorang wanita yang membawa surat dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah. Surat itu berisi informasi tentang rencana Rasulullah ﷺ. Allah memberi tahu Nabi-Nya melalui wahyu tentang isi surat itu, siapa pengirimnya, dan lokasi wanita tersebut. Maka Rasulullah ﷺ segera mengutus sahabat untuk menghadang wanita itu. Benar saja, mereka mendapati surat tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Peristiwa ini termasuk bukti jelas dari tanda-tanda kenabian, yaitu berita gaib yang Allah kabarkan kepada Nabi-Nya terkait kisah Ḥāṭib dengan wanita itu.”   9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir Kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat dari kalangan Muhājirīn—menunjukkan bahwa manusia tidak lepas dari kelemahan. Bisa jadi seorang mukmin yang tulus iman dan amalnya, tetap saja terjerumus dalam tindakan yang keliru karena dorongan hawa nafsu atau tuntutan kebutuhan hidup. Itulah yang dilakukan Ḥāṭib ketika ia menyembunyikan surat kepada Quraisy mengenai perjalanan Rasulullah ﷺ. Perbuatan ini tidaklah mengurangi keimanannya, melainkan bagian dari kelemahan manusiawi. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Seorang mukmin, sekalipun sudah sampai pada tingkatan saleh, tetap saja bisa tergelincir dalam dosa. Karena itu ia harus senantiasa berlindung kepada Allah, selalu bergantung pada-Nya, dan terus istiqamah dalam berpegang teguh kepada-Nya.” Kita berdoa sebagaimana doa orang-orang yang mantap imannya: ﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ﴾ [آل عمران: 8] “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (QS. Āli ‘Imrān: 8)   10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib Dalam kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: «ما حَمَلَكَ يا حاطِبُ على ما صَنَعْتَ؟» (“Apa yang mendorongmu melakukan hal itu, wahai Ḥāṭib?”) Pertanyaan Nabi ﷺ yang penuh kelembutan ini menunjukkan bahwa niat sangatlah penting dalam menilai sebuah perbuatan. Ḥāṭib melakukan tindakan tersebut bukan karena ingin murtad dari agama Islam, tetapi semata karena ingin melindungi keluarga dan harta yang ia tinggalkan di Makkah. Hal ini menjadi bukti bahwa menjaga harta dan keselamatan keluarga bukanlah bentuk kufur, melainkan bentuk kelemahan iman yang bersifat insaniyah. Maka, membedakan antara maksud melindungi agama dengan maksud melindungi harta adalah hal penting; yang pertama urusan agama, yang kedua urusan duniawi. Allah ﷻ berfirman: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ … ﴾ [الممتحنة: 1] “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (rahasia kaum Muslimin) karena rasa kasih sayang, padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada kalian...” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Para ulama berkata: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ḥāṭib, dan penutup ayat ini: ﴿ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة: 1] “Barang siapa melakukannya di antara kalian, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Ini menunjukkan bahwa tindakannya keliru, tetapi tidak mengeluarkannya dari iman, karena didasari kelemahan manusia, bukan karena membela kekufuran.   11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar Perbuatan al-muwālāt (berloyalitas) kepada orang kafir dengan makna seperti kasus Ḥāṭib memang merupakan dosa besar dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Namun, itu tidaklah mengeluarkannya dari Islam. Ini merupakan kaidah penting: kesalahan seperti ini tidak boleh membuat seseorang dicabut dari nama iman, selama masih ada dasar keimanan dalam dirinya. Kesalahan tersebut juga tidak mengurangi kedudukan seorang sahabat besar seperti Ḥāṭib al-Badrī radhiyallahu ‘anhu. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada kita tentang kedudukan istimewa orang-orang yang ikut Perang Badar? Beliau ﷺ bersabda: «لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Barangkali Allah telah melihat (mengetahui keadaan) para pejuang Badar, lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” Maka Rasulullah ﷺ memandang perbuatan Ḥāṭib dalam konteks ini. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sempat ingin menghukumnya, tetapi Rasulullah ﷺ menegur: «صَدَقَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا» “Dia berkata benar. Janganlah kalian katakan tentangnya kecuali yang baik-baik.” Maka para sahabat pun menerima penjelasan Nabi ﷺ, mengakui kebenaran Ḥāṭib, dan hanya berkata yang baik tentang dirinya.   12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka Cara Rasulullah ﷺ menghadapi peristiwa ini sungguh penuh kelembutan. Beliau ﷺ tidak tergesa-gesa menghukum, tetapi terlebih dahulu bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, wahai Ḥāṭib?” Kemudian beliau mendengarkan alasan dengan lapang dada. Inilah teladan Nabi ﷺ: mengajarkan kita untuk memberi uzur kepada orang lain, berbaik sangka, lembut dalam berinteraksi, serta tidak mengeluarkan ucapan kecuali yang baik dan penuh kasih sayang. Maha benar Allah yang telah menjadikan beliau sebagai manusia paling penuh rahmat, paling pemaaf, paling bijak, dan sebaik-baik teladan.   13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman Dalam cara Rasulullah ﷺ berinteraksi, terdapat pedoman bagi kita dalam memperlakukan saudara-saudara kita. Hendaknya kita berbaik sangka, mencari alasan yang memaafkan, menerima kekhilafan, mengingat kebaikan yang pernah ia lakukan, dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan. Bila seseorang berbuat salah, jangan langsung menilai bahwa itu karena keraguan atau kurangnya iman. Bisa jadi itu hanyalah kondisi sesaat akibat faktor duniawi. Namun, ia segera bertaubat kepada Tuhannya. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka digoda oleh setan, mereka teringat (akan Allah), maka ketika itu juga mereka melihat dengan jelas (kebenaran).” (QS. Al-A‘rāf: 201) Mereka adalah orang-orang bertakwa, tetapi tetap bisa tersentuh oleh godaan setan. Hanya saja, mereka cepat sadar, segera melihat kebenaran, lalu kembali kepada Rabb mereka. Jalan hidup mereka tidak ternoda oleh dosa itu, bahkan bisa jadi, setelah mereka bertaubat dan kembali kepada Allah, keadaan mereka menjadi lebih baik daripada sebelum terjatuh dalam dosa.   14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat Dalam kisah Hatib radhiyallāhu ‘anhu terdapat pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah tergelincir dalam kesalahan—dan siapakah yang tak pernah tergelincir?—bahwa seseorang tidak boleh mengingkari kesalahan yang telah dilakukannya. Hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah, meminta maaf, dan jujur dalam pengakuannya. Tiada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengan taubat yang tulus, pengakuan yang jujur, dan keikhlasan dalam memperbaiki diri. Ibnu Hajar rahimahullāh berkata: “Barang siapa melakukan kesalahan, hendaklah ia tidak mengingkarinya, melainkan mengakuinya dan meminta maaf, agar tidak menumpuk dua dosa sekaligus.”   15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama Kisah Hatib juga menunjukkan kedudukan tinggi orang-orang yang berilmu dan beramal saleh. Kesalahan mereka tidak sama dengan kesalahan orang kebanyakan, sebab lautan kebaikan mereka menenggelamkan kekeliruan yang mungkin terjadi. Maka, hendaknya kesalahan mereka ditimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan, dan kita memperhatikan sikap lapang dada serta penghargaan terhadap jasa mereka.   16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu Kisah Hatib juga mengajarkan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi perkara yang sulit. Ketika Umar berkata kepada Nabi ﷺ, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini,” beliau tidak melakukannya atas dorongan pribadi, tetapi setelah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Maka, Rasulullah pun menjelaskan posisi hukum yang benar dalam perkara itu. Dari sini kita belajar: jangan tergesa-gesa dalam menghukumi, tetapi kembalikan semuanya kepada ilmu dan bimbingan syariat.   17. Keutamaan Ahli Badar Kisah Hatib juga menegaskan kemuliaan para pejuang Badar radhiyallāhu ‘anhum. Mereka memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah karena jasa besar mereka dalam membela Islam dan kaum muslimin. Keutamaan ini menjadi alasan mengapa Rasulullah ﷺ memaafkan Hatib dan menegaskan kedudukannya sebagai bagian dari ahli Badar. Baca juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya   18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ Sebagai penutup kisah Hatib, terdapat pelajaran penting dalam memahami akidah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah). Banyak orang terjatuh dalam sikap berlebihan di dua sisi: sebagian terlalu ekstrem dalam permusuhan, sementara sebagian lain berlebihan dalam toleransi. Kedua sisi ini sama-sama menyimpang dari keseimbangan yang diajarkan oleh syariat. Sikap berlebihan (ghuluw ifrāṭ) dalam masalah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah) biasanya tampak dalam dua bentuk: Pertama, mudah mengkafirkan orang lain hanya karena perbuatan lahiriah. Ini terjadi karena tidak memahami dengan jelas batasan kekufuran dalam masalah walā’ wal-barā’. Padahal, walā’ wal-barā’ adalah urusan hati. Kekufuran dalam hal ini terjadi bila seseorang mencintai orang kafir karena kekafirannya, mendukung mereka agar agama mereka menang atas Islam, atau menginginkan kejayaan agama mereka di atas agama kaum muslimin. Inilah bentuk kufur dalam masalah walā’ wal-barā’. Adapun jika seseorang menolong orang kafir dalam perkara duniawi atau karena kepentingan tertentu, itu tidak serta merta menjadikannya kafir. Bisa jadi, ia masih mencintai Islam dan membenci kekafiran, tetapi imannya lemah karena pertimbangan duniawi yang ia utamakan daripada akhiratnya. Kisah Hatib bin Abi Balta‘ah radhiyallāhu ‘anhu menjadi bukti nyata. Ia berkata, “Aku tidak melakukannya karena kufur, tidak pula murtad dari agamaku, dan tidak ridha terhadap kekafiran setelah Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia berkata benar.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata, “Terkadang seseorang menunjukkan rasa kasih atau bantuan kepada orang kafir karena hubungan keluarga atau kebutuhan tertentu. Hal itu termasuk dosa yang mengurangi imannya, tetapi tidak menjadikannya kafir.” Sebagaimana yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta‘ah. Kedua, tanda lain dari sikap berlebihan dalam al-walā’ wal-barā’ adalah kesalahan dalam menerapkan konsep barā’ (berlepas diri dari orang kafir). Kesalahan ini bisa muncul karena terlalu menekankan dalil-dalil tentang barā’ tanpa menyeimbangkannya dengan ayat dan hadits tentang akhlak baik dan keadilan dalam berinteraksi. Allah Ta‘ala berfirman: لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Sebagian orang hanya berpegang pada ayat tentang barā’, lalu melupakan ayat tentang akhlak mulia. Adapun sisi lain dari penyimpangan adalah sikap meremehkan (tafrīṭ), yaitu mengaburkan akidah al-walā’ wal-barā’. Biasanya datang dari kalangan intelektual yang terpengaruh pemikiran Barat—baik karena studi, bacaan, atau cara berpikir—sehingga mereka berusaha menafsirkan ulang akidah ini. Mereka menganggap al-walā’ wal-barā’ sebagai ajaran yang menumbuhkan kebencian antaragama, lalu menuntut agar konsep itu dihapus demi “toleransi”. Padahal, sikap ini justru menolak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang tegas tentang kewajiban mencintai orang beriman dan berlepas diri dari kekafiran. Mereka harus disadarkan bahwa Islam tidak boleh disalahkan atas perilaku berlebihan sebagian pemeluknya. Jika ada yang ekstrem dalam walā’ wal-barā’, bukan berarti solusinya adalah menjadi ekstrem di arah sebaliknya. Karena kebenaran terletak di jalan tengah — wasathiyyah — antara ghuluw dan tafrīṭ.   19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah Keutamaan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—yakni kecemburuannya terhadap agama, dan ketegasannya dalam menjaga kemurnian masyarakat serta kebersihannya. Di antara keutamaan yang disebutkan untuknya—radhiyallāhu ‘anhu—adalah bahwa ia sangat menginginkan kebaikan pada agamanya, sehingga bila ia melihat sesuatu yang menyentuh rasa cemburu dan kehormatan agama, ia segera kembali kepada Rasulullāh ﷺ. Ini termasuk keutamaannya. Ketika posisi Rasulullāh ﷺ antara Abū Bakr dan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, dan keduanya termasuk penghuni surga, maka ‘Umar menangis dan matanya berlinang air mata—radhiyallāhu ‘anhu wa arḍāh. Ia lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Diriwayatkan dalam Shahīh al-Bukhārī bahwa ia berkata, “Maka berlinanglah air mata ‘Umar.” Ia berkata, “Allāh wa Rasūluh a‘lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui).” Ibnu Hajar—rahimahullāh—berkata dalam Fath al-Bārī: “Kemungkinan hal itu terjadi karena ia menangis ketika menyadari saat yang menyentuh hatinya dengan khusyuk dan penyesalan atas apa yang telah ia katakan terhadap Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu.”   20. Marah Demi Agama Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Kadang seorang Muslim menisbatkan kepada dirinya sifat kemunafikan atau kekafiran karena marah dan cemburu terhadap agama Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya, tanpa bermaksud benar-benar kafir. Ia tidak keluar dari Islam karenanya. Ia tidak dihisab atas hal itu, karena ucapan tersebut tidak berasal dari niat hati, melainkan dari dorongan spontan. Hal ini berbeda dengan keadaan ahli hawa nafsu dan ahli bid‘ah, sebab mereka mengucapkan kekafiran dan kebatilan karena sengaja menentang kebenaran dan menyeru manusia kepadanya.” Inilah yang membedakan antara orang yang tergelincir sejenak karena marah terhadap dirinya sendiri dengan orang yang benar-benar kafir dan menyimpang. Orang yang tergelincir sesaat seperti ini tetap berada dalam pertolongan Allah dan mendapatkan keutamaannya. Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—berkata: “Barang siapa yang kafir kepada seseorang, atau menuduh seseorang kafir karena marah sesaat, maka semoga Allah memaafkannya,” sebagaimana yang dikatakan pula tentang kisah Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—pada peristiwa surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Quraisy sebelum Fath Makkah. ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullāh ﷺ bersabda, “Bukankah ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar? Allah telah berfirman tentang mereka, ‘Lakukanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’” Maka ‘Umar pun menangis karena marahnya itu hanya dorongan sesaat, bukan niat untuk melampaui batas. Demikian pula yang terjadi pada sebagian sahabat lainnya dan generasi setelah mereka, bila marah karena membela agama. Namun, bila seseorang benar-benar menuduh orang lain kafir atau mencaci maki dengan kesengajaan, maka itu berbeda; sebab hal itu menunjukkan maksud hati yang salah, bukan karena semangat agama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal-hal seperti ini.   21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—juga berkata dalam penjelasannya yang lain: “Kadang dosa besar atau syirik kecil dapat dihapus oleh amal saleh yang besar, sebagaimana terjadi pada kisah Ḥāṭhib. Ia melakukan dosa besar, tetapi amal kebaikan yang besar telah menghapusnya, dan hal itu disaksikan oleh para sahabat secara nyata.”   22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah Tentang pasukan besar yang berangkat dari Madinah menuju Makkah. Allah ﷻ menjaga rahasia perjalanan itu dari pengetahuan kaum Quraisy. Rasulullah ﷺ tiba di pinggiran Makkah tanpa diketahui oleh mereka. Abu Sufyān pun keluar bersama beberapa orang untuk mencari kabar, mereka berusaha merasakan tanda-tanda kedatangan pasukan, namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tentara Rasulullah ﷺ yang mengepung mereka di luar batas kota Makkah. Peristiwa ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ﷻ, bahwa Dia menghalangi berita besar seperti itu agar tidak sampai ke telinga penduduk Makkah, padahal jumlah pasukan itu sangat besar dan kekuatannya sangat dahsyat.   23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya Dalam perjalanan, Rasulullah ﷺ berhenti di sisi makam ibunya, Āminah bintu Wahb. Beliau menziarahi makam ibunya, menangis, dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku agar aku dapat menziarahi makam ibuku, dan Dia mengizinkanku. Namun ketika aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, Dia tidak mengizinkanku.” Dalam peristiwa ini terkandung pelajaran besar tentang kedudukan ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara manusia, tak ada seorang pun yang mampu menunaikan haknya sepenuhnya. Ia telah memberikan untukmu usia, kehidupan, jiwa, dan seluruh perasaannya, dengan ketulusan yang tak mampu engkau balas, bahkan sekadar menandingi pun tidak mungkin. Bagi Rasulullah ﷺ, urusan ibunya memiliki tempat yang sangat khusus. Beliau lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah bahkan sebelum dilahirkan, lalu tak lama setelah itu kehilangan ibu pula. Inilah bentuk yatim yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Nabi ﷺ telah kehilangan semua bentuk kasih sayang manusiawi: ayah, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka beliau tumbuh tanpa mengenal siapa pun dari mereka.” Dalam dua perjalanan penting—dari Madinah ke Makkah dan sebaliknya—beliau ﷺ melewati daerah tempat ibunya dimakamkan, yakni di suatu padang pasir yang jauh dari kota Makkah. Ketika beliau masih kecil, ibunya wafat di sana, dan beliau yang kecil kala itu ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir. Kini, setelah bertahun-tahun, beliau melewati tempat itu lagi untuk pertama kalinya sejak berpisah dengannya. Rasulullah ﷺ berhenti di situ, menangis, dan mengingat kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan beliau saat itu kecuali mereka yang kehilangan orang yang paling dicintai. Orang-orang yang bersama beliau pun ikut menangis menyaksikan tangisannya. Tangisan beliau lebih dalam daripada siapa pun, karena yang beliau tangisi bukan hanya sosok ibu, melainkan juga kenangan kasih sayang, kehilangan, dan kerinduan masa kecil. Ini adalah pelajaran mendalam tentang kedudukan ibu dan besarnya hak seorang ibu atas anaknya. Beliau ﷺ menunjukkan bahwa kasih seorang anak terhadap ibunya harus selalu disertai pengakuan terhadap kedudukan dan kemuliaannya, meskipun ibunya telah tiada. Itulah pelajaran abadi dari peristiwa yang menyentuh hati ini—sebuah pelajaran yang disampaikan langsung oleh Al-Muṣṭafā ﷺ. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan ibu, berbakti kepadanya, serta menziarahi makamnya bila ia telah wafat—sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lebih dahulu mendahuluimu menuju negeri akhirat. Maka janganlah engkau meremehkan ziarah ke makam ibu, ucapkanlah salam untuknya, dan doakanlah kebaikan baginya. Cukuplah bagimu meneladani Al-Muṣṭafā ﷺ yang telah menziarahi makam ibunya, meskipun beliau tidak diizinkan untuk memohonkan ampun baginya. Sungguh disayangkan, banyak orang yang lalai menziarahi kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bahkan sebagian dari mereka sampai lupa di mana makam ibu atau ayahnya, padahal waktu terus berlalu sementara hubungan kasih sayang itu terputus. Ini juga menjadi pelajaran tentang pentingnya menyambung tali silaturahim dengan kerabat secara umum, dan menziarahi para kerabat yang telah meninggal dunia. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan amalan ini, padahal ziarah ke makam keluarga merupakan salah satu bentuk bakti dan doa untuk mereka yang telah mendahului kita.   24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ Dalam peristiwa ziarah tersebut dan sabda Rasulullah ﷺ: “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku,” telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak dahulu tentang nasib kedua orang tua Nabi ﷺ. Kesimpulan menurut pendapatku—kata penulis—adalah bahwa sebaiknya kita menahan diri dari memastikan bagaimana keadaan mereka berdua, tidak memastikan mereka di surga ataupun di neraka. Sebab perkara ini sangat berat, penuh tanggung jawab besar, dan tidak ada nash yang secara tegas dan pasti dalam hal ini. Teks-teks yang datang bersifat umum, sedangkan nash yang khusus tidaklah cukup jelas. Adapun hadits yang menyebut tentang ayah beliau ﷺ, memang ada riwayat yang diperselisihkan maknanya. Karena itu, lebih selamat bila kita menahan diri dan tidak memastikan dengan keyakinan tertentu, sebab tidak ada dalil yang benar-benar tegas dan pasti dalam hal ini. Adapun mengenai ibunda beliau ﷺ, tidak ada satu hadits sahih pun yang secara jelas menjelaskan keadaan beliau, selain larangan bagi Nabi ﷺ untuk memohonkan ampun baginya. Namun larangan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan nasib akhirnya, karena bisa jadi alasan tidak diizinkannya adalah sebab beliau wafat sebelum masa diutusnya kenabian—yakni termasuk golongan ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). Maka, keadaan mereka sepenuhnya berada di bawah kehendak Allah, dan kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana nasib mereka. Dan boleh jadi, Allah ﷻ menghendaki agar nasib ibunda Nabi ﷺ tetap menjadi perkara yang tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, sehingga tidak seorang pun berani memastikan hukum tentangnya kecuali Allah semata. Bisa jadi pula, dari ketetapan Allah yang penuh hikmah ini, terdapat isyarat bahwa seandainya Nabi ﷺ diizinkan untuk memohonkan ampun bagi ibunya, maka hal itu bisa menjadi dalil umum atas kebolehan memintakan ampun untuk seluruh *ahlul fatrah* (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). As-Sindi rahimahullāh berkata: “Istighfar (permohonan ampun) adalah cabang dari penyesalan atas dosa. Dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dibebani hukum syariat dan mengerti ajaran agama. Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka ia tidak membutuhkan istighfar, sebab hukum istighfar hanya disyariatkan untuk orang-orang yang telah menerima dakwah dan menolak kebenaran, meskipun bisa jadi mereka termasuk orang yang selamat.” Juga dapat dikatakan bahwa penduduk masa jahiliah secara umum diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir dalam urusan dunia, sehingga tidak dishalatkan dan tidak dimintakan ampun bagi mereka, sedangkan urusan akhirat mereka dikembalikan kepada Allah ﷻ semata. Tangisan Nabi ﷺ ketika menziarahi makam ibundanya tidaklah menunjukkan bahwa beliau yakin ibunya diazab. Bisa jadi tangisan itu muncul karena kelembutan hati beliau, kasih sayang, dan kerinduan yang mendalam kepada ibunya, bukan karena keyakinan akan azab. Imam Nawawi rahimahullāh berkata: “Mungkin sebab Nabi ﷺ menangis adalah karena beliau teringat pada ibunya dan merasa iba padanya. Allah lebih mengetahui alasan sebenarnya.” Qadhi ‘Iyāḍ juga berkata: “Tangisan Nabi ﷺ adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan hati. Maka, jika tangisannya kepada seorang anak kecil atau bayi menunjukkan kasih dan rahmat, bagaimana mungkin tidak demikian terhadap ibunya sendiri?” Namun, di sisi lain, teks-teks yang bersifat khusus itu dihadapkan dengan dalil-dalil umum yang sangat jelas dalam prinsip-prinsip syariat. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā, أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} “(Agar kalian tidak berkata,) ‘Tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mā’idah: 19) Dan firman-Nya pula: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} “Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15) Serta firman Allah Ta‘ālā lainnya: وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ} “Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum (diutusnya rasul itu), niscaya mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus kepada kami seorang rasul, agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan terhina.’” (QS. Ṭāhā: 134) Seluruh ayat ini menegaskan bahwa tidak ada azab sebelum datangnya peringatan dari seorang rasul. Hal ini memperkuat pendapat yang memilih untuk tawaqquf (menahan diri tanpa memastikan) dalam permasalahan ini. Allah-lah yang Maha Mengetahui.   25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik Imam An-Nawawi rahimahullāh berkata, “Dalam peristiwa ini terdapat dalil tentang bolehnya menziarahi orang-orang musyrik, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia, serta menziarahi kuburan mereka. Sebab, jika ziarah kepada mereka diperbolehkan setelah wafat, maka tentu ketika masih hidup lebih utama lagi.” Pendapat ini menunjukkan bahwa An-Nawawi rahimahullāh termasuk di antara ulama yang berpendapat bolehnya ziarah kepada kaum musyrik, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.   26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān Menempatkan seseorang pada kedudukan yang sesuai dengan martabatnya diambil dari sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dalam kalimat ini terdapat bentuk penghormatan kepada Abū Sufyān dan pembedaan kedudukannya karena ia merupakan salah satu pemuka kaum Quraisy.   27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan Perhatian Rasulullah ﷺ dalam melembutkan hati manusia. Beliau ﷺ menaklukkan hati Abū Sufyān dengan memberinya kehormatan bahwa siapa saja yang masuk ke rumahnya akan aman. Hal ini menjadi kebanggaan besar bagi Abū Sufyān, yang dikenal sebagai sosok yang mencintai kehormatan dan kebesaran. Dengan cara itu, Rasulullah ﷺ berhasil menundukkan hatinya, menjinakkan perasaannya, serta meneguhkan imannya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan dakwah Nabi ﷺ terhadap orang yang baru masuk Islam, sebagaimana kebiasaan beliau dalam mempererat hati mereka yang masih baru mengenal Islam.   28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong Sikap rendah hati Rasulullah ﷺ. Ketika seorang laki-laki datang kepada beliau ﷺ dengan hati yang penuh ketenangan dan kesungguhan untuk berbicara, tiba-tiba ia merasa gemetar dan takut. Rasa gentar itu muncul karena wibawa dan kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Tenangkan dirimu. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Ucapan ini mengandung pelajaran agar seseorang mengingat masa lalunya dan tidak melupakan asalnya — agar tidak sombong terhadap orang yang lemah. Nabi ﷺ mengajarkan kepada setiap pribadi untuk tidak lupa akan masa lalunya dan keadaan dirinya dahulu. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ﴾ “Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insān [76]: 1) Dalam ayat yang lain disebutkan, قُتِلَ ٱلْإِنسَٰنُ مَآ أَكْفَرَهُۥ مِنْ أَىِّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ “Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (QS. ‘Abasa: 17-19) Banyak di antara manusia yang, setelah meraih kedudukan dan kehormatan di dunia, menjadi lupa dengan masa lalunya. Ia tidak lagi mengingat keadaan lemahnya dulu, tidak mau menengok masa ketika ia belum dikenal, tidak ingin kembali mengingat bagaimana awal perjuangannya yang penuh kekurangan. Padahal sifat lupa akan asalnya itu termasuk tanda kesombongan yang hina.   29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah Pada hari Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Rasulullah ﷺ memasuki kota itu dengan penuh tawadhu‘, menundukkan kepalanya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Padahal hari itu adalah hari kemenangan besar bagi kaum muslimin. Inilah nilai agung dari sikap rendah hati—bahwa justru pada saat kemenangan besar diraih, beliau ﷺ tampil sebagai hamba yang tunduk kepada Rabb-nya, bukan sebagai penguasa yang congkak. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan menunduk hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana untanya, dan beliau terus-menerus bertahmid dan memuji Allah. Tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang berani melawan; semua tunduk dan menyerah. Semakin besar kemenangan dan semakin besar karunia Allah, justru semakin dalam kerendahan hati beliau ﷺ. Tidak ada sedikit pun rasa bangga atau ujub. Beliau tidak melihat dirinya sebagai pemenang, tetapi sebagai hamba yang diberi pertolongan oleh Allah. Itulah makna sejati dari kalimat “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh” — tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap kali manusia memperoleh kemenangan namun tetap menjaga kerendahan hati, niscaya kemenangan itu akan semakin kuat dan keberkahan akan semakin nyata. Sebaliknya, jika kemenangan diiringi kesombongan dan rasa bangga diri, maka di situlah awal kehancuran. Allah Ta’ala berfirman, ﴿ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۚ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ ﴾ “Sesungguhnya para raja, apabila mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan merusaknya, dan menjadikan orang-orang yang mulia di negeri itu menjadi hina. Dan demikianlah kebiasaan mereka.” (QS. An-Naml: 34) Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh berkata: “Maknanya, para raja itu apabila memasuki sebuah negeri, mereka melakukan kerusakan: membunuh penduduknya, menawan mereka, merampas harta kekayaannya, dan menghancurkan rumah-rumahnya. Mereka menjadikan orang-orang yang sebelumnya mulia menjadi hina. Makna “penduduknya menjadi hina” ialah: mereka menjadikan para pemimpin dan tokoh terhormat dari kalangan masyarakat menjadi orang-orang yang paling rendah kedudukannya. Rasulullah ﷺ justru memuliakan Abū Sufyān—pemimpin besar Quraisy yang pernah memimpin kaum musyrik dalam peperangan Uhud dan Ahzāb. Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Sesungguhnya kerendahan hati Rasulullah ﷺ merupakan pelajaran praktis bagi setiap pemimpin yang diberi kemenangan. Betapa sulitnya seseorang bisa tampil rendah hati di saat kemenangan tiba. Ibnu Katsīr rahimahullāh berkata: “Kerendahan hati Rasulullah ﷺ ketika memasuki Mekah dengan pasukan besar dan kuat ini, merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari Bani Israil. Ketika mereka diperintahkan memasuki Baitul Maqdis sambil bersujud (yakni rukuk) dan mengucapkan ‘ḥiṭṭah’ (ampunilah dosa kami), mereka justru masuk dengan merangkak di atas pantat mereka sambil berkata, ‘ḥinṭah fī sya‘īrah’ (gandum dalam jelai).” Pelajaran ini juga mengajarkan kepada kita tentang akidah dan tauhid: dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita raih, hendaknya kita sadari bahwa semua itu merupakan karunia dari Allah Yang Mahatinggi. ﴿ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ﴾ “Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Naḥl: 53) Kita pun meyakini bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Maka, tidak sepantasnya kita menisbatkan nikmat atau terhindarnya kita dari musibah kepada sebab semata, melainkan semuanya kepada Allah semata. Allah-lah yang menciptakan sebab-sebab itu, Dia pula yang memberi kemampuan untuk berbuat, dan Dialah yang menaruh hasil dalam setiap usaha. Allah adalah Musabbibul-Asbāb (Penyebab dari segala sebab). Hati manusia tidak akan baik kecuali dengan tauhid ini. Dengan tauhid, seorang hamba dapat bersyukur kepada Rabb-nya, karena semua bentuk keutamaan dan karunia sejatinya kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan firman Allah Ta‘ālā: “Adapun menahan diri saat senang (dalam keadaan lapang), itu lebih sulit, karena sering kali mirip dengan sikap lancang dan ceroboh.” Artinya, mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan senang dan bahagia itu jauh lebih berat dibandingkan bersabar ketika sedang susah. Hanya orang yang kuat imannya dan teguh hatinya yang mampu melakukannya. Ada sebagian orang, saat mendapatkan kenikmatan, jadi lupa bersyukur; dan ketika ditimpa kesulitan, ia tak lagi sabar. Maka orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang tetap bersyukur di waktu senang, dan tetap sabar di waktu susah. Mereka tidak berubah karena keadaan. Nikmat tidak membuat mereka lalai, dan ujian tidak membuat mereka putus asa. Jiwa manusia sebenarnya sangat dekat dengan godaan setan dan hawa nafsu. Sedangkan karunia Allah turun ke dalam hati dan ruh. Bila hati diterangi cahaya keimanan, maka seluruh jiwa ikut bercahaya. Namun jika anugerah Allah datang kepada hati yang belum siap, ia bisa kehilangan kendali. Ia menjadi sombong, rakus, atau bahkan melampaui batas. Itulah sebabnya banyak orang rusak justru saat diberi nikmat. Sebaliknya, orang yang berilmu dan mengenal Allah tahu bagaimana mengelola karunia itu dengan seimbang. Ia tidak terbuai oleh nikmat, juga tidak hancur oleh ujian. Kadang seseorang tiba-tiba diberi harta atau jabatan, padahal belum siap secara ilmu dan iman. Akibatnya, ia menjadi sombong dan meremehkan orang lain. Padahal semua itu ujian. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa saja nikmat itu menjadi sebab kehancurannya. Orang seperti itu biasanya baru sadar setelah kehilangan. Ia menyesal dan berkata, “Ke mana semua kebahagiaan itu? Mengapa aku jadi begini?” Padahal seharusnya, setiap nikmat atau musibah menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, bukan untuk menjauh dari-Nya. Karena itulah para ulama berkata: “Jika kamu tergelincir dari jalan kesabaran dan ketenangan, berarti kamu telah kehilangan kedudukanmu di sisi Allah.” Mereka juga menasihati, “Jagalah hatimu dari penyakit jiwa, biasakan rendah hati, tunduk, dan jangan sombong. Jadikan rasa takut dan harap kepada Allah sebagai penjaga hatimu.” Orang yang menjaga hubungannya dengan Allah akan mendapatkan ketenangan luar biasa. Ia memandang Allah dengan cinta dan pengharapan. Allah pun akan mendekatkannya, memuliakannya, dan menjadikannya hamba yang istimewa di sisi-Nya. Ketika seseorang sudah merasakan kerendahan hati yang tulus, hatinya lembut, penuh penyesalan dan rasa butuh kepada Allah, maka ia akan merasakan kenikmatan yang jauh lebih tinggi dari sekadar kenikmatan dunia. Orang yang mampu menjaga kehormatannya, menahan syahwatnya, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, itulah orang yang mulia di sisi Allah. Ia menolak kenikmatan yang menjerumuskan, menjauh dari perbuatan yang merusak, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang memalukan. Sungguh, kata ash-shabr, sabar tersusun dari huruf-huruf yang terasa berat di lidah, menunjukkan bahwa sifat sabar itu tidak mudah, tapi sangat berharga. Perhatikan, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri melewati masa sulit ketika diusir dari Makkah. Namun akhirnya Allah menolong beliau, hingga beliau masuk kembali ke Makkah dengan penuh kemenangan, ditemani sahabat setianya, Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu. Allah berfirman: ﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا﴾ “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang (bersama Abu Bakar) ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Dan Allah juga berfirman: ﴿إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia akan mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) ﴿وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83) Kemenangan Rasulullah ﷺ di Makkah menjadi bukti nyata janji Allah. Beliau dulu diusir dengan hina, namun kembali dengan penuh kemuliaan. Itulah makna sebenarnya dari ketundukan kepada Allah. Dialah yang memberi kemenangan, mengangkat derajat orang beriman, dan menjanjikan kesudahan yang baik bagi mereka yang bersabar dan bertakwa. Maka kita semua perlu meneladani sifat mulia itu—sabar dan syukur. Barang siapa ingin akhir hidupnya baik, hendaklah ia memperbaiki amalnya dan bersabar menghadapi ujian hidup. Setiap kali ia bertambah sabar, Allah akan menaikkan derajatnya, hingga mencapai kedudukan tinggi di sisi-Nya.   30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar Peristiwa ini adalah bentuk pertolongan dan kemenangan besar dari Allah. Jangan kita lupakan bahwa dahulu beliau ﷺ pernah diusir dari Makkah, dikejar dan diburu oleh orang-orang kafir Quraisy, hanya ditemani oleh sahabat karibnya, Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhu, dan pelayannya. Allah ﷻ berfirman: {إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا} “Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, lalu dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Janji Allah ini terwujud sepenuhnya. Allah menolong Rasul-Nya ﷺ dan memberikan kemenangan kepada kaum mukminin. Sekalipun waktu berjalan lama, janji itu pasti datang. Allah berfirman: {إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) Dan Allah juga berfirman: {وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 83) Tidak ada yang dapat menghalangi pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ yang dahulu keluar dari Makkah sendirian, kini kembali ke Makkah dengan membawa kemenangan, sementara orang-orang kafir yang dulu mengusirnya kini berlari ketakutan. Allah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan memenangkan pasukan-Nya. Rasul ﷺ pun masuk ke Makkah tanpa peperangan besar, tanpa kekerasan, hanya dengan pengibaran panji Islam dan tunduknya hati-hati manusia kepada Allah ﷻ. Maka pantas jika Allah, dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, menjadikan janji kemenangan itu nyata bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kita semua pun diingatkan untuk meraih sifat yang membuat janji Allah terwujud pada diri kita — yaitu sifat takwa. Siapa yang ingin mendapatkan akhir yang baik, maka hendaklah ia memperbaiki amalnya dengan takwa dan ketaatan. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin tinggi pula derajatnya dalam meraih ḥusnul ‘āqibah (akhir yang baik) hingga mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.   31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah Peristiwa Ahzab terjadi pada tahun kelima hijriah, ketika pasukan musuh berkumpul hendak memerangi Islam di Madinah. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang. Lalu, pada tahun kedelapan hijriah — tiga tahun setelahnya — Allah mengumpulkan sepuluh ribu kaum Muslimin untuk berangkat menaklukkan Makkah. Perhatikanlah bagaimana Allah menggantikan keadaan! Dahulu sepuluh ribu orang kafir berkumpul untuk memerangi Islam, namun kini sepuluh ribu kaum Muslimin yang berhimpun untuk menegakkan Islam. Ini adalah karunia dan pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.   32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah sebagai pemenang adalah salah satu tanda nyata kenabian beliau ﷺ. Ibnu Rajab rahimahullāh menjelaskan bahwa kekuasaan Nabi ﷺ atas kota itu dan penguasaan beliau terhadapnya, beserta umatnya, merupakan bukti kebenaran risalah dan janji Allah kepadanya. Allah menahan siapa pun yang ingin mencelakai Nabi ﷺ dan akhirnya membinasakan mereka, lalu Allah menguasakan kota itu kepada Rasul-Nya dan umatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إن الله حبس عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين» “Sesungguhnya Allah telah menahan (pasukan) gajah dari Makkah, dan kini Dia menundukkan Makkah kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Maksudnya, dahulu Allah menahan pasukan Abrahah agar tidak merusak Ka‘bah, dan kini Allah menaklukkan Makkah kepada Nabi-Nya ﷺ sebagai bentuk pemuliaan dan peneguhan atas dakwah beliau. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ ketika hari Fathu Makkah berkata, «اليوم تُعظَّمُ الكعبة» “Hari ini Ka‘bah diagungkan!” Karena kaum musyrik Makkah pada masa jahiliah telah menyimpangkan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas-salām. Mereka menodai ibadah haji dengan kesyirikan, mengubah manasik haji, dan menyeleweng dari agama tauhid. Namun hari itu, Allah ﷻ mengembalikan kemuliaan Makkah kepada kemurnian tauhid, sebagaimana agama Nabi Ibrahim al-Ḥanīf. Allah menghapus segala bentuk syirik, menegakkan kembali ibadah haji dengan manasik yang benar, dan mengembalikan umat ini kepada agama tauhid yang lurus.   33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman. Barang siapa menutup pintunya, maka ia aman. Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Inilah peristiwa agung yang tak dikenal dalam sejarah dunia, dan tak ada yang menandinginya dalam hal kemurahan hati, pemaafan, dan kelapangan dada. Selama lebih dari dua puluh tahun, kaum musyrikin Makkah memerangi dakwah Islam. Mereka menghalangi jalan kebenaran dengan segala cara, menentang dan memusuhi dakwah Nabi ﷺ, tidak menyisakan satu celah pun kecuali mereka manfaatkan untuk menghambat agama ini, serta menebar fitnah dan kebencian antara manusia agar menjauh dari jalan Allah. Mereka menyiksa para pengikut Nabi ﷺ, memenjarakan dan menekan mereka, bahkan membunuh sebagian dari mereka. Mereka terus mengejar kaum Muslimin yang hijrah hingga ke luar Jazirah Arab. Lalu mereka masih memerangi umat Islam dalam tiga peperangan besar setelahnya. Namun, meskipun begitu, Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah dengan sepuluh ribu pasukan mujahid yang tunduk dan rendah hati kepada Allah ﷻ. Beliau tidak datang dengan dendam, melainkan dengan kasih sayang. Di tengah kekuasaan penuh, beliau justru memproklamasikan amnesti umum dan pengampunan menyeluruh. Cukup dengan seseorang masuk ke rumahnya sendiri, atau rumah Abū Sufyān, atau menurunkan senjata, maka ia aman. Itulah puncak keagungan dalam memberi maaf dan melupakan permusuhan masa lalu. Baca juga: Memaafkan dengan Berusaha Melupakan   34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hari hijrah, ketika Suraqah mengejar Rasulullah ﷺ, ia mendapati Nabi ﷺ sedang membaca Al-Qur’an. Begitu pula pada hari penaklukan Makkah, Rasulullah ﷺ memasuki kota itu di atas untanya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Pemandangan ini menunjukkan kepada kita pentingnya memanfaatkan waktu dalam ibadah. Di mana pun dan kapan pun, orang yang beriman hendaknya menjadikan waktunya berharga dengan tilawah dan zikir. Momen seperti ini juga menjadi kesempatan bagi siapa pun untuk menambah hafalan Al-Qur’an, atau mengulang hafalan yang telah dimiliki, terutama saat dalam perjalanan. Betapa banyak orang yang bisa menjadikan waktu bepergian sebagai sarana untuk membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, baik melalui mushaf atau audio, dengan niat ibadah dan meneladani Rasulullah ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullāh berkata — menukil dari Ibnu Abī Jamrah — bahwa sabda Nabi ﷺ ini menunjukkan kuatnya kebiasaan beliau dalam beribadah, karena beliau tetap berzikir dan membaca Al-Qur’an dalam keadaan di atas unta, tidak pernah lalai dari ibadah meski dalam perjalanan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin meneladani Nabi ﷺ hendaknya menjadikan setiap perjalanan sebagai kesempatan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, agar waktu yang berlalu membawa keberkahan, bukan kesia-siaan.   35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid Rasulullah ﷺ bersabda, “Tempat menetap kita—insya Allah—adalah Khaif Bani Kinanah, yaitu tempat kaum Quraisy saling bersumpah untuk menetapkan kekafiran.” Maksudnya: mereka berkumpul dan bersepakat dalam sebuah sumpah untuk meneguhkan kekafiran. An-Nawawi rahimahullāh menjelaskan bahwa mereka saling bersekutu dan membuat perjanjian untuk mengusir Nabi ﷺ beserta Bani Hāsyim dan Bani Al-Muththalib dari Makkah menuju sebuah lembah sempit. Tempat itu dikenal sebagai Sya‘ib Bani Kinanah. Mereka menulis sebuah piagam terkenal yang berisi berbagai bentuk kebatilan, pemutusan hubungan keluarga, dan kekafiran, lalu menaruhnya di dalam Ka‘bah. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi ﷺ sengaja singgah di tempat itu sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta‘ālā karena agama Allah telah tampak dan ditinggikan. Hanya Allah yang lebih mengetahui hakikatnya. Mungkin juga ada makna lain, yaitu menampakkan ketaatan di tempat yang sebelumnya digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: “Tempat-tempat yang dahulu menjadi lokasi kekafiran dan maksiat, lalu di sana ditampakkan keimanan dan ketaatan, maka itu adalah hal yang baik.” Contohnya, Nabi ﷺ memerintahkan penduduk Thaif untuk menjadikan masjid sebagai tempat baiat mereka, dan memerintahkan penduduk Yamamah menjadikan masjid sebagai tempat mereka menyatakan penyerahan diri. Dalam ‘Aunul Ma‘būd dijelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya mengubah gereja, tempat jual beli, atau tempat berhala menjadi masjid. Banyak sahabat, ketika menaklukkan negeri-negeri lain, menjadikan tempat ibadah orang kafir—seperti kuil atau gereja—sebagai masjid bagi kaum muslimin. Mereka tidak merusaknya kecuali jika ada unsur penghinaan terhadap kekafiran dan kezhaliman. Di India, raja yang adil dari kalangan Ahlus Sunnah juga melakukan hal yang sama. Bahkan dibangun beberapa masjid di tempat ibadah besar milik orang-orang kafir—semoga Allah menelantarkan mereka.   36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? Rasulullah ﷺ langsung memulai dengan menghancurkan berhala-berhala dan merobohkan bangunan-bangunan kesyirikan di sekitar Ka‘bah begitu beliau memasuki Makkah. Hal itu karena syirik adalah dosa terbesar, bentuk kezaliman yang paling berat, dan kejahatan yang paling buruk yang tidak boleh dibiarkan. Sebaliknya, menegakkan tauhid dan menyebarkannya adalah bentuk ketaatan yang paling utama dan ibadah yang paling tinggi nilainya. Karena itu, salah satu tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ setelah memasuki Makkah dan tinggal di dalamnya adalah mengutus orang-orang untuk merobohkan rumah-rumah berhala yang berada di sekitar Makkah—tempat yang selama ini dijadikan sesembahan selain Allah, tempat manusia thawaf, dan mendekatkan diri kepadanya. Menghancurkan syirik dalam segala bentuknya, serta menegakkan pilar-pilar tauhid, adalah inti dari risalah Nabi Muhammad ﷺ. Siapa saja yang tidak memberikan hak tauhid dalam hidupnya dan tidak memurnikan ibadah hanya kepada Allah, berarti ia telah mengabaikan perkara terpenting yang dibawa Rasul ﷺ—bahkan seluruh para rasul. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyā’: 25) Baca juga: Bahaya Syirik   37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram dan melihat ada gambar-gambar di dalam Ka‘bah, beliau langsung merusak dan menghapusnya. Dalam hal ini terdapat ancaman keras bagi para pembuat gambar. Abu Juhafah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa “Rasulullah ﷺ melaknat para pembuat gambar.” Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.’” Ibn Baththal rahimahullāh menjelaskan bahwa pada awalnya Nabi ﷺ melarang segala bentuk gambar, meskipun tidak sempurna, karena masyarakat saat itu baru saja meninggalkan penyembahan terhadap gambar. Larangan tersebut bertujuan memutus pengaruh itu secara total. Setelah larangan tersebut mengakar, Nabi ﷺ memberi keringanan untuk gambar pada pakaian karena ada kebutuhan, seperti pada pakaian anak-anak, dan memberi keringanan untuk gambar pada benda yang diinjak karena tidak diagungkan oleh orang awam. Namun, gambar yang dipasang tanpa adanya kebutuhan, gambar yang hanya menjadi bentuk kemewahan, atau gambar yang memiliki bayangan seperti patung dan sejenisnya—semuanya tidak diperbolehkan karena hal itu menyerupai ciptaan Allah Ta‘ālā. Imam Nawawi rahimahullāh berkata bahwa para sahabat dan para ulama berpendapat: menggambar makhluk bernyawa adalah haram dengan larangan yang sangat keras, dan termasuk dosa besar. Jika gambarnya berada pada pakaian, atau digantung di dinding, atau berada pada kain penutup, sorban, dan semacamnya, maka tetap haram. Jika gambarnya berada pada alas kaki, bantal, atau tempat duduk—yakni benda yang direndahkan—maka tidak haram, tetapi malaikat rahmat tidak masuk ke rumah tersebut. Beliau menambahkan bahwa malaikat yang tidak masuk ke rumah yang ada gambar atau anjingnya adalah malaikat rahmat dan malaikat yang memohonkan ampun. Adapun malaikat pencatat amal tetap masuk ke setiap rumah dan tidak pernah berpisah dari manusia, karena mereka bertugas mencatat dan menghitung amal. Manusia di masa sekarang sudah sangat meremehkan masalah gambar. Banyak rumah dipenuhi hiasan, lukisan, atau patung hanya demi pamer dan bermegah-megahan, padahal ancaman bagi pembuat dan pemilik gambar sangat keras. Siapa saja yang merenungkan dalil-dalil tentang gambar akan merasa takut jika mengikuti hawa nafsunya. Nasihatnya: segeralah membersihkan rumah dari gambar, kecuali gambar resmi untuk keperluan identitas, paspor, atau dokumen penting lainnya. Jangan biarkan ada gambar atau patung yang diagungkan di dalam rumah, karena malaikat rahmat dan istighfar tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut. Wallāhu a‘lam. Baca juga: Hukum Mengambil Foto dengan Kamera   38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ mengembalikan kunci Ka‘bah kepada ‘Utsmān bin Thalhah, terdapat pelajaran besar tentang menunaikan amanah. Saat menyerahkan kembali kunci itu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Hari ini adalah hari kebajikan dan kesetiaan.”   39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy Di antara akhlak agung Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau memaafkan kaum musyrik Quraisy yang telah menyakiti beliau, mengusir beliau dari Makkah, dan memerangi beliau. Ketika beliau telah mengalahkan dan menguasai mereka, beliau hanya berkata: “Pergilah, kalian bebas.” Pemaafan ini mencakup seluruh penduduk Makkah, termasuk orang-orang kafir yang sebelumnya diperintahkan untuk dibunuh. Sikap mulia ini menjadi sebab banyak penduduk Makkah—laki-laki maupun perempuan—masuk Islam dengan kerelaan, pilihan sendiri, dan ketertarikan kepada agama ini.   40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua Ketika Abu Bakar datang bersama ayahnya yang sudah sangat tua, Rasulullah ﷺ berkata: “Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua itu tetap di rumahnya, hingga aku yang mendatanginya?” Dari ucapan ini kita mengambil pelajaran tentang akhlak mulia Rasulullah ﷺ, kerendahan hati beliau, serta tuntunan syariat untuk memuliakan orang yang lebih tua dan menghormatinya. Nabi ﷺ mencontohkannya secara langsung melalui kisah ini. Beliau juga bersabda: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kami dan tidak menghormati yang besar di antara kami.” (Shahih Al-Jaami’, no. 5445; Shahih menurut Syaikh Al-Albani; Hadits dari Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash)   41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Dari ucapan Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar ketika ayah beliau masuk Islam, kita dapat mengambil pelajaran bahwa memberikan ucapan selamat atas datangnya kebaikan agama adalah sesuatu yang disyariatkan. Hal ini juga terlihat dalam kisah Ka‘b bin Malik ketika ia bertaubat kepada Allah; para sahabat radhiyallāhu ‘anhum memberi ucapan selamat kepadanya. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa memberikan ucapan selamat atas kenikmatan agama, berdiri menyambutnya ketika ia datang, dan berjabat tangan dengannya adalah sunnah yang dianjurkan. Ini diperbolehkan bagi seseorang yang baru mendapatkan kenikmatan agama. Tidak disebutkan adanya ucapan selamat atas kenikmatan dunia.” Beliau juga menyebutkan bahwa ucapan selamat untuk kenikmatan dunia tetap diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh.   Masih bersambung insya Allah …   Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat Sore, 14-11-2025, 23 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfaedah sirah nabi fathu makkah peperangan dalam islam peperangan di masa Rasulullah perang di masa nabi sirah nabi

Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah Nabawiyah

Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.   Daftar Isi tutup 1. Sebab Terjadinya Fathu Makkah 2. Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian 3. Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah 4. Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah 5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya 6. Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib 7. Abu Sufyan Masuk Islam 8. Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati 9. Pembersihan Ka‘bah dari Berhala 10. Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram 11. Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga 12. Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar 13. Baiat Agung di Shafā 14. Keislaman Abū Quḥāfah 15. Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl 16. Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy 17. Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm 18. Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah 18.1. 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam 18.2. 2. Pentingnya Menepati Janji 18.3. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian 18.4. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh 18.5. 5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah 18.6. 6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah 18.7. 7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam 18.8. 8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib 18.9. 9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir 18.10. 10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib 18.11. 11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar 18.12. 12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka 18.13. 13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman 18.14. 14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat 18.15. 15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama 18.16. 16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu 18.17. 17. Keutamaan Ahli Badar 18.18. 18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ 18.19. 19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah 18.20. 20. Marah Demi Agama 18.21. 21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar 18.22. 22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah 18.23. 23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya 18.24. 24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ 18.25. 25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik 18.26. 26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān 18.27. 27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan 18.28. 28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong 18.29. 29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah 18.30. 30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar 18.31. 31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah 18.32. 32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci 18.33. 33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah 18.34. 34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir 18.35. 35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid 18.36. 36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? 18.37. 37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah 18.38. 38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah 18.39. 39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy 18.40. 40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua 18.41. 41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan: ﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ۝ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ۝ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3) Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang: ﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾ “Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10) Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)   Sebab Terjadinya Fathu Makkah Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah. Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.   Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278) Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)   Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: «اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا» “Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)   Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita. ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu. Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ. Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib: «يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟» “Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?” Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.” Rasulullah ﷺ bersabda: «أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ» “Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.” Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!” Nabi ﷺ menanggapi: «إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim) Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.” Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah ﷺ menjawab: “Bukankah dia termasuk ahli Badar?” Beliau kemudian menambahkan: فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki karena kalian sudah dijamin surga, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb. ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت». Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي». Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.” وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ». Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”   Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya. Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.   Abu Sufyan Masuk Islam Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam. Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu: احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين “Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.” Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam. Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن». “Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”   Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ. Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang. Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah. Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang. Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur. Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah: ‘Ikrimah bin Abī Jahl, ‘Abdullāh bin Khathal, Miqyas bin Shubābah, ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ. ‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam. Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal. Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ “Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.” Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata: “Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”   Pembersihan Ka‘bah dari Berhala Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81) Dan juga firman Allah Ta‘ālā: قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49) Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau. Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda: قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ “Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.” Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus. Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda: قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ “Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”   Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.” Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13) Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya: لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.” Beliau pun berkata: اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ “Pergilah kalian, kalian semua bebas.” Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.   Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?” Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ “Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.” Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.   Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.” Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?” Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ “Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.” Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata: “Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka: إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”   Baiat Agung di Shafā Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak: “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka. Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda: هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ “Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau). ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”   Keislaman Abū Quḥāfah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ “Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?” Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.” Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam. Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata: هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ» “Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”   Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata: “Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.” ‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.” Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.   Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ “Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 3298) Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala. Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah. Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy. Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘. Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj. Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab. Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ» “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.” Setelah itu, tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masih menyimpan berhala di rumahnya. Jika ada yang memelihara, berhala itu akan dihapus atau dihancurkan, bahkan sekadar disentuh pun ditinggalkan dengan penuh rasa jijik. Kaum Muslimin pun berbondong-bondong menghancurkan patung-patung tersebut. Ketika itu, ‘Ikrimah bin Abī Jahl radhiyallāhu ‘anhu—yang saat itu belum masuk Islam—pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ada satu rumah di antara rumah-rumah Quraisy kecuali berhalanya dihancurkan.” Setelah itu, Hindun binti ‘Utbah radhiyallāhu ‘anhā—istri Abu Sufyān—masuk Islam dan berkata, “Dulu kami menyembah berhala-berhala itu. Ketika tamimah (jimat) itu rusak, kami merasa tertipu.” Maka berhala-berhala pun dihancurkan oleh kaum Muslimin.   Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm Ketika Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah setelah penaklukan (Fathu Makkah), terjadi sebuah peristiwa penting. Seorang wanita terpandang dari kalangan Bani Makhzūm melakukan pencurian. Kaum Quraisy sangat gelisah karena mengetahui bahwa hukum syariat akan menuntut agar tangannya dipotong. Mereka pun berembuk dan berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini?” Akhirnya mereka memilih Usāmah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu, kesayangan Rasulullah ﷺ, untuk menyampaikan permohonan. Usāmah radhiyallāhu ‘anhu pun berbicara kepada Nabi ﷺ tentang wanita itu, meminta agar hukuman diringankan. Wajah Rasulullah ﷺ pun berubah, lalu beliau bersabda: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللّٰهِ؟ “Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam perkara hukum hudud Allah?” Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ berdiri menyampaikan khutbah kepada manusia. Beliau ﷺ bersabda: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللّٰهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fāṭimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita itu dihukum sesuai syariat, maka dipotonglah tangannya. Diriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Wanita dari Bani Makhzūm itu bertaubat dengan sungguh-sungguh setelah menjalani hukumannya. Ia menikah kemudian hidup terhormat. Pernah suatu ketika ia datang kepadaku untuk suatu keperluan, lalu aku sampaikan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari, no. 3475 dan Muslim, no. 1315)   Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah Dari peristiwa penaklukan Makkah, kita dapat mengambil sejumlah faedah penting berikut: 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam Fathu Makkah menjadi batas tegas antara dua tahap dalam perjalanan Islam. Allah Ta‘ālā berfirman: لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُو۟لَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا۟ مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا۟ ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 10) Ibnu Juzay rahimahullāh berkata: “Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin dalam keadaan lemah, sangat membutuhkan infak dan jihad, sehingga pahala orang yang berinfak dan berperang sebelum fathu Makkah lebih besar daripada setelahnya.” Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin menghadapi musuh besar di Makkah, Ṭāif, serta berbagai kabilah Arab yang masih menunggu waktu untuk menyerang. Namun setelah Makkah ditaklukkan, Allah memuliakan agama ini, pusat kesyirikan dihancurkan, panji tauhid berkibar, dan kemenangan datang dari Allah. Islam pun semakin jelas jalannya, dan masa depan umat ini menjadi lebih terang. Karena itu, Allah tidak menyamakan antara orang yang berinfak dan berjuang sebelum fathu Makkah dengan yang melakukannya setelahnya, meskipun Allah tetap menjanjikan kebaikan bagi keduanya. 2. Pentingnya Menepati Janji Kemenangan kaum Muslimin menunjukkan betapa pentingnya menepati janji. Orang-orang kafir Quraisy ketika itu sebenarnya masih terikat dengan perjanjian damai bersama Rasulullah ﷺ. Namun, ketika mereka melanggarnya, Allah menurunkan akibatnya, hingga Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala, dan menghapus sisa-sisa jahiliyah yang ada di dalamnya. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian Peristiwa ini juga menegaskan bahwa mengkhianati perjanjian adalah perbuatan tercela. Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada ‘Amr bin Sālim: نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau akan ditolong, wahai ‘Amr bin Sālim.” Sabda ini muncul karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai dianggap sebagai pelanggaran besar yang mengundang hukuman dari Allah. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh Sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Sālim: «نُصِرْتَ يا عَمْرُو بنَ سَالِمٍ» (“Engkau telah diberi pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim!”) Ungkapan ini menunjukkan sejauh mana wibawa negara Islam saat itu. Islam telah menjadi kekuatan besar di kawasan, membela yang terzalimi dan menentang kezhaliman. Kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun menghitung kekuatan Islam sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Maka, ketika Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat ini, ‘Amr bin Sālim pun yakin benar bahwa beliau pasti akan menolongnya. Buktinya, kaum Muslimin berangkat cepat hingga tiba di Makkah, lalu mereka menyerang Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy dan membunuh mereka di peristiwa Hudaibiyah. ‘Amr bin Sālim pun kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira bahwa mereka akan mendapat kemenangan, sedangkan musuh-musuh mereka akan kalah. Hal ini semakin diperkuat dengan berangkatnya Abu Sufyān ke Madinah untuk memperbarui perjanjian damai, karena ia takut akan akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut. Quraisy benar-benar ketakutan menghadapi konfrontasi besar itu. Peristiwa ini memperlihatkan perubahan besar dalam neraca kekuatan, yang jelas menguntungkan umat Islam. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.   5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah Kisah kedatangan Abu Sufyān ke Madinah dan masuknya ia menemui Ummul Mu’minīn, Ummu Habībah radhiyallahu ‘anha, putrinya sendiri. Ketika Abu Sufyān ingin duduk di atas tikar Rasulullah ﷺ, Ummu Habībah segera melipatnya agar ayahnya tidak bisa duduk di atasnya. Ia berkata: “Ini adalah tikar Rasulullah ﷺ, dan engkau adalah seorang lelaki musyrik yang najis.” Sikap ini memperlihatkan betapa jelasnya kebencian para sahabat terhadap syirik dan kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat. Abu Sufyān adalah ayah kandungnya, tetapi itu tidak mengubah sikapnya sedikit pun.   6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah Abu Sufyān lalu datang kepada Rasulullah ﷺ untuk berbicara, agar beliau memperpanjang dan memperkuat perjanjian damai. Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapi sedikit pun. Maka Abu Sufyān pergi kepada Abū Bakr, kemudian kepada ‘Umar, lalu kepada ‘Uthmān, dan terakhir kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Perhatikanlah urutan yang dilakukan Abu Sufyān! Ia datang pertama kepada Abū Bakr, lalu kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Uthmān, lalu kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Persis sebagaimana yang kemudian terjadi dalam penetapan Khilāfah Rāsyidah. Ini pula yang terkenal di kalangan sahabat tentang urutan keutamaan mereka.   7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam Disyariatkan untuk menyembunyikan (merahasiakan) sesuatu apabila dikhawatirkan menimbulkan mudarat bila diumumkan. Rasulullah ﷺ pun tidak selalu memberitahukan arah tujuan perjalanannya kepada manusia, agar tetap terjaga maslahatnya, dan supaya Quraisy tidak bersiap lebih awal untuk menghadang. Allah Ta‘ālā berfirman tentang kisah Ashḥābul Kahfi: ﴿ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا ﴾ [الكهف: 19] “Dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahf: 19) Maknanya adalah hendaknya mereka bersikap hati-hati, merahasiakan urusan mereka, termasuk ketika masuk kota dan membeli makanan, jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan mereka. Demikian pula kaum Muslimin dahulu: “Ista‘īnū ‘alā injāḥi ḥawā’ijikum bil-kitmān” (Mintalah pertolongan untuk menyelesaikan kebutuhan kalian dengan cara merahasiakannya).   8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib Di antara tanda kenabian Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk membuntuti seorang wanita yang membawa surat dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah. Surat itu berisi informasi tentang rencana Rasulullah ﷺ. Allah memberi tahu Nabi-Nya melalui wahyu tentang isi surat itu, siapa pengirimnya, dan lokasi wanita tersebut. Maka Rasulullah ﷺ segera mengutus sahabat untuk menghadang wanita itu. Benar saja, mereka mendapati surat tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Peristiwa ini termasuk bukti jelas dari tanda-tanda kenabian, yaitu berita gaib yang Allah kabarkan kepada Nabi-Nya terkait kisah Ḥāṭib dengan wanita itu.”   9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir Kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat dari kalangan Muhājirīn—menunjukkan bahwa manusia tidak lepas dari kelemahan. Bisa jadi seorang mukmin yang tulus iman dan amalnya, tetap saja terjerumus dalam tindakan yang keliru karena dorongan hawa nafsu atau tuntutan kebutuhan hidup. Itulah yang dilakukan Ḥāṭib ketika ia menyembunyikan surat kepada Quraisy mengenai perjalanan Rasulullah ﷺ. Perbuatan ini tidaklah mengurangi keimanannya, melainkan bagian dari kelemahan manusiawi. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Seorang mukmin, sekalipun sudah sampai pada tingkatan saleh, tetap saja bisa tergelincir dalam dosa. Karena itu ia harus senantiasa berlindung kepada Allah, selalu bergantung pada-Nya, dan terus istiqamah dalam berpegang teguh kepada-Nya.” Kita berdoa sebagaimana doa orang-orang yang mantap imannya: ﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ﴾ [آل عمران: 8] “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (QS. Āli ‘Imrān: 8)   10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib Dalam kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: «ما حَمَلَكَ يا حاطِبُ على ما صَنَعْتَ؟» (“Apa yang mendorongmu melakukan hal itu, wahai Ḥāṭib?”) Pertanyaan Nabi ﷺ yang penuh kelembutan ini menunjukkan bahwa niat sangatlah penting dalam menilai sebuah perbuatan. Ḥāṭib melakukan tindakan tersebut bukan karena ingin murtad dari agama Islam, tetapi semata karena ingin melindungi keluarga dan harta yang ia tinggalkan di Makkah. Hal ini menjadi bukti bahwa menjaga harta dan keselamatan keluarga bukanlah bentuk kufur, melainkan bentuk kelemahan iman yang bersifat insaniyah. Maka, membedakan antara maksud melindungi agama dengan maksud melindungi harta adalah hal penting; yang pertama urusan agama, yang kedua urusan duniawi. Allah ﷻ berfirman: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ … ﴾ [الممتحنة: 1] “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (rahasia kaum Muslimin) karena rasa kasih sayang, padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada kalian...” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Para ulama berkata: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ḥāṭib, dan penutup ayat ini: ﴿ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة: 1] “Barang siapa melakukannya di antara kalian, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Ini menunjukkan bahwa tindakannya keliru, tetapi tidak mengeluarkannya dari iman, karena didasari kelemahan manusia, bukan karena membela kekufuran.   11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar Perbuatan al-muwālāt (berloyalitas) kepada orang kafir dengan makna seperti kasus Ḥāṭib memang merupakan dosa besar dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Namun, itu tidaklah mengeluarkannya dari Islam. Ini merupakan kaidah penting: kesalahan seperti ini tidak boleh membuat seseorang dicabut dari nama iman, selama masih ada dasar keimanan dalam dirinya. Kesalahan tersebut juga tidak mengurangi kedudukan seorang sahabat besar seperti Ḥāṭib al-Badrī radhiyallahu ‘anhu. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada kita tentang kedudukan istimewa orang-orang yang ikut Perang Badar? Beliau ﷺ bersabda: «لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Barangkali Allah telah melihat (mengetahui keadaan) para pejuang Badar, lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” Maka Rasulullah ﷺ memandang perbuatan Ḥāṭib dalam konteks ini. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sempat ingin menghukumnya, tetapi Rasulullah ﷺ menegur: «صَدَقَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا» “Dia berkata benar. Janganlah kalian katakan tentangnya kecuali yang baik-baik.” Maka para sahabat pun menerima penjelasan Nabi ﷺ, mengakui kebenaran Ḥāṭib, dan hanya berkata yang baik tentang dirinya.   12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka Cara Rasulullah ﷺ menghadapi peristiwa ini sungguh penuh kelembutan. Beliau ﷺ tidak tergesa-gesa menghukum, tetapi terlebih dahulu bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, wahai Ḥāṭib?” Kemudian beliau mendengarkan alasan dengan lapang dada. Inilah teladan Nabi ﷺ: mengajarkan kita untuk memberi uzur kepada orang lain, berbaik sangka, lembut dalam berinteraksi, serta tidak mengeluarkan ucapan kecuali yang baik dan penuh kasih sayang. Maha benar Allah yang telah menjadikan beliau sebagai manusia paling penuh rahmat, paling pemaaf, paling bijak, dan sebaik-baik teladan.   13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman Dalam cara Rasulullah ﷺ berinteraksi, terdapat pedoman bagi kita dalam memperlakukan saudara-saudara kita. Hendaknya kita berbaik sangka, mencari alasan yang memaafkan, menerima kekhilafan, mengingat kebaikan yang pernah ia lakukan, dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan. Bila seseorang berbuat salah, jangan langsung menilai bahwa itu karena keraguan atau kurangnya iman. Bisa jadi itu hanyalah kondisi sesaat akibat faktor duniawi. Namun, ia segera bertaubat kepada Tuhannya. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka digoda oleh setan, mereka teringat (akan Allah), maka ketika itu juga mereka melihat dengan jelas (kebenaran).” (QS. Al-A‘rāf: 201) Mereka adalah orang-orang bertakwa, tetapi tetap bisa tersentuh oleh godaan setan. Hanya saja, mereka cepat sadar, segera melihat kebenaran, lalu kembali kepada Rabb mereka. Jalan hidup mereka tidak ternoda oleh dosa itu, bahkan bisa jadi, setelah mereka bertaubat dan kembali kepada Allah, keadaan mereka menjadi lebih baik daripada sebelum terjatuh dalam dosa.   14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat Dalam kisah Hatib radhiyallāhu ‘anhu terdapat pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah tergelincir dalam kesalahan—dan siapakah yang tak pernah tergelincir?—bahwa seseorang tidak boleh mengingkari kesalahan yang telah dilakukannya. Hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah, meminta maaf, dan jujur dalam pengakuannya. Tiada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengan taubat yang tulus, pengakuan yang jujur, dan keikhlasan dalam memperbaiki diri. Ibnu Hajar rahimahullāh berkata: “Barang siapa melakukan kesalahan, hendaklah ia tidak mengingkarinya, melainkan mengakuinya dan meminta maaf, agar tidak menumpuk dua dosa sekaligus.”   15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama Kisah Hatib juga menunjukkan kedudukan tinggi orang-orang yang berilmu dan beramal saleh. Kesalahan mereka tidak sama dengan kesalahan orang kebanyakan, sebab lautan kebaikan mereka menenggelamkan kekeliruan yang mungkin terjadi. Maka, hendaknya kesalahan mereka ditimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan, dan kita memperhatikan sikap lapang dada serta penghargaan terhadap jasa mereka.   16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu Kisah Hatib juga mengajarkan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi perkara yang sulit. Ketika Umar berkata kepada Nabi ﷺ, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini,” beliau tidak melakukannya atas dorongan pribadi, tetapi setelah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Maka, Rasulullah pun menjelaskan posisi hukum yang benar dalam perkara itu. Dari sini kita belajar: jangan tergesa-gesa dalam menghukumi, tetapi kembalikan semuanya kepada ilmu dan bimbingan syariat.   17. Keutamaan Ahli Badar Kisah Hatib juga menegaskan kemuliaan para pejuang Badar radhiyallāhu ‘anhum. Mereka memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah karena jasa besar mereka dalam membela Islam dan kaum muslimin. Keutamaan ini menjadi alasan mengapa Rasulullah ﷺ memaafkan Hatib dan menegaskan kedudukannya sebagai bagian dari ahli Badar. Baca juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya   18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ Sebagai penutup kisah Hatib, terdapat pelajaran penting dalam memahami akidah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah). Banyak orang terjatuh dalam sikap berlebihan di dua sisi: sebagian terlalu ekstrem dalam permusuhan, sementara sebagian lain berlebihan dalam toleransi. Kedua sisi ini sama-sama menyimpang dari keseimbangan yang diajarkan oleh syariat. Sikap berlebihan (ghuluw ifrāṭ) dalam masalah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah) biasanya tampak dalam dua bentuk: Pertama, mudah mengkafirkan orang lain hanya karena perbuatan lahiriah. Ini terjadi karena tidak memahami dengan jelas batasan kekufuran dalam masalah walā’ wal-barā’. Padahal, walā’ wal-barā’ adalah urusan hati. Kekufuran dalam hal ini terjadi bila seseorang mencintai orang kafir karena kekafirannya, mendukung mereka agar agama mereka menang atas Islam, atau menginginkan kejayaan agama mereka di atas agama kaum muslimin. Inilah bentuk kufur dalam masalah walā’ wal-barā’. Adapun jika seseorang menolong orang kafir dalam perkara duniawi atau karena kepentingan tertentu, itu tidak serta merta menjadikannya kafir. Bisa jadi, ia masih mencintai Islam dan membenci kekafiran, tetapi imannya lemah karena pertimbangan duniawi yang ia utamakan daripada akhiratnya. Kisah Hatib bin Abi Balta‘ah radhiyallāhu ‘anhu menjadi bukti nyata. Ia berkata, “Aku tidak melakukannya karena kufur, tidak pula murtad dari agamaku, dan tidak ridha terhadap kekafiran setelah Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia berkata benar.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata, “Terkadang seseorang menunjukkan rasa kasih atau bantuan kepada orang kafir karena hubungan keluarga atau kebutuhan tertentu. Hal itu termasuk dosa yang mengurangi imannya, tetapi tidak menjadikannya kafir.” Sebagaimana yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta‘ah. Kedua, tanda lain dari sikap berlebihan dalam al-walā’ wal-barā’ adalah kesalahan dalam menerapkan konsep barā’ (berlepas diri dari orang kafir). Kesalahan ini bisa muncul karena terlalu menekankan dalil-dalil tentang barā’ tanpa menyeimbangkannya dengan ayat dan hadits tentang akhlak baik dan keadilan dalam berinteraksi. Allah Ta‘ala berfirman: لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Sebagian orang hanya berpegang pada ayat tentang barā’, lalu melupakan ayat tentang akhlak mulia. Adapun sisi lain dari penyimpangan adalah sikap meremehkan (tafrīṭ), yaitu mengaburkan akidah al-walā’ wal-barā’. Biasanya datang dari kalangan intelektual yang terpengaruh pemikiran Barat—baik karena studi, bacaan, atau cara berpikir—sehingga mereka berusaha menafsirkan ulang akidah ini. Mereka menganggap al-walā’ wal-barā’ sebagai ajaran yang menumbuhkan kebencian antaragama, lalu menuntut agar konsep itu dihapus demi “toleransi”. Padahal, sikap ini justru menolak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang tegas tentang kewajiban mencintai orang beriman dan berlepas diri dari kekafiran. Mereka harus disadarkan bahwa Islam tidak boleh disalahkan atas perilaku berlebihan sebagian pemeluknya. Jika ada yang ekstrem dalam walā’ wal-barā’, bukan berarti solusinya adalah menjadi ekstrem di arah sebaliknya. Karena kebenaran terletak di jalan tengah — wasathiyyah — antara ghuluw dan tafrīṭ.   19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah Keutamaan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—yakni kecemburuannya terhadap agama, dan ketegasannya dalam menjaga kemurnian masyarakat serta kebersihannya. Di antara keutamaan yang disebutkan untuknya—radhiyallāhu ‘anhu—adalah bahwa ia sangat menginginkan kebaikan pada agamanya, sehingga bila ia melihat sesuatu yang menyentuh rasa cemburu dan kehormatan agama, ia segera kembali kepada Rasulullāh ﷺ. Ini termasuk keutamaannya. Ketika posisi Rasulullāh ﷺ antara Abū Bakr dan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, dan keduanya termasuk penghuni surga, maka ‘Umar menangis dan matanya berlinang air mata—radhiyallāhu ‘anhu wa arḍāh. Ia lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Diriwayatkan dalam Shahīh al-Bukhārī bahwa ia berkata, “Maka berlinanglah air mata ‘Umar.” Ia berkata, “Allāh wa Rasūluh a‘lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui).” Ibnu Hajar—rahimahullāh—berkata dalam Fath al-Bārī: “Kemungkinan hal itu terjadi karena ia menangis ketika menyadari saat yang menyentuh hatinya dengan khusyuk dan penyesalan atas apa yang telah ia katakan terhadap Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu.”   20. Marah Demi Agama Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Kadang seorang Muslim menisbatkan kepada dirinya sifat kemunafikan atau kekafiran karena marah dan cemburu terhadap agama Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya, tanpa bermaksud benar-benar kafir. Ia tidak keluar dari Islam karenanya. Ia tidak dihisab atas hal itu, karena ucapan tersebut tidak berasal dari niat hati, melainkan dari dorongan spontan. Hal ini berbeda dengan keadaan ahli hawa nafsu dan ahli bid‘ah, sebab mereka mengucapkan kekafiran dan kebatilan karena sengaja menentang kebenaran dan menyeru manusia kepadanya.” Inilah yang membedakan antara orang yang tergelincir sejenak karena marah terhadap dirinya sendiri dengan orang yang benar-benar kafir dan menyimpang. Orang yang tergelincir sesaat seperti ini tetap berada dalam pertolongan Allah dan mendapatkan keutamaannya. Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—berkata: “Barang siapa yang kafir kepada seseorang, atau menuduh seseorang kafir karena marah sesaat, maka semoga Allah memaafkannya,” sebagaimana yang dikatakan pula tentang kisah Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—pada peristiwa surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Quraisy sebelum Fath Makkah. ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullāh ﷺ bersabda, “Bukankah ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar? Allah telah berfirman tentang mereka, ‘Lakukanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’” Maka ‘Umar pun menangis karena marahnya itu hanya dorongan sesaat, bukan niat untuk melampaui batas. Demikian pula yang terjadi pada sebagian sahabat lainnya dan generasi setelah mereka, bila marah karena membela agama. Namun, bila seseorang benar-benar menuduh orang lain kafir atau mencaci maki dengan kesengajaan, maka itu berbeda; sebab hal itu menunjukkan maksud hati yang salah, bukan karena semangat agama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal-hal seperti ini.   21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—juga berkata dalam penjelasannya yang lain: “Kadang dosa besar atau syirik kecil dapat dihapus oleh amal saleh yang besar, sebagaimana terjadi pada kisah Ḥāṭhib. Ia melakukan dosa besar, tetapi amal kebaikan yang besar telah menghapusnya, dan hal itu disaksikan oleh para sahabat secara nyata.”   22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah Tentang pasukan besar yang berangkat dari Madinah menuju Makkah. Allah ﷻ menjaga rahasia perjalanan itu dari pengetahuan kaum Quraisy. Rasulullah ﷺ tiba di pinggiran Makkah tanpa diketahui oleh mereka. Abu Sufyān pun keluar bersama beberapa orang untuk mencari kabar, mereka berusaha merasakan tanda-tanda kedatangan pasukan, namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tentara Rasulullah ﷺ yang mengepung mereka di luar batas kota Makkah. Peristiwa ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ﷻ, bahwa Dia menghalangi berita besar seperti itu agar tidak sampai ke telinga penduduk Makkah, padahal jumlah pasukan itu sangat besar dan kekuatannya sangat dahsyat.   23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya Dalam perjalanan, Rasulullah ﷺ berhenti di sisi makam ibunya, Āminah bintu Wahb. Beliau menziarahi makam ibunya, menangis, dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku agar aku dapat menziarahi makam ibuku, dan Dia mengizinkanku. Namun ketika aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, Dia tidak mengizinkanku.” Dalam peristiwa ini terkandung pelajaran besar tentang kedudukan ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara manusia, tak ada seorang pun yang mampu menunaikan haknya sepenuhnya. Ia telah memberikan untukmu usia, kehidupan, jiwa, dan seluruh perasaannya, dengan ketulusan yang tak mampu engkau balas, bahkan sekadar menandingi pun tidak mungkin. Bagi Rasulullah ﷺ, urusan ibunya memiliki tempat yang sangat khusus. Beliau lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah bahkan sebelum dilahirkan, lalu tak lama setelah itu kehilangan ibu pula. Inilah bentuk yatim yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Nabi ﷺ telah kehilangan semua bentuk kasih sayang manusiawi: ayah, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka beliau tumbuh tanpa mengenal siapa pun dari mereka.” Dalam dua perjalanan penting—dari Madinah ke Makkah dan sebaliknya—beliau ﷺ melewati daerah tempat ibunya dimakamkan, yakni di suatu padang pasir yang jauh dari kota Makkah. Ketika beliau masih kecil, ibunya wafat di sana, dan beliau yang kecil kala itu ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir. Kini, setelah bertahun-tahun, beliau melewati tempat itu lagi untuk pertama kalinya sejak berpisah dengannya. Rasulullah ﷺ berhenti di situ, menangis, dan mengingat kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan beliau saat itu kecuali mereka yang kehilangan orang yang paling dicintai. Orang-orang yang bersama beliau pun ikut menangis menyaksikan tangisannya. Tangisan beliau lebih dalam daripada siapa pun, karena yang beliau tangisi bukan hanya sosok ibu, melainkan juga kenangan kasih sayang, kehilangan, dan kerinduan masa kecil. Ini adalah pelajaran mendalam tentang kedudukan ibu dan besarnya hak seorang ibu atas anaknya. Beliau ﷺ menunjukkan bahwa kasih seorang anak terhadap ibunya harus selalu disertai pengakuan terhadap kedudukan dan kemuliaannya, meskipun ibunya telah tiada. Itulah pelajaran abadi dari peristiwa yang menyentuh hati ini—sebuah pelajaran yang disampaikan langsung oleh Al-Muṣṭafā ﷺ. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan ibu, berbakti kepadanya, serta menziarahi makamnya bila ia telah wafat—sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lebih dahulu mendahuluimu menuju negeri akhirat. Maka janganlah engkau meremehkan ziarah ke makam ibu, ucapkanlah salam untuknya, dan doakanlah kebaikan baginya. Cukuplah bagimu meneladani Al-Muṣṭafā ﷺ yang telah menziarahi makam ibunya, meskipun beliau tidak diizinkan untuk memohonkan ampun baginya. Sungguh disayangkan, banyak orang yang lalai menziarahi kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bahkan sebagian dari mereka sampai lupa di mana makam ibu atau ayahnya, padahal waktu terus berlalu sementara hubungan kasih sayang itu terputus. Ini juga menjadi pelajaran tentang pentingnya menyambung tali silaturahim dengan kerabat secara umum, dan menziarahi para kerabat yang telah meninggal dunia. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan amalan ini, padahal ziarah ke makam keluarga merupakan salah satu bentuk bakti dan doa untuk mereka yang telah mendahului kita.   24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ Dalam peristiwa ziarah tersebut dan sabda Rasulullah ﷺ: “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku,” telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak dahulu tentang nasib kedua orang tua Nabi ﷺ. Kesimpulan menurut pendapatku—kata penulis—adalah bahwa sebaiknya kita menahan diri dari memastikan bagaimana keadaan mereka berdua, tidak memastikan mereka di surga ataupun di neraka. Sebab perkara ini sangat berat, penuh tanggung jawab besar, dan tidak ada nash yang secara tegas dan pasti dalam hal ini. Teks-teks yang datang bersifat umum, sedangkan nash yang khusus tidaklah cukup jelas. Adapun hadits yang menyebut tentang ayah beliau ﷺ, memang ada riwayat yang diperselisihkan maknanya. Karena itu, lebih selamat bila kita menahan diri dan tidak memastikan dengan keyakinan tertentu, sebab tidak ada dalil yang benar-benar tegas dan pasti dalam hal ini. Adapun mengenai ibunda beliau ﷺ, tidak ada satu hadits sahih pun yang secara jelas menjelaskan keadaan beliau, selain larangan bagi Nabi ﷺ untuk memohonkan ampun baginya. Namun larangan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan nasib akhirnya, karena bisa jadi alasan tidak diizinkannya adalah sebab beliau wafat sebelum masa diutusnya kenabian—yakni termasuk golongan ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). Maka, keadaan mereka sepenuhnya berada di bawah kehendak Allah, dan kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana nasib mereka. Dan boleh jadi, Allah ﷻ menghendaki agar nasib ibunda Nabi ﷺ tetap menjadi perkara yang tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, sehingga tidak seorang pun berani memastikan hukum tentangnya kecuali Allah semata. Bisa jadi pula, dari ketetapan Allah yang penuh hikmah ini, terdapat isyarat bahwa seandainya Nabi ﷺ diizinkan untuk memohonkan ampun bagi ibunya, maka hal itu bisa menjadi dalil umum atas kebolehan memintakan ampun untuk seluruh *ahlul fatrah* (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). As-Sindi rahimahullāh berkata: “Istighfar (permohonan ampun) adalah cabang dari penyesalan atas dosa. Dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dibebani hukum syariat dan mengerti ajaran agama. Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka ia tidak membutuhkan istighfar, sebab hukum istighfar hanya disyariatkan untuk orang-orang yang telah menerima dakwah dan menolak kebenaran, meskipun bisa jadi mereka termasuk orang yang selamat.” Juga dapat dikatakan bahwa penduduk masa jahiliah secara umum diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir dalam urusan dunia, sehingga tidak dishalatkan dan tidak dimintakan ampun bagi mereka, sedangkan urusan akhirat mereka dikembalikan kepada Allah ﷻ semata. Tangisan Nabi ﷺ ketika menziarahi makam ibundanya tidaklah menunjukkan bahwa beliau yakin ibunya diazab. Bisa jadi tangisan itu muncul karena kelembutan hati beliau, kasih sayang, dan kerinduan yang mendalam kepada ibunya, bukan karena keyakinan akan azab. Imam Nawawi rahimahullāh berkata: “Mungkin sebab Nabi ﷺ menangis adalah karena beliau teringat pada ibunya dan merasa iba padanya. Allah lebih mengetahui alasan sebenarnya.” Qadhi ‘Iyāḍ juga berkata: “Tangisan Nabi ﷺ adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan hati. Maka, jika tangisannya kepada seorang anak kecil atau bayi menunjukkan kasih dan rahmat, bagaimana mungkin tidak demikian terhadap ibunya sendiri?” Namun, di sisi lain, teks-teks yang bersifat khusus itu dihadapkan dengan dalil-dalil umum yang sangat jelas dalam prinsip-prinsip syariat. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā, أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} “(Agar kalian tidak berkata,) ‘Tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mā’idah: 19) Dan firman-Nya pula: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} “Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15) Serta firman Allah Ta‘ālā lainnya: وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ} “Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum (diutusnya rasul itu), niscaya mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus kepada kami seorang rasul, agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan terhina.’” (QS. Ṭāhā: 134) Seluruh ayat ini menegaskan bahwa tidak ada azab sebelum datangnya peringatan dari seorang rasul. Hal ini memperkuat pendapat yang memilih untuk tawaqquf (menahan diri tanpa memastikan) dalam permasalahan ini. Allah-lah yang Maha Mengetahui.   25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik Imam An-Nawawi rahimahullāh berkata, “Dalam peristiwa ini terdapat dalil tentang bolehnya menziarahi orang-orang musyrik, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia, serta menziarahi kuburan mereka. Sebab, jika ziarah kepada mereka diperbolehkan setelah wafat, maka tentu ketika masih hidup lebih utama lagi.” Pendapat ini menunjukkan bahwa An-Nawawi rahimahullāh termasuk di antara ulama yang berpendapat bolehnya ziarah kepada kaum musyrik, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.   26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān Menempatkan seseorang pada kedudukan yang sesuai dengan martabatnya diambil dari sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dalam kalimat ini terdapat bentuk penghormatan kepada Abū Sufyān dan pembedaan kedudukannya karena ia merupakan salah satu pemuka kaum Quraisy.   27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan Perhatian Rasulullah ﷺ dalam melembutkan hati manusia. Beliau ﷺ menaklukkan hati Abū Sufyān dengan memberinya kehormatan bahwa siapa saja yang masuk ke rumahnya akan aman. Hal ini menjadi kebanggaan besar bagi Abū Sufyān, yang dikenal sebagai sosok yang mencintai kehormatan dan kebesaran. Dengan cara itu, Rasulullah ﷺ berhasil menundukkan hatinya, menjinakkan perasaannya, serta meneguhkan imannya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan dakwah Nabi ﷺ terhadap orang yang baru masuk Islam, sebagaimana kebiasaan beliau dalam mempererat hati mereka yang masih baru mengenal Islam.   28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong Sikap rendah hati Rasulullah ﷺ. Ketika seorang laki-laki datang kepada beliau ﷺ dengan hati yang penuh ketenangan dan kesungguhan untuk berbicara, tiba-tiba ia merasa gemetar dan takut. Rasa gentar itu muncul karena wibawa dan kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Tenangkan dirimu. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Ucapan ini mengandung pelajaran agar seseorang mengingat masa lalunya dan tidak melupakan asalnya — agar tidak sombong terhadap orang yang lemah. Nabi ﷺ mengajarkan kepada setiap pribadi untuk tidak lupa akan masa lalunya dan keadaan dirinya dahulu. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ﴾ “Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insān [76]: 1) Dalam ayat yang lain disebutkan, قُتِلَ ٱلْإِنسَٰنُ مَآ أَكْفَرَهُۥ مِنْ أَىِّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ “Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (QS. ‘Abasa: 17-19) Banyak di antara manusia yang, setelah meraih kedudukan dan kehormatan di dunia, menjadi lupa dengan masa lalunya. Ia tidak lagi mengingat keadaan lemahnya dulu, tidak mau menengok masa ketika ia belum dikenal, tidak ingin kembali mengingat bagaimana awal perjuangannya yang penuh kekurangan. Padahal sifat lupa akan asalnya itu termasuk tanda kesombongan yang hina.   29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah Pada hari Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Rasulullah ﷺ memasuki kota itu dengan penuh tawadhu‘, menundukkan kepalanya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Padahal hari itu adalah hari kemenangan besar bagi kaum muslimin. Inilah nilai agung dari sikap rendah hati—bahwa justru pada saat kemenangan besar diraih, beliau ﷺ tampil sebagai hamba yang tunduk kepada Rabb-nya, bukan sebagai penguasa yang congkak. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan menunduk hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana untanya, dan beliau terus-menerus bertahmid dan memuji Allah. Tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang berani melawan; semua tunduk dan menyerah. Semakin besar kemenangan dan semakin besar karunia Allah, justru semakin dalam kerendahan hati beliau ﷺ. Tidak ada sedikit pun rasa bangga atau ujub. Beliau tidak melihat dirinya sebagai pemenang, tetapi sebagai hamba yang diberi pertolongan oleh Allah. Itulah makna sejati dari kalimat “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh” — tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap kali manusia memperoleh kemenangan namun tetap menjaga kerendahan hati, niscaya kemenangan itu akan semakin kuat dan keberkahan akan semakin nyata. Sebaliknya, jika kemenangan diiringi kesombongan dan rasa bangga diri, maka di situlah awal kehancuran. Allah Ta’ala berfirman, ﴿ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۚ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ ﴾ “Sesungguhnya para raja, apabila mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan merusaknya, dan menjadikan orang-orang yang mulia di negeri itu menjadi hina. Dan demikianlah kebiasaan mereka.” (QS. An-Naml: 34) Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh berkata: “Maknanya, para raja itu apabila memasuki sebuah negeri, mereka melakukan kerusakan: membunuh penduduknya, menawan mereka, merampas harta kekayaannya, dan menghancurkan rumah-rumahnya. Mereka menjadikan orang-orang yang sebelumnya mulia menjadi hina. Makna “penduduknya menjadi hina” ialah: mereka menjadikan para pemimpin dan tokoh terhormat dari kalangan masyarakat menjadi orang-orang yang paling rendah kedudukannya. Rasulullah ﷺ justru memuliakan Abū Sufyān—pemimpin besar Quraisy yang pernah memimpin kaum musyrik dalam peperangan Uhud dan Ahzāb. Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Sesungguhnya kerendahan hati Rasulullah ﷺ merupakan pelajaran praktis bagi setiap pemimpin yang diberi kemenangan. Betapa sulitnya seseorang bisa tampil rendah hati di saat kemenangan tiba. Ibnu Katsīr rahimahullāh berkata: “Kerendahan hati Rasulullah ﷺ ketika memasuki Mekah dengan pasukan besar dan kuat ini, merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari Bani Israil. Ketika mereka diperintahkan memasuki Baitul Maqdis sambil bersujud (yakni rukuk) dan mengucapkan ‘ḥiṭṭah’ (ampunilah dosa kami), mereka justru masuk dengan merangkak di atas pantat mereka sambil berkata, ‘ḥinṭah fī sya‘īrah’ (gandum dalam jelai).” Pelajaran ini juga mengajarkan kepada kita tentang akidah dan tauhid: dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita raih, hendaknya kita sadari bahwa semua itu merupakan karunia dari Allah Yang Mahatinggi. ﴿ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ﴾ “Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Naḥl: 53) Kita pun meyakini bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Maka, tidak sepantasnya kita menisbatkan nikmat atau terhindarnya kita dari musibah kepada sebab semata, melainkan semuanya kepada Allah semata. Allah-lah yang menciptakan sebab-sebab itu, Dia pula yang memberi kemampuan untuk berbuat, dan Dialah yang menaruh hasil dalam setiap usaha. Allah adalah Musabbibul-Asbāb (Penyebab dari segala sebab). Hati manusia tidak akan baik kecuali dengan tauhid ini. Dengan tauhid, seorang hamba dapat bersyukur kepada Rabb-nya, karena semua bentuk keutamaan dan karunia sejatinya kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan firman Allah Ta‘ālā: “Adapun menahan diri saat senang (dalam keadaan lapang), itu lebih sulit, karena sering kali mirip dengan sikap lancang dan ceroboh.” Artinya, mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan senang dan bahagia itu jauh lebih berat dibandingkan bersabar ketika sedang susah. Hanya orang yang kuat imannya dan teguh hatinya yang mampu melakukannya. Ada sebagian orang, saat mendapatkan kenikmatan, jadi lupa bersyukur; dan ketika ditimpa kesulitan, ia tak lagi sabar. Maka orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang tetap bersyukur di waktu senang, dan tetap sabar di waktu susah. Mereka tidak berubah karena keadaan. Nikmat tidak membuat mereka lalai, dan ujian tidak membuat mereka putus asa. Jiwa manusia sebenarnya sangat dekat dengan godaan setan dan hawa nafsu. Sedangkan karunia Allah turun ke dalam hati dan ruh. Bila hati diterangi cahaya keimanan, maka seluruh jiwa ikut bercahaya. Namun jika anugerah Allah datang kepada hati yang belum siap, ia bisa kehilangan kendali. Ia menjadi sombong, rakus, atau bahkan melampaui batas. Itulah sebabnya banyak orang rusak justru saat diberi nikmat. Sebaliknya, orang yang berilmu dan mengenal Allah tahu bagaimana mengelola karunia itu dengan seimbang. Ia tidak terbuai oleh nikmat, juga tidak hancur oleh ujian. Kadang seseorang tiba-tiba diberi harta atau jabatan, padahal belum siap secara ilmu dan iman. Akibatnya, ia menjadi sombong dan meremehkan orang lain. Padahal semua itu ujian. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa saja nikmat itu menjadi sebab kehancurannya. Orang seperti itu biasanya baru sadar setelah kehilangan. Ia menyesal dan berkata, “Ke mana semua kebahagiaan itu? Mengapa aku jadi begini?” Padahal seharusnya, setiap nikmat atau musibah menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, bukan untuk menjauh dari-Nya. Karena itulah para ulama berkata: “Jika kamu tergelincir dari jalan kesabaran dan ketenangan, berarti kamu telah kehilangan kedudukanmu di sisi Allah.” Mereka juga menasihati, “Jagalah hatimu dari penyakit jiwa, biasakan rendah hati, tunduk, dan jangan sombong. Jadikan rasa takut dan harap kepada Allah sebagai penjaga hatimu.” Orang yang menjaga hubungannya dengan Allah akan mendapatkan ketenangan luar biasa. Ia memandang Allah dengan cinta dan pengharapan. Allah pun akan mendekatkannya, memuliakannya, dan menjadikannya hamba yang istimewa di sisi-Nya. Ketika seseorang sudah merasakan kerendahan hati yang tulus, hatinya lembut, penuh penyesalan dan rasa butuh kepada Allah, maka ia akan merasakan kenikmatan yang jauh lebih tinggi dari sekadar kenikmatan dunia. Orang yang mampu menjaga kehormatannya, menahan syahwatnya, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, itulah orang yang mulia di sisi Allah. Ia menolak kenikmatan yang menjerumuskan, menjauh dari perbuatan yang merusak, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang memalukan. Sungguh, kata ash-shabr, sabar tersusun dari huruf-huruf yang terasa berat di lidah, menunjukkan bahwa sifat sabar itu tidak mudah, tapi sangat berharga. Perhatikan, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri melewati masa sulit ketika diusir dari Makkah. Namun akhirnya Allah menolong beliau, hingga beliau masuk kembali ke Makkah dengan penuh kemenangan, ditemani sahabat setianya, Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu. Allah berfirman: ﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا﴾ “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang (bersama Abu Bakar) ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Dan Allah juga berfirman: ﴿إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia akan mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) ﴿وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83) Kemenangan Rasulullah ﷺ di Makkah menjadi bukti nyata janji Allah. Beliau dulu diusir dengan hina, namun kembali dengan penuh kemuliaan. Itulah makna sebenarnya dari ketundukan kepada Allah. Dialah yang memberi kemenangan, mengangkat derajat orang beriman, dan menjanjikan kesudahan yang baik bagi mereka yang bersabar dan bertakwa. Maka kita semua perlu meneladani sifat mulia itu—sabar dan syukur. Barang siapa ingin akhir hidupnya baik, hendaklah ia memperbaiki amalnya dan bersabar menghadapi ujian hidup. Setiap kali ia bertambah sabar, Allah akan menaikkan derajatnya, hingga mencapai kedudukan tinggi di sisi-Nya.   30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar Peristiwa ini adalah bentuk pertolongan dan kemenangan besar dari Allah. Jangan kita lupakan bahwa dahulu beliau ﷺ pernah diusir dari Makkah, dikejar dan diburu oleh orang-orang kafir Quraisy, hanya ditemani oleh sahabat karibnya, Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhu, dan pelayannya. Allah ﷻ berfirman: {إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا} “Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, lalu dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Janji Allah ini terwujud sepenuhnya. Allah menolong Rasul-Nya ﷺ dan memberikan kemenangan kepada kaum mukminin. Sekalipun waktu berjalan lama, janji itu pasti datang. Allah berfirman: {إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) Dan Allah juga berfirman: {وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 83) Tidak ada yang dapat menghalangi pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ yang dahulu keluar dari Makkah sendirian, kini kembali ke Makkah dengan membawa kemenangan, sementara orang-orang kafir yang dulu mengusirnya kini berlari ketakutan. Allah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan memenangkan pasukan-Nya. Rasul ﷺ pun masuk ke Makkah tanpa peperangan besar, tanpa kekerasan, hanya dengan pengibaran panji Islam dan tunduknya hati-hati manusia kepada Allah ﷻ. Maka pantas jika Allah, dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, menjadikan janji kemenangan itu nyata bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kita semua pun diingatkan untuk meraih sifat yang membuat janji Allah terwujud pada diri kita — yaitu sifat takwa. Siapa yang ingin mendapatkan akhir yang baik, maka hendaklah ia memperbaiki amalnya dengan takwa dan ketaatan. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin tinggi pula derajatnya dalam meraih ḥusnul ‘āqibah (akhir yang baik) hingga mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.   31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah Peristiwa Ahzab terjadi pada tahun kelima hijriah, ketika pasukan musuh berkumpul hendak memerangi Islam di Madinah. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang. Lalu, pada tahun kedelapan hijriah — tiga tahun setelahnya — Allah mengumpulkan sepuluh ribu kaum Muslimin untuk berangkat menaklukkan Makkah. Perhatikanlah bagaimana Allah menggantikan keadaan! Dahulu sepuluh ribu orang kafir berkumpul untuk memerangi Islam, namun kini sepuluh ribu kaum Muslimin yang berhimpun untuk menegakkan Islam. Ini adalah karunia dan pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.   32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah sebagai pemenang adalah salah satu tanda nyata kenabian beliau ﷺ. Ibnu Rajab rahimahullāh menjelaskan bahwa kekuasaan Nabi ﷺ atas kota itu dan penguasaan beliau terhadapnya, beserta umatnya, merupakan bukti kebenaran risalah dan janji Allah kepadanya. Allah menahan siapa pun yang ingin mencelakai Nabi ﷺ dan akhirnya membinasakan mereka, lalu Allah menguasakan kota itu kepada Rasul-Nya dan umatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إن الله حبس عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين» “Sesungguhnya Allah telah menahan (pasukan) gajah dari Makkah, dan kini Dia menundukkan Makkah kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Maksudnya, dahulu Allah menahan pasukan Abrahah agar tidak merusak Ka‘bah, dan kini Allah menaklukkan Makkah kepada Nabi-Nya ﷺ sebagai bentuk pemuliaan dan peneguhan atas dakwah beliau. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ ketika hari Fathu Makkah berkata, «اليوم تُعظَّمُ الكعبة» “Hari ini Ka‘bah diagungkan!” Karena kaum musyrik Makkah pada masa jahiliah telah menyimpangkan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas-salām. Mereka menodai ibadah haji dengan kesyirikan, mengubah manasik haji, dan menyeleweng dari agama tauhid. Namun hari itu, Allah ﷻ mengembalikan kemuliaan Makkah kepada kemurnian tauhid, sebagaimana agama Nabi Ibrahim al-Ḥanīf. Allah menghapus segala bentuk syirik, menegakkan kembali ibadah haji dengan manasik yang benar, dan mengembalikan umat ini kepada agama tauhid yang lurus.   33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman. Barang siapa menutup pintunya, maka ia aman. Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Inilah peristiwa agung yang tak dikenal dalam sejarah dunia, dan tak ada yang menandinginya dalam hal kemurahan hati, pemaafan, dan kelapangan dada. Selama lebih dari dua puluh tahun, kaum musyrikin Makkah memerangi dakwah Islam. Mereka menghalangi jalan kebenaran dengan segala cara, menentang dan memusuhi dakwah Nabi ﷺ, tidak menyisakan satu celah pun kecuali mereka manfaatkan untuk menghambat agama ini, serta menebar fitnah dan kebencian antara manusia agar menjauh dari jalan Allah. Mereka menyiksa para pengikut Nabi ﷺ, memenjarakan dan menekan mereka, bahkan membunuh sebagian dari mereka. Mereka terus mengejar kaum Muslimin yang hijrah hingga ke luar Jazirah Arab. Lalu mereka masih memerangi umat Islam dalam tiga peperangan besar setelahnya. Namun, meskipun begitu, Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah dengan sepuluh ribu pasukan mujahid yang tunduk dan rendah hati kepada Allah ﷻ. Beliau tidak datang dengan dendam, melainkan dengan kasih sayang. Di tengah kekuasaan penuh, beliau justru memproklamasikan amnesti umum dan pengampunan menyeluruh. Cukup dengan seseorang masuk ke rumahnya sendiri, atau rumah Abū Sufyān, atau menurunkan senjata, maka ia aman. Itulah puncak keagungan dalam memberi maaf dan melupakan permusuhan masa lalu. Baca juga: Memaafkan dengan Berusaha Melupakan   34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hari hijrah, ketika Suraqah mengejar Rasulullah ﷺ, ia mendapati Nabi ﷺ sedang membaca Al-Qur’an. Begitu pula pada hari penaklukan Makkah, Rasulullah ﷺ memasuki kota itu di atas untanya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Pemandangan ini menunjukkan kepada kita pentingnya memanfaatkan waktu dalam ibadah. Di mana pun dan kapan pun, orang yang beriman hendaknya menjadikan waktunya berharga dengan tilawah dan zikir. Momen seperti ini juga menjadi kesempatan bagi siapa pun untuk menambah hafalan Al-Qur’an, atau mengulang hafalan yang telah dimiliki, terutama saat dalam perjalanan. Betapa banyak orang yang bisa menjadikan waktu bepergian sebagai sarana untuk membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, baik melalui mushaf atau audio, dengan niat ibadah dan meneladani Rasulullah ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullāh berkata — menukil dari Ibnu Abī Jamrah — bahwa sabda Nabi ﷺ ini menunjukkan kuatnya kebiasaan beliau dalam beribadah, karena beliau tetap berzikir dan membaca Al-Qur’an dalam keadaan di atas unta, tidak pernah lalai dari ibadah meski dalam perjalanan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin meneladani Nabi ﷺ hendaknya menjadikan setiap perjalanan sebagai kesempatan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, agar waktu yang berlalu membawa keberkahan, bukan kesia-siaan.   35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid Rasulullah ﷺ bersabda, “Tempat menetap kita—insya Allah—adalah Khaif Bani Kinanah, yaitu tempat kaum Quraisy saling bersumpah untuk menetapkan kekafiran.” Maksudnya: mereka berkumpul dan bersepakat dalam sebuah sumpah untuk meneguhkan kekafiran. An-Nawawi rahimahullāh menjelaskan bahwa mereka saling bersekutu dan membuat perjanjian untuk mengusir Nabi ﷺ beserta Bani Hāsyim dan Bani Al-Muththalib dari Makkah menuju sebuah lembah sempit. Tempat itu dikenal sebagai Sya‘ib Bani Kinanah. Mereka menulis sebuah piagam terkenal yang berisi berbagai bentuk kebatilan, pemutusan hubungan keluarga, dan kekafiran, lalu menaruhnya di dalam Ka‘bah. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi ﷺ sengaja singgah di tempat itu sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta‘ālā karena agama Allah telah tampak dan ditinggikan. Hanya Allah yang lebih mengetahui hakikatnya. Mungkin juga ada makna lain, yaitu menampakkan ketaatan di tempat yang sebelumnya digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: “Tempat-tempat yang dahulu menjadi lokasi kekafiran dan maksiat, lalu di sana ditampakkan keimanan dan ketaatan, maka itu adalah hal yang baik.” Contohnya, Nabi ﷺ memerintahkan penduduk Thaif untuk menjadikan masjid sebagai tempat baiat mereka, dan memerintahkan penduduk Yamamah menjadikan masjid sebagai tempat mereka menyatakan penyerahan diri. Dalam ‘Aunul Ma‘būd dijelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya mengubah gereja, tempat jual beli, atau tempat berhala menjadi masjid. Banyak sahabat, ketika menaklukkan negeri-negeri lain, menjadikan tempat ibadah orang kafir—seperti kuil atau gereja—sebagai masjid bagi kaum muslimin. Mereka tidak merusaknya kecuali jika ada unsur penghinaan terhadap kekafiran dan kezhaliman. Di India, raja yang adil dari kalangan Ahlus Sunnah juga melakukan hal yang sama. Bahkan dibangun beberapa masjid di tempat ibadah besar milik orang-orang kafir—semoga Allah menelantarkan mereka.   36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? Rasulullah ﷺ langsung memulai dengan menghancurkan berhala-berhala dan merobohkan bangunan-bangunan kesyirikan di sekitar Ka‘bah begitu beliau memasuki Makkah. Hal itu karena syirik adalah dosa terbesar, bentuk kezaliman yang paling berat, dan kejahatan yang paling buruk yang tidak boleh dibiarkan. Sebaliknya, menegakkan tauhid dan menyebarkannya adalah bentuk ketaatan yang paling utama dan ibadah yang paling tinggi nilainya. Karena itu, salah satu tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ setelah memasuki Makkah dan tinggal di dalamnya adalah mengutus orang-orang untuk merobohkan rumah-rumah berhala yang berada di sekitar Makkah—tempat yang selama ini dijadikan sesembahan selain Allah, tempat manusia thawaf, dan mendekatkan diri kepadanya. Menghancurkan syirik dalam segala bentuknya, serta menegakkan pilar-pilar tauhid, adalah inti dari risalah Nabi Muhammad ﷺ. Siapa saja yang tidak memberikan hak tauhid dalam hidupnya dan tidak memurnikan ibadah hanya kepada Allah, berarti ia telah mengabaikan perkara terpenting yang dibawa Rasul ﷺ—bahkan seluruh para rasul. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyā’: 25) Baca juga: Bahaya Syirik   37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram dan melihat ada gambar-gambar di dalam Ka‘bah, beliau langsung merusak dan menghapusnya. Dalam hal ini terdapat ancaman keras bagi para pembuat gambar. Abu Juhafah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa “Rasulullah ﷺ melaknat para pembuat gambar.” Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.’” Ibn Baththal rahimahullāh menjelaskan bahwa pada awalnya Nabi ﷺ melarang segala bentuk gambar, meskipun tidak sempurna, karena masyarakat saat itu baru saja meninggalkan penyembahan terhadap gambar. Larangan tersebut bertujuan memutus pengaruh itu secara total. Setelah larangan tersebut mengakar, Nabi ﷺ memberi keringanan untuk gambar pada pakaian karena ada kebutuhan, seperti pada pakaian anak-anak, dan memberi keringanan untuk gambar pada benda yang diinjak karena tidak diagungkan oleh orang awam. Namun, gambar yang dipasang tanpa adanya kebutuhan, gambar yang hanya menjadi bentuk kemewahan, atau gambar yang memiliki bayangan seperti patung dan sejenisnya—semuanya tidak diperbolehkan karena hal itu menyerupai ciptaan Allah Ta‘ālā. Imam Nawawi rahimahullāh berkata bahwa para sahabat dan para ulama berpendapat: menggambar makhluk bernyawa adalah haram dengan larangan yang sangat keras, dan termasuk dosa besar. Jika gambarnya berada pada pakaian, atau digantung di dinding, atau berada pada kain penutup, sorban, dan semacamnya, maka tetap haram. Jika gambarnya berada pada alas kaki, bantal, atau tempat duduk—yakni benda yang direndahkan—maka tidak haram, tetapi malaikat rahmat tidak masuk ke rumah tersebut. Beliau menambahkan bahwa malaikat yang tidak masuk ke rumah yang ada gambar atau anjingnya adalah malaikat rahmat dan malaikat yang memohonkan ampun. Adapun malaikat pencatat amal tetap masuk ke setiap rumah dan tidak pernah berpisah dari manusia, karena mereka bertugas mencatat dan menghitung amal. Manusia di masa sekarang sudah sangat meremehkan masalah gambar. Banyak rumah dipenuhi hiasan, lukisan, atau patung hanya demi pamer dan bermegah-megahan, padahal ancaman bagi pembuat dan pemilik gambar sangat keras. Siapa saja yang merenungkan dalil-dalil tentang gambar akan merasa takut jika mengikuti hawa nafsunya. Nasihatnya: segeralah membersihkan rumah dari gambar, kecuali gambar resmi untuk keperluan identitas, paspor, atau dokumen penting lainnya. Jangan biarkan ada gambar atau patung yang diagungkan di dalam rumah, karena malaikat rahmat dan istighfar tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut. Wallāhu a‘lam. Baca juga: Hukum Mengambil Foto dengan Kamera   38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ mengembalikan kunci Ka‘bah kepada ‘Utsmān bin Thalhah, terdapat pelajaran besar tentang menunaikan amanah. Saat menyerahkan kembali kunci itu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Hari ini adalah hari kebajikan dan kesetiaan.”   39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy Di antara akhlak agung Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau memaafkan kaum musyrik Quraisy yang telah menyakiti beliau, mengusir beliau dari Makkah, dan memerangi beliau. Ketika beliau telah mengalahkan dan menguasai mereka, beliau hanya berkata: “Pergilah, kalian bebas.” Pemaafan ini mencakup seluruh penduduk Makkah, termasuk orang-orang kafir yang sebelumnya diperintahkan untuk dibunuh. Sikap mulia ini menjadi sebab banyak penduduk Makkah—laki-laki maupun perempuan—masuk Islam dengan kerelaan, pilihan sendiri, dan ketertarikan kepada agama ini.   40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua Ketika Abu Bakar datang bersama ayahnya yang sudah sangat tua, Rasulullah ﷺ berkata: “Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua itu tetap di rumahnya, hingga aku yang mendatanginya?” Dari ucapan ini kita mengambil pelajaran tentang akhlak mulia Rasulullah ﷺ, kerendahan hati beliau, serta tuntunan syariat untuk memuliakan orang yang lebih tua dan menghormatinya. Nabi ﷺ mencontohkannya secara langsung melalui kisah ini. Beliau juga bersabda: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kami dan tidak menghormati yang besar di antara kami.” (Shahih Al-Jaami’, no. 5445; Shahih menurut Syaikh Al-Albani; Hadits dari Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash)   41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Dari ucapan Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar ketika ayah beliau masuk Islam, kita dapat mengambil pelajaran bahwa memberikan ucapan selamat atas datangnya kebaikan agama adalah sesuatu yang disyariatkan. Hal ini juga terlihat dalam kisah Ka‘b bin Malik ketika ia bertaubat kepada Allah; para sahabat radhiyallāhu ‘anhum memberi ucapan selamat kepadanya. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa memberikan ucapan selamat atas kenikmatan agama, berdiri menyambutnya ketika ia datang, dan berjabat tangan dengannya adalah sunnah yang dianjurkan. Ini diperbolehkan bagi seseorang yang baru mendapatkan kenikmatan agama. Tidak disebutkan adanya ucapan selamat atas kenikmatan dunia.” Beliau juga menyebutkan bahwa ucapan selamat untuk kenikmatan dunia tetap diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh.   Masih bersambung insya Allah …   Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat Sore, 14-11-2025, 23 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfaedah sirah nabi fathu makkah peperangan dalam islam peperangan di masa Rasulullah perang di masa nabi sirah nabi
Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.   Daftar Isi tutup 1. Sebab Terjadinya Fathu Makkah 2. Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian 3. Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah 4. Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah 5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya 6. Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib 7. Abu Sufyan Masuk Islam 8. Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati 9. Pembersihan Ka‘bah dari Berhala 10. Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram 11. Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga 12. Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar 13. Baiat Agung di Shafā 14. Keislaman Abū Quḥāfah 15. Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl 16. Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy 17. Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm 18. Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah 18.1. 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam 18.2. 2. Pentingnya Menepati Janji 18.3. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian 18.4. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh 18.5. 5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah 18.6. 6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah 18.7. 7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam 18.8. 8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib 18.9. 9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir 18.10. 10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib 18.11. 11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar 18.12. 12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka 18.13. 13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman 18.14. 14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat 18.15. 15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama 18.16. 16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu 18.17. 17. Keutamaan Ahli Badar 18.18. 18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ 18.19. 19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah 18.20. 20. Marah Demi Agama 18.21. 21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar 18.22. 22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah 18.23. 23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya 18.24. 24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ 18.25. 25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik 18.26. 26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān 18.27. 27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan 18.28. 28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong 18.29. 29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah 18.30. 30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar 18.31. 31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah 18.32. 32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci 18.33. 33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah 18.34. 34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir 18.35. 35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid 18.36. 36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? 18.37. 37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah 18.38. 38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah 18.39. 39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy 18.40. 40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua 18.41. 41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan: ﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ۝ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ۝ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3) Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang: ﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾ “Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10) Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)   Sebab Terjadinya Fathu Makkah Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah. Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.   Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278) Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)   Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: «اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا» “Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)   Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita. ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu. Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ. Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib: «يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟» “Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?” Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.” Rasulullah ﷺ bersabda: «أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ» “Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.” Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!” Nabi ﷺ menanggapi: «إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim) Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.” Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah ﷺ menjawab: “Bukankah dia termasuk ahli Badar?” Beliau kemudian menambahkan: فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki karena kalian sudah dijamin surga, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb. ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت». Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي». Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.” وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ». Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”   Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya. Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.   Abu Sufyan Masuk Islam Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam. Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu: احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين “Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.” Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam. Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن». “Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”   Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ. Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang. Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah. Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang. Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur. Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah: ‘Ikrimah bin Abī Jahl, ‘Abdullāh bin Khathal, Miqyas bin Shubābah, ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ. ‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam. Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal. Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ “Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.” Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata: “Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”   Pembersihan Ka‘bah dari Berhala Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81) Dan juga firman Allah Ta‘ālā: قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49) Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau. Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda: قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ “Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.” Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus. Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda: قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ “Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”   Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.” Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13) Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya: لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.” Beliau pun berkata: اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ “Pergilah kalian, kalian semua bebas.” Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.   Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?” Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ “Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.” Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.   Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.” Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?” Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ “Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.” Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata: “Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka: إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”   Baiat Agung di Shafā Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak: “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka. Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda: هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ “Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau). ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”   Keislaman Abū Quḥāfah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ “Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?” Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.” Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam. Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata: هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ» “Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”   Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata: “Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.” ‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.” Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.   Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ “Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 3298) Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala. Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah. Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy. Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘. Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj. Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab. Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ» “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.” Setelah itu, tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masih menyimpan berhala di rumahnya. Jika ada yang memelihara, berhala itu akan dihapus atau dihancurkan, bahkan sekadar disentuh pun ditinggalkan dengan penuh rasa jijik. Kaum Muslimin pun berbondong-bondong menghancurkan patung-patung tersebut. Ketika itu, ‘Ikrimah bin Abī Jahl radhiyallāhu ‘anhu—yang saat itu belum masuk Islam—pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ada satu rumah di antara rumah-rumah Quraisy kecuali berhalanya dihancurkan.” Setelah itu, Hindun binti ‘Utbah radhiyallāhu ‘anhā—istri Abu Sufyān—masuk Islam dan berkata, “Dulu kami menyembah berhala-berhala itu. Ketika tamimah (jimat) itu rusak, kami merasa tertipu.” Maka berhala-berhala pun dihancurkan oleh kaum Muslimin.   Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm Ketika Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah setelah penaklukan (Fathu Makkah), terjadi sebuah peristiwa penting. Seorang wanita terpandang dari kalangan Bani Makhzūm melakukan pencurian. Kaum Quraisy sangat gelisah karena mengetahui bahwa hukum syariat akan menuntut agar tangannya dipotong. Mereka pun berembuk dan berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini?” Akhirnya mereka memilih Usāmah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu, kesayangan Rasulullah ﷺ, untuk menyampaikan permohonan. Usāmah radhiyallāhu ‘anhu pun berbicara kepada Nabi ﷺ tentang wanita itu, meminta agar hukuman diringankan. Wajah Rasulullah ﷺ pun berubah, lalu beliau bersabda: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللّٰهِ؟ “Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam perkara hukum hudud Allah?” Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ berdiri menyampaikan khutbah kepada manusia. Beliau ﷺ bersabda: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللّٰهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fāṭimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita itu dihukum sesuai syariat, maka dipotonglah tangannya. Diriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Wanita dari Bani Makhzūm itu bertaubat dengan sungguh-sungguh setelah menjalani hukumannya. Ia menikah kemudian hidup terhormat. Pernah suatu ketika ia datang kepadaku untuk suatu keperluan, lalu aku sampaikan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari, no. 3475 dan Muslim, no. 1315)   Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah Dari peristiwa penaklukan Makkah, kita dapat mengambil sejumlah faedah penting berikut: 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam Fathu Makkah menjadi batas tegas antara dua tahap dalam perjalanan Islam. Allah Ta‘ālā berfirman: لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُو۟لَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا۟ مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا۟ ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 10) Ibnu Juzay rahimahullāh berkata: “Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin dalam keadaan lemah, sangat membutuhkan infak dan jihad, sehingga pahala orang yang berinfak dan berperang sebelum fathu Makkah lebih besar daripada setelahnya.” Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin menghadapi musuh besar di Makkah, Ṭāif, serta berbagai kabilah Arab yang masih menunggu waktu untuk menyerang. Namun setelah Makkah ditaklukkan, Allah memuliakan agama ini, pusat kesyirikan dihancurkan, panji tauhid berkibar, dan kemenangan datang dari Allah. Islam pun semakin jelas jalannya, dan masa depan umat ini menjadi lebih terang. Karena itu, Allah tidak menyamakan antara orang yang berinfak dan berjuang sebelum fathu Makkah dengan yang melakukannya setelahnya, meskipun Allah tetap menjanjikan kebaikan bagi keduanya. 2. Pentingnya Menepati Janji Kemenangan kaum Muslimin menunjukkan betapa pentingnya menepati janji. Orang-orang kafir Quraisy ketika itu sebenarnya masih terikat dengan perjanjian damai bersama Rasulullah ﷺ. Namun, ketika mereka melanggarnya, Allah menurunkan akibatnya, hingga Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala, dan menghapus sisa-sisa jahiliyah yang ada di dalamnya. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian Peristiwa ini juga menegaskan bahwa mengkhianati perjanjian adalah perbuatan tercela. Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada ‘Amr bin Sālim: نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau akan ditolong, wahai ‘Amr bin Sālim.” Sabda ini muncul karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai dianggap sebagai pelanggaran besar yang mengundang hukuman dari Allah. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh Sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Sālim: «نُصِرْتَ يا عَمْرُو بنَ سَالِمٍ» (“Engkau telah diberi pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim!”) Ungkapan ini menunjukkan sejauh mana wibawa negara Islam saat itu. Islam telah menjadi kekuatan besar di kawasan, membela yang terzalimi dan menentang kezhaliman. Kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun menghitung kekuatan Islam sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Maka, ketika Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat ini, ‘Amr bin Sālim pun yakin benar bahwa beliau pasti akan menolongnya. Buktinya, kaum Muslimin berangkat cepat hingga tiba di Makkah, lalu mereka menyerang Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy dan membunuh mereka di peristiwa Hudaibiyah. ‘Amr bin Sālim pun kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira bahwa mereka akan mendapat kemenangan, sedangkan musuh-musuh mereka akan kalah. Hal ini semakin diperkuat dengan berangkatnya Abu Sufyān ke Madinah untuk memperbarui perjanjian damai, karena ia takut akan akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut. Quraisy benar-benar ketakutan menghadapi konfrontasi besar itu. Peristiwa ini memperlihatkan perubahan besar dalam neraca kekuatan, yang jelas menguntungkan umat Islam. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.   5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah Kisah kedatangan Abu Sufyān ke Madinah dan masuknya ia menemui Ummul Mu’minīn, Ummu Habībah radhiyallahu ‘anha, putrinya sendiri. Ketika Abu Sufyān ingin duduk di atas tikar Rasulullah ﷺ, Ummu Habībah segera melipatnya agar ayahnya tidak bisa duduk di atasnya. Ia berkata: “Ini adalah tikar Rasulullah ﷺ, dan engkau adalah seorang lelaki musyrik yang najis.” Sikap ini memperlihatkan betapa jelasnya kebencian para sahabat terhadap syirik dan kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat. Abu Sufyān adalah ayah kandungnya, tetapi itu tidak mengubah sikapnya sedikit pun.   6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah Abu Sufyān lalu datang kepada Rasulullah ﷺ untuk berbicara, agar beliau memperpanjang dan memperkuat perjanjian damai. Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapi sedikit pun. Maka Abu Sufyān pergi kepada Abū Bakr, kemudian kepada ‘Umar, lalu kepada ‘Uthmān, dan terakhir kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Perhatikanlah urutan yang dilakukan Abu Sufyān! Ia datang pertama kepada Abū Bakr, lalu kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Uthmān, lalu kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Persis sebagaimana yang kemudian terjadi dalam penetapan Khilāfah Rāsyidah. Ini pula yang terkenal di kalangan sahabat tentang urutan keutamaan mereka.   7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam Disyariatkan untuk menyembunyikan (merahasiakan) sesuatu apabila dikhawatirkan menimbulkan mudarat bila diumumkan. Rasulullah ﷺ pun tidak selalu memberitahukan arah tujuan perjalanannya kepada manusia, agar tetap terjaga maslahatnya, dan supaya Quraisy tidak bersiap lebih awal untuk menghadang. Allah Ta‘ālā berfirman tentang kisah Ashḥābul Kahfi: ﴿ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا ﴾ [الكهف: 19] “Dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahf: 19) Maknanya adalah hendaknya mereka bersikap hati-hati, merahasiakan urusan mereka, termasuk ketika masuk kota dan membeli makanan, jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan mereka. Demikian pula kaum Muslimin dahulu: “Ista‘īnū ‘alā injāḥi ḥawā’ijikum bil-kitmān” (Mintalah pertolongan untuk menyelesaikan kebutuhan kalian dengan cara merahasiakannya).   8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib Di antara tanda kenabian Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk membuntuti seorang wanita yang membawa surat dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah. Surat itu berisi informasi tentang rencana Rasulullah ﷺ. Allah memberi tahu Nabi-Nya melalui wahyu tentang isi surat itu, siapa pengirimnya, dan lokasi wanita tersebut. Maka Rasulullah ﷺ segera mengutus sahabat untuk menghadang wanita itu. Benar saja, mereka mendapati surat tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Peristiwa ini termasuk bukti jelas dari tanda-tanda kenabian, yaitu berita gaib yang Allah kabarkan kepada Nabi-Nya terkait kisah Ḥāṭib dengan wanita itu.”   9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir Kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat dari kalangan Muhājirīn—menunjukkan bahwa manusia tidak lepas dari kelemahan. Bisa jadi seorang mukmin yang tulus iman dan amalnya, tetap saja terjerumus dalam tindakan yang keliru karena dorongan hawa nafsu atau tuntutan kebutuhan hidup. Itulah yang dilakukan Ḥāṭib ketika ia menyembunyikan surat kepada Quraisy mengenai perjalanan Rasulullah ﷺ. Perbuatan ini tidaklah mengurangi keimanannya, melainkan bagian dari kelemahan manusiawi. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Seorang mukmin, sekalipun sudah sampai pada tingkatan saleh, tetap saja bisa tergelincir dalam dosa. Karena itu ia harus senantiasa berlindung kepada Allah, selalu bergantung pada-Nya, dan terus istiqamah dalam berpegang teguh kepada-Nya.” Kita berdoa sebagaimana doa orang-orang yang mantap imannya: ﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ﴾ [آل عمران: 8] “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (QS. Āli ‘Imrān: 8)   10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib Dalam kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: «ما حَمَلَكَ يا حاطِبُ على ما صَنَعْتَ؟» (“Apa yang mendorongmu melakukan hal itu, wahai Ḥāṭib?”) Pertanyaan Nabi ﷺ yang penuh kelembutan ini menunjukkan bahwa niat sangatlah penting dalam menilai sebuah perbuatan. Ḥāṭib melakukan tindakan tersebut bukan karena ingin murtad dari agama Islam, tetapi semata karena ingin melindungi keluarga dan harta yang ia tinggalkan di Makkah. Hal ini menjadi bukti bahwa menjaga harta dan keselamatan keluarga bukanlah bentuk kufur, melainkan bentuk kelemahan iman yang bersifat insaniyah. Maka, membedakan antara maksud melindungi agama dengan maksud melindungi harta adalah hal penting; yang pertama urusan agama, yang kedua urusan duniawi. Allah ﷻ berfirman: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ … ﴾ [الممتحنة: 1] “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (rahasia kaum Muslimin) karena rasa kasih sayang, padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada kalian...” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Para ulama berkata: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ḥāṭib, dan penutup ayat ini: ﴿ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة: 1] “Barang siapa melakukannya di antara kalian, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Ini menunjukkan bahwa tindakannya keliru, tetapi tidak mengeluarkannya dari iman, karena didasari kelemahan manusia, bukan karena membela kekufuran.   11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar Perbuatan al-muwālāt (berloyalitas) kepada orang kafir dengan makna seperti kasus Ḥāṭib memang merupakan dosa besar dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Namun, itu tidaklah mengeluarkannya dari Islam. Ini merupakan kaidah penting: kesalahan seperti ini tidak boleh membuat seseorang dicabut dari nama iman, selama masih ada dasar keimanan dalam dirinya. Kesalahan tersebut juga tidak mengurangi kedudukan seorang sahabat besar seperti Ḥāṭib al-Badrī radhiyallahu ‘anhu. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada kita tentang kedudukan istimewa orang-orang yang ikut Perang Badar? Beliau ﷺ bersabda: «لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Barangkali Allah telah melihat (mengetahui keadaan) para pejuang Badar, lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” Maka Rasulullah ﷺ memandang perbuatan Ḥāṭib dalam konteks ini. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sempat ingin menghukumnya, tetapi Rasulullah ﷺ menegur: «صَدَقَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا» “Dia berkata benar. Janganlah kalian katakan tentangnya kecuali yang baik-baik.” Maka para sahabat pun menerima penjelasan Nabi ﷺ, mengakui kebenaran Ḥāṭib, dan hanya berkata yang baik tentang dirinya.   12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka Cara Rasulullah ﷺ menghadapi peristiwa ini sungguh penuh kelembutan. Beliau ﷺ tidak tergesa-gesa menghukum, tetapi terlebih dahulu bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, wahai Ḥāṭib?” Kemudian beliau mendengarkan alasan dengan lapang dada. Inilah teladan Nabi ﷺ: mengajarkan kita untuk memberi uzur kepada orang lain, berbaik sangka, lembut dalam berinteraksi, serta tidak mengeluarkan ucapan kecuali yang baik dan penuh kasih sayang. Maha benar Allah yang telah menjadikan beliau sebagai manusia paling penuh rahmat, paling pemaaf, paling bijak, dan sebaik-baik teladan.   13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman Dalam cara Rasulullah ﷺ berinteraksi, terdapat pedoman bagi kita dalam memperlakukan saudara-saudara kita. Hendaknya kita berbaik sangka, mencari alasan yang memaafkan, menerima kekhilafan, mengingat kebaikan yang pernah ia lakukan, dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan. Bila seseorang berbuat salah, jangan langsung menilai bahwa itu karena keraguan atau kurangnya iman. Bisa jadi itu hanyalah kondisi sesaat akibat faktor duniawi. Namun, ia segera bertaubat kepada Tuhannya. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka digoda oleh setan, mereka teringat (akan Allah), maka ketika itu juga mereka melihat dengan jelas (kebenaran).” (QS. Al-A‘rāf: 201) Mereka adalah orang-orang bertakwa, tetapi tetap bisa tersentuh oleh godaan setan. Hanya saja, mereka cepat sadar, segera melihat kebenaran, lalu kembali kepada Rabb mereka. Jalan hidup mereka tidak ternoda oleh dosa itu, bahkan bisa jadi, setelah mereka bertaubat dan kembali kepada Allah, keadaan mereka menjadi lebih baik daripada sebelum terjatuh dalam dosa.   14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat Dalam kisah Hatib radhiyallāhu ‘anhu terdapat pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah tergelincir dalam kesalahan—dan siapakah yang tak pernah tergelincir?—bahwa seseorang tidak boleh mengingkari kesalahan yang telah dilakukannya. Hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah, meminta maaf, dan jujur dalam pengakuannya. Tiada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengan taubat yang tulus, pengakuan yang jujur, dan keikhlasan dalam memperbaiki diri. Ibnu Hajar rahimahullāh berkata: “Barang siapa melakukan kesalahan, hendaklah ia tidak mengingkarinya, melainkan mengakuinya dan meminta maaf, agar tidak menumpuk dua dosa sekaligus.”   15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama Kisah Hatib juga menunjukkan kedudukan tinggi orang-orang yang berilmu dan beramal saleh. Kesalahan mereka tidak sama dengan kesalahan orang kebanyakan, sebab lautan kebaikan mereka menenggelamkan kekeliruan yang mungkin terjadi. Maka, hendaknya kesalahan mereka ditimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan, dan kita memperhatikan sikap lapang dada serta penghargaan terhadap jasa mereka.   16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu Kisah Hatib juga mengajarkan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi perkara yang sulit. Ketika Umar berkata kepada Nabi ﷺ, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini,” beliau tidak melakukannya atas dorongan pribadi, tetapi setelah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Maka, Rasulullah pun menjelaskan posisi hukum yang benar dalam perkara itu. Dari sini kita belajar: jangan tergesa-gesa dalam menghukumi, tetapi kembalikan semuanya kepada ilmu dan bimbingan syariat.   17. Keutamaan Ahli Badar Kisah Hatib juga menegaskan kemuliaan para pejuang Badar radhiyallāhu ‘anhum. Mereka memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah karena jasa besar mereka dalam membela Islam dan kaum muslimin. Keutamaan ini menjadi alasan mengapa Rasulullah ﷺ memaafkan Hatib dan menegaskan kedudukannya sebagai bagian dari ahli Badar. Baca juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya   18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ Sebagai penutup kisah Hatib, terdapat pelajaran penting dalam memahami akidah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah). Banyak orang terjatuh dalam sikap berlebihan di dua sisi: sebagian terlalu ekstrem dalam permusuhan, sementara sebagian lain berlebihan dalam toleransi. Kedua sisi ini sama-sama menyimpang dari keseimbangan yang diajarkan oleh syariat. Sikap berlebihan (ghuluw ifrāṭ) dalam masalah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah) biasanya tampak dalam dua bentuk: Pertama, mudah mengkafirkan orang lain hanya karena perbuatan lahiriah. Ini terjadi karena tidak memahami dengan jelas batasan kekufuran dalam masalah walā’ wal-barā’. Padahal, walā’ wal-barā’ adalah urusan hati. Kekufuran dalam hal ini terjadi bila seseorang mencintai orang kafir karena kekafirannya, mendukung mereka agar agama mereka menang atas Islam, atau menginginkan kejayaan agama mereka di atas agama kaum muslimin. Inilah bentuk kufur dalam masalah walā’ wal-barā’. Adapun jika seseorang menolong orang kafir dalam perkara duniawi atau karena kepentingan tertentu, itu tidak serta merta menjadikannya kafir. Bisa jadi, ia masih mencintai Islam dan membenci kekafiran, tetapi imannya lemah karena pertimbangan duniawi yang ia utamakan daripada akhiratnya. Kisah Hatib bin Abi Balta‘ah radhiyallāhu ‘anhu menjadi bukti nyata. Ia berkata, “Aku tidak melakukannya karena kufur, tidak pula murtad dari agamaku, dan tidak ridha terhadap kekafiran setelah Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia berkata benar.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata, “Terkadang seseorang menunjukkan rasa kasih atau bantuan kepada orang kafir karena hubungan keluarga atau kebutuhan tertentu. Hal itu termasuk dosa yang mengurangi imannya, tetapi tidak menjadikannya kafir.” Sebagaimana yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta‘ah. Kedua, tanda lain dari sikap berlebihan dalam al-walā’ wal-barā’ adalah kesalahan dalam menerapkan konsep barā’ (berlepas diri dari orang kafir). Kesalahan ini bisa muncul karena terlalu menekankan dalil-dalil tentang barā’ tanpa menyeimbangkannya dengan ayat dan hadits tentang akhlak baik dan keadilan dalam berinteraksi. Allah Ta‘ala berfirman: لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Sebagian orang hanya berpegang pada ayat tentang barā’, lalu melupakan ayat tentang akhlak mulia. Adapun sisi lain dari penyimpangan adalah sikap meremehkan (tafrīṭ), yaitu mengaburkan akidah al-walā’ wal-barā’. Biasanya datang dari kalangan intelektual yang terpengaruh pemikiran Barat—baik karena studi, bacaan, atau cara berpikir—sehingga mereka berusaha menafsirkan ulang akidah ini. Mereka menganggap al-walā’ wal-barā’ sebagai ajaran yang menumbuhkan kebencian antaragama, lalu menuntut agar konsep itu dihapus demi “toleransi”. Padahal, sikap ini justru menolak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang tegas tentang kewajiban mencintai orang beriman dan berlepas diri dari kekafiran. Mereka harus disadarkan bahwa Islam tidak boleh disalahkan atas perilaku berlebihan sebagian pemeluknya. Jika ada yang ekstrem dalam walā’ wal-barā’, bukan berarti solusinya adalah menjadi ekstrem di arah sebaliknya. Karena kebenaran terletak di jalan tengah — wasathiyyah — antara ghuluw dan tafrīṭ.   19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah Keutamaan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—yakni kecemburuannya terhadap agama, dan ketegasannya dalam menjaga kemurnian masyarakat serta kebersihannya. Di antara keutamaan yang disebutkan untuknya—radhiyallāhu ‘anhu—adalah bahwa ia sangat menginginkan kebaikan pada agamanya, sehingga bila ia melihat sesuatu yang menyentuh rasa cemburu dan kehormatan agama, ia segera kembali kepada Rasulullāh ﷺ. Ini termasuk keutamaannya. Ketika posisi Rasulullāh ﷺ antara Abū Bakr dan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, dan keduanya termasuk penghuni surga, maka ‘Umar menangis dan matanya berlinang air mata—radhiyallāhu ‘anhu wa arḍāh. Ia lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Diriwayatkan dalam Shahīh al-Bukhārī bahwa ia berkata, “Maka berlinanglah air mata ‘Umar.” Ia berkata, “Allāh wa Rasūluh a‘lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui).” Ibnu Hajar—rahimahullāh—berkata dalam Fath al-Bārī: “Kemungkinan hal itu terjadi karena ia menangis ketika menyadari saat yang menyentuh hatinya dengan khusyuk dan penyesalan atas apa yang telah ia katakan terhadap Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu.”   20. Marah Demi Agama Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Kadang seorang Muslim menisbatkan kepada dirinya sifat kemunafikan atau kekafiran karena marah dan cemburu terhadap agama Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya, tanpa bermaksud benar-benar kafir. Ia tidak keluar dari Islam karenanya. Ia tidak dihisab atas hal itu, karena ucapan tersebut tidak berasal dari niat hati, melainkan dari dorongan spontan. Hal ini berbeda dengan keadaan ahli hawa nafsu dan ahli bid‘ah, sebab mereka mengucapkan kekafiran dan kebatilan karena sengaja menentang kebenaran dan menyeru manusia kepadanya.” Inilah yang membedakan antara orang yang tergelincir sejenak karena marah terhadap dirinya sendiri dengan orang yang benar-benar kafir dan menyimpang. Orang yang tergelincir sesaat seperti ini tetap berada dalam pertolongan Allah dan mendapatkan keutamaannya. Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—berkata: “Barang siapa yang kafir kepada seseorang, atau menuduh seseorang kafir karena marah sesaat, maka semoga Allah memaafkannya,” sebagaimana yang dikatakan pula tentang kisah Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—pada peristiwa surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Quraisy sebelum Fath Makkah. ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullāh ﷺ bersabda, “Bukankah ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar? Allah telah berfirman tentang mereka, ‘Lakukanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’” Maka ‘Umar pun menangis karena marahnya itu hanya dorongan sesaat, bukan niat untuk melampaui batas. Demikian pula yang terjadi pada sebagian sahabat lainnya dan generasi setelah mereka, bila marah karena membela agama. Namun, bila seseorang benar-benar menuduh orang lain kafir atau mencaci maki dengan kesengajaan, maka itu berbeda; sebab hal itu menunjukkan maksud hati yang salah, bukan karena semangat agama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal-hal seperti ini.   21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—juga berkata dalam penjelasannya yang lain: “Kadang dosa besar atau syirik kecil dapat dihapus oleh amal saleh yang besar, sebagaimana terjadi pada kisah Ḥāṭhib. Ia melakukan dosa besar, tetapi amal kebaikan yang besar telah menghapusnya, dan hal itu disaksikan oleh para sahabat secara nyata.”   22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah Tentang pasukan besar yang berangkat dari Madinah menuju Makkah. Allah ﷻ menjaga rahasia perjalanan itu dari pengetahuan kaum Quraisy. Rasulullah ﷺ tiba di pinggiran Makkah tanpa diketahui oleh mereka. Abu Sufyān pun keluar bersama beberapa orang untuk mencari kabar, mereka berusaha merasakan tanda-tanda kedatangan pasukan, namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tentara Rasulullah ﷺ yang mengepung mereka di luar batas kota Makkah. Peristiwa ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ﷻ, bahwa Dia menghalangi berita besar seperti itu agar tidak sampai ke telinga penduduk Makkah, padahal jumlah pasukan itu sangat besar dan kekuatannya sangat dahsyat.   23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya Dalam perjalanan, Rasulullah ﷺ berhenti di sisi makam ibunya, Āminah bintu Wahb. Beliau menziarahi makam ibunya, menangis, dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku agar aku dapat menziarahi makam ibuku, dan Dia mengizinkanku. Namun ketika aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, Dia tidak mengizinkanku.” Dalam peristiwa ini terkandung pelajaran besar tentang kedudukan ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara manusia, tak ada seorang pun yang mampu menunaikan haknya sepenuhnya. Ia telah memberikan untukmu usia, kehidupan, jiwa, dan seluruh perasaannya, dengan ketulusan yang tak mampu engkau balas, bahkan sekadar menandingi pun tidak mungkin. Bagi Rasulullah ﷺ, urusan ibunya memiliki tempat yang sangat khusus. Beliau lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah bahkan sebelum dilahirkan, lalu tak lama setelah itu kehilangan ibu pula. Inilah bentuk yatim yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Nabi ﷺ telah kehilangan semua bentuk kasih sayang manusiawi: ayah, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka beliau tumbuh tanpa mengenal siapa pun dari mereka.” Dalam dua perjalanan penting—dari Madinah ke Makkah dan sebaliknya—beliau ﷺ melewati daerah tempat ibunya dimakamkan, yakni di suatu padang pasir yang jauh dari kota Makkah. Ketika beliau masih kecil, ibunya wafat di sana, dan beliau yang kecil kala itu ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir. Kini, setelah bertahun-tahun, beliau melewati tempat itu lagi untuk pertama kalinya sejak berpisah dengannya. Rasulullah ﷺ berhenti di situ, menangis, dan mengingat kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan beliau saat itu kecuali mereka yang kehilangan orang yang paling dicintai. Orang-orang yang bersama beliau pun ikut menangis menyaksikan tangisannya. Tangisan beliau lebih dalam daripada siapa pun, karena yang beliau tangisi bukan hanya sosok ibu, melainkan juga kenangan kasih sayang, kehilangan, dan kerinduan masa kecil. Ini adalah pelajaran mendalam tentang kedudukan ibu dan besarnya hak seorang ibu atas anaknya. Beliau ﷺ menunjukkan bahwa kasih seorang anak terhadap ibunya harus selalu disertai pengakuan terhadap kedudukan dan kemuliaannya, meskipun ibunya telah tiada. Itulah pelajaran abadi dari peristiwa yang menyentuh hati ini—sebuah pelajaran yang disampaikan langsung oleh Al-Muṣṭafā ﷺ. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan ibu, berbakti kepadanya, serta menziarahi makamnya bila ia telah wafat—sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lebih dahulu mendahuluimu menuju negeri akhirat. Maka janganlah engkau meremehkan ziarah ke makam ibu, ucapkanlah salam untuknya, dan doakanlah kebaikan baginya. Cukuplah bagimu meneladani Al-Muṣṭafā ﷺ yang telah menziarahi makam ibunya, meskipun beliau tidak diizinkan untuk memohonkan ampun baginya. Sungguh disayangkan, banyak orang yang lalai menziarahi kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bahkan sebagian dari mereka sampai lupa di mana makam ibu atau ayahnya, padahal waktu terus berlalu sementara hubungan kasih sayang itu terputus. Ini juga menjadi pelajaran tentang pentingnya menyambung tali silaturahim dengan kerabat secara umum, dan menziarahi para kerabat yang telah meninggal dunia. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan amalan ini, padahal ziarah ke makam keluarga merupakan salah satu bentuk bakti dan doa untuk mereka yang telah mendahului kita.   24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ Dalam peristiwa ziarah tersebut dan sabda Rasulullah ﷺ: “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku,” telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak dahulu tentang nasib kedua orang tua Nabi ﷺ. Kesimpulan menurut pendapatku—kata penulis—adalah bahwa sebaiknya kita menahan diri dari memastikan bagaimana keadaan mereka berdua, tidak memastikan mereka di surga ataupun di neraka. Sebab perkara ini sangat berat, penuh tanggung jawab besar, dan tidak ada nash yang secara tegas dan pasti dalam hal ini. Teks-teks yang datang bersifat umum, sedangkan nash yang khusus tidaklah cukup jelas. Adapun hadits yang menyebut tentang ayah beliau ﷺ, memang ada riwayat yang diperselisihkan maknanya. Karena itu, lebih selamat bila kita menahan diri dan tidak memastikan dengan keyakinan tertentu, sebab tidak ada dalil yang benar-benar tegas dan pasti dalam hal ini. Adapun mengenai ibunda beliau ﷺ, tidak ada satu hadits sahih pun yang secara jelas menjelaskan keadaan beliau, selain larangan bagi Nabi ﷺ untuk memohonkan ampun baginya. Namun larangan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan nasib akhirnya, karena bisa jadi alasan tidak diizinkannya adalah sebab beliau wafat sebelum masa diutusnya kenabian—yakni termasuk golongan ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). Maka, keadaan mereka sepenuhnya berada di bawah kehendak Allah, dan kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana nasib mereka. Dan boleh jadi, Allah ﷻ menghendaki agar nasib ibunda Nabi ﷺ tetap menjadi perkara yang tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, sehingga tidak seorang pun berani memastikan hukum tentangnya kecuali Allah semata. Bisa jadi pula, dari ketetapan Allah yang penuh hikmah ini, terdapat isyarat bahwa seandainya Nabi ﷺ diizinkan untuk memohonkan ampun bagi ibunya, maka hal itu bisa menjadi dalil umum atas kebolehan memintakan ampun untuk seluruh *ahlul fatrah* (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). As-Sindi rahimahullāh berkata: “Istighfar (permohonan ampun) adalah cabang dari penyesalan atas dosa. Dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dibebani hukum syariat dan mengerti ajaran agama. Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka ia tidak membutuhkan istighfar, sebab hukum istighfar hanya disyariatkan untuk orang-orang yang telah menerima dakwah dan menolak kebenaran, meskipun bisa jadi mereka termasuk orang yang selamat.” Juga dapat dikatakan bahwa penduduk masa jahiliah secara umum diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir dalam urusan dunia, sehingga tidak dishalatkan dan tidak dimintakan ampun bagi mereka, sedangkan urusan akhirat mereka dikembalikan kepada Allah ﷻ semata. Tangisan Nabi ﷺ ketika menziarahi makam ibundanya tidaklah menunjukkan bahwa beliau yakin ibunya diazab. Bisa jadi tangisan itu muncul karena kelembutan hati beliau, kasih sayang, dan kerinduan yang mendalam kepada ibunya, bukan karena keyakinan akan azab. Imam Nawawi rahimahullāh berkata: “Mungkin sebab Nabi ﷺ menangis adalah karena beliau teringat pada ibunya dan merasa iba padanya. Allah lebih mengetahui alasan sebenarnya.” Qadhi ‘Iyāḍ juga berkata: “Tangisan Nabi ﷺ adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan hati. Maka, jika tangisannya kepada seorang anak kecil atau bayi menunjukkan kasih dan rahmat, bagaimana mungkin tidak demikian terhadap ibunya sendiri?” Namun, di sisi lain, teks-teks yang bersifat khusus itu dihadapkan dengan dalil-dalil umum yang sangat jelas dalam prinsip-prinsip syariat. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā, أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} “(Agar kalian tidak berkata,) ‘Tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mā’idah: 19) Dan firman-Nya pula: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} “Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15) Serta firman Allah Ta‘ālā lainnya: وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ} “Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum (diutusnya rasul itu), niscaya mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus kepada kami seorang rasul, agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan terhina.’” (QS. Ṭāhā: 134) Seluruh ayat ini menegaskan bahwa tidak ada azab sebelum datangnya peringatan dari seorang rasul. Hal ini memperkuat pendapat yang memilih untuk tawaqquf (menahan diri tanpa memastikan) dalam permasalahan ini. Allah-lah yang Maha Mengetahui.   25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik Imam An-Nawawi rahimahullāh berkata, “Dalam peristiwa ini terdapat dalil tentang bolehnya menziarahi orang-orang musyrik, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia, serta menziarahi kuburan mereka. Sebab, jika ziarah kepada mereka diperbolehkan setelah wafat, maka tentu ketika masih hidup lebih utama lagi.” Pendapat ini menunjukkan bahwa An-Nawawi rahimahullāh termasuk di antara ulama yang berpendapat bolehnya ziarah kepada kaum musyrik, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.   26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān Menempatkan seseorang pada kedudukan yang sesuai dengan martabatnya diambil dari sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dalam kalimat ini terdapat bentuk penghormatan kepada Abū Sufyān dan pembedaan kedudukannya karena ia merupakan salah satu pemuka kaum Quraisy.   27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan Perhatian Rasulullah ﷺ dalam melembutkan hati manusia. Beliau ﷺ menaklukkan hati Abū Sufyān dengan memberinya kehormatan bahwa siapa saja yang masuk ke rumahnya akan aman. Hal ini menjadi kebanggaan besar bagi Abū Sufyān, yang dikenal sebagai sosok yang mencintai kehormatan dan kebesaran. Dengan cara itu, Rasulullah ﷺ berhasil menundukkan hatinya, menjinakkan perasaannya, serta meneguhkan imannya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan dakwah Nabi ﷺ terhadap orang yang baru masuk Islam, sebagaimana kebiasaan beliau dalam mempererat hati mereka yang masih baru mengenal Islam.   28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong Sikap rendah hati Rasulullah ﷺ. Ketika seorang laki-laki datang kepada beliau ﷺ dengan hati yang penuh ketenangan dan kesungguhan untuk berbicara, tiba-tiba ia merasa gemetar dan takut. Rasa gentar itu muncul karena wibawa dan kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Tenangkan dirimu. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Ucapan ini mengandung pelajaran agar seseorang mengingat masa lalunya dan tidak melupakan asalnya — agar tidak sombong terhadap orang yang lemah. Nabi ﷺ mengajarkan kepada setiap pribadi untuk tidak lupa akan masa lalunya dan keadaan dirinya dahulu. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ﴾ “Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insān [76]: 1) Dalam ayat yang lain disebutkan, قُتِلَ ٱلْإِنسَٰنُ مَآ أَكْفَرَهُۥ مِنْ أَىِّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ “Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (QS. ‘Abasa: 17-19) Banyak di antara manusia yang, setelah meraih kedudukan dan kehormatan di dunia, menjadi lupa dengan masa lalunya. Ia tidak lagi mengingat keadaan lemahnya dulu, tidak mau menengok masa ketika ia belum dikenal, tidak ingin kembali mengingat bagaimana awal perjuangannya yang penuh kekurangan. Padahal sifat lupa akan asalnya itu termasuk tanda kesombongan yang hina.   29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah Pada hari Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Rasulullah ﷺ memasuki kota itu dengan penuh tawadhu‘, menundukkan kepalanya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Padahal hari itu adalah hari kemenangan besar bagi kaum muslimin. Inilah nilai agung dari sikap rendah hati—bahwa justru pada saat kemenangan besar diraih, beliau ﷺ tampil sebagai hamba yang tunduk kepada Rabb-nya, bukan sebagai penguasa yang congkak. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan menunduk hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana untanya, dan beliau terus-menerus bertahmid dan memuji Allah. Tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang berani melawan; semua tunduk dan menyerah. Semakin besar kemenangan dan semakin besar karunia Allah, justru semakin dalam kerendahan hati beliau ﷺ. Tidak ada sedikit pun rasa bangga atau ujub. Beliau tidak melihat dirinya sebagai pemenang, tetapi sebagai hamba yang diberi pertolongan oleh Allah. Itulah makna sejati dari kalimat “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh” — tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap kali manusia memperoleh kemenangan namun tetap menjaga kerendahan hati, niscaya kemenangan itu akan semakin kuat dan keberkahan akan semakin nyata. Sebaliknya, jika kemenangan diiringi kesombongan dan rasa bangga diri, maka di situlah awal kehancuran. Allah Ta’ala berfirman, ﴿ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۚ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ ﴾ “Sesungguhnya para raja, apabila mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan merusaknya, dan menjadikan orang-orang yang mulia di negeri itu menjadi hina. Dan demikianlah kebiasaan mereka.” (QS. An-Naml: 34) Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh berkata: “Maknanya, para raja itu apabila memasuki sebuah negeri, mereka melakukan kerusakan: membunuh penduduknya, menawan mereka, merampas harta kekayaannya, dan menghancurkan rumah-rumahnya. Mereka menjadikan orang-orang yang sebelumnya mulia menjadi hina. Makna “penduduknya menjadi hina” ialah: mereka menjadikan para pemimpin dan tokoh terhormat dari kalangan masyarakat menjadi orang-orang yang paling rendah kedudukannya. Rasulullah ﷺ justru memuliakan Abū Sufyān—pemimpin besar Quraisy yang pernah memimpin kaum musyrik dalam peperangan Uhud dan Ahzāb. Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Sesungguhnya kerendahan hati Rasulullah ﷺ merupakan pelajaran praktis bagi setiap pemimpin yang diberi kemenangan. Betapa sulitnya seseorang bisa tampil rendah hati di saat kemenangan tiba. Ibnu Katsīr rahimahullāh berkata: “Kerendahan hati Rasulullah ﷺ ketika memasuki Mekah dengan pasukan besar dan kuat ini, merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari Bani Israil. Ketika mereka diperintahkan memasuki Baitul Maqdis sambil bersujud (yakni rukuk) dan mengucapkan ‘ḥiṭṭah’ (ampunilah dosa kami), mereka justru masuk dengan merangkak di atas pantat mereka sambil berkata, ‘ḥinṭah fī sya‘īrah’ (gandum dalam jelai).” Pelajaran ini juga mengajarkan kepada kita tentang akidah dan tauhid: dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita raih, hendaknya kita sadari bahwa semua itu merupakan karunia dari Allah Yang Mahatinggi. ﴿ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ﴾ “Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Naḥl: 53) Kita pun meyakini bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Maka, tidak sepantasnya kita menisbatkan nikmat atau terhindarnya kita dari musibah kepada sebab semata, melainkan semuanya kepada Allah semata. Allah-lah yang menciptakan sebab-sebab itu, Dia pula yang memberi kemampuan untuk berbuat, dan Dialah yang menaruh hasil dalam setiap usaha. Allah adalah Musabbibul-Asbāb (Penyebab dari segala sebab). Hati manusia tidak akan baik kecuali dengan tauhid ini. Dengan tauhid, seorang hamba dapat bersyukur kepada Rabb-nya, karena semua bentuk keutamaan dan karunia sejatinya kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan firman Allah Ta‘ālā: “Adapun menahan diri saat senang (dalam keadaan lapang), itu lebih sulit, karena sering kali mirip dengan sikap lancang dan ceroboh.” Artinya, mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan senang dan bahagia itu jauh lebih berat dibandingkan bersabar ketika sedang susah. Hanya orang yang kuat imannya dan teguh hatinya yang mampu melakukannya. Ada sebagian orang, saat mendapatkan kenikmatan, jadi lupa bersyukur; dan ketika ditimpa kesulitan, ia tak lagi sabar. Maka orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang tetap bersyukur di waktu senang, dan tetap sabar di waktu susah. Mereka tidak berubah karena keadaan. Nikmat tidak membuat mereka lalai, dan ujian tidak membuat mereka putus asa. Jiwa manusia sebenarnya sangat dekat dengan godaan setan dan hawa nafsu. Sedangkan karunia Allah turun ke dalam hati dan ruh. Bila hati diterangi cahaya keimanan, maka seluruh jiwa ikut bercahaya. Namun jika anugerah Allah datang kepada hati yang belum siap, ia bisa kehilangan kendali. Ia menjadi sombong, rakus, atau bahkan melampaui batas. Itulah sebabnya banyak orang rusak justru saat diberi nikmat. Sebaliknya, orang yang berilmu dan mengenal Allah tahu bagaimana mengelola karunia itu dengan seimbang. Ia tidak terbuai oleh nikmat, juga tidak hancur oleh ujian. Kadang seseorang tiba-tiba diberi harta atau jabatan, padahal belum siap secara ilmu dan iman. Akibatnya, ia menjadi sombong dan meremehkan orang lain. Padahal semua itu ujian. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa saja nikmat itu menjadi sebab kehancurannya. Orang seperti itu biasanya baru sadar setelah kehilangan. Ia menyesal dan berkata, “Ke mana semua kebahagiaan itu? Mengapa aku jadi begini?” Padahal seharusnya, setiap nikmat atau musibah menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, bukan untuk menjauh dari-Nya. Karena itulah para ulama berkata: “Jika kamu tergelincir dari jalan kesabaran dan ketenangan, berarti kamu telah kehilangan kedudukanmu di sisi Allah.” Mereka juga menasihati, “Jagalah hatimu dari penyakit jiwa, biasakan rendah hati, tunduk, dan jangan sombong. Jadikan rasa takut dan harap kepada Allah sebagai penjaga hatimu.” Orang yang menjaga hubungannya dengan Allah akan mendapatkan ketenangan luar biasa. Ia memandang Allah dengan cinta dan pengharapan. Allah pun akan mendekatkannya, memuliakannya, dan menjadikannya hamba yang istimewa di sisi-Nya. Ketika seseorang sudah merasakan kerendahan hati yang tulus, hatinya lembut, penuh penyesalan dan rasa butuh kepada Allah, maka ia akan merasakan kenikmatan yang jauh lebih tinggi dari sekadar kenikmatan dunia. Orang yang mampu menjaga kehormatannya, menahan syahwatnya, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, itulah orang yang mulia di sisi Allah. Ia menolak kenikmatan yang menjerumuskan, menjauh dari perbuatan yang merusak, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang memalukan. Sungguh, kata ash-shabr, sabar tersusun dari huruf-huruf yang terasa berat di lidah, menunjukkan bahwa sifat sabar itu tidak mudah, tapi sangat berharga. Perhatikan, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri melewati masa sulit ketika diusir dari Makkah. Namun akhirnya Allah menolong beliau, hingga beliau masuk kembali ke Makkah dengan penuh kemenangan, ditemani sahabat setianya, Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu. Allah berfirman: ﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا﴾ “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang (bersama Abu Bakar) ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Dan Allah juga berfirman: ﴿إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia akan mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) ﴿وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83) Kemenangan Rasulullah ﷺ di Makkah menjadi bukti nyata janji Allah. Beliau dulu diusir dengan hina, namun kembali dengan penuh kemuliaan. Itulah makna sebenarnya dari ketundukan kepada Allah. Dialah yang memberi kemenangan, mengangkat derajat orang beriman, dan menjanjikan kesudahan yang baik bagi mereka yang bersabar dan bertakwa. Maka kita semua perlu meneladani sifat mulia itu—sabar dan syukur. Barang siapa ingin akhir hidupnya baik, hendaklah ia memperbaiki amalnya dan bersabar menghadapi ujian hidup. Setiap kali ia bertambah sabar, Allah akan menaikkan derajatnya, hingga mencapai kedudukan tinggi di sisi-Nya.   30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar Peristiwa ini adalah bentuk pertolongan dan kemenangan besar dari Allah. Jangan kita lupakan bahwa dahulu beliau ﷺ pernah diusir dari Makkah, dikejar dan diburu oleh orang-orang kafir Quraisy, hanya ditemani oleh sahabat karibnya, Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhu, dan pelayannya. Allah ﷻ berfirman: {إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا} “Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, lalu dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Janji Allah ini terwujud sepenuhnya. Allah menolong Rasul-Nya ﷺ dan memberikan kemenangan kepada kaum mukminin. Sekalipun waktu berjalan lama, janji itu pasti datang. Allah berfirman: {إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) Dan Allah juga berfirman: {وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 83) Tidak ada yang dapat menghalangi pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ yang dahulu keluar dari Makkah sendirian, kini kembali ke Makkah dengan membawa kemenangan, sementara orang-orang kafir yang dulu mengusirnya kini berlari ketakutan. Allah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan memenangkan pasukan-Nya. Rasul ﷺ pun masuk ke Makkah tanpa peperangan besar, tanpa kekerasan, hanya dengan pengibaran panji Islam dan tunduknya hati-hati manusia kepada Allah ﷻ. Maka pantas jika Allah, dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, menjadikan janji kemenangan itu nyata bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kita semua pun diingatkan untuk meraih sifat yang membuat janji Allah terwujud pada diri kita — yaitu sifat takwa. Siapa yang ingin mendapatkan akhir yang baik, maka hendaklah ia memperbaiki amalnya dengan takwa dan ketaatan. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin tinggi pula derajatnya dalam meraih ḥusnul ‘āqibah (akhir yang baik) hingga mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.   31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah Peristiwa Ahzab terjadi pada tahun kelima hijriah, ketika pasukan musuh berkumpul hendak memerangi Islam di Madinah. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang. Lalu, pada tahun kedelapan hijriah — tiga tahun setelahnya — Allah mengumpulkan sepuluh ribu kaum Muslimin untuk berangkat menaklukkan Makkah. Perhatikanlah bagaimana Allah menggantikan keadaan! Dahulu sepuluh ribu orang kafir berkumpul untuk memerangi Islam, namun kini sepuluh ribu kaum Muslimin yang berhimpun untuk menegakkan Islam. Ini adalah karunia dan pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.   32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah sebagai pemenang adalah salah satu tanda nyata kenabian beliau ﷺ. Ibnu Rajab rahimahullāh menjelaskan bahwa kekuasaan Nabi ﷺ atas kota itu dan penguasaan beliau terhadapnya, beserta umatnya, merupakan bukti kebenaran risalah dan janji Allah kepadanya. Allah menahan siapa pun yang ingin mencelakai Nabi ﷺ dan akhirnya membinasakan mereka, lalu Allah menguasakan kota itu kepada Rasul-Nya dan umatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إن الله حبس عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين» “Sesungguhnya Allah telah menahan (pasukan) gajah dari Makkah, dan kini Dia menundukkan Makkah kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Maksudnya, dahulu Allah menahan pasukan Abrahah agar tidak merusak Ka‘bah, dan kini Allah menaklukkan Makkah kepada Nabi-Nya ﷺ sebagai bentuk pemuliaan dan peneguhan atas dakwah beliau. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ ketika hari Fathu Makkah berkata, «اليوم تُعظَّمُ الكعبة» “Hari ini Ka‘bah diagungkan!” Karena kaum musyrik Makkah pada masa jahiliah telah menyimpangkan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas-salām. Mereka menodai ibadah haji dengan kesyirikan, mengubah manasik haji, dan menyeleweng dari agama tauhid. Namun hari itu, Allah ﷻ mengembalikan kemuliaan Makkah kepada kemurnian tauhid, sebagaimana agama Nabi Ibrahim al-Ḥanīf. Allah menghapus segala bentuk syirik, menegakkan kembali ibadah haji dengan manasik yang benar, dan mengembalikan umat ini kepada agama tauhid yang lurus.   33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman. Barang siapa menutup pintunya, maka ia aman. Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Inilah peristiwa agung yang tak dikenal dalam sejarah dunia, dan tak ada yang menandinginya dalam hal kemurahan hati, pemaafan, dan kelapangan dada. Selama lebih dari dua puluh tahun, kaum musyrikin Makkah memerangi dakwah Islam. Mereka menghalangi jalan kebenaran dengan segala cara, menentang dan memusuhi dakwah Nabi ﷺ, tidak menyisakan satu celah pun kecuali mereka manfaatkan untuk menghambat agama ini, serta menebar fitnah dan kebencian antara manusia agar menjauh dari jalan Allah. Mereka menyiksa para pengikut Nabi ﷺ, memenjarakan dan menekan mereka, bahkan membunuh sebagian dari mereka. Mereka terus mengejar kaum Muslimin yang hijrah hingga ke luar Jazirah Arab. Lalu mereka masih memerangi umat Islam dalam tiga peperangan besar setelahnya. Namun, meskipun begitu, Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah dengan sepuluh ribu pasukan mujahid yang tunduk dan rendah hati kepada Allah ﷻ. Beliau tidak datang dengan dendam, melainkan dengan kasih sayang. Di tengah kekuasaan penuh, beliau justru memproklamasikan amnesti umum dan pengampunan menyeluruh. Cukup dengan seseorang masuk ke rumahnya sendiri, atau rumah Abū Sufyān, atau menurunkan senjata, maka ia aman. Itulah puncak keagungan dalam memberi maaf dan melupakan permusuhan masa lalu. Baca juga: Memaafkan dengan Berusaha Melupakan   34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hari hijrah, ketika Suraqah mengejar Rasulullah ﷺ, ia mendapati Nabi ﷺ sedang membaca Al-Qur’an. Begitu pula pada hari penaklukan Makkah, Rasulullah ﷺ memasuki kota itu di atas untanya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Pemandangan ini menunjukkan kepada kita pentingnya memanfaatkan waktu dalam ibadah. Di mana pun dan kapan pun, orang yang beriman hendaknya menjadikan waktunya berharga dengan tilawah dan zikir. Momen seperti ini juga menjadi kesempatan bagi siapa pun untuk menambah hafalan Al-Qur’an, atau mengulang hafalan yang telah dimiliki, terutama saat dalam perjalanan. Betapa banyak orang yang bisa menjadikan waktu bepergian sebagai sarana untuk membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, baik melalui mushaf atau audio, dengan niat ibadah dan meneladani Rasulullah ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullāh berkata — menukil dari Ibnu Abī Jamrah — bahwa sabda Nabi ﷺ ini menunjukkan kuatnya kebiasaan beliau dalam beribadah, karena beliau tetap berzikir dan membaca Al-Qur’an dalam keadaan di atas unta, tidak pernah lalai dari ibadah meski dalam perjalanan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin meneladani Nabi ﷺ hendaknya menjadikan setiap perjalanan sebagai kesempatan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, agar waktu yang berlalu membawa keberkahan, bukan kesia-siaan.   35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid Rasulullah ﷺ bersabda, “Tempat menetap kita—insya Allah—adalah Khaif Bani Kinanah, yaitu tempat kaum Quraisy saling bersumpah untuk menetapkan kekafiran.” Maksudnya: mereka berkumpul dan bersepakat dalam sebuah sumpah untuk meneguhkan kekafiran. An-Nawawi rahimahullāh menjelaskan bahwa mereka saling bersekutu dan membuat perjanjian untuk mengusir Nabi ﷺ beserta Bani Hāsyim dan Bani Al-Muththalib dari Makkah menuju sebuah lembah sempit. Tempat itu dikenal sebagai Sya‘ib Bani Kinanah. Mereka menulis sebuah piagam terkenal yang berisi berbagai bentuk kebatilan, pemutusan hubungan keluarga, dan kekafiran, lalu menaruhnya di dalam Ka‘bah. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi ﷺ sengaja singgah di tempat itu sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta‘ālā karena agama Allah telah tampak dan ditinggikan. Hanya Allah yang lebih mengetahui hakikatnya. Mungkin juga ada makna lain, yaitu menampakkan ketaatan di tempat yang sebelumnya digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: “Tempat-tempat yang dahulu menjadi lokasi kekafiran dan maksiat, lalu di sana ditampakkan keimanan dan ketaatan, maka itu adalah hal yang baik.” Contohnya, Nabi ﷺ memerintahkan penduduk Thaif untuk menjadikan masjid sebagai tempat baiat mereka, dan memerintahkan penduduk Yamamah menjadikan masjid sebagai tempat mereka menyatakan penyerahan diri. Dalam ‘Aunul Ma‘būd dijelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya mengubah gereja, tempat jual beli, atau tempat berhala menjadi masjid. Banyak sahabat, ketika menaklukkan negeri-negeri lain, menjadikan tempat ibadah orang kafir—seperti kuil atau gereja—sebagai masjid bagi kaum muslimin. Mereka tidak merusaknya kecuali jika ada unsur penghinaan terhadap kekafiran dan kezhaliman. Di India, raja yang adil dari kalangan Ahlus Sunnah juga melakukan hal yang sama. Bahkan dibangun beberapa masjid di tempat ibadah besar milik orang-orang kafir—semoga Allah menelantarkan mereka.   36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? Rasulullah ﷺ langsung memulai dengan menghancurkan berhala-berhala dan merobohkan bangunan-bangunan kesyirikan di sekitar Ka‘bah begitu beliau memasuki Makkah. Hal itu karena syirik adalah dosa terbesar, bentuk kezaliman yang paling berat, dan kejahatan yang paling buruk yang tidak boleh dibiarkan. Sebaliknya, menegakkan tauhid dan menyebarkannya adalah bentuk ketaatan yang paling utama dan ibadah yang paling tinggi nilainya. Karena itu, salah satu tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ setelah memasuki Makkah dan tinggal di dalamnya adalah mengutus orang-orang untuk merobohkan rumah-rumah berhala yang berada di sekitar Makkah—tempat yang selama ini dijadikan sesembahan selain Allah, tempat manusia thawaf, dan mendekatkan diri kepadanya. Menghancurkan syirik dalam segala bentuknya, serta menegakkan pilar-pilar tauhid, adalah inti dari risalah Nabi Muhammad ﷺ. Siapa saja yang tidak memberikan hak tauhid dalam hidupnya dan tidak memurnikan ibadah hanya kepada Allah, berarti ia telah mengabaikan perkara terpenting yang dibawa Rasul ﷺ—bahkan seluruh para rasul. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyā’: 25) Baca juga: Bahaya Syirik   37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram dan melihat ada gambar-gambar di dalam Ka‘bah, beliau langsung merusak dan menghapusnya. Dalam hal ini terdapat ancaman keras bagi para pembuat gambar. Abu Juhafah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa “Rasulullah ﷺ melaknat para pembuat gambar.” Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.’” Ibn Baththal rahimahullāh menjelaskan bahwa pada awalnya Nabi ﷺ melarang segala bentuk gambar, meskipun tidak sempurna, karena masyarakat saat itu baru saja meninggalkan penyembahan terhadap gambar. Larangan tersebut bertujuan memutus pengaruh itu secara total. Setelah larangan tersebut mengakar, Nabi ﷺ memberi keringanan untuk gambar pada pakaian karena ada kebutuhan, seperti pada pakaian anak-anak, dan memberi keringanan untuk gambar pada benda yang diinjak karena tidak diagungkan oleh orang awam. Namun, gambar yang dipasang tanpa adanya kebutuhan, gambar yang hanya menjadi bentuk kemewahan, atau gambar yang memiliki bayangan seperti patung dan sejenisnya—semuanya tidak diperbolehkan karena hal itu menyerupai ciptaan Allah Ta‘ālā. Imam Nawawi rahimahullāh berkata bahwa para sahabat dan para ulama berpendapat: menggambar makhluk bernyawa adalah haram dengan larangan yang sangat keras, dan termasuk dosa besar. Jika gambarnya berada pada pakaian, atau digantung di dinding, atau berada pada kain penutup, sorban, dan semacamnya, maka tetap haram. Jika gambarnya berada pada alas kaki, bantal, atau tempat duduk—yakni benda yang direndahkan—maka tidak haram, tetapi malaikat rahmat tidak masuk ke rumah tersebut. Beliau menambahkan bahwa malaikat yang tidak masuk ke rumah yang ada gambar atau anjingnya adalah malaikat rahmat dan malaikat yang memohonkan ampun. Adapun malaikat pencatat amal tetap masuk ke setiap rumah dan tidak pernah berpisah dari manusia, karena mereka bertugas mencatat dan menghitung amal. Manusia di masa sekarang sudah sangat meremehkan masalah gambar. Banyak rumah dipenuhi hiasan, lukisan, atau patung hanya demi pamer dan bermegah-megahan, padahal ancaman bagi pembuat dan pemilik gambar sangat keras. Siapa saja yang merenungkan dalil-dalil tentang gambar akan merasa takut jika mengikuti hawa nafsunya. Nasihatnya: segeralah membersihkan rumah dari gambar, kecuali gambar resmi untuk keperluan identitas, paspor, atau dokumen penting lainnya. Jangan biarkan ada gambar atau patung yang diagungkan di dalam rumah, karena malaikat rahmat dan istighfar tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut. Wallāhu a‘lam. Baca juga: Hukum Mengambil Foto dengan Kamera   38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ mengembalikan kunci Ka‘bah kepada ‘Utsmān bin Thalhah, terdapat pelajaran besar tentang menunaikan amanah. Saat menyerahkan kembali kunci itu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Hari ini adalah hari kebajikan dan kesetiaan.”   39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy Di antara akhlak agung Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau memaafkan kaum musyrik Quraisy yang telah menyakiti beliau, mengusir beliau dari Makkah, dan memerangi beliau. Ketika beliau telah mengalahkan dan menguasai mereka, beliau hanya berkata: “Pergilah, kalian bebas.” Pemaafan ini mencakup seluruh penduduk Makkah, termasuk orang-orang kafir yang sebelumnya diperintahkan untuk dibunuh. Sikap mulia ini menjadi sebab banyak penduduk Makkah—laki-laki maupun perempuan—masuk Islam dengan kerelaan, pilihan sendiri, dan ketertarikan kepada agama ini.   40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua Ketika Abu Bakar datang bersama ayahnya yang sudah sangat tua, Rasulullah ﷺ berkata: “Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua itu tetap di rumahnya, hingga aku yang mendatanginya?” Dari ucapan ini kita mengambil pelajaran tentang akhlak mulia Rasulullah ﷺ, kerendahan hati beliau, serta tuntunan syariat untuk memuliakan orang yang lebih tua dan menghormatinya. Nabi ﷺ mencontohkannya secara langsung melalui kisah ini. Beliau juga bersabda: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kami dan tidak menghormati yang besar di antara kami.” (Shahih Al-Jaami’, no. 5445; Shahih menurut Syaikh Al-Albani; Hadits dari Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash)   41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Dari ucapan Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar ketika ayah beliau masuk Islam, kita dapat mengambil pelajaran bahwa memberikan ucapan selamat atas datangnya kebaikan agama adalah sesuatu yang disyariatkan. Hal ini juga terlihat dalam kisah Ka‘b bin Malik ketika ia bertaubat kepada Allah; para sahabat radhiyallāhu ‘anhum memberi ucapan selamat kepadanya. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa memberikan ucapan selamat atas kenikmatan agama, berdiri menyambutnya ketika ia datang, dan berjabat tangan dengannya adalah sunnah yang dianjurkan. Ini diperbolehkan bagi seseorang yang baru mendapatkan kenikmatan agama. Tidak disebutkan adanya ucapan selamat atas kenikmatan dunia.” Beliau juga menyebutkan bahwa ucapan selamat untuk kenikmatan dunia tetap diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh.   Masih bersambung insya Allah …   Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat Sore, 14-11-2025, 23 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfaedah sirah nabi fathu makkah peperangan dalam islam peperangan di masa Rasulullah perang di masa nabi sirah nabi


Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.   Daftar Isi tutup 1. Sebab Terjadinya Fathu Makkah 2. Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian 3. Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah 4. Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah 5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya 6. Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib 7. Abu Sufyan Masuk Islam 8. Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati 9. Pembersihan Ka‘bah dari Berhala 10. Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram 11. Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga 12. Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar 13. Baiat Agung di Shafā 14. Keislaman Abū Quḥāfah 15. Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl 16. Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy 17. Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm 18. Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah 18.1. 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam 18.2. 2. Pentingnya Menepati Janji 18.3. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian 18.4. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh 18.5. 5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah 18.6. 6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah 18.7. 7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam 18.8. 8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib 18.9. 9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir 18.10. 10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib 18.11. 11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar 18.12. 12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka 18.13. 13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman 18.14. 14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat 18.15. 15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama 18.16. 16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu 18.17. 17. Keutamaan Ahli Badar 18.18. 18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ 18.19. 19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah 18.20. 20. Marah Demi Agama 18.21. 21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar 18.22. 22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah 18.23. 23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya 18.24. 24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ 18.25. 25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik 18.26. 26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān 18.27. 27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan 18.28. 28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong 18.29. 29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah 18.30. 30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar 18.31. 31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah 18.32. 32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci 18.33. 33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah 18.34. 34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir 18.35. 35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid 18.36. 36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? 18.37. 37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah 18.38. 38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah 18.39. 39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy 18.40. 40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua 18.41. 41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan: ﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ۝ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ۝ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3) Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang: ﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾ “Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10) Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)   Sebab Terjadinya Fathu Makkah Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah. Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.   Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: «نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278) Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)   Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: «اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا» “Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)   Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita. ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu. Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ. Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib: «يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟» “Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?” Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.” Rasulullah ﷺ bersabda: «أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ» “Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.” Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!” Nabi ﷺ menanggapi: «إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim) Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.” Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah ﷺ menjawab: “Bukankah dia termasuk ahli Badar?” Beliau kemudian menambahkan: فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki karena kalian sudah dijamin surga, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb. ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت». Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي». Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.” وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ». Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”   Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya. Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.   Abu Sufyan Masuk Islam Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam. Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu: احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين “Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.” Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam. Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن». “Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”   Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ. Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang. Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah. Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang. Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur. Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah: ‘Ikrimah bin Abī Jahl, ‘Abdullāh bin Khathal, Miqyas bin Shubābah, ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ. ‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam. Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal. Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ “Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.” Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata: “Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”   Pembersihan Ka‘bah dari Berhala Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81) Dan juga firman Allah Ta‘ālā: قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ “Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49) Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau. Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda: قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ “Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.” Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus. Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda: قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ “Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”   Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.” Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13) Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya: لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.” Beliau pun berkata: اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ “Pergilah kalian, kalian semua bebas.” Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.   Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?” Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ “Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.” Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.   Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.” Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?” Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ “Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.” Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata: “Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka: إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”   Baiat Agung di Shafā Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak: “Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka. Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda: هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ “Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau). ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”   Keislaman Abū Quḥāfah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda: هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ “Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?” Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.” Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam. Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata: هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ» “Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”   Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata: “Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.” ‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.” Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.   Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ “Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 3298) Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala. Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah. Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy. Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘. Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj. Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab. Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ» “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.” Setelah itu, tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masih menyimpan berhala di rumahnya. Jika ada yang memelihara, berhala itu akan dihapus atau dihancurkan, bahkan sekadar disentuh pun ditinggalkan dengan penuh rasa jijik. Kaum Muslimin pun berbondong-bondong menghancurkan patung-patung tersebut. Ketika itu, ‘Ikrimah bin Abī Jahl radhiyallāhu ‘anhu—yang saat itu belum masuk Islam—pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ada satu rumah di antara rumah-rumah Quraisy kecuali berhalanya dihancurkan.” Setelah itu, Hindun binti ‘Utbah radhiyallāhu ‘anhā—istri Abu Sufyān—masuk Islam dan berkata, “Dulu kami menyembah berhala-berhala itu. Ketika tamimah (jimat) itu rusak, kami merasa tertipu.” Maka berhala-berhala pun dihancurkan oleh kaum Muslimin.   Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm Ketika Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah setelah penaklukan (Fathu Makkah), terjadi sebuah peristiwa penting. Seorang wanita terpandang dari kalangan Bani Makhzūm melakukan pencurian. Kaum Quraisy sangat gelisah karena mengetahui bahwa hukum syariat akan menuntut agar tangannya dipotong. Mereka pun berembuk dan berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini?” Akhirnya mereka memilih Usāmah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu, kesayangan Rasulullah ﷺ, untuk menyampaikan permohonan. Usāmah radhiyallāhu ‘anhu pun berbicara kepada Nabi ﷺ tentang wanita itu, meminta agar hukuman diringankan. Wajah Rasulullah ﷺ pun berubah, lalu beliau bersabda: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللّٰهِ؟ “Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam perkara hukum hudud Allah?” Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ berdiri menyampaikan khutbah kepada manusia. Beliau ﷺ bersabda: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللّٰهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fāṭimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita itu dihukum sesuai syariat, maka dipotonglah tangannya. Diriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Wanita dari Bani Makhzūm itu bertaubat dengan sungguh-sungguh setelah menjalani hukumannya. Ia menikah kemudian hidup terhormat. Pernah suatu ketika ia datang kepadaku untuk suatu keperluan, lalu aku sampaikan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari, no. 3475 dan Muslim, no. 1315)   Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah Dari peristiwa penaklukan Makkah, kita dapat mengambil sejumlah faedah penting berikut: 1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam Fathu Makkah menjadi batas tegas antara dua tahap dalam perjalanan Islam. Allah Ta‘ālā berfirman: لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُو۟لَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا۟ مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا۟ ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 10) Ibnu Juzay rahimahullāh berkata: “Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin dalam keadaan lemah, sangat membutuhkan infak dan jihad, sehingga pahala orang yang berinfak dan berperang sebelum fathu Makkah lebih besar daripada setelahnya.” Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin menghadapi musuh besar di Makkah, Ṭāif, serta berbagai kabilah Arab yang masih menunggu waktu untuk menyerang. Namun setelah Makkah ditaklukkan, Allah memuliakan agama ini, pusat kesyirikan dihancurkan, panji tauhid berkibar, dan kemenangan datang dari Allah. Islam pun semakin jelas jalannya, dan masa depan umat ini menjadi lebih terang. Karena itu, Allah tidak menyamakan antara orang yang berinfak dan berjuang sebelum fathu Makkah dengan yang melakukannya setelahnya, meskipun Allah tetap menjanjikan kebaikan bagi keduanya. 2. Pentingnya Menepati Janji Kemenangan kaum Muslimin menunjukkan betapa pentingnya menepati janji. Orang-orang kafir Quraisy ketika itu sebenarnya masih terikat dengan perjanjian damai bersama Rasulullah ﷺ. Namun, ketika mereka melanggarnya, Allah menurunkan akibatnya, hingga Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala, dan menghapus sisa-sisa jahiliyah yang ada di dalamnya. 3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian Peristiwa ini juga menegaskan bahwa mengkhianati perjanjian adalah perbuatan tercela. Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada ‘Amr bin Sālim: نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ» “Engkau akan ditolong, wahai ‘Amr bin Sālim.” Sabda ini muncul karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai dianggap sebagai pelanggaran besar yang mengundang hukuman dari Allah. 4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh Sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Sālim: «نُصِرْتَ يا عَمْرُو بنَ سَالِمٍ» (“Engkau telah diberi pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim!”) Ungkapan ini menunjukkan sejauh mana wibawa negara Islam saat itu. Islam telah menjadi kekuatan besar di kawasan, membela yang terzalimi dan menentang kezhaliman. Kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun menghitung kekuatan Islam sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Maka, ketika Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat ini, ‘Amr bin Sālim pun yakin benar bahwa beliau pasti akan menolongnya. Buktinya, kaum Muslimin berangkat cepat hingga tiba di Makkah, lalu mereka menyerang Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy dan membunuh mereka di peristiwa Hudaibiyah. ‘Amr bin Sālim pun kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira bahwa mereka akan mendapat kemenangan, sedangkan musuh-musuh mereka akan kalah. Hal ini semakin diperkuat dengan berangkatnya Abu Sufyān ke Madinah untuk memperbarui perjanjian damai, karena ia takut akan akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut. Quraisy benar-benar ketakutan menghadapi konfrontasi besar itu. Peristiwa ini memperlihatkan perubahan besar dalam neraca kekuatan, yang jelas menguntungkan umat Islam. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.   5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah Kisah kedatangan Abu Sufyān ke Madinah dan masuknya ia menemui Ummul Mu’minīn, Ummu Habībah radhiyallahu ‘anha, putrinya sendiri. Ketika Abu Sufyān ingin duduk di atas tikar Rasulullah ﷺ, Ummu Habībah segera melipatnya agar ayahnya tidak bisa duduk di atasnya. Ia berkata: “Ini adalah tikar Rasulullah ﷺ, dan engkau adalah seorang lelaki musyrik yang najis.” Sikap ini memperlihatkan betapa jelasnya kebencian para sahabat terhadap syirik dan kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat. Abu Sufyān adalah ayah kandungnya, tetapi itu tidak mengubah sikapnya sedikit pun.   6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah Abu Sufyān lalu datang kepada Rasulullah ﷺ untuk berbicara, agar beliau memperpanjang dan memperkuat perjanjian damai. Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapi sedikit pun. Maka Abu Sufyān pergi kepada Abū Bakr, kemudian kepada ‘Umar, lalu kepada ‘Uthmān, dan terakhir kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Perhatikanlah urutan yang dilakukan Abu Sufyān! Ia datang pertama kepada Abū Bakr, lalu kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Uthmān, lalu kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain. Persis sebagaimana yang kemudian terjadi dalam penetapan Khilāfah Rāsyidah. Ini pula yang terkenal di kalangan sahabat tentang urutan keutamaan mereka.   7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam Disyariatkan untuk menyembunyikan (merahasiakan) sesuatu apabila dikhawatirkan menimbulkan mudarat bila diumumkan. Rasulullah ﷺ pun tidak selalu memberitahukan arah tujuan perjalanannya kepada manusia, agar tetap terjaga maslahatnya, dan supaya Quraisy tidak bersiap lebih awal untuk menghadang. Allah Ta‘ālā berfirman tentang kisah Ashḥābul Kahfi: ﴿ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا ﴾ [الكهف: 19] “Dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahf: 19) Maknanya adalah hendaknya mereka bersikap hati-hati, merahasiakan urusan mereka, termasuk ketika masuk kota dan membeli makanan, jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan mereka. Demikian pula kaum Muslimin dahulu: “Ista‘īnū ‘alā injāḥi ḥawā’ijikum bil-kitmān” (Mintalah pertolongan untuk menyelesaikan kebutuhan kalian dengan cara merahasiakannya).   8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib Di antara tanda kenabian Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk membuntuti seorang wanita yang membawa surat dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah. Surat itu berisi informasi tentang rencana Rasulullah ﷺ. Allah memberi tahu Nabi-Nya melalui wahyu tentang isi surat itu, siapa pengirimnya, dan lokasi wanita tersebut. Maka Rasulullah ﷺ segera mengutus sahabat untuk menghadang wanita itu. Benar saja, mereka mendapati surat tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Peristiwa ini termasuk bukti jelas dari tanda-tanda kenabian, yaitu berita gaib yang Allah kabarkan kepada Nabi-Nya terkait kisah Ḥāṭib dengan wanita itu.”   9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir Kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat dari kalangan Muhājirīn—menunjukkan bahwa manusia tidak lepas dari kelemahan. Bisa jadi seorang mukmin yang tulus iman dan amalnya, tetap saja terjerumus dalam tindakan yang keliru karena dorongan hawa nafsu atau tuntutan kebutuhan hidup. Itulah yang dilakukan Ḥāṭib ketika ia menyembunyikan surat kepada Quraisy mengenai perjalanan Rasulullah ﷺ. Perbuatan ini tidaklah mengurangi keimanannya, melainkan bagian dari kelemahan manusiawi. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Seorang mukmin, sekalipun sudah sampai pada tingkatan saleh, tetap saja bisa tergelincir dalam dosa. Karena itu ia harus senantiasa berlindung kepada Allah, selalu bergantung pada-Nya, dan terus istiqamah dalam berpegang teguh kepada-Nya.” Kita berdoa sebagaimana doa orang-orang yang mantap imannya: ﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ﴾ [آل عمران: 8] “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (QS. Āli ‘Imrān: 8)   10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib Dalam kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: «ما حَمَلَكَ يا حاطِبُ على ما صَنَعْتَ؟» (“Apa yang mendorongmu melakukan hal itu, wahai Ḥāṭib?”) Pertanyaan Nabi ﷺ yang penuh kelembutan ini menunjukkan bahwa niat sangatlah penting dalam menilai sebuah perbuatan. Ḥāṭib melakukan tindakan tersebut bukan karena ingin murtad dari agama Islam, tetapi semata karena ingin melindungi keluarga dan harta yang ia tinggalkan di Makkah. Hal ini menjadi bukti bahwa menjaga harta dan keselamatan keluarga bukanlah bentuk kufur, melainkan bentuk kelemahan iman yang bersifat insaniyah. Maka, membedakan antara maksud melindungi agama dengan maksud melindungi harta adalah hal penting; yang pertama urusan agama, yang kedua urusan duniawi. Allah ﷻ berfirman: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ … ﴾ [الممتحنة: 1] “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (rahasia kaum Muslimin) karena rasa kasih sayang, padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada kalian...” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1) Para ulama berkata: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ḥāṭib, dan penutup ayat ini: ﴿ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة: 1] “Barang siapa melakukannya di antara kalian, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Ini menunjukkan bahwa tindakannya keliru, tetapi tidak mengeluarkannya dari iman, karena didasari kelemahan manusia, bukan karena membela kekufuran.   11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar Perbuatan al-muwālāt (berloyalitas) kepada orang kafir dengan makna seperti kasus Ḥāṭib memang merupakan dosa besar dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Namun, itu tidaklah mengeluarkannya dari Islam. Ini merupakan kaidah penting: kesalahan seperti ini tidak boleh membuat seseorang dicabut dari nama iman, selama masih ada dasar keimanan dalam dirinya. Kesalahan tersebut juga tidak mengurangi kedudukan seorang sahabat besar seperti Ḥāṭib al-Badrī radhiyallahu ‘anhu. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada kita tentang kedudukan istimewa orang-orang yang ikut Perang Badar? Beliau ﷺ bersabda: «لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ» “Barangkali Allah telah melihat (mengetahui keadaan) para pejuang Badar, lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” Maka Rasulullah ﷺ memandang perbuatan Ḥāṭib dalam konteks ini. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sempat ingin menghukumnya, tetapi Rasulullah ﷺ menegur: «صَدَقَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا» “Dia berkata benar. Janganlah kalian katakan tentangnya kecuali yang baik-baik.” Maka para sahabat pun menerima penjelasan Nabi ﷺ, mengakui kebenaran Ḥāṭib, dan hanya berkata yang baik tentang dirinya.   12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka Cara Rasulullah ﷺ menghadapi peristiwa ini sungguh penuh kelembutan. Beliau ﷺ tidak tergesa-gesa menghukum, tetapi terlebih dahulu bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, wahai Ḥāṭib?” Kemudian beliau mendengarkan alasan dengan lapang dada. Inilah teladan Nabi ﷺ: mengajarkan kita untuk memberi uzur kepada orang lain, berbaik sangka, lembut dalam berinteraksi, serta tidak mengeluarkan ucapan kecuali yang baik dan penuh kasih sayang. Maha benar Allah yang telah menjadikan beliau sebagai manusia paling penuh rahmat, paling pemaaf, paling bijak, dan sebaik-baik teladan.   13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman Dalam cara Rasulullah ﷺ berinteraksi, terdapat pedoman bagi kita dalam memperlakukan saudara-saudara kita. Hendaknya kita berbaik sangka, mencari alasan yang memaafkan, menerima kekhilafan, mengingat kebaikan yang pernah ia lakukan, dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan. Bila seseorang berbuat salah, jangan langsung menilai bahwa itu karena keraguan atau kurangnya iman. Bisa jadi itu hanyalah kondisi sesaat akibat faktor duniawi. Namun, ia segera bertaubat kepada Tuhannya. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka digoda oleh setan, mereka teringat (akan Allah), maka ketika itu juga mereka melihat dengan jelas (kebenaran).” (QS. Al-A‘rāf: 201) Mereka adalah orang-orang bertakwa, tetapi tetap bisa tersentuh oleh godaan setan. Hanya saja, mereka cepat sadar, segera melihat kebenaran, lalu kembali kepada Rabb mereka. Jalan hidup mereka tidak ternoda oleh dosa itu, bahkan bisa jadi, setelah mereka bertaubat dan kembali kepada Allah, keadaan mereka menjadi lebih baik daripada sebelum terjatuh dalam dosa.   14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat Dalam kisah Hatib radhiyallāhu ‘anhu terdapat pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah tergelincir dalam kesalahan—dan siapakah yang tak pernah tergelincir?—bahwa seseorang tidak boleh mengingkari kesalahan yang telah dilakukannya. Hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah, meminta maaf, dan jujur dalam pengakuannya. Tiada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengan taubat yang tulus, pengakuan yang jujur, dan keikhlasan dalam memperbaiki diri. Ibnu Hajar rahimahullāh berkata: “Barang siapa melakukan kesalahan, hendaklah ia tidak mengingkarinya, melainkan mengakuinya dan meminta maaf, agar tidak menumpuk dua dosa sekaligus.”   15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama Kisah Hatib juga menunjukkan kedudukan tinggi orang-orang yang berilmu dan beramal saleh. Kesalahan mereka tidak sama dengan kesalahan orang kebanyakan, sebab lautan kebaikan mereka menenggelamkan kekeliruan yang mungkin terjadi. Maka, hendaknya kesalahan mereka ditimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan, dan kita memperhatikan sikap lapang dada serta penghargaan terhadap jasa mereka.   16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu Kisah Hatib juga mengajarkan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi perkara yang sulit. Ketika Umar berkata kepada Nabi ﷺ, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini,” beliau tidak melakukannya atas dorongan pribadi, tetapi setelah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Maka, Rasulullah pun menjelaskan posisi hukum yang benar dalam perkara itu. Dari sini kita belajar: jangan tergesa-gesa dalam menghukumi, tetapi kembalikan semuanya kepada ilmu dan bimbingan syariat.   17. Keutamaan Ahli Badar Kisah Hatib juga menegaskan kemuliaan para pejuang Badar radhiyallāhu ‘anhum. Mereka memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah karena jasa besar mereka dalam membela Islam dan kaum muslimin. Keutamaan ini menjadi alasan mengapa Rasulullah ﷺ memaafkan Hatib dan menegaskan kedudukannya sebagai bagian dari ahli Badar. Baca juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya   18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’ Sebagai penutup kisah Hatib, terdapat pelajaran penting dalam memahami akidah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah). Banyak orang terjatuh dalam sikap berlebihan di dua sisi: sebagian terlalu ekstrem dalam permusuhan, sementara sebagian lain berlebihan dalam toleransi. Kedua sisi ini sama-sama menyimpang dari keseimbangan yang diajarkan oleh syariat. Sikap berlebihan (ghuluw ifrāṭ) dalam masalah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah) biasanya tampak dalam dua bentuk: Pertama, mudah mengkafirkan orang lain hanya karena perbuatan lahiriah. Ini terjadi karena tidak memahami dengan jelas batasan kekufuran dalam masalah walā’ wal-barā’. Padahal, walā’ wal-barā’ adalah urusan hati. Kekufuran dalam hal ini terjadi bila seseorang mencintai orang kafir karena kekafirannya, mendukung mereka agar agama mereka menang atas Islam, atau menginginkan kejayaan agama mereka di atas agama kaum muslimin. Inilah bentuk kufur dalam masalah walā’ wal-barā’. Adapun jika seseorang menolong orang kafir dalam perkara duniawi atau karena kepentingan tertentu, itu tidak serta merta menjadikannya kafir. Bisa jadi, ia masih mencintai Islam dan membenci kekafiran, tetapi imannya lemah karena pertimbangan duniawi yang ia utamakan daripada akhiratnya. Kisah Hatib bin Abi Balta‘ah radhiyallāhu ‘anhu menjadi bukti nyata. Ia berkata, “Aku tidak melakukannya karena kufur, tidak pula murtad dari agamaku, dan tidak ridha terhadap kekafiran setelah Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia berkata benar.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata, “Terkadang seseorang menunjukkan rasa kasih atau bantuan kepada orang kafir karena hubungan keluarga atau kebutuhan tertentu. Hal itu termasuk dosa yang mengurangi imannya, tetapi tidak menjadikannya kafir.” Sebagaimana yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta‘ah. Kedua, tanda lain dari sikap berlebihan dalam al-walā’ wal-barā’ adalah kesalahan dalam menerapkan konsep barā’ (berlepas diri dari orang kafir). Kesalahan ini bisa muncul karena terlalu menekankan dalil-dalil tentang barā’ tanpa menyeimbangkannya dengan ayat dan hadits tentang akhlak baik dan keadilan dalam berinteraksi. Allah Ta‘ala berfirman: لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) Sebagian orang hanya berpegang pada ayat tentang barā’, lalu melupakan ayat tentang akhlak mulia. Adapun sisi lain dari penyimpangan adalah sikap meremehkan (tafrīṭ), yaitu mengaburkan akidah al-walā’ wal-barā’. Biasanya datang dari kalangan intelektual yang terpengaruh pemikiran Barat—baik karena studi, bacaan, atau cara berpikir—sehingga mereka berusaha menafsirkan ulang akidah ini. Mereka menganggap al-walā’ wal-barā’ sebagai ajaran yang menumbuhkan kebencian antaragama, lalu menuntut agar konsep itu dihapus demi “toleransi”. Padahal, sikap ini justru menolak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang tegas tentang kewajiban mencintai orang beriman dan berlepas diri dari kekafiran. Mereka harus disadarkan bahwa Islam tidak boleh disalahkan atas perilaku berlebihan sebagian pemeluknya. Jika ada yang ekstrem dalam walā’ wal-barā’, bukan berarti solusinya adalah menjadi ekstrem di arah sebaliknya. Karena kebenaran terletak di jalan tengah — wasathiyyah — antara ghuluw dan tafrīṭ.   19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah Keutamaan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—yakni kecemburuannya terhadap agama, dan ketegasannya dalam menjaga kemurnian masyarakat serta kebersihannya. Di antara keutamaan yang disebutkan untuknya—radhiyallāhu ‘anhu—adalah bahwa ia sangat menginginkan kebaikan pada agamanya, sehingga bila ia melihat sesuatu yang menyentuh rasa cemburu dan kehormatan agama, ia segera kembali kepada Rasulullāh ﷺ. Ini termasuk keutamaannya. Ketika posisi Rasulullāh ﷺ antara Abū Bakr dan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, dan keduanya termasuk penghuni surga, maka ‘Umar menangis dan matanya berlinang air mata—radhiyallāhu ‘anhu wa arḍāh. Ia lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Diriwayatkan dalam Shahīh al-Bukhārī bahwa ia berkata, “Maka berlinanglah air mata ‘Umar.” Ia berkata, “Allāh wa Rasūluh a‘lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui).” Ibnu Hajar—rahimahullāh—berkata dalam Fath al-Bārī: “Kemungkinan hal itu terjadi karena ia menangis ketika menyadari saat yang menyentuh hatinya dengan khusyuk dan penyesalan atas apa yang telah ia katakan terhadap Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu.”   20. Marah Demi Agama Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Kadang seorang Muslim menisbatkan kepada dirinya sifat kemunafikan atau kekafiran karena marah dan cemburu terhadap agama Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya, tanpa bermaksud benar-benar kafir. Ia tidak keluar dari Islam karenanya. Ia tidak dihisab atas hal itu, karena ucapan tersebut tidak berasal dari niat hati, melainkan dari dorongan spontan. Hal ini berbeda dengan keadaan ahli hawa nafsu dan ahli bid‘ah, sebab mereka mengucapkan kekafiran dan kebatilan karena sengaja menentang kebenaran dan menyeru manusia kepadanya.” Inilah yang membedakan antara orang yang tergelincir sejenak karena marah terhadap dirinya sendiri dengan orang yang benar-benar kafir dan menyimpang. Orang yang tergelincir sesaat seperti ini tetap berada dalam pertolongan Allah dan mendapatkan keutamaannya. Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—berkata: “Barang siapa yang kafir kepada seseorang, atau menuduh seseorang kafir karena marah sesaat, maka semoga Allah memaafkannya,” sebagaimana yang dikatakan pula tentang kisah Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—pada peristiwa surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Quraisy sebelum Fath Makkah. ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullāh ﷺ bersabda, “Bukankah ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar? Allah telah berfirman tentang mereka, ‘Lakukanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’” Maka ‘Umar pun menangis karena marahnya itu hanya dorongan sesaat, bukan niat untuk melampaui batas. Demikian pula yang terjadi pada sebagian sahabat lainnya dan generasi setelah mereka, bila marah karena membela agama. Namun, bila seseorang benar-benar menuduh orang lain kafir atau mencaci maki dengan kesengajaan, maka itu berbeda; sebab hal itu menunjukkan maksud hati yang salah, bukan karena semangat agama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal-hal seperti ini.   21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—juga berkata dalam penjelasannya yang lain: “Kadang dosa besar atau syirik kecil dapat dihapus oleh amal saleh yang besar, sebagaimana terjadi pada kisah Ḥāṭhib. Ia melakukan dosa besar, tetapi amal kebaikan yang besar telah menghapusnya, dan hal itu disaksikan oleh para sahabat secara nyata.”   22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah Tentang pasukan besar yang berangkat dari Madinah menuju Makkah. Allah ﷻ menjaga rahasia perjalanan itu dari pengetahuan kaum Quraisy. Rasulullah ﷺ tiba di pinggiran Makkah tanpa diketahui oleh mereka. Abu Sufyān pun keluar bersama beberapa orang untuk mencari kabar, mereka berusaha merasakan tanda-tanda kedatangan pasukan, namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tentara Rasulullah ﷺ yang mengepung mereka di luar batas kota Makkah. Peristiwa ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ﷻ, bahwa Dia menghalangi berita besar seperti itu agar tidak sampai ke telinga penduduk Makkah, padahal jumlah pasukan itu sangat besar dan kekuatannya sangat dahsyat.   23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya Dalam perjalanan, Rasulullah ﷺ berhenti di sisi makam ibunya, Āminah bintu Wahb. Beliau menziarahi makam ibunya, menangis, dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku agar aku dapat menziarahi makam ibuku, dan Dia mengizinkanku. Namun ketika aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, Dia tidak mengizinkanku.” Dalam peristiwa ini terkandung pelajaran besar tentang kedudukan ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara manusia, tak ada seorang pun yang mampu menunaikan haknya sepenuhnya. Ia telah memberikan untukmu usia, kehidupan, jiwa, dan seluruh perasaannya, dengan ketulusan yang tak mampu engkau balas, bahkan sekadar menandingi pun tidak mungkin. Bagi Rasulullah ﷺ, urusan ibunya memiliki tempat yang sangat khusus. Beliau lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah bahkan sebelum dilahirkan, lalu tak lama setelah itu kehilangan ibu pula. Inilah bentuk yatim yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Nabi ﷺ telah kehilangan semua bentuk kasih sayang manusiawi: ayah, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka beliau tumbuh tanpa mengenal siapa pun dari mereka.” Dalam dua perjalanan penting—dari Madinah ke Makkah dan sebaliknya—beliau ﷺ melewati daerah tempat ibunya dimakamkan, yakni di suatu padang pasir yang jauh dari kota Makkah. Ketika beliau masih kecil, ibunya wafat di sana, dan beliau yang kecil kala itu ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir. Kini, setelah bertahun-tahun, beliau melewati tempat itu lagi untuk pertama kalinya sejak berpisah dengannya. Rasulullah ﷺ berhenti di situ, menangis, dan mengingat kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan beliau saat itu kecuali mereka yang kehilangan orang yang paling dicintai. Orang-orang yang bersama beliau pun ikut menangis menyaksikan tangisannya. Tangisan beliau lebih dalam daripada siapa pun, karena yang beliau tangisi bukan hanya sosok ibu, melainkan juga kenangan kasih sayang, kehilangan, dan kerinduan masa kecil. Ini adalah pelajaran mendalam tentang kedudukan ibu dan besarnya hak seorang ibu atas anaknya. Beliau ﷺ menunjukkan bahwa kasih seorang anak terhadap ibunya harus selalu disertai pengakuan terhadap kedudukan dan kemuliaannya, meskipun ibunya telah tiada. Itulah pelajaran abadi dari peristiwa yang menyentuh hati ini—sebuah pelajaran yang disampaikan langsung oleh Al-Muṣṭafā ﷺ. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan ibu, berbakti kepadanya, serta menziarahi makamnya bila ia telah wafat—sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lebih dahulu mendahuluimu menuju negeri akhirat. Maka janganlah engkau meremehkan ziarah ke makam ibu, ucapkanlah salam untuknya, dan doakanlah kebaikan baginya. Cukuplah bagimu meneladani Al-Muṣṭafā ﷺ yang telah menziarahi makam ibunya, meskipun beliau tidak diizinkan untuk memohonkan ampun baginya. Sungguh disayangkan, banyak orang yang lalai menziarahi kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bahkan sebagian dari mereka sampai lupa di mana makam ibu atau ayahnya, padahal waktu terus berlalu sementara hubungan kasih sayang itu terputus. Ini juga menjadi pelajaran tentang pentingnya menyambung tali silaturahim dengan kerabat secara umum, dan menziarahi para kerabat yang telah meninggal dunia. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan amalan ini, padahal ziarah ke makam keluarga merupakan salah satu bentuk bakti dan doa untuk mereka yang telah mendahului kita.   24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ Dalam peristiwa ziarah tersebut dan sabda Rasulullah ﷺ: “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku,” telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak dahulu tentang nasib kedua orang tua Nabi ﷺ. Kesimpulan menurut pendapatku—kata penulis—adalah bahwa sebaiknya kita menahan diri dari memastikan bagaimana keadaan mereka berdua, tidak memastikan mereka di surga ataupun di neraka. Sebab perkara ini sangat berat, penuh tanggung jawab besar, dan tidak ada nash yang secara tegas dan pasti dalam hal ini. Teks-teks yang datang bersifat umum, sedangkan nash yang khusus tidaklah cukup jelas. Adapun hadits yang menyebut tentang ayah beliau ﷺ, memang ada riwayat yang diperselisihkan maknanya. Karena itu, lebih selamat bila kita menahan diri dan tidak memastikan dengan keyakinan tertentu, sebab tidak ada dalil yang benar-benar tegas dan pasti dalam hal ini. Adapun mengenai ibunda beliau ﷺ, tidak ada satu hadits sahih pun yang secara jelas menjelaskan keadaan beliau, selain larangan bagi Nabi ﷺ untuk memohonkan ampun baginya. Namun larangan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan nasib akhirnya, karena bisa jadi alasan tidak diizinkannya adalah sebab beliau wafat sebelum masa diutusnya kenabian—yakni termasuk golongan ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). Maka, keadaan mereka sepenuhnya berada di bawah kehendak Allah, dan kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana nasib mereka. Dan boleh jadi, Allah ﷻ menghendaki agar nasib ibunda Nabi ﷺ tetap menjadi perkara yang tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, sehingga tidak seorang pun berani memastikan hukum tentangnya kecuali Allah semata. Bisa jadi pula, dari ketetapan Allah yang penuh hikmah ini, terdapat isyarat bahwa seandainya Nabi ﷺ diizinkan untuk memohonkan ampun bagi ibunya, maka hal itu bisa menjadi dalil umum atas kebolehan memintakan ampun untuk seluruh *ahlul fatrah* (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). As-Sindi rahimahullāh berkata: “Istighfar (permohonan ampun) adalah cabang dari penyesalan atas dosa. Dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dibebani hukum syariat dan mengerti ajaran agama. Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka ia tidak membutuhkan istighfar, sebab hukum istighfar hanya disyariatkan untuk orang-orang yang telah menerima dakwah dan menolak kebenaran, meskipun bisa jadi mereka termasuk orang yang selamat.” Juga dapat dikatakan bahwa penduduk masa jahiliah secara umum diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir dalam urusan dunia, sehingga tidak dishalatkan dan tidak dimintakan ampun bagi mereka, sedangkan urusan akhirat mereka dikembalikan kepada Allah ﷻ semata. Tangisan Nabi ﷺ ketika menziarahi makam ibundanya tidaklah menunjukkan bahwa beliau yakin ibunya diazab. Bisa jadi tangisan itu muncul karena kelembutan hati beliau, kasih sayang, dan kerinduan yang mendalam kepada ibunya, bukan karena keyakinan akan azab. Imam Nawawi rahimahullāh berkata: “Mungkin sebab Nabi ﷺ menangis adalah karena beliau teringat pada ibunya dan merasa iba padanya. Allah lebih mengetahui alasan sebenarnya.” Qadhi ‘Iyāḍ juga berkata: “Tangisan Nabi ﷺ adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan hati. Maka, jika tangisannya kepada seorang anak kecil atau bayi menunjukkan kasih dan rahmat, bagaimana mungkin tidak demikian terhadap ibunya sendiri?” Namun, di sisi lain, teks-teks yang bersifat khusus itu dihadapkan dengan dalil-dalil umum yang sangat jelas dalam prinsip-prinsip syariat. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā, أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} “(Agar kalian tidak berkata,) ‘Tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mā’idah: 19) Dan firman-Nya pula: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} “Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15) Serta firman Allah Ta‘ālā lainnya: وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ} “Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum (diutusnya rasul itu), niscaya mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus kepada kami seorang rasul, agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan terhina.’” (QS. Ṭāhā: 134) Seluruh ayat ini menegaskan bahwa tidak ada azab sebelum datangnya peringatan dari seorang rasul. Hal ini memperkuat pendapat yang memilih untuk tawaqquf (menahan diri tanpa memastikan) dalam permasalahan ini. Allah-lah yang Maha Mengetahui.   25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik Imam An-Nawawi rahimahullāh berkata, “Dalam peristiwa ini terdapat dalil tentang bolehnya menziarahi orang-orang musyrik, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia, serta menziarahi kuburan mereka. Sebab, jika ziarah kepada mereka diperbolehkan setelah wafat, maka tentu ketika masih hidup lebih utama lagi.” Pendapat ini menunjukkan bahwa An-Nawawi rahimahullāh termasuk di antara ulama yang berpendapat bolehnya ziarah kepada kaum musyrik, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.   26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān Menempatkan seseorang pada kedudukan yang sesuai dengan martabatnya diambil dari sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dalam kalimat ini terdapat bentuk penghormatan kepada Abū Sufyān dan pembedaan kedudukannya karena ia merupakan salah satu pemuka kaum Quraisy.   27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan Perhatian Rasulullah ﷺ dalam melembutkan hati manusia. Beliau ﷺ menaklukkan hati Abū Sufyān dengan memberinya kehormatan bahwa siapa saja yang masuk ke rumahnya akan aman. Hal ini menjadi kebanggaan besar bagi Abū Sufyān, yang dikenal sebagai sosok yang mencintai kehormatan dan kebesaran. Dengan cara itu, Rasulullah ﷺ berhasil menundukkan hatinya, menjinakkan perasaannya, serta meneguhkan imannya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan dakwah Nabi ﷺ terhadap orang yang baru masuk Islam, sebagaimana kebiasaan beliau dalam mempererat hati mereka yang masih baru mengenal Islam.   28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong Sikap rendah hati Rasulullah ﷺ. Ketika seorang laki-laki datang kepada beliau ﷺ dengan hati yang penuh ketenangan dan kesungguhan untuk berbicara, tiba-tiba ia merasa gemetar dan takut. Rasa gentar itu muncul karena wibawa dan kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Tenangkan dirimu. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa memakan daging kering.” Ucapan ini mengandung pelajaran agar seseorang mengingat masa lalunya dan tidak melupakan asalnya — agar tidak sombong terhadap orang yang lemah. Nabi ﷺ mengajarkan kepada setiap pribadi untuk tidak lupa akan masa lalunya dan keadaan dirinya dahulu. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ﴾ “Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insān [76]: 1) Dalam ayat yang lain disebutkan, قُتِلَ ٱلْإِنسَٰنُ مَآ أَكْفَرَهُۥ مِنْ أَىِّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ “Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (QS. ‘Abasa: 17-19) Banyak di antara manusia yang, setelah meraih kedudukan dan kehormatan di dunia, menjadi lupa dengan masa lalunya. Ia tidak lagi mengingat keadaan lemahnya dulu, tidak mau menengok masa ketika ia belum dikenal, tidak ingin kembali mengingat bagaimana awal perjuangannya yang penuh kekurangan. Padahal sifat lupa akan asalnya itu termasuk tanda kesombongan yang hina.   29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah Pada hari Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Rasulullah ﷺ memasuki kota itu dengan penuh tawadhu‘, menundukkan kepalanya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Padahal hari itu adalah hari kemenangan besar bagi kaum muslimin. Inilah nilai agung dari sikap rendah hati—bahwa justru pada saat kemenangan besar diraih, beliau ﷺ tampil sebagai hamba yang tunduk kepada Rabb-nya, bukan sebagai penguasa yang congkak. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan menunduk hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana untanya, dan beliau terus-menerus bertahmid dan memuji Allah. Tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang berani melawan; semua tunduk dan menyerah. Semakin besar kemenangan dan semakin besar karunia Allah, justru semakin dalam kerendahan hati beliau ﷺ. Tidak ada sedikit pun rasa bangga atau ujub. Beliau tidak melihat dirinya sebagai pemenang, tetapi sebagai hamba yang diberi pertolongan oleh Allah. Itulah makna sejati dari kalimat “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh” — tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Setiap kali manusia memperoleh kemenangan namun tetap menjaga kerendahan hati, niscaya kemenangan itu akan semakin kuat dan keberkahan akan semakin nyata. Sebaliknya, jika kemenangan diiringi kesombongan dan rasa bangga diri, maka di situlah awal kehancuran. Allah Ta’ala berfirman, ﴿ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۚ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ ﴾ “Sesungguhnya para raja, apabila mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan merusaknya, dan menjadikan orang-orang yang mulia di negeri itu menjadi hina. Dan demikianlah kebiasaan mereka.” (QS. An-Naml: 34) Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh berkata: “Maknanya, para raja itu apabila memasuki sebuah negeri, mereka melakukan kerusakan: membunuh penduduknya, menawan mereka, merampas harta kekayaannya, dan menghancurkan rumah-rumahnya. Mereka menjadikan orang-orang yang sebelumnya mulia menjadi hina. Makna “penduduknya menjadi hina” ialah: mereka menjadikan para pemimpin dan tokoh terhormat dari kalangan masyarakat menjadi orang-orang yang paling rendah kedudukannya. Rasulullah ﷺ justru memuliakan Abū Sufyān—pemimpin besar Quraisy yang pernah memimpin kaum musyrik dalam peperangan Uhud dan Ahzāb. Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Sesungguhnya kerendahan hati Rasulullah ﷺ merupakan pelajaran praktis bagi setiap pemimpin yang diberi kemenangan. Betapa sulitnya seseorang bisa tampil rendah hati di saat kemenangan tiba. Ibnu Katsīr rahimahullāh berkata: “Kerendahan hati Rasulullah ﷺ ketika memasuki Mekah dengan pasukan besar dan kuat ini, merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari Bani Israil. Ketika mereka diperintahkan memasuki Baitul Maqdis sambil bersujud (yakni rukuk) dan mengucapkan ‘ḥiṭṭah’ (ampunilah dosa kami), mereka justru masuk dengan merangkak di atas pantat mereka sambil berkata, ‘ḥinṭah fī sya‘īrah’ (gandum dalam jelai).” Pelajaran ini juga mengajarkan kepada kita tentang akidah dan tauhid: dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita raih, hendaknya kita sadari bahwa semua itu merupakan karunia dari Allah Yang Mahatinggi. ﴿ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ﴾ “Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Naḥl: 53) Kita pun meyakini bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Maka, tidak sepantasnya kita menisbatkan nikmat atau terhindarnya kita dari musibah kepada sebab semata, melainkan semuanya kepada Allah semata. Allah-lah yang menciptakan sebab-sebab itu, Dia pula yang memberi kemampuan untuk berbuat, dan Dialah yang menaruh hasil dalam setiap usaha. Allah adalah Musabbibul-Asbāb (Penyebab dari segala sebab). Hati manusia tidak akan baik kecuali dengan tauhid ini. Dengan tauhid, seorang hamba dapat bersyukur kepada Rabb-nya, karena semua bentuk keutamaan dan karunia sejatinya kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan firman Allah Ta‘ālā: “Adapun menahan diri saat senang (dalam keadaan lapang), itu lebih sulit, karena sering kali mirip dengan sikap lancang dan ceroboh.” Artinya, mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan senang dan bahagia itu jauh lebih berat dibandingkan bersabar ketika sedang susah. Hanya orang yang kuat imannya dan teguh hatinya yang mampu melakukannya. Ada sebagian orang, saat mendapatkan kenikmatan, jadi lupa bersyukur; dan ketika ditimpa kesulitan, ia tak lagi sabar. Maka orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang tetap bersyukur di waktu senang, dan tetap sabar di waktu susah. Mereka tidak berubah karena keadaan. Nikmat tidak membuat mereka lalai, dan ujian tidak membuat mereka putus asa. Jiwa manusia sebenarnya sangat dekat dengan godaan setan dan hawa nafsu. Sedangkan karunia Allah turun ke dalam hati dan ruh. Bila hati diterangi cahaya keimanan, maka seluruh jiwa ikut bercahaya. Namun jika anugerah Allah datang kepada hati yang belum siap, ia bisa kehilangan kendali. Ia menjadi sombong, rakus, atau bahkan melampaui batas. Itulah sebabnya banyak orang rusak justru saat diberi nikmat. Sebaliknya, orang yang berilmu dan mengenal Allah tahu bagaimana mengelola karunia itu dengan seimbang. Ia tidak terbuai oleh nikmat, juga tidak hancur oleh ujian. Kadang seseorang tiba-tiba diberi harta atau jabatan, padahal belum siap secara ilmu dan iman. Akibatnya, ia menjadi sombong dan meremehkan orang lain. Padahal semua itu ujian. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa saja nikmat itu menjadi sebab kehancurannya. Orang seperti itu biasanya baru sadar setelah kehilangan. Ia menyesal dan berkata, “Ke mana semua kebahagiaan itu? Mengapa aku jadi begini?” Padahal seharusnya, setiap nikmat atau musibah menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, bukan untuk menjauh dari-Nya. Karena itulah para ulama berkata: “Jika kamu tergelincir dari jalan kesabaran dan ketenangan, berarti kamu telah kehilangan kedudukanmu di sisi Allah.” Mereka juga menasihati, “Jagalah hatimu dari penyakit jiwa, biasakan rendah hati, tunduk, dan jangan sombong. Jadikan rasa takut dan harap kepada Allah sebagai penjaga hatimu.” Orang yang menjaga hubungannya dengan Allah akan mendapatkan ketenangan luar biasa. Ia memandang Allah dengan cinta dan pengharapan. Allah pun akan mendekatkannya, memuliakannya, dan menjadikannya hamba yang istimewa di sisi-Nya. Ketika seseorang sudah merasakan kerendahan hati yang tulus, hatinya lembut, penuh penyesalan dan rasa butuh kepada Allah, maka ia akan merasakan kenikmatan yang jauh lebih tinggi dari sekadar kenikmatan dunia. Orang yang mampu menjaga kehormatannya, menahan syahwatnya, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, itulah orang yang mulia di sisi Allah. Ia menolak kenikmatan yang menjerumuskan, menjauh dari perbuatan yang merusak, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang memalukan. Sungguh, kata ash-shabr, sabar tersusun dari huruf-huruf yang terasa berat di lidah, menunjukkan bahwa sifat sabar itu tidak mudah, tapi sangat berharga. Perhatikan, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri melewati masa sulit ketika diusir dari Makkah. Namun akhirnya Allah menolong beliau, hingga beliau masuk kembali ke Makkah dengan penuh kemenangan, ditemani sahabat setianya, Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu. Allah berfirman: ﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا﴾ “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang (bersama Abu Bakar) ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Dan Allah juga berfirman: ﴿إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia akan mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) ﴿وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾ “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83) Kemenangan Rasulullah ﷺ di Makkah menjadi bukti nyata janji Allah. Beliau dulu diusir dengan hina, namun kembali dengan penuh kemuliaan. Itulah makna sebenarnya dari ketundukan kepada Allah. Dialah yang memberi kemenangan, mengangkat derajat orang beriman, dan menjanjikan kesudahan yang baik bagi mereka yang bersabar dan bertakwa. Maka kita semua perlu meneladani sifat mulia itu—sabar dan syukur. Barang siapa ingin akhir hidupnya baik, hendaklah ia memperbaiki amalnya dan bersabar menghadapi ujian hidup. Setiap kali ia bertambah sabar, Allah akan menaikkan derajatnya, hingga mencapai kedudukan tinggi di sisi-Nya.   30. Dulu Terusir, Kini Raih Kemenangan Besar Peristiwa ini adalah bentuk pertolongan dan kemenangan besar dari Allah. Jangan kita lupakan bahwa dahulu beliau ﷺ pernah diusir dari Makkah, dikejar dan diburu oleh orang-orang kafir Quraisy, hanya ditemani oleh sahabat karibnya, Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhu, dan pelayannya. Allah ﷻ berfirman: {إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا} “Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, lalu dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40) Janji Allah ini terwujud sepenuhnya. Allah menolong Rasul-Nya ﷺ dan memberikan kemenangan kepada kaum mukminin. Sekalipun waktu berjalan lama, janji itu pasti datang. Allah berfirman: {إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128) Dan Allah juga berfirman: {وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 83) Tidak ada yang dapat menghalangi pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ yang dahulu keluar dari Makkah sendirian, kini kembali ke Makkah dengan membawa kemenangan, sementara orang-orang kafir yang dulu mengusirnya kini berlari ketakutan. Allah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan memenangkan pasukan-Nya. Rasul ﷺ pun masuk ke Makkah tanpa peperangan besar, tanpa kekerasan, hanya dengan pengibaran panji Islam dan tunduknya hati-hati manusia kepada Allah ﷻ. Maka pantas jika Allah, dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, menjadikan janji kemenangan itu nyata bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kita semua pun diingatkan untuk meraih sifat yang membuat janji Allah terwujud pada diri kita — yaitu sifat takwa. Siapa yang ingin mendapatkan akhir yang baik, maka hendaklah ia memperbaiki amalnya dengan takwa dan ketaatan. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin tinggi pula derajatnya dalam meraih ḥusnul ‘āqibah (akhir yang baik) hingga mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.   31. Dari Kepungan Ahzab Menuju Kemenangan Agung di Makkah Peristiwa Ahzab terjadi pada tahun kelima hijriah, ketika pasukan musuh berkumpul hendak memerangi Islam di Madinah. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang. Lalu, pada tahun kedelapan hijriah — tiga tahun setelahnya — Allah mengumpulkan sepuluh ribu kaum Muslimin untuk berangkat menaklukkan Makkah. Perhatikanlah bagaimana Allah menggantikan keadaan! Dahulu sepuluh ribu orang kafir berkumpul untuk memerangi Islam, namun kini sepuluh ribu kaum Muslimin yang berhimpun untuk menegakkan Islam. Ini adalah karunia dan pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.   32. Kembalinya Tauhid ke Tanah Suci Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah sebagai pemenang adalah salah satu tanda nyata kenabian beliau ﷺ. Ibnu Rajab rahimahullāh menjelaskan bahwa kekuasaan Nabi ﷺ atas kota itu dan penguasaan beliau terhadapnya, beserta umatnya, merupakan bukti kebenaran risalah dan janji Allah kepadanya. Allah menahan siapa pun yang ingin mencelakai Nabi ﷺ dan akhirnya membinasakan mereka, lalu Allah menguasakan kota itu kepada Rasul-Nya dan umatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: «إن الله حبس عن مكة الفيل وسلط عليها رسوله والمؤمنين» “Sesungguhnya Allah telah menahan (pasukan) gajah dari Makkah, dan kini Dia menundukkan Makkah kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin.” Maksudnya, dahulu Allah menahan pasukan Abrahah agar tidak merusak Ka‘bah, dan kini Allah menaklukkan Makkah kepada Nabi-Nya ﷺ sebagai bentuk pemuliaan dan peneguhan atas dakwah beliau. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ ketika hari Fathu Makkah berkata, «اليوم تُعظَّمُ الكعبة» “Hari ini Ka‘bah diagungkan!” Karena kaum musyrik Makkah pada masa jahiliah telah menyimpangkan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas-salām. Mereka menodai ibadah haji dengan kesyirikan, mengubah manasik haji, dan menyeleweng dari agama tauhid. Namun hari itu, Allah ﷻ mengembalikan kemuliaan Makkah kepada kemurnian tauhid, sebagaimana agama Nabi Ibrahim al-Ḥanīf. Allah menghapus segala bentuk syirik, menegakkan kembali ibadah haji dengan manasik yang benar, dan mengembalikan umat ini kepada agama tauhid yang lurus.   33. Puncak Pemaafan Nabi ﷺ Saat Fathu Makkah “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman. Barang siapa menutup pintunya, maka ia aman. Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Inilah peristiwa agung yang tak dikenal dalam sejarah dunia, dan tak ada yang menandinginya dalam hal kemurahan hati, pemaafan, dan kelapangan dada. Selama lebih dari dua puluh tahun, kaum musyrikin Makkah memerangi dakwah Islam. Mereka menghalangi jalan kebenaran dengan segala cara, menentang dan memusuhi dakwah Nabi ﷺ, tidak menyisakan satu celah pun kecuali mereka manfaatkan untuk menghambat agama ini, serta menebar fitnah dan kebencian antara manusia agar menjauh dari jalan Allah. Mereka menyiksa para pengikut Nabi ﷺ, memenjarakan dan menekan mereka, bahkan membunuh sebagian dari mereka. Mereka terus mengejar kaum Muslimin yang hijrah hingga ke luar Jazirah Arab. Lalu mereka masih memerangi umat Islam dalam tiga peperangan besar setelahnya. Namun, meskipun begitu, Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah dengan sepuluh ribu pasukan mujahid yang tunduk dan rendah hati kepada Allah ﷻ. Beliau tidak datang dengan dendam, melainkan dengan kasih sayang. Di tengah kekuasaan penuh, beliau justru memproklamasikan amnesti umum dan pengampunan menyeluruh. Cukup dengan seseorang masuk ke rumahnya sendiri, atau rumah Abū Sufyān, atau menurunkan senjata, maka ia aman. Itulah puncak keagungan dalam memberi maaf dan melupakan permusuhan masa lalu. Baca juga: Memaafkan dengan Berusaha Melupakan   34. Meneladani Nabi: Mengisi Perjalanan dengan Tilawah dan Zikir Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada hari hijrah, ketika Suraqah mengejar Rasulullah ﷺ, ia mendapati Nabi ﷺ sedang membaca Al-Qur’an. Begitu pula pada hari penaklukan Makkah, Rasulullah ﷺ memasuki kota itu di atas untanya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Pemandangan ini menunjukkan kepada kita pentingnya memanfaatkan waktu dalam ibadah. Di mana pun dan kapan pun, orang yang beriman hendaknya menjadikan waktunya berharga dengan tilawah dan zikir. Momen seperti ini juga menjadi kesempatan bagi siapa pun untuk menambah hafalan Al-Qur’an, atau mengulang hafalan yang telah dimiliki, terutama saat dalam perjalanan. Betapa banyak orang yang bisa menjadikan waktu bepergian sebagai sarana untuk membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, baik melalui mushaf atau audio, dengan niat ibadah dan meneladani Rasulullah ﷺ. Ibnu Ḥajar rahimahullāh berkata — menukil dari Ibnu Abī Jamrah — bahwa sabda Nabi ﷺ ini menunjukkan kuatnya kebiasaan beliau dalam beribadah, karena beliau tetap berzikir dan membaca Al-Qur’an dalam keadaan di atas unta, tidak pernah lalai dari ibadah meski dalam perjalanan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang ingin meneladani Nabi ﷺ hendaknya menjadikan setiap perjalanan sebagai kesempatan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, agar waktu yang berlalu membawa keberkahan, bukan kesia-siaan.   35. Dari Tempat Maksiat Menjadi Cahaya Tauhid Rasulullah ﷺ bersabda, “Tempat menetap kita—insya Allah—adalah Khaif Bani Kinanah, yaitu tempat kaum Quraisy saling bersumpah untuk menetapkan kekafiran.” Maksudnya: mereka berkumpul dan bersepakat dalam sebuah sumpah untuk meneguhkan kekafiran. An-Nawawi rahimahullāh menjelaskan bahwa mereka saling bersekutu dan membuat perjanjian untuk mengusir Nabi ﷺ beserta Bani Hāsyim dan Bani Al-Muththalib dari Makkah menuju sebuah lembah sempit. Tempat itu dikenal sebagai Sya‘ib Bani Kinanah. Mereka menulis sebuah piagam terkenal yang berisi berbagai bentuk kebatilan, pemutusan hubungan keluarga, dan kekafiran, lalu menaruhnya di dalam Ka‘bah. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi ﷺ sengaja singgah di tempat itu sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta‘ālā karena agama Allah telah tampak dan ditinggikan. Hanya Allah yang lebih mengetahui hakikatnya. Mungkin juga ada makna lain, yaitu menampakkan ketaatan di tempat yang sebelumnya digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata: “Tempat-tempat yang dahulu menjadi lokasi kekafiran dan maksiat, lalu di sana ditampakkan keimanan dan ketaatan, maka itu adalah hal yang baik.” Contohnya, Nabi ﷺ memerintahkan penduduk Thaif untuk menjadikan masjid sebagai tempat baiat mereka, dan memerintahkan penduduk Yamamah menjadikan masjid sebagai tempat mereka menyatakan penyerahan diri. Dalam ‘Aunul Ma‘būd dijelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya mengubah gereja, tempat jual beli, atau tempat berhala menjadi masjid. Banyak sahabat, ketika menaklukkan negeri-negeri lain, menjadikan tempat ibadah orang kafir—seperti kuil atau gereja—sebagai masjid bagi kaum muslimin. Mereka tidak merusaknya kecuali jika ada unsur penghinaan terhadap kekafiran dan kezhaliman. Di India, raja yang adil dari kalangan Ahlus Sunnah juga melakukan hal yang sama. Bahkan dibangun beberapa masjid di tempat ibadah besar milik orang-orang kafir—semoga Allah menelantarkan mereka.   36. Mengapa Rasulullah ﷺ Memulai dengan Menghancurkan Berhala? Rasulullah ﷺ langsung memulai dengan menghancurkan berhala-berhala dan merobohkan bangunan-bangunan kesyirikan di sekitar Ka‘bah begitu beliau memasuki Makkah. Hal itu karena syirik adalah dosa terbesar, bentuk kezaliman yang paling berat, dan kejahatan yang paling buruk yang tidak boleh dibiarkan. Sebaliknya, menegakkan tauhid dan menyebarkannya adalah bentuk ketaatan yang paling utama dan ibadah yang paling tinggi nilainya. Karena itu, salah satu tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ setelah memasuki Makkah dan tinggal di dalamnya adalah mengutus orang-orang untuk merobohkan rumah-rumah berhala yang berada di sekitar Makkah—tempat yang selama ini dijadikan sesembahan selain Allah, tempat manusia thawaf, dan mendekatkan diri kepadanya. Menghancurkan syirik dalam segala bentuknya, serta menegakkan pilar-pilar tauhid, adalah inti dari risalah Nabi Muhammad ﷺ. Siapa saja yang tidak memberikan hak tauhid dalam hidupnya dan tidak memurnikan ibadah hanya kepada Allah, berarti ia telah mengabaikan perkara terpenting yang dibawa Rasul ﷺ—bahkan seluruh para rasul. Allah Ta‘ālā berfirman: ﴿ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyā’: 25) Baca juga: Bahaya Syirik   37. Sikap Nabi ﷺ terhadap Gambar di Dalam Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram dan melihat ada gambar-gambar di dalam Ka‘bah, beliau langsung merusak dan menghapusnya. Dalam hal ini terdapat ancaman keras bagi para pembuat gambar. Abu Juhafah radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa “Rasulullah ﷺ melaknat para pembuat gambar.” Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu juga berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.’” Ibn Baththal rahimahullāh menjelaskan bahwa pada awalnya Nabi ﷺ melarang segala bentuk gambar, meskipun tidak sempurna, karena masyarakat saat itu baru saja meninggalkan penyembahan terhadap gambar. Larangan tersebut bertujuan memutus pengaruh itu secara total. Setelah larangan tersebut mengakar, Nabi ﷺ memberi keringanan untuk gambar pada pakaian karena ada kebutuhan, seperti pada pakaian anak-anak, dan memberi keringanan untuk gambar pada benda yang diinjak karena tidak diagungkan oleh orang awam. Namun, gambar yang dipasang tanpa adanya kebutuhan, gambar yang hanya menjadi bentuk kemewahan, atau gambar yang memiliki bayangan seperti patung dan sejenisnya—semuanya tidak diperbolehkan karena hal itu menyerupai ciptaan Allah Ta‘ālā. Imam Nawawi rahimahullāh berkata bahwa para sahabat dan para ulama berpendapat: menggambar makhluk bernyawa adalah haram dengan larangan yang sangat keras, dan termasuk dosa besar. Jika gambarnya berada pada pakaian, atau digantung di dinding, atau berada pada kain penutup, sorban, dan semacamnya, maka tetap haram. Jika gambarnya berada pada alas kaki, bantal, atau tempat duduk—yakni benda yang direndahkan—maka tidak haram, tetapi malaikat rahmat tidak masuk ke rumah tersebut. Beliau menambahkan bahwa malaikat yang tidak masuk ke rumah yang ada gambar atau anjingnya adalah malaikat rahmat dan malaikat yang memohonkan ampun. Adapun malaikat pencatat amal tetap masuk ke setiap rumah dan tidak pernah berpisah dari manusia, karena mereka bertugas mencatat dan menghitung amal. Manusia di masa sekarang sudah sangat meremehkan masalah gambar. Banyak rumah dipenuhi hiasan, lukisan, atau patung hanya demi pamer dan bermegah-megahan, padahal ancaman bagi pembuat dan pemilik gambar sangat keras. Siapa saja yang merenungkan dalil-dalil tentang gambar akan merasa takut jika mengikuti hawa nafsunya. Nasihatnya: segeralah membersihkan rumah dari gambar, kecuali gambar resmi untuk keperluan identitas, paspor, atau dokumen penting lainnya. Jangan biarkan ada gambar atau patung yang diagungkan di dalam rumah, karena malaikat rahmat dan istighfar tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut. Wallāhu a‘lam. Baca juga: Hukum Mengambil Foto dengan Kamera   38. Pelajaran Amanah dari Pengembalian Kunci Ka‘bah Ketika Rasulullah ﷺ mengembalikan kunci Ka‘bah kepada ‘Utsmān bin Thalhah, terdapat pelajaran besar tentang menunaikan amanah. Saat menyerahkan kembali kunci itu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Hari ini adalah hari kebajikan dan kesetiaan.”   39. Pemaafan Nabi ﷺ terhadap Quraisy Di antara akhlak agung Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau memaafkan kaum musyrik Quraisy yang telah menyakiti beliau, mengusir beliau dari Makkah, dan memerangi beliau. Ketika beliau telah mengalahkan dan menguasai mereka, beliau hanya berkata: “Pergilah, kalian bebas.” Pemaafan ini mencakup seluruh penduduk Makkah, termasuk orang-orang kafir yang sebelumnya diperintahkan untuk dibunuh. Sikap mulia ini menjadi sebab banyak penduduk Makkah—laki-laki maupun perempuan—masuk Islam dengan kerelaan, pilihan sendiri, dan ketertarikan kepada agama ini.   40. Keteladanan dalam Memuliakan Orang Tua Ketika Abu Bakar datang bersama ayahnya yang sudah sangat tua, Rasulullah ﷺ berkata: “Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua itu tetap di rumahnya, hingga aku yang mendatanginya?” Dari ucapan ini kita mengambil pelajaran tentang akhlak mulia Rasulullah ﷺ, kerendahan hati beliau, serta tuntunan syariat untuk memuliakan orang yang lebih tua dan menghormatinya. Nabi ﷺ mencontohkannya secara langsung melalui kisah ini. Beliau juga bersabda: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kami dan tidak menghormati yang besar di antara kami.” (Shahih Al-Jaami’, no. 5445; Shahih menurut Syaikh Al-Albani; Hadits dari Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash)   41. Ucapan Selamat atas Nikmat Agama Dari ucapan Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar ketika ayah beliau masuk Islam, kita dapat mengambil pelajaran bahwa memberikan ucapan selamat atas datangnya kebaikan agama adalah sesuatu yang disyariatkan. Hal ini juga terlihat dalam kisah Ka‘b bin Malik ketika ia bertaubat kepada Allah; para sahabat radhiyallāhu ‘anhum memberi ucapan selamat kepadanya. Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa memberikan ucapan selamat atas kenikmatan agama, berdiri menyambutnya ketika ia datang, dan berjabat tangan dengannya adalah sunnah yang dianjurkan. Ini diperbolehkan bagi seseorang yang baru mendapatkan kenikmatan agama. Tidak disebutkan adanya ucapan selamat atas kenikmatan dunia.” Beliau juga menyebutkan bahwa ucapan selamat untuk kenikmatan dunia tetap diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh.   Masih bersambung insya Allah …   Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat Sore, 14-11-2025, 23 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfaedah sirah nabi fathu makkah peperangan dalam islam peperangan di masa Rasulullah perang di masa nabi sirah nabi

Tiga Tingkatan Itsar Menurut Ibnul Qayyim: Mendahulukan Orang Lain dan Keridaan Allah

Itsar—mendahulukan orang lain di atas diri sendiri—merupakan salah satu akhlak tertinggi dalam Islam. Namun, para ulama menjelaskan bahwa itsar tidak hanya sebatas memberi atau berkorban untuk sesama. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij As-Salikin menerangkan bahwa itsar memiliki tingkatan yang jauh lebih dalam: mulai dari mengutamakan kebutuhan orang lain, hingga mendahulukan keridaan Allah di atas keridaan seluruh makhluk, bahkan sampai pada derajat menyandarkan seluruh kebaikan hanya kepada Allah. Setiap tingkatannya memiliki batasan, adab, dan cara meraihnya, sehingga seorang Muslim dapat menjalani akhlak ini tanpa merusak agamanya dan tetap menjaga hubungannya dengan Allah. Tulisan ini merangkum penjelasan tersebut secara ringkas, sistematis, dan mudah dipahami agar pembaca dapat menerapkan makna itsar dalam kehidupan sehari-hari.   Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Madaarij As-Salikiin berkata, Tingkatan pertama: Engkau mendahulukan orang lain atas dirimu pada hal-hal yang tidak merusak agamamu, tidak memutus jalanmu menuju Allah, dan tidak merusak waktumu. Maksudnya: engkau mengutamakan mereka atas dirimu dalam kebutuhan mereka. Misalnya, engkau memberi mereka makanan sementara engkau sendiri lapar, memberi mereka pakaian sementara engkau kekurangan, atau memberi mereka minum sementara engkau sendiri kehausan—selama hal itu tidak membuatmu melakukan sesuatu yang merusak dan tidak boleh menurut agama. Contohnya, engkau mengutamakan mereka dengan hartamu sampai akhirnya engkau menjadi beban bagi orang lain, memandang kepada apa yang ada di tangan manusia, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Termasuk juga mengutamakan mereka dalam sesuatu yang menurut agama sebenarnya tidak boleh engkau berikan. Itu semua adalah tindakan bodoh dan lemah. Pelakunya tercela di sisi Allah dan juga di sisi manusia. Adapun perkataannya, “tidak memutus jalanmu”, maksudnya adalah tidak memutus jalan pencarianmu dan perjalananmu menuju Allah Ta‘ala. Contohnya, engkau mendahulukan teman dudukmu daripada dzikirmu, atau daripada perhatian dan kekhusyukanmu kepada Allah. Dengan begitu, engkau telah mengutamakannya atas Allah. Engkau mengorbankan bagianmu dari Allah untuk sesuatu yang tidak layak diutamakan. Perumpamaanmu seperti seorang musafir yang sedang berjalan di jalan. Lalu ada seseorang yang menghentikannya dan mengajaknya mengobrol serta melalaikannya hingga ia tertinggal dari rombongannya. Inilah keadaan kebanyakan manusia terhadap seseorang yang benar-benar sedang berjalan menuju Allah Ta‘ala. Mengutamakan mereka atas Allah adalah kerugian yang nyata. Betapa banyak orang yang mendahulukan makhluk selain Allah, dan betapa sedikit orang yang mendahulukan Allah di atas selain-Nya. Demikian juga, itsar yang merusak waktu pelakunya adalah perbuatan buruk. Misalnya, ia mengutamakan orang lain dengan waktunya, lalu ia sibuk memikirkan gantinya (apa yang hilang), atau ia mengorbankan sesuatu yang sebelumnya telah menyatukan hati dan pikirannya kepada Allah, lalu hatinya kembali tercerai-berai dan pikirannya terpecah. Ini juga termasuk bentuk itsar yang tidak terpuji. Begitu pula itsar dalam bentuk kesibukan hati dan pikiran untuk memenuhi kepentingan mereka—padahal itu bukan kewajiban atasmu—hingga engkau kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat, dan kehilangan kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Allah. Contoh-contoh semacam ini sangat banyak dan tidak samar. Bahkan, beginilah keadaan kebanyakan manusia. Setiap sebab yang membawa kebaikan bagi hatimu, waktumu, dan keadaanmu bersama Allah, maka jangan engkau dahulukan siapa pun atasnya. Jika engkau melakukannya, maka sebenarnya engkau sedang mendahulukan setan atas Allah, sementara engkau tidak menyadarinya. Perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dalam mendahulukan seseorang atas Allah—bahkan orang yang justru memudaratkan mereka ketika mereka utamakan, dan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Kebodohan dan kecerobohan apa yang lebih parah daripada ini? Dari sini para ulama fikih membahas mengenai itsar dalam ibadah-ibadah yang bernilai dekat (kepada Allah). Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh atau haram. Contohnya, seseorang mengutamakan orang lain untuk mendapatkan saf pertama lalu ia sendiri mundur, atau mengutamakan orang lain agar duduk dekat imam pada hari Jumat, atau mengutamakan orang lain untuk melakukan azan dan iqamah, atau mengutamakan orang lain dalam ilmu yang seharusnya ia dapatkan untuk dirinya, lalu ia mengangkat orang itu di atas dirinya sehingga orang itu memperoleh keutamaan tersebut sedangkan ia kehilangan. Mereka juga membahas mengenai tindakan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengutamakan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk dimakamkan di kamar beliau di dekat Rasulullah ﷺ. Para ulama menjawab bahwa ketika seseorang meninggal, amalnya terputus. Maka tidak mungkin terjadi itsar dalam bentuk kedekatan (ibadah) setelah kematian, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin lagi mendapatkan kedekatan semacam itu. Hal yang terjadi hanyalah itsar berupa memberikan tempat tinggal yang mulia dan utama bagi seseorang yang lebih layak mendapatkannya daripada diri Aisyah sendiri. Maka itsar seperti itu justru menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi orang yang melakukannya. Allah-lah yang lebih mengetahui.   Cara mewujudkan itsar jenis ini Itsar (mendahulukan orang lain) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan tiga hal: mengagungkan hak-hak (orang lain), membenci sifat kikir, dan memiliki keinginan kuat untuk meraih akhlak yang mulia. Beliau menyebutkan hal-hal yang membantu seseorang untuk mampu beritsar dan mendorongnya agar mampu melakukannya. Ada tiga hal. Pertama: Mengagungkan hak-hak (orang lain). Seseorang yang memandang bahwa hak-hak itu sesuatu yang agung, maka ia akan menunaikan kewajibannya, menjaga hak tersebut dengan baik, dan menganggap besar bila ia menyia-nyiakannya. Ia pun akan sadar bahwa jika ia belum mencapai derajat itsar, berarti ia belum menunaikan hak tersebut sebagaimana mestinya. Karena itu, ia menjadikan itsar sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat menunaikan hak tersebut dengan sempurna. Kedua: Membenci sifat kikir. Ketika seseorang membenci dan memusuhi sifat kikir, ia akan berpegang pada itsar. Ia melihat bahwa tidak ada jalan baginya untuk selamat dari sifat kikir yang dibenci itu kecuali dengan beritsar. Ketiga: Keinginan kuat terhadap akhlak yang mulia. Seberapa besar keinginannya terhadap akhlak yang mulia, sebesar itu pula itsarnya. Sebab, itsar adalah tingkatan paling tinggi dari akhlak yang mulia.   Tingkatan kedua: mendahulukan keridaan Allah atas keridaan selain-Nya, sekalipun ujian di dalamnya besar, beban yang ditanggung berat, dan kemampuan diri serta fisik terasa lemah. Mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas selain-Nya berarti: engkau menginginkan dan melakukan sesuatu yang mendatangkan keridaan-Nya, meskipun hal itu membuat manusia marah. Inilah derajat para nabi, dan tingkatan tertingginya dimiliki oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Di antara mereka pun, tingkatan tertinggi adalah milik ulul ‘azmi, dan dari seluruh ulul ‘azmi, tingkatan tertinggi adalah milik Nabi kita Muhammad ﷺ. Beliau menghadapi seluruh manusia, total dalam berdakwah kepada Allah, menanggung permusuhan orang-orang jauh maupun dekat karena Allah Ta‘ala, dan mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk dari semua sisi. Tidak ada celaan dari siapa pun yang dapat menghalangi beliau dalam mengutamakan keridaan Allah. Seluruh perhatian, tekad, dan usahanya tertuju hanya pada mengutamakan keridaan Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Hingga agama Allah tampak di atas seluruh agama, hujah-Nya tegak atas seluruh manusia, dan nikmat-Nya sempurna bagi orang-orang beriman. Maka beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, berjihad di jalan Allah sebagaimana mestinya, dan beribadah kepada Allah hingga datang kepadanya “keyakinan” (kematian) dari Rabbnya. Tidak ada seorang pun yang mencapai derajat itsar seperti yang dicapai beliau. Shalawat dan salam Allah atas beliau. Adapun ucapannya: “sekalipun ujian di dalamnya besar dan beban yang ditanggung berat,” maka ujian itu pada awalnya memang terasa berat agar orang yang bukan ahlinya tersingkir. Bila seseorang menanggungnya dan terus maju, ujian itu akan berubah menjadi karunia, dan beban itu akan berubah menjadi pertolongan. Hal ini dikenal berdasarkan pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun umum. Tidaklah seorang hamba mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas keridaan makhluk, lalu ia menanggung beratnya dan bebannya, serta bersabar terhadap ujiannya, melainkan Allah akan menjadikan dari ujian dan beban itu nikmat dan kebahagiaan, serta pertolongan sebesar apa yang ia tanggung demi keridaan-Nya. Ketakutannya berubah menjadi rasa aman, hal yang ia khawatirkan berubah menjadi keselamatan, kelelahan berubah menjadi istirahat, bebannya berubah menjadi pertolongan, musibahnya berubah menjadi nikmat, ujiannya berubah menjadi anugerah, dan kemurkaan (manusia) berubah menjadi keridaan. Sungguh merugi orang-orang yang mundur, dan sungguh hina orang-orang yang takut mengambil langkah. Selain itu, telah menjadi sunnatullah—yang tidak akan berubah—bahwa siapa yang lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan-Nya, maka Allah akan membuat orang yang ia berharap ridhanya itu justru marah kepada dirinya, kemudian Allah akan menelantarkannya, dan menjadikan musibahnya berasal dari orang itu sendiri. Orang yang dulu memujinya akan berubah mencelanya. Ia akan mengutamakan keridaan makhluk yang ternyata marah kepadanya. Maka tidaklah ia mendapatkan apa yang ia inginkan dari makhluk, dan tidak pula ia memperoleh pahala keridaan Rabbnya. Ini adalah orang yang paling lemah dan paling bodoh. Ini semua terjadi padahal keridaan manusia itu: bukan sesuatu yang mungkin sepenuhnya dicapai, bukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicari, dan bukan pula sesuatu yang diriwayatkan sebagai tujuan. Keridaan manusia itu mustahil sepenuhnya. Justru, pasti akan ada saja yang marah kepadamu. Maka, biarlah mereka marah tetapi engkau mendapatkan keridaan Allah—ini lebih engkau cintai dan lebih bermanfaat bagimu dibanding mereka ridha kepadamu sementara Allah tidak ridha kepadamu. Selama keduanya sama-sama berpotensi menimbulkan kemurkaan manusia—baik engkau mengutamakan Allah maupun mereka—maka pilihlah kemurkaan mereka yang justru membawa keridaan Allah. Jika setelah itu mereka ridha kepadamu, maka itu baik. Jika tidak, tidak masalah. Sebab, keridaan orang yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak pula memberi mudarat kepadamu—baik dalam agamamu, imanmu, maupun akhiratmu—adalah perkara yang paling ringan. Jika mereka memberi mudarat kepadamu dalam urusan dunia, maka kemurkaan Allah jauh lebih berat dan lebih besar bahayanya. Kecerdasan yang benar adalah ketika seseorang menanggung keburukan yang lebih kecil untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dan meninggalkan kebaikan yang kecil untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Maka timbanglah dengan akalmu. Setelah itu, lihatlah mana yang lebih baik untuk diutamakan, dan mana yang lebih buruk untuk dijauhi. Inilah dalil yang pasti dan niscaya dalam mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk. Ini semua berlaku karena jika seseorang mengutamakan keridaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari beban menghadapi kemurkaan manusia. Tetapi jika ia mengutamakan keridaan manusia, mereka tidak akan mampu mencukupinya dari beban kemurkaan Allah kepadanya. Sebagian salaf berkata, “Mengusahakan (keridaan) satu wajah lebih ringan bagimu daripada mengusahakan wajah banyak orang. Jika engkau mengusahakan keridaan satu wajah itu (yakni Allah), maka Ia akan mencukupimu dari semua wajah lainnya.” Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keridaan manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Karenanya, berpeganglah pada apa yang menjadi kebaikan dirimu, lalu istiqamahilah.” Dan sudah jelas bahwa tidak ada kebaikan bagi diri seseorang kecuali dengan mengutamakan keridaan Rabb dan Tuannya atas selain-Nya. Sungguh bagus bait syair Abu Firas dalam makna ini—namun sangat buruk arah ucapannya karena ia menujukannya kepada makhluk yang tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri maupun orang lain: Seandainya engkau manis, walau hidup ini pahit. Seandainya engkau ridha, saat seluruh manusia murka. Andai yang antara aku dan engkau menjadi baik, dan antara aku dan seluruh manusia menjadi rusak. Jika kasih sayang darimu benar adanya, maka segalanya menjadi ringan. Dan seluruh yang berada di atas tanah ini hanyalah tanah.   Cara mewujudkan itsar jenis ini “Itsar ini hanya dapat diwujudkan dengan tiga hal: baiknya tabiat, sempurnanya keislaman, dan kuatnya kesabaran.” Sudah diketahui bahwa seseorang yang mengutamakan keridaan Allah pasti akan menghadapi permusuhan manusia, gangguan mereka, dan usaha mereka untuk membinasakannya—dan itu tidak dapat dihindari. Inilah sunnatullah pada makhluk-Nya. Kalau tidak demikian, apa salah para nabi dan rasul? Apa salah orang-orang yang memerintahkan keadilan di tengah manusia? Apa salah para penjaga agama Allah dan para pembela kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya di hadapan manusia? Maka siapa pun yang mengutamakan keridaan Allah, niscaya ia akan dimusuhi oleh orang-orang rendahan di dunia, sampah masyarakat, orang-orang rakus, para pendengki dan orang-orang bodoh, para ahli bid‘ah dan kefasikan, para penguasa yang zalim, dan setiap orang yang menyelisihi petunjuk Allah. Tidak ada yang berani menghadapi permusuhan mereka kecuali orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah, dan orang yang bekerja keras untuk menjadi hamba yang mendengar panggilan: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai.” Hanya orang yang keislamannya kokoh dan sempurna yang mampu menghadapi semua itu—keislaman yang tidak digoyahkan oleh manusia dan tidak digetarkan oleh gunung-gunung. Juga hanya orang yang ikatan kesabarannya kuat, yang tidak terurai oleh ujian, cobaan, dan rasa takut. Aku berkata: Pokok utama semua ini ada dua hal: zuhud terhadap kehidupan (dunia) dan zuhud terhadap pujian manusia. Tidaklah seseorang menjadi lemah dan mundur kecuali karena cintanya pada kehidupan dunia, keinginannya untuk tetap hidup, serta cintanya terhadap pujian manusia dan kebenciannya terhadap celaan mereka. Jika seseorang zuhud terhadap dua hal ini, maka segala rintangan akan menjauh darinya. Saat itulah ia akan terjun sepenuhnya dalam pasukan yang berjuang menuju Allah. Adapun pokok dari dua perkara ini bertumpu pada dua hal: kebenaran yakin dan kekuatan cinta (kepada Allah). Dan pokok dari dua perkara itu pun bertumpu pada dua perkara lagi: tulus dalam bergantung kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam mencari (keridaan-Nya), serta bersegera mengambil sebab-sebab yang mengantarkan kepada keduanya. Sampai di sinilah batas kemampuan dan pengetahuan manusia. Adapun taufik berada di tangan Zat yang menguasai seluruh urusan. “Dan kalian tidak akan mampu (berkehendak) kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa saja yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, bagi mereka disiapkan azab yang pedih.”   Tingkatan ketiga: mengutamakan itsar Allah itu sendiri. Sebab, terjun ke dalam pengakuan itsar berarti klaim terhadap kepemilikan. Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat Allah beritsar. Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan hal itu. Yang dimaksud dengan “mengutamakan itsar Allah” adalah: engkau menisbatkan itsar itu kepada Allah, bukan kepada dirimu. Dialah yang sebenarnya beritsar, bukan engkau. Seolah-olah engkau menyerahkan seluruh makna itsar hanya kepada-Nya. Jika engkau mengutamakan orang lain dalam suatu hal, maka sebenarnya yang mengutamakannya adalah Allah, bukan engkau. Dialah yang benar-benar melakukan itsar, karena Dialah yang memberi dalam hakikatnya. Kemudian syaikh menjelaskan sebab yang membuat itsar itu layak disandarkan kepada Allah dan ditinggalkan dari penisbatan kepada diri sendiri. Beliau berkata: “Sebab, terjun dalam itsar adalah klaim terhadap kepemilikan.” Jika seorang hamba mengaku bahwa ia melakukan itsar, berarti ia mengklaim memiliki sesuatu yang ia gunakan untuk mengutamakan orang lain. Padahal kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah, yang memiliki segala sesuatu. Jika hamba keluar dari klaim kepemilikan, maka ia telah mengutamakan itsar Allah—yang berupa pemberian-Nya—di atas itsar dirinya sendiri. Ia menyaksikan bahwa hanya Allah semata yang beritsar dengan kepemilikan-Nya. Adapun mereka yang tidak memiliki apa pun, itsar apa yang bisa mereka lakukan? Adapun ucapan beliau: “Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat itsar Allah.” Maksudnya: ketika engkau sudah mengutamakan itsar Allah dengan menyerahkan makna itsar kepada-Nya, maka masih ada sisa dari dirimu yang harus engkau tinggalkan. Yaitu: engkau harus berpaling dari perasaan melihat dirimu bahwa engkau telah mengutamakan Allah melalui itsar itu, dan bahwa engkau menisbatkan itsar kepada-Nya, bukan kepada dirimu. Sebab, dalam penyaksian dan pandangan seperti itu terdapat klaim lain—yang lebih besar daripada klaim kepemilikan—yaitu klaim bahwa engkau memiliki sesuatu yang engkau gunakan untuk mengutamakan Allah, dan bahwa engkau mendahulukan-Nya atas dirimu melalui sesuatu yang engkau miliki. Klaim ini lebih sulit daripada klaim sebelumnya, karena mencakup seluruh kandungan klaim kepemilikan dan bahkan lebih dari itu, yaitu pengakuan bahwa engkau beritsar dengan sesuatu tersebut. Klaim pertama adalah klaim kepemilikan karena engkau beritsar dengannya, sedangkan klaim kedua adalah klaim kepemilikan sekaligus klaim beritsar dengannya. Karena itu, engkau harus meninggalkan penyaksian terhadap itsar ini. Jangan mengira bahwa engkau telah mengutamakan Allah dengan itsar tersebut. Sebab, Allah-lah yang telah mendahulukan hal itu untuk diri-Nya tanpa dirimu. Itsar itu wajib bagi Allah karena Dia sendiri yang menetapkannya bagi diri-Nya, bukan karena engkau yang menetapkannya untuk-Nya. Adapun ucapan beliau: “Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan (penisbatan) itu.” Maksudnya: ketika engkau telah sampai pada tingkat penyaksian tersebut, dan engkau telah melihat hakikat itu, masih ada satu sisa lagi dalam dirimu yang harus hilang. Yaitu: pandanganmu terhadap tindakan “meninggalkan” itu, sebuah pandangan yang mengandung klaim bahwa engkau memiliki “tindakan meninggalkan” tersebut. Padahal klaim semacam itu adalah klaim yang tidak benar. Sebab, seorang hamba tidak memiliki bagian sedikit pun dalam urusan apa pun. Tidak ada pada dirinya kekuasaan untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Sesungguhnya seluruh urusan ada di tangan Allah. Telah jelas melalui penyingkapan (kasyf), penyaksian (syuhud), ilmu, dan ma‘rifat, bahwa seorang hamba pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Ia sama sekali tidak memiliki kepemilikan yang sejati. Pemilik yang hakiki hanyalah Tuannya (Allah). Maka sikap mendahulukan (al-atsarah), beritsar, dan mengambil untuk diri-Nya (istitsar)—semuanya hanya milik Allah, berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Baik hamba memilih hal itu dan mengetahuinya, atau tidak mengetahuinya, atau tidak memilihnya—itsar itu tetap terjadi. Baik hamba membencinya atau menyukainya. Sebab, itsar itu adalah bentuk Allah sebagai Pemilik yang hakiki yang mendahulukan diri-Nya dengan apa yang menjadi milik-Nya. Maha tinggi Allah. Dari sinilah dapat dipahami ucapan beliau: “Sesungguhnya itsar itu baik bila dilakukan dengan sukarela, dan sah bila dilakukan secara terpaksa.” Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui. Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dari Madaarij As-Saalikin.    Ringkasan Bahasan I. TIGA MACAM ITSAR (MENDAHULUKAN PIHAK LAIN) Menurut Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin, itsar terbagi menjadi tiga tingkatan: 1. Itsar Tingkat Pertama: Mendahulukan Sesama atas Diri Sendiri Yaitu mendahulukan kebutuhan orang lain asalkan tidak merusak: Agamanya Perjalanan spiritualnya menuju Allah Waktunya yang berharga 2. Itsar Tingkat Kedua: Mendahulukan Keridaan Allah atas Keridaan Makhluk Yaitu mengutamakan apa yang diridhai Allah sekalipun mendatangkan ketidaksukaan manusia, bahkan bila ujian dan beban terasa berat. 3. Itsar Tingkat Ketiga: Mengutamakan Itsar Allah Sendiri Yaitu menyandarkan seluruh pemberian dan pengorbanan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri, sampai seseorang tidak lagi menganggap bahwa dirinya memiliki peran apa pun dalam pemberian tersebut. II. RINGKASAN ISI SETIAP TINGKATAN 1. Ringkasan Tingkatan Pertama: Mendahulukan orang lain tanpa merusak diri Hal yang ditekankan Ibnul Qayyim: Boleh memberi makan, pakaian, dan bantuan kepada orang lain selama tidak membuat diri terjatuh pada kemiskinan yang tercela, meminta-minta, atau menanggung dampak buruk agama. Tidak boleh mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah yang bersifat kedekatan (seperti saf pertama, azan, ilmu wajib). Itsar tidak boleh merusak hubungan dengan Allah, seperti mengutamakan teman ngobrol daripada zikir. Itsar tidak boleh merusak waktu, fokus hati, atau ibadah. Kaedah penting: ➜ “Segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi hati, waktu, dan hubunganmu dengan Allah tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” 2. Ringkasan Tingkatan Kedua: Mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk Inti bahasan: Inilah derajat para nabi dan rasul, khususnya Rasulullah ﷺ. Siapa yang mengutamakan Allah pasti diuji: dimusuhi, dicela, disakiti oleh manusia. Namun, bila ia sabar dan tetap mendahulukan Allah: Ujian berubah menjadi nikmat Ketakutan menjadi rasa aman Beban menjadi pertolongan Musibah menjadi anugerah Sunnatullah yang pasti: ➜ “Siapa yang mengejar keridaan manusia, Allah akan membuat manusia murka padanya. Siapa yang mengejar keridaan Allah, Allah akan mencukupinya dari semua manusia.” Kaedah akal sehat: ➜ Menanggung keburukan kecil demi menghindari keburukan besar adalah tanda cerdas.➜ Maka biarkan manusia marah, selama Allah ridha. 3. Ringkasan Tingkatan Ketiga: Mengutamakan itsar Allah (tingkatan ma’rifat tertinggi) Makna intinya: Menyadari bahwa semua pemberian berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri. Ketika seseorang merasa “aku telah memberi”, itu sebenarnya klaim kepemilikan, padahal hamba tidak memiliki apa pun. Tidak cukup menyadari bahwa “itsar ini dari Allah”, tetapi juga harus hilang dari perasaan bahwa “aku telah meninggalkan diriku demi Allah” karena itu pun mengandung klaim. Hakikat tertinggi: semua berasal dari Allah, berlangsung karena Allah, dan kembali kepada Allah. Kaedah tauhid dalam pemberian: ➜ “Itsar itu baik bila dilakukan rela, dan sah bila dilakukan terpaksa; karena semuanya adalah milik Allah dan terjadi dengan kehendak-Nya.” III. CARA MENGGAPAI ITSAR PADA SETIAP TINGKATAN A. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Pertama (Mendahulukan orang lain) Dicapai melalui tiga perkara: 1. Mengagungkan hak-hak manusia Menjunjung tinggi hak-hak orang lain membuat seseorang berusaha menunaikannya dengan sempurna, bahkan kadang menggunakan itsar sebagai bentuk kehati-hatian. 2. Membenci sifat kikir Orang yang membenci kekikiran akan mencari jalan keluar darinya, yaitu dengan beritsar. 3. Rindu terhadap akhlak mulia Semakin tinggi keinginan terhadap akhlak mulia, semakin mudah someone beritsar. B. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Kedua (Mendahulukan Allah atas selain-Nya) Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan tiga modal besar: 1. Baiknya tabiat dan jiwa Jiwa yang baik lebih siap memikul beban untuk Allah. 2. Kuatnya keislaman Islam yang kuat membuat seseorang tidak goyah oleh celaan manusia dan tidak gentar menghadapi musuh-musuh kebenaran. 3. Kesabaran yang besar Karena jalan menuju keridaan Allah penuh cobaan, seseorang harus kuat memikulnya. Dua fondasi utama tambahan: Zuhud terhadap dunia Zuhud terhadap pujian manusia Dan dua penguat fondasi: Yakin yang benar Cinta kepada Allah Penggerak dua hal itu: Tulus bergantung kepada Allah Sungguh-sungguh mencari keridaan-Nya C. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Ketiga (Mengutamakan itsar Allah) Tingkat ini hanya diraih dengan: 1. Membersihkan hati dari klaim kepemilikan Menyadari bahwa hamba tidak memiliki apa pun untuk diitsarkan. 2. Menyandarkan pemberian dan pengorbanan hanya kepada Allah Melihat bahwa Dialah yang memberi, memilih, dan mendahulukan. 3. Hilangnya perasaan diri dalam amal Tidak melihat diri sebagai pelaku, tetapi Allah-lah yang menggagas dan menyempurnakan kebaikan. Penutup ➜ Itsar pertama: akhlak mulia yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja.➜ Itsar kedua: derajat para nabi dan para pewarisnya.➜ Itsar ketiga: derajat ma’rifat tertinggi, hanya dicapai oleh hati yang tenggelam dalam tauhid dan penyerahan total kepada Allah. Baca juga: Kisah Itsar dari Para Salaf   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Pagi, 15-11-2025, 24 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia dermawan faedah dari Ibnul Qayyim ibnu qayyim ibnul qayyim itsar kesabaran Madarij As-Salikin mendahulukan orang lain nasihat ibnul qayyim ridha Allah tasawuf sunnah tazkiyatun nafs zuhud

Tiga Tingkatan Itsar Menurut Ibnul Qayyim: Mendahulukan Orang Lain dan Keridaan Allah

Itsar—mendahulukan orang lain di atas diri sendiri—merupakan salah satu akhlak tertinggi dalam Islam. Namun, para ulama menjelaskan bahwa itsar tidak hanya sebatas memberi atau berkorban untuk sesama. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij As-Salikin menerangkan bahwa itsar memiliki tingkatan yang jauh lebih dalam: mulai dari mengutamakan kebutuhan orang lain, hingga mendahulukan keridaan Allah di atas keridaan seluruh makhluk, bahkan sampai pada derajat menyandarkan seluruh kebaikan hanya kepada Allah. Setiap tingkatannya memiliki batasan, adab, dan cara meraihnya, sehingga seorang Muslim dapat menjalani akhlak ini tanpa merusak agamanya dan tetap menjaga hubungannya dengan Allah. Tulisan ini merangkum penjelasan tersebut secara ringkas, sistematis, dan mudah dipahami agar pembaca dapat menerapkan makna itsar dalam kehidupan sehari-hari.   Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Madaarij As-Salikiin berkata, Tingkatan pertama: Engkau mendahulukan orang lain atas dirimu pada hal-hal yang tidak merusak agamamu, tidak memutus jalanmu menuju Allah, dan tidak merusak waktumu. Maksudnya: engkau mengutamakan mereka atas dirimu dalam kebutuhan mereka. Misalnya, engkau memberi mereka makanan sementara engkau sendiri lapar, memberi mereka pakaian sementara engkau kekurangan, atau memberi mereka minum sementara engkau sendiri kehausan—selama hal itu tidak membuatmu melakukan sesuatu yang merusak dan tidak boleh menurut agama. Contohnya, engkau mengutamakan mereka dengan hartamu sampai akhirnya engkau menjadi beban bagi orang lain, memandang kepada apa yang ada di tangan manusia, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Termasuk juga mengutamakan mereka dalam sesuatu yang menurut agama sebenarnya tidak boleh engkau berikan. Itu semua adalah tindakan bodoh dan lemah. Pelakunya tercela di sisi Allah dan juga di sisi manusia. Adapun perkataannya, “tidak memutus jalanmu”, maksudnya adalah tidak memutus jalan pencarianmu dan perjalananmu menuju Allah Ta‘ala. Contohnya, engkau mendahulukan teman dudukmu daripada dzikirmu, atau daripada perhatian dan kekhusyukanmu kepada Allah. Dengan begitu, engkau telah mengutamakannya atas Allah. Engkau mengorbankan bagianmu dari Allah untuk sesuatu yang tidak layak diutamakan. Perumpamaanmu seperti seorang musafir yang sedang berjalan di jalan. Lalu ada seseorang yang menghentikannya dan mengajaknya mengobrol serta melalaikannya hingga ia tertinggal dari rombongannya. Inilah keadaan kebanyakan manusia terhadap seseorang yang benar-benar sedang berjalan menuju Allah Ta‘ala. Mengutamakan mereka atas Allah adalah kerugian yang nyata. Betapa banyak orang yang mendahulukan makhluk selain Allah, dan betapa sedikit orang yang mendahulukan Allah di atas selain-Nya. Demikian juga, itsar yang merusak waktu pelakunya adalah perbuatan buruk. Misalnya, ia mengutamakan orang lain dengan waktunya, lalu ia sibuk memikirkan gantinya (apa yang hilang), atau ia mengorbankan sesuatu yang sebelumnya telah menyatukan hati dan pikirannya kepada Allah, lalu hatinya kembali tercerai-berai dan pikirannya terpecah. Ini juga termasuk bentuk itsar yang tidak terpuji. Begitu pula itsar dalam bentuk kesibukan hati dan pikiran untuk memenuhi kepentingan mereka—padahal itu bukan kewajiban atasmu—hingga engkau kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat, dan kehilangan kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Allah. Contoh-contoh semacam ini sangat banyak dan tidak samar. Bahkan, beginilah keadaan kebanyakan manusia. Setiap sebab yang membawa kebaikan bagi hatimu, waktumu, dan keadaanmu bersama Allah, maka jangan engkau dahulukan siapa pun atasnya. Jika engkau melakukannya, maka sebenarnya engkau sedang mendahulukan setan atas Allah, sementara engkau tidak menyadarinya. Perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dalam mendahulukan seseorang atas Allah—bahkan orang yang justru memudaratkan mereka ketika mereka utamakan, dan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Kebodohan dan kecerobohan apa yang lebih parah daripada ini? Dari sini para ulama fikih membahas mengenai itsar dalam ibadah-ibadah yang bernilai dekat (kepada Allah). Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh atau haram. Contohnya, seseorang mengutamakan orang lain untuk mendapatkan saf pertama lalu ia sendiri mundur, atau mengutamakan orang lain agar duduk dekat imam pada hari Jumat, atau mengutamakan orang lain untuk melakukan azan dan iqamah, atau mengutamakan orang lain dalam ilmu yang seharusnya ia dapatkan untuk dirinya, lalu ia mengangkat orang itu di atas dirinya sehingga orang itu memperoleh keutamaan tersebut sedangkan ia kehilangan. Mereka juga membahas mengenai tindakan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengutamakan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk dimakamkan di kamar beliau di dekat Rasulullah ﷺ. Para ulama menjawab bahwa ketika seseorang meninggal, amalnya terputus. Maka tidak mungkin terjadi itsar dalam bentuk kedekatan (ibadah) setelah kematian, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin lagi mendapatkan kedekatan semacam itu. Hal yang terjadi hanyalah itsar berupa memberikan tempat tinggal yang mulia dan utama bagi seseorang yang lebih layak mendapatkannya daripada diri Aisyah sendiri. Maka itsar seperti itu justru menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi orang yang melakukannya. Allah-lah yang lebih mengetahui.   Cara mewujudkan itsar jenis ini Itsar (mendahulukan orang lain) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan tiga hal: mengagungkan hak-hak (orang lain), membenci sifat kikir, dan memiliki keinginan kuat untuk meraih akhlak yang mulia. Beliau menyebutkan hal-hal yang membantu seseorang untuk mampu beritsar dan mendorongnya agar mampu melakukannya. Ada tiga hal. Pertama: Mengagungkan hak-hak (orang lain). Seseorang yang memandang bahwa hak-hak itu sesuatu yang agung, maka ia akan menunaikan kewajibannya, menjaga hak tersebut dengan baik, dan menganggap besar bila ia menyia-nyiakannya. Ia pun akan sadar bahwa jika ia belum mencapai derajat itsar, berarti ia belum menunaikan hak tersebut sebagaimana mestinya. Karena itu, ia menjadikan itsar sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat menunaikan hak tersebut dengan sempurna. Kedua: Membenci sifat kikir. Ketika seseorang membenci dan memusuhi sifat kikir, ia akan berpegang pada itsar. Ia melihat bahwa tidak ada jalan baginya untuk selamat dari sifat kikir yang dibenci itu kecuali dengan beritsar. Ketiga: Keinginan kuat terhadap akhlak yang mulia. Seberapa besar keinginannya terhadap akhlak yang mulia, sebesar itu pula itsarnya. Sebab, itsar adalah tingkatan paling tinggi dari akhlak yang mulia.   Tingkatan kedua: mendahulukan keridaan Allah atas keridaan selain-Nya, sekalipun ujian di dalamnya besar, beban yang ditanggung berat, dan kemampuan diri serta fisik terasa lemah. Mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas selain-Nya berarti: engkau menginginkan dan melakukan sesuatu yang mendatangkan keridaan-Nya, meskipun hal itu membuat manusia marah. Inilah derajat para nabi, dan tingkatan tertingginya dimiliki oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Di antara mereka pun, tingkatan tertinggi adalah milik ulul ‘azmi, dan dari seluruh ulul ‘azmi, tingkatan tertinggi adalah milik Nabi kita Muhammad ﷺ. Beliau menghadapi seluruh manusia, total dalam berdakwah kepada Allah, menanggung permusuhan orang-orang jauh maupun dekat karena Allah Ta‘ala, dan mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk dari semua sisi. Tidak ada celaan dari siapa pun yang dapat menghalangi beliau dalam mengutamakan keridaan Allah. Seluruh perhatian, tekad, dan usahanya tertuju hanya pada mengutamakan keridaan Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Hingga agama Allah tampak di atas seluruh agama, hujah-Nya tegak atas seluruh manusia, dan nikmat-Nya sempurna bagi orang-orang beriman. Maka beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, berjihad di jalan Allah sebagaimana mestinya, dan beribadah kepada Allah hingga datang kepadanya “keyakinan” (kematian) dari Rabbnya. Tidak ada seorang pun yang mencapai derajat itsar seperti yang dicapai beliau. Shalawat dan salam Allah atas beliau. Adapun ucapannya: “sekalipun ujian di dalamnya besar dan beban yang ditanggung berat,” maka ujian itu pada awalnya memang terasa berat agar orang yang bukan ahlinya tersingkir. Bila seseorang menanggungnya dan terus maju, ujian itu akan berubah menjadi karunia, dan beban itu akan berubah menjadi pertolongan. Hal ini dikenal berdasarkan pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun umum. Tidaklah seorang hamba mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas keridaan makhluk, lalu ia menanggung beratnya dan bebannya, serta bersabar terhadap ujiannya, melainkan Allah akan menjadikan dari ujian dan beban itu nikmat dan kebahagiaan, serta pertolongan sebesar apa yang ia tanggung demi keridaan-Nya. Ketakutannya berubah menjadi rasa aman, hal yang ia khawatirkan berubah menjadi keselamatan, kelelahan berubah menjadi istirahat, bebannya berubah menjadi pertolongan, musibahnya berubah menjadi nikmat, ujiannya berubah menjadi anugerah, dan kemurkaan (manusia) berubah menjadi keridaan. Sungguh merugi orang-orang yang mundur, dan sungguh hina orang-orang yang takut mengambil langkah. Selain itu, telah menjadi sunnatullah—yang tidak akan berubah—bahwa siapa yang lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan-Nya, maka Allah akan membuat orang yang ia berharap ridhanya itu justru marah kepada dirinya, kemudian Allah akan menelantarkannya, dan menjadikan musibahnya berasal dari orang itu sendiri. Orang yang dulu memujinya akan berubah mencelanya. Ia akan mengutamakan keridaan makhluk yang ternyata marah kepadanya. Maka tidaklah ia mendapatkan apa yang ia inginkan dari makhluk, dan tidak pula ia memperoleh pahala keridaan Rabbnya. Ini adalah orang yang paling lemah dan paling bodoh. Ini semua terjadi padahal keridaan manusia itu: bukan sesuatu yang mungkin sepenuhnya dicapai, bukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicari, dan bukan pula sesuatu yang diriwayatkan sebagai tujuan. Keridaan manusia itu mustahil sepenuhnya. Justru, pasti akan ada saja yang marah kepadamu. Maka, biarlah mereka marah tetapi engkau mendapatkan keridaan Allah—ini lebih engkau cintai dan lebih bermanfaat bagimu dibanding mereka ridha kepadamu sementara Allah tidak ridha kepadamu. Selama keduanya sama-sama berpotensi menimbulkan kemurkaan manusia—baik engkau mengutamakan Allah maupun mereka—maka pilihlah kemurkaan mereka yang justru membawa keridaan Allah. Jika setelah itu mereka ridha kepadamu, maka itu baik. Jika tidak, tidak masalah. Sebab, keridaan orang yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak pula memberi mudarat kepadamu—baik dalam agamamu, imanmu, maupun akhiratmu—adalah perkara yang paling ringan. Jika mereka memberi mudarat kepadamu dalam urusan dunia, maka kemurkaan Allah jauh lebih berat dan lebih besar bahayanya. Kecerdasan yang benar adalah ketika seseorang menanggung keburukan yang lebih kecil untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dan meninggalkan kebaikan yang kecil untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Maka timbanglah dengan akalmu. Setelah itu, lihatlah mana yang lebih baik untuk diutamakan, dan mana yang lebih buruk untuk dijauhi. Inilah dalil yang pasti dan niscaya dalam mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk. Ini semua berlaku karena jika seseorang mengutamakan keridaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari beban menghadapi kemurkaan manusia. Tetapi jika ia mengutamakan keridaan manusia, mereka tidak akan mampu mencukupinya dari beban kemurkaan Allah kepadanya. Sebagian salaf berkata, “Mengusahakan (keridaan) satu wajah lebih ringan bagimu daripada mengusahakan wajah banyak orang. Jika engkau mengusahakan keridaan satu wajah itu (yakni Allah), maka Ia akan mencukupimu dari semua wajah lainnya.” Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keridaan manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Karenanya, berpeganglah pada apa yang menjadi kebaikan dirimu, lalu istiqamahilah.” Dan sudah jelas bahwa tidak ada kebaikan bagi diri seseorang kecuali dengan mengutamakan keridaan Rabb dan Tuannya atas selain-Nya. Sungguh bagus bait syair Abu Firas dalam makna ini—namun sangat buruk arah ucapannya karena ia menujukannya kepada makhluk yang tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri maupun orang lain: Seandainya engkau manis, walau hidup ini pahit. Seandainya engkau ridha, saat seluruh manusia murka. Andai yang antara aku dan engkau menjadi baik, dan antara aku dan seluruh manusia menjadi rusak. Jika kasih sayang darimu benar adanya, maka segalanya menjadi ringan. Dan seluruh yang berada di atas tanah ini hanyalah tanah.   Cara mewujudkan itsar jenis ini “Itsar ini hanya dapat diwujudkan dengan tiga hal: baiknya tabiat, sempurnanya keislaman, dan kuatnya kesabaran.” Sudah diketahui bahwa seseorang yang mengutamakan keridaan Allah pasti akan menghadapi permusuhan manusia, gangguan mereka, dan usaha mereka untuk membinasakannya—dan itu tidak dapat dihindari. Inilah sunnatullah pada makhluk-Nya. Kalau tidak demikian, apa salah para nabi dan rasul? Apa salah orang-orang yang memerintahkan keadilan di tengah manusia? Apa salah para penjaga agama Allah dan para pembela kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya di hadapan manusia? Maka siapa pun yang mengutamakan keridaan Allah, niscaya ia akan dimusuhi oleh orang-orang rendahan di dunia, sampah masyarakat, orang-orang rakus, para pendengki dan orang-orang bodoh, para ahli bid‘ah dan kefasikan, para penguasa yang zalim, dan setiap orang yang menyelisihi petunjuk Allah. Tidak ada yang berani menghadapi permusuhan mereka kecuali orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah, dan orang yang bekerja keras untuk menjadi hamba yang mendengar panggilan: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai.” Hanya orang yang keislamannya kokoh dan sempurna yang mampu menghadapi semua itu—keislaman yang tidak digoyahkan oleh manusia dan tidak digetarkan oleh gunung-gunung. Juga hanya orang yang ikatan kesabarannya kuat, yang tidak terurai oleh ujian, cobaan, dan rasa takut. Aku berkata: Pokok utama semua ini ada dua hal: zuhud terhadap kehidupan (dunia) dan zuhud terhadap pujian manusia. Tidaklah seseorang menjadi lemah dan mundur kecuali karena cintanya pada kehidupan dunia, keinginannya untuk tetap hidup, serta cintanya terhadap pujian manusia dan kebenciannya terhadap celaan mereka. Jika seseorang zuhud terhadap dua hal ini, maka segala rintangan akan menjauh darinya. Saat itulah ia akan terjun sepenuhnya dalam pasukan yang berjuang menuju Allah. Adapun pokok dari dua perkara ini bertumpu pada dua hal: kebenaran yakin dan kekuatan cinta (kepada Allah). Dan pokok dari dua perkara itu pun bertumpu pada dua perkara lagi: tulus dalam bergantung kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam mencari (keridaan-Nya), serta bersegera mengambil sebab-sebab yang mengantarkan kepada keduanya. Sampai di sinilah batas kemampuan dan pengetahuan manusia. Adapun taufik berada di tangan Zat yang menguasai seluruh urusan. “Dan kalian tidak akan mampu (berkehendak) kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa saja yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, bagi mereka disiapkan azab yang pedih.”   Tingkatan ketiga: mengutamakan itsar Allah itu sendiri. Sebab, terjun ke dalam pengakuan itsar berarti klaim terhadap kepemilikan. Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat Allah beritsar. Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan hal itu. Yang dimaksud dengan “mengutamakan itsar Allah” adalah: engkau menisbatkan itsar itu kepada Allah, bukan kepada dirimu. Dialah yang sebenarnya beritsar, bukan engkau. Seolah-olah engkau menyerahkan seluruh makna itsar hanya kepada-Nya. Jika engkau mengutamakan orang lain dalam suatu hal, maka sebenarnya yang mengutamakannya adalah Allah, bukan engkau. Dialah yang benar-benar melakukan itsar, karena Dialah yang memberi dalam hakikatnya. Kemudian syaikh menjelaskan sebab yang membuat itsar itu layak disandarkan kepada Allah dan ditinggalkan dari penisbatan kepada diri sendiri. Beliau berkata: “Sebab, terjun dalam itsar adalah klaim terhadap kepemilikan.” Jika seorang hamba mengaku bahwa ia melakukan itsar, berarti ia mengklaim memiliki sesuatu yang ia gunakan untuk mengutamakan orang lain. Padahal kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah, yang memiliki segala sesuatu. Jika hamba keluar dari klaim kepemilikan, maka ia telah mengutamakan itsar Allah—yang berupa pemberian-Nya—di atas itsar dirinya sendiri. Ia menyaksikan bahwa hanya Allah semata yang beritsar dengan kepemilikan-Nya. Adapun mereka yang tidak memiliki apa pun, itsar apa yang bisa mereka lakukan? Adapun ucapan beliau: “Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat itsar Allah.” Maksudnya: ketika engkau sudah mengutamakan itsar Allah dengan menyerahkan makna itsar kepada-Nya, maka masih ada sisa dari dirimu yang harus engkau tinggalkan. Yaitu: engkau harus berpaling dari perasaan melihat dirimu bahwa engkau telah mengutamakan Allah melalui itsar itu, dan bahwa engkau menisbatkan itsar kepada-Nya, bukan kepada dirimu. Sebab, dalam penyaksian dan pandangan seperti itu terdapat klaim lain—yang lebih besar daripada klaim kepemilikan—yaitu klaim bahwa engkau memiliki sesuatu yang engkau gunakan untuk mengutamakan Allah, dan bahwa engkau mendahulukan-Nya atas dirimu melalui sesuatu yang engkau miliki. Klaim ini lebih sulit daripada klaim sebelumnya, karena mencakup seluruh kandungan klaim kepemilikan dan bahkan lebih dari itu, yaitu pengakuan bahwa engkau beritsar dengan sesuatu tersebut. Klaim pertama adalah klaim kepemilikan karena engkau beritsar dengannya, sedangkan klaim kedua adalah klaim kepemilikan sekaligus klaim beritsar dengannya. Karena itu, engkau harus meninggalkan penyaksian terhadap itsar ini. Jangan mengira bahwa engkau telah mengutamakan Allah dengan itsar tersebut. Sebab, Allah-lah yang telah mendahulukan hal itu untuk diri-Nya tanpa dirimu. Itsar itu wajib bagi Allah karena Dia sendiri yang menetapkannya bagi diri-Nya, bukan karena engkau yang menetapkannya untuk-Nya. Adapun ucapan beliau: “Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan (penisbatan) itu.” Maksudnya: ketika engkau telah sampai pada tingkat penyaksian tersebut, dan engkau telah melihat hakikat itu, masih ada satu sisa lagi dalam dirimu yang harus hilang. Yaitu: pandanganmu terhadap tindakan “meninggalkan” itu, sebuah pandangan yang mengandung klaim bahwa engkau memiliki “tindakan meninggalkan” tersebut. Padahal klaim semacam itu adalah klaim yang tidak benar. Sebab, seorang hamba tidak memiliki bagian sedikit pun dalam urusan apa pun. Tidak ada pada dirinya kekuasaan untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Sesungguhnya seluruh urusan ada di tangan Allah. Telah jelas melalui penyingkapan (kasyf), penyaksian (syuhud), ilmu, dan ma‘rifat, bahwa seorang hamba pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Ia sama sekali tidak memiliki kepemilikan yang sejati. Pemilik yang hakiki hanyalah Tuannya (Allah). Maka sikap mendahulukan (al-atsarah), beritsar, dan mengambil untuk diri-Nya (istitsar)—semuanya hanya milik Allah, berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Baik hamba memilih hal itu dan mengetahuinya, atau tidak mengetahuinya, atau tidak memilihnya—itsar itu tetap terjadi. Baik hamba membencinya atau menyukainya. Sebab, itsar itu adalah bentuk Allah sebagai Pemilik yang hakiki yang mendahulukan diri-Nya dengan apa yang menjadi milik-Nya. Maha tinggi Allah. Dari sinilah dapat dipahami ucapan beliau: “Sesungguhnya itsar itu baik bila dilakukan dengan sukarela, dan sah bila dilakukan secara terpaksa.” Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui. Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dari Madaarij As-Saalikin.    Ringkasan Bahasan I. TIGA MACAM ITSAR (MENDAHULUKAN PIHAK LAIN) Menurut Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin, itsar terbagi menjadi tiga tingkatan: 1. Itsar Tingkat Pertama: Mendahulukan Sesama atas Diri Sendiri Yaitu mendahulukan kebutuhan orang lain asalkan tidak merusak: Agamanya Perjalanan spiritualnya menuju Allah Waktunya yang berharga 2. Itsar Tingkat Kedua: Mendahulukan Keridaan Allah atas Keridaan Makhluk Yaitu mengutamakan apa yang diridhai Allah sekalipun mendatangkan ketidaksukaan manusia, bahkan bila ujian dan beban terasa berat. 3. Itsar Tingkat Ketiga: Mengutamakan Itsar Allah Sendiri Yaitu menyandarkan seluruh pemberian dan pengorbanan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri, sampai seseorang tidak lagi menganggap bahwa dirinya memiliki peran apa pun dalam pemberian tersebut. II. RINGKASAN ISI SETIAP TINGKATAN 1. Ringkasan Tingkatan Pertama: Mendahulukan orang lain tanpa merusak diri Hal yang ditekankan Ibnul Qayyim: Boleh memberi makan, pakaian, dan bantuan kepada orang lain selama tidak membuat diri terjatuh pada kemiskinan yang tercela, meminta-minta, atau menanggung dampak buruk agama. Tidak boleh mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah yang bersifat kedekatan (seperti saf pertama, azan, ilmu wajib). Itsar tidak boleh merusak hubungan dengan Allah, seperti mengutamakan teman ngobrol daripada zikir. Itsar tidak boleh merusak waktu, fokus hati, atau ibadah. Kaedah penting: ➜ “Segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi hati, waktu, dan hubunganmu dengan Allah tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” 2. Ringkasan Tingkatan Kedua: Mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk Inti bahasan: Inilah derajat para nabi dan rasul, khususnya Rasulullah ﷺ. Siapa yang mengutamakan Allah pasti diuji: dimusuhi, dicela, disakiti oleh manusia. Namun, bila ia sabar dan tetap mendahulukan Allah: Ujian berubah menjadi nikmat Ketakutan menjadi rasa aman Beban menjadi pertolongan Musibah menjadi anugerah Sunnatullah yang pasti: ➜ “Siapa yang mengejar keridaan manusia, Allah akan membuat manusia murka padanya. Siapa yang mengejar keridaan Allah, Allah akan mencukupinya dari semua manusia.” Kaedah akal sehat: ➜ Menanggung keburukan kecil demi menghindari keburukan besar adalah tanda cerdas.➜ Maka biarkan manusia marah, selama Allah ridha. 3. Ringkasan Tingkatan Ketiga: Mengutamakan itsar Allah (tingkatan ma’rifat tertinggi) Makna intinya: Menyadari bahwa semua pemberian berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri. Ketika seseorang merasa “aku telah memberi”, itu sebenarnya klaim kepemilikan, padahal hamba tidak memiliki apa pun. Tidak cukup menyadari bahwa “itsar ini dari Allah”, tetapi juga harus hilang dari perasaan bahwa “aku telah meninggalkan diriku demi Allah” karena itu pun mengandung klaim. Hakikat tertinggi: semua berasal dari Allah, berlangsung karena Allah, dan kembali kepada Allah. Kaedah tauhid dalam pemberian: ➜ “Itsar itu baik bila dilakukan rela, dan sah bila dilakukan terpaksa; karena semuanya adalah milik Allah dan terjadi dengan kehendak-Nya.” III. CARA MENGGAPAI ITSAR PADA SETIAP TINGKATAN A. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Pertama (Mendahulukan orang lain) Dicapai melalui tiga perkara: 1. Mengagungkan hak-hak manusia Menjunjung tinggi hak-hak orang lain membuat seseorang berusaha menunaikannya dengan sempurna, bahkan kadang menggunakan itsar sebagai bentuk kehati-hatian. 2. Membenci sifat kikir Orang yang membenci kekikiran akan mencari jalan keluar darinya, yaitu dengan beritsar. 3. Rindu terhadap akhlak mulia Semakin tinggi keinginan terhadap akhlak mulia, semakin mudah someone beritsar. B. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Kedua (Mendahulukan Allah atas selain-Nya) Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan tiga modal besar: 1. Baiknya tabiat dan jiwa Jiwa yang baik lebih siap memikul beban untuk Allah. 2. Kuatnya keislaman Islam yang kuat membuat seseorang tidak goyah oleh celaan manusia dan tidak gentar menghadapi musuh-musuh kebenaran. 3. Kesabaran yang besar Karena jalan menuju keridaan Allah penuh cobaan, seseorang harus kuat memikulnya. Dua fondasi utama tambahan: Zuhud terhadap dunia Zuhud terhadap pujian manusia Dan dua penguat fondasi: Yakin yang benar Cinta kepada Allah Penggerak dua hal itu: Tulus bergantung kepada Allah Sungguh-sungguh mencari keridaan-Nya C. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Ketiga (Mengutamakan itsar Allah) Tingkat ini hanya diraih dengan: 1. Membersihkan hati dari klaim kepemilikan Menyadari bahwa hamba tidak memiliki apa pun untuk diitsarkan. 2. Menyandarkan pemberian dan pengorbanan hanya kepada Allah Melihat bahwa Dialah yang memberi, memilih, dan mendahulukan. 3. Hilangnya perasaan diri dalam amal Tidak melihat diri sebagai pelaku, tetapi Allah-lah yang menggagas dan menyempurnakan kebaikan. Penutup ➜ Itsar pertama: akhlak mulia yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja.➜ Itsar kedua: derajat para nabi dan para pewarisnya.➜ Itsar ketiga: derajat ma’rifat tertinggi, hanya dicapai oleh hati yang tenggelam dalam tauhid dan penyerahan total kepada Allah. Baca juga: Kisah Itsar dari Para Salaf   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Pagi, 15-11-2025, 24 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia dermawan faedah dari Ibnul Qayyim ibnu qayyim ibnul qayyim itsar kesabaran Madarij As-Salikin mendahulukan orang lain nasihat ibnul qayyim ridha Allah tasawuf sunnah tazkiyatun nafs zuhud
Itsar—mendahulukan orang lain di atas diri sendiri—merupakan salah satu akhlak tertinggi dalam Islam. Namun, para ulama menjelaskan bahwa itsar tidak hanya sebatas memberi atau berkorban untuk sesama. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij As-Salikin menerangkan bahwa itsar memiliki tingkatan yang jauh lebih dalam: mulai dari mengutamakan kebutuhan orang lain, hingga mendahulukan keridaan Allah di atas keridaan seluruh makhluk, bahkan sampai pada derajat menyandarkan seluruh kebaikan hanya kepada Allah. Setiap tingkatannya memiliki batasan, adab, dan cara meraihnya, sehingga seorang Muslim dapat menjalani akhlak ini tanpa merusak agamanya dan tetap menjaga hubungannya dengan Allah. Tulisan ini merangkum penjelasan tersebut secara ringkas, sistematis, dan mudah dipahami agar pembaca dapat menerapkan makna itsar dalam kehidupan sehari-hari.   Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Madaarij As-Salikiin berkata, Tingkatan pertama: Engkau mendahulukan orang lain atas dirimu pada hal-hal yang tidak merusak agamamu, tidak memutus jalanmu menuju Allah, dan tidak merusak waktumu. Maksudnya: engkau mengutamakan mereka atas dirimu dalam kebutuhan mereka. Misalnya, engkau memberi mereka makanan sementara engkau sendiri lapar, memberi mereka pakaian sementara engkau kekurangan, atau memberi mereka minum sementara engkau sendiri kehausan—selama hal itu tidak membuatmu melakukan sesuatu yang merusak dan tidak boleh menurut agama. Contohnya, engkau mengutamakan mereka dengan hartamu sampai akhirnya engkau menjadi beban bagi orang lain, memandang kepada apa yang ada di tangan manusia, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Termasuk juga mengutamakan mereka dalam sesuatu yang menurut agama sebenarnya tidak boleh engkau berikan. Itu semua adalah tindakan bodoh dan lemah. Pelakunya tercela di sisi Allah dan juga di sisi manusia. Adapun perkataannya, “tidak memutus jalanmu”, maksudnya adalah tidak memutus jalan pencarianmu dan perjalananmu menuju Allah Ta‘ala. Contohnya, engkau mendahulukan teman dudukmu daripada dzikirmu, atau daripada perhatian dan kekhusyukanmu kepada Allah. Dengan begitu, engkau telah mengutamakannya atas Allah. Engkau mengorbankan bagianmu dari Allah untuk sesuatu yang tidak layak diutamakan. Perumpamaanmu seperti seorang musafir yang sedang berjalan di jalan. Lalu ada seseorang yang menghentikannya dan mengajaknya mengobrol serta melalaikannya hingga ia tertinggal dari rombongannya. Inilah keadaan kebanyakan manusia terhadap seseorang yang benar-benar sedang berjalan menuju Allah Ta‘ala. Mengutamakan mereka atas Allah adalah kerugian yang nyata. Betapa banyak orang yang mendahulukan makhluk selain Allah, dan betapa sedikit orang yang mendahulukan Allah di atas selain-Nya. Demikian juga, itsar yang merusak waktu pelakunya adalah perbuatan buruk. Misalnya, ia mengutamakan orang lain dengan waktunya, lalu ia sibuk memikirkan gantinya (apa yang hilang), atau ia mengorbankan sesuatu yang sebelumnya telah menyatukan hati dan pikirannya kepada Allah, lalu hatinya kembali tercerai-berai dan pikirannya terpecah. Ini juga termasuk bentuk itsar yang tidak terpuji. Begitu pula itsar dalam bentuk kesibukan hati dan pikiran untuk memenuhi kepentingan mereka—padahal itu bukan kewajiban atasmu—hingga engkau kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat, dan kehilangan kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Allah. Contoh-contoh semacam ini sangat banyak dan tidak samar. Bahkan, beginilah keadaan kebanyakan manusia. Setiap sebab yang membawa kebaikan bagi hatimu, waktumu, dan keadaanmu bersama Allah, maka jangan engkau dahulukan siapa pun atasnya. Jika engkau melakukannya, maka sebenarnya engkau sedang mendahulukan setan atas Allah, sementara engkau tidak menyadarinya. Perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dalam mendahulukan seseorang atas Allah—bahkan orang yang justru memudaratkan mereka ketika mereka utamakan, dan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Kebodohan dan kecerobohan apa yang lebih parah daripada ini? Dari sini para ulama fikih membahas mengenai itsar dalam ibadah-ibadah yang bernilai dekat (kepada Allah). Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh atau haram. Contohnya, seseorang mengutamakan orang lain untuk mendapatkan saf pertama lalu ia sendiri mundur, atau mengutamakan orang lain agar duduk dekat imam pada hari Jumat, atau mengutamakan orang lain untuk melakukan azan dan iqamah, atau mengutamakan orang lain dalam ilmu yang seharusnya ia dapatkan untuk dirinya, lalu ia mengangkat orang itu di atas dirinya sehingga orang itu memperoleh keutamaan tersebut sedangkan ia kehilangan. Mereka juga membahas mengenai tindakan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengutamakan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk dimakamkan di kamar beliau di dekat Rasulullah ﷺ. Para ulama menjawab bahwa ketika seseorang meninggal, amalnya terputus. Maka tidak mungkin terjadi itsar dalam bentuk kedekatan (ibadah) setelah kematian, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin lagi mendapatkan kedekatan semacam itu. Hal yang terjadi hanyalah itsar berupa memberikan tempat tinggal yang mulia dan utama bagi seseorang yang lebih layak mendapatkannya daripada diri Aisyah sendiri. Maka itsar seperti itu justru menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi orang yang melakukannya. Allah-lah yang lebih mengetahui.   Cara mewujudkan itsar jenis ini Itsar (mendahulukan orang lain) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan tiga hal: mengagungkan hak-hak (orang lain), membenci sifat kikir, dan memiliki keinginan kuat untuk meraih akhlak yang mulia. Beliau menyebutkan hal-hal yang membantu seseorang untuk mampu beritsar dan mendorongnya agar mampu melakukannya. Ada tiga hal. Pertama: Mengagungkan hak-hak (orang lain). Seseorang yang memandang bahwa hak-hak itu sesuatu yang agung, maka ia akan menunaikan kewajibannya, menjaga hak tersebut dengan baik, dan menganggap besar bila ia menyia-nyiakannya. Ia pun akan sadar bahwa jika ia belum mencapai derajat itsar, berarti ia belum menunaikan hak tersebut sebagaimana mestinya. Karena itu, ia menjadikan itsar sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat menunaikan hak tersebut dengan sempurna. Kedua: Membenci sifat kikir. Ketika seseorang membenci dan memusuhi sifat kikir, ia akan berpegang pada itsar. Ia melihat bahwa tidak ada jalan baginya untuk selamat dari sifat kikir yang dibenci itu kecuali dengan beritsar. Ketiga: Keinginan kuat terhadap akhlak yang mulia. Seberapa besar keinginannya terhadap akhlak yang mulia, sebesar itu pula itsarnya. Sebab, itsar adalah tingkatan paling tinggi dari akhlak yang mulia.   Tingkatan kedua: mendahulukan keridaan Allah atas keridaan selain-Nya, sekalipun ujian di dalamnya besar, beban yang ditanggung berat, dan kemampuan diri serta fisik terasa lemah. Mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas selain-Nya berarti: engkau menginginkan dan melakukan sesuatu yang mendatangkan keridaan-Nya, meskipun hal itu membuat manusia marah. Inilah derajat para nabi, dan tingkatan tertingginya dimiliki oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Di antara mereka pun, tingkatan tertinggi adalah milik ulul ‘azmi, dan dari seluruh ulul ‘azmi, tingkatan tertinggi adalah milik Nabi kita Muhammad ﷺ. Beliau menghadapi seluruh manusia, total dalam berdakwah kepada Allah, menanggung permusuhan orang-orang jauh maupun dekat karena Allah Ta‘ala, dan mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk dari semua sisi. Tidak ada celaan dari siapa pun yang dapat menghalangi beliau dalam mengutamakan keridaan Allah. Seluruh perhatian, tekad, dan usahanya tertuju hanya pada mengutamakan keridaan Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Hingga agama Allah tampak di atas seluruh agama, hujah-Nya tegak atas seluruh manusia, dan nikmat-Nya sempurna bagi orang-orang beriman. Maka beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, berjihad di jalan Allah sebagaimana mestinya, dan beribadah kepada Allah hingga datang kepadanya “keyakinan” (kematian) dari Rabbnya. Tidak ada seorang pun yang mencapai derajat itsar seperti yang dicapai beliau. Shalawat dan salam Allah atas beliau. Adapun ucapannya: “sekalipun ujian di dalamnya besar dan beban yang ditanggung berat,” maka ujian itu pada awalnya memang terasa berat agar orang yang bukan ahlinya tersingkir. Bila seseorang menanggungnya dan terus maju, ujian itu akan berubah menjadi karunia, dan beban itu akan berubah menjadi pertolongan. Hal ini dikenal berdasarkan pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun umum. Tidaklah seorang hamba mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas keridaan makhluk, lalu ia menanggung beratnya dan bebannya, serta bersabar terhadap ujiannya, melainkan Allah akan menjadikan dari ujian dan beban itu nikmat dan kebahagiaan, serta pertolongan sebesar apa yang ia tanggung demi keridaan-Nya. Ketakutannya berubah menjadi rasa aman, hal yang ia khawatirkan berubah menjadi keselamatan, kelelahan berubah menjadi istirahat, bebannya berubah menjadi pertolongan, musibahnya berubah menjadi nikmat, ujiannya berubah menjadi anugerah, dan kemurkaan (manusia) berubah menjadi keridaan. Sungguh merugi orang-orang yang mundur, dan sungguh hina orang-orang yang takut mengambil langkah. Selain itu, telah menjadi sunnatullah—yang tidak akan berubah—bahwa siapa yang lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan-Nya, maka Allah akan membuat orang yang ia berharap ridhanya itu justru marah kepada dirinya, kemudian Allah akan menelantarkannya, dan menjadikan musibahnya berasal dari orang itu sendiri. Orang yang dulu memujinya akan berubah mencelanya. Ia akan mengutamakan keridaan makhluk yang ternyata marah kepadanya. Maka tidaklah ia mendapatkan apa yang ia inginkan dari makhluk, dan tidak pula ia memperoleh pahala keridaan Rabbnya. Ini adalah orang yang paling lemah dan paling bodoh. Ini semua terjadi padahal keridaan manusia itu: bukan sesuatu yang mungkin sepenuhnya dicapai, bukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicari, dan bukan pula sesuatu yang diriwayatkan sebagai tujuan. Keridaan manusia itu mustahil sepenuhnya. Justru, pasti akan ada saja yang marah kepadamu. Maka, biarlah mereka marah tetapi engkau mendapatkan keridaan Allah—ini lebih engkau cintai dan lebih bermanfaat bagimu dibanding mereka ridha kepadamu sementara Allah tidak ridha kepadamu. Selama keduanya sama-sama berpotensi menimbulkan kemurkaan manusia—baik engkau mengutamakan Allah maupun mereka—maka pilihlah kemurkaan mereka yang justru membawa keridaan Allah. Jika setelah itu mereka ridha kepadamu, maka itu baik. Jika tidak, tidak masalah. Sebab, keridaan orang yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak pula memberi mudarat kepadamu—baik dalam agamamu, imanmu, maupun akhiratmu—adalah perkara yang paling ringan. Jika mereka memberi mudarat kepadamu dalam urusan dunia, maka kemurkaan Allah jauh lebih berat dan lebih besar bahayanya. Kecerdasan yang benar adalah ketika seseorang menanggung keburukan yang lebih kecil untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dan meninggalkan kebaikan yang kecil untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Maka timbanglah dengan akalmu. Setelah itu, lihatlah mana yang lebih baik untuk diutamakan, dan mana yang lebih buruk untuk dijauhi. Inilah dalil yang pasti dan niscaya dalam mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk. Ini semua berlaku karena jika seseorang mengutamakan keridaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari beban menghadapi kemurkaan manusia. Tetapi jika ia mengutamakan keridaan manusia, mereka tidak akan mampu mencukupinya dari beban kemurkaan Allah kepadanya. Sebagian salaf berkata, “Mengusahakan (keridaan) satu wajah lebih ringan bagimu daripada mengusahakan wajah banyak orang. Jika engkau mengusahakan keridaan satu wajah itu (yakni Allah), maka Ia akan mencukupimu dari semua wajah lainnya.” Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keridaan manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Karenanya, berpeganglah pada apa yang menjadi kebaikan dirimu, lalu istiqamahilah.” Dan sudah jelas bahwa tidak ada kebaikan bagi diri seseorang kecuali dengan mengutamakan keridaan Rabb dan Tuannya atas selain-Nya. Sungguh bagus bait syair Abu Firas dalam makna ini—namun sangat buruk arah ucapannya karena ia menujukannya kepada makhluk yang tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri maupun orang lain: Seandainya engkau manis, walau hidup ini pahit. Seandainya engkau ridha, saat seluruh manusia murka. Andai yang antara aku dan engkau menjadi baik, dan antara aku dan seluruh manusia menjadi rusak. Jika kasih sayang darimu benar adanya, maka segalanya menjadi ringan. Dan seluruh yang berada di atas tanah ini hanyalah tanah.   Cara mewujudkan itsar jenis ini “Itsar ini hanya dapat diwujudkan dengan tiga hal: baiknya tabiat, sempurnanya keislaman, dan kuatnya kesabaran.” Sudah diketahui bahwa seseorang yang mengutamakan keridaan Allah pasti akan menghadapi permusuhan manusia, gangguan mereka, dan usaha mereka untuk membinasakannya—dan itu tidak dapat dihindari. Inilah sunnatullah pada makhluk-Nya. Kalau tidak demikian, apa salah para nabi dan rasul? Apa salah orang-orang yang memerintahkan keadilan di tengah manusia? Apa salah para penjaga agama Allah dan para pembela kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya di hadapan manusia? Maka siapa pun yang mengutamakan keridaan Allah, niscaya ia akan dimusuhi oleh orang-orang rendahan di dunia, sampah masyarakat, orang-orang rakus, para pendengki dan orang-orang bodoh, para ahli bid‘ah dan kefasikan, para penguasa yang zalim, dan setiap orang yang menyelisihi petunjuk Allah. Tidak ada yang berani menghadapi permusuhan mereka kecuali orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah, dan orang yang bekerja keras untuk menjadi hamba yang mendengar panggilan: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai.” Hanya orang yang keislamannya kokoh dan sempurna yang mampu menghadapi semua itu—keislaman yang tidak digoyahkan oleh manusia dan tidak digetarkan oleh gunung-gunung. Juga hanya orang yang ikatan kesabarannya kuat, yang tidak terurai oleh ujian, cobaan, dan rasa takut. Aku berkata: Pokok utama semua ini ada dua hal: zuhud terhadap kehidupan (dunia) dan zuhud terhadap pujian manusia. Tidaklah seseorang menjadi lemah dan mundur kecuali karena cintanya pada kehidupan dunia, keinginannya untuk tetap hidup, serta cintanya terhadap pujian manusia dan kebenciannya terhadap celaan mereka. Jika seseorang zuhud terhadap dua hal ini, maka segala rintangan akan menjauh darinya. Saat itulah ia akan terjun sepenuhnya dalam pasukan yang berjuang menuju Allah. Adapun pokok dari dua perkara ini bertumpu pada dua hal: kebenaran yakin dan kekuatan cinta (kepada Allah). Dan pokok dari dua perkara itu pun bertumpu pada dua perkara lagi: tulus dalam bergantung kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam mencari (keridaan-Nya), serta bersegera mengambil sebab-sebab yang mengantarkan kepada keduanya. Sampai di sinilah batas kemampuan dan pengetahuan manusia. Adapun taufik berada di tangan Zat yang menguasai seluruh urusan. “Dan kalian tidak akan mampu (berkehendak) kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa saja yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, bagi mereka disiapkan azab yang pedih.”   Tingkatan ketiga: mengutamakan itsar Allah itu sendiri. Sebab, terjun ke dalam pengakuan itsar berarti klaim terhadap kepemilikan. Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat Allah beritsar. Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan hal itu. Yang dimaksud dengan “mengutamakan itsar Allah” adalah: engkau menisbatkan itsar itu kepada Allah, bukan kepada dirimu. Dialah yang sebenarnya beritsar, bukan engkau. Seolah-olah engkau menyerahkan seluruh makna itsar hanya kepada-Nya. Jika engkau mengutamakan orang lain dalam suatu hal, maka sebenarnya yang mengutamakannya adalah Allah, bukan engkau. Dialah yang benar-benar melakukan itsar, karena Dialah yang memberi dalam hakikatnya. Kemudian syaikh menjelaskan sebab yang membuat itsar itu layak disandarkan kepada Allah dan ditinggalkan dari penisbatan kepada diri sendiri. Beliau berkata: “Sebab, terjun dalam itsar adalah klaim terhadap kepemilikan.” Jika seorang hamba mengaku bahwa ia melakukan itsar, berarti ia mengklaim memiliki sesuatu yang ia gunakan untuk mengutamakan orang lain. Padahal kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah, yang memiliki segala sesuatu. Jika hamba keluar dari klaim kepemilikan, maka ia telah mengutamakan itsar Allah—yang berupa pemberian-Nya—di atas itsar dirinya sendiri. Ia menyaksikan bahwa hanya Allah semata yang beritsar dengan kepemilikan-Nya. Adapun mereka yang tidak memiliki apa pun, itsar apa yang bisa mereka lakukan? Adapun ucapan beliau: “Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat itsar Allah.” Maksudnya: ketika engkau sudah mengutamakan itsar Allah dengan menyerahkan makna itsar kepada-Nya, maka masih ada sisa dari dirimu yang harus engkau tinggalkan. Yaitu: engkau harus berpaling dari perasaan melihat dirimu bahwa engkau telah mengutamakan Allah melalui itsar itu, dan bahwa engkau menisbatkan itsar kepada-Nya, bukan kepada dirimu. Sebab, dalam penyaksian dan pandangan seperti itu terdapat klaim lain—yang lebih besar daripada klaim kepemilikan—yaitu klaim bahwa engkau memiliki sesuatu yang engkau gunakan untuk mengutamakan Allah, dan bahwa engkau mendahulukan-Nya atas dirimu melalui sesuatu yang engkau miliki. Klaim ini lebih sulit daripada klaim sebelumnya, karena mencakup seluruh kandungan klaim kepemilikan dan bahkan lebih dari itu, yaitu pengakuan bahwa engkau beritsar dengan sesuatu tersebut. Klaim pertama adalah klaim kepemilikan karena engkau beritsar dengannya, sedangkan klaim kedua adalah klaim kepemilikan sekaligus klaim beritsar dengannya. Karena itu, engkau harus meninggalkan penyaksian terhadap itsar ini. Jangan mengira bahwa engkau telah mengutamakan Allah dengan itsar tersebut. Sebab, Allah-lah yang telah mendahulukan hal itu untuk diri-Nya tanpa dirimu. Itsar itu wajib bagi Allah karena Dia sendiri yang menetapkannya bagi diri-Nya, bukan karena engkau yang menetapkannya untuk-Nya. Adapun ucapan beliau: “Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan (penisbatan) itu.” Maksudnya: ketika engkau telah sampai pada tingkat penyaksian tersebut, dan engkau telah melihat hakikat itu, masih ada satu sisa lagi dalam dirimu yang harus hilang. Yaitu: pandanganmu terhadap tindakan “meninggalkan” itu, sebuah pandangan yang mengandung klaim bahwa engkau memiliki “tindakan meninggalkan” tersebut. Padahal klaim semacam itu adalah klaim yang tidak benar. Sebab, seorang hamba tidak memiliki bagian sedikit pun dalam urusan apa pun. Tidak ada pada dirinya kekuasaan untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Sesungguhnya seluruh urusan ada di tangan Allah. Telah jelas melalui penyingkapan (kasyf), penyaksian (syuhud), ilmu, dan ma‘rifat, bahwa seorang hamba pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Ia sama sekali tidak memiliki kepemilikan yang sejati. Pemilik yang hakiki hanyalah Tuannya (Allah). Maka sikap mendahulukan (al-atsarah), beritsar, dan mengambil untuk diri-Nya (istitsar)—semuanya hanya milik Allah, berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Baik hamba memilih hal itu dan mengetahuinya, atau tidak mengetahuinya, atau tidak memilihnya—itsar itu tetap terjadi. Baik hamba membencinya atau menyukainya. Sebab, itsar itu adalah bentuk Allah sebagai Pemilik yang hakiki yang mendahulukan diri-Nya dengan apa yang menjadi milik-Nya. Maha tinggi Allah. Dari sinilah dapat dipahami ucapan beliau: “Sesungguhnya itsar itu baik bila dilakukan dengan sukarela, dan sah bila dilakukan secara terpaksa.” Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui. Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dari Madaarij As-Saalikin.    Ringkasan Bahasan I. TIGA MACAM ITSAR (MENDAHULUKAN PIHAK LAIN) Menurut Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin, itsar terbagi menjadi tiga tingkatan: 1. Itsar Tingkat Pertama: Mendahulukan Sesama atas Diri Sendiri Yaitu mendahulukan kebutuhan orang lain asalkan tidak merusak: Agamanya Perjalanan spiritualnya menuju Allah Waktunya yang berharga 2. Itsar Tingkat Kedua: Mendahulukan Keridaan Allah atas Keridaan Makhluk Yaitu mengutamakan apa yang diridhai Allah sekalipun mendatangkan ketidaksukaan manusia, bahkan bila ujian dan beban terasa berat. 3. Itsar Tingkat Ketiga: Mengutamakan Itsar Allah Sendiri Yaitu menyandarkan seluruh pemberian dan pengorbanan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri, sampai seseorang tidak lagi menganggap bahwa dirinya memiliki peran apa pun dalam pemberian tersebut. II. RINGKASAN ISI SETIAP TINGKATAN 1. Ringkasan Tingkatan Pertama: Mendahulukan orang lain tanpa merusak diri Hal yang ditekankan Ibnul Qayyim: Boleh memberi makan, pakaian, dan bantuan kepada orang lain selama tidak membuat diri terjatuh pada kemiskinan yang tercela, meminta-minta, atau menanggung dampak buruk agama. Tidak boleh mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah yang bersifat kedekatan (seperti saf pertama, azan, ilmu wajib). Itsar tidak boleh merusak hubungan dengan Allah, seperti mengutamakan teman ngobrol daripada zikir. Itsar tidak boleh merusak waktu, fokus hati, atau ibadah. Kaedah penting: ➜ “Segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi hati, waktu, dan hubunganmu dengan Allah tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” 2. Ringkasan Tingkatan Kedua: Mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk Inti bahasan: Inilah derajat para nabi dan rasul, khususnya Rasulullah ﷺ. Siapa yang mengutamakan Allah pasti diuji: dimusuhi, dicela, disakiti oleh manusia. Namun, bila ia sabar dan tetap mendahulukan Allah: Ujian berubah menjadi nikmat Ketakutan menjadi rasa aman Beban menjadi pertolongan Musibah menjadi anugerah Sunnatullah yang pasti: ➜ “Siapa yang mengejar keridaan manusia, Allah akan membuat manusia murka padanya. Siapa yang mengejar keridaan Allah, Allah akan mencukupinya dari semua manusia.” Kaedah akal sehat: ➜ Menanggung keburukan kecil demi menghindari keburukan besar adalah tanda cerdas.➜ Maka biarkan manusia marah, selama Allah ridha. 3. Ringkasan Tingkatan Ketiga: Mengutamakan itsar Allah (tingkatan ma’rifat tertinggi) Makna intinya: Menyadari bahwa semua pemberian berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri. Ketika seseorang merasa “aku telah memberi”, itu sebenarnya klaim kepemilikan, padahal hamba tidak memiliki apa pun. Tidak cukup menyadari bahwa “itsar ini dari Allah”, tetapi juga harus hilang dari perasaan bahwa “aku telah meninggalkan diriku demi Allah” karena itu pun mengandung klaim. Hakikat tertinggi: semua berasal dari Allah, berlangsung karena Allah, dan kembali kepada Allah. Kaedah tauhid dalam pemberian: ➜ “Itsar itu baik bila dilakukan rela, dan sah bila dilakukan terpaksa; karena semuanya adalah milik Allah dan terjadi dengan kehendak-Nya.” III. CARA MENGGAPAI ITSAR PADA SETIAP TINGKATAN A. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Pertama (Mendahulukan orang lain) Dicapai melalui tiga perkara: 1. Mengagungkan hak-hak manusia Menjunjung tinggi hak-hak orang lain membuat seseorang berusaha menunaikannya dengan sempurna, bahkan kadang menggunakan itsar sebagai bentuk kehati-hatian. 2. Membenci sifat kikir Orang yang membenci kekikiran akan mencari jalan keluar darinya, yaitu dengan beritsar. 3. Rindu terhadap akhlak mulia Semakin tinggi keinginan terhadap akhlak mulia, semakin mudah someone beritsar. B. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Kedua (Mendahulukan Allah atas selain-Nya) Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan tiga modal besar: 1. Baiknya tabiat dan jiwa Jiwa yang baik lebih siap memikul beban untuk Allah. 2. Kuatnya keislaman Islam yang kuat membuat seseorang tidak goyah oleh celaan manusia dan tidak gentar menghadapi musuh-musuh kebenaran. 3. Kesabaran yang besar Karena jalan menuju keridaan Allah penuh cobaan, seseorang harus kuat memikulnya. Dua fondasi utama tambahan: Zuhud terhadap dunia Zuhud terhadap pujian manusia Dan dua penguat fondasi: Yakin yang benar Cinta kepada Allah Penggerak dua hal itu: Tulus bergantung kepada Allah Sungguh-sungguh mencari keridaan-Nya C. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Ketiga (Mengutamakan itsar Allah) Tingkat ini hanya diraih dengan: 1. Membersihkan hati dari klaim kepemilikan Menyadari bahwa hamba tidak memiliki apa pun untuk diitsarkan. 2. Menyandarkan pemberian dan pengorbanan hanya kepada Allah Melihat bahwa Dialah yang memberi, memilih, dan mendahulukan. 3. Hilangnya perasaan diri dalam amal Tidak melihat diri sebagai pelaku, tetapi Allah-lah yang menggagas dan menyempurnakan kebaikan. Penutup ➜ Itsar pertama: akhlak mulia yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja.➜ Itsar kedua: derajat para nabi dan para pewarisnya.➜ Itsar ketiga: derajat ma’rifat tertinggi, hanya dicapai oleh hati yang tenggelam dalam tauhid dan penyerahan total kepada Allah. Baca juga: Kisah Itsar dari Para Salaf   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Pagi, 15-11-2025, 24 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia dermawan faedah dari Ibnul Qayyim ibnu qayyim ibnul qayyim itsar kesabaran Madarij As-Salikin mendahulukan orang lain nasihat ibnul qayyim ridha Allah tasawuf sunnah tazkiyatun nafs zuhud


Itsar—mendahulukan orang lain di atas diri sendiri—merupakan salah satu akhlak tertinggi dalam Islam. Namun, para ulama menjelaskan bahwa itsar tidak hanya sebatas memberi atau berkorban untuk sesama. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij As-Salikin menerangkan bahwa itsar memiliki tingkatan yang jauh lebih dalam: mulai dari mengutamakan kebutuhan orang lain, hingga mendahulukan keridaan Allah di atas keridaan seluruh makhluk, bahkan sampai pada derajat menyandarkan seluruh kebaikan hanya kepada Allah. Setiap tingkatannya memiliki batasan, adab, dan cara meraihnya, sehingga seorang Muslim dapat menjalani akhlak ini tanpa merusak agamanya dan tetap menjaga hubungannya dengan Allah. Tulisan ini merangkum penjelasan tersebut secara ringkas, sistematis, dan mudah dipahami agar pembaca dapat menerapkan makna itsar dalam kehidupan sehari-hari.   Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Madaarij As-Salikiin berkata, Tingkatan pertama: Engkau mendahulukan orang lain atas dirimu pada hal-hal yang tidak merusak agamamu, tidak memutus jalanmu menuju Allah, dan tidak merusak waktumu. Maksudnya: engkau mengutamakan mereka atas dirimu dalam kebutuhan mereka. Misalnya, engkau memberi mereka makanan sementara engkau sendiri lapar, memberi mereka pakaian sementara engkau kekurangan, atau memberi mereka minum sementara engkau sendiri kehausan—selama hal itu tidak membuatmu melakukan sesuatu yang merusak dan tidak boleh menurut agama. Contohnya, engkau mengutamakan mereka dengan hartamu sampai akhirnya engkau menjadi beban bagi orang lain, memandang kepada apa yang ada di tangan manusia, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Termasuk juga mengutamakan mereka dalam sesuatu yang menurut agama sebenarnya tidak boleh engkau berikan. Itu semua adalah tindakan bodoh dan lemah. Pelakunya tercela di sisi Allah dan juga di sisi manusia. Adapun perkataannya, “tidak memutus jalanmu”, maksudnya adalah tidak memutus jalan pencarianmu dan perjalananmu menuju Allah Ta‘ala. Contohnya, engkau mendahulukan teman dudukmu daripada dzikirmu, atau daripada perhatian dan kekhusyukanmu kepada Allah. Dengan begitu, engkau telah mengutamakannya atas Allah. Engkau mengorbankan bagianmu dari Allah untuk sesuatu yang tidak layak diutamakan. Perumpamaanmu seperti seorang musafir yang sedang berjalan di jalan. Lalu ada seseorang yang menghentikannya dan mengajaknya mengobrol serta melalaikannya hingga ia tertinggal dari rombongannya. Inilah keadaan kebanyakan manusia terhadap seseorang yang benar-benar sedang berjalan menuju Allah Ta‘ala. Mengutamakan mereka atas Allah adalah kerugian yang nyata. Betapa banyak orang yang mendahulukan makhluk selain Allah, dan betapa sedikit orang yang mendahulukan Allah di atas selain-Nya. Demikian juga, itsar yang merusak waktu pelakunya adalah perbuatan buruk. Misalnya, ia mengutamakan orang lain dengan waktunya, lalu ia sibuk memikirkan gantinya (apa yang hilang), atau ia mengorbankan sesuatu yang sebelumnya telah menyatukan hati dan pikirannya kepada Allah, lalu hatinya kembali tercerai-berai dan pikirannya terpecah. Ini juga termasuk bentuk itsar yang tidak terpuji. Begitu pula itsar dalam bentuk kesibukan hati dan pikiran untuk memenuhi kepentingan mereka—padahal itu bukan kewajiban atasmu—hingga engkau kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat, dan kehilangan kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Allah. Contoh-contoh semacam ini sangat banyak dan tidak samar. Bahkan, beginilah keadaan kebanyakan manusia. Setiap sebab yang membawa kebaikan bagi hatimu, waktumu, dan keadaanmu bersama Allah, maka jangan engkau dahulukan siapa pun atasnya. Jika engkau melakukannya, maka sebenarnya engkau sedang mendahulukan setan atas Allah, sementara engkau tidak menyadarinya. Perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dalam mendahulukan seseorang atas Allah—bahkan orang yang justru memudaratkan mereka ketika mereka utamakan, dan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Kebodohan dan kecerobohan apa yang lebih parah daripada ini? Dari sini para ulama fikih membahas mengenai itsar dalam ibadah-ibadah yang bernilai dekat (kepada Allah). Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh atau haram. Contohnya, seseorang mengutamakan orang lain untuk mendapatkan saf pertama lalu ia sendiri mundur, atau mengutamakan orang lain agar duduk dekat imam pada hari Jumat, atau mengutamakan orang lain untuk melakukan azan dan iqamah, atau mengutamakan orang lain dalam ilmu yang seharusnya ia dapatkan untuk dirinya, lalu ia mengangkat orang itu di atas dirinya sehingga orang itu memperoleh keutamaan tersebut sedangkan ia kehilangan. Mereka juga membahas mengenai tindakan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengutamakan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk dimakamkan di kamar beliau di dekat Rasulullah ﷺ. Para ulama menjawab bahwa ketika seseorang meninggal, amalnya terputus. Maka tidak mungkin terjadi itsar dalam bentuk kedekatan (ibadah) setelah kematian, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin lagi mendapatkan kedekatan semacam itu. Hal yang terjadi hanyalah itsar berupa memberikan tempat tinggal yang mulia dan utama bagi seseorang yang lebih layak mendapatkannya daripada diri Aisyah sendiri. Maka itsar seperti itu justru menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi orang yang melakukannya. Allah-lah yang lebih mengetahui.   Cara mewujudkan itsar jenis ini Itsar (mendahulukan orang lain) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan tiga hal: mengagungkan hak-hak (orang lain), membenci sifat kikir, dan memiliki keinginan kuat untuk meraih akhlak yang mulia. Beliau menyebutkan hal-hal yang membantu seseorang untuk mampu beritsar dan mendorongnya agar mampu melakukannya. Ada tiga hal. Pertama: Mengagungkan hak-hak (orang lain). Seseorang yang memandang bahwa hak-hak itu sesuatu yang agung, maka ia akan menunaikan kewajibannya, menjaga hak tersebut dengan baik, dan menganggap besar bila ia menyia-nyiakannya. Ia pun akan sadar bahwa jika ia belum mencapai derajat itsar, berarti ia belum menunaikan hak tersebut sebagaimana mestinya. Karena itu, ia menjadikan itsar sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat menunaikan hak tersebut dengan sempurna. Kedua: Membenci sifat kikir. Ketika seseorang membenci dan memusuhi sifat kikir, ia akan berpegang pada itsar. Ia melihat bahwa tidak ada jalan baginya untuk selamat dari sifat kikir yang dibenci itu kecuali dengan beritsar. Ketiga: Keinginan kuat terhadap akhlak yang mulia. Seberapa besar keinginannya terhadap akhlak yang mulia, sebesar itu pula itsarnya. Sebab, itsar adalah tingkatan paling tinggi dari akhlak yang mulia.   Tingkatan kedua: mendahulukan keridaan Allah atas keridaan selain-Nya, sekalipun ujian di dalamnya besar, beban yang ditanggung berat, dan kemampuan diri serta fisik terasa lemah. Mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas selain-Nya berarti: engkau menginginkan dan melakukan sesuatu yang mendatangkan keridaan-Nya, meskipun hal itu membuat manusia marah. Inilah derajat para nabi, dan tingkatan tertingginya dimiliki oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Di antara mereka pun, tingkatan tertinggi adalah milik ulul ‘azmi, dan dari seluruh ulul ‘azmi, tingkatan tertinggi adalah milik Nabi kita Muhammad ﷺ. Beliau menghadapi seluruh manusia, total dalam berdakwah kepada Allah, menanggung permusuhan orang-orang jauh maupun dekat karena Allah Ta‘ala, dan mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk dari semua sisi. Tidak ada celaan dari siapa pun yang dapat menghalangi beliau dalam mengutamakan keridaan Allah. Seluruh perhatian, tekad, dan usahanya tertuju hanya pada mengutamakan keridaan Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Hingga agama Allah tampak di atas seluruh agama, hujah-Nya tegak atas seluruh manusia, dan nikmat-Nya sempurna bagi orang-orang beriman. Maka beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, berjihad di jalan Allah sebagaimana mestinya, dan beribadah kepada Allah hingga datang kepadanya “keyakinan” (kematian) dari Rabbnya. Tidak ada seorang pun yang mencapai derajat itsar seperti yang dicapai beliau. Shalawat dan salam Allah atas beliau. Adapun ucapannya: “sekalipun ujian di dalamnya besar dan beban yang ditanggung berat,” maka ujian itu pada awalnya memang terasa berat agar orang yang bukan ahlinya tersingkir. Bila seseorang menanggungnya dan terus maju, ujian itu akan berubah menjadi karunia, dan beban itu akan berubah menjadi pertolongan. Hal ini dikenal berdasarkan pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun umum. Tidaklah seorang hamba mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas keridaan makhluk, lalu ia menanggung beratnya dan bebannya, serta bersabar terhadap ujiannya, melainkan Allah akan menjadikan dari ujian dan beban itu nikmat dan kebahagiaan, serta pertolongan sebesar apa yang ia tanggung demi keridaan-Nya. Ketakutannya berubah menjadi rasa aman, hal yang ia khawatirkan berubah menjadi keselamatan, kelelahan berubah menjadi istirahat, bebannya berubah menjadi pertolongan, musibahnya berubah menjadi nikmat, ujiannya berubah menjadi anugerah, dan kemurkaan (manusia) berubah menjadi keridaan. Sungguh merugi orang-orang yang mundur, dan sungguh hina orang-orang yang takut mengambil langkah. Selain itu, telah menjadi sunnatullah—yang tidak akan berubah—bahwa siapa yang lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan-Nya, maka Allah akan membuat orang yang ia berharap ridhanya itu justru marah kepada dirinya, kemudian Allah akan menelantarkannya, dan menjadikan musibahnya berasal dari orang itu sendiri. Orang yang dulu memujinya akan berubah mencelanya. Ia akan mengutamakan keridaan makhluk yang ternyata marah kepadanya. Maka tidaklah ia mendapatkan apa yang ia inginkan dari makhluk, dan tidak pula ia memperoleh pahala keridaan Rabbnya. Ini adalah orang yang paling lemah dan paling bodoh. Ini semua terjadi padahal keridaan manusia itu: bukan sesuatu yang mungkin sepenuhnya dicapai, bukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicari, dan bukan pula sesuatu yang diriwayatkan sebagai tujuan. Keridaan manusia itu mustahil sepenuhnya. Justru, pasti akan ada saja yang marah kepadamu. Maka, biarlah mereka marah tetapi engkau mendapatkan keridaan Allah—ini lebih engkau cintai dan lebih bermanfaat bagimu dibanding mereka ridha kepadamu sementara Allah tidak ridha kepadamu. Selama keduanya sama-sama berpotensi menimbulkan kemurkaan manusia—baik engkau mengutamakan Allah maupun mereka—maka pilihlah kemurkaan mereka yang justru membawa keridaan Allah. Jika setelah itu mereka ridha kepadamu, maka itu baik. Jika tidak, tidak masalah. Sebab, keridaan orang yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak pula memberi mudarat kepadamu—baik dalam agamamu, imanmu, maupun akhiratmu—adalah perkara yang paling ringan. Jika mereka memberi mudarat kepadamu dalam urusan dunia, maka kemurkaan Allah jauh lebih berat dan lebih besar bahayanya. Kecerdasan yang benar adalah ketika seseorang menanggung keburukan yang lebih kecil untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dan meninggalkan kebaikan yang kecil untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Maka timbanglah dengan akalmu. Setelah itu, lihatlah mana yang lebih baik untuk diutamakan, dan mana yang lebih buruk untuk dijauhi. Inilah dalil yang pasti dan niscaya dalam mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk. Ini semua berlaku karena jika seseorang mengutamakan keridaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari beban menghadapi kemurkaan manusia. Tetapi jika ia mengutamakan keridaan manusia, mereka tidak akan mampu mencukupinya dari beban kemurkaan Allah kepadanya. Sebagian salaf berkata, “Mengusahakan (keridaan) satu wajah lebih ringan bagimu daripada mengusahakan wajah banyak orang. Jika engkau mengusahakan keridaan satu wajah itu (yakni Allah), maka Ia akan mencukupimu dari semua wajah lainnya.” Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keridaan manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Karenanya, berpeganglah pada apa yang menjadi kebaikan dirimu, lalu istiqamahilah.” Dan sudah jelas bahwa tidak ada kebaikan bagi diri seseorang kecuali dengan mengutamakan keridaan Rabb dan Tuannya atas selain-Nya. Sungguh bagus bait syair Abu Firas dalam makna ini—namun sangat buruk arah ucapannya karena ia menujukannya kepada makhluk yang tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri maupun orang lain: Seandainya engkau manis, walau hidup ini pahit. Seandainya engkau ridha, saat seluruh manusia murka. Andai yang antara aku dan engkau menjadi baik, dan antara aku dan seluruh manusia menjadi rusak. Jika kasih sayang darimu benar adanya, maka segalanya menjadi ringan. Dan seluruh yang berada di atas tanah ini hanyalah tanah.   Cara mewujudkan itsar jenis ini “Itsar ini hanya dapat diwujudkan dengan tiga hal: baiknya tabiat, sempurnanya keislaman, dan kuatnya kesabaran.” Sudah diketahui bahwa seseorang yang mengutamakan keridaan Allah pasti akan menghadapi permusuhan manusia, gangguan mereka, dan usaha mereka untuk membinasakannya—dan itu tidak dapat dihindari. Inilah sunnatullah pada makhluk-Nya. Kalau tidak demikian, apa salah para nabi dan rasul? Apa salah orang-orang yang memerintahkan keadilan di tengah manusia? Apa salah para penjaga agama Allah dan para pembela kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya di hadapan manusia? Maka siapa pun yang mengutamakan keridaan Allah, niscaya ia akan dimusuhi oleh orang-orang rendahan di dunia, sampah masyarakat, orang-orang rakus, para pendengki dan orang-orang bodoh, para ahli bid‘ah dan kefasikan, para penguasa yang zalim, dan setiap orang yang menyelisihi petunjuk Allah. Tidak ada yang berani menghadapi permusuhan mereka kecuali orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah, dan orang yang bekerja keras untuk menjadi hamba yang mendengar panggilan: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai.” Hanya orang yang keislamannya kokoh dan sempurna yang mampu menghadapi semua itu—keislaman yang tidak digoyahkan oleh manusia dan tidak digetarkan oleh gunung-gunung. Juga hanya orang yang ikatan kesabarannya kuat, yang tidak terurai oleh ujian, cobaan, dan rasa takut. Aku berkata: Pokok utama semua ini ada dua hal: zuhud terhadap kehidupan (dunia) dan zuhud terhadap pujian manusia. Tidaklah seseorang menjadi lemah dan mundur kecuali karena cintanya pada kehidupan dunia, keinginannya untuk tetap hidup, serta cintanya terhadap pujian manusia dan kebenciannya terhadap celaan mereka. Jika seseorang zuhud terhadap dua hal ini, maka segala rintangan akan menjauh darinya. Saat itulah ia akan terjun sepenuhnya dalam pasukan yang berjuang menuju Allah. Adapun pokok dari dua perkara ini bertumpu pada dua hal: kebenaran yakin dan kekuatan cinta (kepada Allah). Dan pokok dari dua perkara itu pun bertumpu pada dua perkara lagi: tulus dalam bergantung kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam mencari (keridaan-Nya), serta bersegera mengambil sebab-sebab yang mengantarkan kepada keduanya. Sampai di sinilah batas kemampuan dan pengetahuan manusia. Adapun taufik berada di tangan Zat yang menguasai seluruh urusan. “Dan kalian tidak akan mampu (berkehendak) kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa saja yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, bagi mereka disiapkan azab yang pedih.”   Tingkatan ketiga: mengutamakan itsar Allah itu sendiri. Sebab, terjun ke dalam pengakuan itsar berarti klaim terhadap kepemilikan. Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat Allah beritsar. Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan hal itu. Yang dimaksud dengan “mengutamakan itsar Allah” adalah: engkau menisbatkan itsar itu kepada Allah, bukan kepada dirimu. Dialah yang sebenarnya beritsar, bukan engkau. Seolah-olah engkau menyerahkan seluruh makna itsar hanya kepada-Nya. Jika engkau mengutamakan orang lain dalam suatu hal, maka sebenarnya yang mengutamakannya adalah Allah, bukan engkau. Dialah yang benar-benar melakukan itsar, karena Dialah yang memberi dalam hakikatnya. Kemudian syaikh menjelaskan sebab yang membuat itsar itu layak disandarkan kepada Allah dan ditinggalkan dari penisbatan kepada diri sendiri. Beliau berkata: “Sebab, terjun dalam itsar adalah klaim terhadap kepemilikan.” Jika seorang hamba mengaku bahwa ia melakukan itsar, berarti ia mengklaim memiliki sesuatu yang ia gunakan untuk mengutamakan orang lain. Padahal kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah, yang memiliki segala sesuatu. Jika hamba keluar dari klaim kepemilikan, maka ia telah mengutamakan itsar Allah—yang berupa pemberian-Nya—di atas itsar dirinya sendiri. Ia menyaksikan bahwa hanya Allah semata yang beritsar dengan kepemilikan-Nya. Adapun mereka yang tidak memiliki apa pun, itsar apa yang bisa mereka lakukan? Adapun ucapan beliau: “Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat itsar Allah.” Maksudnya: ketika engkau sudah mengutamakan itsar Allah dengan menyerahkan makna itsar kepada-Nya, maka masih ada sisa dari dirimu yang harus engkau tinggalkan. Yaitu: engkau harus berpaling dari perasaan melihat dirimu bahwa engkau telah mengutamakan Allah melalui itsar itu, dan bahwa engkau menisbatkan itsar kepada-Nya, bukan kepada dirimu. Sebab, dalam penyaksian dan pandangan seperti itu terdapat klaim lain—yang lebih besar daripada klaim kepemilikan—yaitu klaim bahwa engkau memiliki sesuatu yang engkau gunakan untuk mengutamakan Allah, dan bahwa engkau mendahulukan-Nya atas dirimu melalui sesuatu yang engkau miliki. Klaim ini lebih sulit daripada klaim sebelumnya, karena mencakup seluruh kandungan klaim kepemilikan dan bahkan lebih dari itu, yaitu pengakuan bahwa engkau beritsar dengan sesuatu tersebut. Klaim pertama adalah klaim kepemilikan karena engkau beritsar dengannya, sedangkan klaim kedua adalah klaim kepemilikan sekaligus klaim beritsar dengannya. Karena itu, engkau harus meninggalkan penyaksian terhadap itsar ini. Jangan mengira bahwa engkau telah mengutamakan Allah dengan itsar tersebut. Sebab, Allah-lah yang telah mendahulukan hal itu untuk diri-Nya tanpa dirimu. Itsar itu wajib bagi Allah karena Dia sendiri yang menetapkannya bagi diri-Nya, bukan karena engkau yang menetapkannya untuk-Nya. Adapun ucapan beliau: “Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan (penisbatan) itu.” Maksudnya: ketika engkau telah sampai pada tingkat penyaksian tersebut, dan engkau telah melihat hakikat itu, masih ada satu sisa lagi dalam dirimu yang harus hilang. Yaitu: pandanganmu terhadap tindakan “meninggalkan” itu, sebuah pandangan yang mengandung klaim bahwa engkau memiliki “tindakan meninggalkan” tersebut. Padahal klaim semacam itu adalah klaim yang tidak benar. Sebab, seorang hamba tidak memiliki bagian sedikit pun dalam urusan apa pun. Tidak ada pada dirinya kekuasaan untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Sesungguhnya seluruh urusan ada di tangan Allah. Telah jelas melalui penyingkapan (kasyf), penyaksian (syuhud), ilmu, dan ma‘rifat, bahwa seorang hamba pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Ia sama sekali tidak memiliki kepemilikan yang sejati. Pemilik yang hakiki hanyalah Tuannya (Allah). Maka sikap mendahulukan (al-atsarah), beritsar, dan mengambil untuk diri-Nya (istitsar)—semuanya hanya milik Allah, berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Baik hamba memilih hal itu dan mengetahuinya, atau tidak mengetahuinya, atau tidak memilihnya—itsar itu tetap terjadi. Baik hamba membencinya atau menyukainya. Sebab, itsar itu adalah bentuk Allah sebagai Pemilik yang hakiki yang mendahulukan diri-Nya dengan apa yang menjadi milik-Nya. Maha tinggi Allah. Dari sinilah dapat dipahami ucapan beliau: “Sesungguhnya itsar itu baik bila dilakukan dengan sukarela, dan sah bila dilakukan secara terpaksa.” Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui. Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dari Madaarij As-Saalikin.    Ringkasan Bahasan I. TIGA MACAM ITSAR (MENDAHULUKAN PIHAK LAIN) Menurut Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin, itsar terbagi menjadi tiga tingkatan: 1. Itsar Tingkat Pertama: Mendahulukan Sesama atas Diri Sendiri Yaitu mendahulukan kebutuhan orang lain asalkan tidak merusak: Agamanya Perjalanan spiritualnya menuju Allah Waktunya yang berharga 2. Itsar Tingkat Kedua: Mendahulukan Keridaan Allah atas Keridaan Makhluk Yaitu mengutamakan apa yang diridhai Allah sekalipun mendatangkan ketidaksukaan manusia, bahkan bila ujian dan beban terasa berat. 3. Itsar Tingkat Ketiga: Mengutamakan Itsar Allah Sendiri Yaitu menyandarkan seluruh pemberian dan pengorbanan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri, sampai seseorang tidak lagi menganggap bahwa dirinya memiliki peran apa pun dalam pemberian tersebut. II. RINGKASAN ISI SETIAP TINGKATAN 1. Ringkasan Tingkatan Pertama: Mendahulukan orang lain tanpa merusak diri Hal yang ditekankan Ibnul Qayyim: Boleh memberi makan, pakaian, dan bantuan kepada orang lain selama tidak membuat diri terjatuh pada kemiskinan yang tercela, meminta-minta, atau menanggung dampak buruk agama. Tidak boleh mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah yang bersifat kedekatan (seperti saf pertama, azan, ilmu wajib). Itsar tidak boleh merusak hubungan dengan Allah, seperti mengutamakan teman ngobrol daripada zikir. Itsar tidak boleh merusak waktu, fokus hati, atau ibadah. Kaedah penting: ➜ “Segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi hati, waktu, dan hubunganmu dengan Allah tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” 2. Ringkasan Tingkatan Kedua: Mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk Inti bahasan: Inilah derajat para nabi dan rasul, khususnya Rasulullah ﷺ. Siapa yang mengutamakan Allah pasti diuji: dimusuhi, dicela, disakiti oleh manusia. Namun, bila ia sabar dan tetap mendahulukan Allah: Ujian berubah menjadi nikmat Ketakutan menjadi rasa aman Beban menjadi pertolongan Musibah menjadi anugerah Sunnatullah yang pasti: ➜ “Siapa yang mengejar keridaan manusia, Allah akan membuat manusia murka padanya. Siapa yang mengejar keridaan Allah, Allah akan mencukupinya dari semua manusia.” Kaedah akal sehat: ➜ Menanggung keburukan kecil demi menghindari keburukan besar adalah tanda cerdas.➜ Maka biarkan manusia marah, selama Allah ridha. 3. Ringkasan Tingkatan Ketiga: Mengutamakan itsar Allah (tingkatan ma’rifat tertinggi) Makna intinya: Menyadari bahwa semua pemberian berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri. Ketika seseorang merasa “aku telah memberi”, itu sebenarnya klaim kepemilikan, padahal hamba tidak memiliki apa pun. Tidak cukup menyadari bahwa “itsar ini dari Allah”, tetapi juga harus hilang dari perasaan bahwa “aku telah meninggalkan diriku demi Allah” karena itu pun mengandung klaim. Hakikat tertinggi: semua berasal dari Allah, berlangsung karena Allah, dan kembali kepada Allah. Kaedah tauhid dalam pemberian: ➜ “Itsar itu baik bila dilakukan rela, dan sah bila dilakukan terpaksa; karena semuanya adalah milik Allah dan terjadi dengan kehendak-Nya.” III. CARA MENGGAPAI ITSAR PADA SETIAP TINGKATAN A. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Pertama (Mendahulukan orang lain) Dicapai melalui tiga perkara: 1. Mengagungkan hak-hak manusia Menjunjung tinggi hak-hak orang lain membuat seseorang berusaha menunaikannya dengan sempurna, bahkan kadang menggunakan itsar sebagai bentuk kehati-hatian. 2. Membenci sifat kikir Orang yang membenci kekikiran akan mencari jalan keluar darinya, yaitu dengan beritsar. 3. Rindu terhadap akhlak mulia Semakin tinggi keinginan terhadap akhlak mulia, semakin mudah someone beritsar. B. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Kedua (Mendahulukan Allah atas selain-Nya) Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan tiga modal besar: 1. Baiknya tabiat dan jiwa Jiwa yang baik lebih siap memikul beban untuk Allah. 2. Kuatnya keislaman Islam yang kuat membuat seseorang tidak goyah oleh celaan manusia dan tidak gentar menghadapi musuh-musuh kebenaran. 3. Kesabaran yang besar Karena jalan menuju keridaan Allah penuh cobaan, seseorang harus kuat memikulnya. Dua fondasi utama tambahan: Zuhud terhadap dunia Zuhud terhadap pujian manusia Dan dua penguat fondasi: Yakin yang benar Cinta kepada Allah Penggerak dua hal itu: Tulus bergantung kepada Allah Sungguh-sungguh mencari keridaan-Nya C. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Ketiga (Mengutamakan itsar Allah) Tingkat ini hanya diraih dengan: 1. Membersihkan hati dari klaim kepemilikan Menyadari bahwa hamba tidak memiliki apa pun untuk diitsarkan. 2. Menyandarkan pemberian dan pengorbanan hanya kepada Allah Melihat bahwa Dialah yang memberi, memilih, dan mendahulukan. 3. Hilangnya perasaan diri dalam amal Tidak melihat diri sebagai pelaku, tetapi Allah-lah yang menggagas dan menyempurnakan kebaikan. Penutup ➜ Itsar pertama: akhlak mulia yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja.➜ Itsar kedua: derajat para nabi dan para pewarisnya.➜ Itsar ketiga: derajat ma’rifat tertinggi, hanya dicapai oleh hati yang tenggelam dalam tauhid dan penyerahan total kepada Allah. Baca juga: Kisah Itsar dari Para Salaf   —-   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Pagi, 15-11-2025, 24 Jumadilawal 1447 H Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia dermawan faedah dari Ibnul Qayyim ibnu qayyim ibnul qayyim itsar kesabaran Madarij As-Salikin mendahulukan orang lain nasihat ibnul qayyim ridha Allah tasawuf sunnah tazkiyatun nafs zuhud

Biografi Imam Asy-Syaukani

Daftar Isi ToggleNama dan nasabKelahiranPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuCiri fisik dan akhlakAkidahMazhabGuru-guruMurid-muridKarya tulisPujian ulamaWafatNama dan nasabAbu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Shalah bin Ibrahim bin Muhammad Al-‘Afif bin Muhammad bin Rizq, Asy-Syaukani. Dinisbahkan kepada ‘Syaukan’, yaitu sebuah desa dari desa-desa As-Sahamiyyah, salah satu kabilah Khawlan, yang jaraknya dengan Sana’a kurang dari jarak perjalanan satu hari.” [1]KelahiranBeliau rahimahullahu Ta‘ala lahir pada hari Senin, tanggal 28 Zulhijah tahun 1173 H di desa Hijrah Syaukan. [2]Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuBeliau rahimahullahu Ta‘ala tumbuh besar di Shan‘a, Yaman, dan dibesarkan di rumah ilmu dan kemuliaan, sehingga ia tumbuh dengan pendidikan agama yang suci. Ia menerima pengetahuan awalnya dari ayahnya dan para ulama serta orang-orang mulia di kampungnya. Ia menghafal Al-Qur’an Al-Karim dan membacanya dengan baik.Di antara faktor yang membantu Imam Asy-Syaukani dalam menuntut ilmu dan mencapai kecerdasan sejak dini adalah keberadaan dan pendidikannya di rumah ilmu dan kemuliaan. Ayahnya rahimahullah adalah salah satu ulama terkemuka di masanya, dan kebanyakan penduduk desa tersebut juga termasuk dari kalangan ulama dan orang-orang mulia.Asy-Syaukani berkata tentang ayahnya dan penduduk desanya,وهذه الهجرة معمورة بأهل الفضل والصلاح والدين من قديم الزمان، لايخلو وجود عالم منهم في كل زمن، ولكنه يكون تارة في بعض البطون، وتارة في بطن أخرى، ولهم عند سلف الأئمة جلالة عظيمة،وفيهم رؤساء كبار، ناصروا الأئمة، ولاسيما في حروب الأتراك، فإن لهم في ذلك اليد البيضاء، وكان فيهم إذ ذاك علماء و فضلاء، يعرفون في سائر البلاد الخولانيه بالقضاة “… Desa Hijrah ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan, kesalehan, dan agama sejak zaman dahulu. Tidak pernah kosong dari keberadaan seorang ulama pada setiap masa, hanya saja terkadang berada di sebagian kabilah dan terkadang di kabilah lainnya. Mereka memiliki kedudukan yang agung di sisi para imam terdahulu, dan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar yang membantu para imam, khususnya dalam peperangan melawan Turki, di mana mereka memiliki jasa yang besar. Pada masa itu, di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang mulia yang dikenal di seluruh negeri Khawlan dengan sebutan para qadhi.”Dengan demikian, Asy-Syaukani mampu memanfaatkan keberadaan para ulama di masanya yang jumlahnya sangat banyak untuk menuntut ilmu di berbagai bidang. [3] Imam Syaukani juga melakukan perjalanan menuntut ilmu di berbagai negeri untuk mulazamah dengan ulama yang ada di negeri tersebut.Ciri fisik dan akhlakKitab-kitab sejarah dan biografi tidak banyak menyebutkan tentang sifat fisik Asy-Syaukani, kecuali bahwa beliau bertubuh sedang, berkepala besar, memiliki dahi yang lebar, tampak sehat, dan memiliki kondisi fisik yang prima.Adapun sifat-sifat akhlaknya sangat banyak dan terkenal. Dalam kehidupan Asy-Syaukani, terlihat jelas bahwa beliau memulai hidupnya dengan sikap menjauh dari keramaian, tidak bergaul dengan orang kecuali untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.Kehidupannya sederhana dan zuhud, hidup secukupnya dari nafkah yang diberikan ayahnya. Ketika ia menjabat sebagai qadhi dan menerima gaji yang besar, beliau mulai menikmati makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan yang layak, serta memberi kepada murid-murid dan guru-gurunya dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Asy-Syaukani mendapatkan banyak tanah garapan dan sedekah, namun mereka menegaskan bahwa beliau tidak menyisakan sedikit pun dari itu setelah mengabdi di bidang peradilan selama lebih dari 40 tahun. Semua itu dihabiskannya di jalan kebaikan dan amal saleh.Disebutkan dengan penuh penghormatan seorang ulama mulia, Isma‘il bin Ali bin Hasan, yang biasa menghadiri majelis Imam Asy-Syaukani dan berkata,الذي كان يحضر مجلس الإمام ويقول: ” لم أسمع منه على طول مدة اجتماعي به هناك مؤذنة بالخضوع لمطلب من مطالب الدنيا، لا تصريحاً و لا تلويحاً“Selama waktu yang panjang aku duduk bersamanya di majelis itu, aku tidak pernah mendengar sedikit pun tanda-tanda beliau tunduk pada tuntutan duniawi, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.” [4]Asy-Syaukani sangat berbakti kepada guru-guru dan murid-muridnya, membuka peluang kerja di pemerintahan bagi mereka, membela mereka, dan memohonkan pertolongan kepada para imam dalam setiap masalah yang menimpa mereka. Meski beliau memiliki kecerdasan yang tajam, daya ingat yang kuat, serta keteguhan dalam pandangan dan ijtihadnya, beliau tidak merendahkan ilmunya untuk terlibat dalam perdebatan kosong dengan orang-orang yang berpura-pura berilmu. [5]AkidahAsy-Syaukani berpendapat bahwa metode para ahli kalam tidak akan sampai pada keyakinan yang pasti dan tidak mungkin mencapai kebenaran yang mereka tuju. Sebab, kebanyakan metode mereka dibangun di atas dasar-dasar yang bersifat dugaan, tanpa sandaran kecuali klaim sepihak atas akal dan tuduhan terhadap fitrah. Setiap kelompok di antara mereka membuat prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip kelompok lain, lalu menegakkan prinsip itu berdasarkan apa yang mereka anggap benar menurut akal mereka yang terbatas. Akibatnya, sesuatu yang benar menurut satu kelompok menjadi batal di mata kelompok lain. Mereka menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ketuhanan dan akidah dengan prinsip-prinsip yang saling bertentangan itu, sehingga setiap kelompok meyakini kebalikan dari keyakinan kelompok lainnya. [6]Asy-Syaukani berkata tentang masalah ini,و إن كنت تشك في هذا، فراجع كتب الكلام، وانظر المسائل التي قد صارت عند أهله من المراكز، كمسألة التحسين والتقبيح، وخلق الأفعل، وتكليف مالا يطاق، ومسألة خلق القرآن، فإنك تجد ما حكيته لك بعينه“Jika engkau ragu akan hal ini, maka rujuklah kitab-kitab kalam dan lihatlah masalah-masalah yang dianggap pokok oleh ahlinya, seperti masalah al-husn wal-qubh (baik dan buruk), penciptaan perbuatan, taklif dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, dan masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Engkau akan menemukan apa yang aku sampaikan ini persis adanya.” [7]Karena itu, jalan yang lurus dalam masalah ketuhanan dan keimanan terhadapnya adalah jalan salaf saleh, dari para sahabat dan tabi‘in, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah sesuai zahirnya, memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sesuai makna bahasa umumnya, tanpa menakwilkannya, dan beriman kepadanya seperti itu tanpa paksaan dan penyimpangan, tanpa tasybih (penyerupaan) maupun ta‘thil (penolakan sifat). Mereka menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dengan cara yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Dia menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun sekaligus menafikan keserupaan dengan makhluk. [8]Asy-Syaukani menganut prinsip ini, menjadikan dua ayat sebagai landasan dakwahnya kepada mazhab salaf:Yang pertama, firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Yang kedua,يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa pun tentang-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (QS. Thaha: 110)Kedua ayat ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus: penetapan sifat-sifat Allah dan penafian keserupaan sifat itu dengan makhluk, serta membatasi penetapan itu pada zahir yang dijelaskan ayat, dan melarang membahas bagaimana sifat-sifat tersebut.Asy-Syaukani menulis pandangannya ini dalam banyak kitabnya, khususnya At-Tuhaf fi Madzahib as-Salaf dan Kasyf asy-Syubuhat ‘an al-Musytabihat.Ia menganut akidah ini setelah penelitian panjang dan membaca kitab-kitab ilmu kalam, sehingga menegaskan bahwa ia tidak mengikuti mazhab salaf karena taklid, melainkan melalui ijtihad dan keyakinan pribadi.Karena itu, ia berkata,ولتعلم أني لم أقل هذا تقليداً لبعض من أرشدك إلى ترك الاشتغال بهذا الفن، كما وقع لجماعة من محققي العلماء، بل قلت هذا بعد تضييع برهة من العمر في الاشتغال به، وإحفاء السؤال لمن يعرفه، والأخذ عن المشهورين به، والإكباب على مطالعة كثير من مختصراته و مطولاته“Ketahuilah bahwa aku tidak mengatakan ini karena taklid kepada sebagian orang yang menasihatimu untuk meninggalkan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama yang meneliti. Akan tetapi, aku mengatakannya setelah membuang waktu cukup lama dalam mempelajarinya, bertanya kepada orang yang menguasainya, belajar dari para tokoh yang terkenal di bidangnya, membaca banyak ringkasan dan kitab tebalnya.” [9]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-AndalusiMazhabAsy-Syaukani pada awal kehidupannya mempelajari fikih dengan berpegang pada mazhab Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, dan beliau unggul dalam mazhab tersebut hingga melampaui para ulama pada zamannya. Sampai akhirnya beliau melepaskan diri dari belenggu taqlid dan menghiasi dirinya dengan kedudukan sebagai seorang mujtahid. Beliau pun menulis kitabnya as-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar. Dalam kitab tersebut, beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Zaidiyah, melainkan menguatkan pendapat yang menurut hasil ijtihadnya benar berdasarkan dalil, dan melemahkan pendapat yang tidak memiliki landasan dalil.Hal ini membuat para pengikut mazhabnya, dari kalangan Zaidiyah yang fanatik terhadap mazhab mereka dalam masalah pokok maupun cabang agama, marah dan menentangnya. Beliau pun menghadapi mereka dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap kali mereka semakin keras menentangnya, beliau semakin teguh berpegang pada jalannya. Hingga akhirnya beliau menulis sebuah risalah berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang berisi celaan dan pengharaman terhadap taqlid. Risalah ini justru semakin menambah fanatisme mereka terhadap penentangan beliau, bahkan sampai menuduh beliau ingin meruntuhkan mazhab Ahlul Bait.Akibatnya, terjadi fitnah di kota Shan‘a antara para penentangnya dan para pendukungnya. Beliau membalas tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa dirinya bersikap sama terhadap semua mazhab, dan tidak khusus mengharamkan taqlid hanya pada mazhab Zaidiyah saja. [10]Demikianlah, asy-Syaukani memilih jalan bermazhab yang tidak terikat pada satu pendapat tertentu dari para ulama terdahulu, melainkan mengikuti apa yang dihasilkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat terlihat oleh pembaca kitabnya Nail al-Awthar, di mana beliau menukil pendapat-pendapat dan mazhab para ulama di berbagai negeri, pendapat para sahabat dan tabi‘in, beserta hujjah masing-masing, lalu menutupnya dengan pendapat pribadinya, memilih apa yang menurutnya lebih kuat.Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad telah dimudahkan oleh Allah Ta‘ala bagi para ulama yang datang belakangan, bahkan lebih mudah dibandingkan masa generasi awal. Beliau berkata,فإنه لا يخفى على من له أدنى فهم، أن الاجتهاد قد يسره الله للمتأخرين، تيسيراً لم يكن للسابقين؛ لأن التفاسير للكتاب العزيز قد دونت، وصارت من الكثرة إلى حد لا يمكن حصره، وكذلك السنة المطهرة، وتكلم الأئمة في التفسير، والتجريح والتصحيح، والترجيح، بما هو زيادة على ما يحتاج إليه المجتهد، وقد كان السلف الصالح، ومن قبل هؤلاء المنكرين يرحل للحديث الواحد، ومن قطر إلى قطر، فالاجتهاد على المتأخرين أيسر وأسهل من الاجنهاد على المتقدمين، ولا يخالف في هذا من له فهم صحيح، وعقل سوي“… Tidaklah samar bagi siapa pun yang memiliki sedikit saja pemahaman, bahwa ijtihad telah dimudahkan oleh Allah bagi para ulama muta’akhkhirin dengan kemudahan yang tidak dimiliki para pendahulu. Sebab, kitab-kitab tafsir terhadap Al-Qur’an telah ditulis dan jumlahnya kini sangat banyak hingga tak terhitung, begitu pula sunnah Nabi ﷺ, dan para imam telah membahas tentang tafsir, jarh wa ta‘dil, serta tarjih dengan pembahasan yang lebih dari cukup bagi seorang mujtahid. Padahal para ulama salaf dahulu — bahkan sebelum mereka yang mengingkari ijtihad ini — kadang menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadis, dari satu negeri ke negeri lain. Maka, ijtihad bagi ulama belakangan ini lebih mudah dan ringan dibandingkan ijtihad bagi ulama terdahulu. Dan tidaklah hal ini diingkari oleh siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar dan akal yang lurus.” [11]Guru-guruAsy-Syaukani adalah sosok yang memiliki semangat besar untuk mencari ilmu dan pengetahuan di berbagai sumber. Ia berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain untuk menimba ilmu, sehingga sulit untuk melacak semua gurunya. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian guru beliau yang terkenal, di antaranya:Ayahnya: Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan al-Syaukani (w. 1211 H). [12]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muthahhar al-Qabali (1158–1227 H). [13]Ahmad bin ‘Amir al-Hada’i (1127–1197 H / 1715–1783 M).Ahmad bin Muhammad al-Harazi (1158–1227 H). [14]Isma’il bin al-Hasan al-Mahdi bin Ahmad bin al-Imam al-Qasim bin Muhammad (1120–1206 H).al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (1140–1208 H).Shadiq ‘Ali al-Mazzajaji al-Hanafi (1150–1209 H).‘Abd al-Rahman bin Hasan al-Akwa‘ (1135–1207 H / 1724–1772 M).‘Abd al-Rahman bin Qasim al-Madani (1121–1211 H / 1709–1796 M). [15]‘Abd al-Qadir bin Ahmad Syarf al-Din al-Kawkabani (1135–1207 H). [16]Dan masih banyak lagi guru-guru beliau rahimahullah.Murid-muridDi antara murid-muridnya yang terkenal adalah:Putranya, Ahmad bin Muhammad bin Ali Asy-SyaukaniMuhammad bin Ahmad As-SudiMuhammad bin Ahmad Musyham As-Sha‘di Ash-Shan‘aniAhmad bin Ali bin MuhsinMuhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya Asy-SyamiAbdurrahman bin Ahmad Al-Bahlaki Adh-Dhamadi Ash-Shibya‘iAhmad bin Abdullah Adh-DhamadiAli bin Ahmad bin Hājar Ash-Shan‘aniKarya tulisImam asy-Syaukani rahimahullah meninggalkan warisan besar berupa karya tulis yang mencapai 278 judul. Sebagian besar dari karya tersebut masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di laci dan rak, dan hingga kini belum berkesempatan terbit atau dicetak. Di antara karya tulisnya adalah:Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min at-TafsirAl-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ahAd-Durar al-BahiyyahAd-Darari al-Mudiyyah fi Syarh ad-Durar al-BahiyyahAs-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-AzharNail al-Autar Syarh Muntaqa al-AkhbarIrsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-UshulTuhfah adz-DzakirinAl-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-SyaukaniAl-Badr ath-Thaali’ bi Mahasin man Ba’da al-Qarn as-Sabi’Dan masih banyak lagi karya lainnya.Pujian ulamaIbrahim bin ‘Abdullah al-Houthi berkata tentangnya,زعيم ارباب التأويل سمع وصنف وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحجث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه في البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في الحديث والتفسير والأصول والفروع والتاريخ ومعرفة الرجال وحال الأسانيد في تحصيل العوالي وتمييز العالي من النازل وغير ذلك“Pemimpin para ahli takwil, ia mendengar (hadis), menulis, dan membuat telinga terpukau dengan fatwa-fatwanya yang indah. Ia meriwayatkan dan memberi manfaat, lembaran-lembaran fatwanya tersebar di berbagai negeri. Ia masyhur dengan ketelitian dan ketajaman analisis. Kepemimpinan ilmu dalam bidang hadis, tafsir, ushul, furu‘, sejarah, serta ilmu rijal dan keadaan sanad—dalam memperoleh sanad yang tinggi, membedakan antara sanad tinggi dan rendah, serta lain-lain—berakhir (berpusat) padanya.” [17]Luthf bin Ahmad Juhaf berkata tentang asy-Syaukani,مفسر محدث، فقيه أصولي مؤرخ أديب نحوي منطقي متكلم حكيم صارت تصانيفه في البلاد في حياته وانتفع الناس بها بعد وفاته، وتفسيره ” فتح القدير ” و ” نيل الأوطار ” في الحديث من خير ما أخرج للناس كما يلاحظ أن الشوكاني يدخل في المناقشات الفقهية ويذكر أقوال العلماء وأدلتهم في تفسير كل آية تتعلق بالأحكام“Beliau adalah seorang mufassir, muhaddits, faqih usuli, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, logika, ilmu kalam, dan hikmah. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai negeri sejak masa hidupnya, dan manusia tetap mengambil manfaat darinya setelah wafatnya. Tafsir beliau Fath al-Qadir dan kitab hadis Nayl al-Awthar termasuk sebaik-baik karya yang pernah disajikan untuk umat. Terlihat bahwa asy-Syaukani masuk dalam diskusi-diskusi fikih, menyebutkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil mereka dalam menafsirkan setiap ayat yang berkaitan dengan hukum.” [18]WafatImam asy-Syaukani rahimahullah wafat pada malam Rabu, tiga hari tersisa dari bulan Jumadal Akhirah tahun 1250 H / 1834 M, pada usia 76 tahun 7 bulan. Beliau disalatkan di Masjid Agung Sana’a dan dimakamkan di pemakaman Khuzaymah yang terkenal di kota Sana’a. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan membalas jasanya kepada kita dengan sebaik-baik balasan.Al-‘Allamah Hasan bin Ahmad al-Bahkali berkata tentangnya,السنة الخمسون بعد المائتين والألف، وفيها في شهر جمادى الآخرة كانت وفاة شيخنا ” محمد بن علي الشزكاني ” وهو قاضي الجماعة، شيخ الإسلام، المحقق العلامة الإمام، سلطان العلماء، إمام الدنيا، خاتمة الحفاظ بلا مراء، الحجة النقاد، علي الإسناد، السابق في ميدان الاجتهاد“Tahun lima puluh setelah dua ratus dan seribu (1250 H), pada bulan Jumada al-Akhirah, wafat guru kami Muhammad bin ‘Ali al-Syazkani, yang merupakan Qadhi al-Jama‘ah, Syekhul Islam, ulama peneliti yang alim, imam, sultan para ulama, imam dunia, penutup para huffazh tanpa keraguan, hujjah yang ahli kritik, memiliki sanad tinggi, yang terdepan di medan ijtihad.” [19]Wallahu a’lam.Baca juga: Biografi Imam Ad-Darimi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 480 melalui Maktabah Syamilah.[2] Ibid, 1: 481.[3] Ibid.[4] Ibid, hal. 150.[5] Muqaddimah As-Sail Al-Jaror, hal. 38 (melalui Maktabah Syamilah).[6] Kasyfu Syubhat ‘an Al-Mutasyabihat, hal. 22-23 (melalui Maktabah Syamilah).[7] Ibid.[8] At-Tuhaf fii Mazahib As-Salaf, hal. 53 (melalui Maktabah Syamilah).[9] Ibid, hal. 23-24.[10] Al-Qoul Al-Mufiid, hal. 25-26.[11] Irsyad Al-Fahuul, hal. 446-449 (melalui Maktabah Syamilah dan diringkas oleh penulis).[12] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 464 (melalui Maktabah Syamilah).[13] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, karya Al-Ghamariy, hal. 71 (melalui Maktabah Syamilah).[14] Ibid, hal. 73.[15] Op, cit, 1: 380.[16] Ibid.[17] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, hal. 318.[18] Mu’jam Al-Muallifin, 11: 53 (melalui Maktabah Syamilah).[19] At-Taj Al-Mukallal, hal. 451 (melalui Maktabah Syamilah).

Biografi Imam Asy-Syaukani

Daftar Isi ToggleNama dan nasabKelahiranPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuCiri fisik dan akhlakAkidahMazhabGuru-guruMurid-muridKarya tulisPujian ulamaWafatNama dan nasabAbu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Shalah bin Ibrahim bin Muhammad Al-‘Afif bin Muhammad bin Rizq, Asy-Syaukani. Dinisbahkan kepada ‘Syaukan’, yaitu sebuah desa dari desa-desa As-Sahamiyyah, salah satu kabilah Khawlan, yang jaraknya dengan Sana’a kurang dari jarak perjalanan satu hari.” [1]KelahiranBeliau rahimahullahu Ta‘ala lahir pada hari Senin, tanggal 28 Zulhijah tahun 1173 H di desa Hijrah Syaukan. [2]Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuBeliau rahimahullahu Ta‘ala tumbuh besar di Shan‘a, Yaman, dan dibesarkan di rumah ilmu dan kemuliaan, sehingga ia tumbuh dengan pendidikan agama yang suci. Ia menerima pengetahuan awalnya dari ayahnya dan para ulama serta orang-orang mulia di kampungnya. Ia menghafal Al-Qur’an Al-Karim dan membacanya dengan baik.Di antara faktor yang membantu Imam Asy-Syaukani dalam menuntut ilmu dan mencapai kecerdasan sejak dini adalah keberadaan dan pendidikannya di rumah ilmu dan kemuliaan. Ayahnya rahimahullah adalah salah satu ulama terkemuka di masanya, dan kebanyakan penduduk desa tersebut juga termasuk dari kalangan ulama dan orang-orang mulia.Asy-Syaukani berkata tentang ayahnya dan penduduk desanya,وهذه الهجرة معمورة بأهل الفضل والصلاح والدين من قديم الزمان، لايخلو وجود عالم منهم في كل زمن، ولكنه يكون تارة في بعض البطون، وتارة في بطن أخرى، ولهم عند سلف الأئمة جلالة عظيمة،وفيهم رؤساء كبار، ناصروا الأئمة، ولاسيما في حروب الأتراك، فإن لهم في ذلك اليد البيضاء، وكان فيهم إذ ذاك علماء و فضلاء، يعرفون في سائر البلاد الخولانيه بالقضاة “… Desa Hijrah ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan, kesalehan, dan agama sejak zaman dahulu. Tidak pernah kosong dari keberadaan seorang ulama pada setiap masa, hanya saja terkadang berada di sebagian kabilah dan terkadang di kabilah lainnya. Mereka memiliki kedudukan yang agung di sisi para imam terdahulu, dan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar yang membantu para imam, khususnya dalam peperangan melawan Turki, di mana mereka memiliki jasa yang besar. Pada masa itu, di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang mulia yang dikenal di seluruh negeri Khawlan dengan sebutan para qadhi.”Dengan demikian, Asy-Syaukani mampu memanfaatkan keberadaan para ulama di masanya yang jumlahnya sangat banyak untuk menuntut ilmu di berbagai bidang. [3] Imam Syaukani juga melakukan perjalanan menuntut ilmu di berbagai negeri untuk mulazamah dengan ulama yang ada di negeri tersebut.Ciri fisik dan akhlakKitab-kitab sejarah dan biografi tidak banyak menyebutkan tentang sifat fisik Asy-Syaukani, kecuali bahwa beliau bertubuh sedang, berkepala besar, memiliki dahi yang lebar, tampak sehat, dan memiliki kondisi fisik yang prima.Adapun sifat-sifat akhlaknya sangat banyak dan terkenal. Dalam kehidupan Asy-Syaukani, terlihat jelas bahwa beliau memulai hidupnya dengan sikap menjauh dari keramaian, tidak bergaul dengan orang kecuali untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.Kehidupannya sederhana dan zuhud, hidup secukupnya dari nafkah yang diberikan ayahnya. Ketika ia menjabat sebagai qadhi dan menerima gaji yang besar, beliau mulai menikmati makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan yang layak, serta memberi kepada murid-murid dan guru-gurunya dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Asy-Syaukani mendapatkan banyak tanah garapan dan sedekah, namun mereka menegaskan bahwa beliau tidak menyisakan sedikit pun dari itu setelah mengabdi di bidang peradilan selama lebih dari 40 tahun. Semua itu dihabiskannya di jalan kebaikan dan amal saleh.Disebutkan dengan penuh penghormatan seorang ulama mulia, Isma‘il bin Ali bin Hasan, yang biasa menghadiri majelis Imam Asy-Syaukani dan berkata,الذي كان يحضر مجلس الإمام ويقول: ” لم أسمع منه على طول مدة اجتماعي به هناك مؤذنة بالخضوع لمطلب من مطالب الدنيا، لا تصريحاً و لا تلويحاً“Selama waktu yang panjang aku duduk bersamanya di majelis itu, aku tidak pernah mendengar sedikit pun tanda-tanda beliau tunduk pada tuntutan duniawi, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.” [4]Asy-Syaukani sangat berbakti kepada guru-guru dan murid-muridnya, membuka peluang kerja di pemerintahan bagi mereka, membela mereka, dan memohonkan pertolongan kepada para imam dalam setiap masalah yang menimpa mereka. Meski beliau memiliki kecerdasan yang tajam, daya ingat yang kuat, serta keteguhan dalam pandangan dan ijtihadnya, beliau tidak merendahkan ilmunya untuk terlibat dalam perdebatan kosong dengan orang-orang yang berpura-pura berilmu. [5]AkidahAsy-Syaukani berpendapat bahwa metode para ahli kalam tidak akan sampai pada keyakinan yang pasti dan tidak mungkin mencapai kebenaran yang mereka tuju. Sebab, kebanyakan metode mereka dibangun di atas dasar-dasar yang bersifat dugaan, tanpa sandaran kecuali klaim sepihak atas akal dan tuduhan terhadap fitrah. Setiap kelompok di antara mereka membuat prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip kelompok lain, lalu menegakkan prinsip itu berdasarkan apa yang mereka anggap benar menurut akal mereka yang terbatas. Akibatnya, sesuatu yang benar menurut satu kelompok menjadi batal di mata kelompok lain. Mereka menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ketuhanan dan akidah dengan prinsip-prinsip yang saling bertentangan itu, sehingga setiap kelompok meyakini kebalikan dari keyakinan kelompok lainnya. [6]Asy-Syaukani berkata tentang masalah ini,و إن كنت تشك في هذا، فراجع كتب الكلام، وانظر المسائل التي قد صارت عند أهله من المراكز، كمسألة التحسين والتقبيح، وخلق الأفعل، وتكليف مالا يطاق، ومسألة خلق القرآن، فإنك تجد ما حكيته لك بعينه“Jika engkau ragu akan hal ini, maka rujuklah kitab-kitab kalam dan lihatlah masalah-masalah yang dianggap pokok oleh ahlinya, seperti masalah al-husn wal-qubh (baik dan buruk), penciptaan perbuatan, taklif dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, dan masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Engkau akan menemukan apa yang aku sampaikan ini persis adanya.” [7]Karena itu, jalan yang lurus dalam masalah ketuhanan dan keimanan terhadapnya adalah jalan salaf saleh, dari para sahabat dan tabi‘in, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah sesuai zahirnya, memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sesuai makna bahasa umumnya, tanpa menakwilkannya, dan beriman kepadanya seperti itu tanpa paksaan dan penyimpangan, tanpa tasybih (penyerupaan) maupun ta‘thil (penolakan sifat). Mereka menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dengan cara yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Dia menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun sekaligus menafikan keserupaan dengan makhluk. [8]Asy-Syaukani menganut prinsip ini, menjadikan dua ayat sebagai landasan dakwahnya kepada mazhab salaf:Yang pertama, firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Yang kedua,يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa pun tentang-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (QS. Thaha: 110)Kedua ayat ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus: penetapan sifat-sifat Allah dan penafian keserupaan sifat itu dengan makhluk, serta membatasi penetapan itu pada zahir yang dijelaskan ayat, dan melarang membahas bagaimana sifat-sifat tersebut.Asy-Syaukani menulis pandangannya ini dalam banyak kitabnya, khususnya At-Tuhaf fi Madzahib as-Salaf dan Kasyf asy-Syubuhat ‘an al-Musytabihat.Ia menganut akidah ini setelah penelitian panjang dan membaca kitab-kitab ilmu kalam, sehingga menegaskan bahwa ia tidak mengikuti mazhab salaf karena taklid, melainkan melalui ijtihad dan keyakinan pribadi.Karena itu, ia berkata,ولتعلم أني لم أقل هذا تقليداً لبعض من أرشدك إلى ترك الاشتغال بهذا الفن، كما وقع لجماعة من محققي العلماء، بل قلت هذا بعد تضييع برهة من العمر في الاشتغال به، وإحفاء السؤال لمن يعرفه، والأخذ عن المشهورين به، والإكباب على مطالعة كثير من مختصراته و مطولاته“Ketahuilah bahwa aku tidak mengatakan ini karena taklid kepada sebagian orang yang menasihatimu untuk meninggalkan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama yang meneliti. Akan tetapi, aku mengatakannya setelah membuang waktu cukup lama dalam mempelajarinya, bertanya kepada orang yang menguasainya, belajar dari para tokoh yang terkenal di bidangnya, membaca banyak ringkasan dan kitab tebalnya.” [9]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-AndalusiMazhabAsy-Syaukani pada awal kehidupannya mempelajari fikih dengan berpegang pada mazhab Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, dan beliau unggul dalam mazhab tersebut hingga melampaui para ulama pada zamannya. Sampai akhirnya beliau melepaskan diri dari belenggu taqlid dan menghiasi dirinya dengan kedudukan sebagai seorang mujtahid. Beliau pun menulis kitabnya as-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar. Dalam kitab tersebut, beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Zaidiyah, melainkan menguatkan pendapat yang menurut hasil ijtihadnya benar berdasarkan dalil, dan melemahkan pendapat yang tidak memiliki landasan dalil.Hal ini membuat para pengikut mazhabnya, dari kalangan Zaidiyah yang fanatik terhadap mazhab mereka dalam masalah pokok maupun cabang agama, marah dan menentangnya. Beliau pun menghadapi mereka dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap kali mereka semakin keras menentangnya, beliau semakin teguh berpegang pada jalannya. Hingga akhirnya beliau menulis sebuah risalah berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang berisi celaan dan pengharaman terhadap taqlid. Risalah ini justru semakin menambah fanatisme mereka terhadap penentangan beliau, bahkan sampai menuduh beliau ingin meruntuhkan mazhab Ahlul Bait.Akibatnya, terjadi fitnah di kota Shan‘a antara para penentangnya dan para pendukungnya. Beliau membalas tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa dirinya bersikap sama terhadap semua mazhab, dan tidak khusus mengharamkan taqlid hanya pada mazhab Zaidiyah saja. [10]Demikianlah, asy-Syaukani memilih jalan bermazhab yang tidak terikat pada satu pendapat tertentu dari para ulama terdahulu, melainkan mengikuti apa yang dihasilkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat terlihat oleh pembaca kitabnya Nail al-Awthar, di mana beliau menukil pendapat-pendapat dan mazhab para ulama di berbagai negeri, pendapat para sahabat dan tabi‘in, beserta hujjah masing-masing, lalu menutupnya dengan pendapat pribadinya, memilih apa yang menurutnya lebih kuat.Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad telah dimudahkan oleh Allah Ta‘ala bagi para ulama yang datang belakangan, bahkan lebih mudah dibandingkan masa generasi awal. Beliau berkata,فإنه لا يخفى على من له أدنى فهم، أن الاجتهاد قد يسره الله للمتأخرين، تيسيراً لم يكن للسابقين؛ لأن التفاسير للكتاب العزيز قد دونت، وصارت من الكثرة إلى حد لا يمكن حصره، وكذلك السنة المطهرة، وتكلم الأئمة في التفسير، والتجريح والتصحيح، والترجيح، بما هو زيادة على ما يحتاج إليه المجتهد، وقد كان السلف الصالح، ومن قبل هؤلاء المنكرين يرحل للحديث الواحد، ومن قطر إلى قطر، فالاجتهاد على المتأخرين أيسر وأسهل من الاجنهاد على المتقدمين، ولا يخالف في هذا من له فهم صحيح، وعقل سوي“… Tidaklah samar bagi siapa pun yang memiliki sedikit saja pemahaman, bahwa ijtihad telah dimudahkan oleh Allah bagi para ulama muta’akhkhirin dengan kemudahan yang tidak dimiliki para pendahulu. Sebab, kitab-kitab tafsir terhadap Al-Qur’an telah ditulis dan jumlahnya kini sangat banyak hingga tak terhitung, begitu pula sunnah Nabi ﷺ, dan para imam telah membahas tentang tafsir, jarh wa ta‘dil, serta tarjih dengan pembahasan yang lebih dari cukup bagi seorang mujtahid. Padahal para ulama salaf dahulu — bahkan sebelum mereka yang mengingkari ijtihad ini — kadang menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadis, dari satu negeri ke negeri lain. Maka, ijtihad bagi ulama belakangan ini lebih mudah dan ringan dibandingkan ijtihad bagi ulama terdahulu. Dan tidaklah hal ini diingkari oleh siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar dan akal yang lurus.” [11]Guru-guruAsy-Syaukani adalah sosok yang memiliki semangat besar untuk mencari ilmu dan pengetahuan di berbagai sumber. Ia berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain untuk menimba ilmu, sehingga sulit untuk melacak semua gurunya. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian guru beliau yang terkenal, di antaranya:Ayahnya: Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan al-Syaukani (w. 1211 H). [12]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muthahhar al-Qabali (1158–1227 H). [13]Ahmad bin ‘Amir al-Hada’i (1127–1197 H / 1715–1783 M).Ahmad bin Muhammad al-Harazi (1158–1227 H). [14]Isma’il bin al-Hasan al-Mahdi bin Ahmad bin al-Imam al-Qasim bin Muhammad (1120–1206 H).al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (1140–1208 H).Shadiq ‘Ali al-Mazzajaji al-Hanafi (1150–1209 H).‘Abd al-Rahman bin Hasan al-Akwa‘ (1135–1207 H / 1724–1772 M).‘Abd al-Rahman bin Qasim al-Madani (1121–1211 H / 1709–1796 M). [15]‘Abd al-Qadir bin Ahmad Syarf al-Din al-Kawkabani (1135–1207 H). [16]Dan masih banyak lagi guru-guru beliau rahimahullah.Murid-muridDi antara murid-muridnya yang terkenal adalah:Putranya, Ahmad bin Muhammad bin Ali Asy-SyaukaniMuhammad bin Ahmad As-SudiMuhammad bin Ahmad Musyham As-Sha‘di Ash-Shan‘aniAhmad bin Ali bin MuhsinMuhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya Asy-SyamiAbdurrahman bin Ahmad Al-Bahlaki Adh-Dhamadi Ash-Shibya‘iAhmad bin Abdullah Adh-DhamadiAli bin Ahmad bin Hājar Ash-Shan‘aniKarya tulisImam asy-Syaukani rahimahullah meninggalkan warisan besar berupa karya tulis yang mencapai 278 judul. Sebagian besar dari karya tersebut masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di laci dan rak, dan hingga kini belum berkesempatan terbit atau dicetak. Di antara karya tulisnya adalah:Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min at-TafsirAl-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ahAd-Durar al-BahiyyahAd-Darari al-Mudiyyah fi Syarh ad-Durar al-BahiyyahAs-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-AzharNail al-Autar Syarh Muntaqa al-AkhbarIrsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-UshulTuhfah adz-DzakirinAl-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-SyaukaniAl-Badr ath-Thaali’ bi Mahasin man Ba’da al-Qarn as-Sabi’Dan masih banyak lagi karya lainnya.Pujian ulamaIbrahim bin ‘Abdullah al-Houthi berkata tentangnya,زعيم ارباب التأويل سمع وصنف وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحجث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه في البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في الحديث والتفسير والأصول والفروع والتاريخ ومعرفة الرجال وحال الأسانيد في تحصيل العوالي وتمييز العالي من النازل وغير ذلك“Pemimpin para ahli takwil, ia mendengar (hadis), menulis, dan membuat telinga terpukau dengan fatwa-fatwanya yang indah. Ia meriwayatkan dan memberi manfaat, lembaran-lembaran fatwanya tersebar di berbagai negeri. Ia masyhur dengan ketelitian dan ketajaman analisis. Kepemimpinan ilmu dalam bidang hadis, tafsir, ushul, furu‘, sejarah, serta ilmu rijal dan keadaan sanad—dalam memperoleh sanad yang tinggi, membedakan antara sanad tinggi dan rendah, serta lain-lain—berakhir (berpusat) padanya.” [17]Luthf bin Ahmad Juhaf berkata tentang asy-Syaukani,مفسر محدث، فقيه أصولي مؤرخ أديب نحوي منطقي متكلم حكيم صارت تصانيفه في البلاد في حياته وانتفع الناس بها بعد وفاته، وتفسيره ” فتح القدير ” و ” نيل الأوطار ” في الحديث من خير ما أخرج للناس كما يلاحظ أن الشوكاني يدخل في المناقشات الفقهية ويذكر أقوال العلماء وأدلتهم في تفسير كل آية تتعلق بالأحكام“Beliau adalah seorang mufassir, muhaddits, faqih usuli, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, logika, ilmu kalam, dan hikmah. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai negeri sejak masa hidupnya, dan manusia tetap mengambil manfaat darinya setelah wafatnya. Tafsir beliau Fath al-Qadir dan kitab hadis Nayl al-Awthar termasuk sebaik-baik karya yang pernah disajikan untuk umat. Terlihat bahwa asy-Syaukani masuk dalam diskusi-diskusi fikih, menyebutkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil mereka dalam menafsirkan setiap ayat yang berkaitan dengan hukum.” [18]WafatImam asy-Syaukani rahimahullah wafat pada malam Rabu, tiga hari tersisa dari bulan Jumadal Akhirah tahun 1250 H / 1834 M, pada usia 76 tahun 7 bulan. Beliau disalatkan di Masjid Agung Sana’a dan dimakamkan di pemakaman Khuzaymah yang terkenal di kota Sana’a. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan membalas jasanya kepada kita dengan sebaik-baik balasan.Al-‘Allamah Hasan bin Ahmad al-Bahkali berkata tentangnya,السنة الخمسون بعد المائتين والألف، وفيها في شهر جمادى الآخرة كانت وفاة شيخنا ” محمد بن علي الشزكاني ” وهو قاضي الجماعة، شيخ الإسلام، المحقق العلامة الإمام، سلطان العلماء، إمام الدنيا، خاتمة الحفاظ بلا مراء، الحجة النقاد، علي الإسناد، السابق في ميدان الاجتهاد“Tahun lima puluh setelah dua ratus dan seribu (1250 H), pada bulan Jumada al-Akhirah, wafat guru kami Muhammad bin ‘Ali al-Syazkani, yang merupakan Qadhi al-Jama‘ah, Syekhul Islam, ulama peneliti yang alim, imam, sultan para ulama, imam dunia, penutup para huffazh tanpa keraguan, hujjah yang ahli kritik, memiliki sanad tinggi, yang terdepan di medan ijtihad.” [19]Wallahu a’lam.Baca juga: Biografi Imam Ad-Darimi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 480 melalui Maktabah Syamilah.[2] Ibid, 1: 481.[3] Ibid.[4] Ibid, hal. 150.[5] Muqaddimah As-Sail Al-Jaror, hal. 38 (melalui Maktabah Syamilah).[6] Kasyfu Syubhat ‘an Al-Mutasyabihat, hal. 22-23 (melalui Maktabah Syamilah).[7] Ibid.[8] At-Tuhaf fii Mazahib As-Salaf, hal. 53 (melalui Maktabah Syamilah).[9] Ibid, hal. 23-24.[10] Al-Qoul Al-Mufiid, hal. 25-26.[11] Irsyad Al-Fahuul, hal. 446-449 (melalui Maktabah Syamilah dan diringkas oleh penulis).[12] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 464 (melalui Maktabah Syamilah).[13] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, karya Al-Ghamariy, hal. 71 (melalui Maktabah Syamilah).[14] Ibid, hal. 73.[15] Op, cit, 1: 380.[16] Ibid.[17] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, hal. 318.[18] Mu’jam Al-Muallifin, 11: 53 (melalui Maktabah Syamilah).[19] At-Taj Al-Mukallal, hal. 451 (melalui Maktabah Syamilah).
Daftar Isi ToggleNama dan nasabKelahiranPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuCiri fisik dan akhlakAkidahMazhabGuru-guruMurid-muridKarya tulisPujian ulamaWafatNama dan nasabAbu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Shalah bin Ibrahim bin Muhammad Al-‘Afif bin Muhammad bin Rizq, Asy-Syaukani. Dinisbahkan kepada ‘Syaukan’, yaitu sebuah desa dari desa-desa As-Sahamiyyah, salah satu kabilah Khawlan, yang jaraknya dengan Sana’a kurang dari jarak perjalanan satu hari.” [1]KelahiranBeliau rahimahullahu Ta‘ala lahir pada hari Senin, tanggal 28 Zulhijah tahun 1173 H di desa Hijrah Syaukan. [2]Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuBeliau rahimahullahu Ta‘ala tumbuh besar di Shan‘a, Yaman, dan dibesarkan di rumah ilmu dan kemuliaan, sehingga ia tumbuh dengan pendidikan agama yang suci. Ia menerima pengetahuan awalnya dari ayahnya dan para ulama serta orang-orang mulia di kampungnya. Ia menghafal Al-Qur’an Al-Karim dan membacanya dengan baik.Di antara faktor yang membantu Imam Asy-Syaukani dalam menuntut ilmu dan mencapai kecerdasan sejak dini adalah keberadaan dan pendidikannya di rumah ilmu dan kemuliaan. Ayahnya rahimahullah adalah salah satu ulama terkemuka di masanya, dan kebanyakan penduduk desa tersebut juga termasuk dari kalangan ulama dan orang-orang mulia.Asy-Syaukani berkata tentang ayahnya dan penduduk desanya,وهذه الهجرة معمورة بأهل الفضل والصلاح والدين من قديم الزمان، لايخلو وجود عالم منهم في كل زمن، ولكنه يكون تارة في بعض البطون، وتارة في بطن أخرى، ولهم عند سلف الأئمة جلالة عظيمة،وفيهم رؤساء كبار، ناصروا الأئمة، ولاسيما في حروب الأتراك، فإن لهم في ذلك اليد البيضاء، وكان فيهم إذ ذاك علماء و فضلاء، يعرفون في سائر البلاد الخولانيه بالقضاة “… Desa Hijrah ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan, kesalehan, dan agama sejak zaman dahulu. Tidak pernah kosong dari keberadaan seorang ulama pada setiap masa, hanya saja terkadang berada di sebagian kabilah dan terkadang di kabilah lainnya. Mereka memiliki kedudukan yang agung di sisi para imam terdahulu, dan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar yang membantu para imam, khususnya dalam peperangan melawan Turki, di mana mereka memiliki jasa yang besar. Pada masa itu, di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang mulia yang dikenal di seluruh negeri Khawlan dengan sebutan para qadhi.”Dengan demikian, Asy-Syaukani mampu memanfaatkan keberadaan para ulama di masanya yang jumlahnya sangat banyak untuk menuntut ilmu di berbagai bidang. [3] Imam Syaukani juga melakukan perjalanan menuntut ilmu di berbagai negeri untuk mulazamah dengan ulama yang ada di negeri tersebut.Ciri fisik dan akhlakKitab-kitab sejarah dan biografi tidak banyak menyebutkan tentang sifat fisik Asy-Syaukani, kecuali bahwa beliau bertubuh sedang, berkepala besar, memiliki dahi yang lebar, tampak sehat, dan memiliki kondisi fisik yang prima.Adapun sifat-sifat akhlaknya sangat banyak dan terkenal. Dalam kehidupan Asy-Syaukani, terlihat jelas bahwa beliau memulai hidupnya dengan sikap menjauh dari keramaian, tidak bergaul dengan orang kecuali untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.Kehidupannya sederhana dan zuhud, hidup secukupnya dari nafkah yang diberikan ayahnya. Ketika ia menjabat sebagai qadhi dan menerima gaji yang besar, beliau mulai menikmati makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan yang layak, serta memberi kepada murid-murid dan guru-gurunya dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Asy-Syaukani mendapatkan banyak tanah garapan dan sedekah, namun mereka menegaskan bahwa beliau tidak menyisakan sedikit pun dari itu setelah mengabdi di bidang peradilan selama lebih dari 40 tahun. Semua itu dihabiskannya di jalan kebaikan dan amal saleh.Disebutkan dengan penuh penghormatan seorang ulama mulia, Isma‘il bin Ali bin Hasan, yang biasa menghadiri majelis Imam Asy-Syaukani dan berkata,الذي كان يحضر مجلس الإمام ويقول: ” لم أسمع منه على طول مدة اجتماعي به هناك مؤذنة بالخضوع لمطلب من مطالب الدنيا، لا تصريحاً و لا تلويحاً“Selama waktu yang panjang aku duduk bersamanya di majelis itu, aku tidak pernah mendengar sedikit pun tanda-tanda beliau tunduk pada tuntutan duniawi, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.” [4]Asy-Syaukani sangat berbakti kepada guru-guru dan murid-muridnya, membuka peluang kerja di pemerintahan bagi mereka, membela mereka, dan memohonkan pertolongan kepada para imam dalam setiap masalah yang menimpa mereka. Meski beliau memiliki kecerdasan yang tajam, daya ingat yang kuat, serta keteguhan dalam pandangan dan ijtihadnya, beliau tidak merendahkan ilmunya untuk terlibat dalam perdebatan kosong dengan orang-orang yang berpura-pura berilmu. [5]AkidahAsy-Syaukani berpendapat bahwa metode para ahli kalam tidak akan sampai pada keyakinan yang pasti dan tidak mungkin mencapai kebenaran yang mereka tuju. Sebab, kebanyakan metode mereka dibangun di atas dasar-dasar yang bersifat dugaan, tanpa sandaran kecuali klaim sepihak atas akal dan tuduhan terhadap fitrah. Setiap kelompok di antara mereka membuat prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip kelompok lain, lalu menegakkan prinsip itu berdasarkan apa yang mereka anggap benar menurut akal mereka yang terbatas. Akibatnya, sesuatu yang benar menurut satu kelompok menjadi batal di mata kelompok lain. Mereka menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ketuhanan dan akidah dengan prinsip-prinsip yang saling bertentangan itu, sehingga setiap kelompok meyakini kebalikan dari keyakinan kelompok lainnya. [6]Asy-Syaukani berkata tentang masalah ini,و إن كنت تشك في هذا، فراجع كتب الكلام، وانظر المسائل التي قد صارت عند أهله من المراكز، كمسألة التحسين والتقبيح، وخلق الأفعل، وتكليف مالا يطاق، ومسألة خلق القرآن، فإنك تجد ما حكيته لك بعينه“Jika engkau ragu akan hal ini, maka rujuklah kitab-kitab kalam dan lihatlah masalah-masalah yang dianggap pokok oleh ahlinya, seperti masalah al-husn wal-qubh (baik dan buruk), penciptaan perbuatan, taklif dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, dan masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Engkau akan menemukan apa yang aku sampaikan ini persis adanya.” [7]Karena itu, jalan yang lurus dalam masalah ketuhanan dan keimanan terhadapnya adalah jalan salaf saleh, dari para sahabat dan tabi‘in, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah sesuai zahirnya, memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sesuai makna bahasa umumnya, tanpa menakwilkannya, dan beriman kepadanya seperti itu tanpa paksaan dan penyimpangan, tanpa tasybih (penyerupaan) maupun ta‘thil (penolakan sifat). Mereka menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dengan cara yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Dia menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun sekaligus menafikan keserupaan dengan makhluk. [8]Asy-Syaukani menganut prinsip ini, menjadikan dua ayat sebagai landasan dakwahnya kepada mazhab salaf:Yang pertama, firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Yang kedua,يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa pun tentang-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (QS. Thaha: 110)Kedua ayat ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus: penetapan sifat-sifat Allah dan penafian keserupaan sifat itu dengan makhluk, serta membatasi penetapan itu pada zahir yang dijelaskan ayat, dan melarang membahas bagaimana sifat-sifat tersebut.Asy-Syaukani menulis pandangannya ini dalam banyak kitabnya, khususnya At-Tuhaf fi Madzahib as-Salaf dan Kasyf asy-Syubuhat ‘an al-Musytabihat.Ia menganut akidah ini setelah penelitian panjang dan membaca kitab-kitab ilmu kalam, sehingga menegaskan bahwa ia tidak mengikuti mazhab salaf karena taklid, melainkan melalui ijtihad dan keyakinan pribadi.Karena itu, ia berkata,ولتعلم أني لم أقل هذا تقليداً لبعض من أرشدك إلى ترك الاشتغال بهذا الفن، كما وقع لجماعة من محققي العلماء، بل قلت هذا بعد تضييع برهة من العمر في الاشتغال به، وإحفاء السؤال لمن يعرفه، والأخذ عن المشهورين به، والإكباب على مطالعة كثير من مختصراته و مطولاته“Ketahuilah bahwa aku tidak mengatakan ini karena taklid kepada sebagian orang yang menasihatimu untuk meninggalkan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama yang meneliti. Akan tetapi, aku mengatakannya setelah membuang waktu cukup lama dalam mempelajarinya, bertanya kepada orang yang menguasainya, belajar dari para tokoh yang terkenal di bidangnya, membaca banyak ringkasan dan kitab tebalnya.” [9]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-AndalusiMazhabAsy-Syaukani pada awal kehidupannya mempelajari fikih dengan berpegang pada mazhab Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, dan beliau unggul dalam mazhab tersebut hingga melampaui para ulama pada zamannya. Sampai akhirnya beliau melepaskan diri dari belenggu taqlid dan menghiasi dirinya dengan kedudukan sebagai seorang mujtahid. Beliau pun menulis kitabnya as-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar. Dalam kitab tersebut, beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Zaidiyah, melainkan menguatkan pendapat yang menurut hasil ijtihadnya benar berdasarkan dalil, dan melemahkan pendapat yang tidak memiliki landasan dalil.Hal ini membuat para pengikut mazhabnya, dari kalangan Zaidiyah yang fanatik terhadap mazhab mereka dalam masalah pokok maupun cabang agama, marah dan menentangnya. Beliau pun menghadapi mereka dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap kali mereka semakin keras menentangnya, beliau semakin teguh berpegang pada jalannya. Hingga akhirnya beliau menulis sebuah risalah berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang berisi celaan dan pengharaman terhadap taqlid. Risalah ini justru semakin menambah fanatisme mereka terhadap penentangan beliau, bahkan sampai menuduh beliau ingin meruntuhkan mazhab Ahlul Bait.Akibatnya, terjadi fitnah di kota Shan‘a antara para penentangnya dan para pendukungnya. Beliau membalas tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa dirinya bersikap sama terhadap semua mazhab, dan tidak khusus mengharamkan taqlid hanya pada mazhab Zaidiyah saja. [10]Demikianlah, asy-Syaukani memilih jalan bermazhab yang tidak terikat pada satu pendapat tertentu dari para ulama terdahulu, melainkan mengikuti apa yang dihasilkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat terlihat oleh pembaca kitabnya Nail al-Awthar, di mana beliau menukil pendapat-pendapat dan mazhab para ulama di berbagai negeri, pendapat para sahabat dan tabi‘in, beserta hujjah masing-masing, lalu menutupnya dengan pendapat pribadinya, memilih apa yang menurutnya lebih kuat.Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad telah dimudahkan oleh Allah Ta‘ala bagi para ulama yang datang belakangan, bahkan lebih mudah dibandingkan masa generasi awal. Beliau berkata,فإنه لا يخفى على من له أدنى فهم، أن الاجتهاد قد يسره الله للمتأخرين، تيسيراً لم يكن للسابقين؛ لأن التفاسير للكتاب العزيز قد دونت، وصارت من الكثرة إلى حد لا يمكن حصره، وكذلك السنة المطهرة، وتكلم الأئمة في التفسير، والتجريح والتصحيح، والترجيح، بما هو زيادة على ما يحتاج إليه المجتهد، وقد كان السلف الصالح، ومن قبل هؤلاء المنكرين يرحل للحديث الواحد، ومن قطر إلى قطر، فالاجتهاد على المتأخرين أيسر وأسهل من الاجنهاد على المتقدمين، ولا يخالف في هذا من له فهم صحيح، وعقل سوي“… Tidaklah samar bagi siapa pun yang memiliki sedikit saja pemahaman, bahwa ijtihad telah dimudahkan oleh Allah bagi para ulama muta’akhkhirin dengan kemudahan yang tidak dimiliki para pendahulu. Sebab, kitab-kitab tafsir terhadap Al-Qur’an telah ditulis dan jumlahnya kini sangat banyak hingga tak terhitung, begitu pula sunnah Nabi ﷺ, dan para imam telah membahas tentang tafsir, jarh wa ta‘dil, serta tarjih dengan pembahasan yang lebih dari cukup bagi seorang mujtahid. Padahal para ulama salaf dahulu — bahkan sebelum mereka yang mengingkari ijtihad ini — kadang menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadis, dari satu negeri ke negeri lain. Maka, ijtihad bagi ulama belakangan ini lebih mudah dan ringan dibandingkan ijtihad bagi ulama terdahulu. Dan tidaklah hal ini diingkari oleh siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar dan akal yang lurus.” [11]Guru-guruAsy-Syaukani adalah sosok yang memiliki semangat besar untuk mencari ilmu dan pengetahuan di berbagai sumber. Ia berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain untuk menimba ilmu, sehingga sulit untuk melacak semua gurunya. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian guru beliau yang terkenal, di antaranya:Ayahnya: Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan al-Syaukani (w. 1211 H). [12]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muthahhar al-Qabali (1158–1227 H). [13]Ahmad bin ‘Amir al-Hada’i (1127–1197 H / 1715–1783 M).Ahmad bin Muhammad al-Harazi (1158–1227 H). [14]Isma’il bin al-Hasan al-Mahdi bin Ahmad bin al-Imam al-Qasim bin Muhammad (1120–1206 H).al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (1140–1208 H).Shadiq ‘Ali al-Mazzajaji al-Hanafi (1150–1209 H).‘Abd al-Rahman bin Hasan al-Akwa‘ (1135–1207 H / 1724–1772 M).‘Abd al-Rahman bin Qasim al-Madani (1121–1211 H / 1709–1796 M). [15]‘Abd al-Qadir bin Ahmad Syarf al-Din al-Kawkabani (1135–1207 H). [16]Dan masih banyak lagi guru-guru beliau rahimahullah.Murid-muridDi antara murid-muridnya yang terkenal adalah:Putranya, Ahmad bin Muhammad bin Ali Asy-SyaukaniMuhammad bin Ahmad As-SudiMuhammad bin Ahmad Musyham As-Sha‘di Ash-Shan‘aniAhmad bin Ali bin MuhsinMuhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya Asy-SyamiAbdurrahman bin Ahmad Al-Bahlaki Adh-Dhamadi Ash-Shibya‘iAhmad bin Abdullah Adh-DhamadiAli bin Ahmad bin Hājar Ash-Shan‘aniKarya tulisImam asy-Syaukani rahimahullah meninggalkan warisan besar berupa karya tulis yang mencapai 278 judul. Sebagian besar dari karya tersebut masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di laci dan rak, dan hingga kini belum berkesempatan terbit atau dicetak. Di antara karya tulisnya adalah:Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min at-TafsirAl-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ahAd-Durar al-BahiyyahAd-Darari al-Mudiyyah fi Syarh ad-Durar al-BahiyyahAs-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-AzharNail al-Autar Syarh Muntaqa al-AkhbarIrsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-UshulTuhfah adz-DzakirinAl-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-SyaukaniAl-Badr ath-Thaali’ bi Mahasin man Ba’da al-Qarn as-Sabi’Dan masih banyak lagi karya lainnya.Pujian ulamaIbrahim bin ‘Abdullah al-Houthi berkata tentangnya,زعيم ارباب التأويل سمع وصنف وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحجث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه في البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في الحديث والتفسير والأصول والفروع والتاريخ ومعرفة الرجال وحال الأسانيد في تحصيل العوالي وتمييز العالي من النازل وغير ذلك“Pemimpin para ahli takwil, ia mendengar (hadis), menulis, dan membuat telinga terpukau dengan fatwa-fatwanya yang indah. Ia meriwayatkan dan memberi manfaat, lembaran-lembaran fatwanya tersebar di berbagai negeri. Ia masyhur dengan ketelitian dan ketajaman analisis. Kepemimpinan ilmu dalam bidang hadis, tafsir, ushul, furu‘, sejarah, serta ilmu rijal dan keadaan sanad—dalam memperoleh sanad yang tinggi, membedakan antara sanad tinggi dan rendah, serta lain-lain—berakhir (berpusat) padanya.” [17]Luthf bin Ahmad Juhaf berkata tentang asy-Syaukani,مفسر محدث، فقيه أصولي مؤرخ أديب نحوي منطقي متكلم حكيم صارت تصانيفه في البلاد في حياته وانتفع الناس بها بعد وفاته، وتفسيره ” فتح القدير ” و ” نيل الأوطار ” في الحديث من خير ما أخرج للناس كما يلاحظ أن الشوكاني يدخل في المناقشات الفقهية ويذكر أقوال العلماء وأدلتهم في تفسير كل آية تتعلق بالأحكام“Beliau adalah seorang mufassir, muhaddits, faqih usuli, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, logika, ilmu kalam, dan hikmah. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai negeri sejak masa hidupnya, dan manusia tetap mengambil manfaat darinya setelah wafatnya. Tafsir beliau Fath al-Qadir dan kitab hadis Nayl al-Awthar termasuk sebaik-baik karya yang pernah disajikan untuk umat. Terlihat bahwa asy-Syaukani masuk dalam diskusi-diskusi fikih, menyebutkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil mereka dalam menafsirkan setiap ayat yang berkaitan dengan hukum.” [18]WafatImam asy-Syaukani rahimahullah wafat pada malam Rabu, tiga hari tersisa dari bulan Jumadal Akhirah tahun 1250 H / 1834 M, pada usia 76 tahun 7 bulan. Beliau disalatkan di Masjid Agung Sana’a dan dimakamkan di pemakaman Khuzaymah yang terkenal di kota Sana’a. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan membalas jasanya kepada kita dengan sebaik-baik balasan.Al-‘Allamah Hasan bin Ahmad al-Bahkali berkata tentangnya,السنة الخمسون بعد المائتين والألف، وفيها في شهر جمادى الآخرة كانت وفاة شيخنا ” محمد بن علي الشزكاني ” وهو قاضي الجماعة، شيخ الإسلام، المحقق العلامة الإمام، سلطان العلماء، إمام الدنيا، خاتمة الحفاظ بلا مراء، الحجة النقاد، علي الإسناد، السابق في ميدان الاجتهاد“Tahun lima puluh setelah dua ratus dan seribu (1250 H), pada bulan Jumada al-Akhirah, wafat guru kami Muhammad bin ‘Ali al-Syazkani, yang merupakan Qadhi al-Jama‘ah, Syekhul Islam, ulama peneliti yang alim, imam, sultan para ulama, imam dunia, penutup para huffazh tanpa keraguan, hujjah yang ahli kritik, memiliki sanad tinggi, yang terdepan di medan ijtihad.” [19]Wallahu a’lam.Baca juga: Biografi Imam Ad-Darimi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 480 melalui Maktabah Syamilah.[2] Ibid, 1: 481.[3] Ibid.[4] Ibid, hal. 150.[5] Muqaddimah As-Sail Al-Jaror, hal. 38 (melalui Maktabah Syamilah).[6] Kasyfu Syubhat ‘an Al-Mutasyabihat, hal. 22-23 (melalui Maktabah Syamilah).[7] Ibid.[8] At-Tuhaf fii Mazahib As-Salaf, hal. 53 (melalui Maktabah Syamilah).[9] Ibid, hal. 23-24.[10] Al-Qoul Al-Mufiid, hal. 25-26.[11] Irsyad Al-Fahuul, hal. 446-449 (melalui Maktabah Syamilah dan diringkas oleh penulis).[12] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 464 (melalui Maktabah Syamilah).[13] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, karya Al-Ghamariy, hal. 71 (melalui Maktabah Syamilah).[14] Ibid, hal. 73.[15] Op, cit, 1: 380.[16] Ibid.[17] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, hal. 318.[18] Mu’jam Al-Muallifin, 11: 53 (melalui Maktabah Syamilah).[19] At-Taj Al-Mukallal, hal. 451 (melalui Maktabah Syamilah).


Daftar Isi ToggleNama dan nasabKelahiranPertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuCiri fisik dan akhlakAkidahMazhabGuru-guruMurid-muridKarya tulisPujian ulamaWafatNama dan nasabAbu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Shalah bin Ibrahim bin Muhammad Al-‘Afif bin Muhammad bin Rizq, Asy-Syaukani. Dinisbahkan kepada ‘Syaukan’, yaitu sebuah desa dari desa-desa As-Sahamiyyah, salah satu kabilah Khawlan, yang jaraknya dengan Sana’a kurang dari jarak perjalanan satu hari.” [1]KelahiranBeliau rahimahullahu Ta‘ala lahir pada hari Senin, tanggal 28 Zulhijah tahun 1173 H di desa Hijrah Syaukan. [2]Pertumbuhan dan perjalanan menuntut ilmuBeliau rahimahullahu Ta‘ala tumbuh besar di Shan‘a, Yaman, dan dibesarkan di rumah ilmu dan kemuliaan, sehingga ia tumbuh dengan pendidikan agama yang suci. Ia menerima pengetahuan awalnya dari ayahnya dan para ulama serta orang-orang mulia di kampungnya. Ia menghafal Al-Qur’an Al-Karim dan membacanya dengan baik.Di antara faktor yang membantu Imam Asy-Syaukani dalam menuntut ilmu dan mencapai kecerdasan sejak dini adalah keberadaan dan pendidikannya di rumah ilmu dan kemuliaan. Ayahnya rahimahullah adalah salah satu ulama terkemuka di masanya, dan kebanyakan penduduk desa tersebut juga termasuk dari kalangan ulama dan orang-orang mulia.Asy-Syaukani berkata tentang ayahnya dan penduduk desanya,وهذه الهجرة معمورة بأهل الفضل والصلاح والدين من قديم الزمان، لايخلو وجود عالم منهم في كل زمن، ولكنه يكون تارة في بعض البطون، وتارة في بطن أخرى، ولهم عند سلف الأئمة جلالة عظيمة،وفيهم رؤساء كبار، ناصروا الأئمة، ولاسيما في حروب الأتراك، فإن لهم في ذلك اليد البيضاء، وكان فيهم إذ ذاك علماء و فضلاء، يعرفون في سائر البلاد الخولانيه بالقضاة “… Desa Hijrah ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan, kesalehan, dan agama sejak zaman dahulu. Tidak pernah kosong dari keberadaan seorang ulama pada setiap masa, hanya saja terkadang berada di sebagian kabilah dan terkadang di kabilah lainnya. Mereka memiliki kedudukan yang agung di sisi para imam terdahulu, dan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh besar yang membantu para imam, khususnya dalam peperangan melawan Turki, di mana mereka memiliki jasa yang besar. Pada masa itu, di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang mulia yang dikenal di seluruh negeri Khawlan dengan sebutan para qadhi.”Dengan demikian, Asy-Syaukani mampu memanfaatkan keberadaan para ulama di masanya yang jumlahnya sangat banyak untuk menuntut ilmu di berbagai bidang. [3] Imam Syaukani juga melakukan perjalanan menuntut ilmu di berbagai negeri untuk mulazamah dengan ulama yang ada di negeri tersebut.Ciri fisik dan akhlakKitab-kitab sejarah dan biografi tidak banyak menyebutkan tentang sifat fisik Asy-Syaukani, kecuali bahwa beliau bertubuh sedang, berkepala besar, memiliki dahi yang lebar, tampak sehat, dan memiliki kondisi fisik yang prima.Adapun sifat-sifat akhlaknya sangat banyak dan terkenal. Dalam kehidupan Asy-Syaukani, terlihat jelas bahwa beliau memulai hidupnya dengan sikap menjauh dari keramaian, tidak bergaul dengan orang kecuali untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.Kehidupannya sederhana dan zuhud, hidup secukupnya dari nafkah yang diberikan ayahnya. Ketika ia menjabat sebagai qadhi dan menerima gaji yang besar, beliau mulai menikmati makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan yang layak, serta memberi kepada murid-murid dan guru-gurunya dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Asy-Syaukani mendapatkan banyak tanah garapan dan sedekah, namun mereka menegaskan bahwa beliau tidak menyisakan sedikit pun dari itu setelah mengabdi di bidang peradilan selama lebih dari 40 tahun. Semua itu dihabiskannya di jalan kebaikan dan amal saleh.Disebutkan dengan penuh penghormatan seorang ulama mulia, Isma‘il bin Ali bin Hasan, yang biasa menghadiri majelis Imam Asy-Syaukani dan berkata,الذي كان يحضر مجلس الإمام ويقول: ” لم أسمع منه على طول مدة اجتماعي به هناك مؤذنة بالخضوع لمطلب من مطالب الدنيا، لا تصريحاً و لا تلويحاً“Selama waktu yang panjang aku duduk bersamanya di majelis itu, aku tidak pernah mendengar sedikit pun tanda-tanda beliau tunduk pada tuntutan duniawi, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.” [4]Asy-Syaukani sangat berbakti kepada guru-guru dan murid-muridnya, membuka peluang kerja di pemerintahan bagi mereka, membela mereka, dan memohonkan pertolongan kepada para imam dalam setiap masalah yang menimpa mereka. Meski beliau memiliki kecerdasan yang tajam, daya ingat yang kuat, serta keteguhan dalam pandangan dan ijtihadnya, beliau tidak merendahkan ilmunya untuk terlibat dalam perdebatan kosong dengan orang-orang yang berpura-pura berilmu. [5]AkidahAsy-Syaukani berpendapat bahwa metode para ahli kalam tidak akan sampai pada keyakinan yang pasti dan tidak mungkin mencapai kebenaran yang mereka tuju. Sebab, kebanyakan metode mereka dibangun di atas dasar-dasar yang bersifat dugaan, tanpa sandaran kecuali klaim sepihak atas akal dan tuduhan terhadap fitrah. Setiap kelompok di antara mereka membuat prinsip-prinsip yang berbeda dengan prinsip kelompok lain, lalu menegakkan prinsip itu berdasarkan apa yang mereka anggap benar menurut akal mereka yang terbatas. Akibatnya, sesuatu yang benar menurut satu kelompok menjadi batal di mata kelompok lain. Mereka menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ketuhanan dan akidah dengan prinsip-prinsip yang saling bertentangan itu, sehingga setiap kelompok meyakini kebalikan dari keyakinan kelompok lainnya. [6]Asy-Syaukani berkata tentang masalah ini,و إن كنت تشك في هذا، فراجع كتب الكلام، وانظر المسائل التي قد صارت عند أهله من المراكز، كمسألة التحسين والتقبيح، وخلق الأفعل، وتكليف مالا يطاق، ومسألة خلق القرآن، فإنك تجد ما حكيته لك بعينه“Jika engkau ragu akan hal ini, maka rujuklah kitab-kitab kalam dan lihatlah masalah-masalah yang dianggap pokok oleh ahlinya, seperti masalah al-husn wal-qubh (baik dan buruk), penciptaan perbuatan, taklif dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, dan masalah Al-Qur’an adalah makhluk. Engkau akan menemukan apa yang aku sampaikan ini persis adanya.” [7]Karena itu, jalan yang lurus dalam masalah ketuhanan dan keimanan terhadapnya adalah jalan salaf saleh, dari para sahabat dan tabi‘in, yaitu menetapkan sifat-sifat Allah sesuai zahirnya, memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sesuai makna bahasa umumnya, tanpa menakwilkannya, dan beriman kepadanya seperti itu tanpa paksaan dan penyimpangan, tanpa tasybih (penyerupaan) maupun ta‘thil (penolakan sifat). Mereka menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dengan cara yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana firman-Nya, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Dia menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun sekaligus menafikan keserupaan dengan makhluk. [8]Asy-Syaukani menganut prinsip ini, menjadikan dua ayat sebagai landasan dakwahnya kepada mazhab salaf:Yang pertama, firman Allah ‘Azza wa Jalla,لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Yang kedua,يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa pun tentang-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (QS. Thaha: 110)Kedua ayat ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus: penetapan sifat-sifat Allah dan penafian keserupaan sifat itu dengan makhluk, serta membatasi penetapan itu pada zahir yang dijelaskan ayat, dan melarang membahas bagaimana sifat-sifat tersebut.Asy-Syaukani menulis pandangannya ini dalam banyak kitabnya, khususnya At-Tuhaf fi Madzahib as-Salaf dan Kasyf asy-Syubuhat ‘an al-Musytabihat.Ia menganut akidah ini setelah penelitian panjang dan membaca kitab-kitab ilmu kalam, sehingga menegaskan bahwa ia tidak mengikuti mazhab salaf karena taklid, melainkan melalui ijtihad dan keyakinan pribadi.Karena itu, ia berkata,ولتعلم أني لم أقل هذا تقليداً لبعض من أرشدك إلى ترك الاشتغال بهذا الفن، كما وقع لجماعة من محققي العلماء، بل قلت هذا بعد تضييع برهة من العمر في الاشتغال به، وإحفاء السؤال لمن يعرفه، والأخذ عن المشهورين به، والإكباب على مطالعة كثير من مختصراته و مطولاته“Ketahuilah bahwa aku tidak mengatakan ini karena taklid kepada sebagian orang yang menasihatimu untuk meninggalkan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada sebagian ulama yang meneliti. Akan tetapi, aku mengatakannya setelah membuang waktu cukup lama dalam mempelajarinya, bertanya kepada orang yang menguasainya, belajar dari para tokoh yang terkenal di bidangnya, membaca banyak ringkasan dan kitab tebalnya.” [9]Baca juga: Biografi Ibnu Hazm Al-AndalusiMazhabAsy-Syaukani pada awal kehidupannya mempelajari fikih dengan berpegang pada mazhab Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, dan beliau unggul dalam mazhab tersebut hingga melampaui para ulama pada zamannya. Sampai akhirnya beliau melepaskan diri dari belenggu taqlid dan menghiasi dirinya dengan kedudukan sebagai seorang mujtahid. Beliau pun menulis kitabnya as-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-Azhar. Dalam kitab tersebut, beliau tidak membatasi dirinya pada mazhab Zaidiyah, melainkan menguatkan pendapat yang menurut hasil ijtihadnya benar berdasarkan dalil, dan melemahkan pendapat yang tidak memiliki landasan dalil.Hal ini membuat para pengikut mazhabnya, dari kalangan Zaidiyah yang fanatik terhadap mazhab mereka dalam masalah pokok maupun cabang agama, marah dan menentangnya. Beliau pun menghadapi mereka dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap kali mereka semakin keras menentangnya, beliau semakin teguh berpegang pada jalannya. Hingga akhirnya beliau menulis sebuah risalah berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang berisi celaan dan pengharaman terhadap taqlid. Risalah ini justru semakin menambah fanatisme mereka terhadap penentangan beliau, bahkan sampai menuduh beliau ingin meruntuhkan mazhab Ahlul Bait.Akibatnya, terjadi fitnah di kota Shan‘a antara para penentangnya dan para pendukungnya. Beliau membalas tuduhan tersebut dengan menegaskan bahwa dirinya bersikap sama terhadap semua mazhab, dan tidak khusus mengharamkan taqlid hanya pada mazhab Zaidiyah saja. [10]Demikianlah, asy-Syaukani memilih jalan bermazhab yang tidak terikat pada satu pendapat tertentu dari para ulama terdahulu, melainkan mengikuti apa yang dihasilkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat terlihat oleh pembaca kitabnya Nail al-Awthar, di mana beliau menukil pendapat-pendapat dan mazhab para ulama di berbagai negeri, pendapat para sahabat dan tabi‘in, beserta hujjah masing-masing, lalu menutupnya dengan pendapat pribadinya, memilih apa yang menurutnya lebih kuat.Beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad telah dimudahkan oleh Allah Ta‘ala bagi para ulama yang datang belakangan, bahkan lebih mudah dibandingkan masa generasi awal. Beliau berkata,فإنه لا يخفى على من له أدنى فهم، أن الاجتهاد قد يسره الله للمتأخرين، تيسيراً لم يكن للسابقين؛ لأن التفاسير للكتاب العزيز قد دونت، وصارت من الكثرة إلى حد لا يمكن حصره، وكذلك السنة المطهرة، وتكلم الأئمة في التفسير، والتجريح والتصحيح، والترجيح، بما هو زيادة على ما يحتاج إليه المجتهد، وقد كان السلف الصالح، ومن قبل هؤلاء المنكرين يرحل للحديث الواحد، ومن قطر إلى قطر، فالاجتهاد على المتأخرين أيسر وأسهل من الاجنهاد على المتقدمين، ولا يخالف في هذا من له فهم صحيح، وعقل سوي“… Tidaklah samar bagi siapa pun yang memiliki sedikit saja pemahaman, bahwa ijtihad telah dimudahkan oleh Allah bagi para ulama muta’akhkhirin dengan kemudahan yang tidak dimiliki para pendahulu. Sebab, kitab-kitab tafsir terhadap Al-Qur’an telah ditulis dan jumlahnya kini sangat banyak hingga tak terhitung, begitu pula sunnah Nabi ﷺ, dan para imam telah membahas tentang tafsir, jarh wa ta‘dil, serta tarjih dengan pembahasan yang lebih dari cukup bagi seorang mujtahid. Padahal para ulama salaf dahulu — bahkan sebelum mereka yang mengingkari ijtihad ini — kadang menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan satu hadis, dari satu negeri ke negeri lain. Maka, ijtihad bagi ulama belakangan ini lebih mudah dan ringan dibandingkan ijtihad bagi ulama terdahulu. Dan tidaklah hal ini diingkari oleh siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar dan akal yang lurus.” [11]Guru-guruAsy-Syaukani adalah sosok yang memiliki semangat besar untuk mencari ilmu dan pengetahuan di berbagai sumber. Ia berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain untuk menimba ilmu, sehingga sulit untuk melacak semua gurunya. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian guru beliau yang terkenal, di antaranya:Ayahnya: Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan al-Syaukani (w. 1211 H). [12]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muthahhar al-Qabali (1158–1227 H). [13]Ahmad bin ‘Amir al-Hada’i (1127–1197 H / 1715–1783 M).Ahmad bin Muhammad al-Harazi (1158–1227 H). [14]Isma’il bin al-Hasan al-Mahdi bin Ahmad bin al-Imam al-Qasim bin Muhammad (1120–1206 H).al-Hasan bin Isma’il al-Maghribi (1140–1208 H).Shadiq ‘Ali al-Mazzajaji al-Hanafi (1150–1209 H).‘Abd al-Rahman bin Hasan al-Akwa‘ (1135–1207 H / 1724–1772 M).‘Abd al-Rahman bin Qasim al-Madani (1121–1211 H / 1709–1796 M). [15]‘Abd al-Qadir bin Ahmad Syarf al-Din al-Kawkabani (1135–1207 H). [16]Dan masih banyak lagi guru-guru beliau rahimahullah.Murid-muridDi antara murid-muridnya yang terkenal adalah:Putranya, Ahmad bin Muhammad bin Ali Asy-SyaukaniMuhammad bin Ahmad As-SudiMuhammad bin Ahmad Musyham As-Sha‘di Ash-Shan‘aniAhmad bin Ali bin MuhsinMuhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya Asy-SyamiAbdurrahman bin Ahmad Al-Bahlaki Adh-Dhamadi Ash-Shibya‘iAhmad bin Abdullah Adh-DhamadiAli bin Ahmad bin Hājar Ash-Shan‘aniKarya tulisImam asy-Syaukani rahimahullah meninggalkan warisan besar berupa karya tulis yang mencapai 278 judul. Sebagian besar dari karya tersebut masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di laci dan rak, dan hingga kini belum berkesempatan terbit atau dicetak. Di antara karya tulisnya adalah:Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min at-TafsirAl-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ahAd-Durar al-BahiyyahAd-Darari al-Mudiyyah fi Syarh ad-Durar al-BahiyyahAs-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiq al-AzharNail al-Autar Syarh Muntaqa al-AkhbarIrsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-UshulTuhfah adz-DzakirinAl-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-SyaukaniAl-Badr ath-Thaali’ bi Mahasin man Ba’da al-Qarn as-Sabi’Dan masih banyak lagi karya lainnya.Pujian ulamaIbrahim bin ‘Abdullah al-Houthi berkata tentangnya,زعيم ارباب التأويل سمع وصنف وأطرب الأسماع بالفتوى وشنف، وحجث وأفاد، وطارت أوراق فتاويه في البلاد، واشتهر بالضبط والتحرير، وانتهت إليه رياسة العلم في الحديث والتفسير والأصول والفروع والتاريخ ومعرفة الرجال وحال الأسانيد في تحصيل العوالي وتمييز العالي من النازل وغير ذلك“Pemimpin para ahli takwil, ia mendengar (hadis), menulis, dan membuat telinga terpukau dengan fatwa-fatwanya yang indah. Ia meriwayatkan dan memberi manfaat, lembaran-lembaran fatwanya tersebar di berbagai negeri. Ia masyhur dengan ketelitian dan ketajaman analisis. Kepemimpinan ilmu dalam bidang hadis, tafsir, ushul, furu‘, sejarah, serta ilmu rijal dan keadaan sanad—dalam memperoleh sanad yang tinggi, membedakan antara sanad tinggi dan rendah, serta lain-lain—berakhir (berpusat) padanya.” [17]Luthf bin Ahmad Juhaf berkata tentang asy-Syaukani,مفسر محدث، فقيه أصولي مؤرخ أديب نحوي منطقي متكلم حكيم صارت تصانيفه في البلاد في حياته وانتفع الناس بها بعد وفاته، وتفسيره ” فتح القدير ” و ” نيل الأوطار ” في الحديث من خير ما أخرج للناس كما يلاحظ أن الشوكاني يدخل في المناقشات الفقهية ويذكر أقوال العلماء وأدلتهم في تفسير كل آية تتعلق بالأحكام“Beliau adalah seorang mufassir, muhaddits, faqih usuli, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, logika, ilmu kalam, dan hikmah. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai negeri sejak masa hidupnya, dan manusia tetap mengambil manfaat darinya setelah wafatnya. Tafsir beliau Fath al-Qadir dan kitab hadis Nayl al-Awthar termasuk sebaik-baik karya yang pernah disajikan untuk umat. Terlihat bahwa asy-Syaukani masuk dalam diskusi-diskusi fikih, menyebutkan pendapat para ulama beserta dalil-dalil mereka dalam menafsirkan setiap ayat yang berkaitan dengan hukum.” [18]WafatImam asy-Syaukani rahimahullah wafat pada malam Rabu, tiga hari tersisa dari bulan Jumadal Akhirah tahun 1250 H / 1834 M, pada usia 76 tahun 7 bulan. Beliau disalatkan di Masjid Agung Sana’a dan dimakamkan di pemakaman Khuzaymah yang terkenal di kota Sana’a. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan membalas jasanya kepada kita dengan sebaik-baik balasan.Al-‘Allamah Hasan bin Ahmad al-Bahkali berkata tentangnya,السنة الخمسون بعد المائتين والألف، وفيها في شهر جمادى الآخرة كانت وفاة شيخنا ” محمد بن علي الشزكاني ” وهو قاضي الجماعة، شيخ الإسلام، المحقق العلامة الإمام، سلطان العلماء، إمام الدنيا، خاتمة الحفاظ بلا مراء، الحجة النقاد، علي الإسناد، السابق في ميدان الاجتهاد“Tahun lima puluh setelah dua ratus dan seribu (1250 H), pada bulan Jumada al-Akhirah, wafat guru kami Muhammad bin ‘Ali al-Syazkani, yang merupakan Qadhi al-Jama‘ah, Syekhul Islam, ulama peneliti yang alim, imam, sultan para ulama, imam dunia, penutup para huffazh tanpa keraguan, hujjah yang ahli kritik, memiliki sanad tinggi, yang terdepan di medan ijtihad.” [19]Wallahu a’lam.Baca juga: Biografi Imam Ad-Darimi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 480 melalui Maktabah Syamilah.[2] Ibid, 1: 481.[3] Ibid.[4] Ibid, hal. 150.[5] Muqaddimah As-Sail Al-Jaror, hal. 38 (melalui Maktabah Syamilah).[6] Kasyfu Syubhat ‘an Al-Mutasyabihat, hal. 22-23 (melalui Maktabah Syamilah).[7] Ibid.[8] At-Tuhaf fii Mazahib As-Salaf, hal. 53 (melalui Maktabah Syamilah).[9] Ibid, hal. 23-24.[10] Al-Qoul Al-Mufiid, hal. 25-26.[11] Irsyad Al-Fahuul, hal. 446-449 (melalui Maktabah Syamilah dan diringkas oleh penulis).[12] Al-Badr Ath-Thali’, 1: 464 (melalui Maktabah Syamilah).[13] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, karya Al-Ghamariy, hal. 71 (melalui Maktabah Syamilah).[14] Ibid, hal. 73.[15] Op, cit, 1: 380.[16] Ibid.[17] Al-Imam Asy-Syaukani Mufassiron, hal. 318.[18] Mu’jam Al-Muallifin, 11: 53 (melalui Maktabah Syamilah).[19] At-Taj Al-Mukallal, hal. 451 (melalui Maktabah Syamilah).

Berbaik Sangka Kepada Allah, Bekal Menghadapi Segala Kesulitan (Bagian 1)

إحسان الظن بالله عُدَّةٌ في الشدائد Oleh: Dr. Abdurrazzaq as-Sayyid د. عبدالرزاق السيد الحمد لله الذي جعل مع كلِّ عُسْرٍ يُسرًا، وقرن مع كل صبرٍ نصرًا، مَلَكَ قَهْرًا، وقدَّر أمرًا، ووعد من أحسن الظن به خيرًا، وأشهد أن لا إله إلا الله سرًّا وجهرًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله أشرفُ البرِيَّة قدرًا، وأرفعهم ذكرًا، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه طُرًّا؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadikan segala kesulitan diiringi dengan kemudahan, dan menyandingkan pertolongan bersama setiap kesabaran. Dialah Sang Pemilik dengan kuasa-Nya, yang menetapkan setiap perkara, dan menjanjikan kebaikan bagi setiap orang yang berbaik sangka kepada-Nya. Saya bersaksi lahir dan batin bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, manusia paling mulia kedudukannya dan paling tinggi derajatnya, semoga salawat dan salam terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: أهمية الحديث عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: إن عين المتأمل لواقع المسلمين لَتَدْمَعُ، وإن قلب المؤمن من الحزن ليتقطَّع على ما يُفعل بأُمَّة الإسلام على مرأًى ومسمع؛ فمن يتابع الأخبار في شتى البلاد يقف على حقائق مرعبة؛ فأمراض وأسقام، وفاقة ونقص من الأموال والثمرات، وقتل وتدمير، وتعذيب وتهجير، وطمس للهُوِيَّةِ الإسلامية، ومحاربة العلماء والْمُصْلِحين، حتى بلغ ببعض الناس ممن نزلت بهم النوازلُ، وزَلْزَلَتْهُم الزلازل العاتية من الفتن والحروب، أن يتساءلوا: ما السبيل لزوال هذه الغُمَّة وذَهاب هذا العناء؟ ولعلي في هذا المقام أكتفي بأعظم دواء لكل ذلك؛ ألَا وهو حسن الظن بالله تعالى، ومعنى حسن الظن بالله تعالى: الثقة في الله ووعده، وحسن التوكل عليه، والرضا بأقداره، والتسليم لتدابيره، والاطمئنان لأفعاله، والسكون لأحكامه، وأنَّ ما ينزل بالناس من نازلة إلا بعلمه وتقديره، يَرفع بها أجرًا، ويدفع بها أكبرَ منها، ويختار بها من يشاء من العباد رِفْعةً لهم في آخرتهم والدنيا. Urgensi Pembahasan tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Sungguh mata orang yang memperhatikan realitas kaum Muslimin pasti akan menitikkan air mata, dan sungguh hati orang beriman pasti tercabik-cabik oleh kesedihan atas apa yang dilakukan terhadap umat Islam secara terang-terangan. Orang yang mengikuti berita-berita dari berbagai penjuru dunia pasti akan mendapati kenyataan-kenyataan mengerikan, penyakit dan wabah, kemiskinan dan kekurangan sumber daya, pembunuhan dan penghancuran, penyiksaan dan pengusiran, penghapusan identitas Islam, dan perlawanan terhadap para ulama dan pengusung kebaikan. Bahkan sampai pada titik sebagian orang yang tertimpa musibah dan terkena terpaan kencang dari berbagai ujian dan peperangan itu bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar awan gelap dan kesulitan ini dapat sirna?” Pada kesempatan ini, saya akan mencukupkan diri untuk membahas tentang obat teragung untuk menangani segala problem tersebut, yaitu berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna dari berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah percaya sepenuhnya kepada Allah dan janji-Nya, bertawakal sebaik-baiknya kepada-Nya, menerima takdir-takdir-Nya, berserah diri kepada pengaturan-Nya, merasa tenang dengan ketetapan-Nya, merasa aman dengan hukum-hukum-Nya, dan meyakini bahwa tidak akan ada musibah yang menimpa manusia kecuali dengan ilmu dan takdir-Nya, dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala meningkatkan pahalanya, mencegah musibah yang lebih besar darinya, dan dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih hamba-Nya yang Dia kehendaki untuk meraih derajat yang tinggi di dunia dan akhirat. القرآن والسنة تتحدثان عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: لقد اعتنى القرآن الكريم والسُّنَّة النبوية بغرس حسن الظن بالله في قلب كل مسلم؛ لتؤتِيَ ثمارها من رضًا ويقين، وحسنِ توكُّلٍ على الله، ولتكون حائطَ صدٍّ أمام القنوط والتشاؤم، وعدم الرضا والتسخط من أقدار الله؛ يقول الله تعالى: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، ويقول الله عز وجل: ﴿ فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ ﴾ [الحاقة: 19 – 21]، وعند الضيق والكروب والهموم؛ فالثلاثة الذين خُلِّفوا لم يُكشف عنهم ما حلَّ بهم من الكرب إلا حُسْنُ ظنهم بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴾ [التوبة: 118]، كما أوضحت آياتٌ أخرى خطورةَ سوء الظن بالله وعقوبته في الدنيا والآخرة، ما يدل على وجوب الرضا بما قسمه الله؛ يقول الله تبارك وتعالى: ﴿ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾ [الفتح: 6]، ويقول الله سبحانه: ﴿ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ﴾ [آل عمران: 154]، وفي السُّنَّة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((يقول الله تعالى: أنا عند ظنِّ عبدي بي))، وفي رواية لأحمد: ((إنْ ظنَّ بي خيرًا فله، وإن ظن شرًّا فله)). Pembahasan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah sangat konsen dalam menanamkan sikap baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hati setiap Muslim, agar menghasilkan keridhaan, keyakinan, dan tawakal yang sempurna kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga menjadi benteng penghalang di hadapan sikap putus asa, pesimistis, tidak terima, dan murka terhadap takdir-takdir Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ “Adapun orang yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, dia berkata (kepada orang-orang di sekelilingnya), ‘Ambillah (dan) bacalah kitabku (ini)! Sesungguhnya (saat di dunia) aku yakin bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan diriku.’ Maka, ia berada dalam kehidupan yang menyenangkan.” (QS. Al-Haqqah: 19-21). Saat menghadapi kesempitan, kesulitan, dan kegundahan hati, tiga orang sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk tidak dapat terbebas dari musibah kecuali karena sangkaan baik mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia berfirman: وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118). Dijelaskan juga dalam ayat-ayat lain tentang berbahayanya buruk sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaannya di dunia dan akhirat, yang menjadi dalil tentang wajibnya menerima apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk. Allah pun murka kepada mereka, melaknat mereka, dan menyediakan (neraka) Jahanam bagi mereka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ “Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154). Adapun dalam As-Sunnah, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.’” Dan dalam riwayat Ahmad ada tambahan: إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Apabila ia berbaik sangka terhadap-Ku maka itulah baginya, dan apabila ia berburuk sangka terhadap-Ku maka itu jugalah baginya.” إحسان الظن بالله ودوره في تثبيت المؤمنين: أيها المسلمون: إن حسن الظن بالله مع العمل الصالح والنافع يفتح باب الأمل، ويشجِّع على الصبر وبذل الجهد والاجتهاد في زمنٍ كثُر فيه الأعداء الطُّغاة البُغاة على المسلمين، وانتشر فيه من الفتن ما يَدَعُ الحليمَ حيرانَ. وحسن الظن بالله له أعظم الأثر في حياة المؤمن وبعد مماته؛ فأما في حياته، فإن المؤمن حين يُحسن الظن بربه لا يزال قلبه مطمئنًّا، ونفسه آمنةً راضيةً بقضاء الله وقدره، يتوقَّع الخير منه سبحانه دائمًا في حال السراء والضراء، ينتظر نَصْرَ الله الذي يأتي عند انتفاش البغي والظلم، وتسرُّب اليأس إلى القلوب؛ قال الله تعالى: ﴿ أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، وقوله تعالى: ﴿ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، بشارة من الله بالنصر في شدة الكَرْبِ، ووَعْدٌ من الله لا يُخلِفه، وسيحققه لأوليائه على أعدائه؛ ويقول الله تعالى: ﴿ حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ ﴾ [يوسف: 110]، فالنصر يأتي عندما يتسرَّب اليأس إلى نفوس أفضل المؤمنين يقينًا؛ وهم الرسل، وينزل الله بأسه الشديد بالمجرمين جزاء بما كانوا يعملون. Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Perannya dalam Meneguhkan Kaum Mu’minin Wahai kaum Muslimin! Sangkaan baik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disertai dengan amalan yang shaleh dan bermanfaat dapat membuka pintu harapan, dan memberi dorongan untuk bersabar dan mengerahkan usaha pada zaman yang penuh dengan musuh-musuh zalim penentang kaum Muslimin dan tersebar fitnah-fitnah yang membuat orang yang tabah berada dalam kebingungan. Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya pengaruh besar dalam kehidupan seorang mukmin dan setelah kematiannya. Adapun semasa hidupnya, ketika seorang mukmin berbaik sangka kepada Tuhannya, hatinya akan menjadi damai, jiwanya merasa aman dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia akan selalu menunggu kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam setiap kondisi senang maupun susah. Ia menanti pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pasti datang saat tersebar kezaliman dan kesewenang-wenangan, dan ketika rasa putus asa menyelinap ke dalam hati. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214). Firman Allah Ta’ala, “Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” merupakan kabar gembira dari Allah tentang pertolongan-Nya di puncak musibah, dan janji-Nya yang tidak akan diingkari dan Allah pasti akan merealisasikannya bagi para kekasih-Nya dalam melawan para musuh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ “Sehingga apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.” (QS. Yusuf: 110). Pertolongan akan datang ketika putus asa telah menyusup ke dalam diri kaum Mukminin yang paling afdal keimanannya, yaitu para rasul, barulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan siksaan-Nya yang berat bagi para pendosa atas perbuatan yang telah mereka lakukan. وجعل الله من ثمار الصبر وعبادة الصلاة حُسْنَ الظن بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، وقد نال الرسل عليهم السلام المنزلةَ الرفيعة في ظنِّهم بالله؛ ففوَّضوا أمورهم إليه سبحانه وتعالى، فإبراهيم عليه السلام ترك هاجرَ وابنها إسماعيلَ عند البيت، وليس بمكة يومئذٍ أحدٌ، وليس بها ماء، ثم ولَّى إبراهيم منطلقًا فتبِعتْهُ هاجر عليها السلام؛ وقالت: ((يا إبراهيم، أين تذهب وتتركنا بهذا الوادي الذي ليس فيه إنس ولا شيء؟ فقالت له ذلك مرارًا: وجعل لا يلتفت إليها، فقالت له: آلله الذي أمرك بهذا؟ قال: نعم، قالت: إذًا لا يُضيِّعنا))؛ [رواه البخاري]، فكان من عاقبة حسن ظنِّها بالله ما كان، فنبع ماءٌ مباركٌ، وعمر البيت، وبقِيَ ذكرها خالدًا، وصار إسماعيل نبيًّا، ومن ذريته خاتم الأنبياء وإمام المرسلين. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan buah dari kesabaran dan salat adalah sangkaan baik kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Para rasul telah meraih derajat yang tinggi dalam urusan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Hajar dan anaknya, Ismail di Baitullah. Padahal ketika itu, di Makkah tidak ada seorangpun, dan bahkan tidak ada sumber air. Ibrahim tetap berjalan pergi meninggalkan mereka, lalu Hajar mengikutinya dari belakang dan berkata, “Wahai Ibrahim! Ke mana engkau akan pergi, sedangkan kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak dihuni seorang pun dan tidak ada apapun?” Hajar mengulangi pertanyaannya ini berulang kali. Namun, Nabi Ibrahim sama sekali tidak menoleh kepadanya. Hajar lalu bertanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memerintahkanmu hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar akhirnya berkata, “Kalau begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengabaikan kami!” (HR. Al-Bukhari). Akhirnya, berkat sangkaan baik Hajar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, muncul air yang diberkahi (Zamzam), Baitullah menjadi makmur, namanya terus diingat sepanjang sejarah, Ismail menjadi nabi, dan salah satu anak keturunannya (Nabi Muhammad) menjadi nabi terakhir dan imam para Nabi. واشتدَّ الخطب بموسى عليه السلام ومن معه؛ فالبحر أمامهم وفرعون وجنده من ورائهم؛ وحينها قال أصحاب موسى: ﴿ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ﴾ [الشعراء: 61]، فكان الجواب من النبي الكليم شاهدًا بعظيم ثقته بالله، وحسن ظنه بربه العظيم: ﴿ قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ ﴾ [الشعراء: 62]، فأتى الوحي بما لا يخطر على بال: ﴿ فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ * وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ * وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ ﴾ [الشعراء: 63 – 66]. إن حسن الظن بالله سفينةُ نجاةٍ في بحر المحن والفتن، وهو سموٌّ ورُقِيٌّ للمرء في وقت اليأس والقنوط، وحسن الظن بالله صفة عالية لأهل الإيمان، وبرهان على صدق التديُّن، وعلامة على السموِّ والرِّفعة. ما أروع حسن الظن بالله حين يُوقِن المؤمن أن بعد الهزيمة نصرًا، وبعد الكسر جبرًا، وأن بعد العسر يسرًا، وأن بعد التعب راحة، وبعد الدمع بسمةً، وبعد المرض شفاء، وبعد الدنيا جنةً عرضها السماوات والأرض، أعدت للمتقين! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا  سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Dalam kisah lain, ketika keadaan semakin menghimpit Nabi Musa Alaihissalam dan para pengikutnya, sedangkan di hadapan mereka ada lautan dan di belakang mereka ada Fir’aun dan bala tentaranya, para pengikut Nabi Musa akhirnya berseru, “Kita pasti terkejar!” (QS. Asy-Syu’ara: 61). Namun, tanggapan dari Nabi Musa menjadi saksi betapa besar kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sangkaan baik kepada Tuhannya Yang Maha Agung. “Musa berkata, ‘Tidak! Sungguh Tuhanku bersamaku, dan Dia pasti akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syu’ara: 62). Lalu turunlah wahyu yang tidak pernah terlintas di pikiran seorang pun. “Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut dengan tongkatmu itu.’ Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar. Di sanalah Kami dekatkan kelompok yang lain. Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya. Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.” (QS. Asy-Syu’ara: 63-66). Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan kapal penyelamat di lautan musibah dan cobaan. Ia merupakan pembangkit seseorang pada masa putus asa dan patah arang. Baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat mulia orang-orang beriman, bukti atas ketulusan beragama, dan tanda kemuliaan dan keluhuran. Betapa luar biasanya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika seorang mukmin meyakini bahwa setelah kekalahan ada kemenangan, setelah rasa sakit ada pemulihan, setelah kesulitan ada kemudahan, setelah keletihan ada ketenangan, setelah air mata ada senyuman, setelah penyakit ada kesembuhan, dan setelah dunia ada surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang bertakwa! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا Katakanlah pada orang yang mengisi hatinya dengan pesimisme Dan terus menghimpit ufuk di sekitar kita. سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Rahasia kebahagiaan adalah berbaik sangka kepada Dzat Yang telah menciptakan kehidupan dan membagi rezeki. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/172906/إحسان-الظن-بالله-عدة-في-الشدائد-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 106 times, 2 visit(s) today Post Views: 67 QRIS donasi Yufid

Berbaik Sangka Kepada Allah, Bekal Menghadapi Segala Kesulitan (Bagian 1)

إحسان الظن بالله عُدَّةٌ في الشدائد Oleh: Dr. Abdurrazzaq as-Sayyid د. عبدالرزاق السيد الحمد لله الذي جعل مع كلِّ عُسْرٍ يُسرًا، وقرن مع كل صبرٍ نصرًا، مَلَكَ قَهْرًا، وقدَّر أمرًا، ووعد من أحسن الظن به خيرًا، وأشهد أن لا إله إلا الله سرًّا وجهرًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله أشرفُ البرِيَّة قدرًا، وأرفعهم ذكرًا، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه طُرًّا؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadikan segala kesulitan diiringi dengan kemudahan, dan menyandingkan pertolongan bersama setiap kesabaran. Dialah Sang Pemilik dengan kuasa-Nya, yang menetapkan setiap perkara, dan menjanjikan kebaikan bagi setiap orang yang berbaik sangka kepada-Nya. Saya bersaksi lahir dan batin bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, manusia paling mulia kedudukannya dan paling tinggi derajatnya, semoga salawat dan salam terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: أهمية الحديث عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: إن عين المتأمل لواقع المسلمين لَتَدْمَعُ، وإن قلب المؤمن من الحزن ليتقطَّع على ما يُفعل بأُمَّة الإسلام على مرأًى ومسمع؛ فمن يتابع الأخبار في شتى البلاد يقف على حقائق مرعبة؛ فأمراض وأسقام، وفاقة ونقص من الأموال والثمرات، وقتل وتدمير، وتعذيب وتهجير، وطمس للهُوِيَّةِ الإسلامية، ومحاربة العلماء والْمُصْلِحين، حتى بلغ ببعض الناس ممن نزلت بهم النوازلُ، وزَلْزَلَتْهُم الزلازل العاتية من الفتن والحروب، أن يتساءلوا: ما السبيل لزوال هذه الغُمَّة وذَهاب هذا العناء؟ ولعلي في هذا المقام أكتفي بأعظم دواء لكل ذلك؛ ألَا وهو حسن الظن بالله تعالى، ومعنى حسن الظن بالله تعالى: الثقة في الله ووعده، وحسن التوكل عليه، والرضا بأقداره، والتسليم لتدابيره، والاطمئنان لأفعاله، والسكون لأحكامه، وأنَّ ما ينزل بالناس من نازلة إلا بعلمه وتقديره، يَرفع بها أجرًا، ويدفع بها أكبرَ منها، ويختار بها من يشاء من العباد رِفْعةً لهم في آخرتهم والدنيا. Urgensi Pembahasan tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Sungguh mata orang yang memperhatikan realitas kaum Muslimin pasti akan menitikkan air mata, dan sungguh hati orang beriman pasti tercabik-cabik oleh kesedihan atas apa yang dilakukan terhadap umat Islam secara terang-terangan. Orang yang mengikuti berita-berita dari berbagai penjuru dunia pasti akan mendapati kenyataan-kenyataan mengerikan, penyakit dan wabah, kemiskinan dan kekurangan sumber daya, pembunuhan dan penghancuran, penyiksaan dan pengusiran, penghapusan identitas Islam, dan perlawanan terhadap para ulama dan pengusung kebaikan. Bahkan sampai pada titik sebagian orang yang tertimpa musibah dan terkena terpaan kencang dari berbagai ujian dan peperangan itu bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar awan gelap dan kesulitan ini dapat sirna?” Pada kesempatan ini, saya akan mencukupkan diri untuk membahas tentang obat teragung untuk menangani segala problem tersebut, yaitu berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna dari berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah percaya sepenuhnya kepada Allah dan janji-Nya, bertawakal sebaik-baiknya kepada-Nya, menerima takdir-takdir-Nya, berserah diri kepada pengaturan-Nya, merasa tenang dengan ketetapan-Nya, merasa aman dengan hukum-hukum-Nya, dan meyakini bahwa tidak akan ada musibah yang menimpa manusia kecuali dengan ilmu dan takdir-Nya, dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala meningkatkan pahalanya, mencegah musibah yang lebih besar darinya, dan dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih hamba-Nya yang Dia kehendaki untuk meraih derajat yang tinggi di dunia dan akhirat. القرآن والسنة تتحدثان عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: لقد اعتنى القرآن الكريم والسُّنَّة النبوية بغرس حسن الظن بالله في قلب كل مسلم؛ لتؤتِيَ ثمارها من رضًا ويقين، وحسنِ توكُّلٍ على الله، ولتكون حائطَ صدٍّ أمام القنوط والتشاؤم، وعدم الرضا والتسخط من أقدار الله؛ يقول الله تعالى: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، ويقول الله عز وجل: ﴿ فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ ﴾ [الحاقة: 19 – 21]، وعند الضيق والكروب والهموم؛ فالثلاثة الذين خُلِّفوا لم يُكشف عنهم ما حلَّ بهم من الكرب إلا حُسْنُ ظنهم بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴾ [التوبة: 118]، كما أوضحت آياتٌ أخرى خطورةَ سوء الظن بالله وعقوبته في الدنيا والآخرة، ما يدل على وجوب الرضا بما قسمه الله؛ يقول الله تبارك وتعالى: ﴿ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾ [الفتح: 6]، ويقول الله سبحانه: ﴿ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ﴾ [آل عمران: 154]، وفي السُّنَّة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((يقول الله تعالى: أنا عند ظنِّ عبدي بي))، وفي رواية لأحمد: ((إنْ ظنَّ بي خيرًا فله، وإن ظن شرًّا فله)). Pembahasan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah sangat konsen dalam menanamkan sikap baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hati setiap Muslim, agar menghasilkan keridhaan, keyakinan, dan tawakal yang sempurna kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga menjadi benteng penghalang di hadapan sikap putus asa, pesimistis, tidak terima, dan murka terhadap takdir-takdir Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ “Adapun orang yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, dia berkata (kepada orang-orang di sekelilingnya), ‘Ambillah (dan) bacalah kitabku (ini)! Sesungguhnya (saat di dunia) aku yakin bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan diriku.’ Maka, ia berada dalam kehidupan yang menyenangkan.” (QS. Al-Haqqah: 19-21). Saat menghadapi kesempitan, kesulitan, dan kegundahan hati, tiga orang sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk tidak dapat terbebas dari musibah kecuali karena sangkaan baik mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia berfirman: وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118). Dijelaskan juga dalam ayat-ayat lain tentang berbahayanya buruk sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaannya di dunia dan akhirat, yang menjadi dalil tentang wajibnya menerima apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk. Allah pun murka kepada mereka, melaknat mereka, dan menyediakan (neraka) Jahanam bagi mereka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ “Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154). Adapun dalam As-Sunnah, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.’” Dan dalam riwayat Ahmad ada tambahan: إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Apabila ia berbaik sangka terhadap-Ku maka itulah baginya, dan apabila ia berburuk sangka terhadap-Ku maka itu jugalah baginya.” إحسان الظن بالله ودوره في تثبيت المؤمنين: أيها المسلمون: إن حسن الظن بالله مع العمل الصالح والنافع يفتح باب الأمل، ويشجِّع على الصبر وبذل الجهد والاجتهاد في زمنٍ كثُر فيه الأعداء الطُّغاة البُغاة على المسلمين، وانتشر فيه من الفتن ما يَدَعُ الحليمَ حيرانَ. وحسن الظن بالله له أعظم الأثر في حياة المؤمن وبعد مماته؛ فأما في حياته، فإن المؤمن حين يُحسن الظن بربه لا يزال قلبه مطمئنًّا، ونفسه آمنةً راضيةً بقضاء الله وقدره، يتوقَّع الخير منه سبحانه دائمًا في حال السراء والضراء، ينتظر نَصْرَ الله الذي يأتي عند انتفاش البغي والظلم، وتسرُّب اليأس إلى القلوب؛ قال الله تعالى: ﴿ أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، وقوله تعالى: ﴿ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، بشارة من الله بالنصر في شدة الكَرْبِ، ووَعْدٌ من الله لا يُخلِفه، وسيحققه لأوليائه على أعدائه؛ ويقول الله تعالى: ﴿ حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ ﴾ [يوسف: 110]، فالنصر يأتي عندما يتسرَّب اليأس إلى نفوس أفضل المؤمنين يقينًا؛ وهم الرسل، وينزل الله بأسه الشديد بالمجرمين جزاء بما كانوا يعملون. Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Perannya dalam Meneguhkan Kaum Mu’minin Wahai kaum Muslimin! Sangkaan baik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disertai dengan amalan yang shaleh dan bermanfaat dapat membuka pintu harapan, dan memberi dorongan untuk bersabar dan mengerahkan usaha pada zaman yang penuh dengan musuh-musuh zalim penentang kaum Muslimin dan tersebar fitnah-fitnah yang membuat orang yang tabah berada dalam kebingungan. Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya pengaruh besar dalam kehidupan seorang mukmin dan setelah kematiannya. Adapun semasa hidupnya, ketika seorang mukmin berbaik sangka kepada Tuhannya, hatinya akan menjadi damai, jiwanya merasa aman dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia akan selalu menunggu kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam setiap kondisi senang maupun susah. Ia menanti pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pasti datang saat tersebar kezaliman dan kesewenang-wenangan, dan ketika rasa putus asa menyelinap ke dalam hati. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214). Firman Allah Ta’ala, “Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” merupakan kabar gembira dari Allah tentang pertolongan-Nya di puncak musibah, dan janji-Nya yang tidak akan diingkari dan Allah pasti akan merealisasikannya bagi para kekasih-Nya dalam melawan para musuh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ “Sehingga apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.” (QS. Yusuf: 110). Pertolongan akan datang ketika putus asa telah menyusup ke dalam diri kaum Mukminin yang paling afdal keimanannya, yaitu para rasul, barulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan siksaan-Nya yang berat bagi para pendosa atas perbuatan yang telah mereka lakukan. وجعل الله من ثمار الصبر وعبادة الصلاة حُسْنَ الظن بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، وقد نال الرسل عليهم السلام المنزلةَ الرفيعة في ظنِّهم بالله؛ ففوَّضوا أمورهم إليه سبحانه وتعالى، فإبراهيم عليه السلام ترك هاجرَ وابنها إسماعيلَ عند البيت، وليس بمكة يومئذٍ أحدٌ، وليس بها ماء، ثم ولَّى إبراهيم منطلقًا فتبِعتْهُ هاجر عليها السلام؛ وقالت: ((يا إبراهيم، أين تذهب وتتركنا بهذا الوادي الذي ليس فيه إنس ولا شيء؟ فقالت له ذلك مرارًا: وجعل لا يلتفت إليها، فقالت له: آلله الذي أمرك بهذا؟ قال: نعم، قالت: إذًا لا يُضيِّعنا))؛ [رواه البخاري]، فكان من عاقبة حسن ظنِّها بالله ما كان، فنبع ماءٌ مباركٌ، وعمر البيت، وبقِيَ ذكرها خالدًا، وصار إسماعيل نبيًّا، ومن ذريته خاتم الأنبياء وإمام المرسلين. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan buah dari kesabaran dan salat adalah sangkaan baik kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Para rasul telah meraih derajat yang tinggi dalam urusan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Hajar dan anaknya, Ismail di Baitullah. Padahal ketika itu, di Makkah tidak ada seorangpun, dan bahkan tidak ada sumber air. Ibrahim tetap berjalan pergi meninggalkan mereka, lalu Hajar mengikutinya dari belakang dan berkata, “Wahai Ibrahim! Ke mana engkau akan pergi, sedangkan kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak dihuni seorang pun dan tidak ada apapun?” Hajar mengulangi pertanyaannya ini berulang kali. Namun, Nabi Ibrahim sama sekali tidak menoleh kepadanya. Hajar lalu bertanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memerintahkanmu hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar akhirnya berkata, “Kalau begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengabaikan kami!” (HR. Al-Bukhari). Akhirnya, berkat sangkaan baik Hajar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, muncul air yang diberkahi (Zamzam), Baitullah menjadi makmur, namanya terus diingat sepanjang sejarah, Ismail menjadi nabi, dan salah satu anak keturunannya (Nabi Muhammad) menjadi nabi terakhir dan imam para Nabi. واشتدَّ الخطب بموسى عليه السلام ومن معه؛ فالبحر أمامهم وفرعون وجنده من ورائهم؛ وحينها قال أصحاب موسى: ﴿ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ﴾ [الشعراء: 61]، فكان الجواب من النبي الكليم شاهدًا بعظيم ثقته بالله، وحسن ظنه بربه العظيم: ﴿ قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ ﴾ [الشعراء: 62]، فأتى الوحي بما لا يخطر على بال: ﴿ فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ * وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ * وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ ﴾ [الشعراء: 63 – 66]. إن حسن الظن بالله سفينةُ نجاةٍ في بحر المحن والفتن، وهو سموٌّ ورُقِيٌّ للمرء في وقت اليأس والقنوط، وحسن الظن بالله صفة عالية لأهل الإيمان، وبرهان على صدق التديُّن، وعلامة على السموِّ والرِّفعة. ما أروع حسن الظن بالله حين يُوقِن المؤمن أن بعد الهزيمة نصرًا، وبعد الكسر جبرًا، وأن بعد العسر يسرًا، وأن بعد التعب راحة، وبعد الدمع بسمةً، وبعد المرض شفاء، وبعد الدنيا جنةً عرضها السماوات والأرض، أعدت للمتقين! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا  سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Dalam kisah lain, ketika keadaan semakin menghimpit Nabi Musa Alaihissalam dan para pengikutnya, sedangkan di hadapan mereka ada lautan dan di belakang mereka ada Fir’aun dan bala tentaranya, para pengikut Nabi Musa akhirnya berseru, “Kita pasti terkejar!” (QS. Asy-Syu’ara: 61). Namun, tanggapan dari Nabi Musa menjadi saksi betapa besar kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sangkaan baik kepada Tuhannya Yang Maha Agung. “Musa berkata, ‘Tidak! Sungguh Tuhanku bersamaku, dan Dia pasti akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syu’ara: 62). Lalu turunlah wahyu yang tidak pernah terlintas di pikiran seorang pun. “Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut dengan tongkatmu itu.’ Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar. Di sanalah Kami dekatkan kelompok yang lain. Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya. Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.” (QS. Asy-Syu’ara: 63-66). Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan kapal penyelamat di lautan musibah dan cobaan. Ia merupakan pembangkit seseorang pada masa putus asa dan patah arang. Baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat mulia orang-orang beriman, bukti atas ketulusan beragama, dan tanda kemuliaan dan keluhuran. Betapa luar biasanya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika seorang mukmin meyakini bahwa setelah kekalahan ada kemenangan, setelah rasa sakit ada pemulihan, setelah kesulitan ada kemudahan, setelah keletihan ada ketenangan, setelah air mata ada senyuman, setelah penyakit ada kesembuhan, dan setelah dunia ada surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang bertakwa! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا Katakanlah pada orang yang mengisi hatinya dengan pesimisme Dan terus menghimpit ufuk di sekitar kita. سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Rahasia kebahagiaan adalah berbaik sangka kepada Dzat Yang telah menciptakan kehidupan dan membagi rezeki. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/172906/إحسان-الظن-بالله-عدة-في-الشدائد-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 106 times, 2 visit(s) today Post Views: 67 QRIS donasi Yufid
إحسان الظن بالله عُدَّةٌ في الشدائد Oleh: Dr. Abdurrazzaq as-Sayyid د. عبدالرزاق السيد الحمد لله الذي جعل مع كلِّ عُسْرٍ يُسرًا، وقرن مع كل صبرٍ نصرًا، مَلَكَ قَهْرًا، وقدَّر أمرًا، ووعد من أحسن الظن به خيرًا، وأشهد أن لا إله إلا الله سرًّا وجهرًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله أشرفُ البرِيَّة قدرًا، وأرفعهم ذكرًا، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه طُرًّا؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadikan segala kesulitan diiringi dengan kemudahan, dan menyandingkan pertolongan bersama setiap kesabaran. Dialah Sang Pemilik dengan kuasa-Nya, yang menetapkan setiap perkara, dan menjanjikan kebaikan bagi setiap orang yang berbaik sangka kepada-Nya. Saya bersaksi lahir dan batin bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, manusia paling mulia kedudukannya dan paling tinggi derajatnya, semoga salawat dan salam terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: أهمية الحديث عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: إن عين المتأمل لواقع المسلمين لَتَدْمَعُ، وإن قلب المؤمن من الحزن ليتقطَّع على ما يُفعل بأُمَّة الإسلام على مرأًى ومسمع؛ فمن يتابع الأخبار في شتى البلاد يقف على حقائق مرعبة؛ فأمراض وأسقام، وفاقة ونقص من الأموال والثمرات، وقتل وتدمير، وتعذيب وتهجير، وطمس للهُوِيَّةِ الإسلامية، ومحاربة العلماء والْمُصْلِحين، حتى بلغ ببعض الناس ممن نزلت بهم النوازلُ، وزَلْزَلَتْهُم الزلازل العاتية من الفتن والحروب، أن يتساءلوا: ما السبيل لزوال هذه الغُمَّة وذَهاب هذا العناء؟ ولعلي في هذا المقام أكتفي بأعظم دواء لكل ذلك؛ ألَا وهو حسن الظن بالله تعالى، ومعنى حسن الظن بالله تعالى: الثقة في الله ووعده، وحسن التوكل عليه، والرضا بأقداره، والتسليم لتدابيره، والاطمئنان لأفعاله، والسكون لأحكامه، وأنَّ ما ينزل بالناس من نازلة إلا بعلمه وتقديره، يَرفع بها أجرًا، ويدفع بها أكبرَ منها، ويختار بها من يشاء من العباد رِفْعةً لهم في آخرتهم والدنيا. Urgensi Pembahasan tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Sungguh mata orang yang memperhatikan realitas kaum Muslimin pasti akan menitikkan air mata, dan sungguh hati orang beriman pasti tercabik-cabik oleh kesedihan atas apa yang dilakukan terhadap umat Islam secara terang-terangan. Orang yang mengikuti berita-berita dari berbagai penjuru dunia pasti akan mendapati kenyataan-kenyataan mengerikan, penyakit dan wabah, kemiskinan dan kekurangan sumber daya, pembunuhan dan penghancuran, penyiksaan dan pengusiran, penghapusan identitas Islam, dan perlawanan terhadap para ulama dan pengusung kebaikan. Bahkan sampai pada titik sebagian orang yang tertimpa musibah dan terkena terpaan kencang dari berbagai ujian dan peperangan itu bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar awan gelap dan kesulitan ini dapat sirna?” Pada kesempatan ini, saya akan mencukupkan diri untuk membahas tentang obat teragung untuk menangani segala problem tersebut, yaitu berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna dari berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah percaya sepenuhnya kepada Allah dan janji-Nya, bertawakal sebaik-baiknya kepada-Nya, menerima takdir-takdir-Nya, berserah diri kepada pengaturan-Nya, merasa tenang dengan ketetapan-Nya, merasa aman dengan hukum-hukum-Nya, dan meyakini bahwa tidak akan ada musibah yang menimpa manusia kecuali dengan ilmu dan takdir-Nya, dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala meningkatkan pahalanya, mencegah musibah yang lebih besar darinya, dan dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih hamba-Nya yang Dia kehendaki untuk meraih derajat yang tinggi di dunia dan akhirat. القرآن والسنة تتحدثان عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: لقد اعتنى القرآن الكريم والسُّنَّة النبوية بغرس حسن الظن بالله في قلب كل مسلم؛ لتؤتِيَ ثمارها من رضًا ويقين، وحسنِ توكُّلٍ على الله، ولتكون حائطَ صدٍّ أمام القنوط والتشاؤم، وعدم الرضا والتسخط من أقدار الله؛ يقول الله تعالى: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، ويقول الله عز وجل: ﴿ فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ ﴾ [الحاقة: 19 – 21]، وعند الضيق والكروب والهموم؛ فالثلاثة الذين خُلِّفوا لم يُكشف عنهم ما حلَّ بهم من الكرب إلا حُسْنُ ظنهم بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴾ [التوبة: 118]، كما أوضحت آياتٌ أخرى خطورةَ سوء الظن بالله وعقوبته في الدنيا والآخرة، ما يدل على وجوب الرضا بما قسمه الله؛ يقول الله تبارك وتعالى: ﴿ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾ [الفتح: 6]، ويقول الله سبحانه: ﴿ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ﴾ [آل عمران: 154]، وفي السُّنَّة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((يقول الله تعالى: أنا عند ظنِّ عبدي بي))، وفي رواية لأحمد: ((إنْ ظنَّ بي خيرًا فله، وإن ظن شرًّا فله)). Pembahasan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah sangat konsen dalam menanamkan sikap baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hati setiap Muslim, agar menghasilkan keridhaan, keyakinan, dan tawakal yang sempurna kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga menjadi benteng penghalang di hadapan sikap putus asa, pesimistis, tidak terima, dan murka terhadap takdir-takdir Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ “Adapun orang yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, dia berkata (kepada orang-orang di sekelilingnya), ‘Ambillah (dan) bacalah kitabku (ini)! Sesungguhnya (saat di dunia) aku yakin bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan diriku.’ Maka, ia berada dalam kehidupan yang menyenangkan.” (QS. Al-Haqqah: 19-21). Saat menghadapi kesempitan, kesulitan, dan kegundahan hati, tiga orang sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk tidak dapat terbebas dari musibah kecuali karena sangkaan baik mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia berfirman: وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118). Dijelaskan juga dalam ayat-ayat lain tentang berbahayanya buruk sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaannya di dunia dan akhirat, yang menjadi dalil tentang wajibnya menerima apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk. Allah pun murka kepada mereka, melaknat mereka, dan menyediakan (neraka) Jahanam bagi mereka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ “Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154). Adapun dalam As-Sunnah, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.’” Dan dalam riwayat Ahmad ada tambahan: إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Apabila ia berbaik sangka terhadap-Ku maka itulah baginya, dan apabila ia berburuk sangka terhadap-Ku maka itu jugalah baginya.” إحسان الظن بالله ودوره في تثبيت المؤمنين: أيها المسلمون: إن حسن الظن بالله مع العمل الصالح والنافع يفتح باب الأمل، ويشجِّع على الصبر وبذل الجهد والاجتهاد في زمنٍ كثُر فيه الأعداء الطُّغاة البُغاة على المسلمين، وانتشر فيه من الفتن ما يَدَعُ الحليمَ حيرانَ. وحسن الظن بالله له أعظم الأثر في حياة المؤمن وبعد مماته؛ فأما في حياته، فإن المؤمن حين يُحسن الظن بربه لا يزال قلبه مطمئنًّا، ونفسه آمنةً راضيةً بقضاء الله وقدره، يتوقَّع الخير منه سبحانه دائمًا في حال السراء والضراء، ينتظر نَصْرَ الله الذي يأتي عند انتفاش البغي والظلم، وتسرُّب اليأس إلى القلوب؛ قال الله تعالى: ﴿ أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، وقوله تعالى: ﴿ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، بشارة من الله بالنصر في شدة الكَرْبِ، ووَعْدٌ من الله لا يُخلِفه، وسيحققه لأوليائه على أعدائه؛ ويقول الله تعالى: ﴿ حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ ﴾ [يوسف: 110]، فالنصر يأتي عندما يتسرَّب اليأس إلى نفوس أفضل المؤمنين يقينًا؛ وهم الرسل، وينزل الله بأسه الشديد بالمجرمين جزاء بما كانوا يعملون. Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Perannya dalam Meneguhkan Kaum Mu’minin Wahai kaum Muslimin! Sangkaan baik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disertai dengan amalan yang shaleh dan bermanfaat dapat membuka pintu harapan, dan memberi dorongan untuk bersabar dan mengerahkan usaha pada zaman yang penuh dengan musuh-musuh zalim penentang kaum Muslimin dan tersebar fitnah-fitnah yang membuat orang yang tabah berada dalam kebingungan. Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya pengaruh besar dalam kehidupan seorang mukmin dan setelah kematiannya. Adapun semasa hidupnya, ketika seorang mukmin berbaik sangka kepada Tuhannya, hatinya akan menjadi damai, jiwanya merasa aman dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia akan selalu menunggu kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam setiap kondisi senang maupun susah. Ia menanti pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pasti datang saat tersebar kezaliman dan kesewenang-wenangan, dan ketika rasa putus asa menyelinap ke dalam hati. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214). Firman Allah Ta’ala, “Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” merupakan kabar gembira dari Allah tentang pertolongan-Nya di puncak musibah, dan janji-Nya yang tidak akan diingkari dan Allah pasti akan merealisasikannya bagi para kekasih-Nya dalam melawan para musuh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ “Sehingga apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.” (QS. Yusuf: 110). Pertolongan akan datang ketika putus asa telah menyusup ke dalam diri kaum Mukminin yang paling afdal keimanannya, yaitu para rasul, barulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan siksaan-Nya yang berat bagi para pendosa atas perbuatan yang telah mereka lakukan. وجعل الله من ثمار الصبر وعبادة الصلاة حُسْنَ الظن بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، وقد نال الرسل عليهم السلام المنزلةَ الرفيعة في ظنِّهم بالله؛ ففوَّضوا أمورهم إليه سبحانه وتعالى، فإبراهيم عليه السلام ترك هاجرَ وابنها إسماعيلَ عند البيت، وليس بمكة يومئذٍ أحدٌ، وليس بها ماء، ثم ولَّى إبراهيم منطلقًا فتبِعتْهُ هاجر عليها السلام؛ وقالت: ((يا إبراهيم، أين تذهب وتتركنا بهذا الوادي الذي ليس فيه إنس ولا شيء؟ فقالت له ذلك مرارًا: وجعل لا يلتفت إليها، فقالت له: آلله الذي أمرك بهذا؟ قال: نعم، قالت: إذًا لا يُضيِّعنا))؛ [رواه البخاري]، فكان من عاقبة حسن ظنِّها بالله ما كان، فنبع ماءٌ مباركٌ، وعمر البيت، وبقِيَ ذكرها خالدًا، وصار إسماعيل نبيًّا، ومن ذريته خاتم الأنبياء وإمام المرسلين. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan buah dari kesabaran dan salat adalah sangkaan baik kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Para rasul telah meraih derajat yang tinggi dalam urusan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Hajar dan anaknya, Ismail di Baitullah. Padahal ketika itu, di Makkah tidak ada seorangpun, dan bahkan tidak ada sumber air. Ibrahim tetap berjalan pergi meninggalkan mereka, lalu Hajar mengikutinya dari belakang dan berkata, “Wahai Ibrahim! Ke mana engkau akan pergi, sedangkan kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak dihuni seorang pun dan tidak ada apapun?” Hajar mengulangi pertanyaannya ini berulang kali. Namun, Nabi Ibrahim sama sekali tidak menoleh kepadanya. Hajar lalu bertanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memerintahkanmu hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar akhirnya berkata, “Kalau begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengabaikan kami!” (HR. Al-Bukhari). Akhirnya, berkat sangkaan baik Hajar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, muncul air yang diberkahi (Zamzam), Baitullah menjadi makmur, namanya terus diingat sepanjang sejarah, Ismail menjadi nabi, dan salah satu anak keturunannya (Nabi Muhammad) menjadi nabi terakhir dan imam para Nabi. واشتدَّ الخطب بموسى عليه السلام ومن معه؛ فالبحر أمامهم وفرعون وجنده من ورائهم؛ وحينها قال أصحاب موسى: ﴿ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ﴾ [الشعراء: 61]، فكان الجواب من النبي الكليم شاهدًا بعظيم ثقته بالله، وحسن ظنه بربه العظيم: ﴿ قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ ﴾ [الشعراء: 62]، فأتى الوحي بما لا يخطر على بال: ﴿ فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ * وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ * وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ ﴾ [الشعراء: 63 – 66]. إن حسن الظن بالله سفينةُ نجاةٍ في بحر المحن والفتن، وهو سموٌّ ورُقِيٌّ للمرء في وقت اليأس والقنوط، وحسن الظن بالله صفة عالية لأهل الإيمان، وبرهان على صدق التديُّن، وعلامة على السموِّ والرِّفعة. ما أروع حسن الظن بالله حين يُوقِن المؤمن أن بعد الهزيمة نصرًا، وبعد الكسر جبرًا، وأن بعد العسر يسرًا، وأن بعد التعب راحة، وبعد الدمع بسمةً، وبعد المرض شفاء، وبعد الدنيا جنةً عرضها السماوات والأرض، أعدت للمتقين! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا  سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Dalam kisah lain, ketika keadaan semakin menghimpit Nabi Musa Alaihissalam dan para pengikutnya, sedangkan di hadapan mereka ada lautan dan di belakang mereka ada Fir’aun dan bala tentaranya, para pengikut Nabi Musa akhirnya berseru, “Kita pasti terkejar!” (QS. Asy-Syu’ara: 61). Namun, tanggapan dari Nabi Musa menjadi saksi betapa besar kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sangkaan baik kepada Tuhannya Yang Maha Agung. “Musa berkata, ‘Tidak! Sungguh Tuhanku bersamaku, dan Dia pasti akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syu’ara: 62). Lalu turunlah wahyu yang tidak pernah terlintas di pikiran seorang pun. “Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut dengan tongkatmu itu.’ Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar. Di sanalah Kami dekatkan kelompok yang lain. Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya. Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.” (QS. Asy-Syu’ara: 63-66). Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan kapal penyelamat di lautan musibah dan cobaan. Ia merupakan pembangkit seseorang pada masa putus asa dan patah arang. Baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat mulia orang-orang beriman, bukti atas ketulusan beragama, dan tanda kemuliaan dan keluhuran. Betapa luar biasanya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika seorang mukmin meyakini bahwa setelah kekalahan ada kemenangan, setelah rasa sakit ada pemulihan, setelah kesulitan ada kemudahan, setelah keletihan ada ketenangan, setelah air mata ada senyuman, setelah penyakit ada kesembuhan, dan setelah dunia ada surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang bertakwa! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا Katakanlah pada orang yang mengisi hatinya dengan pesimisme Dan terus menghimpit ufuk di sekitar kita. سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Rahasia kebahagiaan adalah berbaik sangka kepada Dzat Yang telah menciptakan kehidupan dan membagi rezeki. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/172906/إحسان-الظن-بالله-عدة-في-الشدائد-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 106 times, 2 visit(s) today Post Views: 67 QRIS donasi Yufid


إحسان الظن بالله عُدَّةٌ في الشدائد Oleh: Dr. Abdurrazzaq as-Sayyid د. عبدالرزاق السيد الحمد لله الذي جعل مع كلِّ عُسْرٍ يُسرًا، وقرن مع كل صبرٍ نصرًا، مَلَكَ قَهْرًا، وقدَّر أمرًا، ووعد من أحسن الظن به خيرًا، وأشهد أن لا إله إلا الله سرًّا وجهرًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله أشرفُ البرِيَّة قدرًا، وأرفعهم ذكرًا، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه طُرًّا؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadikan segala kesulitan diiringi dengan kemudahan, dan menyandingkan pertolongan bersama setiap kesabaran. Dialah Sang Pemilik dengan kuasa-Nya, yang menetapkan setiap perkara, dan menjanjikan kebaikan bagi setiap orang yang berbaik sangka kepada-Nya. Saya bersaksi lahir dan batin bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, manusia paling mulia kedudukannya dan paling tinggi derajatnya, semoga salawat dan salam terlimpah kepada beliau, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: أهمية الحديث عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: إن عين المتأمل لواقع المسلمين لَتَدْمَعُ، وإن قلب المؤمن من الحزن ليتقطَّع على ما يُفعل بأُمَّة الإسلام على مرأًى ومسمع؛ فمن يتابع الأخبار في شتى البلاد يقف على حقائق مرعبة؛ فأمراض وأسقام، وفاقة ونقص من الأموال والثمرات، وقتل وتدمير، وتعذيب وتهجير، وطمس للهُوِيَّةِ الإسلامية، ومحاربة العلماء والْمُصْلِحين، حتى بلغ ببعض الناس ممن نزلت بهم النوازلُ، وزَلْزَلَتْهُم الزلازل العاتية من الفتن والحروب، أن يتساءلوا: ما السبيل لزوال هذه الغُمَّة وذَهاب هذا العناء؟ ولعلي في هذا المقام أكتفي بأعظم دواء لكل ذلك؛ ألَا وهو حسن الظن بالله تعالى، ومعنى حسن الظن بالله تعالى: الثقة في الله ووعده، وحسن التوكل عليه، والرضا بأقداره، والتسليم لتدابيره، والاطمئنان لأفعاله، والسكون لأحكامه، وأنَّ ما ينزل بالناس من نازلة إلا بعلمه وتقديره، يَرفع بها أجرًا، ويدفع بها أكبرَ منها، ويختار بها من يشاء من العباد رِفْعةً لهم في آخرتهم والدنيا. Urgensi Pembahasan tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Sungguh mata orang yang memperhatikan realitas kaum Muslimin pasti akan menitikkan air mata, dan sungguh hati orang beriman pasti tercabik-cabik oleh kesedihan atas apa yang dilakukan terhadap umat Islam secara terang-terangan. Orang yang mengikuti berita-berita dari berbagai penjuru dunia pasti akan mendapati kenyataan-kenyataan mengerikan, penyakit dan wabah, kemiskinan dan kekurangan sumber daya, pembunuhan dan penghancuran, penyiksaan dan pengusiran, penghapusan identitas Islam, dan perlawanan terhadap para ulama dan pengusung kebaikan. Bahkan sampai pada titik sebagian orang yang tertimpa musibah dan terkena terpaan kencang dari berbagai ujian dan peperangan itu bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar awan gelap dan kesulitan ini dapat sirna?” Pada kesempatan ini, saya akan mencukupkan diri untuk membahas tentang obat teragung untuk menangani segala problem tersebut, yaitu berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna dari berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah percaya sepenuhnya kepada Allah dan janji-Nya, bertawakal sebaik-baiknya kepada-Nya, menerima takdir-takdir-Nya, berserah diri kepada pengaturan-Nya, merasa tenang dengan ketetapan-Nya, merasa aman dengan hukum-hukum-Nya, dan meyakini bahwa tidak akan ada musibah yang menimpa manusia kecuali dengan ilmu dan takdir-Nya, dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala meningkatkan pahalanya, mencegah musibah yang lebih besar darinya, dan dengan musibah itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih hamba-Nya yang Dia kehendaki untuk meraih derajat yang tinggi di dunia dan akhirat. القرآن والسنة تتحدثان عن إحسان الظن بالله: أيها المسلمون: لقد اعتنى القرآن الكريم والسُّنَّة النبوية بغرس حسن الظن بالله في قلب كل مسلم؛ لتؤتِيَ ثمارها من رضًا ويقين، وحسنِ توكُّلٍ على الله، ولتكون حائطَ صدٍّ أمام القنوط والتشاؤم، وعدم الرضا والتسخط من أقدار الله؛ يقول الله تعالى: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، ويقول الله عز وجل: ﴿ فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ ﴾ [الحاقة: 19 – 21]، وعند الضيق والكروب والهموم؛ فالثلاثة الذين خُلِّفوا لم يُكشف عنهم ما حلَّ بهم من الكرب إلا حُسْنُ ظنهم بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴾ [التوبة: 118]، كما أوضحت آياتٌ أخرى خطورةَ سوء الظن بالله وعقوبته في الدنيا والآخرة، ما يدل على وجوب الرضا بما قسمه الله؛ يقول الله تبارك وتعالى: ﴿ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾ [الفتح: 6]، ويقول الله سبحانه: ﴿ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ﴾ [آل عمران: 154]، وفي السُّنَّة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((يقول الله تعالى: أنا عند ظنِّ عبدي بي))، وفي رواية لأحمد: ((إنْ ظنَّ بي خيرًا فله، وإن ظن شرًّا فله)). Pembahasan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Wahai kaum Muslimin! Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah sangat konsen dalam menanamkan sikap baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hati setiap Muslim, agar menghasilkan keridhaan, keyakinan, dan tawakal yang sempurna kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga menjadi benteng penghalang di hadapan sikap putus asa, pesimistis, tidak terima, dan murka terhadap takdir-takdir Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ * إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ “Adapun orang yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, dia berkata (kepada orang-orang di sekelilingnya), ‘Ambillah (dan) bacalah kitabku (ini)! Sesungguhnya (saat di dunia) aku yakin bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan diriku.’ Maka, ia berada dalam kehidupan yang menyenangkan.” (QS. Al-Haqqah: 19-21). Saat menghadapi kesempitan, kesulitan, dan kegundahan hati, tiga orang sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk tidak dapat terbebas dari musibah kecuali karena sangkaan baik mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia berfirman: وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118). Dijelaskan juga dalam ayat-ayat lain tentang berbahayanya buruk sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaannya di dunia dan akhirat, yang menjadi dalil tentang wajibnya menerima apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا “Yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk. Allah pun murka kepada mereka, melaknat mereka, dan menyediakan (neraka) Jahanam bagi mereka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ “Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154). Adapun dalam As-Sunnah, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.’” Dan dalam riwayat Ahmad ada tambahan: إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Apabila ia berbaik sangka terhadap-Ku maka itulah baginya, dan apabila ia berburuk sangka terhadap-Ku maka itu jugalah baginya.” إحسان الظن بالله ودوره في تثبيت المؤمنين: أيها المسلمون: إن حسن الظن بالله مع العمل الصالح والنافع يفتح باب الأمل، ويشجِّع على الصبر وبذل الجهد والاجتهاد في زمنٍ كثُر فيه الأعداء الطُّغاة البُغاة على المسلمين، وانتشر فيه من الفتن ما يَدَعُ الحليمَ حيرانَ. وحسن الظن بالله له أعظم الأثر في حياة المؤمن وبعد مماته؛ فأما في حياته، فإن المؤمن حين يُحسن الظن بربه لا يزال قلبه مطمئنًّا، ونفسه آمنةً راضيةً بقضاء الله وقدره، يتوقَّع الخير منه سبحانه دائمًا في حال السراء والضراء، ينتظر نَصْرَ الله الذي يأتي عند انتفاش البغي والظلم، وتسرُّب اليأس إلى القلوب؛ قال الله تعالى: ﴿ أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، وقوله تعالى: ﴿ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ ﴾ [البقرة: 214]، بشارة من الله بالنصر في شدة الكَرْبِ، ووَعْدٌ من الله لا يُخلِفه، وسيحققه لأوليائه على أعدائه؛ ويقول الله تعالى: ﴿ حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ ﴾ [يوسف: 110]، فالنصر يأتي عندما يتسرَّب اليأس إلى نفوس أفضل المؤمنين يقينًا؛ وهم الرسل، وينزل الله بأسه الشديد بالمجرمين جزاء بما كانوا يعملون. Berbaik Sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Perannya dalam Meneguhkan Kaum Mu’minin Wahai kaum Muslimin! Sangkaan baik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disertai dengan amalan yang shaleh dan bermanfaat dapat membuka pintu harapan, dan memberi dorongan untuk bersabar dan mengerahkan usaha pada zaman yang penuh dengan musuh-musuh zalim penentang kaum Muslimin dan tersebar fitnah-fitnah yang membuat orang yang tabah berada dalam kebingungan. Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya pengaruh besar dalam kehidupan seorang mukmin dan setelah kematiannya. Adapun semasa hidupnya, ketika seorang mukmin berbaik sangka kepada Tuhannya, hatinya akan menjadi damai, jiwanya merasa aman dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia akan selalu menunggu kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam setiap kondisi senang maupun susah. Ia menanti pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pasti datang saat tersebar kezaliman dan kesewenang-wenangan, dan ketika rasa putus asa menyelinap ke dalam hati. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214). Firman Allah Ta’ala, “Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datang pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” merupakan kabar gembira dari Allah tentang pertolongan-Nya di puncak musibah, dan janji-Nya yang tidak akan diingkari dan Allah pasti akan merealisasikannya bagi para kekasih-Nya dalam melawan para musuh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ “Sehingga apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.” (QS. Yusuf: 110). Pertolongan akan datang ketika putus asa telah menyusup ke dalam diri kaum Mukminin yang paling afdal keimanannya, yaitu para rasul, barulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan siksaan-Nya yang berat bagi para pendosa atas perbuatan yang telah mereka lakukan. وجعل الله من ثمار الصبر وعبادة الصلاة حُسْنَ الظن بالله؛ قال الله سبحانه: ﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البقرة: 45، 46]، وقد نال الرسل عليهم السلام المنزلةَ الرفيعة في ظنِّهم بالله؛ ففوَّضوا أمورهم إليه سبحانه وتعالى، فإبراهيم عليه السلام ترك هاجرَ وابنها إسماعيلَ عند البيت، وليس بمكة يومئذٍ أحدٌ، وليس بها ماء، ثم ولَّى إبراهيم منطلقًا فتبِعتْهُ هاجر عليها السلام؛ وقالت: ((يا إبراهيم، أين تذهب وتتركنا بهذا الوادي الذي ليس فيه إنس ولا شيء؟ فقالت له ذلك مرارًا: وجعل لا يلتفت إليها، فقالت له: آلله الذي أمرك بهذا؟ قال: نعم، قالت: إذًا لا يُضيِّعنا))؛ [رواه البخاري]، فكان من عاقبة حسن ظنِّها بالله ما كان، فنبع ماءٌ مباركٌ، وعمر البيت، وبقِيَ ذكرها خالدًا، وصار إسماعيل نبيًّا، ومن ذريته خاتم الأنبياء وإمام المرسلين. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan buah dari kesabaran dan salat adalah sangkaan baik kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46). Para rasul telah meraih derajat yang tinggi dalam urusan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Hajar dan anaknya, Ismail di Baitullah. Padahal ketika itu, di Makkah tidak ada seorangpun, dan bahkan tidak ada sumber air. Ibrahim tetap berjalan pergi meninggalkan mereka, lalu Hajar mengikutinya dari belakang dan berkata, “Wahai Ibrahim! Ke mana engkau akan pergi, sedangkan kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak dihuni seorang pun dan tidak ada apapun?” Hajar mengulangi pertanyaannya ini berulang kali. Namun, Nabi Ibrahim sama sekali tidak menoleh kepadanya. Hajar lalu bertanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memerintahkanmu hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar akhirnya berkata, “Kalau begitu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengabaikan kami!” (HR. Al-Bukhari). Akhirnya, berkat sangkaan baik Hajar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, muncul air yang diberkahi (Zamzam), Baitullah menjadi makmur, namanya terus diingat sepanjang sejarah, Ismail menjadi nabi, dan salah satu anak keturunannya (Nabi Muhammad) menjadi nabi terakhir dan imam para Nabi. واشتدَّ الخطب بموسى عليه السلام ومن معه؛ فالبحر أمامهم وفرعون وجنده من ورائهم؛ وحينها قال أصحاب موسى: ﴿ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ﴾ [الشعراء: 61]، فكان الجواب من النبي الكليم شاهدًا بعظيم ثقته بالله، وحسن ظنه بربه العظيم: ﴿ قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ ﴾ [الشعراء: 62]، فأتى الوحي بما لا يخطر على بال: ﴿ فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ * وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ * وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ ﴾ [الشعراء: 63 – 66]. إن حسن الظن بالله سفينةُ نجاةٍ في بحر المحن والفتن، وهو سموٌّ ورُقِيٌّ للمرء في وقت اليأس والقنوط، وحسن الظن بالله صفة عالية لأهل الإيمان، وبرهان على صدق التديُّن، وعلامة على السموِّ والرِّفعة. ما أروع حسن الظن بالله حين يُوقِن المؤمن أن بعد الهزيمة نصرًا، وبعد الكسر جبرًا، وأن بعد العسر يسرًا، وأن بعد التعب راحة، وبعد الدمع بسمةً، وبعد المرض شفاء، وبعد الدنيا جنةً عرضها السماوات والأرض، أعدت للمتقين! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا  سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Dalam kisah lain, ketika keadaan semakin menghimpit Nabi Musa Alaihissalam dan para pengikutnya, sedangkan di hadapan mereka ada lautan dan di belakang mereka ada Fir’aun dan bala tentaranya, para pengikut Nabi Musa akhirnya berseru, “Kita pasti terkejar!” (QS. Asy-Syu’ara: 61). Namun, tanggapan dari Nabi Musa menjadi saksi betapa besar kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sangkaan baik kepada Tuhannya Yang Maha Agung. “Musa berkata, ‘Tidak! Sungguh Tuhanku bersamaku, dan Dia pasti akan memberiku petunjuk.” (QS. Asy-Syu’ara: 62). Lalu turunlah wahyu yang tidak pernah terlintas di pikiran seorang pun. “Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut dengan tongkatmu itu.’ Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar. Di sanalah Kami dekatkan kelompok yang lain. Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya. Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.” (QS. Asy-Syu’ara: 63-66). Berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan kapal penyelamat di lautan musibah dan cobaan. Ia merupakan pembangkit seseorang pada masa putus asa dan patah arang. Baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat mulia orang-orang beriman, bukti atas ketulusan beragama, dan tanda kemuliaan dan keluhuran. Betapa luar biasanya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika seorang mukmin meyakini bahwa setelah kekalahan ada kemenangan, setelah rasa sakit ada pemulihan, setelah kesulitan ada kemudahan, setelah keletihan ada ketenangan, setelah air mata ada senyuman, setelah penyakit ada kesembuhan, dan setelah dunia ada surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang bertakwa! قل للذي ملأ التشاؤم قلبه ومضى يضيق حولنا الآفاقا Katakanlah pada orang yang mengisi hatinya dengan pesimisme Dan terus menghimpit ufuk di sekitar kita. سرُّ السعادة حسن ظنك بالذي خلق الحياة وقسَّم الأرزاقا Rahasia kebahagiaan adalah berbaik sangka kepada Dzat Yang telah menciptakan kehidupan dan membagi rezeki. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/172906/إحسان-الظن-بالله-عدة-في-الشدائد-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 106 times, 2 visit(s) today Post Views: 67 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Teks Khotbah Jumat: Menjalani Kehidupan dengan Tawaduk

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaBegitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukKhotbah keduaSombong adalah dosa pertama IblisContoh kaum tersombong di zaman iniKhotbah pertamaبسم الله الرحمن الرحيمالسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاتهإِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ  أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ  وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ له وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ المُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِيْنِ قال الله تعالى فى كتابه الكريميا ايها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيماأما بعدPara Jamaah rahimakumullah!Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diri kita dengan segala sistem pernafasan, pencernaan, dan juga akal pikiran. Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan perasaan dan emosi dalam jiwa kita. Sehingga potensi itu mengantarkan kita di hari ini berkumpul untuk menghadiri salat jumat berjemaah.Marilah kita syukuri nikmat Allah yang begitu luas ini dengan ketakwaan. Karena satu-satunya cara untuk mendapatkan nikmat kehidupan dan bekal menuju akhirat yang penuh kelapangan adalah dengan bertakwa dan menjaga iman. Allah berfirman,وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)Jalan ketakwaan itu telah ditunjukkan oleh seorang Rasul yang diutus Rabbuna kepada kita 14 abad yang lalu. Dialah Al-Musthafa, Muhammad ﷺ, maka berselawatlah kepadanya, niscaya Allah akan balas selawat itu dan dijanjikan syafaat bagi kita di hari akhirat kelak.Para Jamaah rahimakumullah!Allah ﷻ berfirman tentang sifat hamba-hamba Allah Maha Pengasih yang digelari sebagai ibadurrahman,وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا“Dan ibadurrahman ialah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)Al-Haun artinya lemah-lembut, ia menjadi kata sifat yang melekat kepada kata kerja yamsyuna, yakni berjalan. Konsekuensinya, ibadurrahman ialah pribadi yang memiliki sifat tenang, berwibawa, rendah hati, tawaduk, tidak sombong maupun congkak. Semuanya menunjukkan bahwa ibadurrahman memiliki sifat tawaduk.Tawaduk yang dimaksud adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dan tentang sifat kaum yang akan Allah datangkan menggantikan orang murtad. Allah ﷻ berfirman,فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ“Kemudian Allah ﷻ datangkan kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah ﷻ, serta adzillah alal mukminin (rendah hati kepada mukmin), serta punya izzah terhadap orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 54)Tawaduk yang dimaksudkan adalah yang demikian, memiliki kerendahan hati serta lemah lembut kepada orang mukmin. Bukan menjadikan diri rendah dan hina. Bukan pula mengutamakan sikap lemah-lembut itu kepada orang kafir dibandingkan kepada orang mukmin.Ibnul Qayyim menukilkan perkataan Atha’,المؤمنون لِلْمُؤْمِنِينَ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.“Permisalan ketawadukan seorang muslim itu seperti sikap seorang ayah kepada anaknya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Seorang ayah mampu untuk menolak dan bersikap tegas atas segala permintaan anaknya. Namun, ia tetap berlemah-lembut, menuruti keinginan anaknya karena sebab rahmat dan kasih-sayangnya. Tetapi tidak kehilangan wibawanya. Begitupula kepada orang yang membahayakan anaknya, maka ia akan bersikap tegas bahkan keras membela anaknya.Sedangkan terhadap orang kafir, seorang muslim itu harusnya,كَالسَّبُعِ عَلَى فَرِيسَتِهِ“Seperti binatang buas terhadap mangsanya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Maka, aneh jika ada seorang muslim yang lebih keras kepada sesamanya, tetapi lembut kepada selain muslim. Pengajian sesama muslim ahlus sunah dibubarkan, tetapi aktivitas keagamaan lain dijaga-jaga. Padahal asalnya seorang muslim adalah adzillah alal mukminin asyiddah alal kafirin, bukan sebaliknya.Begitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLawan dari tawaduk adalah takabur atau kesombongan. Ibnu Atha’ rahimahullah berkata,فَمَنْ طَلَبَهُ فِي الْكِبْرِ فَهُوَ كَتَطَلُّبِ الْمَاءِ مِنَ النَّارِ“Barangsiapa yang mencari ketawadukan di dalam kesombongan, maka ia seperti mencari air di dalam api.” (Madarijus Salikin, hal. 645)Seorang muslim itu hendaknya lebih banyak menuduh dirinya takabur, dibanding mengklaim dirinya tawaduk. Sama halnya ia hendaknya lebih banyak menilai orang lain dengan husnuzhan, dibandingkan menuduh orang takabur.Lihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukBaginda Nabi ﷺ ketika orang lain melihat beliau duduk-duduk dengan para sahabatnya, maka tidak bisa orang membedakan yang mana Nabinya, karena tampilan dan tempat duduk Nabi yang sederhana dan tidak istimewa.Hal ini yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi dan ulama terdahulu. Umar terbiasa memanggul sendiri bantuan sosial dari baitul malnya, termasuk membawa timbaan air untuk kebutuhan diri sendiri dan kaum muslimin.Abu Hurairah yang pernah menjadi gubernur, membawa sendiri kayu bakarnya sampai orang tidak sadar itu adalah Gubernur.Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang dikenal saleh, mendengar anaknya membeli cincin 1000 dirham, ia pun langsung menyurati anaknya. Ia perintahkan anaknya untuk menjual cincin itu, lalu menggantinya dengan menyedekahkan uangnya kepada seribu orang. Lalu jika anaknya ingin cincin, maka belilah cincin besi saja dengan ukiran,رَحِمَ اللَّهُ امْرَءًا عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ“Allah merahmati orang yang tahu kadar dirinya.” (Madarijus Salikin, hal. 646)Semua praktik para salaf saleh ini cukup menunjukkan kepada kita bagaimana tawaduk yang benar itu.Mereka tidak melihat pada dirinya suatu nilai yang dapat dibanggakan, baik dari perhiasan dunia maupun amalan akhirat. Karena mereka sadar bahwa perhiasan dunia tidak akan dibawa mati, sedangkan amalan akhirat belum tentu diterima.Mereka mempraktikkan tawaduk dalam lisanul hal (tindakan/action), bukan lisanul maqal (sekadar ucapan). Mereka tunjukkan dalam perbuatan, bukanlah dengan klaim.Mereka menjalani kehidupan tawaduk dengan berkontribusi positif pada kaum muslimin, bukan menghinakan muslim lainnya dengan tuduhan dan fitnah. Mereka pun tidak menghinakan diri dengan menghilangkan segala keperluan dunia yang indah dan wajib untuk dijaga keindahannya. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tidak melarang anaknya berhias, tetapi hanya mengatur kadarnya.Inilah bekal kehidupan orang beriman, sikap tawaduk. Seorang muslim mukmin hendaknya memiliki sensitifitas kepada keadaan zaman. Di zaman di mana ekonomi sedang sulit dan kehidupan sedang berat, maka sensitifitas perasaan orang sangat penting. Maka bekal tawaduk menjadi penting, agar orang tidak tersakiti dengan sikap sombong kita. Sikap sombong itu menyakitkan orang yang melihatnya, maka berhati-hatilah darinya.بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhotbah keduaالحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى على محمد وعلى آله وأصحابه وأخوانهSombong adalah dosa pertama IblisJamaah rahimakumullah!Ketahuilah bahwa dosa sombong atau takabur adalah salah satu dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Iblis memiliki kesombongan sehingga ia tidak mau bersujud kepada Adam. Kesombongan ini melahirkan rasa hasad dan membuatnya kehilangan rasionalitasnya. Ia mencari alasan-alasan bahwa Adam adalah makhluk yang tak pantas untuk menerima sujudnya. Padahal apalah arti semua alasan itu. Sehingga sampai menolak perintah Allah dan inilah puncak kesombongan.Bagi orang berakal, sangat pantas Allah ﷻ menempatkan orang yang sombong di neraka. Allah berfirman,فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ“Maka masukilah pintu-pintu neraka dan kekallah kalian di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang yang menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 29)Karena orang sombong tidak lagi mengakui kebenaran seketok apapun.الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ. وَغَمْطُ النَّاسِ“Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Hakim no. 5757, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)Contoh kaum tersombong di zaman iniSalah satu kaum terburuk dalam contoh ini adalah Yahudi. Mereka menolak kebenaran dari para Nabi meski sudah mengetahui. Mereka membunuh para Nabi demi hawa nafsu mereka sehingga berani otak-atik dalil.Maka tidak mengherankan di zaman ini mereka melakukan kerusakan yang teramat besar. Jika para Nabi saja dibunuh, apalagi orang biasa seperti kita ini dan saudara kita di Palestina. Maka, berlindunglah kita dari sikap takabur, dan berdoalah agar kita mendapatkan sifat tawaduk.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأمواتربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاباللهم ارنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطل وارزقنا اجتنابهرَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌاللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَ الْمُسلِمِيناللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَاننَاَ الْمُسلِمِين وَ المُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِيناللَّهُمَّ ثَبِّتْ إِيمَانَهُمْ وَ أَنْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَى قُلُوبِهِم وَ وَحِّدْ صُفُوفَهُمْاللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالمُشْرِكِينَاللَّهُمَّ دَمِّرِ الْيَهُود وَ شَتِّتْ شَمْلَهُم وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِو الحمد لله رب العالمينWa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.Akhirud da’wa ‘anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.و اقمِ الصلاBaca juga: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Menjalani Kehidupan dengan Tawaduk

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaBegitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukKhotbah keduaSombong adalah dosa pertama IblisContoh kaum tersombong di zaman iniKhotbah pertamaبسم الله الرحمن الرحيمالسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاتهإِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ  أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ  وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ له وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ المُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِيْنِ قال الله تعالى فى كتابه الكريميا ايها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيماأما بعدPara Jamaah rahimakumullah!Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diri kita dengan segala sistem pernafasan, pencernaan, dan juga akal pikiran. Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan perasaan dan emosi dalam jiwa kita. Sehingga potensi itu mengantarkan kita di hari ini berkumpul untuk menghadiri salat jumat berjemaah.Marilah kita syukuri nikmat Allah yang begitu luas ini dengan ketakwaan. Karena satu-satunya cara untuk mendapatkan nikmat kehidupan dan bekal menuju akhirat yang penuh kelapangan adalah dengan bertakwa dan menjaga iman. Allah berfirman,وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)Jalan ketakwaan itu telah ditunjukkan oleh seorang Rasul yang diutus Rabbuna kepada kita 14 abad yang lalu. Dialah Al-Musthafa, Muhammad ﷺ, maka berselawatlah kepadanya, niscaya Allah akan balas selawat itu dan dijanjikan syafaat bagi kita di hari akhirat kelak.Para Jamaah rahimakumullah!Allah ﷻ berfirman tentang sifat hamba-hamba Allah Maha Pengasih yang digelari sebagai ibadurrahman,وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا“Dan ibadurrahman ialah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)Al-Haun artinya lemah-lembut, ia menjadi kata sifat yang melekat kepada kata kerja yamsyuna, yakni berjalan. Konsekuensinya, ibadurrahman ialah pribadi yang memiliki sifat tenang, berwibawa, rendah hati, tawaduk, tidak sombong maupun congkak. Semuanya menunjukkan bahwa ibadurrahman memiliki sifat tawaduk.Tawaduk yang dimaksud adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dan tentang sifat kaum yang akan Allah datangkan menggantikan orang murtad. Allah ﷻ berfirman,فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ“Kemudian Allah ﷻ datangkan kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah ﷻ, serta adzillah alal mukminin (rendah hati kepada mukmin), serta punya izzah terhadap orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 54)Tawaduk yang dimaksudkan adalah yang demikian, memiliki kerendahan hati serta lemah lembut kepada orang mukmin. Bukan menjadikan diri rendah dan hina. Bukan pula mengutamakan sikap lemah-lembut itu kepada orang kafir dibandingkan kepada orang mukmin.Ibnul Qayyim menukilkan perkataan Atha’,المؤمنون لِلْمُؤْمِنِينَ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.“Permisalan ketawadukan seorang muslim itu seperti sikap seorang ayah kepada anaknya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Seorang ayah mampu untuk menolak dan bersikap tegas atas segala permintaan anaknya. Namun, ia tetap berlemah-lembut, menuruti keinginan anaknya karena sebab rahmat dan kasih-sayangnya. Tetapi tidak kehilangan wibawanya. Begitupula kepada orang yang membahayakan anaknya, maka ia akan bersikap tegas bahkan keras membela anaknya.Sedangkan terhadap orang kafir, seorang muslim itu harusnya,كَالسَّبُعِ عَلَى فَرِيسَتِهِ“Seperti binatang buas terhadap mangsanya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Maka, aneh jika ada seorang muslim yang lebih keras kepada sesamanya, tetapi lembut kepada selain muslim. Pengajian sesama muslim ahlus sunah dibubarkan, tetapi aktivitas keagamaan lain dijaga-jaga. Padahal asalnya seorang muslim adalah adzillah alal mukminin asyiddah alal kafirin, bukan sebaliknya.Begitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLawan dari tawaduk adalah takabur atau kesombongan. Ibnu Atha’ rahimahullah berkata,فَمَنْ طَلَبَهُ فِي الْكِبْرِ فَهُوَ كَتَطَلُّبِ الْمَاءِ مِنَ النَّارِ“Barangsiapa yang mencari ketawadukan di dalam kesombongan, maka ia seperti mencari air di dalam api.” (Madarijus Salikin, hal. 645)Seorang muslim itu hendaknya lebih banyak menuduh dirinya takabur, dibanding mengklaim dirinya tawaduk. Sama halnya ia hendaknya lebih banyak menilai orang lain dengan husnuzhan, dibandingkan menuduh orang takabur.Lihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukBaginda Nabi ﷺ ketika orang lain melihat beliau duduk-duduk dengan para sahabatnya, maka tidak bisa orang membedakan yang mana Nabinya, karena tampilan dan tempat duduk Nabi yang sederhana dan tidak istimewa.Hal ini yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi dan ulama terdahulu. Umar terbiasa memanggul sendiri bantuan sosial dari baitul malnya, termasuk membawa timbaan air untuk kebutuhan diri sendiri dan kaum muslimin.Abu Hurairah yang pernah menjadi gubernur, membawa sendiri kayu bakarnya sampai orang tidak sadar itu adalah Gubernur.Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang dikenal saleh, mendengar anaknya membeli cincin 1000 dirham, ia pun langsung menyurati anaknya. Ia perintahkan anaknya untuk menjual cincin itu, lalu menggantinya dengan menyedekahkan uangnya kepada seribu orang. Lalu jika anaknya ingin cincin, maka belilah cincin besi saja dengan ukiran,رَحِمَ اللَّهُ امْرَءًا عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ“Allah merahmati orang yang tahu kadar dirinya.” (Madarijus Salikin, hal. 646)Semua praktik para salaf saleh ini cukup menunjukkan kepada kita bagaimana tawaduk yang benar itu.Mereka tidak melihat pada dirinya suatu nilai yang dapat dibanggakan, baik dari perhiasan dunia maupun amalan akhirat. Karena mereka sadar bahwa perhiasan dunia tidak akan dibawa mati, sedangkan amalan akhirat belum tentu diterima.Mereka mempraktikkan tawaduk dalam lisanul hal (tindakan/action), bukan lisanul maqal (sekadar ucapan). Mereka tunjukkan dalam perbuatan, bukanlah dengan klaim.Mereka menjalani kehidupan tawaduk dengan berkontribusi positif pada kaum muslimin, bukan menghinakan muslim lainnya dengan tuduhan dan fitnah. Mereka pun tidak menghinakan diri dengan menghilangkan segala keperluan dunia yang indah dan wajib untuk dijaga keindahannya. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tidak melarang anaknya berhias, tetapi hanya mengatur kadarnya.Inilah bekal kehidupan orang beriman, sikap tawaduk. Seorang muslim mukmin hendaknya memiliki sensitifitas kepada keadaan zaman. Di zaman di mana ekonomi sedang sulit dan kehidupan sedang berat, maka sensitifitas perasaan orang sangat penting. Maka bekal tawaduk menjadi penting, agar orang tidak tersakiti dengan sikap sombong kita. Sikap sombong itu menyakitkan orang yang melihatnya, maka berhati-hatilah darinya.بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhotbah keduaالحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى على محمد وعلى آله وأصحابه وأخوانهSombong adalah dosa pertama IblisJamaah rahimakumullah!Ketahuilah bahwa dosa sombong atau takabur adalah salah satu dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Iblis memiliki kesombongan sehingga ia tidak mau bersujud kepada Adam. Kesombongan ini melahirkan rasa hasad dan membuatnya kehilangan rasionalitasnya. Ia mencari alasan-alasan bahwa Adam adalah makhluk yang tak pantas untuk menerima sujudnya. Padahal apalah arti semua alasan itu. Sehingga sampai menolak perintah Allah dan inilah puncak kesombongan.Bagi orang berakal, sangat pantas Allah ﷻ menempatkan orang yang sombong di neraka. Allah berfirman,فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ“Maka masukilah pintu-pintu neraka dan kekallah kalian di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang yang menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 29)Karena orang sombong tidak lagi mengakui kebenaran seketok apapun.الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ. وَغَمْطُ النَّاسِ“Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Hakim no. 5757, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)Contoh kaum tersombong di zaman iniSalah satu kaum terburuk dalam contoh ini adalah Yahudi. Mereka menolak kebenaran dari para Nabi meski sudah mengetahui. Mereka membunuh para Nabi demi hawa nafsu mereka sehingga berani otak-atik dalil.Maka tidak mengherankan di zaman ini mereka melakukan kerusakan yang teramat besar. Jika para Nabi saja dibunuh, apalagi orang biasa seperti kita ini dan saudara kita di Palestina. Maka, berlindunglah kita dari sikap takabur, dan berdoalah agar kita mendapatkan sifat tawaduk.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأمواتربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاباللهم ارنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطل وارزقنا اجتنابهرَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌاللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَ الْمُسلِمِيناللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَاننَاَ الْمُسلِمِين وَ المُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِيناللَّهُمَّ ثَبِّتْ إِيمَانَهُمْ وَ أَنْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَى قُلُوبِهِم وَ وَحِّدْ صُفُوفَهُمْاللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالمُشْرِكِينَاللَّهُمَّ دَمِّرِ الْيَهُود وَ شَتِّتْ شَمْلَهُم وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِو الحمد لله رب العالمينWa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.Akhirud da’wa ‘anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.و اقمِ الصلاBaca juga: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaBegitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukKhotbah keduaSombong adalah dosa pertama IblisContoh kaum tersombong di zaman iniKhotbah pertamaبسم الله الرحمن الرحيمالسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاتهإِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ  أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ  وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ له وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ المُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِيْنِ قال الله تعالى فى كتابه الكريميا ايها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيماأما بعدPara Jamaah rahimakumullah!Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diri kita dengan segala sistem pernafasan, pencernaan, dan juga akal pikiran. Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan perasaan dan emosi dalam jiwa kita. Sehingga potensi itu mengantarkan kita di hari ini berkumpul untuk menghadiri salat jumat berjemaah.Marilah kita syukuri nikmat Allah yang begitu luas ini dengan ketakwaan. Karena satu-satunya cara untuk mendapatkan nikmat kehidupan dan bekal menuju akhirat yang penuh kelapangan adalah dengan bertakwa dan menjaga iman. Allah berfirman,وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)Jalan ketakwaan itu telah ditunjukkan oleh seorang Rasul yang diutus Rabbuna kepada kita 14 abad yang lalu. Dialah Al-Musthafa, Muhammad ﷺ, maka berselawatlah kepadanya, niscaya Allah akan balas selawat itu dan dijanjikan syafaat bagi kita di hari akhirat kelak.Para Jamaah rahimakumullah!Allah ﷻ berfirman tentang sifat hamba-hamba Allah Maha Pengasih yang digelari sebagai ibadurrahman,وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا“Dan ibadurrahman ialah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)Al-Haun artinya lemah-lembut, ia menjadi kata sifat yang melekat kepada kata kerja yamsyuna, yakni berjalan. Konsekuensinya, ibadurrahman ialah pribadi yang memiliki sifat tenang, berwibawa, rendah hati, tawaduk, tidak sombong maupun congkak. Semuanya menunjukkan bahwa ibadurrahman memiliki sifat tawaduk.Tawaduk yang dimaksud adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dan tentang sifat kaum yang akan Allah datangkan menggantikan orang murtad. Allah ﷻ berfirman,فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ“Kemudian Allah ﷻ datangkan kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah ﷻ, serta adzillah alal mukminin (rendah hati kepada mukmin), serta punya izzah terhadap orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 54)Tawaduk yang dimaksudkan adalah yang demikian, memiliki kerendahan hati serta lemah lembut kepada orang mukmin. Bukan menjadikan diri rendah dan hina. Bukan pula mengutamakan sikap lemah-lembut itu kepada orang kafir dibandingkan kepada orang mukmin.Ibnul Qayyim menukilkan perkataan Atha’,المؤمنون لِلْمُؤْمِنِينَ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.“Permisalan ketawadukan seorang muslim itu seperti sikap seorang ayah kepada anaknya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Seorang ayah mampu untuk menolak dan bersikap tegas atas segala permintaan anaknya. Namun, ia tetap berlemah-lembut, menuruti keinginan anaknya karena sebab rahmat dan kasih-sayangnya. Tetapi tidak kehilangan wibawanya. Begitupula kepada orang yang membahayakan anaknya, maka ia akan bersikap tegas bahkan keras membela anaknya.Sedangkan terhadap orang kafir, seorang muslim itu harusnya,كَالسَّبُعِ عَلَى فَرِيسَتِهِ“Seperti binatang buas terhadap mangsanya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Maka, aneh jika ada seorang muslim yang lebih keras kepada sesamanya, tetapi lembut kepada selain muslim. Pengajian sesama muslim ahlus sunah dibubarkan, tetapi aktivitas keagamaan lain dijaga-jaga. Padahal asalnya seorang muslim adalah adzillah alal mukminin asyiddah alal kafirin, bukan sebaliknya.Begitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLawan dari tawaduk adalah takabur atau kesombongan. Ibnu Atha’ rahimahullah berkata,فَمَنْ طَلَبَهُ فِي الْكِبْرِ فَهُوَ كَتَطَلُّبِ الْمَاءِ مِنَ النَّارِ“Barangsiapa yang mencari ketawadukan di dalam kesombongan, maka ia seperti mencari air di dalam api.” (Madarijus Salikin, hal. 645)Seorang muslim itu hendaknya lebih banyak menuduh dirinya takabur, dibanding mengklaim dirinya tawaduk. Sama halnya ia hendaknya lebih banyak menilai orang lain dengan husnuzhan, dibandingkan menuduh orang takabur.Lihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukBaginda Nabi ﷺ ketika orang lain melihat beliau duduk-duduk dengan para sahabatnya, maka tidak bisa orang membedakan yang mana Nabinya, karena tampilan dan tempat duduk Nabi yang sederhana dan tidak istimewa.Hal ini yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi dan ulama terdahulu. Umar terbiasa memanggul sendiri bantuan sosial dari baitul malnya, termasuk membawa timbaan air untuk kebutuhan diri sendiri dan kaum muslimin.Abu Hurairah yang pernah menjadi gubernur, membawa sendiri kayu bakarnya sampai orang tidak sadar itu adalah Gubernur.Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang dikenal saleh, mendengar anaknya membeli cincin 1000 dirham, ia pun langsung menyurati anaknya. Ia perintahkan anaknya untuk menjual cincin itu, lalu menggantinya dengan menyedekahkan uangnya kepada seribu orang. Lalu jika anaknya ingin cincin, maka belilah cincin besi saja dengan ukiran,رَحِمَ اللَّهُ امْرَءًا عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ“Allah merahmati orang yang tahu kadar dirinya.” (Madarijus Salikin, hal. 646)Semua praktik para salaf saleh ini cukup menunjukkan kepada kita bagaimana tawaduk yang benar itu.Mereka tidak melihat pada dirinya suatu nilai yang dapat dibanggakan, baik dari perhiasan dunia maupun amalan akhirat. Karena mereka sadar bahwa perhiasan dunia tidak akan dibawa mati, sedangkan amalan akhirat belum tentu diterima.Mereka mempraktikkan tawaduk dalam lisanul hal (tindakan/action), bukan lisanul maqal (sekadar ucapan). Mereka tunjukkan dalam perbuatan, bukanlah dengan klaim.Mereka menjalani kehidupan tawaduk dengan berkontribusi positif pada kaum muslimin, bukan menghinakan muslim lainnya dengan tuduhan dan fitnah. Mereka pun tidak menghinakan diri dengan menghilangkan segala keperluan dunia yang indah dan wajib untuk dijaga keindahannya. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tidak melarang anaknya berhias, tetapi hanya mengatur kadarnya.Inilah bekal kehidupan orang beriman, sikap tawaduk. Seorang muslim mukmin hendaknya memiliki sensitifitas kepada keadaan zaman. Di zaman di mana ekonomi sedang sulit dan kehidupan sedang berat, maka sensitifitas perasaan orang sangat penting. Maka bekal tawaduk menjadi penting, agar orang tidak tersakiti dengan sikap sombong kita. Sikap sombong itu menyakitkan orang yang melihatnya, maka berhati-hatilah darinya.بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhotbah keduaالحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى على محمد وعلى آله وأصحابه وأخوانهSombong adalah dosa pertama IblisJamaah rahimakumullah!Ketahuilah bahwa dosa sombong atau takabur adalah salah satu dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Iblis memiliki kesombongan sehingga ia tidak mau bersujud kepada Adam. Kesombongan ini melahirkan rasa hasad dan membuatnya kehilangan rasionalitasnya. Ia mencari alasan-alasan bahwa Adam adalah makhluk yang tak pantas untuk menerima sujudnya. Padahal apalah arti semua alasan itu. Sehingga sampai menolak perintah Allah dan inilah puncak kesombongan.Bagi orang berakal, sangat pantas Allah ﷻ menempatkan orang yang sombong di neraka. Allah berfirman,فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ“Maka masukilah pintu-pintu neraka dan kekallah kalian di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang yang menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 29)Karena orang sombong tidak lagi mengakui kebenaran seketok apapun.الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ. وَغَمْطُ النَّاسِ“Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Hakim no. 5757, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)Contoh kaum tersombong di zaman iniSalah satu kaum terburuk dalam contoh ini adalah Yahudi. Mereka menolak kebenaran dari para Nabi meski sudah mengetahui. Mereka membunuh para Nabi demi hawa nafsu mereka sehingga berani otak-atik dalil.Maka tidak mengherankan di zaman ini mereka melakukan kerusakan yang teramat besar. Jika para Nabi saja dibunuh, apalagi orang biasa seperti kita ini dan saudara kita di Palestina. Maka, berlindunglah kita dari sikap takabur, dan berdoalah agar kita mendapatkan sifat tawaduk.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأمواتربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاباللهم ارنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطل وارزقنا اجتنابهرَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌاللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَ الْمُسلِمِيناللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَاننَاَ الْمُسلِمِين وَ المُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِيناللَّهُمَّ ثَبِّتْ إِيمَانَهُمْ وَ أَنْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَى قُلُوبِهِم وَ وَحِّدْ صُفُوفَهُمْاللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالمُشْرِكِينَاللَّهُمَّ دَمِّرِ الْيَهُود وَ شَتِّتْ شَمْلَهُم وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِو الحمد لله رب العالمينWa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.Akhirud da’wa ‘anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.و اقمِ الصلاBaca juga: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaBegitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukKhotbah keduaSombong adalah dosa pertama IblisContoh kaum tersombong di zaman iniKhotbah pertamaبسم الله الرحمن الرحيمالسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاتهإِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ  أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ  وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ له وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ المُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِيْنِ قال الله تعالى فى كتابه الكريميا ايها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيماأما بعدPara Jamaah rahimakumullah!Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diri kita dengan segala sistem pernafasan, pencernaan, dan juga akal pikiran. Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan perasaan dan emosi dalam jiwa kita. Sehingga potensi itu mengantarkan kita di hari ini berkumpul untuk menghadiri salat jumat berjemaah.Marilah kita syukuri nikmat Allah yang begitu luas ini dengan ketakwaan. Karena satu-satunya cara untuk mendapatkan nikmat kehidupan dan bekal menuju akhirat yang penuh kelapangan adalah dengan bertakwa dan menjaga iman. Allah berfirman,وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)Jalan ketakwaan itu telah ditunjukkan oleh seorang Rasul yang diutus Rabbuna kepada kita 14 abad yang lalu. Dialah Al-Musthafa, Muhammad ﷺ, maka berselawatlah kepadanya, niscaya Allah akan balas selawat itu dan dijanjikan syafaat bagi kita di hari akhirat kelak.Para Jamaah rahimakumullah!Allah ﷻ berfirman tentang sifat hamba-hamba Allah Maha Pengasih yang digelari sebagai ibadurrahman,وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا“Dan ibadurrahman ialah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)Al-Haun artinya lemah-lembut, ia menjadi kata sifat yang melekat kepada kata kerja yamsyuna, yakni berjalan. Konsekuensinya, ibadurrahman ialah pribadi yang memiliki sifat tenang, berwibawa, rendah hati, tawaduk, tidak sombong maupun congkak. Semuanya menunjukkan bahwa ibadurrahman memiliki sifat tawaduk.Tawaduk yang dimaksud adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dan tentang sifat kaum yang akan Allah datangkan menggantikan orang murtad. Allah ﷻ berfirman,فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ“Kemudian Allah ﷻ datangkan kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah ﷻ, serta adzillah alal mukminin (rendah hati kepada mukmin), serta punya izzah terhadap orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 54)Tawaduk yang dimaksudkan adalah yang demikian, memiliki kerendahan hati serta lemah lembut kepada orang mukmin. Bukan menjadikan diri rendah dan hina. Bukan pula mengutamakan sikap lemah-lembut itu kepada orang kafir dibandingkan kepada orang mukmin.Ibnul Qayyim menukilkan perkataan Atha’,المؤمنون لِلْمُؤْمِنِينَ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.“Permisalan ketawadukan seorang muslim itu seperti sikap seorang ayah kepada anaknya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Seorang ayah mampu untuk menolak dan bersikap tegas atas segala permintaan anaknya. Namun, ia tetap berlemah-lembut, menuruti keinginan anaknya karena sebab rahmat dan kasih-sayangnya. Tetapi tidak kehilangan wibawanya. Begitupula kepada orang yang membahayakan anaknya, maka ia akan bersikap tegas bahkan keras membela anaknya.Sedangkan terhadap orang kafir, seorang muslim itu harusnya,كَالسَّبُعِ عَلَى فَرِيسَتِهِ“Seperti binatang buas terhadap mangsanya.” (Madarijus Salikin, hal. 643)Maka, aneh jika ada seorang muslim yang lebih keras kepada sesamanya, tetapi lembut kepada selain muslim. Pengajian sesama muslim ahlus sunah dibubarkan, tetapi aktivitas keagamaan lain dijaga-jaga. Padahal asalnya seorang muslim adalah adzillah alal mukminin asyiddah alal kafirin, bukan sebaliknya.Begitupula ketawadukan itu ditujukan kepada diri sendiriLawan dari tawaduk adalah takabur atau kesombongan. Ibnu Atha’ rahimahullah berkata,فَمَنْ طَلَبَهُ فِي الْكِبْرِ فَهُوَ كَتَطَلُّبِ الْمَاءِ مِنَ النَّارِ“Barangsiapa yang mencari ketawadukan di dalam kesombongan, maka ia seperti mencari air di dalam api.” (Madarijus Salikin, hal. 645)Seorang muslim itu hendaknya lebih banyak menuduh dirinya takabur, dibanding mengklaim dirinya tawaduk. Sama halnya ia hendaknya lebih banyak menilai orang lain dengan husnuzhan, dibandingkan menuduh orang takabur.Lihatlah para ulama saleh terdahulu, mereka sangat melazimi sikap tawadukBaginda Nabi ﷺ ketika orang lain melihat beliau duduk-duduk dengan para sahabatnya, maka tidak bisa orang membedakan yang mana Nabinya, karena tampilan dan tempat duduk Nabi yang sederhana dan tidak istimewa.Hal ini yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi dan ulama terdahulu. Umar terbiasa memanggul sendiri bantuan sosial dari baitul malnya, termasuk membawa timbaan air untuk kebutuhan diri sendiri dan kaum muslimin.Abu Hurairah yang pernah menjadi gubernur, membawa sendiri kayu bakarnya sampai orang tidak sadar itu adalah Gubernur.Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang dikenal saleh, mendengar anaknya membeli cincin 1000 dirham, ia pun langsung menyurati anaknya. Ia perintahkan anaknya untuk menjual cincin itu, lalu menggantinya dengan menyedekahkan uangnya kepada seribu orang. Lalu jika anaknya ingin cincin, maka belilah cincin besi saja dengan ukiran,رَحِمَ اللَّهُ امْرَءًا عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ“Allah merahmati orang yang tahu kadar dirinya.” (Madarijus Salikin, hal. 646)Semua praktik para salaf saleh ini cukup menunjukkan kepada kita bagaimana tawaduk yang benar itu.Mereka tidak melihat pada dirinya suatu nilai yang dapat dibanggakan, baik dari perhiasan dunia maupun amalan akhirat. Karena mereka sadar bahwa perhiasan dunia tidak akan dibawa mati, sedangkan amalan akhirat belum tentu diterima.Mereka mempraktikkan tawaduk dalam lisanul hal (tindakan/action), bukan lisanul maqal (sekadar ucapan). Mereka tunjukkan dalam perbuatan, bukanlah dengan klaim.Mereka menjalani kehidupan tawaduk dengan berkontribusi positif pada kaum muslimin, bukan menghinakan muslim lainnya dengan tuduhan dan fitnah. Mereka pun tidak menghinakan diri dengan menghilangkan segala keperluan dunia yang indah dan wajib untuk dijaga keindahannya. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tidak melarang anaknya berhias, tetapi hanya mengatur kadarnya.Inilah bekal kehidupan orang beriman, sikap tawaduk. Seorang muslim mukmin hendaknya memiliki sensitifitas kepada keadaan zaman. Di zaman di mana ekonomi sedang sulit dan kehidupan sedang berat, maka sensitifitas perasaan orang sangat penting. Maka bekal tawaduk menjadi penting, agar orang tidak tersakiti dengan sikap sombong kita. Sikap sombong itu menyakitkan orang yang melihatnya, maka berhati-hatilah darinya.بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhotbah keduaالحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى على محمد وعلى آله وأصحابه وأخوانهSombong adalah dosa pertama IblisJamaah rahimakumullah!Ketahuilah bahwa dosa sombong atau takabur adalah salah satu dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Iblis memiliki kesombongan sehingga ia tidak mau bersujud kepada Adam. Kesombongan ini melahirkan rasa hasad dan membuatnya kehilangan rasionalitasnya. Ia mencari alasan-alasan bahwa Adam adalah makhluk yang tak pantas untuk menerima sujudnya. Padahal apalah arti semua alasan itu. Sehingga sampai menolak perintah Allah dan inilah puncak kesombongan.Bagi orang berakal, sangat pantas Allah ﷻ menempatkan orang yang sombong di neraka. Allah berfirman,فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ“Maka masukilah pintu-pintu neraka dan kekallah kalian di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang yang menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 29)Karena orang sombong tidak lagi mengakui kebenaran seketok apapun.الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ. وَغَمْطُ النَّاسِ“Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Hakim no. 5757, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)Contoh kaum tersombong di zaman iniSalah satu kaum terburuk dalam contoh ini adalah Yahudi. Mereka menolak kebenaran dari para Nabi meski sudah mengetahui. Mereka membunuh para Nabi demi hawa nafsu mereka sehingga berani otak-atik dalil.Maka tidak mengherankan di zaman ini mereka melakukan kerusakan yang teramat besar. Jika para Nabi saja dibunuh, apalagi orang biasa seperti kita ini dan saudara kita di Palestina. Maka, berlindunglah kita dari sikap takabur, dan berdoalah agar kita mendapatkan sifat tawaduk.إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأمواتربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاباللهم ارنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطل وارزقنا اجتنابهرَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌاللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَ الْمُسلِمِيناللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَاننَاَ الْمُسلِمِين وَ المُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِيناللَّهُمَّ ثَبِّتْ إِيمَانَهُمْ وَ أَنْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَى قُلُوبِهِم وَ وَحِّدْ صُفُوفَهُمْاللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالمُشْرِكِينَاللَّهُمَّ دَمِّرِ الْيَهُود وَ شَتِّتْ شَمْلَهُم وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِو الحمد لله رب العالمينWa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.Akhirud da’wa ‘anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.و اقمِ الصلاBaca juga: Ketika Dunia Melalaikanmu, Jangan Lupakan Salatmu!***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

Amal Kita Sedikit, Seriusi yang Sedikit Ini

Daftar Isi ToggleBuah ibadah yang benarSeriusi yang sedikit ini!Dakwah yang sehat dan normalAllah Ta’ala telah menjelaskan tujuan penciptaan kita dengan sangat gamblang dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sejumlah ulama menafsirkan lafaz يَعبُدُون pada ayat ini dengan makna يُوَحِّدُونِي (mentauhidkan-Ku), karena ibadah tidak akan diterima kecuali dengan mentauhidkan Allah Ta’ala. [1]Sejatinya, ibadah itu kita tunaikan untuk diri kita sendiri, baik untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat. Ibadah adalah sarana untuk memenuhi fungsi keberadaan kita, agar jauh dari krisis eksistensi. Dengan demikian, tujuan ibadah bukanlah untuk menambah kekuasaan Allah, sebab ibadah tidak sedikitpun mempengaruhi kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya layaknya orang yang berhati paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.” [2]Buah ibadah yang benarIbadah yang benar-benar membuahkan manfaat adalah ibadah yang diterima di sisi Allah. Dan buah terbesarnya kelak adalah nikmat yang agung, yaitu bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga sebagaimana firman-Nya,وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ    إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah: 22–23)Namun, perjumpaan yang dinanti ini tidak bisa digapai sembarang orang. Hanya mereka yang memenuhi kriteria berikut yang akan mendapatkannya,فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“…Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Dijelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan keutamaan dalam ayat ini adalah menggabungkan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunah Nabi ﷺ) dalam ibadah. [3] Siapa saja yang berbuat syirik dan bidah dalam ibadahnya, maka ia tidak memenuhi kriteria di atas.Seriusi yang sedikit ini!Andai kita mau berfikir dengan jernih, betapa ruginya beramal tanpa ikhlas, sebab seluruh amal akan gugur karenanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ“…Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)Seorang tabi’in yang mulia, Maimun bin Mihran rahimahullah pernah berkata,إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ“Sungguh amal kalian itu sedikit, maka ikhlaskanlah yang sedikit itu.” [4]Generasi tabi’in termasuk dalam generasi terbaik dalam sejarah Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ“Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian setelah mereka (tabi’in), kemudian setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” [5]Dengan kondisi yang demikian, mereka tetap merasa amalnya sedikit. Lantas, bagaimana dengan amal kita hari ini? Demikian pula dengan mutaba’ah, karena amalan yang dikerjakan tanpa dalil syar’i (bidah), statusnya adalah tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” [6]Ibadah adalah persembahan, dan persembahan itu sudah selayaknya mengikuti kriteria penerimanya, bukan mengikuti selera diri sendiri.Berkaca pada perkataan Maimun bin Mihran sebelumnya, rasanya sangat layak kita katakan, “Sungguh amal kita jauh lebih sedikit daripada generasi saleh terdahulu, maka seriusilah amal itu dengan ikhlas dan mutaba’ah.” Jangan sampai, amal kita yang sudah amat sedikit ini justru habis tergerus syirik dan bidah.Dakwah yang sehat dan normalKenyataan bahwa ikhlas dan mutaba’ah merupakan syarat diterimanya amal, sudah semestinya menjadi landasan bahwa dakwah yang sehat adalah dakwah yang menaruh perhatian besar terhadap keduanya, dengan tidak menjadikannya sebagai hal yang tabu. Dakwah yang normal harus punya atensi dalam menjauhkan umat dari kesyirikan. Inilah tanda kasih sayang paling tulus dari para juru dakwah, selayaknya dakwah para Nabi ‘alaihim ash-shalatu was salam. Mereka selalu memprioritaskan dakwah tauhid sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا فِي كُلِّ أُمَّةٍ أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّـٰغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Yang dimaksud thaghut di sini adalah segala sesembahan selain Allah. [7]Dakwah yang sehat adalah dakwah yang memiliki perhatian besar dalam menjaga umat dari TBC (takhayul, bidah, churafat), layaknya perhatian Nabi ﷺ dalam memperingatkan umat dari perbuatan bidah pada banyak kesempatan khotbah beliau. Beliau ﷺ bersabda,وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ“Berhati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (dalam agama, pen.) itu adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.” [8]Hadis ini menjadi dalil bahwa seluruh bidah dalam perkara agama adalah terlarang.Mari sejenak kita mengalihkan fokus untuk membaca ulang skala prioritas. Belakangan ini, masih kita jumpai sebagian pendakwah sering membahas tema-tema umum yang memang penting, namun tidak memberi porsi untuk memperingatkan umat dari bahaya syirik dan bidah, meskipun sekadar selipan kecil di tengah pembahasan topik bermanfaat lainnya. Katakanlah ada yang tidak sepakat dengan sebagian ritual yang dianggap syirik. Lantas, sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam mendakwahkan amalan syirik yang mereka sepakati? Ironisnya, sebagian pihak malah dikenal luas karena kritik tajam terhadap dakwah tauhid, bukan karena mendakwahkan tauhid itu sendiri.Katakanlah sebagian pihak memandang bahwa bidah itu ada yang baik dan ada yang terlarang. Lantas, sudah sekeras apa upaya mereka dalam melarang masyarakat dari berbuat amalan yang mereka nilai sebagai bidah yang terlarang? Sangat disayangkan apabila yang getol disampaikan hanya bidah yang mereka nilai baik saja, jarang disampaikan bidah apa saja yang terlarang seolah tiada. Bukankah hal ini juga amanah ilmiah yang perlu dipahami umat?Hasilnya, masih banyak masyarakat awam yang bahkan tidak mengenal istilah bidah sama sekali. Sebagian lainnya alergi ketika mendengar kata syirik dan bidah seolah lafaz ini pantang diucap, padahal kedua istilah ini akrab dijumpai dalam tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa. Ada pula yang salah paham, seperti mengira naik haji dengan pesawat adalah bidah, padahal ia hanyalah sarana duniawi yang tidak ternilai ibadah secara zatnya. Demikian hasil dakwah yang kurang adil dan proporsional.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita petunjuk untuk beribadah dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi ﷺ, menjauhkan kita dari syirik dan bidah, serta meneguhkan kita di atas tauhid dan sunah hingga akhir hayat, agar dianugerahi kenikmatan bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga-Nya kelak.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Reza Mahendra, S.Psi.Artikel Muslim.or.id Referensi:[1] At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid, 1: 11.[2] HR. Muslim no. 2577.[3] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 563; Dar Ibnul Jauzi.[4] Hilyatul Auliya’, 4: 89.[5] HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533.[6] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.[7] Tafsir Al-Qurthubi, 10: 103.[8] HR. Abu Dawud no. 4607, dinilai sahih oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

Amal Kita Sedikit, Seriusi yang Sedikit Ini

Daftar Isi ToggleBuah ibadah yang benarSeriusi yang sedikit ini!Dakwah yang sehat dan normalAllah Ta’ala telah menjelaskan tujuan penciptaan kita dengan sangat gamblang dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sejumlah ulama menafsirkan lafaz يَعبُدُون pada ayat ini dengan makna يُوَحِّدُونِي (mentauhidkan-Ku), karena ibadah tidak akan diterima kecuali dengan mentauhidkan Allah Ta’ala. [1]Sejatinya, ibadah itu kita tunaikan untuk diri kita sendiri, baik untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat. Ibadah adalah sarana untuk memenuhi fungsi keberadaan kita, agar jauh dari krisis eksistensi. Dengan demikian, tujuan ibadah bukanlah untuk menambah kekuasaan Allah, sebab ibadah tidak sedikitpun mempengaruhi kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya layaknya orang yang berhati paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.” [2]Buah ibadah yang benarIbadah yang benar-benar membuahkan manfaat adalah ibadah yang diterima di sisi Allah. Dan buah terbesarnya kelak adalah nikmat yang agung, yaitu bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga sebagaimana firman-Nya,وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ    إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah: 22–23)Namun, perjumpaan yang dinanti ini tidak bisa digapai sembarang orang. Hanya mereka yang memenuhi kriteria berikut yang akan mendapatkannya,فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“…Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Dijelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan keutamaan dalam ayat ini adalah menggabungkan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunah Nabi ﷺ) dalam ibadah. [3] Siapa saja yang berbuat syirik dan bidah dalam ibadahnya, maka ia tidak memenuhi kriteria di atas.Seriusi yang sedikit ini!Andai kita mau berfikir dengan jernih, betapa ruginya beramal tanpa ikhlas, sebab seluruh amal akan gugur karenanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ“…Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)Seorang tabi’in yang mulia, Maimun bin Mihran rahimahullah pernah berkata,إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ“Sungguh amal kalian itu sedikit, maka ikhlaskanlah yang sedikit itu.” [4]Generasi tabi’in termasuk dalam generasi terbaik dalam sejarah Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ“Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian setelah mereka (tabi’in), kemudian setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” [5]Dengan kondisi yang demikian, mereka tetap merasa amalnya sedikit. Lantas, bagaimana dengan amal kita hari ini? Demikian pula dengan mutaba’ah, karena amalan yang dikerjakan tanpa dalil syar’i (bidah), statusnya adalah tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” [6]Ibadah adalah persembahan, dan persembahan itu sudah selayaknya mengikuti kriteria penerimanya, bukan mengikuti selera diri sendiri.Berkaca pada perkataan Maimun bin Mihran sebelumnya, rasanya sangat layak kita katakan, “Sungguh amal kita jauh lebih sedikit daripada generasi saleh terdahulu, maka seriusilah amal itu dengan ikhlas dan mutaba’ah.” Jangan sampai, amal kita yang sudah amat sedikit ini justru habis tergerus syirik dan bidah.Dakwah yang sehat dan normalKenyataan bahwa ikhlas dan mutaba’ah merupakan syarat diterimanya amal, sudah semestinya menjadi landasan bahwa dakwah yang sehat adalah dakwah yang menaruh perhatian besar terhadap keduanya, dengan tidak menjadikannya sebagai hal yang tabu. Dakwah yang normal harus punya atensi dalam menjauhkan umat dari kesyirikan. Inilah tanda kasih sayang paling tulus dari para juru dakwah, selayaknya dakwah para Nabi ‘alaihim ash-shalatu was salam. Mereka selalu memprioritaskan dakwah tauhid sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا فِي كُلِّ أُمَّةٍ أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّـٰغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Yang dimaksud thaghut di sini adalah segala sesembahan selain Allah. [7]Dakwah yang sehat adalah dakwah yang memiliki perhatian besar dalam menjaga umat dari TBC (takhayul, bidah, churafat), layaknya perhatian Nabi ﷺ dalam memperingatkan umat dari perbuatan bidah pada banyak kesempatan khotbah beliau. Beliau ﷺ bersabda,وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ“Berhati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (dalam agama, pen.) itu adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.” [8]Hadis ini menjadi dalil bahwa seluruh bidah dalam perkara agama adalah terlarang.Mari sejenak kita mengalihkan fokus untuk membaca ulang skala prioritas. Belakangan ini, masih kita jumpai sebagian pendakwah sering membahas tema-tema umum yang memang penting, namun tidak memberi porsi untuk memperingatkan umat dari bahaya syirik dan bidah, meskipun sekadar selipan kecil di tengah pembahasan topik bermanfaat lainnya. Katakanlah ada yang tidak sepakat dengan sebagian ritual yang dianggap syirik. Lantas, sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam mendakwahkan amalan syirik yang mereka sepakati? Ironisnya, sebagian pihak malah dikenal luas karena kritik tajam terhadap dakwah tauhid, bukan karena mendakwahkan tauhid itu sendiri.Katakanlah sebagian pihak memandang bahwa bidah itu ada yang baik dan ada yang terlarang. Lantas, sudah sekeras apa upaya mereka dalam melarang masyarakat dari berbuat amalan yang mereka nilai sebagai bidah yang terlarang? Sangat disayangkan apabila yang getol disampaikan hanya bidah yang mereka nilai baik saja, jarang disampaikan bidah apa saja yang terlarang seolah tiada. Bukankah hal ini juga amanah ilmiah yang perlu dipahami umat?Hasilnya, masih banyak masyarakat awam yang bahkan tidak mengenal istilah bidah sama sekali. Sebagian lainnya alergi ketika mendengar kata syirik dan bidah seolah lafaz ini pantang diucap, padahal kedua istilah ini akrab dijumpai dalam tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa. Ada pula yang salah paham, seperti mengira naik haji dengan pesawat adalah bidah, padahal ia hanyalah sarana duniawi yang tidak ternilai ibadah secara zatnya. Demikian hasil dakwah yang kurang adil dan proporsional.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita petunjuk untuk beribadah dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi ﷺ, menjauhkan kita dari syirik dan bidah, serta meneguhkan kita di atas tauhid dan sunah hingga akhir hayat, agar dianugerahi kenikmatan bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga-Nya kelak.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Reza Mahendra, S.Psi.Artikel Muslim.or.id Referensi:[1] At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid, 1: 11.[2] HR. Muslim no. 2577.[3] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 563; Dar Ibnul Jauzi.[4] Hilyatul Auliya’, 4: 89.[5] HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533.[6] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.[7] Tafsir Al-Qurthubi, 10: 103.[8] HR. Abu Dawud no. 4607, dinilai sahih oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
Daftar Isi ToggleBuah ibadah yang benarSeriusi yang sedikit ini!Dakwah yang sehat dan normalAllah Ta’ala telah menjelaskan tujuan penciptaan kita dengan sangat gamblang dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sejumlah ulama menafsirkan lafaz يَعبُدُون pada ayat ini dengan makna يُوَحِّدُونِي (mentauhidkan-Ku), karena ibadah tidak akan diterima kecuali dengan mentauhidkan Allah Ta’ala. [1]Sejatinya, ibadah itu kita tunaikan untuk diri kita sendiri, baik untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat. Ibadah adalah sarana untuk memenuhi fungsi keberadaan kita, agar jauh dari krisis eksistensi. Dengan demikian, tujuan ibadah bukanlah untuk menambah kekuasaan Allah, sebab ibadah tidak sedikitpun mempengaruhi kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya layaknya orang yang berhati paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.” [2]Buah ibadah yang benarIbadah yang benar-benar membuahkan manfaat adalah ibadah yang diterima di sisi Allah. Dan buah terbesarnya kelak adalah nikmat yang agung, yaitu bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga sebagaimana firman-Nya,وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ    إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah: 22–23)Namun, perjumpaan yang dinanti ini tidak bisa digapai sembarang orang. Hanya mereka yang memenuhi kriteria berikut yang akan mendapatkannya,فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“…Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Dijelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan keutamaan dalam ayat ini adalah menggabungkan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunah Nabi ﷺ) dalam ibadah. [3] Siapa saja yang berbuat syirik dan bidah dalam ibadahnya, maka ia tidak memenuhi kriteria di atas.Seriusi yang sedikit ini!Andai kita mau berfikir dengan jernih, betapa ruginya beramal tanpa ikhlas, sebab seluruh amal akan gugur karenanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ“…Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)Seorang tabi’in yang mulia, Maimun bin Mihran rahimahullah pernah berkata,إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ“Sungguh amal kalian itu sedikit, maka ikhlaskanlah yang sedikit itu.” [4]Generasi tabi’in termasuk dalam generasi terbaik dalam sejarah Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ“Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian setelah mereka (tabi’in), kemudian setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” [5]Dengan kondisi yang demikian, mereka tetap merasa amalnya sedikit. Lantas, bagaimana dengan amal kita hari ini? Demikian pula dengan mutaba’ah, karena amalan yang dikerjakan tanpa dalil syar’i (bidah), statusnya adalah tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” [6]Ibadah adalah persembahan, dan persembahan itu sudah selayaknya mengikuti kriteria penerimanya, bukan mengikuti selera diri sendiri.Berkaca pada perkataan Maimun bin Mihran sebelumnya, rasanya sangat layak kita katakan, “Sungguh amal kita jauh lebih sedikit daripada generasi saleh terdahulu, maka seriusilah amal itu dengan ikhlas dan mutaba’ah.” Jangan sampai, amal kita yang sudah amat sedikit ini justru habis tergerus syirik dan bidah.Dakwah yang sehat dan normalKenyataan bahwa ikhlas dan mutaba’ah merupakan syarat diterimanya amal, sudah semestinya menjadi landasan bahwa dakwah yang sehat adalah dakwah yang menaruh perhatian besar terhadap keduanya, dengan tidak menjadikannya sebagai hal yang tabu. Dakwah yang normal harus punya atensi dalam menjauhkan umat dari kesyirikan. Inilah tanda kasih sayang paling tulus dari para juru dakwah, selayaknya dakwah para Nabi ‘alaihim ash-shalatu was salam. Mereka selalu memprioritaskan dakwah tauhid sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا فِي كُلِّ أُمَّةٍ أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّـٰغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Yang dimaksud thaghut di sini adalah segala sesembahan selain Allah. [7]Dakwah yang sehat adalah dakwah yang memiliki perhatian besar dalam menjaga umat dari TBC (takhayul, bidah, churafat), layaknya perhatian Nabi ﷺ dalam memperingatkan umat dari perbuatan bidah pada banyak kesempatan khotbah beliau. Beliau ﷺ bersabda,وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ“Berhati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (dalam agama, pen.) itu adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.” [8]Hadis ini menjadi dalil bahwa seluruh bidah dalam perkara agama adalah terlarang.Mari sejenak kita mengalihkan fokus untuk membaca ulang skala prioritas. Belakangan ini, masih kita jumpai sebagian pendakwah sering membahas tema-tema umum yang memang penting, namun tidak memberi porsi untuk memperingatkan umat dari bahaya syirik dan bidah, meskipun sekadar selipan kecil di tengah pembahasan topik bermanfaat lainnya. Katakanlah ada yang tidak sepakat dengan sebagian ritual yang dianggap syirik. Lantas, sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam mendakwahkan amalan syirik yang mereka sepakati? Ironisnya, sebagian pihak malah dikenal luas karena kritik tajam terhadap dakwah tauhid, bukan karena mendakwahkan tauhid itu sendiri.Katakanlah sebagian pihak memandang bahwa bidah itu ada yang baik dan ada yang terlarang. Lantas, sudah sekeras apa upaya mereka dalam melarang masyarakat dari berbuat amalan yang mereka nilai sebagai bidah yang terlarang? Sangat disayangkan apabila yang getol disampaikan hanya bidah yang mereka nilai baik saja, jarang disampaikan bidah apa saja yang terlarang seolah tiada. Bukankah hal ini juga amanah ilmiah yang perlu dipahami umat?Hasilnya, masih banyak masyarakat awam yang bahkan tidak mengenal istilah bidah sama sekali. Sebagian lainnya alergi ketika mendengar kata syirik dan bidah seolah lafaz ini pantang diucap, padahal kedua istilah ini akrab dijumpai dalam tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa. Ada pula yang salah paham, seperti mengira naik haji dengan pesawat adalah bidah, padahal ia hanyalah sarana duniawi yang tidak ternilai ibadah secara zatnya. Demikian hasil dakwah yang kurang adil dan proporsional.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita petunjuk untuk beribadah dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi ﷺ, menjauhkan kita dari syirik dan bidah, serta meneguhkan kita di atas tauhid dan sunah hingga akhir hayat, agar dianugerahi kenikmatan bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga-Nya kelak.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Reza Mahendra, S.Psi.Artikel Muslim.or.id Referensi:[1] At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid, 1: 11.[2] HR. Muslim no. 2577.[3] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 563; Dar Ibnul Jauzi.[4] Hilyatul Auliya’, 4: 89.[5] HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533.[6] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.[7] Tafsir Al-Qurthubi, 10: 103.[8] HR. Abu Dawud no. 4607, dinilai sahih oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.


Daftar Isi ToggleBuah ibadah yang benarSeriusi yang sedikit ini!Dakwah yang sehat dan normalAllah Ta’ala telah menjelaskan tujuan penciptaan kita dengan sangat gamblang dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sejumlah ulama menafsirkan lafaz يَعبُدُون pada ayat ini dengan makna يُوَحِّدُونِي (mentauhidkan-Ku), karena ibadah tidak akan diterima kecuali dengan mentauhidkan Allah Ta’ala. [1]Sejatinya, ibadah itu kita tunaikan untuk diri kita sendiri, baik untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat. Ibadah adalah sarana untuk memenuhi fungsi keberadaan kita, agar jauh dari krisis eksistensi. Dengan demikian, tujuan ibadah bukanlah untuk menambah kekuasaan Allah, sebab ibadah tidak sedikitpun mempengaruhi kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin, semuanya layaknya orang yang berhati paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.” [2]Buah ibadah yang benarIbadah yang benar-benar membuahkan manfaat adalah ibadah yang diterima di sisi Allah. Dan buah terbesarnya kelak adalah nikmat yang agung, yaitu bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga sebagaimana firman-Nya,وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ    إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah: 22–23)Namun, perjumpaan yang dinanti ini tidak bisa digapai sembarang orang. Hanya mereka yang memenuhi kriteria berikut yang akan mendapatkannya,فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“…Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Dijelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan keutamaan dalam ayat ini adalah menggabungkan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunah Nabi ﷺ) dalam ibadah. [3] Siapa saja yang berbuat syirik dan bidah dalam ibadahnya, maka ia tidak memenuhi kriteria di atas.Seriusi yang sedikit ini!Andai kita mau berfikir dengan jernih, betapa ruginya beramal tanpa ikhlas, sebab seluruh amal akan gugur karenanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ“…Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)Seorang tabi’in yang mulia, Maimun bin Mihran rahimahullah pernah berkata,إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ“Sungguh amal kalian itu sedikit, maka ikhlaskanlah yang sedikit itu.” [4]Generasi tabi’in termasuk dalam generasi terbaik dalam sejarah Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ“Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian setelah mereka (tabi’in), kemudian setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” [5]Dengan kondisi yang demikian, mereka tetap merasa amalnya sedikit. Lantas, bagaimana dengan amal kita hari ini? Demikian pula dengan mutaba’ah, karena amalan yang dikerjakan tanpa dalil syar’i (bidah), statusnya adalah tertolak. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” [6]Ibadah adalah persembahan, dan persembahan itu sudah selayaknya mengikuti kriteria penerimanya, bukan mengikuti selera diri sendiri.Berkaca pada perkataan Maimun bin Mihran sebelumnya, rasanya sangat layak kita katakan, “Sungguh amal kita jauh lebih sedikit daripada generasi saleh terdahulu, maka seriusilah amal itu dengan ikhlas dan mutaba’ah.” Jangan sampai, amal kita yang sudah amat sedikit ini justru habis tergerus syirik dan bidah.Dakwah yang sehat dan normalKenyataan bahwa ikhlas dan mutaba’ah merupakan syarat diterimanya amal, sudah semestinya menjadi landasan bahwa dakwah yang sehat adalah dakwah yang menaruh perhatian besar terhadap keduanya, dengan tidak menjadikannya sebagai hal yang tabu. Dakwah yang normal harus punya atensi dalam menjauhkan umat dari kesyirikan. Inilah tanda kasih sayang paling tulus dari para juru dakwah, selayaknya dakwah para Nabi ‘alaihim ash-shalatu was salam. Mereka selalu memprioritaskan dakwah tauhid sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا فِي كُلِّ أُمَّةٍ أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّـٰغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Yang dimaksud thaghut di sini adalah segala sesembahan selain Allah. [7]Dakwah yang sehat adalah dakwah yang memiliki perhatian besar dalam menjaga umat dari TBC (takhayul, bidah, churafat), layaknya perhatian Nabi ﷺ dalam memperingatkan umat dari perbuatan bidah pada banyak kesempatan khotbah beliau. Beliau ﷺ bersabda,وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ“Berhati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (dalam agama, pen.) itu adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.” [8]Hadis ini menjadi dalil bahwa seluruh bidah dalam perkara agama adalah terlarang.Mari sejenak kita mengalihkan fokus untuk membaca ulang skala prioritas. Belakangan ini, masih kita jumpai sebagian pendakwah sering membahas tema-tema umum yang memang penting, namun tidak memberi porsi untuk memperingatkan umat dari bahaya syirik dan bidah, meskipun sekadar selipan kecil di tengah pembahasan topik bermanfaat lainnya. Katakanlah ada yang tidak sepakat dengan sebagian ritual yang dianggap syirik. Lantas, sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam mendakwahkan amalan syirik yang mereka sepakati? Ironisnya, sebagian pihak malah dikenal luas karena kritik tajam terhadap dakwah tauhid, bukan karena mendakwahkan tauhid itu sendiri.Katakanlah sebagian pihak memandang bahwa bidah itu ada yang baik dan ada yang terlarang. Lantas, sudah sekeras apa upaya mereka dalam melarang masyarakat dari berbuat amalan yang mereka nilai sebagai bidah yang terlarang? Sangat disayangkan apabila yang getol disampaikan hanya bidah yang mereka nilai baik saja, jarang disampaikan bidah apa saja yang terlarang seolah tiada. Bukankah hal ini juga amanah ilmiah yang perlu dipahami umat?Hasilnya, masih banyak masyarakat awam yang bahkan tidak mengenal istilah bidah sama sekali. Sebagian lainnya alergi ketika mendengar kata syirik dan bidah seolah lafaz ini pantang diucap, padahal kedua istilah ini akrab dijumpai dalam tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa. Ada pula yang salah paham, seperti mengira naik haji dengan pesawat adalah bidah, padahal ia hanyalah sarana duniawi yang tidak ternilai ibadah secara zatnya. Demikian hasil dakwah yang kurang adil dan proporsional.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita petunjuk untuk beribadah dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi ﷺ, menjauhkan kita dari syirik dan bidah, serta meneguhkan kita di atas tauhid dan sunah hingga akhir hayat, agar dianugerahi kenikmatan bertemu dan memandang Allah Ta’ala di surga-Nya kelak.Baca juga: Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka***Penulis: Reza Mahendra, S.Psi.Artikel Muslim.or.id Referensi:[1] At-Tamhid li Syarhi Kitab At-Tauhid, 1: 11.[2] HR. Muslim no. 2577.[3] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 563; Dar Ibnul Jauzi.[4] Hilyatul Auliya’, 4: 89.[5] HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533.[6] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.[7] Tafsir Al-Qurthubi, 10: 103.[8] HR. Abu Dawud no. 4607, dinilai sahih oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

Bagaimana Cara Membentuk dan Meluruskan Akhlak

الأخلاق: كيف نكتسبها وكيف نعدلها؟ Oleh: Dr. Khalid bin Muhammad asy-Syahri د. خالد بن محمد الشهري للأخلاق في الإسلام مكانةٌ عالية حتى إن النبيَّ صلى الله عليه وسلم علَّل سبب بعثته بإشاعة مكارم الأخلاق، حيث جاء عنه صلى الله عليه وسلم: ((إنما بُعثتُ لأتمِّم مكارمَ الأخلاق))، وفي رواية: ((إنما بُعثتُ لأتمِّمَ صالح الأخلاق)). Akhlak memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan sebab pengutusannya adalah untuk menebar akhlak yang mulia, seperti yang diriwayatkan dari Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Dan dalam riwayat lain menggunakan redaksi: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik.” ومن تعظيم الإسلام للأخلاق أنه عرَّف الدِّين بحُسن الخلقِ كما جاء في حديث: ((الدينُ حسنُ الخلق))، وهذا يشبه تعريف الحج في حديث: ((الحجُّ عرفة))؛ أي: لا يتمُّ الحج بدون الوقوف بعرفة. Salah satu bentuk pengagungan agama Islam terhadap akhlak, agama ini didefinisikan sebagai akhlak yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: الدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ “Agama itu adalah akhlak yang baik.” Hadis ini seperti hadis yang menjelaskan tentang pengertian haji: الْحَجُّ عَرَفَةُ “Haji itu adalah berwukuf di Arafah.” Yakni haji tidak sempurna tanpa wukuf di Arafah. ومن عظمة الأخلاق في الإسلام أنها أكثر ما يرجح بميزان الإنسان يوم القيامة؛ إذ هي أثقل ما يوضع في الميزان، والمؤمنون يتفاضلون بحسب أخلاقهم، وذكر النبيُّ صلى الله عليه وسلم أن أقرب الناس منه مجلسًا يوم القيامة وأحَبَّهم إليه، أحسنُهم أخلاقًا. Di antara bentuk keagungan akhlak dalam Islam, ia akan menjadi amalan yang paling berat dalam timbangan amalan manusia pada Hari Kiamat. Orang-orang beriman akan berbeda-beda derajatnya sesuai dengan akhlak mereka. Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan bahwa manusia yang paling dekat dengannya pada Hari Kiamat dan yang paling beliau cintai adalah yang paling baik akhlaknya. ومن دعاء النبيِّ صلى الله عليه وسلم: ((اللهم اهدِني لأحسن الأخلاق؛ فإنه لا يهدي لأحسنها إلا أنت، واصرف عني سيِّئها؛ فإنه لا يصرفُ سيِّئها إلا أنت)).

Bagaimana Cara Membentuk dan Meluruskan Akhlak

الأخلاق: كيف نكتسبها وكيف نعدلها؟ Oleh: Dr. Khalid bin Muhammad asy-Syahri د. خالد بن محمد الشهري للأخلاق في الإسلام مكانةٌ عالية حتى إن النبيَّ صلى الله عليه وسلم علَّل سبب بعثته بإشاعة مكارم الأخلاق، حيث جاء عنه صلى الله عليه وسلم: ((إنما بُعثتُ لأتمِّم مكارمَ الأخلاق))، وفي رواية: ((إنما بُعثتُ لأتمِّمَ صالح الأخلاق)). Akhlak memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan sebab pengutusannya adalah untuk menebar akhlak yang mulia, seperti yang diriwayatkan dari Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Dan dalam riwayat lain menggunakan redaksi: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik.” ومن تعظيم الإسلام للأخلاق أنه عرَّف الدِّين بحُسن الخلقِ كما جاء في حديث: ((الدينُ حسنُ الخلق))، وهذا يشبه تعريف الحج في حديث: ((الحجُّ عرفة))؛ أي: لا يتمُّ الحج بدون الوقوف بعرفة. Salah satu bentuk pengagungan agama Islam terhadap akhlak, agama ini didefinisikan sebagai akhlak yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: الدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ “Agama itu adalah akhlak yang baik.” Hadis ini seperti hadis yang menjelaskan tentang pengertian haji: الْحَجُّ عَرَفَةُ “Haji itu adalah berwukuf di Arafah.” Yakni haji tidak sempurna tanpa wukuf di Arafah. ومن عظمة الأخلاق في الإسلام أنها أكثر ما يرجح بميزان الإنسان يوم القيامة؛ إذ هي أثقل ما يوضع في الميزان، والمؤمنون يتفاضلون بحسب أخلاقهم، وذكر النبيُّ صلى الله عليه وسلم أن أقرب الناس منه مجلسًا يوم القيامة وأحَبَّهم إليه، أحسنُهم أخلاقًا. Di antara bentuk keagungan akhlak dalam Islam, ia akan menjadi amalan yang paling berat dalam timbangan amalan manusia pada Hari Kiamat. Orang-orang beriman akan berbeda-beda derajatnya sesuai dengan akhlak mereka. Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan bahwa manusia yang paling dekat dengannya pada Hari Kiamat dan yang paling beliau cintai adalah yang paling baik akhlaknya. ومن دعاء النبيِّ صلى الله عليه وسلم: ((اللهم اهدِني لأحسن الأخلاق؛ فإنه لا يهدي لأحسنها إلا أنت، واصرف عني سيِّئها؛ فإنه لا يصرفُ سيِّئها إلا أنت)).
الأخلاق: كيف نكتسبها وكيف نعدلها؟ Oleh: Dr. Khalid bin Muhammad asy-Syahri د. خالد بن محمد الشهري للأخلاق في الإسلام مكانةٌ عالية حتى إن النبيَّ صلى الله عليه وسلم علَّل سبب بعثته بإشاعة مكارم الأخلاق، حيث جاء عنه صلى الله عليه وسلم: ((إنما بُعثتُ لأتمِّم مكارمَ الأخلاق))، وفي رواية: ((إنما بُعثتُ لأتمِّمَ صالح الأخلاق)). Akhlak memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan sebab pengutusannya adalah untuk menebar akhlak yang mulia, seperti yang diriwayatkan dari Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Dan dalam riwayat lain menggunakan redaksi: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik.” ومن تعظيم الإسلام للأخلاق أنه عرَّف الدِّين بحُسن الخلقِ كما جاء في حديث: ((الدينُ حسنُ الخلق))، وهذا يشبه تعريف الحج في حديث: ((الحجُّ عرفة))؛ أي: لا يتمُّ الحج بدون الوقوف بعرفة. Salah satu bentuk pengagungan agama Islam terhadap akhlak, agama ini didefinisikan sebagai akhlak yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: الدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ “Agama itu adalah akhlak yang baik.” Hadis ini seperti hadis yang menjelaskan tentang pengertian haji: الْحَجُّ عَرَفَةُ “Haji itu adalah berwukuf di Arafah.” Yakni haji tidak sempurna tanpa wukuf di Arafah. ومن عظمة الأخلاق في الإسلام أنها أكثر ما يرجح بميزان الإنسان يوم القيامة؛ إذ هي أثقل ما يوضع في الميزان، والمؤمنون يتفاضلون بحسب أخلاقهم، وذكر النبيُّ صلى الله عليه وسلم أن أقرب الناس منه مجلسًا يوم القيامة وأحَبَّهم إليه، أحسنُهم أخلاقًا. Di antara bentuk keagungan akhlak dalam Islam, ia akan menjadi amalan yang paling berat dalam timbangan amalan manusia pada Hari Kiamat. Orang-orang beriman akan berbeda-beda derajatnya sesuai dengan akhlak mereka. Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan bahwa manusia yang paling dekat dengannya pada Hari Kiamat dan yang paling beliau cintai adalah yang paling baik akhlaknya. ومن دعاء النبيِّ صلى الله عليه وسلم: ((اللهم اهدِني لأحسن الأخلاق؛ فإنه لا يهدي لأحسنها إلا أنت، واصرف عني سيِّئها؛ فإنه لا يصرفُ سيِّئها إلا أنت)).


الأخلاق: كيف نكتسبها وكيف نعدلها؟ Oleh: Dr. Khalid bin Muhammad asy-Syahri د. خالد بن محمد الشهري للأخلاق في الإسلام مكانةٌ عالية حتى إن النبيَّ صلى الله عليه وسلم علَّل سبب بعثته بإشاعة مكارم الأخلاق، حيث جاء عنه صلى الله عليه وسلم: ((إنما بُعثتُ لأتمِّم مكارمَ الأخلاق))، وفي رواية: ((إنما بُعثتُ لأتمِّمَ صالح الأخلاق)). Akhlak memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan sebab pengutusannya adalah untuk menebar akhlak yang mulia, seperti yang diriwayatkan dari Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Dan dalam riwayat lain menggunakan redaksi: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik.” ومن تعظيم الإسلام للأخلاق أنه عرَّف الدِّين بحُسن الخلقِ كما جاء في حديث: ((الدينُ حسنُ الخلق))، وهذا يشبه تعريف الحج في حديث: ((الحجُّ عرفة))؛ أي: لا يتمُّ الحج بدون الوقوف بعرفة. Salah satu bentuk pengagungan agama Islam terhadap akhlak, agama ini didefinisikan sebagai akhlak yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: الدِّيْنُ حُسْنُ الْخُلُقِ “Agama itu adalah akhlak yang baik.” Hadis ini seperti hadis yang menjelaskan tentang pengertian haji: الْحَجُّ عَرَفَةُ “Haji itu adalah berwukuf di Arafah.” Yakni haji tidak sempurna tanpa wukuf di Arafah. ومن عظمة الأخلاق في الإسلام أنها أكثر ما يرجح بميزان الإنسان يوم القيامة؛ إذ هي أثقل ما يوضع في الميزان، والمؤمنون يتفاضلون بحسب أخلاقهم، وذكر النبيُّ صلى الله عليه وسلم أن أقرب الناس منه مجلسًا يوم القيامة وأحَبَّهم إليه، أحسنُهم أخلاقًا. Di antara bentuk keagungan akhlak dalam Islam, ia akan menjadi amalan yang paling berat dalam timbangan amalan manusia pada Hari Kiamat. Orang-orang beriman akan berbeda-beda derajatnya sesuai dengan akhlak mereka. Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyebutkan bahwa manusia yang paling dekat dengannya pada Hari Kiamat dan yang paling beliau cintai adalah yang paling baik akhlaknya. ومن دعاء النبيِّ صلى الله عليه وسلم: ((اللهم اهدِني لأحسن الأخلاق؛ فإنه لا يهدي لأحسنها إلا أنت، واصرف عني سيِّئها؛ فإنه لا يصرفُ سيِّئها إلا أنت)).

Refleksi Surah Al-Hajj Ayat 40-41: Rahasia Kemenangan Sejati

Daftar Isi ToggleSiapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganDalam setiap langkah kehidupan, manusia senantiasa menginginkan kemenangan, baik kemenangan atas musuh, atas kesulitan hidup, atas ujian yang menyesakkan dada, bahkan kemenangan atas hawa nafsunya sendiri.Kemenangan adalah impian setiap insan, kejayaan adalah cita-cita setiap bangsa dan negara. Tiada orang yang masuk dalam suatu kompetisi hanya untuk menginginkan kekalahan. Tak ada satu pun yang hendak melangkah ke medan perjuangan dengan niat hanya untuk menyerah. Namun sering kali, manusia hanya menatap hasilnya tanpa merenungi dari mana datangnya kemenangan itu dan bagaimana cara untuk mendapatkan kemenangan tersebut.Allah Ta’ala memberikan kemenangan kepada siapapun yang mengikuti cara yang sudah digariskan oleh-Nya. Kunci dari kemenangan tersebut adalah pertolongan dari Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)Maksud dari menolong Allah bukan berarti menolong Zat-Nya, sebab Dia Mahakuat dan tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Menolong Allah berarti membantu menegakkan agama-Nya, menjaga syariat-Nya, membela Rasul-Nya saat masih hidup dan menghidupkan sunah Rasulullah setelah beliau wafat.Menolong Allah berarti berdiri di pihak kebenaran, meski sendiri, dan menolak kebatilan, meski seluruh dunia berpaling.Siapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Lanjutan ayat di atas menjelaskan tentang siapa saja yang akan Allah beri pertolongan,ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)Mereka inilah orang-orang yang Allah pilih untuk menerima pertolongan-Nya. Bukan karena jumlah mereka banyak, bukan pula karena kekuatan mereka besar, tetapi karena hati mereka tunduk dan amal mereka berpijak pada empat pilar agung: salat yang menegakkan hubungan dengan Allah, zakat yang menumbuhkan kepedulian kepada sesama, amar ma’ruf yang menyeru pada kebaikan, dan nahi munkar yang menjaga dari kerusakan. Maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada mereka.Sehingga jika kita ingin kemenangan, jangan hanya mengejar hasilnya, tetapi tempuhlah jalannya. Karena kemenangan sejati bukanlah milik yang paling kuat, melainkan milik mereka yang paling taat.Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganMenolong agama Allah tidak selalu harus di mimbar atau medan perang. Ia bisa dilakukan di atas sajadah, di meja kerja, di ladang, di ruang pembelajaran, selama niatnya untuk menegakkan kebenaran dan menebar kebaikan.Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang tulus menolong agama-Nya. Pertolongan itu bisa datang dalam berbagai bentuk, baik ketenangan dalam hati, kemudahan dalam urusan, keberkahan dalam hidup, hingga keberhasilan di dunia dan akhirat.Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lainnya,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)Saat kita menolong agama Allah, maka Allah sendiri yang akan menolong kita. Dan siapa yang mendapat pertolongan dari Allah, sungguh tidak akan ada yang mampu mengalahkannya.Baca juga: Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Refleksi Surah Al-Hajj Ayat 40-41: Rahasia Kemenangan Sejati

Daftar Isi ToggleSiapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganDalam setiap langkah kehidupan, manusia senantiasa menginginkan kemenangan, baik kemenangan atas musuh, atas kesulitan hidup, atas ujian yang menyesakkan dada, bahkan kemenangan atas hawa nafsunya sendiri.Kemenangan adalah impian setiap insan, kejayaan adalah cita-cita setiap bangsa dan negara. Tiada orang yang masuk dalam suatu kompetisi hanya untuk menginginkan kekalahan. Tak ada satu pun yang hendak melangkah ke medan perjuangan dengan niat hanya untuk menyerah. Namun sering kali, manusia hanya menatap hasilnya tanpa merenungi dari mana datangnya kemenangan itu dan bagaimana cara untuk mendapatkan kemenangan tersebut.Allah Ta’ala memberikan kemenangan kepada siapapun yang mengikuti cara yang sudah digariskan oleh-Nya. Kunci dari kemenangan tersebut adalah pertolongan dari Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)Maksud dari menolong Allah bukan berarti menolong Zat-Nya, sebab Dia Mahakuat dan tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Menolong Allah berarti membantu menegakkan agama-Nya, menjaga syariat-Nya, membela Rasul-Nya saat masih hidup dan menghidupkan sunah Rasulullah setelah beliau wafat.Menolong Allah berarti berdiri di pihak kebenaran, meski sendiri, dan menolak kebatilan, meski seluruh dunia berpaling.Siapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Lanjutan ayat di atas menjelaskan tentang siapa saja yang akan Allah beri pertolongan,ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)Mereka inilah orang-orang yang Allah pilih untuk menerima pertolongan-Nya. Bukan karena jumlah mereka banyak, bukan pula karena kekuatan mereka besar, tetapi karena hati mereka tunduk dan amal mereka berpijak pada empat pilar agung: salat yang menegakkan hubungan dengan Allah, zakat yang menumbuhkan kepedulian kepada sesama, amar ma’ruf yang menyeru pada kebaikan, dan nahi munkar yang menjaga dari kerusakan. Maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada mereka.Sehingga jika kita ingin kemenangan, jangan hanya mengejar hasilnya, tetapi tempuhlah jalannya. Karena kemenangan sejati bukanlah milik yang paling kuat, melainkan milik mereka yang paling taat.Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganMenolong agama Allah tidak selalu harus di mimbar atau medan perang. Ia bisa dilakukan di atas sajadah, di meja kerja, di ladang, di ruang pembelajaran, selama niatnya untuk menegakkan kebenaran dan menebar kebaikan.Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang tulus menolong agama-Nya. Pertolongan itu bisa datang dalam berbagai bentuk, baik ketenangan dalam hati, kemudahan dalam urusan, keberkahan dalam hidup, hingga keberhasilan di dunia dan akhirat.Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lainnya,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)Saat kita menolong agama Allah, maka Allah sendiri yang akan menolong kita. Dan siapa yang mendapat pertolongan dari Allah, sungguh tidak akan ada yang mampu mengalahkannya.Baca juga: Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Daftar Isi ToggleSiapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganDalam setiap langkah kehidupan, manusia senantiasa menginginkan kemenangan, baik kemenangan atas musuh, atas kesulitan hidup, atas ujian yang menyesakkan dada, bahkan kemenangan atas hawa nafsunya sendiri.Kemenangan adalah impian setiap insan, kejayaan adalah cita-cita setiap bangsa dan negara. Tiada orang yang masuk dalam suatu kompetisi hanya untuk menginginkan kekalahan. Tak ada satu pun yang hendak melangkah ke medan perjuangan dengan niat hanya untuk menyerah. Namun sering kali, manusia hanya menatap hasilnya tanpa merenungi dari mana datangnya kemenangan itu dan bagaimana cara untuk mendapatkan kemenangan tersebut.Allah Ta’ala memberikan kemenangan kepada siapapun yang mengikuti cara yang sudah digariskan oleh-Nya. Kunci dari kemenangan tersebut adalah pertolongan dari Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)Maksud dari menolong Allah bukan berarti menolong Zat-Nya, sebab Dia Mahakuat dan tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Menolong Allah berarti membantu menegakkan agama-Nya, menjaga syariat-Nya, membela Rasul-Nya saat masih hidup dan menghidupkan sunah Rasulullah setelah beliau wafat.Menolong Allah berarti berdiri di pihak kebenaran, meski sendiri, dan menolak kebatilan, meski seluruh dunia berpaling.Siapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Lanjutan ayat di atas menjelaskan tentang siapa saja yang akan Allah beri pertolongan,ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)Mereka inilah orang-orang yang Allah pilih untuk menerima pertolongan-Nya. Bukan karena jumlah mereka banyak, bukan pula karena kekuatan mereka besar, tetapi karena hati mereka tunduk dan amal mereka berpijak pada empat pilar agung: salat yang menegakkan hubungan dengan Allah, zakat yang menumbuhkan kepedulian kepada sesama, amar ma’ruf yang menyeru pada kebaikan, dan nahi munkar yang menjaga dari kerusakan. Maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada mereka.Sehingga jika kita ingin kemenangan, jangan hanya mengejar hasilnya, tetapi tempuhlah jalannya. Karena kemenangan sejati bukanlah milik yang paling kuat, melainkan milik mereka yang paling taat.Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganMenolong agama Allah tidak selalu harus di mimbar atau medan perang. Ia bisa dilakukan di atas sajadah, di meja kerja, di ladang, di ruang pembelajaran, selama niatnya untuk menegakkan kebenaran dan menebar kebaikan.Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang tulus menolong agama-Nya. Pertolongan itu bisa datang dalam berbagai bentuk, baik ketenangan dalam hati, kemudahan dalam urusan, keberkahan dalam hidup, hingga keberhasilan di dunia dan akhirat.Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lainnya,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)Saat kita menolong agama Allah, maka Allah sendiri yang akan menolong kita. Dan siapa yang mendapat pertolongan dari Allah, sungguh tidak akan ada yang mampu mengalahkannya.Baca juga: Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Daftar Isi ToggleSiapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganDalam setiap langkah kehidupan, manusia senantiasa menginginkan kemenangan, baik kemenangan atas musuh, atas kesulitan hidup, atas ujian yang menyesakkan dada, bahkan kemenangan atas hawa nafsunya sendiri.Kemenangan adalah impian setiap insan, kejayaan adalah cita-cita setiap bangsa dan negara. Tiada orang yang masuk dalam suatu kompetisi hanya untuk menginginkan kekalahan. Tak ada satu pun yang hendak melangkah ke medan perjuangan dengan niat hanya untuk menyerah. Namun sering kali, manusia hanya menatap hasilnya tanpa merenungi dari mana datangnya kemenangan itu dan bagaimana cara untuk mendapatkan kemenangan tersebut.Allah Ta’ala memberikan kemenangan kepada siapapun yang mengikuti cara yang sudah digariskan oleh-Nya. Kunci dari kemenangan tersebut adalah pertolongan dari Allah Ta’ala.Allah Ta’ala berfirman,وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)Maksud dari menolong Allah bukan berarti menolong Zat-Nya, sebab Dia Mahakuat dan tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Menolong Allah berarti membantu menegakkan agama-Nya, menjaga syariat-Nya, membela Rasul-Nya saat masih hidup dan menghidupkan sunah Rasulullah setelah beliau wafat.Menolong Allah berarti berdiri di pihak kebenaran, meski sendiri, dan menolak kebatilan, meski seluruh dunia berpaling.Siapa saja yang mendapat pertolongan Allah dan kemenangan?Lanjutan ayat di atas menjelaskan tentang siapa saja yang akan Allah beri pertolongan,ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)Mereka inilah orang-orang yang Allah pilih untuk menerima pertolongan-Nya. Bukan karena jumlah mereka banyak, bukan pula karena kekuatan mereka besar, tetapi karena hati mereka tunduk dan amal mereka berpijak pada empat pilar agung: salat yang menegakkan hubungan dengan Allah, zakat yang menumbuhkan kepedulian kepada sesama, amar ma’ruf yang menyeru pada kebaikan, dan nahi munkar yang menjaga dari kerusakan. Maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada mereka.Sehingga jika kita ingin kemenangan, jangan hanya mengejar hasilnya, tetapi tempuhlah jalannya. Karena kemenangan sejati bukanlah milik yang paling kuat, melainkan milik mereka yang paling taat.Menjadi bagian dari orang yang mendapat kemenanganMenolong agama Allah tidak selalu harus di mimbar atau medan perang. Ia bisa dilakukan di atas sajadah, di meja kerja, di ladang, di ruang pembelajaran, selama niatnya untuk menegakkan kebenaran dan menebar kebaikan.Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang tulus menolong agama-Nya. Pertolongan itu bisa datang dalam berbagai bentuk, baik ketenangan dalam hati, kemudahan dalam urusan, keberkahan dalam hidup, hingga keberhasilan di dunia dan akhirat.Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lainnya,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)Saat kita menolong agama Allah, maka Allah sendiri yang akan menolong kita. Dan siapa yang mendapat pertolongan dari Allah, sungguh tidak akan ada yang mampu mengalahkannya.Baca juga: Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Fikih Riba (Bag. 1): Riba dan Pengertiannya

Daftar Isi ToggleIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuRiba adalah pemusnah keberkahanPencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukPengertian ribaRiba secara bahasaRiba secara istilah syariatIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuSegala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menjadikan syariat ini begitu indah, indah dengan perintah-perintah-Nya dan indah pula dengan larangan-larangan-Nya. Sehingga tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu, kecuali terdapat keburukan padanya. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, kecuali ada kebaikan dan kemaslahatan padanya.Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya bertujuan untuk menjelaskan yang halal dan yang haram. Allah Ta’ala berfirman,اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ“(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-‘Araf: 157)Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,فإنه يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ من المطاعم والمشارب، والمناكح. وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ من المطاعم والمشارب والمناكح، والأقوال والأفعال“Sesungguhnya Allah menghalalkan bagi mereka (manusia) hal-hal yang baik berupa makanan, minuman, dan pernikahan. Begitupula Allah telah mengharamkan bagi mereka hal-hal yang buruk dari makanan, minuman, dan pernikahan, begitupun Allah mengharamkan hal-hal yang berkaitan dengan ucapan ataupun perbuatan.” (Tafsir As-Sa’di)Riba adalah pemusnah keberkahanPada masa ini, alhamdulillah sebagian besar kaum muslimin sudah mulai mengetahui bahaya riba. Tidak sedikit dari mereka yang mencari tahu tentang apa itu riba, bagaimana hukumnya, dan lain sebagainya. Semangat yang membara dalam mempelajari halal dan haram ini tidak lain merupakan taufik dari Allah.Begitupun tidak sedikit dari para guru, ustadz, para masyaikh, dan lainnya menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkan, di antaranya adalah riba. Karena tidaklah riba ada pada suatu muamalah, kecuali akan ada pihak yang dirugikan. Tidaklah riba ada pada suatu akad pinjam meminjam, kecuali akan memusnahkan keberkahannya. Ini merupakan janji dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ“Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Perhatikanlah kata يَمْحَقُ dalam firman Allah Ta’ala di atas. Ibnu ‘Asyur rahimahullah berkata,والمَحْقُ هو كالمَحْوِ: بِمَعْنى إزالَةِ الشَّيْءِ، ومِنهُ مُحاقٌ القَمَرِ ذَهابُ نُورِهِ لَيْلَةَ السِّرارِ، ومَعْنى يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبا أنَّهُ يُتْلِفُ ما حَصَلَ مِنهُ في الدُّنْيا“Kata al-mahqu sama maknanya seperti menghapus, artinya adalah menghilangkan sesuatu. Makna yang lain seperti muhaaqul qomar (hilangnya cahaya rembulan). Sehingga bisa diartikan bahwa makna ‘Allah menghilangkan riba’ yaitu, Allah merusak dan menghancurkan hasil yang diperoleh dari riba di dunia.” (At-Tahrir wat Tanwir)Kesimpulan dari kata يَمْحَقُ terdapat pada dua hal:Menghilangkan harta tersebut secara menyeluruh dari tangan pemiliknya.Diharamkan untuk mendapatkan keberkahan pada hartanya. Sehingga tidak dapat diambil manfaat dari harta tersebut.Hal ini disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, dan dijelaskan pula oleh Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam Adhwa’ul Bayan.Pencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukSyariat Islam begitu memperhatikan larangan dari sistem muamalah dan jual beli yang buruk. Seperti halnya sistem riba dan lain sebagainya. Hal ini butuh penjelasan dan perlu disingkap keharamannya, mengingat riba menyelisihi sistem muamalah yang benar. Berbeda dengan jual beli yang sah pada umumnya, yang bisa dilaksanakan secara langsung karena sesuai dengan hukum asal, yaituالأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةِ“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Adapun riba, butuh disingkap keharamannya karena menyelisihi kaidah asal dalam akad-akadnya.Permasalahan riba termasuk di antara permasalahan yang dianggap cukup pelik (rumit) oleh para ulama. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,وَدِدْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عليه وسلم لَمْ يُفَارِقْنَا حَتَّى يَعْهَدَ إِلَيْنَا عَهْداً : الجَدُّ، وَالكَلاَلَة، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا“Aku sangat berharap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam belum berpisah dengan kami, sehingga beliau pun memberikan kepada kami sebuah ketentuan terkait dengan masalah waris kakek, kalalah (seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris dari anak dan orang tua), dan permasalahan di antara permasalahan riba.” (HR. Bukhari)Yakni permasalahan-permasalahan yang sifatnya samar-samar dan hampir serupa dengan riba. Sehingga dari hal tersebut diketahui bahwa pembahasan riba termasuk pembahasan yang cukup pelik.Pengertian ribaRiba secara bahasaSecara bahasa, riba diartikan dengan,الزِّيَادَةُ وَالنَّمَاءُ“Tumbuh dan berkembang.” Allah Ta’ala berfirman,وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ“Dan Allah menyuburkan (mengembangkan) sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)Riba secara istilah syariatتَفَاضُلٌ فِي أَشْيَاء، وَنَسَأ فِي أَشْيَاءَ، مُخْتَصٌّ بِأَشْيَاء، وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهَا“Adanya nominal yang lebih dalam beberapa hal, dan penundaan (tempo) pada beberapa hal, yang khusus pada hal-hal tertentu yang syariat telah mengharamkannya.” Bisa diartikan bahwa riba adalah tambahan yang ada pada suatu akad pinjam meminjam, atau akad-akad yang lainnya. Wallahu a’lam.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Depok, 6 Jumadal Ula 1447/ 27 Oktober 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.

Fikih Riba (Bag. 1): Riba dan Pengertiannya

Daftar Isi ToggleIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuRiba adalah pemusnah keberkahanPencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukPengertian ribaRiba secara bahasaRiba secara istilah syariatIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuSegala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menjadikan syariat ini begitu indah, indah dengan perintah-perintah-Nya dan indah pula dengan larangan-larangan-Nya. Sehingga tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu, kecuali terdapat keburukan padanya. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, kecuali ada kebaikan dan kemaslahatan padanya.Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya bertujuan untuk menjelaskan yang halal dan yang haram. Allah Ta’ala berfirman,اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ“(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-‘Araf: 157)Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,فإنه يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ من المطاعم والمشارب، والمناكح. وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ من المطاعم والمشارب والمناكح، والأقوال والأفعال“Sesungguhnya Allah menghalalkan bagi mereka (manusia) hal-hal yang baik berupa makanan, minuman, dan pernikahan. Begitupula Allah telah mengharamkan bagi mereka hal-hal yang buruk dari makanan, minuman, dan pernikahan, begitupun Allah mengharamkan hal-hal yang berkaitan dengan ucapan ataupun perbuatan.” (Tafsir As-Sa’di)Riba adalah pemusnah keberkahanPada masa ini, alhamdulillah sebagian besar kaum muslimin sudah mulai mengetahui bahaya riba. Tidak sedikit dari mereka yang mencari tahu tentang apa itu riba, bagaimana hukumnya, dan lain sebagainya. Semangat yang membara dalam mempelajari halal dan haram ini tidak lain merupakan taufik dari Allah.Begitupun tidak sedikit dari para guru, ustadz, para masyaikh, dan lainnya menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkan, di antaranya adalah riba. Karena tidaklah riba ada pada suatu muamalah, kecuali akan ada pihak yang dirugikan. Tidaklah riba ada pada suatu akad pinjam meminjam, kecuali akan memusnahkan keberkahannya. Ini merupakan janji dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ“Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Perhatikanlah kata يَمْحَقُ dalam firman Allah Ta’ala di atas. Ibnu ‘Asyur rahimahullah berkata,والمَحْقُ هو كالمَحْوِ: بِمَعْنى إزالَةِ الشَّيْءِ، ومِنهُ مُحاقٌ القَمَرِ ذَهابُ نُورِهِ لَيْلَةَ السِّرارِ، ومَعْنى يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبا أنَّهُ يُتْلِفُ ما حَصَلَ مِنهُ في الدُّنْيا“Kata al-mahqu sama maknanya seperti menghapus, artinya adalah menghilangkan sesuatu. Makna yang lain seperti muhaaqul qomar (hilangnya cahaya rembulan). Sehingga bisa diartikan bahwa makna ‘Allah menghilangkan riba’ yaitu, Allah merusak dan menghancurkan hasil yang diperoleh dari riba di dunia.” (At-Tahrir wat Tanwir)Kesimpulan dari kata يَمْحَقُ terdapat pada dua hal:Menghilangkan harta tersebut secara menyeluruh dari tangan pemiliknya.Diharamkan untuk mendapatkan keberkahan pada hartanya. Sehingga tidak dapat diambil manfaat dari harta tersebut.Hal ini disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, dan dijelaskan pula oleh Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam Adhwa’ul Bayan.Pencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukSyariat Islam begitu memperhatikan larangan dari sistem muamalah dan jual beli yang buruk. Seperti halnya sistem riba dan lain sebagainya. Hal ini butuh penjelasan dan perlu disingkap keharamannya, mengingat riba menyelisihi sistem muamalah yang benar. Berbeda dengan jual beli yang sah pada umumnya, yang bisa dilaksanakan secara langsung karena sesuai dengan hukum asal, yaituالأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةِ“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Adapun riba, butuh disingkap keharamannya karena menyelisihi kaidah asal dalam akad-akadnya.Permasalahan riba termasuk di antara permasalahan yang dianggap cukup pelik (rumit) oleh para ulama. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,وَدِدْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عليه وسلم لَمْ يُفَارِقْنَا حَتَّى يَعْهَدَ إِلَيْنَا عَهْداً : الجَدُّ، وَالكَلاَلَة، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا“Aku sangat berharap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam belum berpisah dengan kami, sehingga beliau pun memberikan kepada kami sebuah ketentuan terkait dengan masalah waris kakek, kalalah (seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris dari anak dan orang tua), dan permasalahan di antara permasalahan riba.” (HR. Bukhari)Yakni permasalahan-permasalahan yang sifatnya samar-samar dan hampir serupa dengan riba. Sehingga dari hal tersebut diketahui bahwa pembahasan riba termasuk pembahasan yang cukup pelik.Pengertian ribaRiba secara bahasaSecara bahasa, riba diartikan dengan,الزِّيَادَةُ وَالنَّمَاءُ“Tumbuh dan berkembang.” Allah Ta’ala berfirman,وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ“Dan Allah menyuburkan (mengembangkan) sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)Riba secara istilah syariatتَفَاضُلٌ فِي أَشْيَاء، وَنَسَأ فِي أَشْيَاءَ، مُخْتَصٌّ بِأَشْيَاء، وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهَا“Adanya nominal yang lebih dalam beberapa hal, dan penundaan (tempo) pada beberapa hal, yang khusus pada hal-hal tertentu yang syariat telah mengharamkannya.” Bisa diartikan bahwa riba adalah tambahan yang ada pada suatu akad pinjam meminjam, atau akad-akad yang lainnya. Wallahu a’lam.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Depok, 6 Jumadal Ula 1447/ 27 Oktober 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.
Daftar Isi ToggleIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuRiba adalah pemusnah keberkahanPencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukPengertian ribaRiba secara bahasaRiba secara istilah syariatIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuSegala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menjadikan syariat ini begitu indah, indah dengan perintah-perintah-Nya dan indah pula dengan larangan-larangan-Nya. Sehingga tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu, kecuali terdapat keburukan padanya. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, kecuali ada kebaikan dan kemaslahatan padanya.Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya bertujuan untuk menjelaskan yang halal dan yang haram. Allah Ta’ala berfirman,اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ“(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-‘Araf: 157)Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,فإنه يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ من المطاعم والمشارب، والمناكح. وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ من المطاعم والمشارب والمناكح، والأقوال والأفعال“Sesungguhnya Allah menghalalkan bagi mereka (manusia) hal-hal yang baik berupa makanan, minuman, dan pernikahan. Begitupula Allah telah mengharamkan bagi mereka hal-hal yang buruk dari makanan, minuman, dan pernikahan, begitupun Allah mengharamkan hal-hal yang berkaitan dengan ucapan ataupun perbuatan.” (Tafsir As-Sa’di)Riba adalah pemusnah keberkahanPada masa ini, alhamdulillah sebagian besar kaum muslimin sudah mulai mengetahui bahaya riba. Tidak sedikit dari mereka yang mencari tahu tentang apa itu riba, bagaimana hukumnya, dan lain sebagainya. Semangat yang membara dalam mempelajari halal dan haram ini tidak lain merupakan taufik dari Allah.Begitupun tidak sedikit dari para guru, ustadz, para masyaikh, dan lainnya menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkan, di antaranya adalah riba. Karena tidaklah riba ada pada suatu muamalah, kecuali akan ada pihak yang dirugikan. Tidaklah riba ada pada suatu akad pinjam meminjam, kecuali akan memusnahkan keberkahannya. Ini merupakan janji dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ“Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Perhatikanlah kata يَمْحَقُ dalam firman Allah Ta’ala di atas. Ibnu ‘Asyur rahimahullah berkata,والمَحْقُ هو كالمَحْوِ: بِمَعْنى إزالَةِ الشَّيْءِ، ومِنهُ مُحاقٌ القَمَرِ ذَهابُ نُورِهِ لَيْلَةَ السِّرارِ، ومَعْنى يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبا أنَّهُ يُتْلِفُ ما حَصَلَ مِنهُ في الدُّنْيا“Kata al-mahqu sama maknanya seperti menghapus, artinya adalah menghilangkan sesuatu. Makna yang lain seperti muhaaqul qomar (hilangnya cahaya rembulan). Sehingga bisa diartikan bahwa makna ‘Allah menghilangkan riba’ yaitu, Allah merusak dan menghancurkan hasil yang diperoleh dari riba di dunia.” (At-Tahrir wat Tanwir)Kesimpulan dari kata يَمْحَقُ terdapat pada dua hal:Menghilangkan harta tersebut secara menyeluruh dari tangan pemiliknya.Diharamkan untuk mendapatkan keberkahan pada hartanya. Sehingga tidak dapat diambil manfaat dari harta tersebut.Hal ini disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, dan dijelaskan pula oleh Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam Adhwa’ul Bayan.Pencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukSyariat Islam begitu memperhatikan larangan dari sistem muamalah dan jual beli yang buruk. Seperti halnya sistem riba dan lain sebagainya. Hal ini butuh penjelasan dan perlu disingkap keharamannya, mengingat riba menyelisihi sistem muamalah yang benar. Berbeda dengan jual beli yang sah pada umumnya, yang bisa dilaksanakan secara langsung karena sesuai dengan hukum asal, yaituالأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةِ“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Adapun riba, butuh disingkap keharamannya karena menyelisihi kaidah asal dalam akad-akadnya.Permasalahan riba termasuk di antara permasalahan yang dianggap cukup pelik (rumit) oleh para ulama. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,وَدِدْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عليه وسلم لَمْ يُفَارِقْنَا حَتَّى يَعْهَدَ إِلَيْنَا عَهْداً : الجَدُّ، وَالكَلاَلَة، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا“Aku sangat berharap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam belum berpisah dengan kami, sehingga beliau pun memberikan kepada kami sebuah ketentuan terkait dengan masalah waris kakek, kalalah (seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris dari anak dan orang tua), dan permasalahan di antara permasalahan riba.” (HR. Bukhari)Yakni permasalahan-permasalahan yang sifatnya samar-samar dan hampir serupa dengan riba. Sehingga dari hal tersebut diketahui bahwa pembahasan riba termasuk pembahasan yang cukup pelik.Pengertian ribaRiba secara bahasaSecara bahasa, riba diartikan dengan,الزِّيَادَةُ وَالنَّمَاءُ“Tumbuh dan berkembang.” Allah Ta’ala berfirman,وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ“Dan Allah menyuburkan (mengembangkan) sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)Riba secara istilah syariatتَفَاضُلٌ فِي أَشْيَاء، وَنَسَأ فِي أَشْيَاءَ، مُخْتَصٌّ بِأَشْيَاء، وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهَا“Adanya nominal yang lebih dalam beberapa hal, dan penundaan (tempo) pada beberapa hal, yang khusus pada hal-hal tertentu yang syariat telah mengharamkannya.” Bisa diartikan bahwa riba adalah tambahan yang ada pada suatu akad pinjam meminjam, atau akad-akad yang lainnya. Wallahu a’lam.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Depok, 6 Jumadal Ula 1447/ 27 Oktober 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.


Daftar Isi ToggleIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuRiba adalah pemusnah keberkahanPencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukPengertian ribaRiba secara bahasaRiba secara istilah syariatIndahnya syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatuSegala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menjadikan syariat ini begitu indah, indah dengan perintah-perintah-Nya dan indah pula dengan larangan-larangan-Nya. Sehingga tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu, kecuali terdapat keburukan padanya. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu, kecuali ada kebaikan dan kemaslahatan padanya.Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya bertujuan untuk menjelaskan yang halal dan yang haram. Allah Ta’ala berfirman,اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ“(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-‘Araf: 157)Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,فإنه يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ من المطاعم والمشارب، والمناكح. وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ من المطاعم والمشارب والمناكح، والأقوال والأفعال“Sesungguhnya Allah menghalalkan bagi mereka (manusia) hal-hal yang baik berupa makanan, minuman, dan pernikahan. Begitupula Allah telah mengharamkan bagi mereka hal-hal yang buruk dari makanan, minuman, dan pernikahan, begitupun Allah mengharamkan hal-hal yang berkaitan dengan ucapan ataupun perbuatan.” (Tafsir As-Sa’di)Riba adalah pemusnah keberkahanPada masa ini, alhamdulillah sebagian besar kaum muslimin sudah mulai mengetahui bahaya riba. Tidak sedikit dari mereka yang mencari tahu tentang apa itu riba, bagaimana hukumnya, dan lain sebagainya. Semangat yang membara dalam mempelajari halal dan haram ini tidak lain merupakan taufik dari Allah.Begitupun tidak sedikit dari para guru, ustadz, para masyaikh, dan lainnya menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkan, di antaranya adalah riba. Karena tidaklah riba ada pada suatu muamalah, kecuali akan ada pihak yang dirugikan. Tidaklah riba ada pada suatu akad pinjam meminjam, kecuali akan memusnahkan keberkahannya. Ini merupakan janji dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ“Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Perhatikanlah kata يَمْحَقُ dalam firman Allah Ta’ala di atas. Ibnu ‘Asyur rahimahullah berkata,والمَحْقُ هو كالمَحْوِ: بِمَعْنى إزالَةِ الشَّيْءِ، ومِنهُ مُحاقٌ القَمَرِ ذَهابُ نُورِهِ لَيْلَةَ السِّرارِ، ومَعْنى يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبا أنَّهُ يُتْلِفُ ما حَصَلَ مِنهُ في الدُّنْيا“Kata al-mahqu sama maknanya seperti menghapus, artinya adalah menghilangkan sesuatu. Makna yang lain seperti muhaaqul qomar (hilangnya cahaya rembulan). Sehingga bisa diartikan bahwa makna ‘Allah menghilangkan riba’ yaitu, Allah merusak dan menghancurkan hasil yang diperoleh dari riba di dunia.” (At-Tahrir wat Tanwir)Kesimpulan dari kata يَمْحَقُ terdapat pada dua hal:Menghilangkan harta tersebut secara menyeluruh dari tangan pemiliknya.Diharamkan untuk mendapatkan keberkahan pada hartanya. Sehingga tidak dapat diambil manfaat dari harta tersebut.Hal ini disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, dan dijelaskan pula oleh Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam Adhwa’ul Bayan.Pencegahan syariat Islam dari sistem muamalah yang burukSyariat Islam begitu memperhatikan larangan dari sistem muamalah dan jual beli yang buruk. Seperti halnya sistem riba dan lain sebagainya. Hal ini butuh penjelasan dan perlu disingkap keharamannya, mengingat riba menyelisihi sistem muamalah yang benar. Berbeda dengan jual beli yang sah pada umumnya, yang bisa dilaksanakan secara langsung karena sesuai dengan hukum asal, yaituالأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةِ“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Adapun riba, butuh disingkap keharamannya karena menyelisihi kaidah asal dalam akad-akadnya.Permasalahan riba termasuk di antara permasalahan yang dianggap cukup pelik (rumit) oleh para ulama. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,وَدِدْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عليه وسلم لَمْ يُفَارِقْنَا حَتَّى يَعْهَدَ إِلَيْنَا عَهْداً : الجَدُّ، وَالكَلاَلَة، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا“Aku sangat berharap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam belum berpisah dengan kami, sehingga beliau pun memberikan kepada kami sebuah ketentuan terkait dengan masalah waris kakek, kalalah (seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris dari anak dan orang tua), dan permasalahan di antara permasalahan riba.” (HR. Bukhari)Yakni permasalahan-permasalahan yang sifatnya samar-samar dan hampir serupa dengan riba. Sehingga dari hal tersebut diketahui bahwa pembahasan riba termasuk pembahasan yang cukup pelik.Pengertian ribaRiba secara bahasaSecara bahasa, riba diartikan dengan,الزِّيَادَةُ وَالنَّمَاءُ“Tumbuh dan berkembang.” Allah Ta’ala berfirman,وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ“Dan Allah menyuburkan (mengembangkan) sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)Riba secara istilah syariatتَفَاضُلٌ فِي أَشْيَاء، وَنَسَأ فِي أَشْيَاءَ، مُخْتَصٌّ بِأَشْيَاء، وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهَا“Adanya nominal yang lebih dalam beberapa hal, dan penundaan (tempo) pada beberapa hal, yang khusus pada hal-hal tertentu yang syariat telah mengharamkannya.” Bisa diartikan bahwa riba adalah tambahan yang ada pada suatu akad pinjam meminjam, atau akad-akad yang lainnya. Wallahu a’lam.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Depok, 6 Jumadal Ula 1447/ 27 Oktober 2025Penulis: Muhammad Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.

Cara Kirim Salam yang Benar Kepada Nabi – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا

Cara Kirim Salam yang Benar Kepada Nabi – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا
Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا


Ahsanallahu ilaikum. Penanya bertanya: “Apakah disyariatkan aku berkata kepada peziarah Masjid Nabawi: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!’ Lalu peziarah itu menyampaikan, ‘Si Fulan mengirim salam kepadamu, wahai Rasulullah!’?” Tidak ada riwayat yang menyebutkan hal ini. Tidak ada riwayat tentang ini sama sekali. Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersalawatlah kepadaku! Karena salawat kalian akan sampai kepadaku, di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud). Alhamdulillah! Maka, di mana pun kamu berada, bersalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salawatmu pasti sampai kepada beliau. Jika salawat dan salammu sudah pasti sampai kepada beliau, apakah kamu masih perlu menitipkannya melalui orang lain? Tidak perlu! Alhamdulillah, kamu sendiri dapat melakukan ini di tempatmu berada. Oleh sebab itu, Ali bin Husain pernah mengingkari seseorang yang datang ke celah dekat makam Nabi untuk berdoa kepada beliau. Ali bin Husain berkata, “Maukah aku sampaikan kepadamu hadis dari ayahku, dari kakekku, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu didatangi, dan jangan pula jadikan kuburan kalian sebagai masjid. Bersalawatlah kepadaku, karena salawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Baik kalian datang langsung maupun tidak.” Jadi, jika kamu ingin bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam— dan salawat itu pasti sampai kepada beliau meski kamu berada di tempatmu— maka Alhamdulillah, kamu tidak perlu menitipkan salam kepada siapa pun. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ السَّائِلُ هَلْ يُشْرَعُ أَنْ أَقُولَ لِزَائِرِ الْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ بَلِّغْ سَلَامِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُولُ الزَّائِرُ فُلَانٌ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا وَرَدَ هَذَا مَا وَرَدَ هَذَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَحَيْثُ مَا كُنْتَ فَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْلُغْهُ صَلَاتُكَ وَإِذَا كَانَتْ سَتَبْلُغُهُ صَلَاتُكَ وَسَلَامُكَ فَهَلْ أَنْتَ بِحَاجَةِ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا؟ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَنْتَ بِنَفْسِكَ تَقُومُ بِهَذَا الْأَمْرِ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ وَلِهَذَا أَنْكَرَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ وَسَمِعْتُمُ الْحَدِيثَ رَجُلٌ كَانَ يَأْتِي إِلَى فُرْجَةٍ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ أَلَا أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَنْ أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَلَا قُبُورَكُمْ مَسَاجِدَ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ أَتَيْتُمْ أَوْ لَمْ تَأْتُوْا فَإِذَا كُنْتَ سَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّلَاةُ تَبْلُغُهُ وَأَنْتَ فِي مَكَانِكَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا حَاجَةَ أَنْ تُوصِيَ أَحَدًا
Prev     Next