Bagaimana Cara Berhenti Merokok?

كيف تترك التدخين؟ Oleh: Hamd bin Bakr Al-‘Ilyan حمد بن بكر العليان أخي الشاب، التدخين إحْدى وسائل الاعتداء على جسدِك باتِّفاق الأطبَّاء، وهو مِن العادات التي انتشرتْ في المجتمع رغمَ ضررها البالِغ عليه، والسيجارة التي يتناولها المدخنون تُصنَع من نبات يُقال له: (التبغ)، وهو مادة مُرَّة الطَّعْم مخدِّرة، تحتوي على مواد سامة، وقد قُدِّمت لبعض الكلاب والقِطَط، فعافتها واستَقْذَرَتْها، والدخان الذي يتطايَر من السيجارة به أنواع من السُّموم الفتَّاكة، تؤثِّر في جِسْم المدخن، كلها توجد في الدُّخَان الذي تتناوله، فبعضها يسبب تخريشًا في الجلد، والآخر يسبِّب البُصاق، والسُّعال، وظهور اللَّوْن الأصفر عند المدخن، وقد أُجريت تَجارِبُ للتخلص من هذه السموم، ولكنَّها باءتْ بالفشل، والآن نذكر أضرار التدخين: Wahai saudaraku, generasi muda! Merokok merupakan salah satu cara merusak tubuhmu yang disepakati seluruh dokter. Merokok adalah salah satu kebiasaan yang banyak tersebar di masyarakat meskipun mengandung banyak bahaya. Rokok yang dikonsumsi oleh perokok berasal dari tanaman yang bernama tembakau, yang merupakan bahan yang pahit dan membuat candu, mengandung banyak senyawa beracun. Bahkan anjing dan kucing pun enggan memakannya ketika dihidangkan kepadanya karena merasa jijik terhadapnya.  Asap yang keluar dari rokok mengandung banyak racun mematikan yang dapat berpengaruh negatif terhadap tubuh perokok. Semuanya terdapat dalam rokok yang kamu konsumsi. Sebagiannya dapat menyebabkan kulit menjadi kasar, dan senyawa lain dapat meningkatkan produksi ludah, menyebabkan batuk, dan menimbulkan warna kuning pada tubuh perokok. Terdapat banyak penelitian untuk menghilangkan racun-racun tersebut, tapi belum ada yang membuahkan hasil yang positif. Sekarang mari kita bahas beberapa bahaya merokok: أولاً: أضرار التدخين الصِّحيَّة: في الحقيقة أنَّ التدخين يُعتبر أَلَدَّ أعداء الصِّحة، وسنذكر بعضَ الأضرار التي يُسَبِّبها التدخينُ على صِحَّة الإنسان، تاركين الكيفيَّة، والحالات الشاذَّة: 1- السموم التي ذكرْناها تفتك بالأغشية الرقيقة، الملتَفَّة حولَ الأوتار الصوتية، فيُسبِّب ذلك البحَّةَ عند المدخن. 2- يسبِّب التدخين ضِيقًا في التنفُّس؛ بسبب خراب الأكياس الهوائية في الرِّئتين، ويُسَبِّب آلام الحلْق. 3- يُضعِف حاسَّةَ الشم والذوق، والنظر والقدرة على تمييز الألوان. 4- يَزيد من عدد نبضات القلْب، فينتج عن ذلك السكْتةُ القلبية. 5- تتكدَّس السُّموم في الكبد، فيشعر المدخِّن بالتعَب والإرهاق لأيِّ مجهود؛ لأنَّ الكبد لا يستطيع حجزَ السموم بهذه الكثرة. 6- ارتفاع في ضغْط الدم، وتَصَلُّب الشرايين، الذي يؤدِّي إلى موت الفَجْأَة. 7- أثبت أحدُ الأطبَّاء أنَّ التدخين هو سببٌ مباشر لسرطان الرِّئة، وذلك بأن أحضر عددًا من الفئران، ووَضَع على جلدها محلولَ دخان السيجارة، فظهر بعد خمسة عشر يومًا ورمُ سرطان، وكذلك سرطان الرِّئة يندر بيْن غير المدخنين، وقد مات بهذا المرض في عام 1963م في بريطانيا 25 ألف شخص، وفي أمريكا 41 ألف شخص. 8- كثره السُّعال عند المدخنين، والتدخين يسبِّب كذلك توقفًا في نموِّ الجسم. 9- التدخين مُفَتِّرٌ للأعصاب والمخ؛ لأنَّه يُحدِث انتعاشًا وقتيًّا فيها، فيظن المدخن أنَّه يشعر بالراحة عندَ التدخين. 10- المدخِّن لا يستطيع القيامَ بأيِّ نشاط رياضي، وإنْ قام به فهو مهْزُوز. Pertama: Bahaya rokok dari sisi kesehatan badan Sebenarnya rokok termasuk musuh kesehatan yang paling bandel. Kami akan sebutkan beberapa bahaya yang ditimbulkan rokok terhadap kesehatan manusia secara umum – dengan mengabaikan faktor gaya merokok dan kasus-kasus pengecualian tertentu –:  Racun-racun yang telah kami sebutkan itu dapat membahayakan selaput tipis yang menyelimuti pita suara, sehingga menimbulkan suara serak pada perokok. Rokok menyebabkan sesak nafas karena kerusakan kantong udara di paru-paru, dan menimbulkan sakit tenggorokan. Menurunkan sensitivitas indra penciuman, perasa, dan penglihatan, serta kemampuan membedakan warna. Meningkatkan detak jantung, sehingga dapat menyebabkan serangan jantung. Racun-racun itu akan menumpuk dalam hati, sehingga perokok akan merasa letih dan lelah meski karena kerja ringan, karena hati tidak mampu menyaring racun dalam jumlah sebanyak itu. Meningkatkan tekanan darah dan mengeraskan pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Seorang dokter membuktikan bahwa merokok merupakan sebab langsung dari kanker paru-paru. Dokter itu melakukan percobaan pada sejumlah tikus dan meletakkan di kulitnya larutan asap rokok. Setelah 15 hari, timbul benjolan kanker pada tikus-tikus tersebut. Kanker paru-paru juga jarang terjadi pada selain perokok. Jumlah kematian akibat penyakit ini pada tahun 1963 di Inggris sebanyak 25 ribu jiwa, sedangkan di Amerika 41 ribu jiwa. Sering batuk dialami oleh para perokok. Rokok juga dapat menghentikan pertumbuhan badan. Rokok dapat memperberat kerja saraf dan otak, karena rokok dapat memberi rangsangan temporer, sehingga perokok akan merasakan ketenangan sementara ketika merokok. Perokok tidak dapat melakukan olahraga dengan baik. Saat berolahraga, ia akan cepat lelah. ثانيًا: أضرار التدخين النفسيَّة: 1- هبوط مستوى الذَّكاء. 2- حب التَّسَلُّط عند المدخن. 3- المزاج العصبي، والقلق، والشرُود. 4- ملامِح شخصية المُدَخِّن غير متميزة، بل متذبذبة (إمَّعة). Kedua: Bahaya rokok dari sisi mental Menurunkan tingkat kecerdasan. Suka bersikap sewenang-wenang. Mudah marah, gelisah, dan galau. Air muka perokok tidak bagus, dan sering ragu. ثالثًا: أضرار اجتماعيَّة واقتصاديَّة: 1- وُجِدَ أنَّ ما يصرفه 60 مليون مدخن في أمريكا، يساوي 4 مليارات دولار في العام… (فكِّر). 2- يسبِّب معظمَ الحرائق بسبب تحرُّك بقايا السجائر. 3- أنَّ إنفاق المال فيه إسرافٌ وتبذير في معصية الله. 4- كون رائحتِه تؤذي الناسَ الذين لا يستعملونه وتضايقهم. Ketiga: Bahaya rokok dari sisi ekonomi dan sosial Diketahui bahwa uang yang dibelanjakan 60 juta perokok di Amerika mencapai 4 miliar dolar dalam satu tahun. Menjadi penyebab mayoritas kebakaran karena sulutan api dari puntung rokok. Membeli rokok merupakan bentuk pemborosan dan pembelanjaan harta dalam kemaksiatan. Bau rokok mengganggu orang lain yang tidak merokok. كيف تترك التدخين: وبعد أن اقتنعتَ بأضرار التدخين على نفسِك ومجتمعك، أرجو أن تعزمَ على ترْكه، والابتعاد عنه، وسؤالك الآن: كيف أتركه؟ والجواب: اتَّبع الخُطواتِ التالية، والله يوفقك: 1- تعرَّفْ على أضراره، واقتنعْ بها، وابدأ بالتفكير في ترْكه، وشُدَّ العزم على ذلك، مع التوكُّل على الله. 2- اعملْ قائمة يوميَّة بمساوئه على نفسك، وعلى أصدقائك، وأولادك وجيرانك. 3- ابتعِد قدْرَ الإمكان عن المدخنين ورائحة التدخين، وحاوِل البقاءَ في الهواء الطَّلْق، واشتغلْ بالأمور النافعة. 4- إذا أدركت – أيها المسلم – مضارَّ الدخان، وتحققتَ حُرمته، فعليك بما يلي: كراهته لله، ترْكه لله، اجتنب مجالسة مَن يدخنه. 5- استعمِل سواكًا أو علكًا إذا وجدتَ في نفسك حنينًا إلى التدخين، والسِّواك أنفعُ من غيره. 6- قلِّل من شُرْب القهْوة والشاي، وأَكْثِرْ من تناول الفاكهة، والغذاء الجيِّد الخالي من التوابل. 7- تناول يوميًّا بعدَ الإفطار كأسًا من عصير الليمون، أو العِنَب، أو البرتقال؛ لأنَّه يُخَفِّف من شدَّة الرغبة في التدخين. 8- واعلم أنَّ مَن ترك شيئًا لله، عوَّضه الله خيرًا منه، عاجِلاً وآجلاً. Bagaimana cara berhenti merokok? Setelah kamu menerima realitas tentang bahaya-bahaya rokok terhadap diri dan masyarakatmu, saya berharap kamu dapat bertekad untuk berhenti merokok dan menjauhinya. Lalu pertanyaanmu sekarang, bagaimana saya dapat meninggalkannya? Jawabannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberimu taufik: Ketahui bahaya-bahayanya dan yakini itu. Lalu mulailah berpikir untuk meninggalkannya dan bulatkanlah tekad disertai dengan tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tulislah setiap hari daftar keburukan-keburukan rokok terhadap dirimu, teman-temanmu, anak-anakmu, dan para tetanggamu. Menghindarlah sebisa mungkin dari para perokok dan bau rokok. Berusahalah untuk senantiasa berada di lingkungan yang berudara segar dan sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika kamu telah mengetahui bahaya-bahaya rokok dan meyakini keharamannya, maka hendaklah kamu menjalankan hal-hal berikut: Membenci rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meninggalkan rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menghindari interaksi dengan perokok. Gunakanlah siwak atau permen karet ketika merasa ingin merokok. Namun, menggunakan siwak lebih baik daripada yang lain. Kurangilah konsumsi kopi dan teh! Perbanyaklah memakan buah-buahan dan makanan sehat yang tidak menggunakan rempah. Minumlah setiap hari setelah sarapan satu gelas jus lemon, anggur, atau jeruk, karena itu akan mengurangi dorongan kuat untuk merokok. Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia akan memberi ganti baginya sesuatu yang lebih baik, baik itu dalam waktu cepat maupun lambat. ملاحظات: 1- التدخين عادة، والعادة تتغيَّر كما هو معروف. 2- ترْك التدخين ليس مستحيلاً، بل هو من أبسط الأشياء، فما عليك إلا اتِّباع طريقةٍ ناجحة ومجرَّبة، ولا تتركه ثم تعود إليه، ولا تخَفْ من شيء أبدًا إذا عزمتَ على تركه. 3- استنبَطَ علماءُ الشريعة الإسلامية، وفقهاء الأمة حُرمةَ التدخين، واتَّفقوا على ذلك؛ لأنَّه – كما رأيتَ – مُضرٌّ بالصحة، مُنفِّق للمال، مفتِّر للأعصاب، ذو رائحة كريهة. 4- قبل أن تشتريَ الدخان وتشربه، فكِّرْ: هل هو حرام أو حلال؟ وهل هو نافع أو ضار؟ وهل هو طيِّب أو خبيث؟ فسوف تجده حرامًا ضارًّا خبيثًا. 5- إذا ثبت أنَّ الدخان محرَّم، فيحرم بيعُه وشراؤه، وثمنه؛ لأنَّ الله إذا حرَّم شيئًا، حرَّم ثمنَه. وفَّقَ الله الجميع لترْكه، وترْك كلِّ محرَّم. Catatan: Merokok merupakan kebiasaan, dan setiap kebiasaan dapat diubah, sebagaimana yang kita ketahui bersama. Berhenti merokok bukan hal yang mustahil. Justru itu adalah hal paling mudah. Kamu tidak lain hanya perlu mengikuti langkah-langkah yang telah teruji. Jangan Cuma berhenti merokok sejenak lalu kembali kambuh. Jangan takut terhadap apa pun jika kamu telah bertekad untuk meninggalkannya. Para ulama syariat Islam dan ahli fiqih telah menyimpulkan dan menyepakati keharaman rokok, karena rokok – sebagaimana yang kamu ketahui – berbahaya bagi badan, menghabiskan harta, melemahkan saraf, dan memiliki aroma tidak sedap. Sebelum kamu membeli dan mengonsumsi rokok, pikirkanlah terlebih dahulu, apakah itu haram atau halal? Apakah itu bermanfaat atau berbahaya? Apakah itu baik atau buruk? Niscaya kamu akan simpulkan bahwa rokok itu haram, berbahaya, dan buruk. Jika telah ditegaskan bahwa rokok itu haram, maka diharamkan pula jual belinya dan uang pembayarannya, karena jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka juga mengharamkan uang yang dibayarkan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada semua perokok untuk berhenti merokok dan meninggalkan segala perkara haram. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/177168/كيف-تترك-التدخين؟/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 29 times, 3 visit(s) today Post Views: 23 QRIS donasi Yufid

Bagaimana Cara Berhenti Merokok?

كيف تترك التدخين؟ Oleh: Hamd bin Bakr Al-‘Ilyan حمد بن بكر العليان أخي الشاب، التدخين إحْدى وسائل الاعتداء على جسدِك باتِّفاق الأطبَّاء، وهو مِن العادات التي انتشرتْ في المجتمع رغمَ ضررها البالِغ عليه، والسيجارة التي يتناولها المدخنون تُصنَع من نبات يُقال له: (التبغ)، وهو مادة مُرَّة الطَّعْم مخدِّرة، تحتوي على مواد سامة، وقد قُدِّمت لبعض الكلاب والقِطَط، فعافتها واستَقْذَرَتْها، والدخان الذي يتطايَر من السيجارة به أنواع من السُّموم الفتَّاكة، تؤثِّر في جِسْم المدخن، كلها توجد في الدُّخَان الذي تتناوله، فبعضها يسبب تخريشًا في الجلد، والآخر يسبِّب البُصاق، والسُّعال، وظهور اللَّوْن الأصفر عند المدخن، وقد أُجريت تَجارِبُ للتخلص من هذه السموم، ولكنَّها باءتْ بالفشل، والآن نذكر أضرار التدخين: Wahai saudaraku, generasi muda! Merokok merupakan salah satu cara merusak tubuhmu yang disepakati seluruh dokter. Merokok adalah salah satu kebiasaan yang banyak tersebar di masyarakat meskipun mengandung banyak bahaya. Rokok yang dikonsumsi oleh perokok berasal dari tanaman yang bernama tembakau, yang merupakan bahan yang pahit dan membuat candu, mengandung banyak senyawa beracun. Bahkan anjing dan kucing pun enggan memakannya ketika dihidangkan kepadanya karena merasa jijik terhadapnya.  Asap yang keluar dari rokok mengandung banyak racun mematikan yang dapat berpengaruh negatif terhadap tubuh perokok. Semuanya terdapat dalam rokok yang kamu konsumsi. Sebagiannya dapat menyebabkan kulit menjadi kasar, dan senyawa lain dapat meningkatkan produksi ludah, menyebabkan batuk, dan menimbulkan warna kuning pada tubuh perokok. Terdapat banyak penelitian untuk menghilangkan racun-racun tersebut, tapi belum ada yang membuahkan hasil yang positif. Sekarang mari kita bahas beberapa bahaya merokok: أولاً: أضرار التدخين الصِّحيَّة: في الحقيقة أنَّ التدخين يُعتبر أَلَدَّ أعداء الصِّحة، وسنذكر بعضَ الأضرار التي يُسَبِّبها التدخينُ على صِحَّة الإنسان، تاركين الكيفيَّة، والحالات الشاذَّة: 1- السموم التي ذكرْناها تفتك بالأغشية الرقيقة، الملتَفَّة حولَ الأوتار الصوتية، فيُسبِّب ذلك البحَّةَ عند المدخن. 2- يسبِّب التدخين ضِيقًا في التنفُّس؛ بسبب خراب الأكياس الهوائية في الرِّئتين، ويُسَبِّب آلام الحلْق. 3- يُضعِف حاسَّةَ الشم والذوق، والنظر والقدرة على تمييز الألوان. 4- يَزيد من عدد نبضات القلْب، فينتج عن ذلك السكْتةُ القلبية. 5- تتكدَّس السُّموم في الكبد، فيشعر المدخِّن بالتعَب والإرهاق لأيِّ مجهود؛ لأنَّ الكبد لا يستطيع حجزَ السموم بهذه الكثرة. 6- ارتفاع في ضغْط الدم، وتَصَلُّب الشرايين، الذي يؤدِّي إلى موت الفَجْأَة. 7- أثبت أحدُ الأطبَّاء أنَّ التدخين هو سببٌ مباشر لسرطان الرِّئة، وذلك بأن أحضر عددًا من الفئران، ووَضَع على جلدها محلولَ دخان السيجارة، فظهر بعد خمسة عشر يومًا ورمُ سرطان، وكذلك سرطان الرِّئة يندر بيْن غير المدخنين، وقد مات بهذا المرض في عام 1963م في بريطانيا 25 ألف شخص، وفي أمريكا 41 ألف شخص. 8- كثره السُّعال عند المدخنين، والتدخين يسبِّب كذلك توقفًا في نموِّ الجسم. 9- التدخين مُفَتِّرٌ للأعصاب والمخ؛ لأنَّه يُحدِث انتعاشًا وقتيًّا فيها، فيظن المدخن أنَّه يشعر بالراحة عندَ التدخين. 10- المدخِّن لا يستطيع القيامَ بأيِّ نشاط رياضي، وإنْ قام به فهو مهْزُوز. Pertama: Bahaya rokok dari sisi kesehatan badan Sebenarnya rokok termasuk musuh kesehatan yang paling bandel. Kami akan sebutkan beberapa bahaya yang ditimbulkan rokok terhadap kesehatan manusia secara umum – dengan mengabaikan faktor gaya merokok dan kasus-kasus pengecualian tertentu –:  Racun-racun yang telah kami sebutkan itu dapat membahayakan selaput tipis yang menyelimuti pita suara, sehingga menimbulkan suara serak pada perokok. Rokok menyebabkan sesak nafas karena kerusakan kantong udara di paru-paru, dan menimbulkan sakit tenggorokan. Menurunkan sensitivitas indra penciuman, perasa, dan penglihatan, serta kemampuan membedakan warna. Meningkatkan detak jantung, sehingga dapat menyebabkan serangan jantung. Racun-racun itu akan menumpuk dalam hati, sehingga perokok akan merasa letih dan lelah meski karena kerja ringan, karena hati tidak mampu menyaring racun dalam jumlah sebanyak itu. Meningkatkan tekanan darah dan mengeraskan pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Seorang dokter membuktikan bahwa merokok merupakan sebab langsung dari kanker paru-paru. Dokter itu melakukan percobaan pada sejumlah tikus dan meletakkan di kulitnya larutan asap rokok. Setelah 15 hari, timbul benjolan kanker pada tikus-tikus tersebut. Kanker paru-paru juga jarang terjadi pada selain perokok. Jumlah kematian akibat penyakit ini pada tahun 1963 di Inggris sebanyak 25 ribu jiwa, sedangkan di Amerika 41 ribu jiwa. Sering batuk dialami oleh para perokok. Rokok juga dapat menghentikan pertumbuhan badan. Rokok dapat memperberat kerja saraf dan otak, karena rokok dapat memberi rangsangan temporer, sehingga perokok akan merasakan ketenangan sementara ketika merokok. Perokok tidak dapat melakukan olahraga dengan baik. Saat berolahraga, ia akan cepat lelah. ثانيًا: أضرار التدخين النفسيَّة: 1- هبوط مستوى الذَّكاء. 2- حب التَّسَلُّط عند المدخن. 3- المزاج العصبي، والقلق، والشرُود. 4- ملامِح شخصية المُدَخِّن غير متميزة، بل متذبذبة (إمَّعة). Kedua: Bahaya rokok dari sisi mental Menurunkan tingkat kecerdasan. Suka bersikap sewenang-wenang. Mudah marah, gelisah, dan galau. Air muka perokok tidak bagus, dan sering ragu. ثالثًا: أضرار اجتماعيَّة واقتصاديَّة: 1- وُجِدَ أنَّ ما يصرفه 60 مليون مدخن في أمريكا، يساوي 4 مليارات دولار في العام… (فكِّر). 2- يسبِّب معظمَ الحرائق بسبب تحرُّك بقايا السجائر. 3- أنَّ إنفاق المال فيه إسرافٌ وتبذير في معصية الله. 4- كون رائحتِه تؤذي الناسَ الذين لا يستعملونه وتضايقهم. Ketiga: Bahaya rokok dari sisi ekonomi dan sosial Diketahui bahwa uang yang dibelanjakan 60 juta perokok di Amerika mencapai 4 miliar dolar dalam satu tahun. Menjadi penyebab mayoritas kebakaran karena sulutan api dari puntung rokok. Membeli rokok merupakan bentuk pemborosan dan pembelanjaan harta dalam kemaksiatan. Bau rokok mengganggu orang lain yang tidak merokok. كيف تترك التدخين: وبعد أن اقتنعتَ بأضرار التدخين على نفسِك ومجتمعك، أرجو أن تعزمَ على ترْكه، والابتعاد عنه، وسؤالك الآن: كيف أتركه؟ والجواب: اتَّبع الخُطواتِ التالية، والله يوفقك: 1- تعرَّفْ على أضراره، واقتنعْ بها، وابدأ بالتفكير في ترْكه، وشُدَّ العزم على ذلك، مع التوكُّل على الله. 2- اعملْ قائمة يوميَّة بمساوئه على نفسك، وعلى أصدقائك، وأولادك وجيرانك. 3- ابتعِد قدْرَ الإمكان عن المدخنين ورائحة التدخين، وحاوِل البقاءَ في الهواء الطَّلْق، واشتغلْ بالأمور النافعة. 4- إذا أدركت – أيها المسلم – مضارَّ الدخان، وتحققتَ حُرمته، فعليك بما يلي: كراهته لله، ترْكه لله، اجتنب مجالسة مَن يدخنه. 5- استعمِل سواكًا أو علكًا إذا وجدتَ في نفسك حنينًا إلى التدخين، والسِّواك أنفعُ من غيره. 6- قلِّل من شُرْب القهْوة والشاي، وأَكْثِرْ من تناول الفاكهة، والغذاء الجيِّد الخالي من التوابل. 7- تناول يوميًّا بعدَ الإفطار كأسًا من عصير الليمون، أو العِنَب، أو البرتقال؛ لأنَّه يُخَفِّف من شدَّة الرغبة في التدخين. 8- واعلم أنَّ مَن ترك شيئًا لله، عوَّضه الله خيرًا منه، عاجِلاً وآجلاً. Bagaimana cara berhenti merokok? Setelah kamu menerima realitas tentang bahaya-bahaya rokok terhadap diri dan masyarakatmu, saya berharap kamu dapat bertekad untuk berhenti merokok dan menjauhinya. Lalu pertanyaanmu sekarang, bagaimana saya dapat meninggalkannya? Jawabannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberimu taufik: Ketahui bahaya-bahayanya dan yakini itu. Lalu mulailah berpikir untuk meninggalkannya dan bulatkanlah tekad disertai dengan tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tulislah setiap hari daftar keburukan-keburukan rokok terhadap dirimu, teman-temanmu, anak-anakmu, dan para tetanggamu. Menghindarlah sebisa mungkin dari para perokok dan bau rokok. Berusahalah untuk senantiasa berada di lingkungan yang berudara segar dan sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika kamu telah mengetahui bahaya-bahaya rokok dan meyakini keharamannya, maka hendaklah kamu menjalankan hal-hal berikut: Membenci rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meninggalkan rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menghindari interaksi dengan perokok. Gunakanlah siwak atau permen karet ketika merasa ingin merokok. Namun, menggunakan siwak lebih baik daripada yang lain. Kurangilah konsumsi kopi dan teh! Perbanyaklah memakan buah-buahan dan makanan sehat yang tidak menggunakan rempah. Minumlah setiap hari setelah sarapan satu gelas jus lemon, anggur, atau jeruk, karena itu akan mengurangi dorongan kuat untuk merokok. Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia akan memberi ganti baginya sesuatu yang lebih baik, baik itu dalam waktu cepat maupun lambat. ملاحظات: 1- التدخين عادة، والعادة تتغيَّر كما هو معروف. 2- ترْك التدخين ليس مستحيلاً، بل هو من أبسط الأشياء، فما عليك إلا اتِّباع طريقةٍ ناجحة ومجرَّبة، ولا تتركه ثم تعود إليه، ولا تخَفْ من شيء أبدًا إذا عزمتَ على تركه. 3- استنبَطَ علماءُ الشريعة الإسلامية، وفقهاء الأمة حُرمةَ التدخين، واتَّفقوا على ذلك؛ لأنَّه – كما رأيتَ – مُضرٌّ بالصحة، مُنفِّق للمال، مفتِّر للأعصاب، ذو رائحة كريهة. 4- قبل أن تشتريَ الدخان وتشربه، فكِّرْ: هل هو حرام أو حلال؟ وهل هو نافع أو ضار؟ وهل هو طيِّب أو خبيث؟ فسوف تجده حرامًا ضارًّا خبيثًا. 5- إذا ثبت أنَّ الدخان محرَّم، فيحرم بيعُه وشراؤه، وثمنه؛ لأنَّ الله إذا حرَّم شيئًا، حرَّم ثمنَه. وفَّقَ الله الجميع لترْكه، وترْك كلِّ محرَّم. Catatan: Merokok merupakan kebiasaan, dan setiap kebiasaan dapat diubah, sebagaimana yang kita ketahui bersama. Berhenti merokok bukan hal yang mustahil. Justru itu adalah hal paling mudah. Kamu tidak lain hanya perlu mengikuti langkah-langkah yang telah teruji. Jangan Cuma berhenti merokok sejenak lalu kembali kambuh. Jangan takut terhadap apa pun jika kamu telah bertekad untuk meninggalkannya. Para ulama syariat Islam dan ahli fiqih telah menyimpulkan dan menyepakati keharaman rokok, karena rokok – sebagaimana yang kamu ketahui – berbahaya bagi badan, menghabiskan harta, melemahkan saraf, dan memiliki aroma tidak sedap. Sebelum kamu membeli dan mengonsumsi rokok, pikirkanlah terlebih dahulu, apakah itu haram atau halal? Apakah itu bermanfaat atau berbahaya? Apakah itu baik atau buruk? Niscaya kamu akan simpulkan bahwa rokok itu haram, berbahaya, dan buruk. Jika telah ditegaskan bahwa rokok itu haram, maka diharamkan pula jual belinya dan uang pembayarannya, karena jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka juga mengharamkan uang yang dibayarkan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada semua perokok untuk berhenti merokok dan meninggalkan segala perkara haram. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/177168/كيف-تترك-التدخين؟/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 29 times, 3 visit(s) today Post Views: 23 QRIS donasi Yufid
كيف تترك التدخين؟ Oleh: Hamd bin Bakr Al-‘Ilyan حمد بن بكر العليان أخي الشاب، التدخين إحْدى وسائل الاعتداء على جسدِك باتِّفاق الأطبَّاء، وهو مِن العادات التي انتشرتْ في المجتمع رغمَ ضررها البالِغ عليه، والسيجارة التي يتناولها المدخنون تُصنَع من نبات يُقال له: (التبغ)، وهو مادة مُرَّة الطَّعْم مخدِّرة، تحتوي على مواد سامة، وقد قُدِّمت لبعض الكلاب والقِطَط، فعافتها واستَقْذَرَتْها، والدخان الذي يتطايَر من السيجارة به أنواع من السُّموم الفتَّاكة، تؤثِّر في جِسْم المدخن، كلها توجد في الدُّخَان الذي تتناوله، فبعضها يسبب تخريشًا في الجلد، والآخر يسبِّب البُصاق، والسُّعال، وظهور اللَّوْن الأصفر عند المدخن، وقد أُجريت تَجارِبُ للتخلص من هذه السموم، ولكنَّها باءتْ بالفشل، والآن نذكر أضرار التدخين: Wahai saudaraku, generasi muda! Merokok merupakan salah satu cara merusak tubuhmu yang disepakati seluruh dokter. Merokok adalah salah satu kebiasaan yang banyak tersebar di masyarakat meskipun mengandung banyak bahaya. Rokok yang dikonsumsi oleh perokok berasal dari tanaman yang bernama tembakau, yang merupakan bahan yang pahit dan membuat candu, mengandung banyak senyawa beracun. Bahkan anjing dan kucing pun enggan memakannya ketika dihidangkan kepadanya karena merasa jijik terhadapnya.  Asap yang keluar dari rokok mengandung banyak racun mematikan yang dapat berpengaruh negatif terhadap tubuh perokok. Semuanya terdapat dalam rokok yang kamu konsumsi. Sebagiannya dapat menyebabkan kulit menjadi kasar, dan senyawa lain dapat meningkatkan produksi ludah, menyebabkan batuk, dan menimbulkan warna kuning pada tubuh perokok. Terdapat banyak penelitian untuk menghilangkan racun-racun tersebut, tapi belum ada yang membuahkan hasil yang positif. Sekarang mari kita bahas beberapa bahaya merokok: أولاً: أضرار التدخين الصِّحيَّة: في الحقيقة أنَّ التدخين يُعتبر أَلَدَّ أعداء الصِّحة، وسنذكر بعضَ الأضرار التي يُسَبِّبها التدخينُ على صِحَّة الإنسان، تاركين الكيفيَّة، والحالات الشاذَّة: 1- السموم التي ذكرْناها تفتك بالأغشية الرقيقة، الملتَفَّة حولَ الأوتار الصوتية، فيُسبِّب ذلك البحَّةَ عند المدخن. 2- يسبِّب التدخين ضِيقًا في التنفُّس؛ بسبب خراب الأكياس الهوائية في الرِّئتين، ويُسَبِّب آلام الحلْق. 3- يُضعِف حاسَّةَ الشم والذوق، والنظر والقدرة على تمييز الألوان. 4- يَزيد من عدد نبضات القلْب، فينتج عن ذلك السكْتةُ القلبية. 5- تتكدَّس السُّموم في الكبد، فيشعر المدخِّن بالتعَب والإرهاق لأيِّ مجهود؛ لأنَّ الكبد لا يستطيع حجزَ السموم بهذه الكثرة. 6- ارتفاع في ضغْط الدم، وتَصَلُّب الشرايين، الذي يؤدِّي إلى موت الفَجْأَة. 7- أثبت أحدُ الأطبَّاء أنَّ التدخين هو سببٌ مباشر لسرطان الرِّئة، وذلك بأن أحضر عددًا من الفئران، ووَضَع على جلدها محلولَ دخان السيجارة، فظهر بعد خمسة عشر يومًا ورمُ سرطان، وكذلك سرطان الرِّئة يندر بيْن غير المدخنين، وقد مات بهذا المرض في عام 1963م في بريطانيا 25 ألف شخص، وفي أمريكا 41 ألف شخص. 8- كثره السُّعال عند المدخنين، والتدخين يسبِّب كذلك توقفًا في نموِّ الجسم. 9- التدخين مُفَتِّرٌ للأعصاب والمخ؛ لأنَّه يُحدِث انتعاشًا وقتيًّا فيها، فيظن المدخن أنَّه يشعر بالراحة عندَ التدخين. 10- المدخِّن لا يستطيع القيامَ بأيِّ نشاط رياضي، وإنْ قام به فهو مهْزُوز. Pertama: Bahaya rokok dari sisi kesehatan badan Sebenarnya rokok termasuk musuh kesehatan yang paling bandel. Kami akan sebutkan beberapa bahaya yang ditimbulkan rokok terhadap kesehatan manusia secara umum – dengan mengabaikan faktor gaya merokok dan kasus-kasus pengecualian tertentu –:  Racun-racun yang telah kami sebutkan itu dapat membahayakan selaput tipis yang menyelimuti pita suara, sehingga menimbulkan suara serak pada perokok. Rokok menyebabkan sesak nafas karena kerusakan kantong udara di paru-paru, dan menimbulkan sakit tenggorokan. Menurunkan sensitivitas indra penciuman, perasa, dan penglihatan, serta kemampuan membedakan warna. Meningkatkan detak jantung, sehingga dapat menyebabkan serangan jantung. Racun-racun itu akan menumpuk dalam hati, sehingga perokok akan merasa letih dan lelah meski karena kerja ringan, karena hati tidak mampu menyaring racun dalam jumlah sebanyak itu. Meningkatkan tekanan darah dan mengeraskan pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Seorang dokter membuktikan bahwa merokok merupakan sebab langsung dari kanker paru-paru. Dokter itu melakukan percobaan pada sejumlah tikus dan meletakkan di kulitnya larutan asap rokok. Setelah 15 hari, timbul benjolan kanker pada tikus-tikus tersebut. Kanker paru-paru juga jarang terjadi pada selain perokok. Jumlah kematian akibat penyakit ini pada tahun 1963 di Inggris sebanyak 25 ribu jiwa, sedangkan di Amerika 41 ribu jiwa. Sering batuk dialami oleh para perokok. Rokok juga dapat menghentikan pertumbuhan badan. Rokok dapat memperberat kerja saraf dan otak, karena rokok dapat memberi rangsangan temporer, sehingga perokok akan merasakan ketenangan sementara ketika merokok. Perokok tidak dapat melakukan olahraga dengan baik. Saat berolahraga, ia akan cepat lelah. ثانيًا: أضرار التدخين النفسيَّة: 1- هبوط مستوى الذَّكاء. 2- حب التَّسَلُّط عند المدخن. 3- المزاج العصبي، والقلق، والشرُود. 4- ملامِح شخصية المُدَخِّن غير متميزة، بل متذبذبة (إمَّعة). Kedua: Bahaya rokok dari sisi mental Menurunkan tingkat kecerdasan. Suka bersikap sewenang-wenang. Mudah marah, gelisah, dan galau. Air muka perokok tidak bagus, dan sering ragu. ثالثًا: أضرار اجتماعيَّة واقتصاديَّة: 1- وُجِدَ أنَّ ما يصرفه 60 مليون مدخن في أمريكا، يساوي 4 مليارات دولار في العام… (فكِّر). 2- يسبِّب معظمَ الحرائق بسبب تحرُّك بقايا السجائر. 3- أنَّ إنفاق المال فيه إسرافٌ وتبذير في معصية الله. 4- كون رائحتِه تؤذي الناسَ الذين لا يستعملونه وتضايقهم. Ketiga: Bahaya rokok dari sisi ekonomi dan sosial Diketahui bahwa uang yang dibelanjakan 60 juta perokok di Amerika mencapai 4 miliar dolar dalam satu tahun. Menjadi penyebab mayoritas kebakaran karena sulutan api dari puntung rokok. Membeli rokok merupakan bentuk pemborosan dan pembelanjaan harta dalam kemaksiatan. Bau rokok mengganggu orang lain yang tidak merokok. كيف تترك التدخين: وبعد أن اقتنعتَ بأضرار التدخين على نفسِك ومجتمعك، أرجو أن تعزمَ على ترْكه، والابتعاد عنه، وسؤالك الآن: كيف أتركه؟ والجواب: اتَّبع الخُطواتِ التالية، والله يوفقك: 1- تعرَّفْ على أضراره، واقتنعْ بها، وابدأ بالتفكير في ترْكه، وشُدَّ العزم على ذلك، مع التوكُّل على الله. 2- اعملْ قائمة يوميَّة بمساوئه على نفسك، وعلى أصدقائك، وأولادك وجيرانك. 3- ابتعِد قدْرَ الإمكان عن المدخنين ورائحة التدخين، وحاوِل البقاءَ في الهواء الطَّلْق، واشتغلْ بالأمور النافعة. 4- إذا أدركت – أيها المسلم – مضارَّ الدخان، وتحققتَ حُرمته، فعليك بما يلي: كراهته لله، ترْكه لله، اجتنب مجالسة مَن يدخنه. 5- استعمِل سواكًا أو علكًا إذا وجدتَ في نفسك حنينًا إلى التدخين، والسِّواك أنفعُ من غيره. 6- قلِّل من شُرْب القهْوة والشاي، وأَكْثِرْ من تناول الفاكهة، والغذاء الجيِّد الخالي من التوابل. 7- تناول يوميًّا بعدَ الإفطار كأسًا من عصير الليمون، أو العِنَب، أو البرتقال؛ لأنَّه يُخَفِّف من شدَّة الرغبة في التدخين. 8- واعلم أنَّ مَن ترك شيئًا لله، عوَّضه الله خيرًا منه، عاجِلاً وآجلاً. Bagaimana cara berhenti merokok? Setelah kamu menerima realitas tentang bahaya-bahaya rokok terhadap diri dan masyarakatmu, saya berharap kamu dapat bertekad untuk berhenti merokok dan menjauhinya. Lalu pertanyaanmu sekarang, bagaimana saya dapat meninggalkannya? Jawabannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberimu taufik: Ketahui bahaya-bahayanya dan yakini itu. Lalu mulailah berpikir untuk meninggalkannya dan bulatkanlah tekad disertai dengan tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tulislah setiap hari daftar keburukan-keburukan rokok terhadap dirimu, teman-temanmu, anak-anakmu, dan para tetanggamu. Menghindarlah sebisa mungkin dari para perokok dan bau rokok. Berusahalah untuk senantiasa berada di lingkungan yang berudara segar dan sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika kamu telah mengetahui bahaya-bahaya rokok dan meyakini keharamannya, maka hendaklah kamu menjalankan hal-hal berikut: Membenci rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meninggalkan rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menghindari interaksi dengan perokok. Gunakanlah siwak atau permen karet ketika merasa ingin merokok. Namun, menggunakan siwak lebih baik daripada yang lain. Kurangilah konsumsi kopi dan teh! Perbanyaklah memakan buah-buahan dan makanan sehat yang tidak menggunakan rempah. Minumlah setiap hari setelah sarapan satu gelas jus lemon, anggur, atau jeruk, karena itu akan mengurangi dorongan kuat untuk merokok. Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia akan memberi ganti baginya sesuatu yang lebih baik, baik itu dalam waktu cepat maupun lambat. ملاحظات: 1- التدخين عادة، والعادة تتغيَّر كما هو معروف. 2- ترْك التدخين ليس مستحيلاً، بل هو من أبسط الأشياء، فما عليك إلا اتِّباع طريقةٍ ناجحة ومجرَّبة، ولا تتركه ثم تعود إليه، ولا تخَفْ من شيء أبدًا إذا عزمتَ على تركه. 3- استنبَطَ علماءُ الشريعة الإسلامية، وفقهاء الأمة حُرمةَ التدخين، واتَّفقوا على ذلك؛ لأنَّه – كما رأيتَ – مُضرٌّ بالصحة، مُنفِّق للمال، مفتِّر للأعصاب، ذو رائحة كريهة. 4- قبل أن تشتريَ الدخان وتشربه، فكِّرْ: هل هو حرام أو حلال؟ وهل هو نافع أو ضار؟ وهل هو طيِّب أو خبيث؟ فسوف تجده حرامًا ضارًّا خبيثًا. 5- إذا ثبت أنَّ الدخان محرَّم، فيحرم بيعُه وشراؤه، وثمنه؛ لأنَّ الله إذا حرَّم شيئًا، حرَّم ثمنَه. وفَّقَ الله الجميع لترْكه، وترْك كلِّ محرَّم. Catatan: Merokok merupakan kebiasaan, dan setiap kebiasaan dapat diubah, sebagaimana yang kita ketahui bersama. Berhenti merokok bukan hal yang mustahil. Justru itu adalah hal paling mudah. Kamu tidak lain hanya perlu mengikuti langkah-langkah yang telah teruji. Jangan Cuma berhenti merokok sejenak lalu kembali kambuh. Jangan takut terhadap apa pun jika kamu telah bertekad untuk meninggalkannya. Para ulama syariat Islam dan ahli fiqih telah menyimpulkan dan menyepakati keharaman rokok, karena rokok – sebagaimana yang kamu ketahui – berbahaya bagi badan, menghabiskan harta, melemahkan saraf, dan memiliki aroma tidak sedap. Sebelum kamu membeli dan mengonsumsi rokok, pikirkanlah terlebih dahulu, apakah itu haram atau halal? Apakah itu bermanfaat atau berbahaya? Apakah itu baik atau buruk? Niscaya kamu akan simpulkan bahwa rokok itu haram, berbahaya, dan buruk. Jika telah ditegaskan bahwa rokok itu haram, maka diharamkan pula jual belinya dan uang pembayarannya, karena jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka juga mengharamkan uang yang dibayarkan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada semua perokok untuk berhenti merokok dan meninggalkan segala perkara haram. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/177168/كيف-تترك-التدخين؟/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 29 times, 3 visit(s) today Post Views: 23 QRIS donasi Yufid


كيف تترك التدخين؟ Oleh: Hamd bin Bakr Al-‘Ilyan حمد بن بكر العليان أخي الشاب، التدخين إحْدى وسائل الاعتداء على جسدِك باتِّفاق الأطبَّاء، وهو مِن العادات التي انتشرتْ في المجتمع رغمَ ضررها البالِغ عليه، والسيجارة التي يتناولها المدخنون تُصنَع من نبات يُقال له: (التبغ)، وهو مادة مُرَّة الطَّعْم مخدِّرة، تحتوي على مواد سامة، وقد قُدِّمت لبعض الكلاب والقِطَط، فعافتها واستَقْذَرَتْها، والدخان الذي يتطايَر من السيجارة به أنواع من السُّموم الفتَّاكة، تؤثِّر في جِسْم المدخن، كلها توجد في الدُّخَان الذي تتناوله، فبعضها يسبب تخريشًا في الجلد، والآخر يسبِّب البُصاق، والسُّعال، وظهور اللَّوْن الأصفر عند المدخن، وقد أُجريت تَجارِبُ للتخلص من هذه السموم، ولكنَّها باءتْ بالفشل، والآن نذكر أضرار التدخين: Wahai saudaraku, generasi muda! Merokok merupakan salah satu cara merusak tubuhmu yang disepakati seluruh dokter. Merokok adalah salah satu kebiasaan yang banyak tersebar di masyarakat meskipun mengandung banyak bahaya. Rokok yang dikonsumsi oleh perokok berasal dari tanaman yang bernama tembakau, yang merupakan bahan yang pahit dan membuat candu, mengandung banyak senyawa beracun. Bahkan anjing dan kucing pun enggan memakannya ketika dihidangkan kepadanya karena merasa jijik terhadapnya.  Asap yang keluar dari rokok mengandung banyak racun mematikan yang dapat berpengaruh negatif terhadap tubuh perokok. Semuanya terdapat dalam rokok yang kamu konsumsi. Sebagiannya dapat menyebabkan kulit menjadi kasar, dan senyawa lain dapat meningkatkan produksi ludah, menyebabkan batuk, dan menimbulkan warna kuning pada tubuh perokok. Terdapat banyak penelitian untuk menghilangkan racun-racun tersebut, tapi belum ada yang membuahkan hasil yang positif. Sekarang mari kita bahas beberapa bahaya merokok: أولاً: أضرار التدخين الصِّحيَّة: في الحقيقة أنَّ التدخين يُعتبر أَلَدَّ أعداء الصِّحة، وسنذكر بعضَ الأضرار التي يُسَبِّبها التدخينُ على صِحَّة الإنسان، تاركين الكيفيَّة، والحالات الشاذَّة: 1- السموم التي ذكرْناها تفتك بالأغشية الرقيقة، الملتَفَّة حولَ الأوتار الصوتية، فيُسبِّب ذلك البحَّةَ عند المدخن. 2- يسبِّب التدخين ضِيقًا في التنفُّس؛ بسبب خراب الأكياس الهوائية في الرِّئتين، ويُسَبِّب آلام الحلْق. 3- يُضعِف حاسَّةَ الشم والذوق، والنظر والقدرة على تمييز الألوان. 4- يَزيد من عدد نبضات القلْب، فينتج عن ذلك السكْتةُ القلبية. 5- تتكدَّس السُّموم في الكبد، فيشعر المدخِّن بالتعَب والإرهاق لأيِّ مجهود؛ لأنَّ الكبد لا يستطيع حجزَ السموم بهذه الكثرة. 6- ارتفاع في ضغْط الدم، وتَصَلُّب الشرايين، الذي يؤدِّي إلى موت الفَجْأَة. 7- أثبت أحدُ الأطبَّاء أنَّ التدخين هو سببٌ مباشر لسرطان الرِّئة، وذلك بأن أحضر عددًا من الفئران، ووَضَع على جلدها محلولَ دخان السيجارة، فظهر بعد خمسة عشر يومًا ورمُ سرطان، وكذلك سرطان الرِّئة يندر بيْن غير المدخنين، وقد مات بهذا المرض في عام 1963م في بريطانيا 25 ألف شخص، وفي أمريكا 41 ألف شخص. 8- كثره السُّعال عند المدخنين، والتدخين يسبِّب كذلك توقفًا في نموِّ الجسم. 9- التدخين مُفَتِّرٌ للأعصاب والمخ؛ لأنَّه يُحدِث انتعاشًا وقتيًّا فيها، فيظن المدخن أنَّه يشعر بالراحة عندَ التدخين. 10- المدخِّن لا يستطيع القيامَ بأيِّ نشاط رياضي، وإنْ قام به فهو مهْزُوز. Pertama: Bahaya rokok dari sisi kesehatan badan Sebenarnya rokok termasuk musuh kesehatan yang paling bandel. Kami akan sebutkan beberapa bahaya yang ditimbulkan rokok terhadap kesehatan manusia secara umum – dengan mengabaikan faktor gaya merokok dan kasus-kasus pengecualian tertentu –:  Racun-racun yang telah kami sebutkan itu dapat membahayakan selaput tipis yang menyelimuti pita suara, sehingga menimbulkan suara serak pada perokok. Rokok menyebabkan sesak nafas karena kerusakan kantong udara di paru-paru, dan menimbulkan sakit tenggorokan. Menurunkan sensitivitas indra penciuman, perasa, dan penglihatan, serta kemampuan membedakan warna. Meningkatkan detak jantung, sehingga dapat menyebabkan serangan jantung. Racun-racun itu akan menumpuk dalam hati, sehingga perokok akan merasa letih dan lelah meski karena kerja ringan, karena hati tidak mampu menyaring racun dalam jumlah sebanyak itu. Meningkatkan tekanan darah dan mengeraskan pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Seorang dokter membuktikan bahwa merokok merupakan sebab langsung dari kanker paru-paru. Dokter itu melakukan percobaan pada sejumlah tikus dan meletakkan di kulitnya larutan asap rokok. Setelah 15 hari, timbul benjolan kanker pada tikus-tikus tersebut. Kanker paru-paru juga jarang terjadi pada selain perokok. Jumlah kematian akibat penyakit ini pada tahun 1963 di Inggris sebanyak 25 ribu jiwa, sedangkan di Amerika 41 ribu jiwa. Sering batuk dialami oleh para perokok. Rokok juga dapat menghentikan pertumbuhan badan. Rokok dapat memperberat kerja saraf dan otak, karena rokok dapat memberi rangsangan temporer, sehingga perokok akan merasakan ketenangan sementara ketika merokok. Perokok tidak dapat melakukan olahraga dengan baik. Saat berolahraga, ia akan cepat lelah. ثانيًا: أضرار التدخين النفسيَّة: 1- هبوط مستوى الذَّكاء. 2- حب التَّسَلُّط عند المدخن. 3- المزاج العصبي، والقلق، والشرُود. 4- ملامِح شخصية المُدَخِّن غير متميزة، بل متذبذبة (إمَّعة). Kedua: Bahaya rokok dari sisi mental Menurunkan tingkat kecerdasan. Suka bersikap sewenang-wenang. Mudah marah, gelisah, dan galau. Air muka perokok tidak bagus, dan sering ragu. ثالثًا: أضرار اجتماعيَّة واقتصاديَّة: 1- وُجِدَ أنَّ ما يصرفه 60 مليون مدخن في أمريكا، يساوي 4 مليارات دولار في العام… (فكِّر). 2- يسبِّب معظمَ الحرائق بسبب تحرُّك بقايا السجائر. 3- أنَّ إنفاق المال فيه إسرافٌ وتبذير في معصية الله. 4- كون رائحتِه تؤذي الناسَ الذين لا يستعملونه وتضايقهم. Ketiga: Bahaya rokok dari sisi ekonomi dan sosial Diketahui bahwa uang yang dibelanjakan 60 juta perokok di Amerika mencapai 4 miliar dolar dalam satu tahun. Menjadi penyebab mayoritas kebakaran karena sulutan api dari puntung rokok. Membeli rokok merupakan bentuk pemborosan dan pembelanjaan harta dalam kemaksiatan. Bau rokok mengganggu orang lain yang tidak merokok. كيف تترك التدخين: وبعد أن اقتنعتَ بأضرار التدخين على نفسِك ومجتمعك، أرجو أن تعزمَ على ترْكه، والابتعاد عنه، وسؤالك الآن: كيف أتركه؟ والجواب: اتَّبع الخُطواتِ التالية، والله يوفقك: 1- تعرَّفْ على أضراره، واقتنعْ بها، وابدأ بالتفكير في ترْكه، وشُدَّ العزم على ذلك، مع التوكُّل على الله. 2- اعملْ قائمة يوميَّة بمساوئه على نفسك، وعلى أصدقائك، وأولادك وجيرانك. 3- ابتعِد قدْرَ الإمكان عن المدخنين ورائحة التدخين، وحاوِل البقاءَ في الهواء الطَّلْق، واشتغلْ بالأمور النافعة. 4- إذا أدركت – أيها المسلم – مضارَّ الدخان، وتحققتَ حُرمته، فعليك بما يلي: كراهته لله، ترْكه لله، اجتنب مجالسة مَن يدخنه. 5- استعمِل سواكًا أو علكًا إذا وجدتَ في نفسك حنينًا إلى التدخين، والسِّواك أنفعُ من غيره. 6- قلِّل من شُرْب القهْوة والشاي، وأَكْثِرْ من تناول الفاكهة، والغذاء الجيِّد الخالي من التوابل. 7- تناول يوميًّا بعدَ الإفطار كأسًا من عصير الليمون، أو العِنَب، أو البرتقال؛ لأنَّه يُخَفِّف من شدَّة الرغبة في التدخين. 8- واعلم أنَّ مَن ترك شيئًا لله، عوَّضه الله خيرًا منه، عاجِلاً وآجلاً. Bagaimana cara berhenti merokok? Setelah kamu menerima realitas tentang bahaya-bahaya rokok terhadap diri dan masyarakatmu, saya berharap kamu dapat bertekad untuk berhenti merokok dan menjauhinya. Lalu pertanyaanmu sekarang, bagaimana saya dapat meninggalkannya? Jawabannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberimu taufik: Ketahui bahaya-bahayanya dan yakini itu. Lalu mulailah berpikir untuk meninggalkannya dan bulatkanlah tekad disertai dengan tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tulislah setiap hari daftar keburukan-keburukan rokok terhadap dirimu, teman-temanmu, anak-anakmu, dan para tetanggamu. Menghindarlah sebisa mungkin dari para perokok dan bau rokok. Berusahalah untuk senantiasa berada di lingkungan yang berudara segar dan sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika kamu telah mengetahui bahaya-bahaya rokok dan meyakini keharamannya, maka hendaklah kamu menjalankan hal-hal berikut: Membenci rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meninggalkan rokok karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menghindari interaksi dengan perokok. Gunakanlah siwak atau permen karet ketika merasa ingin merokok. Namun, menggunakan siwak lebih baik daripada yang lain. Kurangilah konsumsi kopi dan teh! Perbanyaklah memakan buah-buahan dan makanan sehat yang tidak menggunakan rempah. Minumlah setiap hari setelah sarapan satu gelas jus lemon, anggur, atau jeruk, karena itu akan mengurangi dorongan kuat untuk merokok. Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia akan memberi ganti baginya sesuatu yang lebih baik, baik itu dalam waktu cepat maupun lambat. ملاحظات: 1- التدخين عادة، والعادة تتغيَّر كما هو معروف. 2- ترْك التدخين ليس مستحيلاً، بل هو من أبسط الأشياء، فما عليك إلا اتِّباع طريقةٍ ناجحة ومجرَّبة، ولا تتركه ثم تعود إليه، ولا تخَفْ من شيء أبدًا إذا عزمتَ على تركه. 3- استنبَطَ علماءُ الشريعة الإسلامية، وفقهاء الأمة حُرمةَ التدخين، واتَّفقوا على ذلك؛ لأنَّه – كما رأيتَ – مُضرٌّ بالصحة، مُنفِّق للمال، مفتِّر للأعصاب، ذو رائحة كريهة. 4- قبل أن تشتريَ الدخان وتشربه، فكِّرْ: هل هو حرام أو حلال؟ وهل هو نافع أو ضار؟ وهل هو طيِّب أو خبيث؟ فسوف تجده حرامًا ضارًّا خبيثًا. 5- إذا ثبت أنَّ الدخان محرَّم، فيحرم بيعُه وشراؤه، وثمنه؛ لأنَّ الله إذا حرَّم شيئًا، حرَّم ثمنَه. وفَّقَ الله الجميع لترْكه، وترْك كلِّ محرَّم. Catatan: Merokok merupakan kebiasaan, dan setiap kebiasaan dapat diubah, sebagaimana yang kita ketahui bersama. Berhenti merokok bukan hal yang mustahil. Justru itu adalah hal paling mudah. Kamu tidak lain hanya perlu mengikuti langkah-langkah yang telah teruji. Jangan Cuma berhenti merokok sejenak lalu kembali kambuh. Jangan takut terhadap apa pun jika kamu telah bertekad untuk meninggalkannya. Para ulama syariat Islam dan ahli fiqih telah menyimpulkan dan menyepakati keharaman rokok, karena rokok – sebagaimana yang kamu ketahui – berbahaya bagi badan, menghabiskan harta, melemahkan saraf, dan memiliki aroma tidak sedap. Sebelum kamu membeli dan mengonsumsi rokok, pikirkanlah terlebih dahulu, apakah itu haram atau halal? Apakah itu bermanfaat atau berbahaya? Apakah itu baik atau buruk? Niscaya kamu akan simpulkan bahwa rokok itu haram, berbahaya, dan buruk. Jika telah ditegaskan bahwa rokok itu haram, maka diharamkan pula jual belinya dan uang pembayarannya, karena jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka juga mengharamkan uang yang dibayarkan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada semua perokok untuk berhenti merokok dan meninggalkan segala perkara haram. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/1001/177168/كيف-تترك-التدخين؟/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 29 times, 3 visit(s) today Post Views: 23 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Riba (Bag. 2): Hukum Riba dalam Islam

Pada seri sebelumnya, kita telah membahas tentang definisi riba. Mengetahui hukum riba itu sendiri tentunya tidak kalah penting, agar suatu hal yang mungkin masih samar-samar bagi sebagian kaum muslimin akan jelas terlihat antara yang halal dan haram.Manfaatnya, ketika halal, maka dapat (boleh) dikerjakan; dan ketika haram, maka dijauhi. Sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang telah mengetahui hukum riba itu sendiri, namun masih sulit untuk meninggalkannya. “Kalau tidak makan riba, keluarga saya mau makan apa?” “Saya tau riba itu haram, tapi apakah Anda bisa memberi saya makan?” Dan statement-statement yang lainnya.Barangkali hal itu berangkat dari pengetahuan tentang riba yang masih sebatas kulitnya saja, atau hanya desas-desus semata yang terdengar dari sebagian orang yang menyampaikan. Sehingga dengan terpaksa statement tersebut harus keluar.Hukum riba dalam IslamPerlu diketahui bahwa ahli fikih bersepakat bahwa hukum riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni,الرِّبَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: رِبَا الفَضْل وَرِبَا النَّسِيْئَة وَأَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى تَحْرِيْمِهِمَا“Riba ada dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah, dan ahli ilmu (para ulama) telah bersepakat akan keharaman keduanya.”Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah menantang perang kepada seseorang kecuali bagi mereka yang terus-menerus bermuamalah dengan riba setelah datangnya peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُوا۟ فَأۡذَنُوا۟ بِحَرۡبࣲ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَالِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan tentang sebab turunnya ayat di atas. Yaitu, ayat ini turun kepada Bani ‘Amr bin ‘Umair dari Tsaqif dan Bani Al-Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara kedua suku tersebut dahulu terdapat transaksi riba jahiliah. Ketika Islam datang dan mereka masuk Islam, Tsaqif pun menuntut agar dapat mengambil (sisa riba) tersebut dari mereka (Bani Al-Mughirah). (Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Baqarah ayat 278-279)Kemudian mereka pun bermusyawarah, Bani Al-Mughirah berkata, “Kami tidak akan membayar riba di dalam Islam.” Maka ‘Attab bin Asid (wakil gubernur Mekkah) menuliskan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat di atas.Mereka berkata, “Kami semua bertobat kepada Allah, dan kami tinggalkan sisa-sisa dari riba.” Mereka pun meninggalkan seluruhnya.Sehingga ini merupakan ancaman yang begitu keras bagi orang-orang yang terus berkelanjutan dalam riba, tenggelam dalam riba, dan terus menikmatinya setelah datangnya peringatan. Yaitu, tantangan perang dari Allah Ta’ala secara langsung.Bahkan terdapat atsar dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,يُقَالُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِآكِلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلْحَرْبِ. ثُمَّ قَرَأَ: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾“Dikatakan pada hari kiamat kelak kepada orang-orang yang mengharamkan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (dengan Allah).’ Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya’.” (Tafsir Ibnu Katsir)Tidak cukup sampai di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa riba termasuk dari tujuh hal yang membinasakan. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اجتَنِبوا السَّبْعَ المُوبِقاتِ. قيل: يا رَسولَ اللهِ، وما هُنَّ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقَتْلُ النَّفسِ التي حرَّم اللهُ إلَّا بالحَقِّ، وأكْلُ الرِّبا، وأكْلُ مالِ اليَتيمِ، والتوَلِّي يومَ الزَّحفِ، وقَذْفُ المُحْصَناتِ الغافِلاتِ المُؤمِناتِ“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik (suci), yang lalai (dari tuduhan), lagi beriman (dengan tuduhan zina).” (Muttafaqun ‘alaih)Bahkan riba termasuk dari dosa besar yang paling besar. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الربا ثلاثةٌ وسبعونَ بابًا ، وأيسرُها مثلُ أنْ ينكِحَ الرجلُ أمَّهُ ، و إِنَّ أربى الرِّبا عرضُ الرجلِ المسلمِ“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling besar (paling keji) adalah (merusak) kehormatan diri seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Bahkan tidak tanggung-tanggung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan para pemakan riba dan orang-orang yang ikut serta dan membantu dalam transaksi riba dengan doa agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala, لَعَنَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقالَ: هُمْ سَوَاءٌ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, yang menulisnya, dan kedua saksinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka semua sama.” (HR. Muslim)Demikianlah di antara dalil yang menjelaskan tentang haramnya riba dengan sejelas-jelasnya. Disertai dengan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang masih memakan riba, padahal ilmu telah sampai kepadanya.Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dan keluarga kita dari memakan harta yang haram, dan juga semoga Allah menjauhkan kita semua dari riba. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 22 Jumadal Ula 1447/ 12 November 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy dan Tafsir Ibnu Katsir.

Fikih Riba (Bag. 2): Hukum Riba dalam Islam

Pada seri sebelumnya, kita telah membahas tentang definisi riba. Mengetahui hukum riba itu sendiri tentunya tidak kalah penting, agar suatu hal yang mungkin masih samar-samar bagi sebagian kaum muslimin akan jelas terlihat antara yang halal dan haram.Manfaatnya, ketika halal, maka dapat (boleh) dikerjakan; dan ketika haram, maka dijauhi. Sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang telah mengetahui hukum riba itu sendiri, namun masih sulit untuk meninggalkannya. “Kalau tidak makan riba, keluarga saya mau makan apa?” “Saya tau riba itu haram, tapi apakah Anda bisa memberi saya makan?” Dan statement-statement yang lainnya.Barangkali hal itu berangkat dari pengetahuan tentang riba yang masih sebatas kulitnya saja, atau hanya desas-desus semata yang terdengar dari sebagian orang yang menyampaikan. Sehingga dengan terpaksa statement tersebut harus keluar.Hukum riba dalam IslamPerlu diketahui bahwa ahli fikih bersepakat bahwa hukum riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni,الرِّبَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: رِبَا الفَضْل وَرِبَا النَّسِيْئَة وَأَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى تَحْرِيْمِهِمَا“Riba ada dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah, dan ahli ilmu (para ulama) telah bersepakat akan keharaman keduanya.”Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah menantang perang kepada seseorang kecuali bagi mereka yang terus-menerus bermuamalah dengan riba setelah datangnya peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُوا۟ فَأۡذَنُوا۟ بِحَرۡبࣲ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَالِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan tentang sebab turunnya ayat di atas. Yaitu, ayat ini turun kepada Bani ‘Amr bin ‘Umair dari Tsaqif dan Bani Al-Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara kedua suku tersebut dahulu terdapat transaksi riba jahiliah. Ketika Islam datang dan mereka masuk Islam, Tsaqif pun menuntut agar dapat mengambil (sisa riba) tersebut dari mereka (Bani Al-Mughirah). (Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Baqarah ayat 278-279)Kemudian mereka pun bermusyawarah, Bani Al-Mughirah berkata, “Kami tidak akan membayar riba di dalam Islam.” Maka ‘Attab bin Asid (wakil gubernur Mekkah) menuliskan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat di atas.Mereka berkata, “Kami semua bertobat kepada Allah, dan kami tinggalkan sisa-sisa dari riba.” Mereka pun meninggalkan seluruhnya.Sehingga ini merupakan ancaman yang begitu keras bagi orang-orang yang terus berkelanjutan dalam riba, tenggelam dalam riba, dan terus menikmatinya setelah datangnya peringatan. Yaitu, tantangan perang dari Allah Ta’ala secara langsung.Bahkan terdapat atsar dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,يُقَالُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِآكِلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلْحَرْبِ. ثُمَّ قَرَأَ: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾“Dikatakan pada hari kiamat kelak kepada orang-orang yang mengharamkan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (dengan Allah).’ Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya’.” (Tafsir Ibnu Katsir)Tidak cukup sampai di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa riba termasuk dari tujuh hal yang membinasakan. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اجتَنِبوا السَّبْعَ المُوبِقاتِ. قيل: يا رَسولَ اللهِ، وما هُنَّ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقَتْلُ النَّفسِ التي حرَّم اللهُ إلَّا بالحَقِّ، وأكْلُ الرِّبا، وأكْلُ مالِ اليَتيمِ، والتوَلِّي يومَ الزَّحفِ، وقَذْفُ المُحْصَناتِ الغافِلاتِ المُؤمِناتِ“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik (suci), yang lalai (dari tuduhan), lagi beriman (dengan tuduhan zina).” (Muttafaqun ‘alaih)Bahkan riba termasuk dari dosa besar yang paling besar. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الربا ثلاثةٌ وسبعونَ بابًا ، وأيسرُها مثلُ أنْ ينكِحَ الرجلُ أمَّهُ ، و إِنَّ أربى الرِّبا عرضُ الرجلِ المسلمِ“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling besar (paling keji) adalah (merusak) kehormatan diri seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Bahkan tidak tanggung-tanggung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan para pemakan riba dan orang-orang yang ikut serta dan membantu dalam transaksi riba dengan doa agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala, لَعَنَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقالَ: هُمْ سَوَاءٌ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, yang menulisnya, dan kedua saksinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka semua sama.” (HR. Muslim)Demikianlah di antara dalil yang menjelaskan tentang haramnya riba dengan sejelas-jelasnya. Disertai dengan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang masih memakan riba, padahal ilmu telah sampai kepadanya.Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dan keluarga kita dari memakan harta yang haram, dan juga semoga Allah menjauhkan kita semua dari riba. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 22 Jumadal Ula 1447/ 12 November 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy dan Tafsir Ibnu Katsir.
Pada seri sebelumnya, kita telah membahas tentang definisi riba. Mengetahui hukum riba itu sendiri tentunya tidak kalah penting, agar suatu hal yang mungkin masih samar-samar bagi sebagian kaum muslimin akan jelas terlihat antara yang halal dan haram.Manfaatnya, ketika halal, maka dapat (boleh) dikerjakan; dan ketika haram, maka dijauhi. Sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang telah mengetahui hukum riba itu sendiri, namun masih sulit untuk meninggalkannya. “Kalau tidak makan riba, keluarga saya mau makan apa?” “Saya tau riba itu haram, tapi apakah Anda bisa memberi saya makan?” Dan statement-statement yang lainnya.Barangkali hal itu berangkat dari pengetahuan tentang riba yang masih sebatas kulitnya saja, atau hanya desas-desus semata yang terdengar dari sebagian orang yang menyampaikan. Sehingga dengan terpaksa statement tersebut harus keluar.Hukum riba dalam IslamPerlu diketahui bahwa ahli fikih bersepakat bahwa hukum riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni,الرِّبَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: رِبَا الفَضْل وَرِبَا النَّسِيْئَة وَأَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى تَحْرِيْمِهِمَا“Riba ada dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah, dan ahli ilmu (para ulama) telah bersepakat akan keharaman keduanya.”Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah menantang perang kepada seseorang kecuali bagi mereka yang terus-menerus bermuamalah dengan riba setelah datangnya peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُوا۟ فَأۡذَنُوا۟ بِحَرۡبࣲ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَالِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan tentang sebab turunnya ayat di atas. Yaitu, ayat ini turun kepada Bani ‘Amr bin ‘Umair dari Tsaqif dan Bani Al-Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara kedua suku tersebut dahulu terdapat transaksi riba jahiliah. Ketika Islam datang dan mereka masuk Islam, Tsaqif pun menuntut agar dapat mengambil (sisa riba) tersebut dari mereka (Bani Al-Mughirah). (Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Baqarah ayat 278-279)Kemudian mereka pun bermusyawarah, Bani Al-Mughirah berkata, “Kami tidak akan membayar riba di dalam Islam.” Maka ‘Attab bin Asid (wakil gubernur Mekkah) menuliskan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat di atas.Mereka berkata, “Kami semua bertobat kepada Allah, dan kami tinggalkan sisa-sisa dari riba.” Mereka pun meninggalkan seluruhnya.Sehingga ini merupakan ancaman yang begitu keras bagi orang-orang yang terus berkelanjutan dalam riba, tenggelam dalam riba, dan terus menikmatinya setelah datangnya peringatan. Yaitu, tantangan perang dari Allah Ta’ala secara langsung.Bahkan terdapat atsar dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,يُقَالُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِآكِلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلْحَرْبِ. ثُمَّ قَرَأَ: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾“Dikatakan pada hari kiamat kelak kepada orang-orang yang mengharamkan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (dengan Allah).’ Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya’.” (Tafsir Ibnu Katsir)Tidak cukup sampai di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa riba termasuk dari tujuh hal yang membinasakan. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اجتَنِبوا السَّبْعَ المُوبِقاتِ. قيل: يا رَسولَ اللهِ، وما هُنَّ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقَتْلُ النَّفسِ التي حرَّم اللهُ إلَّا بالحَقِّ، وأكْلُ الرِّبا، وأكْلُ مالِ اليَتيمِ، والتوَلِّي يومَ الزَّحفِ، وقَذْفُ المُحْصَناتِ الغافِلاتِ المُؤمِناتِ“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik (suci), yang lalai (dari tuduhan), lagi beriman (dengan tuduhan zina).” (Muttafaqun ‘alaih)Bahkan riba termasuk dari dosa besar yang paling besar. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الربا ثلاثةٌ وسبعونَ بابًا ، وأيسرُها مثلُ أنْ ينكِحَ الرجلُ أمَّهُ ، و إِنَّ أربى الرِّبا عرضُ الرجلِ المسلمِ“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling besar (paling keji) adalah (merusak) kehormatan diri seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Bahkan tidak tanggung-tanggung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan para pemakan riba dan orang-orang yang ikut serta dan membantu dalam transaksi riba dengan doa agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala, لَعَنَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقالَ: هُمْ سَوَاءٌ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, yang menulisnya, dan kedua saksinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka semua sama.” (HR. Muslim)Demikianlah di antara dalil yang menjelaskan tentang haramnya riba dengan sejelas-jelasnya. Disertai dengan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang masih memakan riba, padahal ilmu telah sampai kepadanya.Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dan keluarga kita dari memakan harta yang haram, dan juga semoga Allah menjauhkan kita semua dari riba. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 22 Jumadal Ula 1447/ 12 November 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy dan Tafsir Ibnu Katsir.


Pada seri sebelumnya, kita telah membahas tentang definisi riba. Mengetahui hukum riba itu sendiri tentunya tidak kalah penting, agar suatu hal yang mungkin masih samar-samar bagi sebagian kaum muslimin akan jelas terlihat antara yang halal dan haram.Manfaatnya, ketika halal, maka dapat (boleh) dikerjakan; dan ketika haram, maka dijauhi. Sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang telah mengetahui hukum riba itu sendiri, namun masih sulit untuk meninggalkannya. “Kalau tidak makan riba, keluarga saya mau makan apa?” “Saya tau riba itu haram, tapi apakah Anda bisa memberi saya makan?” Dan statement-statement yang lainnya.Barangkali hal itu berangkat dari pengetahuan tentang riba yang masih sebatas kulitnya saja, atau hanya desas-desus semata yang terdengar dari sebagian orang yang menyampaikan. Sehingga dengan terpaksa statement tersebut harus keluar.Hukum riba dalam IslamPerlu diketahui bahwa ahli fikih bersepakat bahwa hukum riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni,الرِّبَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: رِبَا الفَضْل وَرِبَا النَّسِيْئَة وَأَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى تَحْرِيْمِهِمَا“Riba ada dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah, dan ahli ilmu (para ulama) telah bersepakat akan keharaman keduanya.”Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala, وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah menantang perang kepada seseorang kecuali bagi mereka yang terus-menerus bermuamalah dengan riba setelah datangnya peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُوا۟ فَأۡذَنُوا۟ بِحَرۡبࣲ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَالِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan tentang sebab turunnya ayat di atas. Yaitu, ayat ini turun kepada Bani ‘Amr bin ‘Umair dari Tsaqif dan Bani Al-Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara kedua suku tersebut dahulu terdapat transaksi riba jahiliah. Ketika Islam datang dan mereka masuk Islam, Tsaqif pun menuntut agar dapat mengambil (sisa riba) tersebut dari mereka (Bani Al-Mughirah). (Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Baqarah ayat 278-279)Kemudian mereka pun bermusyawarah, Bani Al-Mughirah berkata, “Kami tidak akan membayar riba di dalam Islam.” Maka ‘Attab bin Asid (wakil gubernur Mekkah) menuliskan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat di atas.Mereka berkata, “Kami semua bertobat kepada Allah, dan kami tinggalkan sisa-sisa dari riba.” Mereka pun meninggalkan seluruhnya.Sehingga ini merupakan ancaman yang begitu keras bagi orang-orang yang terus berkelanjutan dalam riba, tenggelam dalam riba, dan terus menikmatinya setelah datangnya peringatan. Yaitu, tantangan perang dari Allah Ta’ala secara langsung.Bahkan terdapat atsar dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,يُقَالُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِآكِلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلْحَرْبِ. ثُمَّ قَرَأَ: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾“Dikatakan pada hari kiamat kelak kepada orang-orang yang mengharamkan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (dengan Allah).’ Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya’.” (Tafsir Ibnu Katsir)Tidak cukup sampai di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa riba termasuk dari tujuh hal yang membinasakan. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اجتَنِبوا السَّبْعَ المُوبِقاتِ. قيل: يا رَسولَ اللهِ، وما هُنَّ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقَتْلُ النَّفسِ التي حرَّم اللهُ إلَّا بالحَقِّ، وأكْلُ الرِّبا، وأكْلُ مالِ اليَتيمِ، والتوَلِّي يومَ الزَّحفِ، وقَذْفُ المُحْصَناتِ الغافِلاتِ المُؤمِناتِ“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik (suci), yang lalai (dari tuduhan), lagi beriman (dengan tuduhan zina).” (Muttafaqun ‘alaih)Bahkan riba termasuk dari dosa besar yang paling besar. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الربا ثلاثةٌ وسبعونَ بابًا ، وأيسرُها مثلُ أنْ ينكِحَ الرجلُ أمَّهُ ، و إِنَّ أربى الرِّبا عرضُ الرجلِ المسلمِ“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling besar (paling keji) adalah (merusak) kehormatan diri seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)Bahkan tidak tanggung-tanggung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan para pemakan riba dan orang-orang yang ikut serta dan membantu dalam transaksi riba dengan doa agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala, لَعَنَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقالَ: هُمْ سَوَاءٌ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, yang menulisnya, dan kedua saksinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka semua sama.” (HR. Muslim)Demikianlah di antara dalil yang menjelaskan tentang haramnya riba dengan sejelas-jelasnya. Disertai dengan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang masih memakan riba, padahal ilmu telah sampai kepadanya.Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dan keluarga kita dari memakan harta yang haram, dan juga semoga Allah menjauhkan kita semua dari riba. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Depok, 22 Jumadal Ula 1447/ 12 November 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy dan Tafsir Ibnu Katsir.

Rahasia Amalan agar Bisa Bersama Nabi di Surga – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Dalam hadis riwayat Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami, ia dulu menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari, ia datang membawa air wudhu untuk beliau. Lalu Nabi bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Tapi apa yang ia minta? Lihatlah betapa tinggi harapannya, saudara-saudara! Ia bisa saja berkata, “Berilah aku ini dan itu,” dari kenikmatan dunia. Namun ia justru berkata, “Aku minta agar aku bersamamu di surga.” Inilah pembersamaan yang dirindukan dan diusahakan oleh orang-orang yang mendapat taufik, saudara-saudara! Nabi tidak memberinya jawaban khusus untuk dirinya sendiri, karena dalam Islam tidak ada keistimewaan pribadi. Beliau justru memberinya jawaban yang berlaku untuknya dan semua orang. Apa itu? “Bantulah aku mewujudkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Inilah salah satu sebab terbesar untuk dapat membersamai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang baik lagi saleh yang disebutkan dalam ayat ini. Namun, karunia ini semata-mata berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Yang demikian itu adalah karunia dari Allah…” (QS. An-Nisa: 70), Karena karunia ini datang dari Allah, maka ia pasti agung, karena dari Allah, maka ia pasti terjamin, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Katsir. Ayat ini juga mengandung isyarat: “…maka mintalah karunia itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebab, karunia ini murni berasal dari kemurahan dan anugerah-Nya, Subhanahu wa bihamdihi. “…dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 70) Ungkapan ini mengandung makna ketakjuban, seakan-akan bermakna: “Betapa Maha Mengetahui Tuhan kita ‘Azza wa Jalla!” Cukuplah Dia yang mengetahui para hamba-Nya. Siapa yang berhak mendapatkannya? Mengapa, saudara-saudara? Karena karunia itu diberikan oleh Allah kepada orang yang bahkan tidak layak menerimanya. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan mereka, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang, juga orang tua kami, orang tua kalian, dan seluruh umat Muslim. ===== وَفِي حَدِيثِ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ وَكَانَ يَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ بِوَضُوئِهِ فَقَالَ سَلْنِي فَمَاذَا سَأَلَ؟ شُوفُوا الْهِمَمَ يَا إِخْوَانُ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ أَعْطِنِي مِنْ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا مِنْ حُطَامِ الدُّنْيَا فَقَالَ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ هَذِهِ الرِّفْقَةُ الَّتِي يَتَسَامَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ يَا إِخْوَانُ وَيَسْعَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ مَا أَعْطَاهُ الرَّسُولُ جَوَابًا خَاصًّا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ مَا فِيهِ خُصُوصِيَّاتٌ أَعْطَاهُ جَوَابًا لَهُ وَلِغَيْرِهِ مَا هُوَ؟ أَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ رِفْقَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَؤُلَاءِ الْأَخْيَارِ الصَّالِحِينَ فِي هَذِهِ الآيَةِ وَلَكِنَّ الْفَضْلَ فَضْلُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ عَظِيمٌ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ مَضْمُونٌ كَمَا قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ كَثِيْرٍ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنْ اُطْلُبُوا ذَلِكَ الْفَضْلَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ فَضْلٌ مَحْضُ فَضْلِهِ وَمِنَّتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا هَذِهِ الصِّيغَةُ فِيهَا مَعْنَى التَّعَجُّبِ كَأَنَّ مَعْنَاهَا مَا أَعْلَمَ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ كَفَى بِهِ عَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ لِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ الْفَضْلَ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْهُمْ بِفَضْلِكَ وُجُودِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَوَالِدِينَا وَوَالِدَيْكُمْ وَالْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ

Rahasia Amalan agar Bisa Bersama Nabi di Surga – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

Dalam hadis riwayat Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami, ia dulu menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari, ia datang membawa air wudhu untuk beliau. Lalu Nabi bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Tapi apa yang ia minta? Lihatlah betapa tinggi harapannya, saudara-saudara! Ia bisa saja berkata, “Berilah aku ini dan itu,” dari kenikmatan dunia. Namun ia justru berkata, “Aku minta agar aku bersamamu di surga.” Inilah pembersamaan yang dirindukan dan diusahakan oleh orang-orang yang mendapat taufik, saudara-saudara! Nabi tidak memberinya jawaban khusus untuk dirinya sendiri, karena dalam Islam tidak ada keistimewaan pribadi. Beliau justru memberinya jawaban yang berlaku untuknya dan semua orang. Apa itu? “Bantulah aku mewujudkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Inilah salah satu sebab terbesar untuk dapat membersamai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang baik lagi saleh yang disebutkan dalam ayat ini. Namun, karunia ini semata-mata berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Yang demikian itu adalah karunia dari Allah…” (QS. An-Nisa: 70), Karena karunia ini datang dari Allah, maka ia pasti agung, karena dari Allah, maka ia pasti terjamin, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Katsir. Ayat ini juga mengandung isyarat: “…maka mintalah karunia itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebab, karunia ini murni berasal dari kemurahan dan anugerah-Nya, Subhanahu wa bihamdihi. “…dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 70) Ungkapan ini mengandung makna ketakjuban, seakan-akan bermakna: “Betapa Maha Mengetahui Tuhan kita ‘Azza wa Jalla!” Cukuplah Dia yang mengetahui para hamba-Nya. Siapa yang berhak mendapatkannya? Mengapa, saudara-saudara? Karena karunia itu diberikan oleh Allah kepada orang yang bahkan tidak layak menerimanya. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan mereka, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang, juga orang tua kami, orang tua kalian, dan seluruh umat Muslim. ===== وَفِي حَدِيثِ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ وَكَانَ يَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ بِوَضُوئِهِ فَقَالَ سَلْنِي فَمَاذَا سَأَلَ؟ شُوفُوا الْهِمَمَ يَا إِخْوَانُ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ أَعْطِنِي مِنْ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا مِنْ حُطَامِ الدُّنْيَا فَقَالَ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ هَذِهِ الرِّفْقَةُ الَّتِي يَتَسَامَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ يَا إِخْوَانُ وَيَسْعَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ مَا أَعْطَاهُ الرَّسُولُ جَوَابًا خَاصًّا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ مَا فِيهِ خُصُوصِيَّاتٌ أَعْطَاهُ جَوَابًا لَهُ وَلِغَيْرِهِ مَا هُوَ؟ أَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ رِفْقَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَؤُلَاءِ الْأَخْيَارِ الصَّالِحِينَ فِي هَذِهِ الآيَةِ وَلَكِنَّ الْفَضْلَ فَضْلُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ عَظِيمٌ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ مَضْمُونٌ كَمَا قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ كَثِيْرٍ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنْ اُطْلُبُوا ذَلِكَ الْفَضْلَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ فَضْلٌ مَحْضُ فَضْلِهِ وَمِنَّتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا هَذِهِ الصِّيغَةُ فِيهَا مَعْنَى التَّعَجُّبِ كَأَنَّ مَعْنَاهَا مَا أَعْلَمَ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ كَفَى بِهِ عَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ لِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ الْفَضْلَ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْهُمْ بِفَضْلِكَ وُجُودِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَوَالِدِينَا وَوَالِدَيْكُمْ وَالْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ
Dalam hadis riwayat Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami, ia dulu menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari, ia datang membawa air wudhu untuk beliau. Lalu Nabi bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Tapi apa yang ia minta? Lihatlah betapa tinggi harapannya, saudara-saudara! Ia bisa saja berkata, “Berilah aku ini dan itu,” dari kenikmatan dunia. Namun ia justru berkata, “Aku minta agar aku bersamamu di surga.” Inilah pembersamaan yang dirindukan dan diusahakan oleh orang-orang yang mendapat taufik, saudara-saudara! Nabi tidak memberinya jawaban khusus untuk dirinya sendiri, karena dalam Islam tidak ada keistimewaan pribadi. Beliau justru memberinya jawaban yang berlaku untuknya dan semua orang. Apa itu? “Bantulah aku mewujudkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Inilah salah satu sebab terbesar untuk dapat membersamai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang baik lagi saleh yang disebutkan dalam ayat ini. Namun, karunia ini semata-mata berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Yang demikian itu adalah karunia dari Allah…” (QS. An-Nisa: 70), Karena karunia ini datang dari Allah, maka ia pasti agung, karena dari Allah, maka ia pasti terjamin, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Katsir. Ayat ini juga mengandung isyarat: “…maka mintalah karunia itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebab, karunia ini murni berasal dari kemurahan dan anugerah-Nya, Subhanahu wa bihamdihi. “…dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 70) Ungkapan ini mengandung makna ketakjuban, seakan-akan bermakna: “Betapa Maha Mengetahui Tuhan kita ‘Azza wa Jalla!” Cukuplah Dia yang mengetahui para hamba-Nya. Siapa yang berhak mendapatkannya? Mengapa, saudara-saudara? Karena karunia itu diberikan oleh Allah kepada orang yang bahkan tidak layak menerimanya. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan mereka, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang, juga orang tua kami, orang tua kalian, dan seluruh umat Muslim. ===== وَفِي حَدِيثِ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ وَكَانَ يَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ بِوَضُوئِهِ فَقَالَ سَلْنِي فَمَاذَا سَأَلَ؟ شُوفُوا الْهِمَمَ يَا إِخْوَانُ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ أَعْطِنِي مِنْ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا مِنْ حُطَامِ الدُّنْيَا فَقَالَ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ هَذِهِ الرِّفْقَةُ الَّتِي يَتَسَامَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ يَا إِخْوَانُ وَيَسْعَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ مَا أَعْطَاهُ الرَّسُولُ جَوَابًا خَاصًّا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ مَا فِيهِ خُصُوصِيَّاتٌ أَعْطَاهُ جَوَابًا لَهُ وَلِغَيْرِهِ مَا هُوَ؟ أَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ رِفْقَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَؤُلَاءِ الْأَخْيَارِ الصَّالِحِينَ فِي هَذِهِ الآيَةِ وَلَكِنَّ الْفَضْلَ فَضْلُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ عَظِيمٌ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ مَضْمُونٌ كَمَا قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ كَثِيْرٍ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنْ اُطْلُبُوا ذَلِكَ الْفَضْلَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ فَضْلٌ مَحْضُ فَضْلِهِ وَمِنَّتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا هَذِهِ الصِّيغَةُ فِيهَا مَعْنَى التَّعَجُّبِ كَأَنَّ مَعْنَاهَا مَا أَعْلَمَ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ كَفَى بِهِ عَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ لِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ الْفَضْلَ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْهُمْ بِفَضْلِكَ وُجُودِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَوَالِدِينَا وَوَالِدَيْكُمْ وَالْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ


Dalam hadis riwayat Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami, ia dulu menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari, ia datang membawa air wudhu untuk beliau. Lalu Nabi bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Tapi apa yang ia minta? Lihatlah betapa tinggi harapannya, saudara-saudara! Ia bisa saja berkata, “Berilah aku ini dan itu,” dari kenikmatan dunia. Namun ia justru berkata, “Aku minta agar aku bersamamu di surga.” Inilah pembersamaan yang dirindukan dan diusahakan oleh orang-orang yang mendapat taufik, saudara-saudara! Nabi tidak memberinya jawaban khusus untuk dirinya sendiri, karena dalam Islam tidak ada keistimewaan pribadi. Beliau justru memberinya jawaban yang berlaku untuknya dan semua orang. Apa itu? “Bantulah aku mewujudkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Inilah salah satu sebab terbesar untuk dapat membersamai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang baik lagi saleh yang disebutkan dalam ayat ini. Namun, karunia ini semata-mata berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. “Yang demikian itu adalah karunia dari Allah…” (QS. An-Nisa: 70), Karena karunia ini datang dari Allah, maka ia pasti agung, karena dari Allah, maka ia pasti terjamin, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Katsir. Ayat ini juga mengandung isyarat: “…maka mintalah karunia itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebab, karunia ini murni berasal dari kemurahan dan anugerah-Nya, Subhanahu wa bihamdihi. “…dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 70) Ungkapan ini mengandung makna ketakjuban, seakan-akan bermakna: “Betapa Maha Mengetahui Tuhan kita ‘Azza wa Jalla!” Cukuplah Dia yang mengetahui para hamba-Nya. Siapa yang berhak mendapatkannya? Mengapa, saudara-saudara? Karena karunia itu diberikan oleh Allah kepada orang yang bahkan tidak layak menerimanya. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan mereka, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang, juga orang tua kami, orang tua kalian, dan seluruh umat Muslim. ===== وَفِي حَدِيثِ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ وَكَانَ يَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ بِوَضُوئِهِ فَقَالَ سَلْنِي فَمَاذَا سَأَلَ؟ شُوفُوا الْهِمَمَ يَا إِخْوَانُ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ أَعْطِنِي مِنْ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا مِنْ حُطَامِ الدُّنْيَا فَقَالَ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ هَذِهِ الرِّفْقَةُ الَّتِي يَتَسَامَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ يَا إِخْوَانُ وَيَسْعَى إِلَيْهَا الْمُوَفَّقُونَ مَا أَعْطَاهُ الرَّسُولُ جَوَابًا خَاصًّا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ مَا فِيهِ خُصُوصِيَّاتٌ أَعْطَاهُ جَوَابًا لَهُ وَلِغَيْرِهِ مَا هُوَ؟ أَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ رِفْقَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَؤُلَاءِ الْأَخْيَارِ الصَّالِحِينَ فِي هَذِهِ الآيَةِ وَلَكِنَّ الْفَضْلَ فَضْلُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ عَظِيمٌ وَإِذْ كَانَ مِنَ اللَّهِ فَهُوَ مَضْمُونٌ كَمَا قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ كَثِيْرٍ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنْ اُطْلُبُوا ذَلِكَ الْفَضْلَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ فَضْلٌ مَحْضُ فَضْلِهِ وَمِنَّتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا هَذِهِ الصِّيغَةُ فِيهَا مَعْنَى التَّعَجُّبِ كَأَنَّ مَعْنَاهَا مَا أَعْلَمَ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ كَفَى بِهِ عَلِيمًا بِعِبَادِهِ وَمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ لِيشْ يَا إِخْوَانُ؟ الْفَضْلَ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْهُمْ بِفَضْلِكَ وُجُودِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَوَالِدِينَا وَوَالِدَيْكُمْ وَالْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ

Hukum Umrah bagi Wanita yang Sedang Haid: Bolehkah Berihram dan Thawaf?

Datang bulan saat hendak umrah sering menjadi kegelisahan para muslimah, apalagi ketika waktu perjalanan sangat terbatas. Tulisan ini membahas hukum, solusi, dan pendapat ulama terkait kondisi tersebut secara ringkas dan jelas.   Pertanyaan: Apa hukum umrah bagi seorang perempuan ketika tiba-tiba datang haid? Ada seorang ibu yang bertanya bahwa ia telah memesan keberangkatan umrah untuk dirinya dan putrinya. Namun sebelum ihram, putrinya tiba-tiba haid, sedangkan masa tinggal mereka di Makkah hanya 4 hari dan setelah itu 2 hari di Madinah. Sementara kebiasaan putrinya, masa haid berlangsung selama 8 hari. Apakah boleh ia berihram dalam kondisi seperti ini? Jawaban: Seorang wanita boleh berihram untuk umrah dalam keadaan haid, dan disunnahkan mandi sebelum ihram. Setelah itu ia menunggu hingga suci, lalu mandi kembali dan melaksanakan seluruh amalan umrah. Apabila tidak memungkinkan untuk menunggu sampai suci, karena berdasarkan kebiasaan durasi haidnya sama dengan atau lebih lama dari masa perjalanan, atau biasanya darah haidnya sempat terputus di tengah masa haid, atau ia dapat menggunakan obat untuk menghentikan haid di bawah pengawasan medis yang terpercaya dan tidak membahayakan, lalu darahnya berhenti, maka boleh baginya mandi, melakukan thawaf, dan menyelesaikan amalan umrah, meskipun setelah itu darah kembali keluar dalam masa haidnya. Namun jika semua cara tersebut tidak memungkinkan, maka boleh baginya thawaf dan menyelesaikan seluruh manasik, dan umrahnya tetap sah serta tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Baca juga: Mendapati Haidh Ketika Thawaf Ifadhah   Sumber: Darul Ifta’ Mesir, Hukum Umrah Wanita Ketika Datang Haidh, 8 Mei 2024   Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 27 Jumadilawal 1447 H Penerjemah: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal (Owner dan Pembimbing Unity Tour) Artikel Rumaysho.Com Tagsdatang haidh haid haidh haji datang haidh sai tata cara umrah thawaf umrah umrah datang haidh umroh wanita haidh

Hukum Umrah bagi Wanita yang Sedang Haid: Bolehkah Berihram dan Thawaf?

Datang bulan saat hendak umrah sering menjadi kegelisahan para muslimah, apalagi ketika waktu perjalanan sangat terbatas. Tulisan ini membahas hukum, solusi, dan pendapat ulama terkait kondisi tersebut secara ringkas dan jelas.   Pertanyaan: Apa hukum umrah bagi seorang perempuan ketika tiba-tiba datang haid? Ada seorang ibu yang bertanya bahwa ia telah memesan keberangkatan umrah untuk dirinya dan putrinya. Namun sebelum ihram, putrinya tiba-tiba haid, sedangkan masa tinggal mereka di Makkah hanya 4 hari dan setelah itu 2 hari di Madinah. Sementara kebiasaan putrinya, masa haid berlangsung selama 8 hari. Apakah boleh ia berihram dalam kondisi seperti ini? Jawaban: Seorang wanita boleh berihram untuk umrah dalam keadaan haid, dan disunnahkan mandi sebelum ihram. Setelah itu ia menunggu hingga suci, lalu mandi kembali dan melaksanakan seluruh amalan umrah. Apabila tidak memungkinkan untuk menunggu sampai suci, karena berdasarkan kebiasaan durasi haidnya sama dengan atau lebih lama dari masa perjalanan, atau biasanya darah haidnya sempat terputus di tengah masa haid, atau ia dapat menggunakan obat untuk menghentikan haid di bawah pengawasan medis yang terpercaya dan tidak membahayakan, lalu darahnya berhenti, maka boleh baginya mandi, melakukan thawaf, dan menyelesaikan amalan umrah, meskipun setelah itu darah kembali keluar dalam masa haidnya. Namun jika semua cara tersebut tidak memungkinkan, maka boleh baginya thawaf dan menyelesaikan seluruh manasik, dan umrahnya tetap sah serta tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Baca juga: Mendapati Haidh Ketika Thawaf Ifadhah   Sumber: Darul Ifta’ Mesir, Hukum Umrah Wanita Ketika Datang Haidh, 8 Mei 2024   Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 27 Jumadilawal 1447 H Penerjemah: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal (Owner dan Pembimbing Unity Tour) Artikel Rumaysho.Com Tagsdatang haidh haid haidh haji datang haidh sai tata cara umrah thawaf umrah umrah datang haidh umroh wanita haidh
Datang bulan saat hendak umrah sering menjadi kegelisahan para muslimah, apalagi ketika waktu perjalanan sangat terbatas. Tulisan ini membahas hukum, solusi, dan pendapat ulama terkait kondisi tersebut secara ringkas dan jelas.   Pertanyaan: Apa hukum umrah bagi seorang perempuan ketika tiba-tiba datang haid? Ada seorang ibu yang bertanya bahwa ia telah memesan keberangkatan umrah untuk dirinya dan putrinya. Namun sebelum ihram, putrinya tiba-tiba haid, sedangkan masa tinggal mereka di Makkah hanya 4 hari dan setelah itu 2 hari di Madinah. Sementara kebiasaan putrinya, masa haid berlangsung selama 8 hari. Apakah boleh ia berihram dalam kondisi seperti ini? Jawaban: Seorang wanita boleh berihram untuk umrah dalam keadaan haid, dan disunnahkan mandi sebelum ihram. Setelah itu ia menunggu hingga suci, lalu mandi kembali dan melaksanakan seluruh amalan umrah. Apabila tidak memungkinkan untuk menunggu sampai suci, karena berdasarkan kebiasaan durasi haidnya sama dengan atau lebih lama dari masa perjalanan, atau biasanya darah haidnya sempat terputus di tengah masa haid, atau ia dapat menggunakan obat untuk menghentikan haid di bawah pengawasan medis yang terpercaya dan tidak membahayakan, lalu darahnya berhenti, maka boleh baginya mandi, melakukan thawaf, dan menyelesaikan amalan umrah, meskipun setelah itu darah kembali keluar dalam masa haidnya. Namun jika semua cara tersebut tidak memungkinkan, maka boleh baginya thawaf dan menyelesaikan seluruh manasik, dan umrahnya tetap sah serta tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Baca juga: Mendapati Haidh Ketika Thawaf Ifadhah   Sumber: Darul Ifta’ Mesir, Hukum Umrah Wanita Ketika Datang Haidh, 8 Mei 2024   Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 27 Jumadilawal 1447 H Penerjemah: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal (Owner dan Pembimbing Unity Tour) Artikel Rumaysho.Com Tagsdatang haidh haid haidh haji datang haidh sai tata cara umrah thawaf umrah umrah datang haidh umroh wanita haidh


Datang bulan saat hendak umrah sering menjadi kegelisahan para muslimah, apalagi ketika waktu perjalanan sangat terbatas. Tulisan ini membahas hukum, solusi, dan pendapat ulama terkait kondisi tersebut secara ringkas dan jelas.   Pertanyaan: Apa hukum umrah bagi seorang perempuan ketika tiba-tiba datang haid? Ada seorang ibu yang bertanya bahwa ia telah memesan keberangkatan umrah untuk dirinya dan putrinya. Namun sebelum ihram, putrinya tiba-tiba haid, sedangkan masa tinggal mereka di Makkah hanya 4 hari dan setelah itu 2 hari di Madinah. Sementara kebiasaan putrinya, masa haid berlangsung selama 8 hari. Apakah boleh ia berihram dalam kondisi seperti ini? Jawaban: Seorang wanita boleh berihram untuk umrah dalam keadaan haid, dan disunnahkan mandi sebelum ihram. Setelah itu ia menunggu hingga suci, lalu mandi kembali dan melaksanakan seluruh amalan umrah. Apabila tidak memungkinkan untuk menunggu sampai suci, karena berdasarkan kebiasaan durasi haidnya sama dengan atau lebih lama dari masa perjalanan, atau biasanya darah haidnya sempat terputus di tengah masa haid, atau ia dapat menggunakan obat untuk menghentikan haid di bawah pengawasan medis yang terpercaya dan tidak membahayakan, lalu darahnya berhenti, maka boleh baginya mandi, melakukan thawaf, dan menyelesaikan amalan umrah, meskipun setelah itu darah kembali keluar dalam masa haidnya. Namun jika semua cara tersebut tidak memungkinkan, maka boleh baginya thawaf dan menyelesaikan seluruh manasik, dan umrahnya tetap sah serta tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Baca juga: Mendapati Haidh Ketika Thawaf Ifadhah   Sumber: Darul Ifta’ Mesir, Hukum Umrah Wanita Ketika Datang Haidh, 8 Mei 2024   Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 27 Jumadilawal 1447 H Penerjemah: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal (Owner dan Pembimbing Unity Tour) Artikel Rumaysho.Com Tagsdatang haidh haid haidh haji datang haidh sai tata cara umrah thawaf umrah umrah datang haidh umroh wanita haidh

Perbedaan Setan dan Iblis: Makna Bahasa, Makna Istilah, dan Penjelasan Ulama

Pembahasan tentang syaitan (setan) dan Iblis sering kali bercampur dalam benak sebagian orang, padahal keduanya memiliki perbedaan makna yang penting dalam kajian Islam. Memahami asal-usul bahasa dan definisi istilah membantu kita mengerti hakikat musuh terbesar manusia. Tulisan ini merangkum penjelasan ulama tentang makna syaitan (setan) dan Iblis, baik secara bahasa maupun secara istilah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Bahasa Syaitan dan Iblis 1.1. Iblis Apakah Termasuk Malaikat? 2. Kesimpulan Makna Bahasa Syaitan dan Iblis Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kata syaitan dari sisi bahasa, berdasarkan perbedaan dalam menelusuri asal kata (isytiqaq) dan apakah huruf nun pada kata tersebut merupakan huruf asli atau tambahan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَطَنَ) yang berarti “jauh dari kebenaran.” Dari akar kata ini muncul ungkapan syathanahu yasythunuhu syathnan yang berarti “menyelisihi arah dan niatnya.” Disebutkan pula syathat ad-dar: rumah itu menjauh. Asy-syâthin berarti “yang jahat.” Tasyaythana ar-rajul: seseorang menjadi seperti setan dan melakukan perbuatannya. Dari sini muncul kata asy-syaythanah, yaitu sifat umum yang menggambarkan seluruh bentuk penyimpangan dan penyesatan. Berdasarkan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola (فِعْيَال) dan huruf nun di dalamnya adalah huruf asli. Sementara kelompok ulama lain berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَاطَ) yang bermakna “terbakar oleh kemarahan.” Dari akar ini muncul bentuk syâtha yasyîthu dan tasyayatha: ketika seseorang tersambar api lalu terbakar atau binasa. Dengan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola فَعْلان dan huruf nun di situ dianggap sebagai huruf tambahan. Pendapat pertama lebih kuat, yaitu bahwa syaitan berasal dari kata (شطن). Hal ini karena makna tersebut lebih dekat dengan sifat dan perbuatan setan yang bertujuan menjauhkan manusia dari amal kebaikan dan mengikuti kebenaran. Sebab menurunkan kata syaitan dari akar syathana, yang bermakna “jauh dari kebaikan dan condong dari kebenaran,” lebih sesuai dengan hakikat perbuatannya daripada menisbahkannya kepada akar syâtha yang bermakna “terbakar.” Karena pekerjaan setan adalah menjauhkan manusia dari kebenaran, maka yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan kebaikan adalah sesuatu yang memang jauh darinya. Dan ketika kita sedang membahas definisi syaitan secara bahasa, kita juga perlu mengetahui definisi Iblis secara bahasa, sebab sebagian orang mengira bahwa Iblis dan syaitan memiliki makna yang sama. Karena itu, harus dibedakan dari sisi bahasa. • Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata Iblis berasal dari kata أَبْلَسَ الرَّجُل: ketika seseorang terputus (dalam argumentasi) dan tidak memiliki alasan. Ablasa ar-rajul: ia terhenti; Ablasa: ia diam; Ablisa min rahmatillah: ia putus asa dari rahmat Allah. Al-iblâs adalah kesedihan yang muncul karena tekanan dan kesulitan yang berat. Orang Arab menggunakan kata-kata ini, seperti ungkapan: Naqatun miblâs: unta yang tidak bersuara karena takut. Fulan ablasa: seseorang yang terdiam karena ketakutan yang sangat. • Al-Qur’an juga menggunakan makna-makna bahasa ini untuk kata ablasa. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُبْلِسُ الْمُجْرِمُونَ ﴾ “Pada hari ketika kiamat terjadi, para pendosa menjadi putus asa.” (QS. Ar-Rūm: 12) Dan firman-Nya: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ “Ketika mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka semua pintu (kesenangan). Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka seketika itu mereka menjadi putus asa.” (QS. Al-An‘ām: 44) • Kelompok ulama lain berpendapat bahwa Iblis adalah nama asing (non-Arab) dan tidak bisa ditashrif (tidak menerima tanwin dan tidak bisa dimasuki huruf alif-lam). • Dan ada sekelompok peneliti yang mengatakan bahwa kata Iblis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Diabolos, lalu mengalami perubahan dan penyesuaian hingga menjadi bentuk seperti itu. Meskipun ada pendapat-pendapat tersebut, kata Iblis tetap merupakan kata yang berakar dari bahasa Arab. Al-Qur’an, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, menggunakannya berdasarkan makna bahasa Arab. Mengatakan bahwa kata ini bukan Arab adalah klaim yang tidak tepat sasaran dan tidak memiliki bukti. Maka kita tegaskan bahwa kata ini berakar dari bahasa Arab, berasal dari kata ablesa ar-rajul yang berarti “terputus.” Inilah makna syaitan dan Iblis dari sisi bahasa. Syaitan dan Iblis dalam Istilah Kata syaitan secara istilah digunakan untuk menyebut: setiap makhluk yang durhaka dan membangkang, baik dari kalangan jin, manusia, maupun hewan. Berdasarkan definisi ini, konsep syaitan menjadi sebuah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang menempuh jalan kejahatan dan kesesatan. Banyak orang yang kita lihat dan melihat kita, berinteraksi dengan kita dan kita dengan mereka—secara lahir mereka adalah manusia, namun pada hakikatnya dengan perilaku, pikiran, tipu daya, dan akhlak mereka, mereka termasuk golongan para setan durhaka. Bahkan terkadang, tipu daya mereka lebih berbahaya daripada tipu daya Iblis sendiri. Adapun Iblis, ia adalah nama bagi makhluk tertentu yang diciptakan Allah dari api. Allah memasukkannya ke dalam barisan malaikat dan ia menjalankan tugasnya sesuai kehendak Allah. Namun ia kemudian menentang kemuliaan dan keagungan Rabb-nya, menyombongkan diri untuk taat kepada-Nya, dan durhaka kepada Tuhannya. Maka Allah mengusirnya dari rahmat-Nya dan dari tugasnya, lalu ia turun ke bumi, dan sifat kesetanan menjadi ciri dirinya. Iblis memiliki keturunan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي ﴾ “Pantaskah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku?” (QS. Al-Kahf: 50) Iblis adalah bagian dari bangsa jin, yang Allah ciptakan dari api yang sangat panas. Ia dan kelompoknya dapat melihat kita, sementara kita tidak dapat melihat mereka. Ia telah keluar dari ketaatan kepada Rabb-nya, dan ia merupakan pemimpin para setan serta para pembangkang. Bentuk jamaknya adalah abâlis dan abâlisah.[9] Dengan demikian, Iblis adalah nama khusus (nama diri) bagi makhluk pembangkang tersebut, sedangkan syaitan adalah sifat bagi dirinya dan makhluk lain.   Iblis Apakah Termasuk Malaikat? Ada satu masalah penting terkait hal ini: yaitu adanya nash-nash yang menyebut bahwa Iblis berasal dari malaikat—seperti firman Allah Ta’ala: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.” (QS. Thaha: 116) Dan nash-nash lain yang menyebut bahwa ia berasal dari jin—seperti firman Allah: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahf: 50) Lalu bagaimana Iblis bisa disebut sebagai malaikat sekaligus jin? Dan bagaimana kaitannya dengan istilah syaitan? Saya katakan: Iblis termasuk kelompok malaikat karena ia diperintahkan sujud bersama mereka, namun ia berasal dari jin sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Tidak ada yang aneh ketika kita mengetahui bahwa Iblis berada di tengah-tengah para malaikat, tetapi bukan dari jenis mereka; ia berasal dari bangsa jin. Jin adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Maka Iblis termasuk malaikat dalam hal ketaatannya dan ibadahnya pada awalnya, tetapi termasuk jin dari sisi nasab dan asal penciptaan. Jika hal ini sudah jelas, maka tidak perlu ada perdebatan panjang yang ditimbulkan sebagian ulama mengenai persoalan ini, karena tidak ada faedah di baliknya.     Syaitan adalah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang melakukan perbuatan Iblis. Allah memberikan sifat ini kepada Iblis sehingga sifat tersebut melekat kuat padanya, hingga manusia menyangka bahwa kata syaitan hanya khusus untuk dirinya. Namun ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa Iblis bukan satu-satunya syaitan, dan bahwa syaitan adalah sifat bagi Iblis. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ * وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ … فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan Kami berfirman: ‘Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat-nikmat (yang) banyak kekhususanNya di mana saja yang kamu sukai. Tetapi janganlah kamu mendekati pohon ini, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Iblis membisikkan kepadanya supaya dikeluarkannya dari apa yang sebelumnya ia berada di dalamnya. Dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu, (sebagai) musuh satu terhadap yang lain. Dan bagi kamu di bumi tempat tinggal dan manfaat sampai waktu yang ditentukan.’” (QS. Al-Baqarah: 34–36) Jika kita melihat frasa: ﴿ فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Maka syaitan membuat keduanya tergelincir,” maka jelas bahwa yang dimaksud adalah Iblis, dengan tipu daya, rayuan, dan bisikannya. Hal serupa juga terdapat dalam Surah Thaha. Setelah Allah memerintahkan Iblis sujud kepada Adam dan Iblis menolak karena kesombongannya, Allah memperingatkan Adam agar menjadikannya musuh agar ia tidak mengeluarkannya dari surga. Allah berfirman: ﴿ فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى ﴾ “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (QS. Thaha: 120) Maka Iblis adalah pembisik itu, dan Iblis adalah syaitan. Namun ia bukan satu-satunya syaitan. Ada banyak syaitan dari kalangan manusia dan jin yang mengikuti jalannya, meniru perilakunya, dan menempuh jalan kesesatan yang ia ajarkan. Maka pada titik ini jelaslah hubungan antara Iblis dan syaitan.   Kesimpulan Dari sisi bahasa, syaitan (setan) bermakna makhluk yang jauh dari kebenaran, sementara Iblis bermakna makhluk yang putus asa, terdiam, dan terputus dari rahmat Allah. Secara istilah, syaitan (setan) adalah sifat yang dapat dimiliki makhluk mana pun—baik manusia, jin, atau hewan—yang bersikap durhaka dan menempuh jalan kejahatan. Adapun Iblis adalah nama khusus bagi makhluk pertama yang membangkang perintah Allah untuk sujud kepada Adam, ia berasal dari golongan jin tetapi semula berada di tengah para malaikat karena ketaatannya. Perbedaan antara syaitan (setan) dan Iblis sangat jelas: Iblis adalah individu tertentu, sedangkan syaitan adalah sifat dan jalan hidup yang dapat diikuti oleh banyak makhluk. Dengan memahami hal ini, kita mengerti bahwa musuh manusia bukan hanya Iblis, melainkan semua makhluk yang mengikuti jalannya. Semoga tulisan ini bermanfaat.   Referensi: Ad-Duri, S. S. A. (2016). الشيطان في اللغة والاصطلاح. Alukah.https://www.alukah.net/sharia/0/106568/الشيطان-في-اللغة-والاصطلاح/ Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 28 Jumadilawal 1447 H Penyusun: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakidah ahlus sunnah aqidah islam artikel rumaysho bahasa arab iblis iblis dalam istilah jin dan malaikat makna iblis makna setan makna syaitan perbedaan syaitan dan iblis setan syaitan syaitan dalam istilah tafsir al-qur’an

Perbedaan Setan dan Iblis: Makna Bahasa, Makna Istilah, dan Penjelasan Ulama

Pembahasan tentang syaitan (setan) dan Iblis sering kali bercampur dalam benak sebagian orang, padahal keduanya memiliki perbedaan makna yang penting dalam kajian Islam. Memahami asal-usul bahasa dan definisi istilah membantu kita mengerti hakikat musuh terbesar manusia. Tulisan ini merangkum penjelasan ulama tentang makna syaitan (setan) dan Iblis, baik secara bahasa maupun secara istilah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Bahasa Syaitan dan Iblis 1.1. Iblis Apakah Termasuk Malaikat? 2. Kesimpulan Makna Bahasa Syaitan dan Iblis Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kata syaitan dari sisi bahasa, berdasarkan perbedaan dalam menelusuri asal kata (isytiqaq) dan apakah huruf nun pada kata tersebut merupakan huruf asli atau tambahan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَطَنَ) yang berarti “jauh dari kebenaran.” Dari akar kata ini muncul ungkapan syathanahu yasythunuhu syathnan yang berarti “menyelisihi arah dan niatnya.” Disebutkan pula syathat ad-dar: rumah itu menjauh. Asy-syâthin berarti “yang jahat.” Tasyaythana ar-rajul: seseorang menjadi seperti setan dan melakukan perbuatannya. Dari sini muncul kata asy-syaythanah, yaitu sifat umum yang menggambarkan seluruh bentuk penyimpangan dan penyesatan. Berdasarkan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola (فِعْيَال) dan huruf nun di dalamnya adalah huruf asli. Sementara kelompok ulama lain berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَاطَ) yang bermakna “terbakar oleh kemarahan.” Dari akar ini muncul bentuk syâtha yasyîthu dan tasyayatha: ketika seseorang tersambar api lalu terbakar atau binasa. Dengan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola فَعْلان dan huruf nun di situ dianggap sebagai huruf tambahan. Pendapat pertama lebih kuat, yaitu bahwa syaitan berasal dari kata (شطن). Hal ini karena makna tersebut lebih dekat dengan sifat dan perbuatan setan yang bertujuan menjauhkan manusia dari amal kebaikan dan mengikuti kebenaran. Sebab menurunkan kata syaitan dari akar syathana, yang bermakna “jauh dari kebaikan dan condong dari kebenaran,” lebih sesuai dengan hakikat perbuatannya daripada menisbahkannya kepada akar syâtha yang bermakna “terbakar.” Karena pekerjaan setan adalah menjauhkan manusia dari kebenaran, maka yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan kebaikan adalah sesuatu yang memang jauh darinya. Dan ketika kita sedang membahas definisi syaitan secara bahasa, kita juga perlu mengetahui definisi Iblis secara bahasa, sebab sebagian orang mengira bahwa Iblis dan syaitan memiliki makna yang sama. Karena itu, harus dibedakan dari sisi bahasa. • Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata Iblis berasal dari kata أَبْلَسَ الرَّجُل: ketika seseorang terputus (dalam argumentasi) dan tidak memiliki alasan. Ablasa ar-rajul: ia terhenti; Ablasa: ia diam; Ablisa min rahmatillah: ia putus asa dari rahmat Allah. Al-iblâs adalah kesedihan yang muncul karena tekanan dan kesulitan yang berat. Orang Arab menggunakan kata-kata ini, seperti ungkapan: Naqatun miblâs: unta yang tidak bersuara karena takut. Fulan ablasa: seseorang yang terdiam karena ketakutan yang sangat. • Al-Qur’an juga menggunakan makna-makna bahasa ini untuk kata ablasa. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُبْلِسُ الْمُجْرِمُونَ ﴾ “Pada hari ketika kiamat terjadi, para pendosa menjadi putus asa.” (QS. Ar-Rūm: 12) Dan firman-Nya: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ “Ketika mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka semua pintu (kesenangan). Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka seketika itu mereka menjadi putus asa.” (QS. Al-An‘ām: 44) • Kelompok ulama lain berpendapat bahwa Iblis adalah nama asing (non-Arab) dan tidak bisa ditashrif (tidak menerima tanwin dan tidak bisa dimasuki huruf alif-lam). • Dan ada sekelompok peneliti yang mengatakan bahwa kata Iblis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Diabolos, lalu mengalami perubahan dan penyesuaian hingga menjadi bentuk seperti itu. Meskipun ada pendapat-pendapat tersebut, kata Iblis tetap merupakan kata yang berakar dari bahasa Arab. Al-Qur’an, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, menggunakannya berdasarkan makna bahasa Arab. Mengatakan bahwa kata ini bukan Arab adalah klaim yang tidak tepat sasaran dan tidak memiliki bukti. Maka kita tegaskan bahwa kata ini berakar dari bahasa Arab, berasal dari kata ablesa ar-rajul yang berarti “terputus.” Inilah makna syaitan dan Iblis dari sisi bahasa. Syaitan dan Iblis dalam Istilah Kata syaitan secara istilah digunakan untuk menyebut: setiap makhluk yang durhaka dan membangkang, baik dari kalangan jin, manusia, maupun hewan. Berdasarkan definisi ini, konsep syaitan menjadi sebuah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang menempuh jalan kejahatan dan kesesatan. Banyak orang yang kita lihat dan melihat kita, berinteraksi dengan kita dan kita dengan mereka—secara lahir mereka adalah manusia, namun pada hakikatnya dengan perilaku, pikiran, tipu daya, dan akhlak mereka, mereka termasuk golongan para setan durhaka. Bahkan terkadang, tipu daya mereka lebih berbahaya daripada tipu daya Iblis sendiri. Adapun Iblis, ia adalah nama bagi makhluk tertentu yang diciptakan Allah dari api. Allah memasukkannya ke dalam barisan malaikat dan ia menjalankan tugasnya sesuai kehendak Allah. Namun ia kemudian menentang kemuliaan dan keagungan Rabb-nya, menyombongkan diri untuk taat kepada-Nya, dan durhaka kepada Tuhannya. Maka Allah mengusirnya dari rahmat-Nya dan dari tugasnya, lalu ia turun ke bumi, dan sifat kesetanan menjadi ciri dirinya. Iblis memiliki keturunan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي ﴾ “Pantaskah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku?” (QS. Al-Kahf: 50) Iblis adalah bagian dari bangsa jin, yang Allah ciptakan dari api yang sangat panas. Ia dan kelompoknya dapat melihat kita, sementara kita tidak dapat melihat mereka. Ia telah keluar dari ketaatan kepada Rabb-nya, dan ia merupakan pemimpin para setan serta para pembangkang. Bentuk jamaknya adalah abâlis dan abâlisah.[9] Dengan demikian, Iblis adalah nama khusus (nama diri) bagi makhluk pembangkang tersebut, sedangkan syaitan adalah sifat bagi dirinya dan makhluk lain.   Iblis Apakah Termasuk Malaikat? Ada satu masalah penting terkait hal ini: yaitu adanya nash-nash yang menyebut bahwa Iblis berasal dari malaikat—seperti firman Allah Ta’ala: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.” (QS. Thaha: 116) Dan nash-nash lain yang menyebut bahwa ia berasal dari jin—seperti firman Allah: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahf: 50) Lalu bagaimana Iblis bisa disebut sebagai malaikat sekaligus jin? Dan bagaimana kaitannya dengan istilah syaitan? Saya katakan: Iblis termasuk kelompok malaikat karena ia diperintahkan sujud bersama mereka, namun ia berasal dari jin sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Tidak ada yang aneh ketika kita mengetahui bahwa Iblis berada di tengah-tengah para malaikat, tetapi bukan dari jenis mereka; ia berasal dari bangsa jin. Jin adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Maka Iblis termasuk malaikat dalam hal ketaatannya dan ibadahnya pada awalnya, tetapi termasuk jin dari sisi nasab dan asal penciptaan. Jika hal ini sudah jelas, maka tidak perlu ada perdebatan panjang yang ditimbulkan sebagian ulama mengenai persoalan ini, karena tidak ada faedah di baliknya.     Syaitan adalah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang melakukan perbuatan Iblis. Allah memberikan sifat ini kepada Iblis sehingga sifat tersebut melekat kuat padanya, hingga manusia menyangka bahwa kata syaitan hanya khusus untuk dirinya. Namun ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa Iblis bukan satu-satunya syaitan, dan bahwa syaitan adalah sifat bagi Iblis. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ * وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ … فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan Kami berfirman: ‘Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat-nikmat (yang) banyak kekhususanNya di mana saja yang kamu sukai. Tetapi janganlah kamu mendekati pohon ini, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Iblis membisikkan kepadanya supaya dikeluarkannya dari apa yang sebelumnya ia berada di dalamnya. Dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu, (sebagai) musuh satu terhadap yang lain. Dan bagi kamu di bumi tempat tinggal dan manfaat sampai waktu yang ditentukan.’” (QS. Al-Baqarah: 34–36) Jika kita melihat frasa: ﴿ فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Maka syaitan membuat keduanya tergelincir,” maka jelas bahwa yang dimaksud adalah Iblis, dengan tipu daya, rayuan, dan bisikannya. Hal serupa juga terdapat dalam Surah Thaha. Setelah Allah memerintahkan Iblis sujud kepada Adam dan Iblis menolak karena kesombongannya, Allah memperingatkan Adam agar menjadikannya musuh agar ia tidak mengeluarkannya dari surga. Allah berfirman: ﴿ فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى ﴾ “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (QS. Thaha: 120) Maka Iblis adalah pembisik itu, dan Iblis adalah syaitan. Namun ia bukan satu-satunya syaitan. Ada banyak syaitan dari kalangan manusia dan jin yang mengikuti jalannya, meniru perilakunya, dan menempuh jalan kesesatan yang ia ajarkan. Maka pada titik ini jelaslah hubungan antara Iblis dan syaitan.   Kesimpulan Dari sisi bahasa, syaitan (setan) bermakna makhluk yang jauh dari kebenaran, sementara Iblis bermakna makhluk yang putus asa, terdiam, dan terputus dari rahmat Allah. Secara istilah, syaitan (setan) adalah sifat yang dapat dimiliki makhluk mana pun—baik manusia, jin, atau hewan—yang bersikap durhaka dan menempuh jalan kejahatan. Adapun Iblis adalah nama khusus bagi makhluk pertama yang membangkang perintah Allah untuk sujud kepada Adam, ia berasal dari golongan jin tetapi semula berada di tengah para malaikat karena ketaatannya. Perbedaan antara syaitan (setan) dan Iblis sangat jelas: Iblis adalah individu tertentu, sedangkan syaitan adalah sifat dan jalan hidup yang dapat diikuti oleh banyak makhluk. Dengan memahami hal ini, kita mengerti bahwa musuh manusia bukan hanya Iblis, melainkan semua makhluk yang mengikuti jalannya. Semoga tulisan ini bermanfaat.   Referensi: Ad-Duri, S. S. A. (2016). الشيطان في اللغة والاصطلاح. Alukah.https://www.alukah.net/sharia/0/106568/الشيطان-في-اللغة-والاصطلاح/ Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 28 Jumadilawal 1447 H Penyusun: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakidah ahlus sunnah aqidah islam artikel rumaysho bahasa arab iblis iblis dalam istilah jin dan malaikat makna iblis makna setan makna syaitan perbedaan syaitan dan iblis setan syaitan syaitan dalam istilah tafsir al-qur’an
Pembahasan tentang syaitan (setan) dan Iblis sering kali bercampur dalam benak sebagian orang, padahal keduanya memiliki perbedaan makna yang penting dalam kajian Islam. Memahami asal-usul bahasa dan definisi istilah membantu kita mengerti hakikat musuh terbesar manusia. Tulisan ini merangkum penjelasan ulama tentang makna syaitan (setan) dan Iblis, baik secara bahasa maupun secara istilah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Bahasa Syaitan dan Iblis 1.1. Iblis Apakah Termasuk Malaikat? 2. Kesimpulan Makna Bahasa Syaitan dan Iblis Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kata syaitan dari sisi bahasa, berdasarkan perbedaan dalam menelusuri asal kata (isytiqaq) dan apakah huruf nun pada kata tersebut merupakan huruf asli atau tambahan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَطَنَ) yang berarti “jauh dari kebenaran.” Dari akar kata ini muncul ungkapan syathanahu yasythunuhu syathnan yang berarti “menyelisihi arah dan niatnya.” Disebutkan pula syathat ad-dar: rumah itu menjauh. Asy-syâthin berarti “yang jahat.” Tasyaythana ar-rajul: seseorang menjadi seperti setan dan melakukan perbuatannya. Dari sini muncul kata asy-syaythanah, yaitu sifat umum yang menggambarkan seluruh bentuk penyimpangan dan penyesatan. Berdasarkan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola (فِعْيَال) dan huruf nun di dalamnya adalah huruf asli. Sementara kelompok ulama lain berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَاطَ) yang bermakna “terbakar oleh kemarahan.” Dari akar ini muncul bentuk syâtha yasyîthu dan tasyayatha: ketika seseorang tersambar api lalu terbakar atau binasa. Dengan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola فَعْلان dan huruf nun di situ dianggap sebagai huruf tambahan. Pendapat pertama lebih kuat, yaitu bahwa syaitan berasal dari kata (شطن). Hal ini karena makna tersebut lebih dekat dengan sifat dan perbuatan setan yang bertujuan menjauhkan manusia dari amal kebaikan dan mengikuti kebenaran. Sebab menurunkan kata syaitan dari akar syathana, yang bermakna “jauh dari kebaikan dan condong dari kebenaran,” lebih sesuai dengan hakikat perbuatannya daripada menisbahkannya kepada akar syâtha yang bermakna “terbakar.” Karena pekerjaan setan adalah menjauhkan manusia dari kebenaran, maka yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan kebaikan adalah sesuatu yang memang jauh darinya. Dan ketika kita sedang membahas definisi syaitan secara bahasa, kita juga perlu mengetahui definisi Iblis secara bahasa, sebab sebagian orang mengira bahwa Iblis dan syaitan memiliki makna yang sama. Karena itu, harus dibedakan dari sisi bahasa. • Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata Iblis berasal dari kata أَبْلَسَ الرَّجُل: ketika seseorang terputus (dalam argumentasi) dan tidak memiliki alasan. Ablasa ar-rajul: ia terhenti; Ablasa: ia diam; Ablisa min rahmatillah: ia putus asa dari rahmat Allah. Al-iblâs adalah kesedihan yang muncul karena tekanan dan kesulitan yang berat. Orang Arab menggunakan kata-kata ini, seperti ungkapan: Naqatun miblâs: unta yang tidak bersuara karena takut. Fulan ablasa: seseorang yang terdiam karena ketakutan yang sangat. • Al-Qur’an juga menggunakan makna-makna bahasa ini untuk kata ablasa. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُبْلِسُ الْمُجْرِمُونَ ﴾ “Pada hari ketika kiamat terjadi, para pendosa menjadi putus asa.” (QS. Ar-Rūm: 12) Dan firman-Nya: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ “Ketika mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka semua pintu (kesenangan). Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka seketika itu mereka menjadi putus asa.” (QS. Al-An‘ām: 44) • Kelompok ulama lain berpendapat bahwa Iblis adalah nama asing (non-Arab) dan tidak bisa ditashrif (tidak menerima tanwin dan tidak bisa dimasuki huruf alif-lam). • Dan ada sekelompok peneliti yang mengatakan bahwa kata Iblis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Diabolos, lalu mengalami perubahan dan penyesuaian hingga menjadi bentuk seperti itu. Meskipun ada pendapat-pendapat tersebut, kata Iblis tetap merupakan kata yang berakar dari bahasa Arab. Al-Qur’an, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, menggunakannya berdasarkan makna bahasa Arab. Mengatakan bahwa kata ini bukan Arab adalah klaim yang tidak tepat sasaran dan tidak memiliki bukti. Maka kita tegaskan bahwa kata ini berakar dari bahasa Arab, berasal dari kata ablesa ar-rajul yang berarti “terputus.” Inilah makna syaitan dan Iblis dari sisi bahasa. Syaitan dan Iblis dalam Istilah Kata syaitan secara istilah digunakan untuk menyebut: setiap makhluk yang durhaka dan membangkang, baik dari kalangan jin, manusia, maupun hewan. Berdasarkan definisi ini, konsep syaitan menjadi sebuah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang menempuh jalan kejahatan dan kesesatan. Banyak orang yang kita lihat dan melihat kita, berinteraksi dengan kita dan kita dengan mereka—secara lahir mereka adalah manusia, namun pada hakikatnya dengan perilaku, pikiran, tipu daya, dan akhlak mereka, mereka termasuk golongan para setan durhaka. Bahkan terkadang, tipu daya mereka lebih berbahaya daripada tipu daya Iblis sendiri. Adapun Iblis, ia adalah nama bagi makhluk tertentu yang diciptakan Allah dari api. Allah memasukkannya ke dalam barisan malaikat dan ia menjalankan tugasnya sesuai kehendak Allah. Namun ia kemudian menentang kemuliaan dan keagungan Rabb-nya, menyombongkan diri untuk taat kepada-Nya, dan durhaka kepada Tuhannya. Maka Allah mengusirnya dari rahmat-Nya dan dari tugasnya, lalu ia turun ke bumi, dan sifat kesetanan menjadi ciri dirinya. Iblis memiliki keturunan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي ﴾ “Pantaskah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku?” (QS. Al-Kahf: 50) Iblis adalah bagian dari bangsa jin, yang Allah ciptakan dari api yang sangat panas. Ia dan kelompoknya dapat melihat kita, sementara kita tidak dapat melihat mereka. Ia telah keluar dari ketaatan kepada Rabb-nya, dan ia merupakan pemimpin para setan serta para pembangkang. Bentuk jamaknya adalah abâlis dan abâlisah.[9] Dengan demikian, Iblis adalah nama khusus (nama diri) bagi makhluk pembangkang tersebut, sedangkan syaitan adalah sifat bagi dirinya dan makhluk lain.   Iblis Apakah Termasuk Malaikat? Ada satu masalah penting terkait hal ini: yaitu adanya nash-nash yang menyebut bahwa Iblis berasal dari malaikat—seperti firman Allah Ta’ala: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.” (QS. Thaha: 116) Dan nash-nash lain yang menyebut bahwa ia berasal dari jin—seperti firman Allah: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahf: 50) Lalu bagaimana Iblis bisa disebut sebagai malaikat sekaligus jin? Dan bagaimana kaitannya dengan istilah syaitan? Saya katakan: Iblis termasuk kelompok malaikat karena ia diperintahkan sujud bersama mereka, namun ia berasal dari jin sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Tidak ada yang aneh ketika kita mengetahui bahwa Iblis berada di tengah-tengah para malaikat, tetapi bukan dari jenis mereka; ia berasal dari bangsa jin. Jin adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Maka Iblis termasuk malaikat dalam hal ketaatannya dan ibadahnya pada awalnya, tetapi termasuk jin dari sisi nasab dan asal penciptaan. Jika hal ini sudah jelas, maka tidak perlu ada perdebatan panjang yang ditimbulkan sebagian ulama mengenai persoalan ini, karena tidak ada faedah di baliknya.     Syaitan adalah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang melakukan perbuatan Iblis. Allah memberikan sifat ini kepada Iblis sehingga sifat tersebut melekat kuat padanya, hingga manusia menyangka bahwa kata syaitan hanya khusus untuk dirinya. Namun ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa Iblis bukan satu-satunya syaitan, dan bahwa syaitan adalah sifat bagi Iblis. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ * وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ … فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan Kami berfirman: ‘Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat-nikmat (yang) banyak kekhususanNya di mana saja yang kamu sukai. Tetapi janganlah kamu mendekati pohon ini, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Iblis membisikkan kepadanya supaya dikeluarkannya dari apa yang sebelumnya ia berada di dalamnya. Dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu, (sebagai) musuh satu terhadap yang lain. Dan bagi kamu di bumi tempat tinggal dan manfaat sampai waktu yang ditentukan.’” (QS. Al-Baqarah: 34–36) Jika kita melihat frasa: ﴿ فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Maka syaitan membuat keduanya tergelincir,” maka jelas bahwa yang dimaksud adalah Iblis, dengan tipu daya, rayuan, dan bisikannya. Hal serupa juga terdapat dalam Surah Thaha. Setelah Allah memerintahkan Iblis sujud kepada Adam dan Iblis menolak karena kesombongannya, Allah memperingatkan Adam agar menjadikannya musuh agar ia tidak mengeluarkannya dari surga. Allah berfirman: ﴿ فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى ﴾ “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (QS. Thaha: 120) Maka Iblis adalah pembisik itu, dan Iblis adalah syaitan. Namun ia bukan satu-satunya syaitan. Ada banyak syaitan dari kalangan manusia dan jin yang mengikuti jalannya, meniru perilakunya, dan menempuh jalan kesesatan yang ia ajarkan. Maka pada titik ini jelaslah hubungan antara Iblis dan syaitan.   Kesimpulan Dari sisi bahasa, syaitan (setan) bermakna makhluk yang jauh dari kebenaran, sementara Iblis bermakna makhluk yang putus asa, terdiam, dan terputus dari rahmat Allah. Secara istilah, syaitan (setan) adalah sifat yang dapat dimiliki makhluk mana pun—baik manusia, jin, atau hewan—yang bersikap durhaka dan menempuh jalan kejahatan. Adapun Iblis adalah nama khusus bagi makhluk pertama yang membangkang perintah Allah untuk sujud kepada Adam, ia berasal dari golongan jin tetapi semula berada di tengah para malaikat karena ketaatannya. Perbedaan antara syaitan (setan) dan Iblis sangat jelas: Iblis adalah individu tertentu, sedangkan syaitan adalah sifat dan jalan hidup yang dapat diikuti oleh banyak makhluk. Dengan memahami hal ini, kita mengerti bahwa musuh manusia bukan hanya Iblis, melainkan semua makhluk yang mengikuti jalannya. Semoga tulisan ini bermanfaat.   Referensi: Ad-Duri, S. S. A. (2016). الشيطان في اللغة والاصطلاح. Alukah.https://www.alukah.net/sharia/0/106568/الشيطان-في-اللغة-والاصطلاح/ Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 28 Jumadilawal 1447 H Penyusun: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakidah ahlus sunnah aqidah islam artikel rumaysho bahasa arab iblis iblis dalam istilah jin dan malaikat makna iblis makna setan makna syaitan perbedaan syaitan dan iblis setan syaitan syaitan dalam istilah tafsir al-qur’an


Pembahasan tentang syaitan (setan) dan Iblis sering kali bercampur dalam benak sebagian orang, padahal keduanya memiliki perbedaan makna yang penting dalam kajian Islam. Memahami asal-usul bahasa dan definisi istilah membantu kita mengerti hakikat musuh terbesar manusia. Tulisan ini merangkum penjelasan ulama tentang makna syaitan (setan) dan Iblis, baik secara bahasa maupun secara istilah.   Daftar Isi tutup 1. Makna Bahasa Syaitan dan Iblis 1.1. Iblis Apakah Termasuk Malaikat? 2. Kesimpulan Makna Bahasa Syaitan dan Iblis Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kata syaitan dari sisi bahasa, berdasarkan perbedaan dalam menelusuri asal kata (isytiqaq) dan apakah huruf nun pada kata tersebut merupakan huruf asli atau tambahan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَطَنَ) yang berarti “jauh dari kebenaran.” Dari akar kata ini muncul ungkapan syathanahu yasythunuhu syathnan yang berarti “menyelisihi arah dan niatnya.” Disebutkan pula syathat ad-dar: rumah itu menjauh. Asy-syâthin berarti “yang jahat.” Tasyaythana ar-rajul: seseorang menjadi seperti setan dan melakukan perbuatannya. Dari sini muncul kata asy-syaythanah, yaitu sifat umum yang menggambarkan seluruh bentuk penyimpangan dan penyesatan. Berdasarkan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola (فِعْيَال) dan huruf nun di dalamnya adalah huruf asli. Sementara kelompok ulama lain berpendapat bahwa kata syaitan berasal dari akar kata (شَاطَ) yang bermakna “terbakar oleh kemarahan.” Dari akar ini muncul bentuk syâtha yasyîthu dan tasyayatha: ketika seseorang tersambar api lalu terbakar atau binasa. Dengan akar kata ini, kata syaitan berada pada pola فَعْلان dan huruf nun di situ dianggap sebagai huruf tambahan. Pendapat pertama lebih kuat, yaitu bahwa syaitan berasal dari kata (شطن). Hal ini karena makna tersebut lebih dekat dengan sifat dan perbuatan setan yang bertujuan menjauhkan manusia dari amal kebaikan dan mengikuti kebenaran. Sebab menurunkan kata syaitan dari akar syathana, yang bermakna “jauh dari kebaikan dan condong dari kebenaran,” lebih sesuai dengan hakikat perbuatannya daripada menisbahkannya kepada akar syâtha yang bermakna “terbakar.” Karena pekerjaan setan adalah menjauhkan manusia dari kebenaran, maka yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan kebaikan adalah sesuatu yang memang jauh darinya. Dan ketika kita sedang membahas definisi syaitan secara bahasa, kita juga perlu mengetahui definisi Iblis secara bahasa, sebab sebagian orang mengira bahwa Iblis dan syaitan memiliki makna yang sama. Karena itu, harus dibedakan dari sisi bahasa. • Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata Iblis berasal dari kata أَبْلَسَ الرَّجُل: ketika seseorang terputus (dalam argumentasi) dan tidak memiliki alasan. Ablasa ar-rajul: ia terhenti; Ablasa: ia diam; Ablisa min rahmatillah: ia putus asa dari rahmat Allah. Al-iblâs adalah kesedihan yang muncul karena tekanan dan kesulitan yang berat. Orang Arab menggunakan kata-kata ini, seperti ungkapan: Naqatun miblâs: unta yang tidak bersuara karena takut. Fulan ablasa: seseorang yang terdiam karena ketakutan yang sangat. • Al-Qur’an juga menggunakan makna-makna bahasa ini untuk kata ablasa. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُبْلِسُ الْمُجْرِمُونَ ﴾ “Pada hari ketika kiamat terjadi, para pendosa menjadi putus asa.” (QS. Ar-Rūm: 12) Dan firman-Nya: ﴿ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ ﴾ “Ketika mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka semua pintu (kesenangan). Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka seketika itu mereka menjadi putus asa.” (QS. Al-An‘ām: 44) • Kelompok ulama lain berpendapat bahwa Iblis adalah nama asing (non-Arab) dan tidak bisa ditashrif (tidak menerima tanwin dan tidak bisa dimasuki huruf alif-lam). • Dan ada sekelompok peneliti yang mengatakan bahwa kata Iblis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Diabolos, lalu mengalami perubahan dan penyesuaian hingga menjadi bentuk seperti itu. Meskipun ada pendapat-pendapat tersebut, kata Iblis tetap merupakan kata yang berakar dari bahasa Arab. Al-Qur’an, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, menggunakannya berdasarkan makna bahasa Arab. Mengatakan bahwa kata ini bukan Arab adalah klaim yang tidak tepat sasaran dan tidak memiliki bukti. Maka kita tegaskan bahwa kata ini berakar dari bahasa Arab, berasal dari kata ablesa ar-rajul yang berarti “terputus.” Inilah makna syaitan dan Iblis dari sisi bahasa. Syaitan dan Iblis dalam Istilah Kata syaitan secara istilah digunakan untuk menyebut: setiap makhluk yang durhaka dan membangkang, baik dari kalangan jin, manusia, maupun hewan. Berdasarkan definisi ini, konsep syaitan menjadi sebuah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang menempuh jalan kejahatan dan kesesatan. Banyak orang yang kita lihat dan melihat kita, berinteraksi dengan kita dan kita dengan mereka—secara lahir mereka adalah manusia, namun pada hakikatnya dengan perilaku, pikiran, tipu daya, dan akhlak mereka, mereka termasuk golongan para setan durhaka. Bahkan terkadang, tipu daya mereka lebih berbahaya daripada tipu daya Iblis sendiri. Adapun Iblis, ia adalah nama bagi makhluk tertentu yang diciptakan Allah dari api. Allah memasukkannya ke dalam barisan malaikat dan ia menjalankan tugasnya sesuai kehendak Allah. Namun ia kemudian menentang kemuliaan dan keagungan Rabb-nya, menyombongkan diri untuk taat kepada-Nya, dan durhaka kepada Tuhannya. Maka Allah mengusirnya dari rahmat-Nya dan dari tugasnya, lalu ia turun ke bumi, dan sifat kesetanan menjadi ciri dirinya. Iblis memiliki keturunan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي ﴾ “Pantaskah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku?” (QS. Al-Kahf: 50) Iblis adalah bagian dari bangsa jin, yang Allah ciptakan dari api yang sangat panas. Ia dan kelompoknya dapat melihat kita, sementara kita tidak dapat melihat mereka. Ia telah keluar dari ketaatan kepada Rabb-nya, dan ia merupakan pemimpin para setan serta para pembangkang. Bentuk jamaknya adalah abâlis dan abâlisah.[9] Dengan demikian, Iblis adalah nama khusus (nama diri) bagi makhluk pembangkang tersebut, sedangkan syaitan adalah sifat bagi dirinya dan makhluk lain.   Iblis Apakah Termasuk Malaikat? Ada satu masalah penting terkait hal ini: yaitu adanya nash-nash yang menyebut bahwa Iblis berasal dari malaikat—seperti firman Allah Ta’ala: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.” (QS. Thaha: 116) Dan nash-nash lain yang menyebut bahwa ia berasal dari jin—seperti firman Allah: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahf: 50) Lalu bagaimana Iblis bisa disebut sebagai malaikat sekaligus jin? Dan bagaimana kaitannya dengan istilah syaitan? Saya katakan: Iblis termasuk kelompok malaikat karena ia diperintahkan sujud bersama mereka, namun ia berasal dari jin sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Tidak ada yang aneh ketika kita mengetahui bahwa Iblis berada di tengah-tengah para malaikat, tetapi bukan dari jenis mereka; ia berasal dari bangsa jin. Jin adalah makhluk yang Allah ciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Maka Iblis termasuk malaikat dalam hal ketaatannya dan ibadahnya pada awalnya, tetapi termasuk jin dari sisi nasab dan asal penciptaan. Jika hal ini sudah jelas, maka tidak perlu ada perdebatan panjang yang ditimbulkan sebagian ulama mengenai persoalan ini, karena tidak ada faedah di baliknya.     Syaitan adalah sifat yang dapat disandang oleh siapa saja yang melakukan perbuatan Iblis. Allah memberikan sifat ini kepada Iblis sehingga sifat tersebut melekat kuat padanya, hingga manusia menyangka bahwa kata syaitan hanya khusus untuk dirinya. Namun ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa Iblis bukan satu-satunya syaitan, dan bahwa syaitan adalah sifat bagi Iblis. Allah Ta’ala berfirman: ﴿ وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ * وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ … فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan Kami berfirman: ‘Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat-nikmat (yang) banyak kekhususanNya di mana saja yang kamu sukai. Tetapi janganlah kamu mendekati pohon ini, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Iblis membisikkan kepadanya supaya dikeluarkannya dari apa yang sebelumnya ia berada di dalamnya. Dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu, (sebagai) musuh satu terhadap yang lain. Dan bagi kamu di bumi tempat tinggal dan manfaat sampai waktu yang ditentukan.’” (QS. Al-Baqarah: 34–36) Jika kita melihat frasa: ﴿ فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ ﴾ “Maka syaitan membuat keduanya tergelincir,” maka jelas bahwa yang dimaksud adalah Iblis, dengan tipu daya, rayuan, dan bisikannya. Hal serupa juga terdapat dalam Surah Thaha. Setelah Allah memerintahkan Iblis sujud kepada Adam dan Iblis menolak karena kesombongannya, Allah memperingatkan Adam agar menjadikannya musuh agar ia tidak mengeluarkannya dari surga. Allah berfirman: ﴿ فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى ﴾ “Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (QS. Thaha: 120) Maka Iblis adalah pembisik itu, dan Iblis adalah syaitan. Namun ia bukan satu-satunya syaitan. Ada banyak syaitan dari kalangan manusia dan jin yang mengikuti jalannya, meniru perilakunya, dan menempuh jalan kesesatan yang ia ajarkan. Maka pada titik ini jelaslah hubungan antara Iblis dan syaitan.   Kesimpulan Dari sisi bahasa, syaitan (setan) bermakna makhluk yang jauh dari kebenaran, sementara Iblis bermakna makhluk yang putus asa, terdiam, dan terputus dari rahmat Allah. Secara istilah, syaitan (setan) adalah sifat yang dapat dimiliki makhluk mana pun—baik manusia, jin, atau hewan—yang bersikap durhaka dan menempuh jalan kejahatan. Adapun Iblis adalah nama khusus bagi makhluk pertama yang membangkang perintah Allah untuk sujud kepada Adam, ia berasal dari golongan jin tetapi semula berada di tengah para malaikat karena ketaatannya. Perbedaan antara syaitan (setan) dan Iblis sangat jelas: Iblis adalah individu tertentu, sedangkan syaitan adalah sifat dan jalan hidup yang dapat diikuti oleh banyak makhluk. Dengan memahami hal ini, kita mengerti bahwa musuh manusia bukan hanya Iblis, melainkan semua makhluk yang mengikuti jalannya. Semoga tulisan ini bermanfaat.   Referensi: Ad-Duri, S. S. A. (2016). الشيطان في اللغة والاصطلاح. Alukah.https://www.alukah.net/sharia/0/106568/الشيطان-في-اللغة-والاصطلاح/ Ditulis di Sekar Kedhaton Jogja, 28 Jumadilawal 1447 H Penyusun: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakidah ahlus sunnah aqidah islam artikel rumaysho bahasa arab iblis iblis dalam istilah jin dan malaikat makna iblis makna setan makna syaitan perbedaan syaitan dan iblis setan syaitan syaitan dalam istilah tafsir al-qur’an

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 27): Fi‘il Mudhori’ Mu‘tal Akhir

Daftar Isi TogglePendahuluanPengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirHukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)KesimpulanPendahuluanPembahasan ini merupakan kelanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda asli seperti dhammah, fathah, atau kasrah). Setelah sebelumnya dibahas al-amtsilah al-khomsah, kini kita akan membahas bentuk fi‘il  lainnya yang juga di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir (kata kerja mudhori’) (sekarang/akan datang) yang diakhiri huruf illat (huruf cacat), seperti alif, waw, atau yaa’.Pengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirIbnu Hisyam mengatakan, fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat. Ketika fi‘il tersebut dalam keadaan majzum, maka huruf illat di akhirnya dihapus. Beliau memberi contoh:لَمْ يَغْزُ“Belum berperang.” وَلَمْ يَخْشَ“Belum takut.”وَلَمْ يَرْمِ“Dan belum melempar.”Fi‘il  jenis ini merupakan bab ketujuh dalam kategori kata yang tidak di-i‘rab dengan tanda asli, tetapi menggunakan tanda cabang.Pembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirFi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir terbagi menjadi tiga macam berdasarkan huruf akhirnya:Pertama, yang diakhiri huruf waw, seperti:يَدْعُو“Ia berdoa.”Kedua, yang diakhiri huruf alif, seperti:يَخْشَى“Ia takut.”Ketiga, yang diakhiri huruf yaa’, seperti:يَرْمِي“Ia melempar.”Hukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir akan marfu’ apabila tidak didahului oleh amil nashab (huruf yang menyebabkan nashab) atau amil jazm (huruf yang menyebabkan jazm). Tanda rafa’-nya adalah dhammah muqaddarah (dhammah yang dikira-kira), yang tidak tampak karena ada penghalang pada huruf akhirnya.Contohnya adalah:يَنْهَى الإِسْلَامُ عَنِ الْكَذِبِ“Islam melarang berbohong.”Kata يَنْهَى  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada uzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Contoh lainnya adalah:اَلْمُؤْمِنُ يَدْعُو إِلَى الإِسْلَامِ بِأَخْلَاقِهِ“Orang mukmin menyeru kepada Islam dengan akhlaknya.”Kata يَدْعُو  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas waw, karena harakat tidak tampak disebabkan tsiql (beratnya pengucapan).Demikian pula:اَلْعَاقِلُ يَهْتَدِي بِنُصْحِ الْمُجَرِّبِينَ“Orang yang berakal mendapat petunjuk dengan nasihat orang berpengalaman.”Kata يَهْتَدِي juga marfu’ dengan dhammah muqaddarah di atas yaa’. Faktor yang mengahalangi harakat dhommah pada akhir kata tersebut adalah tsiql (beratnya pengucapan).Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Fi‘il  mudhori’ menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab seperti لَنْ (lan).Tanda nashab-nya adalah fathah muqaddarah (fathah yang dikira-kira) bila berakhir dengan alif, dan fathah dzahirah (fathah tampak) bila berakhir dengan waw atau yaa’.Pertama, fi‘il yang diakhiri alif (fathah muqaddarah):لَنْ يَسْعَى الْعَاقِلُ فِيمَا يَضُرُّهُ“Orang berakal tidak akan berusaha dalam hal yang merugikannya.”Kata يَسْعَى manshub dengan fathah muqaddarah di atas huruf alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada udzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Kedua, fi‘il yang diakhiri waw (fathah dzahirah):لَنْ يَدْعُوَ الْمُؤْمِنُ إِلَّا رَبَّهُ“Orang mukmin tidak akan berdoa kecuali kepada Rabnya.”Kata يَدْعُوَ manshub karena didahului lan, dengan tanda fathah dzahirah (dimunculkan).Ketiga, fi‘il yang diakhiri yaa’ (fathah dzahirah):لَنْ يَرْتَقِيَ الْحَسُودُ“Orang yang iri tidak akan naik derajat.”Kata يَرْتَقِيَ manshub dengan tanda fathah dzahirah.Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)Apabila fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir didahului oleh huruf jazm, seperti لَمْ (lam) atau لَا النَّاهِيَة (laa nahiyah), maka tanda jazm-nya adalah hazf harf al-‘illah (dihapusnya huruf illat di akhir kata).Contohnya:لَا تَنْسَ وَعْدَكَ“Janganlah engkau lupa janjimu.”Kata تَنْسَ adalah fi‘il  mudhori’ majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus alif di akhir kata). Asalnya ada huruf alif pada akhir kata tersebut. Disebabkan didahului huruf laa nahiyah.Contoh lain:لَا تَدْعُ غَيْرَ اللّٰهِ“Jangan berdoa kepada selain Allah.”Kata تَدْعُ majzum dengan dihapus huruf waw di akhirnya.Dan juga:لَمْ يَهْتَدِ النَّاسُ إِلَّا بِهٰذَا الدِّينِ“Manusia tidak mendapat petunjuk kecuali dengan agama ini.”Kata يَهْتَدِ majzum dengan menghapus huruf yaa’ di akhirnya.KesimpulanFi‘il mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat (alif, waw, atau yaa’).Pertama, marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah;Kedua, manshub dengan tanda fathah muqaddarah (jika diakhiri alif) atau fathah dzahirah (jika diakhiri waw/yaa’);Ketiga, majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus huruf illat di akhir kata).Fi‘il jenis ini tidak di-i‘rab dengan tanda asli sebagaimana fi‘il lain pada umumnya. Pembahasan ini menunjukkan ketelitian sistem i‘rab bahasa Arab, di mana perubahan bentuk kata sangat bergantung pada huruf terakhir dan posisi gramatikalnya.[Bersambung]Kembali ke bagian 26***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 27): Fi‘il Mudhori’ Mu‘tal Akhir

Daftar Isi TogglePendahuluanPengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirHukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)KesimpulanPendahuluanPembahasan ini merupakan kelanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda asli seperti dhammah, fathah, atau kasrah). Setelah sebelumnya dibahas al-amtsilah al-khomsah, kini kita akan membahas bentuk fi‘il  lainnya yang juga di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir (kata kerja mudhori’) (sekarang/akan datang) yang diakhiri huruf illat (huruf cacat), seperti alif, waw, atau yaa’.Pengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirIbnu Hisyam mengatakan, fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat. Ketika fi‘il tersebut dalam keadaan majzum, maka huruf illat di akhirnya dihapus. Beliau memberi contoh:لَمْ يَغْزُ“Belum berperang.” وَلَمْ يَخْشَ“Belum takut.”وَلَمْ يَرْمِ“Dan belum melempar.”Fi‘il  jenis ini merupakan bab ketujuh dalam kategori kata yang tidak di-i‘rab dengan tanda asli, tetapi menggunakan tanda cabang.Pembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirFi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir terbagi menjadi tiga macam berdasarkan huruf akhirnya:Pertama, yang diakhiri huruf waw, seperti:يَدْعُو“Ia berdoa.”Kedua, yang diakhiri huruf alif, seperti:يَخْشَى“Ia takut.”Ketiga, yang diakhiri huruf yaa’, seperti:يَرْمِي“Ia melempar.”Hukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir akan marfu’ apabila tidak didahului oleh amil nashab (huruf yang menyebabkan nashab) atau amil jazm (huruf yang menyebabkan jazm). Tanda rafa’-nya adalah dhammah muqaddarah (dhammah yang dikira-kira), yang tidak tampak karena ada penghalang pada huruf akhirnya.Contohnya adalah:يَنْهَى الإِسْلَامُ عَنِ الْكَذِبِ“Islam melarang berbohong.”Kata يَنْهَى  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada uzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Contoh lainnya adalah:اَلْمُؤْمِنُ يَدْعُو إِلَى الإِسْلَامِ بِأَخْلَاقِهِ“Orang mukmin menyeru kepada Islam dengan akhlaknya.”Kata يَدْعُو  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas waw, karena harakat tidak tampak disebabkan tsiql (beratnya pengucapan).Demikian pula:اَلْعَاقِلُ يَهْتَدِي بِنُصْحِ الْمُجَرِّبِينَ“Orang yang berakal mendapat petunjuk dengan nasihat orang berpengalaman.”Kata يَهْتَدِي juga marfu’ dengan dhammah muqaddarah di atas yaa’. Faktor yang mengahalangi harakat dhommah pada akhir kata tersebut adalah tsiql (beratnya pengucapan).Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Fi‘il  mudhori’ menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab seperti لَنْ (lan).Tanda nashab-nya adalah fathah muqaddarah (fathah yang dikira-kira) bila berakhir dengan alif, dan fathah dzahirah (fathah tampak) bila berakhir dengan waw atau yaa’.Pertama, fi‘il yang diakhiri alif (fathah muqaddarah):لَنْ يَسْعَى الْعَاقِلُ فِيمَا يَضُرُّهُ“Orang berakal tidak akan berusaha dalam hal yang merugikannya.”Kata يَسْعَى manshub dengan fathah muqaddarah di atas huruf alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada udzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Kedua, fi‘il yang diakhiri waw (fathah dzahirah):لَنْ يَدْعُوَ الْمُؤْمِنُ إِلَّا رَبَّهُ“Orang mukmin tidak akan berdoa kecuali kepada Rabnya.”Kata يَدْعُوَ manshub karena didahului lan, dengan tanda fathah dzahirah (dimunculkan).Ketiga, fi‘il yang diakhiri yaa’ (fathah dzahirah):لَنْ يَرْتَقِيَ الْحَسُودُ“Orang yang iri tidak akan naik derajat.”Kata يَرْتَقِيَ manshub dengan tanda fathah dzahirah.Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)Apabila fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir didahului oleh huruf jazm, seperti لَمْ (lam) atau لَا النَّاهِيَة (laa nahiyah), maka tanda jazm-nya adalah hazf harf al-‘illah (dihapusnya huruf illat di akhir kata).Contohnya:لَا تَنْسَ وَعْدَكَ“Janganlah engkau lupa janjimu.”Kata تَنْسَ adalah fi‘il  mudhori’ majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus alif di akhir kata). Asalnya ada huruf alif pada akhir kata tersebut. Disebabkan didahului huruf laa nahiyah.Contoh lain:لَا تَدْعُ غَيْرَ اللّٰهِ“Jangan berdoa kepada selain Allah.”Kata تَدْعُ majzum dengan dihapus huruf waw di akhirnya.Dan juga:لَمْ يَهْتَدِ النَّاسُ إِلَّا بِهٰذَا الدِّينِ“Manusia tidak mendapat petunjuk kecuali dengan agama ini.”Kata يَهْتَدِ majzum dengan menghapus huruf yaa’ di akhirnya.KesimpulanFi‘il mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat (alif, waw, atau yaa’).Pertama, marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah;Kedua, manshub dengan tanda fathah muqaddarah (jika diakhiri alif) atau fathah dzahirah (jika diakhiri waw/yaa’);Ketiga, majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus huruf illat di akhir kata).Fi‘il jenis ini tidak di-i‘rab dengan tanda asli sebagaimana fi‘il lain pada umumnya. Pembahasan ini menunjukkan ketelitian sistem i‘rab bahasa Arab, di mana perubahan bentuk kata sangat bergantung pada huruf terakhir dan posisi gramatikalnya.[Bersambung]Kembali ke bagian 26***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePendahuluanPengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirHukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)KesimpulanPendahuluanPembahasan ini merupakan kelanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda asli seperti dhammah, fathah, atau kasrah). Setelah sebelumnya dibahas al-amtsilah al-khomsah, kini kita akan membahas bentuk fi‘il  lainnya yang juga di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir (kata kerja mudhori’) (sekarang/akan datang) yang diakhiri huruf illat (huruf cacat), seperti alif, waw, atau yaa’.Pengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirIbnu Hisyam mengatakan, fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat. Ketika fi‘il tersebut dalam keadaan majzum, maka huruf illat di akhirnya dihapus. Beliau memberi contoh:لَمْ يَغْزُ“Belum berperang.” وَلَمْ يَخْشَ“Belum takut.”وَلَمْ يَرْمِ“Dan belum melempar.”Fi‘il  jenis ini merupakan bab ketujuh dalam kategori kata yang tidak di-i‘rab dengan tanda asli, tetapi menggunakan tanda cabang.Pembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirFi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir terbagi menjadi tiga macam berdasarkan huruf akhirnya:Pertama, yang diakhiri huruf waw, seperti:يَدْعُو“Ia berdoa.”Kedua, yang diakhiri huruf alif, seperti:يَخْشَى“Ia takut.”Ketiga, yang diakhiri huruf yaa’, seperti:يَرْمِي“Ia melempar.”Hukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir akan marfu’ apabila tidak didahului oleh amil nashab (huruf yang menyebabkan nashab) atau amil jazm (huruf yang menyebabkan jazm). Tanda rafa’-nya adalah dhammah muqaddarah (dhammah yang dikira-kira), yang tidak tampak karena ada penghalang pada huruf akhirnya.Contohnya adalah:يَنْهَى الإِسْلَامُ عَنِ الْكَذِبِ“Islam melarang berbohong.”Kata يَنْهَى  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada uzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Contoh lainnya adalah:اَلْمُؤْمِنُ يَدْعُو إِلَى الإِسْلَامِ بِأَخْلَاقِهِ“Orang mukmin menyeru kepada Islam dengan akhlaknya.”Kata يَدْعُو  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas waw, karena harakat tidak tampak disebabkan tsiql (beratnya pengucapan).Demikian pula:اَلْعَاقِلُ يَهْتَدِي بِنُصْحِ الْمُجَرِّبِينَ“Orang yang berakal mendapat petunjuk dengan nasihat orang berpengalaman.”Kata يَهْتَدِي juga marfu’ dengan dhammah muqaddarah di atas yaa’. Faktor yang mengahalangi harakat dhommah pada akhir kata tersebut adalah tsiql (beratnya pengucapan).Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Fi‘il  mudhori’ menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab seperti لَنْ (lan).Tanda nashab-nya adalah fathah muqaddarah (fathah yang dikira-kira) bila berakhir dengan alif, dan fathah dzahirah (fathah tampak) bila berakhir dengan waw atau yaa’.Pertama, fi‘il yang diakhiri alif (fathah muqaddarah):لَنْ يَسْعَى الْعَاقِلُ فِيمَا يَضُرُّهُ“Orang berakal tidak akan berusaha dalam hal yang merugikannya.”Kata يَسْعَى manshub dengan fathah muqaddarah di atas huruf alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada udzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Kedua, fi‘il yang diakhiri waw (fathah dzahirah):لَنْ يَدْعُوَ الْمُؤْمِنُ إِلَّا رَبَّهُ“Orang mukmin tidak akan berdoa kecuali kepada Rabnya.”Kata يَدْعُوَ manshub karena didahului lan, dengan tanda fathah dzahirah (dimunculkan).Ketiga, fi‘il yang diakhiri yaa’ (fathah dzahirah):لَنْ يَرْتَقِيَ الْحَسُودُ“Orang yang iri tidak akan naik derajat.”Kata يَرْتَقِيَ manshub dengan tanda fathah dzahirah.Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)Apabila fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir didahului oleh huruf jazm, seperti لَمْ (lam) atau لَا النَّاهِيَة (laa nahiyah), maka tanda jazm-nya adalah hazf harf al-‘illah (dihapusnya huruf illat di akhir kata).Contohnya:لَا تَنْسَ وَعْدَكَ“Janganlah engkau lupa janjimu.”Kata تَنْسَ adalah fi‘il  mudhori’ majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus alif di akhir kata). Asalnya ada huruf alif pada akhir kata tersebut. Disebabkan didahului huruf laa nahiyah.Contoh lain:لَا تَدْعُ غَيْرَ اللّٰهِ“Jangan berdoa kepada selain Allah.”Kata تَدْعُ majzum dengan dihapus huruf waw di akhirnya.Dan juga:لَمْ يَهْتَدِ النَّاسُ إِلَّا بِهٰذَا الدِّينِ“Manusia tidak mendapat petunjuk kecuali dengan agama ini.”Kata يَهْتَدِ majzum dengan menghapus huruf yaa’ di akhirnya.KesimpulanFi‘il mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat (alif, waw, atau yaa’).Pertama, marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah;Kedua, manshub dengan tanda fathah muqaddarah (jika diakhiri alif) atau fathah dzahirah (jika diakhiri waw/yaa’);Ketiga, majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus huruf illat di akhir kata).Fi‘il jenis ini tidak di-i‘rab dengan tanda asli sebagaimana fi‘il lain pada umumnya. Pembahasan ini menunjukkan ketelitian sistem i‘rab bahasa Arab, di mana perubahan bentuk kata sangat bergantung pada huruf terakhir dan posisi gramatikalnya.[Bersambung]Kembali ke bagian 26***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePendahuluanPengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirHukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)KesimpulanPendahuluanPembahasan ini merupakan kelanjutan dari bab i‘rab yang menggunakan tanda cabang (bukan tanda asli seperti dhammah, fathah, atau kasrah). Setelah sebelumnya dibahas al-amtsilah al-khomsah, kini kita akan membahas bentuk fi‘il  lainnya yang juga di-i‘rab dengan tanda cabang, yaitu fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir (kata kerja mudhori’) (sekarang/akan datang) yang diakhiri huruf illat (huruf cacat), seperti alif, waw, atau yaa’.Pengertian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirIbnu Hisyam mengatakan, fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat. Ketika fi‘il tersebut dalam keadaan majzum, maka huruf illat di akhirnya dihapus. Beliau memberi contoh:لَمْ يَغْزُ“Belum berperang.” وَلَمْ يَخْشَ“Belum takut.”وَلَمْ يَرْمِ“Dan belum melempar.”Fi‘il  jenis ini merupakan bab ketujuh dalam kategori kata yang tidak di-i‘rab dengan tanda asli, tetapi menggunakan tanda cabang.Pembagian fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirFi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir terbagi menjadi tiga macam berdasarkan huruf akhirnya:Pertama, yang diakhiri huruf waw, seperti:يَدْعُو“Ia berdoa.”Kedua, yang diakhiri huruf alif, seperti:يَخْشَى“Ia takut.”Ketiga, yang diakhiri huruf yaa’, seperti:يَرْمِي“Ia melempar.”Hukum i‘rab fi‘il mudhori’ mu‘tal akhirPertama, fi‘il mudhori’ marfu’ (مرفوع)Fi‘il mudhori’ mu‘tal akhir akan marfu’ apabila tidak didahului oleh amil nashab (huruf yang menyebabkan nashab) atau amil jazm (huruf yang menyebabkan jazm). Tanda rafa’-nya adalah dhammah muqaddarah (dhammah yang dikira-kira), yang tidak tampak karena ada penghalang pada huruf akhirnya.Contohnya adalah:يَنْهَى الإِسْلَامُ عَنِ الْكَذِبِ“Islam melarang berbohong.”Kata يَنْهَى  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada uzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Contoh lainnya adalah:اَلْمُؤْمِنُ يَدْعُو إِلَى الإِسْلَامِ بِأَخْلَاقِهِ“Orang mukmin menyeru kepada Islam dengan akhlaknya.”Kata يَدْعُو  marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah di atas waw, karena harakat tidak tampak disebabkan tsiql (beratnya pengucapan).Demikian pula:اَلْعَاقِلُ يَهْتَدِي بِنُصْحِ الْمُجَرِّبِينَ“Orang yang berakal mendapat petunjuk dengan nasihat orang berpengalaman.”Kata يَهْتَدِي juga marfu’ dengan dhammah muqaddarah di atas yaa’. Faktor yang mengahalangi harakat dhommah pada akhir kata tersebut adalah tsiql (beratnya pengucapan).Kedua, fi‘il mudhori’ manshub (منصوب)Fi‘il  mudhori’ menjadi manshub apabila didahului oleh huruf nashab seperti لَنْ (lan).Tanda nashab-nya adalah fathah muqaddarah (fathah yang dikira-kira) bila berakhir dengan alif, dan fathah dzahirah (fathah tampak) bila berakhir dengan waw atau yaa’.Pertama, fi‘il yang diakhiri alif (fathah muqaddarah):لَنْ يَسْعَى الْعَاقِلُ فِيمَا يَضُرُّهُ“Orang berakal tidak akan berusaha dalam hal yang merugikannya.”Kata يَسْعَى manshub dengan fathah muqaddarah di atas huruf alif. Alasan yang menyebabkan huruf terakhir tidak diberi harakat dikarenakan ada udzur, yaitu alif di akhir tidak bisa menerima harakat.Kedua, fi‘il yang diakhiri waw (fathah dzahirah):لَنْ يَدْعُوَ الْمُؤْمِنُ إِلَّا رَبَّهُ“Orang mukmin tidak akan berdoa kecuali kepada Rabnya.”Kata يَدْعُوَ manshub karena didahului lan, dengan tanda fathah dzahirah (dimunculkan).Ketiga, fi‘il yang diakhiri yaa’ (fathah dzahirah):لَنْ يَرْتَقِيَ الْحَسُودُ“Orang yang iri tidak akan naik derajat.”Kata يَرْتَقِيَ manshub dengan tanda fathah dzahirah.Ketiga, fi‘il mudhori’ majzum (مجزوم)Apabila fi‘il  mudhori’ mu‘tal akhir didahului oleh huruf jazm, seperti لَمْ (lam) atau لَا النَّاهِيَة (laa nahiyah), maka tanda jazm-nya adalah hazf harf al-‘illah (dihapusnya huruf illat di akhir kata).Contohnya:لَا تَنْسَ وَعْدَكَ“Janganlah engkau lupa janjimu.”Kata تَنْسَ adalah fi‘il  mudhori’ majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus alif di akhir kata). Asalnya ada huruf alif pada akhir kata tersebut. Disebabkan didahului huruf laa nahiyah.Contoh lain:لَا تَدْعُ غَيْرَ اللّٰهِ“Jangan berdoa kepada selain Allah.”Kata تَدْعُ majzum dengan dihapus huruf waw di akhirnya.Dan juga:لَمْ يَهْتَدِ النَّاسُ إِلَّا بِهٰذَا الدِّينِ“Manusia tidak mendapat petunjuk kecuali dengan agama ini.”Kata يَهْتَدِ majzum dengan menghapus huruf yaa’ di akhirnya.KesimpulanFi‘il mudhori’ mu‘tal akhir adalah fi‘il mudhori’ yang huruf akhirnya termasuk huruf illat (alif, waw, atau yaa’).Pertama, marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah;Kedua, manshub dengan tanda fathah muqaddarah (jika diakhiri alif) atau fathah dzahirah (jika diakhiri waw/yaa’);Ketiga, majzum dengan tanda hazf harf al-‘illah (menghapus huruf illat di akhir kata).Fi‘il jenis ini tidak di-i‘rab dengan tanda asli sebagaimana fi‘il lain pada umumnya. Pembahasan ini menunjukkan ketelitian sistem i‘rab bahasa Arab, di mana perubahan bentuk kata sangat bergantung pada huruf terakhir dan posisi gramatikalnya.[Bersambung]Kembali ke bagian 26***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Imam Ahmad Sering Baca Doa Ini agar Tak Pernah Minta-Minta kepada Manusia – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Suatu faedah dari doa Imam Ahmad.Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hambal, berkata: “Dulu aku sering mendengar ayahku berdoa di akhir shalatnya: ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.’” Ini adalah doa agung yang sering dibaca oleh Imam Ahmad. “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” Orang muslim—alhamdulillah—dilindungi oleh Allah Ta’ala dari bersujud kepada selain-Nya. Maka, hendaklah seorang muslim juga menjaga wajahnya agar tidak meminta-minta kepada selain Allah. Bahkan jika ia memerlukan sesuatu, tetap menghindari meminta kepada manusia. Karena meminta-minta mengandung kehinaan. Tangan di atas—yaitu tangan yang memberi—lebih baik daripada tangan di bawah—yaitu tangan yang menerima. Oleh sebab itu, beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaiat kepada beliau untuk tidak meminta apa pun kepada manusia. Bahkan ketika cambuk salah seorang dari mereka terjatuh, ia turun sendiri dari tunggangannya untuk mengambilnya, tanpa meminta seorang pun mengambilkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah.” Alangkah baiknya jika seorang muslim menjadikan hal ini sebagai prinsip hidupnya: tidak meminta apa pun kepada manusia, melainkan bersandar kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala, tanpa meminta apa pun kepada makhluk. Hendaklah seseorang menumbuhkan rasa kehormatan diri dalam jiwanya. Ada sebagian orang yang punya penyakit suka meminta-minta kepada orang lain, bahkan terkadang ia sebenarnya kaya atau kondisinya lapang, namun tetap saja meminta harta orang lain. Meminta-minta harta manusia adalah perbuatan yang tercela. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa meminta harta manusia untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api; terserah, sedikit atau banyak yang ia ambil.” Oleh sebab itu, doa ini sangat agung, selayaknya bagi setiap muslim untuk menjaganya: “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” ===== فَائِدَةٌ مِنْ أَدْعِيَةِ الإِمَامِ أَحْمَدَ قَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ كُنْتُ أَسْمَعُ أَبِي كَثِيرًا يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ هَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ كَانَ يَدْعُو بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ كَثِيرًا اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ فَالْمُسْلِمُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ صَانَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي كَذَلِكَ أَنْ يَصُونَ الْمُسْلِمُ وَجْهَهُ عَنْ أَنْ يَسْأَلَ غَيْرَ اللَّهِ حَتَّى لَوْ احْتَاجَ لَا يَسْأَلُ غَيْرَهُ إِنَّ السُّؤَالَ فِيهِ ذِلَّةٌ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ وَلِهَذَا بَايَعَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعُوهُ عَلَى أَلَّا يَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا فَكَانَ سَوْطُ أَحَدِهِمْ يَسْقُطُ فَيَنْزِلُ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَيَأْخُذُهُ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يُنَاوِلَهُ إِيَّاهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَهُ فِي الْحَيَاةِ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَلْجَأُ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَنْبَغِي أَنْ يُرْبِيَ الْإِنْسَانُ مَعَانِيَ الْعِزَّةِ فِي نَفْسِهِ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى مُبْتَلًى بِسُؤَالِ غَيْرِهِ وَرُبَّمَا يَكُونُ غَنِيًّا أَوْ أَحْوَالُهُ مَيْسُورَةً وَمَعَ ذَلِكَ تَجِدُهُ يَسْأَلُ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ فَسُؤَالُ النَّاسِ أَمْوَالَهُمْ مَذْمُومٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ سَأَلَ أَمْوَالَ النَّاسِ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ وَلِهَذَا فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ

Imam Ahmad Sering Baca Doa Ini agar Tak Pernah Minta-Minta kepada Manusia – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Suatu faedah dari doa Imam Ahmad.Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hambal, berkata: “Dulu aku sering mendengar ayahku berdoa di akhir shalatnya: ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.’” Ini adalah doa agung yang sering dibaca oleh Imam Ahmad. “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” Orang muslim—alhamdulillah—dilindungi oleh Allah Ta’ala dari bersujud kepada selain-Nya. Maka, hendaklah seorang muslim juga menjaga wajahnya agar tidak meminta-minta kepada selain Allah. Bahkan jika ia memerlukan sesuatu, tetap menghindari meminta kepada manusia. Karena meminta-minta mengandung kehinaan. Tangan di atas—yaitu tangan yang memberi—lebih baik daripada tangan di bawah—yaitu tangan yang menerima. Oleh sebab itu, beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaiat kepada beliau untuk tidak meminta apa pun kepada manusia. Bahkan ketika cambuk salah seorang dari mereka terjatuh, ia turun sendiri dari tunggangannya untuk mengambilnya, tanpa meminta seorang pun mengambilkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah.” Alangkah baiknya jika seorang muslim menjadikan hal ini sebagai prinsip hidupnya: tidak meminta apa pun kepada manusia, melainkan bersandar kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala, tanpa meminta apa pun kepada makhluk. Hendaklah seseorang menumbuhkan rasa kehormatan diri dalam jiwanya. Ada sebagian orang yang punya penyakit suka meminta-minta kepada orang lain, bahkan terkadang ia sebenarnya kaya atau kondisinya lapang, namun tetap saja meminta harta orang lain. Meminta-minta harta manusia adalah perbuatan yang tercela. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa meminta harta manusia untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api; terserah, sedikit atau banyak yang ia ambil.” Oleh sebab itu, doa ini sangat agung, selayaknya bagi setiap muslim untuk menjaganya: “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” ===== فَائِدَةٌ مِنْ أَدْعِيَةِ الإِمَامِ أَحْمَدَ قَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ كُنْتُ أَسْمَعُ أَبِي كَثِيرًا يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ هَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ كَانَ يَدْعُو بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ كَثِيرًا اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ فَالْمُسْلِمُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ صَانَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي كَذَلِكَ أَنْ يَصُونَ الْمُسْلِمُ وَجْهَهُ عَنْ أَنْ يَسْأَلَ غَيْرَ اللَّهِ حَتَّى لَوْ احْتَاجَ لَا يَسْأَلُ غَيْرَهُ إِنَّ السُّؤَالَ فِيهِ ذِلَّةٌ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ وَلِهَذَا بَايَعَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعُوهُ عَلَى أَلَّا يَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا فَكَانَ سَوْطُ أَحَدِهِمْ يَسْقُطُ فَيَنْزِلُ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَيَأْخُذُهُ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يُنَاوِلَهُ إِيَّاهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَهُ فِي الْحَيَاةِ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَلْجَأُ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَنْبَغِي أَنْ يُرْبِيَ الْإِنْسَانُ مَعَانِيَ الْعِزَّةِ فِي نَفْسِهِ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى مُبْتَلًى بِسُؤَالِ غَيْرِهِ وَرُبَّمَا يَكُونُ غَنِيًّا أَوْ أَحْوَالُهُ مَيْسُورَةً وَمَعَ ذَلِكَ تَجِدُهُ يَسْأَلُ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ فَسُؤَالُ النَّاسِ أَمْوَالَهُمْ مَذْمُومٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ سَأَلَ أَمْوَالَ النَّاسِ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ وَلِهَذَا فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ
Suatu faedah dari doa Imam Ahmad.Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hambal, berkata: “Dulu aku sering mendengar ayahku berdoa di akhir shalatnya: ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.’” Ini adalah doa agung yang sering dibaca oleh Imam Ahmad. “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” Orang muslim—alhamdulillah—dilindungi oleh Allah Ta’ala dari bersujud kepada selain-Nya. Maka, hendaklah seorang muslim juga menjaga wajahnya agar tidak meminta-minta kepada selain Allah. Bahkan jika ia memerlukan sesuatu, tetap menghindari meminta kepada manusia. Karena meminta-minta mengandung kehinaan. Tangan di atas—yaitu tangan yang memberi—lebih baik daripada tangan di bawah—yaitu tangan yang menerima. Oleh sebab itu, beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaiat kepada beliau untuk tidak meminta apa pun kepada manusia. Bahkan ketika cambuk salah seorang dari mereka terjatuh, ia turun sendiri dari tunggangannya untuk mengambilnya, tanpa meminta seorang pun mengambilkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah.” Alangkah baiknya jika seorang muslim menjadikan hal ini sebagai prinsip hidupnya: tidak meminta apa pun kepada manusia, melainkan bersandar kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala, tanpa meminta apa pun kepada makhluk. Hendaklah seseorang menumbuhkan rasa kehormatan diri dalam jiwanya. Ada sebagian orang yang punya penyakit suka meminta-minta kepada orang lain, bahkan terkadang ia sebenarnya kaya atau kondisinya lapang, namun tetap saja meminta harta orang lain. Meminta-minta harta manusia adalah perbuatan yang tercela. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa meminta harta manusia untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api; terserah, sedikit atau banyak yang ia ambil.” Oleh sebab itu, doa ini sangat agung, selayaknya bagi setiap muslim untuk menjaganya: “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” ===== فَائِدَةٌ مِنْ أَدْعِيَةِ الإِمَامِ أَحْمَدَ قَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ كُنْتُ أَسْمَعُ أَبِي كَثِيرًا يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ هَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ كَانَ يَدْعُو بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ كَثِيرًا اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ فَالْمُسْلِمُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ صَانَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي كَذَلِكَ أَنْ يَصُونَ الْمُسْلِمُ وَجْهَهُ عَنْ أَنْ يَسْأَلَ غَيْرَ اللَّهِ حَتَّى لَوْ احْتَاجَ لَا يَسْأَلُ غَيْرَهُ إِنَّ السُّؤَالَ فِيهِ ذِلَّةٌ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ وَلِهَذَا بَايَعَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعُوهُ عَلَى أَلَّا يَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا فَكَانَ سَوْطُ أَحَدِهِمْ يَسْقُطُ فَيَنْزِلُ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَيَأْخُذُهُ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يُنَاوِلَهُ إِيَّاهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَهُ فِي الْحَيَاةِ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَلْجَأُ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَنْبَغِي أَنْ يُرْبِيَ الْإِنْسَانُ مَعَانِيَ الْعِزَّةِ فِي نَفْسِهِ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى مُبْتَلًى بِسُؤَالِ غَيْرِهِ وَرُبَّمَا يَكُونُ غَنِيًّا أَوْ أَحْوَالُهُ مَيْسُورَةً وَمَعَ ذَلِكَ تَجِدُهُ يَسْأَلُ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ فَسُؤَالُ النَّاسِ أَمْوَالَهُمْ مَذْمُومٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ سَأَلَ أَمْوَالَ النَّاسِ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ وَلِهَذَا فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ


Suatu faedah dari doa Imam Ahmad.Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hambal, berkata: “Dulu aku sering mendengar ayahku berdoa di akhir shalatnya: ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.’” Ini adalah doa agung yang sering dibaca oleh Imam Ahmad. “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” Orang muslim—alhamdulillah—dilindungi oleh Allah Ta’ala dari bersujud kepada selain-Nya. Maka, hendaklah seorang muslim juga menjaga wajahnya agar tidak meminta-minta kepada selain Allah. Bahkan jika ia memerlukan sesuatu, tetap menghindari meminta kepada manusia. Karena meminta-minta mengandung kehinaan. Tangan di atas—yaitu tangan yang memberi—lebih baik daripada tangan di bawah—yaitu tangan yang menerima. Oleh sebab itu, beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaiat kepada beliau untuk tidak meminta apa pun kepada manusia. Bahkan ketika cambuk salah seorang dari mereka terjatuh, ia turun sendiri dari tunggangannya untuk mengambilnya, tanpa meminta seorang pun mengambilkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah.” Alangkah baiknya jika seorang muslim menjadikan hal ini sebagai prinsip hidupnya: tidak meminta apa pun kepada manusia, melainkan bersandar kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala, tanpa meminta apa pun kepada makhluk. Hendaklah seseorang menumbuhkan rasa kehormatan diri dalam jiwanya. Ada sebagian orang yang punya penyakit suka meminta-minta kepada orang lain, bahkan terkadang ia sebenarnya kaya atau kondisinya lapang, namun tetap saja meminta harta orang lain. Meminta-minta harta manusia adalah perbuatan yang tercela. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa meminta harta manusia untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api; terserah, sedikit atau banyak yang ia ambil.” Oleh sebab itu, doa ini sangat agung, selayaknya bagi setiap muslim untuk menjaganya: “Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari bersujud kepada selain Engkau, maka lindungi pula wajahku dari meminta-minta kepada selain Engkau.” ===== فَائِدَةٌ مِنْ أَدْعِيَةِ الإِمَامِ أَحْمَدَ قَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ كُنْتُ أَسْمَعُ أَبِي كَثِيرًا يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ هَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ كَانَ يَدْعُو بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ كَثِيرًا اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ فَالْمُسْلِمُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ صَانَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي كَذَلِكَ أَنْ يَصُونَ الْمُسْلِمُ وَجْهَهُ عَنْ أَنْ يَسْأَلَ غَيْرَ اللَّهِ حَتَّى لَوْ احْتَاجَ لَا يَسْأَلُ غَيْرَهُ إِنَّ السُّؤَالَ فِيهِ ذِلَّةٌ وَالْيَدُ الْعُلْيَا وَهِيَ الْمُعْطِيَةُ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَهِيَ الْآخِذَةُ وَلِهَذَا بَايَعَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعُوهُ عَلَى أَلَّا يَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا فَكَانَ سَوْطُ أَحَدِهِمْ يَسْقُطُ فَيَنْزِلُ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَيَأْخُذُهُ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يُنَاوِلَهُ إِيَّاهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ الْمُسْلِمُ هَذَا مَبْدَأً لَهُ فِي الْحَيَاةِ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَلْجَأُ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا يَنْبَغِي أَنْ يُرْبِيَ الْإِنْسَانُ مَعَانِيَ الْعِزَّةِ فِي نَفْسِهِ بَعْضُ النَّاسِ مُبْتَلًى مُبْتَلًى بِسُؤَالِ غَيْرِهِ وَرُبَّمَا يَكُونُ غَنِيًّا أَوْ أَحْوَالُهُ مَيْسُورَةً وَمَعَ ذَلِكَ تَجِدُهُ يَسْأَلُ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ فَسُؤَالُ النَّاسِ أَمْوَالَهُمْ مَذْمُومٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ سَأَلَ أَمْوَالَ النَّاسِ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ وَلِهَذَا فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ اللَّهُمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِي عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ فَصُنْ وَجْهِي عَنِ الْمَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ

Sebab-Sebab Datangnya Hidayah dan Penghalang-Penghalangnya

خطبة أسباب وموانع الهداية Oleh: Yahya Sulaiman al-Uqaili يحيى سليمان العقيلي الحمد لله الهادي إلى سواء السبيل، أحمده سبحانه وأشكره، وأتوب إليه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله، الهادي البشير، والسراج المنير، أرسله الله رحمةً للعالمين، وهدايةً للناس أجمعين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Memberi Petunjuk menuju jalan yang lurus. Saya mengucap puji syukur kehadirat-Nya, bertobat dan memohon ampun kepada-Nya, dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang tidak memiliki sekutu, yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Saya juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, sang penunjuk jalan dan pemberi kabar gembira, sang pelita yang terang benderang, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam dan petunjuk bagi seluruh manusia sekalian. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan para pengikut sejati mereka hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: فاتقوا الله – عباد الله – حقَّ التقوى، فمن اتقى ربه نجا، ومن اتبع هواه غوى؛ ﴿ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴾ [البقرة: 282]. معاشر المؤمنين: تحدثنا في خطبة سابقة عن الهداية؛ أسبابِها وبواعثها، وأنها الهداية لمنهج الله تعالى: ﴿ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا ﴾ [الكهف: 17]. وقال صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه: ((يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلا من هديتُه، فاستهدوني، أَهدِكم))؛ [رواه مسلم: 6737]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya pasti akan selamat, dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya pasti akan tersesat.  وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282). Wahai kaum mukminin! Pada khutbah sebelumnya kita telah membahas tentang hidayah, sebab-sebab dan faktor-faktor pemicunya, dan yang dimaksud adalah hidayah menuju jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala: مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا “Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: يَاعِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai para hamba-Ku! Kalian semua itu sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku beri kalian hidayah.” (HR. Muslim No. 6737). ونقيض الهداية – عباد الله – الضلالةُ؛ بأن يُحرَم المرء التوفيقَ إلى الهداية، والسير على صراط الله المستقيم، ليتخبَّط في سبل الضلالة، غافلًا عن تحذير ربنا جل وعلا: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾ [الأنعام: 153]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Kebalikan dari hidayah adalah kesesatan, yaitu seseorang terhalang dari taufik menuju hidayah dan berjalan di atas jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang benar, sehingga ia jatuh tersungkur di atas jalan-jalan kesesatan dan lalai dari peringatan Tuhan kita ‘Azza wa Jalla: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: ((خطَّ لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله، ثم خط عن يمين ذلك الخط، وعن شماله خطوطًا، فقال: هذه سُبُلٌ، على كل سبيل منها شيطان يدعو إليها؛ ثم قرأ هذه الآية: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾ [الأنعام: 153]))؛ [رواه أحمد]. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam suatu hari pernah menggambarkan kepada kami satu garis seraya bersabda, ‘Ini merupakan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’ Kemudian beliau membuat satu garis di sisi kanan garis pertama tadi, dan beberapa garis di sisi kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang di atasnya terdapat setan yang menyeru kepada jalan itu.’ Kemudian beliau membaca ayat: ‘Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya.’ (QS. Al-An’am: 153).” (HR. Ahmad). وكما أن لتحقيق الهداية وسائلَ وبواعثَ وأسبابًا تحدثنا عنها، فهناك موانع وصوارف، تصرف المرء عن سبيل الهداية: منها اتباع الهوى؛ فإنه يحجب عن الهداية ويصرف عنها؛ قال جل وعلا: ﴿ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [القصص: 50]، واتخاذ المرء الهوى إلهًا هو في تقديم هواه على أمر الله وشرعه، وعلى الحق ودلائله. Sebagaimana untuk meraih hidayah terdapat beberapa cara, faktor, dan sebab yang telah kita bahas sebelumnya, begitu juga terdapat beberapa penghalang dan pengalih yang mengalihkan seseorang dari jalan hidayah. Di antara penghalang ini, menuruti hawa nafsu. Ia dapat menghalangi dan mengalihkan seseorang dari hidayah, seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan: فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 50). Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, dengan lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada perintah dan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta kebenaran dan dalil-dalilnya. ومن موانع الهداية الكِبْرُ والغرور؛ لأنه يُعمي صاحبه ويصرفه عن الخير؛ قال سبحانه: ﴿ سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ﴾ [الأعراف: 146]. Di antara penghalang hidayah adalah kesombongan dan keangkuhan, karena ia dapat membutakan pelakunya dan membelokkannya dari kebaikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku). Jika mereka melihat semua tanda-tanda itu, mereka tetap tidak mau beriman padanya. Jika mereka melihat jalan kebenaran, mereka tetap tidak mau menempuhnya. (Sebaliknya,) jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya.” (QS. Al-A’raf: 146). وهذا ما ظهر جليًّا في ردِّ كفار قريش وكُبَرائهم دعوةَ النبي صلى الله عليه وسلم للإسلام؛ روى الحاكم بإسناد صححه، ((أن أبا جهلٍ قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إنَّا لا نُكذبك، ولكن نكذِّب ما جئت به؛ فأنزل الله تعالى: ﴿ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ ﴾ [الأنعام: 33])). Ini tampak jelas pada reaksi orang-orang kafir Quraisy dan para pembesar mereka terhadap ajakan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk masuk Islam. Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, “Kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa yang kamu datangkan ini!” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat: فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Karena sebenarnya mereka tidak mendustakanmu, tetapi orang-orang zalim itu selalu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33). ومن موانع الهداية – عباد الله – العصبية والتعصب والجمود الفكري؛ قال تعالى: ﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ ﴾ [الزخرف: 23]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya, kemaksiatan, fanatisme, dan kejumudan pola pikir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ “Demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Nabi Muhammad) ke suatu negeri. Orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan kami hanya mencontoh jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23). ومنه ما نراه اليوم من الجمود على انطباعات متسرعة، ومواقف سابقة، وعادات بالية، وعداءات فكرية وتاريخية يجمد عليها المرء، وتَحُول دون سلوك طريق الهداية والحق. Sebagai contohnya, kejumudan yang kita saksikan hari ini pada kesan pertama, kenangan-kenangan lama, kebiasaan-kebiasaan kuno, serta perlawanan secara pemikiran dan sejarah yang dilakukan oleh seseorang, akhirnya menghalanginya untuk menempuh jalan hidayah dan kebenaran. قدم طلحة النميري إلى اليمامة، بعد أن ادَّعى مسيلمة الكذاب النبوةَ، فقال: أين مسيلمة؟ قالوا: مَهْ، رسول الله، فقال: لا حتى أراه، فلما جاءه، قال: أنت مسيلمة؟ قال: نعم، قال: من يأتيك؟ قال: رحمن، قال: أفي نور أو في ظلمة؟ فقال: في ظلمة، فقال: أشهد أنك كذَّاب، وأن محمدًا صادق، ولكن كذَّاب ربيعةَ أحبُّ إلينا من صادقِ مُضَرَ. Thalhah bin An-Numairi sampai di Yamamah setelah Musailamah Al-Kadzab mengaku sebagai nabi. Thalhah berkata, “Di mana Musailamah?” Para pengikutnya menanggapi, “Hai! (Panggillah dengan panggilan) Rasulullah!” Thalhah berkata, “Tidak! Hingga aku melihatnya dulu!” Ketika Thalhah sudah di hadapan Musailamah, ia bertanya, “Kamu Musailamah?!” Ia menjawab, “Ya!” Thalhah bertanya lagi, “Siapa yang mendatangimu?” Ia menjawab, “Rahman (Allah).” Thalhah bertanya lagi, “Apakah Dia datang dalam cahaya atau kegelapan?” Ia menjawab, “Dalam kegelapan.” Thalhah lalu menanggapi, “Aku bersaksi bahwa kamu adalah pendusta dan Muhammad itu benar! Tapi pendusta dari kabilah Rabi’ah (kabilahnya Musailamah) lebih kami sukai daripada orang jujur dari kabilah Mudhar (kabilahnya Nabi Muhammad).” ومن موانع الهداية – عباد الله – ما نراه في واقعنا اليوم من الانهزامية النفسية أمام المدنية الغربية الزائفة، والمتمثلة في التقليد الأعمى لكل ما هو غربي، لبِست نساؤهم اللباس الضيق فلبِسَتْهُ بعض نسائنا، ولبِست فتياتهم الثيابَ الممزَّقة فلبِستها بعض فتياتنا؛ وكما قال صلى الله عليه وسلم: ((لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الذين من قبلكم، شبرًا بشبر، وذراعًا بذراع، حتى لو دخلوا جُحْرَ ضبٍّ لاتبعتموهم، قلنا: يا رسول الله، اليهودَ والنصارى؟ قال: فمن؟))؛ [الشيخان]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya adalah apa yang kita saksikan pada realitas kehidupan kita sekarang, berupa keminderan mental di hadapan kemajuan Negara-Negara Barat yang semu dan meniru buta segala hal yang berbau Barat, kaum wanita mereka mengenakan pakaian ketat, sehingga sebagian kaum wanita kita juga menirunya, para pemudi mereka memakai pakaian compang-camping, sehingga sebagian pemudi kita juga memakainya. Ini persis seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamm: لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan hidup dari orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga sekiranya mereka masuk ke dalam liang biawak, kalian pasti mengikuti mereka.” Kami (para sahabat) lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). ومن صوارف الهداية أن يربط المرء استقامته والتزامه بمنافع مادية، ومصالح ذاتية، إن تحصلت سار في ركب المهتدين تصنُّعًا، وإن لم تحصل تردَّد وتنكَّب؛ عن ابن عباس رضي الله عنهما، قال في قوله تعالى: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ ﴾ [الحج: 11]، قال: “كان الرجل يقدم المدينة، فإن ولدت امرأته غلامًا، ونُتِجَتْ خيله، قال: هذا دين صالح، وإن لم تلد امرأته، ولم تُنْتَج خيله، قال: هذا دين سوء”؛ [صحيح البخاري]. Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari jalan hidayah adalah apabila seseorang mengaitkan keistiqamahan dan keteguhannya di atas hidayah dengan keuntungan-keuntungan materi dan kepentingan-kepentingan pribadi, apabila itu bisa didapatkan, ia berlagak ikut dalam kafilah orang-orang yang di atas hidayah, tapi jika tidak bisa didapatkan, ia mulai goyah dan akhirnya berpaling. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah menjelaskan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan).” (QS. Al-Hajj: 11). Ia berkata, “Dulu ada seorang lelaki yang datang ke kota Madinah, apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya dapat beranak-pinak, ia akan berkata, ‘Ini agama yang bagus!’ Tapi jika istrinya tidak melahirkan dan kudanya tidak beranak-pinak, ia berkata, ‘Ini agama yang jelek!’” (Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari). هدانا الله وإياكم لما يحب ويرضى، ووفَّقنا للبر والتقوى، أقول ما تسمعون، وأستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita petunjuk menuju perkara yang Dia cintai dan ridhai, dan mengaruniakan kita taufik menuju kebajikan dan ketakwaan. Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya memohon ampun kepada Allah bagi saya dan kalian semua, dan mohonlah ampun juga kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. الخطبة الثانية معاشر المؤمنين: من صوارف الهداية التي ظهرت في عصرنا هذا الانصرافُ عن الالتزام بشرع الله؛ بحُجَّة سوء أخلاق بعض المسلمين، فترفض المرأة الحجاب الشرعي بحجة سوء أخلاق بعض المحجبات، أو ذاك الذي يهجر المساجد بحجة سوء أخلاق بعض المصلِّين، ومنهم من يحتج لباطله بأن أغلب الناس على ما هو عليه، وكأن البشر هم الحُجَّة على الدين، وليس الدين هو حجة الله على عباده، وهذا يشبه ما قاله قوم نوح عليه السلام له: ﴿ وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴾ [هود: 27]. Khutbah Kedua Wahai kaum Mukminin! Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari hidayah juga adalah fenomena yang muncul di zaman kita ini, berupa keberpalingan dari keistiqamahan di atas syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan alasan buruknya akhlak sebagian kaum Muslimin. Ada wanita yang menolak memakai hijab syar’i dengan alasan buruknya akhlak sebagian wanita yang berhijab. Ada orang yang menolak pergi ke Masjid dengan alasan buruknya akhlak sebagian orang yang konsisten melaksanakan salat. Ada juga orang yang beralasan atas kebatilan yang diperbuatnya karena mayoritas orang juga melakukan itu, seakan-akan manusia adalah hujah dalam beragama, alih-alih agama adalah hujah Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap para hamba-Nya. Ini mirip dengan yang dikatakan kaum Nabi Nuh kepada beliau: وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ “Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya begitu saja. Kami juga tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah para pembohong.” (QS. Hud: 27). ولكل هؤلاء يأتي هذا الرد المفحم، والحجة البالغة في هذا الحديث القدسي عن رب العزة جل وعلا: ((يا عبادي، لو أن أولَكم وآخركم، وإنسكم وجنَّكم، كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم، ما زاد ذلك في مُلكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، كانوا على أفجر قلب رجل واحد منكم، ما نقص ذلك من ملكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، قاموا في صعيد واحد، فسألوني، فأعطيتُ كل واحد مسألته، ما نقص ذلك مما عندي إلا كما ينقص الْمِخْيَطُ إذا أُدخل البحر، يا عبادي، إنما هي أعمالكم أُحصيها لكم، ثم أوفيكم إياها، فمن وجد خيرًا فليحمَدِ الله، ومن وجد غير ذلك فلا يلومَنَّ إلا نفسه))؛ [مسلم]. Namun, mereka semua mendapat bantahan tegas dan hujah kuat yang disebutkan dalam hadis qudsi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  مَانَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَانَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ المِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ البَحْرَ يَاعِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang-orang pertama di antara kalian dan orang-orang terakhir, baik itu manusia atau jin, semua berada pada satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah hal itu menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian semua berada pada satu hati yang paling durhaka di antara kalian, tidaklah hal itu mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian, baik itu manusia dan jin berdiri di satu tempat tinggi dan luas lalu meminta (kebutuhannya) kepada-Ku, kemudian Aku memberikan setiap orang apa yang dimintanya, maka tidaklah hal itu mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Ku kecuali seperti berkurangnya (air laut yang menetes) yang di ujung jarum jika dicelupkan ke dalam lautan.  Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku catat untuk kalian, kemudian Aku sempurnakan (balasannya) untuk kalian, maka bagi yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala! dan bagi yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR Muslim). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/171207/خطبة-أسباب-وموانع-الهداية/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 66 times, 2 visit(s) today Post Views: 32 QRIS donasi Yufid

Sebab-Sebab Datangnya Hidayah dan Penghalang-Penghalangnya

خطبة أسباب وموانع الهداية Oleh: Yahya Sulaiman al-Uqaili يحيى سليمان العقيلي الحمد لله الهادي إلى سواء السبيل، أحمده سبحانه وأشكره، وأتوب إليه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله، الهادي البشير، والسراج المنير، أرسله الله رحمةً للعالمين، وهدايةً للناس أجمعين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Memberi Petunjuk menuju jalan yang lurus. Saya mengucap puji syukur kehadirat-Nya, bertobat dan memohon ampun kepada-Nya, dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang tidak memiliki sekutu, yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Saya juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, sang penunjuk jalan dan pemberi kabar gembira, sang pelita yang terang benderang, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam dan petunjuk bagi seluruh manusia sekalian. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan para pengikut sejati mereka hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: فاتقوا الله – عباد الله – حقَّ التقوى، فمن اتقى ربه نجا، ومن اتبع هواه غوى؛ ﴿ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴾ [البقرة: 282]. معاشر المؤمنين: تحدثنا في خطبة سابقة عن الهداية؛ أسبابِها وبواعثها، وأنها الهداية لمنهج الله تعالى: ﴿ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا ﴾ [الكهف: 17]. وقال صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه: ((يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلا من هديتُه، فاستهدوني، أَهدِكم))؛ [رواه مسلم: 6737]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya pasti akan selamat, dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya pasti akan tersesat.  وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282). Wahai kaum mukminin! Pada khutbah sebelumnya kita telah membahas tentang hidayah, sebab-sebab dan faktor-faktor pemicunya, dan yang dimaksud adalah hidayah menuju jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala: مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا “Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: يَاعِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai para hamba-Ku! Kalian semua itu sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku beri kalian hidayah.” (HR. Muslim No. 6737). ونقيض الهداية – عباد الله – الضلالةُ؛ بأن يُحرَم المرء التوفيقَ إلى الهداية، والسير على صراط الله المستقيم، ليتخبَّط في سبل الضلالة، غافلًا عن تحذير ربنا جل وعلا: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾ [الأنعام: 153]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Kebalikan dari hidayah adalah kesesatan, yaitu seseorang terhalang dari taufik menuju hidayah dan berjalan di atas jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang benar, sehingga ia jatuh tersungkur di atas jalan-jalan kesesatan dan lalai dari peringatan Tuhan kita ‘Azza wa Jalla: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: ((خطَّ لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله، ثم خط عن يمين ذلك الخط، وعن شماله خطوطًا، فقال: هذه سُبُلٌ، على كل سبيل منها شيطان يدعو إليها؛ ثم قرأ هذه الآية: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾ [الأنعام: 153]))؛ [رواه أحمد]. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam suatu hari pernah menggambarkan kepada kami satu garis seraya bersabda, ‘Ini merupakan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’ Kemudian beliau membuat satu garis di sisi kanan garis pertama tadi, dan beberapa garis di sisi kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang di atasnya terdapat setan yang menyeru kepada jalan itu.’ Kemudian beliau membaca ayat: ‘Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya.’ (QS. Al-An’am: 153).” (HR. Ahmad). وكما أن لتحقيق الهداية وسائلَ وبواعثَ وأسبابًا تحدثنا عنها، فهناك موانع وصوارف، تصرف المرء عن سبيل الهداية: منها اتباع الهوى؛ فإنه يحجب عن الهداية ويصرف عنها؛ قال جل وعلا: ﴿ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [القصص: 50]، واتخاذ المرء الهوى إلهًا هو في تقديم هواه على أمر الله وشرعه، وعلى الحق ودلائله. Sebagaimana untuk meraih hidayah terdapat beberapa cara, faktor, dan sebab yang telah kita bahas sebelumnya, begitu juga terdapat beberapa penghalang dan pengalih yang mengalihkan seseorang dari jalan hidayah. Di antara penghalang ini, menuruti hawa nafsu. Ia dapat menghalangi dan mengalihkan seseorang dari hidayah, seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan: فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 50). Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, dengan lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada perintah dan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta kebenaran dan dalil-dalilnya. ومن موانع الهداية الكِبْرُ والغرور؛ لأنه يُعمي صاحبه ويصرفه عن الخير؛ قال سبحانه: ﴿ سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ﴾ [الأعراف: 146]. Di antara penghalang hidayah adalah kesombongan dan keangkuhan, karena ia dapat membutakan pelakunya dan membelokkannya dari kebaikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku). Jika mereka melihat semua tanda-tanda itu, mereka tetap tidak mau beriman padanya. Jika mereka melihat jalan kebenaran, mereka tetap tidak mau menempuhnya. (Sebaliknya,) jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya.” (QS. Al-A’raf: 146). وهذا ما ظهر جليًّا في ردِّ كفار قريش وكُبَرائهم دعوةَ النبي صلى الله عليه وسلم للإسلام؛ روى الحاكم بإسناد صححه، ((أن أبا جهلٍ قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إنَّا لا نُكذبك، ولكن نكذِّب ما جئت به؛ فأنزل الله تعالى: ﴿ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ ﴾ [الأنعام: 33])). Ini tampak jelas pada reaksi orang-orang kafir Quraisy dan para pembesar mereka terhadap ajakan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk masuk Islam. Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, “Kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa yang kamu datangkan ini!” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat: فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Karena sebenarnya mereka tidak mendustakanmu, tetapi orang-orang zalim itu selalu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33). ومن موانع الهداية – عباد الله – العصبية والتعصب والجمود الفكري؛ قال تعالى: ﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ ﴾ [الزخرف: 23]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya, kemaksiatan, fanatisme, dan kejumudan pola pikir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ “Demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Nabi Muhammad) ke suatu negeri. Orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan kami hanya mencontoh jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23). ومنه ما نراه اليوم من الجمود على انطباعات متسرعة، ومواقف سابقة، وعادات بالية، وعداءات فكرية وتاريخية يجمد عليها المرء، وتَحُول دون سلوك طريق الهداية والحق. Sebagai contohnya, kejumudan yang kita saksikan hari ini pada kesan pertama, kenangan-kenangan lama, kebiasaan-kebiasaan kuno, serta perlawanan secara pemikiran dan sejarah yang dilakukan oleh seseorang, akhirnya menghalanginya untuk menempuh jalan hidayah dan kebenaran. قدم طلحة النميري إلى اليمامة، بعد أن ادَّعى مسيلمة الكذاب النبوةَ، فقال: أين مسيلمة؟ قالوا: مَهْ، رسول الله، فقال: لا حتى أراه، فلما جاءه، قال: أنت مسيلمة؟ قال: نعم، قال: من يأتيك؟ قال: رحمن، قال: أفي نور أو في ظلمة؟ فقال: في ظلمة، فقال: أشهد أنك كذَّاب، وأن محمدًا صادق، ولكن كذَّاب ربيعةَ أحبُّ إلينا من صادقِ مُضَرَ. Thalhah bin An-Numairi sampai di Yamamah setelah Musailamah Al-Kadzab mengaku sebagai nabi. Thalhah berkata, “Di mana Musailamah?” Para pengikutnya menanggapi, “Hai! (Panggillah dengan panggilan) Rasulullah!” Thalhah berkata, “Tidak! Hingga aku melihatnya dulu!” Ketika Thalhah sudah di hadapan Musailamah, ia bertanya, “Kamu Musailamah?!” Ia menjawab, “Ya!” Thalhah bertanya lagi, “Siapa yang mendatangimu?” Ia menjawab, “Rahman (Allah).” Thalhah bertanya lagi, “Apakah Dia datang dalam cahaya atau kegelapan?” Ia menjawab, “Dalam kegelapan.” Thalhah lalu menanggapi, “Aku bersaksi bahwa kamu adalah pendusta dan Muhammad itu benar! Tapi pendusta dari kabilah Rabi’ah (kabilahnya Musailamah) lebih kami sukai daripada orang jujur dari kabilah Mudhar (kabilahnya Nabi Muhammad).” ومن موانع الهداية – عباد الله – ما نراه في واقعنا اليوم من الانهزامية النفسية أمام المدنية الغربية الزائفة، والمتمثلة في التقليد الأعمى لكل ما هو غربي، لبِست نساؤهم اللباس الضيق فلبِسَتْهُ بعض نسائنا، ولبِست فتياتهم الثيابَ الممزَّقة فلبِستها بعض فتياتنا؛ وكما قال صلى الله عليه وسلم: ((لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الذين من قبلكم، شبرًا بشبر، وذراعًا بذراع، حتى لو دخلوا جُحْرَ ضبٍّ لاتبعتموهم، قلنا: يا رسول الله، اليهودَ والنصارى؟ قال: فمن؟))؛ [الشيخان]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya adalah apa yang kita saksikan pada realitas kehidupan kita sekarang, berupa keminderan mental di hadapan kemajuan Negara-Negara Barat yang semu dan meniru buta segala hal yang berbau Barat, kaum wanita mereka mengenakan pakaian ketat, sehingga sebagian kaum wanita kita juga menirunya, para pemudi mereka memakai pakaian compang-camping, sehingga sebagian pemudi kita juga memakainya. Ini persis seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamm: لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan hidup dari orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga sekiranya mereka masuk ke dalam liang biawak, kalian pasti mengikuti mereka.” Kami (para sahabat) lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). ومن صوارف الهداية أن يربط المرء استقامته والتزامه بمنافع مادية، ومصالح ذاتية، إن تحصلت سار في ركب المهتدين تصنُّعًا، وإن لم تحصل تردَّد وتنكَّب؛ عن ابن عباس رضي الله عنهما، قال في قوله تعالى: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ ﴾ [الحج: 11]، قال: “كان الرجل يقدم المدينة، فإن ولدت امرأته غلامًا، ونُتِجَتْ خيله، قال: هذا دين صالح، وإن لم تلد امرأته، ولم تُنْتَج خيله، قال: هذا دين سوء”؛ [صحيح البخاري]. Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari jalan hidayah adalah apabila seseorang mengaitkan keistiqamahan dan keteguhannya di atas hidayah dengan keuntungan-keuntungan materi dan kepentingan-kepentingan pribadi, apabila itu bisa didapatkan, ia berlagak ikut dalam kafilah orang-orang yang di atas hidayah, tapi jika tidak bisa didapatkan, ia mulai goyah dan akhirnya berpaling. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah menjelaskan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan).” (QS. Al-Hajj: 11). Ia berkata, “Dulu ada seorang lelaki yang datang ke kota Madinah, apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya dapat beranak-pinak, ia akan berkata, ‘Ini agama yang bagus!’ Tapi jika istrinya tidak melahirkan dan kudanya tidak beranak-pinak, ia berkata, ‘Ini agama yang jelek!’” (Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari). هدانا الله وإياكم لما يحب ويرضى، ووفَّقنا للبر والتقوى، أقول ما تسمعون، وأستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita petunjuk menuju perkara yang Dia cintai dan ridhai, dan mengaruniakan kita taufik menuju kebajikan dan ketakwaan. Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya memohon ampun kepada Allah bagi saya dan kalian semua, dan mohonlah ampun juga kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. الخطبة الثانية معاشر المؤمنين: من صوارف الهداية التي ظهرت في عصرنا هذا الانصرافُ عن الالتزام بشرع الله؛ بحُجَّة سوء أخلاق بعض المسلمين، فترفض المرأة الحجاب الشرعي بحجة سوء أخلاق بعض المحجبات، أو ذاك الذي يهجر المساجد بحجة سوء أخلاق بعض المصلِّين، ومنهم من يحتج لباطله بأن أغلب الناس على ما هو عليه، وكأن البشر هم الحُجَّة على الدين، وليس الدين هو حجة الله على عباده، وهذا يشبه ما قاله قوم نوح عليه السلام له: ﴿ وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴾ [هود: 27]. Khutbah Kedua Wahai kaum Mukminin! Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari hidayah juga adalah fenomena yang muncul di zaman kita ini, berupa keberpalingan dari keistiqamahan di atas syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan alasan buruknya akhlak sebagian kaum Muslimin. Ada wanita yang menolak memakai hijab syar’i dengan alasan buruknya akhlak sebagian wanita yang berhijab. Ada orang yang menolak pergi ke Masjid dengan alasan buruknya akhlak sebagian orang yang konsisten melaksanakan salat. Ada juga orang yang beralasan atas kebatilan yang diperbuatnya karena mayoritas orang juga melakukan itu, seakan-akan manusia adalah hujah dalam beragama, alih-alih agama adalah hujah Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap para hamba-Nya. Ini mirip dengan yang dikatakan kaum Nabi Nuh kepada beliau: وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ “Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya begitu saja. Kami juga tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah para pembohong.” (QS. Hud: 27). ولكل هؤلاء يأتي هذا الرد المفحم، والحجة البالغة في هذا الحديث القدسي عن رب العزة جل وعلا: ((يا عبادي، لو أن أولَكم وآخركم، وإنسكم وجنَّكم، كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم، ما زاد ذلك في مُلكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، كانوا على أفجر قلب رجل واحد منكم، ما نقص ذلك من ملكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، قاموا في صعيد واحد، فسألوني، فأعطيتُ كل واحد مسألته، ما نقص ذلك مما عندي إلا كما ينقص الْمِخْيَطُ إذا أُدخل البحر، يا عبادي، إنما هي أعمالكم أُحصيها لكم، ثم أوفيكم إياها، فمن وجد خيرًا فليحمَدِ الله، ومن وجد غير ذلك فلا يلومَنَّ إلا نفسه))؛ [مسلم]. Namun, mereka semua mendapat bantahan tegas dan hujah kuat yang disebutkan dalam hadis qudsi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  مَانَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَانَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ المِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ البَحْرَ يَاعِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang-orang pertama di antara kalian dan orang-orang terakhir, baik itu manusia atau jin, semua berada pada satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah hal itu menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian semua berada pada satu hati yang paling durhaka di antara kalian, tidaklah hal itu mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian, baik itu manusia dan jin berdiri di satu tempat tinggi dan luas lalu meminta (kebutuhannya) kepada-Ku, kemudian Aku memberikan setiap orang apa yang dimintanya, maka tidaklah hal itu mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Ku kecuali seperti berkurangnya (air laut yang menetes) yang di ujung jarum jika dicelupkan ke dalam lautan.  Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku catat untuk kalian, kemudian Aku sempurnakan (balasannya) untuk kalian, maka bagi yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala! dan bagi yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR Muslim). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/171207/خطبة-أسباب-وموانع-الهداية/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 66 times, 2 visit(s) today Post Views: 32 QRIS donasi Yufid
خطبة أسباب وموانع الهداية Oleh: Yahya Sulaiman al-Uqaili يحيى سليمان العقيلي الحمد لله الهادي إلى سواء السبيل، أحمده سبحانه وأشكره، وأتوب إليه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله، الهادي البشير، والسراج المنير، أرسله الله رحمةً للعالمين، وهدايةً للناس أجمعين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Memberi Petunjuk menuju jalan yang lurus. Saya mengucap puji syukur kehadirat-Nya, bertobat dan memohon ampun kepada-Nya, dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang tidak memiliki sekutu, yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Saya juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, sang penunjuk jalan dan pemberi kabar gembira, sang pelita yang terang benderang, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam dan petunjuk bagi seluruh manusia sekalian. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan para pengikut sejati mereka hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: فاتقوا الله – عباد الله – حقَّ التقوى، فمن اتقى ربه نجا، ومن اتبع هواه غوى؛ ﴿ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴾ [البقرة: 282]. معاشر المؤمنين: تحدثنا في خطبة سابقة عن الهداية؛ أسبابِها وبواعثها، وأنها الهداية لمنهج الله تعالى: ﴿ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا ﴾ [الكهف: 17]. وقال صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه: ((يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلا من هديتُه، فاستهدوني، أَهدِكم))؛ [رواه مسلم: 6737]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya pasti akan selamat, dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya pasti akan tersesat.  وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282). Wahai kaum mukminin! Pada khutbah sebelumnya kita telah membahas tentang hidayah, sebab-sebab dan faktor-faktor pemicunya, dan yang dimaksud adalah hidayah menuju jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala: مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا “Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: يَاعِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai para hamba-Ku! Kalian semua itu sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku beri kalian hidayah.” (HR. Muslim No. 6737). ونقيض الهداية – عباد الله – الضلالةُ؛ بأن يُحرَم المرء التوفيقَ إلى الهداية، والسير على صراط الله المستقيم، ليتخبَّط في سبل الضلالة، غافلًا عن تحذير ربنا جل وعلا: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾ [الأنعام: 153]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Kebalikan dari hidayah adalah kesesatan, yaitu seseorang terhalang dari taufik menuju hidayah dan berjalan di atas jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang benar, sehingga ia jatuh tersungkur di atas jalan-jalan kesesatan dan lalai dari peringatan Tuhan kita ‘Azza wa Jalla: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: ((خطَّ لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله، ثم خط عن يمين ذلك الخط، وعن شماله خطوطًا، فقال: هذه سُبُلٌ، على كل سبيل منها شيطان يدعو إليها؛ ثم قرأ هذه الآية: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾ [الأنعام: 153]))؛ [رواه أحمد]. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam suatu hari pernah menggambarkan kepada kami satu garis seraya bersabda, ‘Ini merupakan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’ Kemudian beliau membuat satu garis di sisi kanan garis pertama tadi, dan beberapa garis di sisi kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang di atasnya terdapat setan yang menyeru kepada jalan itu.’ Kemudian beliau membaca ayat: ‘Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya.’ (QS. Al-An’am: 153).” (HR. Ahmad). وكما أن لتحقيق الهداية وسائلَ وبواعثَ وأسبابًا تحدثنا عنها، فهناك موانع وصوارف، تصرف المرء عن سبيل الهداية: منها اتباع الهوى؛ فإنه يحجب عن الهداية ويصرف عنها؛ قال جل وعلا: ﴿ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [القصص: 50]، واتخاذ المرء الهوى إلهًا هو في تقديم هواه على أمر الله وشرعه، وعلى الحق ودلائله. Sebagaimana untuk meraih hidayah terdapat beberapa cara, faktor, dan sebab yang telah kita bahas sebelumnya, begitu juga terdapat beberapa penghalang dan pengalih yang mengalihkan seseorang dari jalan hidayah. Di antara penghalang ini, menuruti hawa nafsu. Ia dapat menghalangi dan mengalihkan seseorang dari hidayah, seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan: فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 50). Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, dengan lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada perintah dan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta kebenaran dan dalil-dalilnya. ومن موانع الهداية الكِبْرُ والغرور؛ لأنه يُعمي صاحبه ويصرفه عن الخير؛ قال سبحانه: ﴿ سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ﴾ [الأعراف: 146]. Di antara penghalang hidayah adalah kesombongan dan keangkuhan, karena ia dapat membutakan pelakunya dan membelokkannya dari kebaikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku). Jika mereka melihat semua tanda-tanda itu, mereka tetap tidak mau beriman padanya. Jika mereka melihat jalan kebenaran, mereka tetap tidak mau menempuhnya. (Sebaliknya,) jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya.” (QS. Al-A’raf: 146). وهذا ما ظهر جليًّا في ردِّ كفار قريش وكُبَرائهم دعوةَ النبي صلى الله عليه وسلم للإسلام؛ روى الحاكم بإسناد صححه، ((أن أبا جهلٍ قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إنَّا لا نُكذبك، ولكن نكذِّب ما جئت به؛ فأنزل الله تعالى: ﴿ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ ﴾ [الأنعام: 33])). Ini tampak jelas pada reaksi orang-orang kafir Quraisy dan para pembesar mereka terhadap ajakan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk masuk Islam. Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, “Kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa yang kamu datangkan ini!” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat: فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Karena sebenarnya mereka tidak mendustakanmu, tetapi orang-orang zalim itu selalu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33). ومن موانع الهداية – عباد الله – العصبية والتعصب والجمود الفكري؛ قال تعالى: ﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ ﴾ [الزخرف: 23]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya, kemaksiatan, fanatisme, dan kejumudan pola pikir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ “Demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Nabi Muhammad) ke suatu negeri. Orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan kami hanya mencontoh jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23). ومنه ما نراه اليوم من الجمود على انطباعات متسرعة، ومواقف سابقة، وعادات بالية، وعداءات فكرية وتاريخية يجمد عليها المرء، وتَحُول دون سلوك طريق الهداية والحق. Sebagai contohnya, kejumudan yang kita saksikan hari ini pada kesan pertama, kenangan-kenangan lama, kebiasaan-kebiasaan kuno, serta perlawanan secara pemikiran dan sejarah yang dilakukan oleh seseorang, akhirnya menghalanginya untuk menempuh jalan hidayah dan kebenaran. قدم طلحة النميري إلى اليمامة، بعد أن ادَّعى مسيلمة الكذاب النبوةَ، فقال: أين مسيلمة؟ قالوا: مَهْ، رسول الله، فقال: لا حتى أراه، فلما جاءه، قال: أنت مسيلمة؟ قال: نعم، قال: من يأتيك؟ قال: رحمن، قال: أفي نور أو في ظلمة؟ فقال: في ظلمة، فقال: أشهد أنك كذَّاب، وأن محمدًا صادق، ولكن كذَّاب ربيعةَ أحبُّ إلينا من صادقِ مُضَرَ. Thalhah bin An-Numairi sampai di Yamamah setelah Musailamah Al-Kadzab mengaku sebagai nabi. Thalhah berkata, “Di mana Musailamah?” Para pengikutnya menanggapi, “Hai! (Panggillah dengan panggilan) Rasulullah!” Thalhah berkata, “Tidak! Hingga aku melihatnya dulu!” Ketika Thalhah sudah di hadapan Musailamah, ia bertanya, “Kamu Musailamah?!” Ia menjawab, “Ya!” Thalhah bertanya lagi, “Siapa yang mendatangimu?” Ia menjawab, “Rahman (Allah).” Thalhah bertanya lagi, “Apakah Dia datang dalam cahaya atau kegelapan?” Ia menjawab, “Dalam kegelapan.” Thalhah lalu menanggapi, “Aku bersaksi bahwa kamu adalah pendusta dan Muhammad itu benar! Tapi pendusta dari kabilah Rabi’ah (kabilahnya Musailamah) lebih kami sukai daripada orang jujur dari kabilah Mudhar (kabilahnya Nabi Muhammad).” ومن موانع الهداية – عباد الله – ما نراه في واقعنا اليوم من الانهزامية النفسية أمام المدنية الغربية الزائفة، والمتمثلة في التقليد الأعمى لكل ما هو غربي، لبِست نساؤهم اللباس الضيق فلبِسَتْهُ بعض نسائنا، ولبِست فتياتهم الثيابَ الممزَّقة فلبِستها بعض فتياتنا؛ وكما قال صلى الله عليه وسلم: ((لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الذين من قبلكم، شبرًا بشبر، وذراعًا بذراع، حتى لو دخلوا جُحْرَ ضبٍّ لاتبعتموهم، قلنا: يا رسول الله، اليهودَ والنصارى؟ قال: فمن؟))؛ [الشيخان]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya adalah apa yang kita saksikan pada realitas kehidupan kita sekarang, berupa keminderan mental di hadapan kemajuan Negara-Negara Barat yang semu dan meniru buta segala hal yang berbau Barat, kaum wanita mereka mengenakan pakaian ketat, sehingga sebagian kaum wanita kita juga menirunya, para pemudi mereka memakai pakaian compang-camping, sehingga sebagian pemudi kita juga memakainya. Ini persis seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamm: لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan hidup dari orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga sekiranya mereka masuk ke dalam liang biawak, kalian pasti mengikuti mereka.” Kami (para sahabat) lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). ومن صوارف الهداية أن يربط المرء استقامته والتزامه بمنافع مادية، ومصالح ذاتية، إن تحصلت سار في ركب المهتدين تصنُّعًا، وإن لم تحصل تردَّد وتنكَّب؛ عن ابن عباس رضي الله عنهما، قال في قوله تعالى: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ ﴾ [الحج: 11]، قال: “كان الرجل يقدم المدينة، فإن ولدت امرأته غلامًا، ونُتِجَتْ خيله، قال: هذا دين صالح، وإن لم تلد امرأته، ولم تُنْتَج خيله، قال: هذا دين سوء”؛ [صحيح البخاري]. Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari jalan hidayah adalah apabila seseorang mengaitkan keistiqamahan dan keteguhannya di atas hidayah dengan keuntungan-keuntungan materi dan kepentingan-kepentingan pribadi, apabila itu bisa didapatkan, ia berlagak ikut dalam kafilah orang-orang yang di atas hidayah, tapi jika tidak bisa didapatkan, ia mulai goyah dan akhirnya berpaling. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah menjelaskan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan).” (QS. Al-Hajj: 11). Ia berkata, “Dulu ada seorang lelaki yang datang ke kota Madinah, apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya dapat beranak-pinak, ia akan berkata, ‘Ini agama yang bagus!’ Tapi jika istrinya tidak melahirkan dan kudanya tidak beranak-pinak, ia berkata, ‘Ini agama yang jelek!’” (Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari). هدانا الله وإياكم لما يحب ويرضى، ووفَّقنا للبر والتقوى، أقول ما تسمعون، وأستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita petunjuk menuju perkara yang Dia cintai dan ridhai, dan mengaruniakan kita taufik menuju kebajikan dan ketakwaan. Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya memohon ampun kepada Allah bagi saya dan kalian semua, dan mohonlah ampun juga kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. الخطبة الثانية معاشر المؤمنين: من صوارف الهداية التي ظهرت في عصرنا هذا الانصرافُ عن الالتزام بشرع الله؛ بحُجَّة سوء أخلاق بعض المسلمين، فترفض المرأة الحجاب الشرعي بحجة سوء أخلاق بعض المحجبات، أو ذاك الذي يهجر المساجد بحجة سوء أخلاق بعض المصلِّين، ومنهم من يحتج لباطله بأن أغلب الناس على ما هو عليه، وكأن البشر هم الحُجَّة على الدين، وليس الدين هو حجة الله على عباده، وهذا يشبه ما قاله قوم نوح عليه السلام له: ﴿ وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴾ [هود: 27]. Khutbah Kedua Wahai kaum Mukminin! Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari hidayah juga adalah fenomena yang muncul di zaman kita ini, berupa keberpalingan dari keistiqamahan di atas syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan alasan buruknya akhlak sebagian kaum Muslimin. Ada wanita yang menolak memakai hijab syar’i dengan alasan buruknya akhlak sebagian wanita yang berhijab. Ada orang yang menolak pergi ke Masjid dengan alasan buruknya akhlak sebagian orang yang konsisten melaksanakan salat. Ada juga orang yang beralasan atas kebatilan yang diperbuatnya karena mayoritas orang juga melakukan itu, seakan-akan manusia adalah hujah dalam beragama, alih-alih agama adalah hujah Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap para hamba-Nya. Ini mirip dengan yang dikatakan kaum Nabi Nuh kepada beliau: وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ “Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya begitu saja. Kami juga tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah para pembohong.” (QS. Hud: 27). ولكل هؤلاء يأتي هذا الرد المفحم، والحجة البالغة في هذا الحديث القدسي عن رب العزة جل وعلا: ((يا عبادي، لو أن أولَكم وآخركم، وإنسكم وجنَّكم، كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم، ما زاد ذلك في مُلكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، كانوا على أفجر قلب رجل واحد منكم، ما نقص ذلك من ملكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، قاموا في صعيد واحد، فسألوني، فأعطيتُ كل واحد مسألته، ما نقص ذلك مما عندي إلا كما ينقص الْمِخْيَطُ إذا أُدخل البحر، يا عبادي، إنما هي أعمالكم أُحصيها لكم، ثم أوفيكم إياها، فمن وجد خيرًا فليحمَدِ الله، ومن وجد غير ذلك فلا يلومَنَّ إلا نفسه))؛ [مسلم]. Namun, mereka semua mendapat bantahan tegas dan hujah kuat yang disebutkan dalam hadis qudsi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  مَانَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَانَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ المِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ البَحْرَ يَاعِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang-orang pertama di antara kalian dan orang-orang terakhir, baik itu manusia atau jin, semua berada pada satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah hal itu menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian semua berada pada satu hati yang paling durhaka di antara kalian, tidaklah hal itu mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian, baik itu manusia dan jin berdiri di satu tempat tinggi dan luas lalu meminta (kebutuhannya) kepada-Ku, kemudian Aku memberikan setiap orang apa yang dimintanya, maka tidaklah hal itu mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Ku kecuali seperti berkurangnya (air laut yang menetes) yang di ujung jarum jika dicelupkan ke dalam lautan.  Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku catat untuk kalian, kemudian Aku sempurnakan (balasannya) untuk kalian, maka bagi yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala! dan bagi yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR Muslim). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/171207/خطبة-أسباب-وموانع-الهداية/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 66 times, 2 visit(s) today Post Views: 32 QRIS donasi Yufid


خطبة أسباب وموانع الهداية Oleh: Yahya Sulaiman al-Uqaili يحيى سليمان العقيلي الحمد لله الهادي إلى سواء السبيل، أحمده سبحانه وأشكره، وأتوب إليه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله، الهادي البشير، والسراج المنير، أرسله الله رحمةً للعالمين، وهدايةً للناس أجمعين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين؛ أما بعد: Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Memberi Petunjuk menuju jalan yang lurus. Saya mengucap puji syukur kehadirat-Nya, bertobat dan memohon ampun kepada-Nya, dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang tidak memiliki sekutu, yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Saya juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan rasul-Nya, sang penunjuk jalan dan pemberi kabar gembira, sang pelita yang terang benderang, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam dan petunjuk bagi seluruh manusia sekalian. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan para pengikut sejati mereka hingga Hari Kiamat. Amma ba’du: فاتقوا الله – عباد الله – حقَّ التقوى، فمن اتقى ربه نجا، ومن اتبع هواه غوى؛ ﴿ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴾ [البقرة: 282]. معاشر المؤمنين: تحدثنا في خطبة سابقة عن الهداية؛ أسبابِها وبواعثها، وأنها الهداية لمنهج الله تعالى: ﴿ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا ﴾ [الكهف: 17]. وقال صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه: ((يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلا من هديتُه، فاستهدوني، أَهدِكم))؛ [رواه مسلم: 6737]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Siapa yang bertakwa kepada Tuhannya pasti akan selamat, dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya pasti akan tersesat.  وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282). Wahai kaum mukminin! Pada khutbah sebelumnya kita telah membahas tentang hidayah, sebab-sebab dan faktor-faktor pemicunya, dan yang dimaksud adalah hidayah menuju jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala: مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا “Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: يَاعِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai para hamba-Ku! Kalian semua itu sesat kecuali yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku beri kalian hidayah.” (HR. Muslim No. 6737). ونقيض الهداية – عباد الله – الضلالةُ؛ بأن يُحرَم المرء التوفيقَ إلى الهداية، والسير على صراط الله المستقيم، ليتخبَّط في سبل الضلالة، غافلًا عن تحذير ربنا جل وعلا: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾ [الأنعام: 153]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Kebalikan dari hidayah adalah kesesatan, yaitu seseorang terhalang dari taufik menuju hidayah dan berjalan di atas jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang benar, sehingga ia jatuh tersungkur di atas jalan-jalan kesesatan dan lalai dari peringatan Tuhan kita ‘Azza wa Jalla: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: ((خطَّ لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا خطًّا فقال: هذا سبيل الله، ثم خط عن يمين ذلك الخط، وعن شماله خطوطًا، فقال: هذه سُبُلٌ، على كل سبيل منها شيطان يدعو إليها؛ ثم قرأ هذه الآية: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾ [الأنعام: 153]))؛ [رواه أحمد]. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam suatu hari pernah menggambarkan kepada kami satu garis seraya bersabda, ‘Ini merupakan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’ Kemudian beliau membuat satu garis di sisi kanan garis pertama tadi, dan beberapa garis di sisi kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang di atasnya terdapat setan yang menyeru kepada jalan itu.’ Kemudian beliau membaca ayat: ‘Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya.’ (QS. Al-An’am: 153).” (HR. Ahmad). وكما أن لتحقيق الهداية وسائلَ وبواعثَ وأسبابًا تحدثنا عنها، فهناك موانع وصوارف، تصرف المرء عن سبيل الهداية: منها اتباع الهوى؛ فإنه يحجب عن الهداية ويصرف عنها؛ قال جل وعلا: ﴿ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [القصص: 50]، واتخاذ المرء الهوى إلهًا هو في تقديم هواه على أمر الله وشرعه، وعلى الحق ودلائله. Sebagaimana untuk meraih hidayah terdapat beberapa cara, faktor, dan sebab yang telah kita bahas sebelumnya, begitu juga terdapat beberapa penghalang dan pengalih yang mengalihkan seseorang dari jalan hidayah. Di antara penghalang ini, menuruti hawa nafsu. Ia dapat menghalangi dan mengalihkan seseorang dari hidayah, seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan: فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Qasas: 50). Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, dengan lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada perintah dan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta kebenaran dan dalil-dalilnya. ومن موانع الهداية الكِبْرُ والغرور؛ لأنه يُعمي صاحبه ويصرفه عن الخير؛ قال سبحانه: ﴿ سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ﴾ [الأعراف: 146]. Di antara penghalang hidayah adalah kesombongan dan keangkuhan, karena ia dapat membutakan pelakunya dan membelokkannya dari kebaikan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku). Jika mereka melihat semua tanda-tanda itu, mereka tetap tidak mau beriman padanya. Jika mereka melihat jalan kebenaran, mereka tetap tidak mau menempuhnya. (Sebaliknya,) jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya.” (QS. Al-A’raf: 146). وهذا ما ظهر جليًّا في ردِّ كفار قريش وكُبَرائهم دعوةَ النبي صلى الله عليه وسلم للإسلام؛ روى الحاكم بإسناد صححه، ((أن أبا جهلٍ قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إنَّا لا نُكذبك، ولكن نكذِّب ما جئت به؛ فأنزل الله تعالى: ﴿ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ ﴾ [الأنعام: 33])). Ini tampak jelas pada reaksi orang-orang kafir Quraisy dan para pembesar mereka terhadap ajakan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk masuk Islam. Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Abu Jahal berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, “Kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa yang kamu datangkan ini!” Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat: فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Karena sebenarnya mereka tidak mendustakanmu, tetapi orang-orang zalim itu selalu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33). ومن موانع الهداية – عباد الله – العصبية والتعصب والجمود الفكري؛ قال تعالى: ﴿ وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ ﴾ [الزخرف: 23]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya, kemaksiatan, fanatisme, dan kejumudan pola pikir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ “Demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Nabi Muhammad) ke suatu negeri. Orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan kami hanya mencontoh jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23). ومنه ما نراه اليوم من الجمود على انطباعات متسرعة، ومواقف سابقة، وعادات بالية، وعداءات فكرية وتاريخية يجمد عليها المرء، وتَحُول دون سلوك طريق الهداية والحق. Sebagai contohnya, kejumudan yang kita saksikan hari ini pada kesan pertama, kenangan-kenangan lama, kebiasaan-kebiasaan kuno, serta perlawanan secara pemikiran dan sejarah yang dilakukan oleh seseorang, akhirnya menghalanginya untuk menempuh jalan hidayah dan kebenaran. قدم طلحة النميري إلى اليمامة، بعد أن ادَّعى مسيلمة الكذاب النبوةَ، فقال: أين مسيلمة؟ قالوا: مَهْ، رسول الله، فقال: لا حتى أراه، فلما جاءه، قال: أنت مسيلمة؟ قال: نعم، قال: من يأتيك؟ قال: رحمن، قال: أفي نور أو في ظلمة؟ فقال: في ظلمة، فقال: أشهد أنك كذَّاب، وأن محمدًا صادق، ولكن كذَّاب ربيعةَ أحبُّ إلينا من صادقِ مُضَرَ. Thalhah bin An-Numairi sampai di Yamamah setelah Musailamah Al-Kadzab mengaku sebagai nabi. Thalhah berkata, “Di mana Musailamah?” Para pengikutnya menanggapi, “Hai! (Panggillah dengan panggilan) Rasulullah!” Thalhah berkata, “Tidak! Hingga aku melihatnya dulu!” Ketika Thalhah sudah di hadapan Musailamah, ia bertanya, “Kamu Musailamah?!” Ia menjawab, “Ya!” Thalhah bertanya lagi, “Siapa yang mendatangimu?” Ia menjawab, “Rahman (Allah).” Thalhah bertanya lagi, “Apakah Dia datang dalam cahaya atau kegelapan?” Ia menjawab, “Dalam kegelapan.” Thalhah lalu menanggapi, “Aku bersaksi bahwa kamu adalah pendusta dan Muhammad itu benar! Tapi pendusta dari kabilah Rabi’ah (kabilahnya Musailamah) lebih kami sukai daripada orang jujur dari kabilah Mudhar (kabilahnya Nabi Muhammad).” ومن موانع الهداية – عباد الله – ما نراه في واقعنا اليوم من الانهزامية النفسية أمام المدنية الغربية الزائفة، والمتمثلة في التقليد الأعمى لكل ما هو غربي، لبِست نساؤهم اللباس الضيق فلبِسَتْهُ بعض نسائنا، ولبِست فتياتهم الثيابَ الممزَّقة فلبِستها بعض فتياتنا؛ وكما قال صلى الله عليه وسلم: ((لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الذين من قبلكم، شبرًا بشبر، وذراعًا بذراع، حتى لو دخلوا جُحْرَ ضبٍّ لاتبعتموهم، قلنا: يا رسول الله، اليهودَ والنصارى؟ قال: فمن؟))؛ [الشيخان]. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara penghalang hidayah lainnya adalah apa yang kita saksikan pada realitas kehidupan kita sekarang, berupa keminderan mental di hadapan kemajuan Negara-Negara Barat yang semu dan meniru buta segala hal yang berbau Barat, kaum wanita mereka mengenakan pakaian ketat, sehingga sebagian kaum wanita kita juga menirunya, para pemudi mereka memakai pakaian compang-camping, sehingga sebagian pemudi kita juga memakainya. Ini persis seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamm: لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan hidup dari orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga sekiranya mereka masuk ke dalam liang biawak, kalian pasti mengikuti mereka.” Kami (para sahabat) lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). ومن صوارف الهداية أن يربط المرء استقامته والتزامه بمنافع مادية، ومصالح ذاتية، إن تحصلت سار في ركب المهتدين تصنُّعًا، وإن لم تحصل تردَّد وتنكَّب؛ عن ابن عباس رضي الله عنهما، قال في قوله تعالى: ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ ﴾ [الحج: 11]، قال: “كان الرجل يقدم المدينة، فإن ولدت امرأته غلامًا، ونُتِجَتْ خيله، قال: هذا دين صالح، وإن لم تلد امرأته، ولم تُنْتَج خيله، قال: هذا دين سوء”؛ [صحيح البخاري]. Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari jalan hidayah adalah apabila seseorang mengaitkan keistiqamahan dan keteguhannya di atas hidayah dengan keuntungan-keuntungan materi dan kepentingan-kepentingan pribadi, apabila itu bisa didapatkan, ia berlagak ikut dalam kafilah orang-orang yang di atas hidayah, tapi jika tidak bisa didapatkan, ia mulai goyah dan akhirnya berpaling. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah menjelaskan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan).” (QS. Al-Hajj: 11). Ia berkata, “Dulu ada seorang lelaki yang datang ke kota Madinah, apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya dapat beranak-pinak, ia akan berkata, ‘Ini agama yang bagus!’ Tapi jika istrinya tidak melahirkan dan kudanya tidak beranak-pinak, ia berkata, ‘Ini agama yang jelek!’” (Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari). هدانا الله وإياكم لما يحب ويرضى، ووفَّقنا للبر والتقوى، أقول ما تسمعون، وأستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita petunjuk menuju perkara yang Dia cintai dan ridhai, dan mengaruniakan kita taufik menuju kebajikan dan ketakwaan. Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya memohon ampun kepada Allah bagi saya dan kalian semua, dan mohonlah ampun juga kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. الخطبة الثانية معاشر المؤمنين: من صوارف الهداية التي ظهرت في عصرنا هذا الانصرافُ عن الالتزام بشرع الله؛ بحُجَّة سوء أخلاق بعض المسلمين، فترفض المرأة الحجاب الشرعي بحجة سوء أخلاق بعض المحجبات، أو ذاك الذي يهجر المساجد بحجة سوء أخلاق بعض المصلِّين، ومنهم من يحتج لباطله بأن أغلب الناس على ما هو عليه، وكأن البشر هم الحُجَّة على الدين، وليس الدين هو حجة الله على عباده، وهذا يشبه ما قاله قوم نوح عليه السلام له: ﴿ وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴾ [هود: 27]. Khutbah Kedua Wahai kaum Mukminin! Di antara hal yang dapat mengalihkan seseorang dari hidayah juga adalah fenomena yang muncul di zaman kita ini, berupa keberpalingan dari keistiqamahan di atas syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan alasan buruknya akhlak sebagian kaum Muslimin. Ada wanita yang menolak memakai hijab syar’i dengan alasan buruknya akhlak sebagian wanita yang berhijab. Ada orang yang menolak pergi ke Masjid dengan alasan buruknya akhlak sebagian orang yang konsisten melaksanakan salat. Ada juga orang yang beralasan atas kebatilan yang diperbuatnya karena mayoritas orang juga melakukan itu, seakan-akan manusia adalah hujah dalam beragama, alih-alih agama adalah hujah Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap para hamba-Nya. Ini mirip dengan yang dikatakan kaum Nabi Nuh kepada beliau: وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ “Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya begitu saja. Kami juga tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah para pembohong.” (QS. Hud: 27). ولكل هؤلاء يأتي هذا الرد المفحم، والحجة البالغة في هذا الحديث القدسي عن رب العزة جل وعلا: ((يا عبادي، لو أن أولَكم وآخركم، وإنسكم وجنَّكم، كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم، ما زاد ذلك في مُلكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، كانوا على أفجر قلب رجل واحد منكم، ما نقص ذلك من ملكي شيئًا، يا عبادي، لو أن أولكم وآخركم، وإنسكم وجنكم، قاموا في صعيد واحد، فسألوني، فأعطيتُ كل واحد مسألته، ما نقص ذلك مما عندي إلا كما ينقص الْمِخْيَطُ إذا أُدخل البحر، يا عبادي، إنما هي أعمالكم أُحصيها لكم، ثم أوفيكم إياها، فمن وجد خيرًا فليحمَدِ الله، ومن وجد غير ذلك فلا يلومَنَّ إلا نفسه))؛ [مسلم]. Namun, mereka semua mendapat bantahan tegas dan hujah kuat yang disebutkan dalam hadis qudsi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  مَانَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَانَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ المِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ البَحْرَ يَاعِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ “Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang-orang pertama di antara kalian dan orang-orang terakhir, baik itu manusia atau jin, semua berada pada satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah hal itu menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian semua berada pada satu hati yang paling durhaka di antara kalian, tidaklah hal itu mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian, baik itu manusia dan jin berdiri di satu tempat tinggi dan luas lalu meminta (kebutuhannya) kepada-Ku, kemudian Aku memberikan setiap orang apa yang dimintanya, maka tidaklah hal itu mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Ku kecuali seperti berkurangnya (air laut yang menetes) yang di ujung jarum jika dicelupkan ke dalam lautan.  Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku catat untuk kalian, kemudian Aku sempurnakan (balasannya) untuk kalian, maka bagi yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala! dan bagi yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR Muslim). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/171207/خطبة-أسباب-وموانع-الهداية/ Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 66 times, 2 visit(s) today Post Views: 32 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kedudukan Mulia Abu Hurairah dan Bantahan Terhadap Para Pencelanya

Daftar Isi ToggleProfil ringkas Abu HurairahKedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaBantahan terhadap para pencela Abu HurairahKesimpulanAbu Hurairah adalah sahabat yang meriwayatkan hadis paling banyak. Ada lebih dari 5000 hadis yang tersebar di Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan banyak kitab-kitab hadis lainnya. Posisi Abu Hurairah sebagai perawi hadis memiliki kedudukan yang penting. Beliau adalah sahabat yang sudah diakui keagungan budi pekertinya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai celaan dan tuduhan dilontarkan kepada beliau untuk merendahkan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Namun demikian, berbagai celaan dan tuduhan tersebut tidak berdasar dan sudah dijelaskan oleh para ulama mengenai bantahan terhadap syubhat-syubhat terkait pribadi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Profil ringkas Abu Hurairah Para ulama ahli sejarah berbeda  pendapat tentang nama asli Abu Hurairah. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr. Pendapat lain menyatakan, namanya adalah Abdusy Syams. Ada lagi yang menyebut namanya adalah Abdu ‘Amr. Sementara ulama yang lain merincinya, di masa jahiliyah namanya Abdusy Syams; dan di masa Islam menjadi ‘Abdullah. Terdapat pula beberapa pendapat yang lain. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa pendapat yang paling masyhur menyebutkan namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausy. Nama pada masa jahiliyah adalah Abdusy Syams bin Shakhr, kemudian Rasulullah mengubah namanya menjadi ‘Abdurrahman. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh besar pada kepribadian Abu Hurairah. Sejak datang ke Madinah hingga Nabi wafat, Abu Hurairah selalu mengiringi Nabi. Wajar beliau menjadi salah seorang penghafal hadis yang paling banyak di tengah para sahabat. Dalam kondisi apapun, Abu Hurairah selalu bersama Nabi, baik saat kelaparan atau saat kenyang. Di mana ada Rasulullah, di situ ada Abu Hurairah. Jadi, walaupun kebersamaannya singkat dengan Rasulullah, Abu Hurairah mampu mencapai tingkatakan yang tidak dicapai oleh sahabat lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada beliau,يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ“Wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau akan jadi seorang yang paling taat. Jadilah seorang yang qanaah (merasa cukup), niscaya engkau akan jadi seorang yang paling bersyukur. Apa yang engkau suka mendapatkannya, sukai juga untuk orang lain, niscaya engkau menjadi seorang beriman yang sejati. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau jadi muslim sejati. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217, shahih)Rasulullah pernah memuji Abu Hurairah yang gemar bertanya. Suatu hari, Abu Hurairah bertanya tentang syafaat, kemudian Rasulullah memujinya, karena ia adalah orang yang pertama kali bertanya tentang syafaat. Hal ini disebutkan dalam hadis,وعنه -أيضًا- أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ”.“Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena kulihat betapa perhatian dirimu terhadap hadis. Orang yang berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 6201)Setidaknya, ada empat faktor yang menjadikan Abu Hurairah menjadi orang yang memiliki hafalan kuat:Beliau aktif dalam majelis Rasul sampai akhir hayat beliau, dan selalu meluangkan waktu untuk Rasul.Beliau giat dalam mencari ilmu, sampai Rasulullah berdoa untuknya agar tidak mudah lupa.Beliau belajar kepada sahabat senior dalam segala bidang, khususnya hadis, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, ‘Aisyah, dan para sahabat lainnya.Abu Hurairah hidup sampai 47 tahun setelah Nabi wafat, hal ini yang menjadikannya banyak hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh generasi sahabat. (Ahmad Khoirur Rozikin, 2018)Setelah Rasulullah wafat, Abu Hurairah menjadi rujukan bagi para sahabat lainnya yang ingin bertanya tentang hadis. Tentu saja ini karena semasa hidup Rasulullah, Abu Hurairah bergairah ingin mendalami hadis Nabi dengan bertanya kepada sumber aslinya, yaitu Rasulullah sendiri. Abu Hurairah wafat di usia 78 tahun, pada tahun 57 H. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Kedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaAl-Hakim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit dan menanyakan sesuatu kepadanya, dan dia berkata, “Abu Hurairah ada di dekatmu.”Suatu hari, ketika saya sedang duduk bersama Abu Hurairah dan si fulan di masjid, kami berdoa kepada Allah dan berzikir mengingat Rabb kami. Rasulullah keluar kepada kami sampai beliau duduk bersama kami, namun kami tetap diam, lalu beliau berkata, “Kembalilah ke tempatmu tadi.”Zaid berkata, “Maka aku dan sahabatku berdoa di belakang Abu Hurairah, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan doa-doa kami.” Kemudian Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang diminta kedua sahabatku ini, dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak akan terlupakan.”Rasulullah bersabda, “Amin.” Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, dan kami juga memohon Tuhan atas ilmu yang tidak akan terlupakan.“ Nabi pun menjawab, “Permintaanmu telah didahului oleh Abu Hurairah Ad-Dausy.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3: 508)Di antara pujian kepada beliau adalah pujian dari kalangan para sahabat Nabi sendiri. Thalhah bin ‘Ubaidilah berkata, “Aku tidak meragukan bahwa Abu Hurairah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak aku dengar dari beliau.“ Ibnu ‘Umar berkata, “Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih berilmu dengan hadis yang beliau sampaikan.” (As-Siba’i)Ibnu Hajar menyebutkan banyak para ulama, baik sejak masa sahabat maupun sesudahnya, yang memberikan pujian kepada Abu Hurariah, di antaranya adalah:Al-Amsha berkata dari hadis Abu Shalih bahwa dia berkata, “Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling banyak hafalannya.“Asy-Syafi’i berkata, “Abu Hurairah mempunyai ingatan yang paling baik terhadap siapapun yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Al-Bukhari berkata, “Sekitar delapan ratus ulama meriwayatkan darinya, dan dia memiliki ingatan terbaik dari orang-orang yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Abu Nua’im berkata, “Beliau adalah sahabat yang paling mengetahui berita Rasulullah, dan Rasulullah mendoakan Abu Hurairah agar dia disayangi oleh orang-orang yang beriman.“ (Al-‘Asqalani, 1415 H)As-Suyuthi rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu: Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir bin ‘Abdillah, Anas bin Malik, dan ‘Aisyah. Adapun sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis di antara mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis sebanyak 5374 hadis, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 325 hadis, diriwayatkan oleh Bukhari saja sebanyak 93 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 hadis. Terdapat lebih dari 800 orang yang meriwayatkan hadis dari beliau dan beliau adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadis. (As-Suyuthi, 1431 H)Di antara seluruh para sahabat, Abu Hurairah adalah yang paling banyak meriwayatkan hadis. Hal ini dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:Abu Hurairah tidak malu untuk bertanya dan mengemukakan persoalan yang dihadapinya kepada Nabi.Abu Hurairah terus menerus berada dekat dengan Nabi, bahkan selama Nabi mengunjungi istri-istri dan sahabat-sahabatnya.Abu Hurairah termasuk orang yang memiliki daya ingat yang baik, seperti sering terdapat pada orang-orang Badui yang buta huruf.Nabi telah melindungi Abu Hurairah dari lupa, yaitu berkat doa Nabi kepada beliau.Abu Hurairah pernah berdoa untuk mendapatkan ilmu yang tidak akan dilupakannya, dan Nabi mengamininya.Abu Hurairah mengoleksi hadis untuk disebarkan, sementara sahabat lain hanya untuk memperbincangkannya ketika ada keperluan saja.Abu Hurairah juga meriwayatkan hadiṡ Nabi dari sahabat-sahabat yang lain. (Solikhudin & Khamim, 2021)Bantahan terhadap para pencela Abu HurairahMenurut para ahli sejarah muslim, tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hal demikian menimbulkan pertanyaan tentang seberapa hebat Abu Hurairah sehingga dapat melakukan pekerjaan demikian dahsyatnya. Maka menjadi wajar apabila serangan-serangan terhadapnya pun dilancarkan oleh musuh musuh Islam sejak zaman dahulu hingga zaman ini.Di antara mereka mempertanyakan tentang keabsahan hadis dari Abu Hurairah karena beliau hanya sebentar membersamai Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam. Padahal banyak sahabat lain yang lebih lama bersama Nabi, namun tidak meriwayatkan hadis sebanyak Abu Hurairah. Hal ini bisa kita jawab sebagai berikut:Meskipun singkat, beliau senantiasa membersamai Rasulullah, tidak sibuk dengan hal lain sebagaimana orang-orang pada umumnya.Tidak adanya banyak riwayat dari para sahabat lain yang lebih lama mendampingi Rasulullah, di antara penyebabnya adalah karena sebagian dari mereka meninggal dunia lebih dulu; sebagian dari mereka meninggal dunia pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagian lagi meninggal tak lama setelahnya; sebagian dari mereka sedikit yang meriwayatkan dan tidak berbicara kecuali diminta; dan ada di antara mereka menjadi khalifah seperti Ubayy bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum.Beliau tidak membatasai hadisnya dari apa yang didengar dari Nabi, namun beliau juga menyampaikan apa yang didengar dari selain Nabi.Doa Nabi kepada beliau sehingga beliau memliki hafalan yang kuat. (Sulaiman, 2007)Di antara syubhat lainnya, mereka mengatakan Abu Hurairah tidak pernah menulis hadis, bahkan dia menyandarkan riwayatnya dari ingatannya saja. Bantahannya, bahwa hal seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Abu Hurairah sendiri, karena ini merupakan perbuatan setiap perawi hadis dari kalangan sahabat, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hanya beliau sendiri yang mempunyai lembaran yang yang dia gunakan untuk menulis hadis. Oleh karena itu, merupakan hal yang sudah dimaklumi dan diketahui bagi para peneliti hadis bahwa mayoritas sahabat pada saat itu meriwayatkan hadis dari hafalan mereka.Ada pula yang meragukan kredibilitas Abu Hurairah karena menganggap bahwa nama dan silsilah beliau tidak jelas. Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak diketahui silsilahnya, sehingga orang berbeda pendapat mengenai namanya dan nama ayahnya, yang menunjukkan tidak jelasnya nasab beliau. Bantahan terhadap syubhat ini:Sejak kapan perbedaan nama seseorang akan mempermalukan atau meniadakan keadilannya? Cukuplah kita mengenal beliau dari nama panggilannya, sebagaimana kita mengenal Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abu Dujana al-Ansari, dan Abu Darda yang terkenal dengan nama panggilannya, sedangkan nama aslinya tidak diketahui oleh banyak orang.Kita belum pernah mendengar bahwa silsilah dan nasab mengunggulkan atau melemahkan pemiliknya dalam perbandingan ilmiah.Abu Hurairah terkenal dengan nama panggilannya sejak kecil, dan semua orang mengenalnya dengan nama itu, lalu apa masalahnya jika dia dikenal dengan nama panggilannya dan namanya berbeda?!Perbedaan nama merupakan hal yang wajar, tidak hanya pada diri Abu Hurairah saja, melainkan pada setiap orang yang sejak kecil sudah mengenal nama panggilannya.Para ahli ilmu lebih banyak berbeda pendapat mengenai nama dan silsilah pada orang lain selain Abu Hurairah, dan mereka tidak melihat ada cacat atau kecacatan pada diri mereka karenanya. (Al-Khatib)KesimpulanAbu Hurairah merupakan salah satu sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadis. Nabi pernah memuji dan mendoakannya secara khusus. Para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama sesudahnya banyak memberikan pujian kepada beliau yang menunjukkan keutamaan dan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Berbagai syubhat dilontarkan untuk merendahkan kredibilitas Abu Hurairah oleh kaum orientalis dan musuh-musuh Islam. Namun para ulama sudah membantah berbagai celaan dan tuduhan yang keliru kepada Abu Hurairah tersebut.Baca juga: Biografi Imam Asy-Syaukani***Penyusun: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi: Ahmad Khoirur Rozikin. (2018). Analisis Kritis terhadap Isu Negatif Abu Hurarirah dan Ibnu Abbas dalam Israiliyyat. Al Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, 1: 27-47.Al-‘Asqalani, A. (1415 H). Al-Ishaabah fii Tamyiizi ash-Shahabah. Beirut: Daarul Kutub ‘Ilmiyyah.Al-Khatiib, M. ‘. (n.d.). Abu Hurairah Raawiyatul Islam. Maktabah Wahbah 1982.As-Siba’i, M. (n.d.). As-Sunnatu wa Makanatuhaa fii at Tasyrii’ al-Islamy. Maktabah al-Islamy.As-Suyuuthi, J. (1431 H). Tadriibur Raawy fii Syarhi Taqrribu An Nawawy. Beirut: Daar Ibnul Jauzy.Solikhudin, M., & Khamim, K. (2021). Kontroversi dan Kritik Terhadap Hadis Riwayat Abu Hurairah. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, 9(1): 1-16.Sulaiman, H. (2007). Abu Hurairah Shaahibu Rasulillah. Kuwait: Maktabah Al-Kuwait Al-Wathaniyyah.

Kedudukan Mulia Abu Hurairah dan Bantahan Terhadap Para Pencelanya

Daftar Isi ToggleProfil ringkas Abu HurairahKedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaBantahan terhadap para pencela Abu HurairahKesimpulanAbu Hurairah adalah sahabat yang meriwayatkan hadis paling banyak. Ada lebih dari 5000 hadis yang tersebar di Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan banyak kitab-kitab hadis lainnya. Posisi Abu Hurairah sebagai perawi hadis memiliki kedudukan yang penting. Beliau adalah sahabat yang sudah diakui keagungan budi pekertinya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai celaan dan tuduhan dilontarkan kepada beliau untuk merendahkan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Namun demikian, berbagai celaan dan tuduhan tersebut tidak berdasar dan sudah dijelaskan oleh para ulama mengenai bantahan terhadap syubhat-syubhat terkait pribadi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Profil ringkas Abu Hurairah Para ulama ahli sejarah berbeda  pendapat tentang nama asli Abu Hurairah. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr. Pendapat lain menyatakan, namanya adalah Abdusy Syams. Ada lagi yang menyebut namanya adalah Abdu ‘Amr. Sementara ulama yang lain merincinya, di masa jahiliyah namanya Abdusy Syams; dan di masa Islam menjadi ‘Abdullah. Terdapat pula beberapa pendapat yang lain. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa pendapat yang paling masyhur menyebutkan namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausy. Nama pada masa jahiliyah adalah Abdusy Syams bin Shakhr, kemudian Rasulullah mengubah namanya menjadi ‘Abdurrahman. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh besar pada kepribadian Abu Hurairah. Sejak datang ke Madinah hingga Nabi wafat, Abu Hurairah selalu mengiringi Nabi. Wajar beliau menjadi salah seorang penghafal hadis yang paling banyak di tengah para sahabat. Dalam kondisi apapun, Abu Hurairah selalu bersama Nabi, baik saat kelaparan atau saat kenyang. Di mana ada Rasulullah, di situ ada Abu Hurairah. Jadi, walaupun kebersamaannya singkat dengan Rasulullah, Abu Hurairah mampu mencapai tingkatakan yang tidak dicapai oleh sahabat lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada beliau,يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ“Wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau akan jadi seorang yang paling taat. Jadilah seorang yang qanaah (merasa cukup), niscaya engkau akan jadi seorang yang paling bersyukur. Apa yang engkau suka mendapatkannya, sukai juga untuk orang lain, niscaya engkau menjadi seorang beriman yang sejati. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau jadi muslim sejati. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217, shahih)Rasulullah pernah memuji Abu Hurairah yang gemar bertanya. Suatu hari, Abu Hurairah bertanya tentang syafaat, kemudian Rasulullah memujinya, karena ia adalah orang yang pertama kali bertanya tentang syafaat. Hal ini disebutkan dalam hadis,وعنه -أيضًا- أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ”.“Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena kulihat betapa perhatian dirimu terhadap hadis. Orang yang berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 6201)Setidaknya, ada empat faktor yang menjadikan Abu Hurairah menjadi orang yang memiliki hafalan kuat:Beliau aktif dalam majelis Rasul sampai akhir hayat beliau, dan selalu meluangkan waktu untuk Rasul.Beliau giat dalam mencari ilmu, sampai Rasulullah berdoa untuknya agar tidak mudah lupa.Beliau belajar kepada sahabat senior dalam segala bidang, khususnya hadis, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, ‘Aisyah, dan para sahabat lainnya.Abu Hurairah hidup sampai 47 tahun setelah Nabi wafat, hal ini yang menjadikannya banyak hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh generasi sahabat. (Ahmad Khoirur Rozikin, 2018)Setelah Rasulullah wafat, Abu Hurairah menjadi rujukan bagi para sahabat lainnya yang ingin bertanya tentang hadis. Tentu saja ini karena semasa hidup Rasulullah, Abu Hurairah bergairah ingin mendalami hadis Nabi dengan bertanya kepada sumber aslinya, yaitu Rasulullah sendiri. Abu Hurairah wafat di usia 78 tahun, pada tahun 57 H. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Kedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaAl-Hakim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit dan menanyakan sesuatu kepadanya, dan dia berkata, “Abu Hurairah ada di dekatmu.”Suatu hari, ketika saya sedang duduk bersama Abu Hurairah dan si fulan di masjid, kami berdoa kepada Allah dan berzikir mengingat Rabb kami. Rasulullah keluar kepada kami sampai beliau duduk bersama kami, namun kami tetap diam, lalu beliau berkata, “Kembalilah ke tempatmu tadi.”Zaid berkata, “Maka aku dan sahabatku berdoa di belakang Abu Hurairah, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan doa-doa kami.” Kemudian Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang diminta kedua sahabatku ini, dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak akan terlupakan.”Rasulullah bersabda, “Amin.” Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, dan kami juga memohon Tuhan atas ilmu yang tidak akan terlupakan.“ Nabi pun menjawab, “Permintaanmu telah didahului oleh Abu Hurairah Ad-Dausy.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3: 508)Di antara pujian kepada beliau adalah pujian dari kalangan para sahabat Nabi sendiri. Thalhah bin ‘Ubaidilah berkata, “Aku tidak meragukan bahwa Abu Hurairah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak aku dengar dari beliau.“ Ibnu ‘Umar berkata, “Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih berilmu dengan hadis yang beliau sampaikan.” (As-Siba’i)Ibnu Hajar menyebutkan banyak para ulama, baik sejak masa sahabat maupun sesudahnya, yang memberikan pujian kepada Abu Hurariah, di antaranya adalah:Al-Amsha berkata dari hadis Abu Shalih bahwa dia berkata, “Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling banyak hafalannya.“Asy-Syafi’i berkata, “Abu Hurairah mempunyai ingatan yang paling baik terhadap siapapun yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Al-Bukhari berkata, “Sekitar delapan ratus ulama meriwayatkan darinya, dan dia memiliki ingatan terbaik dari orang-orang yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Abu Nua’im berkata, “Beliau adalah sahabat yang paling mengetahui berita Rasulullah, dan Rasulullah mendoakan Abu Hurairah agar dia disayangi oleh orang-orang yang beriman.“ (Al-‘Asqalani, 1415 H)As-Suyuthi rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu: Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir bin ‘Abdillah, Anas bin Malik, dan ‘Aisyah. Adapun sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis di antara mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis sebanyak 5374 hadis, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 325 hadis, diriwayatkan oleh Bukhari saja sebanyak 93 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 hadis. Terdapat lebih dari 800 orang yang meriwayatkan hadis dari beliau dan beliau adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadis. (As-Suyuthi, 1431 H)Di antara seluruh para sahabat, Abu Hurairah adalah yang paling banyak meriwayatkan hadis. Hal ini dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:Abu Hurairah tidak malu untuk bertanya dan mengemukakan persoalan yang dihadapinya kepada Nabi.Abu Hurairah terus menerus berada dekat dengan Nabi, bahkan selama Nabi mengunjungi istri-istri dan sahabat-sahabatnya.Abu Hurairah termasuk orang yang memiliki daya ingat yang baik, seperti sering terdapat pada orang-orang Badui yang buta huruf.Nabi telah melindungi Abu Hurairah dari lupa, yaitu berkat doa Nabi kepada beliau.Abu Hurairah pernah berdoa untuk mendapatkan ilmu yang tidak akan dilupakannya, dan Nabi mengamininya.Abu Hurairah mengoleksi hadis untuk disebarkan, sementara sahabat lain hanya untuk memperbincangkannya ketika ada keperluan saja.Abu Hurairah juga meriwayatkan hadiṡ Nabi dari sahabat-sahabat yang lain. (Solikhudin & Khamim, 2021)Bantahan terhadap para pencela Abu HurairahMenurut para ahli sejarah muslim, tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hal demikian menimbulkan pertanyaan tentang seberapa hebat Abu Hurairah sehingga dapat melakukan pekerjaan demikian dahsyatnya. Maka menjadi wajar apabila serangan-serangan terhadapnya pun dilancarkan oleh musuh musuh Islam sejak zaman dahulu hingga zaman ini.Di antara mereka mempertanyakan tentang keabsahan hadis dari Abu Hurairah karena beliau hanya sebentar membersamai Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam. Padahal banyak sahabat lain yang lebih lama bersama Nabi, namun tidak meriwayatkan hadis sebanyak Abu Hurairah. Hal ini bisa kita jawab sebagai berikut:Meskipun singkat, beliau senantiasa membersamai Rasulullah, tidak sibuk dengan hal lain sebagaimana orang-orang pada umumnya.Tidak adanya banyak riwayat dari para sahabat lain yang lebih lama mendampingi Rasulullah, di antara penyebabnya adalah karena sebagian dari mereka meninggal dunia lebih dulu; sebagian dari mereka meninggal dunia pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagian lagi meninggal tak lama setelahnya; sebagian dari mereka sedikit yang meriwayatkan dan tidak berbicara kecuali diminta; dan ada di antara mereka menjadi khalifah seperti Ubayy bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum.Beliau tidak membatasai hadisnya dari apa yang didengar dari Nabi, namun beliau juga menyampaikan apa yang didengar dari selain Nabi.Doa Nabi kepada beliau sehingga beliau memliki hafalan yang kuat. (Sulaiman, 2007)Di antara syubhat lainnya, mereka mengatakan Abu Hurairah tidak pernah menulis hadis, bahkan dia menyandarkan riwayatnya dari ingatannya saja. Bantahannya, bahwa hal seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Abu Hurairah sendiri, karena ini merupakan perbuatan setiap perawi hadis dari kalangan sahabat, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hanya beliau sendiri yang mempunyai lembaran yang yang dia gunakan untuk menulis hadis. Oleh karena itu, merupakan hal yang sudah dimaklumi dan diketahui bagi para peneliti hadis bahwa mayoritas sahabat pada saat itu meriwayatkan hadis dari hafalan mereka.Ada pula yang meragukan kredibilitas Abu Hurairah karena menganggap bahwa nama dan silsilah beliau tidak jelas. Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak diketahui silsilahnya, sehingga orang berbeda pendapat mengenai namanya dan nama ayahnya, yang menunjukkan tidak jelasnya nasab beliau. Bantahan terhadap syubhat ini:Sejak kapan perbedaan nama seseorang akan mempermalukan atau meniadakan keadilannya? Cukuplah kita mengenal beliau dari nama panggilannya, sebagaimana kita mengenal Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abu Dujana al-Ansari, dan Abu Darda yang terkenal dengan nama panggilannya, sedangkan nama aslinya tidak diketahui oleh banyak orang.Kita belum pernah mendengar bahwa silsilah dan nasab mengunggulkan atau melemahkan pemiliknya dalam perbandingan ilmiah.Abu Hurairah terkenal dengan nama panggilannya sejak kecil, dan semua orang mengenalnya dengan nama itu, lalu apa masalahnya jika dia dikenal dengan nama panggilannya dan namanya berbeda?!Perbedaan nama merupakan hal yang wajar, tidak hanya pada diri Abu Hurairah saja, melainkan pada setiap orang yang sejak kecil sudah mengenal nama panggilannya.Para ahli ilmu lebih banyak berbeda pendapat mengenai nama dan silsilah pada orang lain selain Abu Hurairah, dan mereka tidak melihat ada cacat atau kecacatan pada diri mereka karenanya. (Al-Khatib)KesimpulanAbu Hurairah merupakan salah satu sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadis. Nabi pernah memuji dan mendoakannya secara khusus. Para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama sesudahnya banyak memberikan pujian kepada beliau yang menunjukkan keutamaan dan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Berbagai syubhat dilontarkan untuk merendahkan kredibilitas Abu Hurairah oleh kaum orientalis dan musuh-musuh Islam. Namun para ulama sudah membantah berbagai celaan dan tuduhan yang keliru kepada Abu Hurairah tersebut.Baca juga: Biografi Imam Asy-Syaukani***Penyusun: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi: Ahmad Khoirur Rozikin. (2018). Analisis Kritis terhadap Isu Negatif Abu Hurarirah dan Ibnu Abbas dalam Israiliyyat. Al Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, 1: 27-47.Al-‘Asqalani, A. (1415 H). Al-Ishaabah fii Tamyiizi ash-Shahabah. Beirut: Daarul Kutub ‘Ilmiyyah.Al-Khatiib, M. ‘. (n.d.). Abu Hurairah Raawiyatul Islam. Maktabah Wahbah 1982.As-Siba’i, M. (n.d.). As-Sunnatu wa Makanatuhaa fii at Tasyrii’ al-Islamy. Maktabah al-Islamy.As-Suyuuthi, J. (1431 H). Tadriibur Raawy fii Syarhi Taqrribu An Nawawy. Beirut: Daar Ibnul Jauzy.Solikhudin, M., & Khamim, K. (2021). Kontroversi dan Kritik Terhadap Hadis Riwayat Abu Hurairah. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, 9(1): 1-16.Sulaiman, H. (2007). Abu Hurairah Shaahibu Rasulillah. Kuwait: Maktabah Al-Kuwait Al-Wathaniyyah.
Daftar Isi ToggleProfil ringkas Abu HurairahKedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaBantahan terhadap para pencela Abu HurairahKesimpulanAbu Hurairah adalah sahabat yang meriwayatkan hadis paling banyak. Ada lebih dari 5000 hadis yang tersebar di Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan banyak kitab-kitab hadis lainnya. Posisi Abu Hurairah sebagai perawi hadis memiliki kedudukan yang penting. Beliau adalah sahabat yang sudah diakui keagungan budi pekertinya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai celaan dan tuduhan dilontarkan kepada beliau untuk merendahkan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Namun demikian, berbagai celaan dan tuduhan tersebut tidak berdasar dan sudah dijelaskan oleh para ulama mengenai bantahan terhadap syubhat-syubhat terkait pribadi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Profil ringkas Abu Hurairah Para ulama ahli sejarah berbeda  pendapat tentang nama asli Abu Hurairah. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr. Pendapat lain menyatakan, namanya adalah Abdusy Syams. Ada lagi yang menyebut namanya adalah Abdu ‘Amr. Sementara ulama yang lain merincinya, di masa jahiliyah namanya Abdusy Syams; dan di masa Islam menjadi ‘Abdullah. Terdapat pula beberapa pendapat yang lain. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa pendapat yang paling masyhur menyebutkan namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausy. Nama pada masa jahiliyah adalah Abdusy Syams bin Shakhr, kemudian Rasulullah mengubah namanya menjadi ‘Abdurrahman. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh besar pada kepribadian Abu Hurairah. Sejak datang ke Madinah hingga Nabi wafat, Abu Hurairah selalu mengiringi Nabi. Wajar beliau menjadi salah seorang penghafal hadis yang paling banyak di tengah para sahabat. Dalam kondisi apapun, Abu Hurairah selalu bersama Nabi, baik saat kelaparan atau saat kenyang. Di mana ada Rasulullah, di situ ada Abu Hurairah. Jadi, walaupun kebersamaannya singkat dengan Rasulullah, Abu Hurairah mampu mencapai tingkatakan yang tidak dicapai oleh sahabat lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada beliau,يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ“Wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau akan jadi seorang yang paling taat. Jadilah seorang yang qanaah (merasa cukup), niscaya engkau akan jadi seorang yang paling bersyukur. Apa yang engkau suka mendapatkannya, sukai juga untuk orang lain, niscaya engkau menjadi seorang beriman yang sejati. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau jadi muslim sejati. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217, shahih)Rasulullah pernah memuji Abu Hurairah yang gemar bertanya. Suatu hari, Abu Hurairah bertanya tentang syafaat, kemudian Rasulullah memujinya, karena ia adalah orang yang pertama kali bertanya tentang syafaat. Hal ini disebutkan dalam hadis,وعنه -أيضًا- أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ”.“Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena kulihat betapa perhatian dirimu terhadap hadis. Orang yang berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 6201)Setidaknya, ada empat faktor yang menjadikan Abu Hurairah menjadi orang yang memiliki hafalan kuat:Beliau aktif dalam majelis Rasul sampai akhir hayat beliau, dan selalu meluangkan waktu untuk Rasul.Beliau giat dalam mencari ilmu, sampai Rasulullah berdoa untuknya agar tidak mudah lupa.Beliau belajar kepada sahabat senior dalam segala bidang, khususnya hadis, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, ‘Aisyah, dan para sahabat lainnya.Abu Hurairah hidup sampai 47 tahun setelah Nabi wafat, hal ini yang menjadikannya banyak hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh generasi sahabat. (Ahmad Khoirur Rozikin, 2018)Setelah Rasulullah wafat, Abu Hurairah menjadi rujukan bagi para sahabat lainnya yang ingin bertanya tentang hadis. Tentu saja ini karena semasa hidup Rasulullah, Abu Hurairah bergairah ingin mendalami hadis Nabi dengan bertanya kepada sumber aslinya, yaitu Rasulullah sendiri. Abu Hurairah wafat di usia 78 tahun, pada tahun 57 H. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Kedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaAl-Hakim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit dan menanyakan sesuatu kepadanya, dan dia berkata, “Abu Hurairah ada di dekatmu.”Suatu hari, ketika saya sedang duduk bersama Abu Hurairah dan si fulan di masjid, kami berdoa kepada Allah dan berzikir mengingat Rabb kami. Rasulullah keluar kepada kami sampai beliau duduk bersama kami, namun kami tetap diam, lalu beliau berkata, “Kembalilah ke tempatmu tadi.”Zaid berkata, “Maka aku dan sahabatku berdoa di belakang Abu Hurairah, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan doa-doa kami.” Kemudian Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang diminta kedua sahabatku ini, dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak akan terlupakan.”Rasulullah bersabda, “Amin.” Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, dan kami juga memohon Tuhan atas ilmu yang tidak akan terlupakan.“ Nabi pun menjawab, “Permintaanmu telah didahului oleh Abu Hurairah Ad-Dausy.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3: 508)Di antara pujian kepada beliau adalah pujian dari kalangan para sahabat Nabi sendiri. Thalhah bin ‘Ubaidilah berkata, “Aku tidak meragukan bahwa Abu Hurairah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak aku dengar dari beliau.“ Ibnu ‘Umar berkata, “Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih berilmu dengan hadis yang beliau sampaikan.” (As-Siba’i)Ibnu Hajar menyebutkan banyak para ulama, baik sejak masa sahabat maupun sesudahnya, yang memberikan pujian kepada Abu Hurariah, di antaranya adalah:Al-Amsha berkata dari hadis Abu Shalih bahwa dia berkata, “Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling banyak hafalannya.“Asy-Syafi’i berkata, “Abu Hurairah mempunyai ingatan yang paling baik terhadap siapapun yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Al-Bukhari berkata, “Sekitar delapan ratus ulama meriwayatkan darinya, dan dia memiliki ingatan terbaik dari orang-orang yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Abu Nua’im berkata, “Beliau adalah sahabat yang paling mengetahui berita Rasulullah, dan Rasulullah mendoakan Abu Hurairah agar dia disayangi oleh orang-orang yang beriman.“ (Al-‘Asqalani, 1415 H)As-Suyuthi rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu: Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir bin ‘Abdillah, Anas bin Malik, dan ‘Aisyah. Adapun sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis di antara mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis sebanyak 5374 hadis, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 325 hadis, diriwayatkan oleh Bukhari saja sebanyak 93 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 hadis. Terdapat lebih dari 800 orang yang meriwayatkan hadis dari beliau dan beliau adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadis. (As-Suyuthi, 1431 H)Di antara seluruh para sahabat, Abu Hurairah adalah yang paling banyak meriwayatkan hadis. Hal ini dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:Abu Hurairah tidak malu untuk bertanya dan mengemukakan persoalan yang dihadapinya kepada Nabi.Abu Hurairah terus menerus berada dekat dengan Nabi, bahkan selama Nabi mengunjungi istri-istri dan sahabat-sahabatnya.Abu Hurairah termasuk orang yang memiliki daya ingat yang baik, seperti sering terdapat pada orang-orang Badui yang buta huruf.Nabi telah melindungi Abu Hurairah dari lupa, yaitu berkat doa Nabi kepada beliau.Abu Hurairah pernah berdoa untuk mendapatkan ilmu yang tidak akan dilupakannya, dan Nabi mengamininya.Abu Hurairah mengoleksi hadis untuk disebarkan, sementara sahabat lain hanya untuk memperbincangkannya ketika ada keperluan saja.Abu Hurairah juga meriwayatkan hadiṡ Nabi dari sahabat-sahabat yang lain. (Solikhudin & Khamim, 2021)Bantahan terhadap para pencela Abu HurairahMenurut para ahli sejarah muslim, tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hal demikian menimbulkan pertanyaan tentang seberapa hebat Abu Hurairah sehingga dapat melakukan pekerjaan demikian dahsyatnya. Maka menjadi wajar apabila serangan-serangan terhadapnya pun dilancarkan oleh musuh musuh Islam sejak zaman dahulu hingga zaman ini.Di antara mereka mempertanyakan tentang keabsahan hadis dari Abu Hurairah karena beliau hanya sebentar membersamai Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam. Padahal banyak sahabat lain yang lebih lama bersama Nabi, namun tidak meriwayatkan hadis sebanyak Abu Hurairah. Hal ini bisa kita jawab sebagai berikut:Meskipun singkat, beliau senantiasa membersamai Rasulullah, tidak sibuk dengan hal lain sebagaimana orang-orang pada umumnya.Tidak adanya banyak riwayat dari para sahabat lain yang lebih lama mendampingi Rasulullah, di antara penyebabnya adalah karena sebagian dari mereka meninggal dunia lebih dulu; sebagian dari mereka meninggal dunia pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagian lagi meninggal tak lama setelahnya; sebagian dari mereka sedikit yang meriwayatkan dan tidak berbicara kecuali diminta; dan ada di antara mereka menjadi khalifah seperti Ubayy bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum.Beliau tidak membatasai hadisnya dari apa yang didengar dari Nabi, namun beliau juga menyampaikan apa yang didengar dari selain Nabi.Doa Nabi kepada beliau sehingga beliau memliki hafalan yang kuat. (Sulaiman, 2007)Di antara syubhat lainnya, mereka mengatakan Abu Hurairah tidak pernah menulis hadis, bahkan dia menyandarkan riwayatnya dari ingatannya saja. Bantahannya, bahwa hal seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Abu Hurairah sendiri, karena ini merupakan perbuatan setiap perawi hadis dari kalangan sahabat, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hanya beliau sendiri yang mempunyai lembaran yang yang dia gunakan untuk menulis hadis. Oleh karena itu, merupakan hal yang sudah dimaklumi dan diketahui bagi para peneliti hadis bahwa mayoritas sahabat pada saat itu meriwayatkan hadis dari hafalan mereka.Ada pula yang meragukan kredibilitas Abu Hurairah karena menganggap bahwa nama dan silsilah beliau tidak jelas. Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak diketahui silsilahnya, sehingga orang berbeda pendapat mengenai namanya dan nama ayahnya, yang menunjukkan tidak jelasnya nasab beliau. Bantahan terhadap syubhat ini:Sejak kapan perbedaan nama seseorang akan mempermalukan atau meniadakan keadilannya? Cukuplah kita mengenal beliau dari nama panggilannya, sebagaimana kita mengenal Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abu Dujana al-Ansari, dan Abu Darda yang terkenal dengan nama panggilannya, sedangkan nama aslinya tidak diketahui oleh banyak orang.Kita belum pernah mendengar bahwa silsilah dan nasab mengunggulkan atau melemahkan pemiliknya dalam perbandingan ilmiah.Abu Hurairah terkenal dengan nama panggilannya sejak kecil, dan semua orang mengenalnya dengan nama itu, lalu apa masalahnya jika dia dikenal dengan nama panggilannya dan namanya berbeda?!Perbedaan nama merupakan hal yang wajar, tidak hanya pada diri Abu Hurairah saja, melainkan pada setiap orang yang sejak kecil sudah mengenal nama panggilannya.Para ahli ilmu lebih banyak berbeda pendapat mengenai nama dan silsilah pada orang lain selain Abu Hurairah, dan mereka tidak melihat ada cacat atau kecacatan pada diri mereka karenanya. (Al-Khatib)KesimpulanAbu Hurairah merupakan salah satu sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadis. Nabi pernah memuji dan mendoakannya secara khusus. Para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama sesudahnya banyak memberikan pujian kepada beliau yang menunjukkan keutamaan dan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Berbagai syubhat dilontarkan untuk merendahkan kredibilitas Abu Hurairah oleh kaum orientalis dan musuh-musuh Islam. Namun para ulama sudah membantah berbagai celaan dan tuduhan yang keliru kepada Abu Hurairah tersebut.Baca juga: Biografi Imam Asy-Syaukani***Penyusun: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi: Ahmad Khoirur Rozikin. (2018). Analisis Kritis terhadap Isu Negatif Abu Hurarirah dan Ibnu Abbas dalam Israiliyyat. Al Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, 1: 27-47.Al-‘Asqalani, A. (1415 H). Al-Ishaabah fii Tamyiizi ash-Shahabah. Beirut: Daarul Kutub ‘Ilmiyyah.Al-Khatiib, M. ‘. (n.d.). Abu Hurairah Raawiyatul Islam. Maktabah Wahbah 1982.As-Siba’i, M. (n.d.). As-Sunnatu wa Makanatuhaa fii at Tasyrii’ al-Islamy. Maktabah al-Islamy.As-Suyuuthi, J. (1431 H). Tadriibur Raawy fii Syarhi Taqrribu An Nawawy. Beirut: Daar Ibnul Jauzy.Solikhudin, M., & Khamim, K. (2021). Kontroversi dan Kritik Terhadap Hadis Riwayat Abu Hurairah. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, 9(1): 1-16.Sulaiman, H. (2007). Abu Hurairah Shaahibu Rasulillah. Kuwait: Maktabah Al-Kuwait Al-Wathaniyyah.


Daftar Isi ToggleProfil ringkas Abu HurairahKedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaBantahan terhadap para pencela Abu HurairahKesimpulanAbu Hurairah adalah sahabat yang meriwayatkan hadis paling banyak. Ada lebih dari 5000 hadis yang tersebar di Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan banyak kitab-kitab hadis lainnya. Posisi Abu Hurairah sebagai perawi hadis memiliki kedudukan yang penting. Beliau adalah sahabat yang sudah diakui keagungan budi pekertinya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai celaan dan tuduhan dilontarkan kepada beliau untuk merendahkan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Namun demikian, berbagai celaan dan tuduhan tersebut tidak berdasar dan sudah dijelaskan oleh para ulama mengenai bantahan terhadap syubhat-syubhat terkait pribadi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Profil ringkas Abu Hurairah Para ulama ahli sejarah berbeda  pendapat tentang nama asli Abu Hurairah. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr. Pendapat lain menyatakan, namanya adalah Abdusy Syams. Ada lagi yang menyebut namanya adalah Abdu ‘Amr. Sementara ulama yang lain merincinya, di masa jahiliyah namanya Abdusy Syams; dan di masa Islam menjadi ‘Abdullah. Terdapat pula beberapa pendapat yang lain. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa pendapat yang paling masyhur menyebutkan namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausy. Nama pada masa jahiliyah adalah Abdusy Syams bin Shakhr, kemudian Rasulullah mengubah namanya menjadi ‘Abdurrahman. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh besar pada kepribadian Abu Hurairah. Sejak datang ke Madinah hingga Nabi wafat, Abu Hurairah selalu mengiringi Nabi. Wajar beliau menjadi salah seorang penghafal hadis yang paling banyak di tengah para sahabat. Dalam kondisi apapun, Abu Hurairah selalu bersama Nabi, baik saat kelaparan atau saat kenyang. Di mana ada Rasulullah, di situ ada Abu Hurairah. Jadi, walaupun kebersamaannya singkat dengan Rasulullah, Abu Hurairah mampu mencapai tingkatakan yang tidak dicapai oleh sahabat lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada beliau,يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ“Wahai Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau akan jadi seorang yang paling taat. Jadilah seorang yang qanaah (merasa cukup), niscaya engkau akan jadi seorang yang paling bersyukur. Apa yang engkau suka mendapatkannya, sukai juga untuk orang lain, niscaya engkau menjadi seorang beriman yang sejati. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau jadi muslim sejati. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217, shahih)Rasulullah pernah memuji Abu Hurairah yang gemar bertanya. Suatu hari, Abu Hurairah bertanya tentang syafaat, kemudian Rasulullah memujinya, karena ia adalah orang yang pertama kali bertanya tentang syafaat. Hal ini disebutkan dalam hadis,وعنه -أيضًا- أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ”.“Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena kulihat betapa perhatian dirimu terhadap hadis. Orang yang berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 6201)Setidaknya, ada empat faktor yang menjadikan Abu Hurairah menjadi orang yang memiliki hafalan kuat:Beliau aktif dalam majelis Rasul sampai akhir hayat beliau, dan selalu meluangkan waktu untuk Rasul.Beliau giat dalam mencari ilmu, sampai Rasulullah berdoa untuknya agar tidak mudah lupa.Beliau belajar kepada sahabat senior dalam segala bidang, khususnya hadis, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, ‘Aisyah, dan para sahabat lainnya.Abu Hurairah hidup sampai 47 tahun setelah Nabi wafat, hal ini yang menjadikannya banyak hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh generasi sahabat. (Ahmad Khoirur Rozikin, 2018)Setelah Rasulullah wafat, Abu Hurairah menjadi rujukan bagi para sahabat lainnya yang ingin bertanya tentang hadis. Tentu saja ini karena semasa hidup Rasulullah, Abu Hurairah bergairah ingin mendalami hadis Nabi dengan bertanya kepada sumber aslinya, yaitu Rasulullah sendiri. Abu Hurairah wafat di usia 78 tahun, pada tahun 57 H. (Al-‘Asqalani, 1415 H)Kedudukan dan keistimewaan Abu Hurairah menurut para ulamaAl-Hakim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit dan menanyakan sesuatu kepadanya, dan dia berkata, “Abu Hurairah ada di dekatmu.”Suatu hari, ketika saya sedang duduk bersama Abu Hurairah dan si fulan di masjid, kami berdoa kepada Allah dan berzikir mengingat Rabb kami. Rasulullah keluar kepada kami sampai beliau duduk bersama kami, namun kami tetap diam, lalu beliau berkata, “Kembalilah ke tempatmu tadi.”Zaid berkata, “Maka aku dan sahabatku berdoa di belakang Abu Hurairah, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan doa-doa kami.” Kemudian Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang diminta kedua sahabatku ini, dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak akan terlupakan.”Rasulullah bersabda, “Amin.” Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, dan kami juga memohon Tuhan atas ilmu yang tidak akan terlupakan.“ Nabi pun menjawab, “Permintaanmu telah didahului oleh Abu Hurairah Ad-Dausy.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3: 508)Di antara pujian kepada beliau adalah pujian dari kalangan para sahabat Nabi sendiri. Thalhah bin ‘Ubaidilah berkata, “Aku tidak meragukan bahwa Abu Hurairah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak aku dengar dari beliau.“ Ibnu ‘Umar berkata, “Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih berilmu dengan hadis yang beliau sampaikan.” (As-Siba’i)Ibnu Hajar menyebutkan banyak para ulama, baik sejak masa sahabat maupun sesudahnya, yang memberikan pujian kepada Abu Hurariah, di antaranya adalah:Al-Amsha berkata dari hadis Abu Shalih bahwa dia berkata, “Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling banyak hafalannya.“Asy-Syafi’i berkata, “Abu Hurairah mempunyai ingatan yang paling baik terhadap siapapun yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Al-Bukhari berkata, “Sekitar delapan ratus ulama meriwayatkan darinya, dan dia memiliki ingatan terbaik dari orang-orang yang meriwayatkan hadis pada masanya.“Abu Nua’im berkata, “Beliau adalah sahabat yang paling mengetahui berita Rasulullah, dan Rasulullah mendoakan Abu Hurairah agar dia disayangi oleh orang-orang yang beriman.“ (Al-‘Asqalani, 1415 H)As-Suyuthi rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu: Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir bin ‘Abdillah, Anas bin Malik, dan ‘Aisyah. Adapun sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis di antara mereka adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis sebanyak 5374 hadis, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 325 hadis, diriwayatkan oleh Bukhari saja sebanyak 93 hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 hadis. Terdapat lebih dari 800 orang yang meriwayatkan hadis dari beliau dan beliau adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadis. (As-Suyuthi, 1431 H)Di antara seluruh para sahabat, Abu Hurairah adalah yang paling banyak meriwayatkan hadis. Hal ini dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:Abu Hurairah tidak malu untuk bertanya dan mengemukakan persoalan yang dihadapinya kepada Nabi.Abu Hurairah terus menerus berada dekat dengan Nabi, bahkan selama Nabi mengunjungi istri-istri dan sahabat-sahabatnya.Abu Hurairah termasuk orang yang memiliki daya ingat yang baik, seperti sering terdapat pada orang-orang Badui yang buta huruf.Nabi telah melindungi Abu Hurairah dari lupa, yaitu berkat doa Nabi kepada beliau.Abu Hurairah pernah berdoa untuk mendapatkan ilmu yang tidak akan dilupakannya, dan Nabi mengamininya.Abu Hurairah mengoleksi hadis untuk disebarkan, sementara sahabat lain hanya untuk memperbincangkannya ketika ada keperluan saja.Abu Hurairah juga meriwayatkan hadiṡ Nabi dari sahabat-sahabat yang lain. (Solikhudin & Khamim, 2021)Bantahan terhadap para pencela Abu HurairahMenurut para ahli sejarah muslim, tidak ada sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hal demikian menimbulkan pertanyaan tentang seberapa hebat Abu Hurairah sehingga dapat melakukan pekerjaan demikian dahsyatnya. Maka menjadi wajar apabila serangan-serangan terhadapnya pun dilancarkan oleh musuh musuh Islam sejak zaman dahulu hingga zaman ini.Di antara mereka mempertanyakan tentang keabsahan hadis dari Abu Hurairah karena beliau hanya sebentar membersamai Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam. Padahal banyak sahabat lain yang lebih lama bersama Nabi, namun tidak meriwayatkan hadis sebanyak Abu Hurairah. Hal ini bisa kita jawab sebagai berikut:Meskipun singkat, beliau senantiasa membersamai Rasulullah, tidak sibuk dengan hal lain sebagaimana orang-orang pada umumnya.Tidak adanya banyak riwayat dari para sahabat lain yang lebih lama mendampingi Rasulullah, di antara penyebabnya adalah karena sebagian dari mereka meninggal dunia lebih dulu; sebagian dari mereka meninggal dunia pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagian lagi meninggal tak lama setelahnya; sebagian dari mereka sedikit yang meriwayatkan dan tidak berbicara kecuali diminta; dan ada di antara mereka menjadi khalifah seperti Ubayy bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum.Beliau tidak membatasai hadisnya dari apa yang didengar dari Nabi, namun beliau juga menyampaikan apa yang didengar dari selain Nabi.Doa Nabi kepada beliau sehingga beliau memliki hafalan yang kuat. (Sulaiman, 2007)Di antara syubhat lainnya, mereka mengatakan Abu Hurairah tidak pernah menulis hadis, bahkan dia menyandarkan riwayatnya dari ingatannya saja. Bantahannya, bahwa hal seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Abu Hurairah sendiri, karena ini merupakan perbuatan setiap perawi hadis dari kalangan sahabat, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hanya beliau sendiri yang mempunyai lembaran yang yang dia gunakan untuk menulis hadis. Oleh karena itu, merupakan hal yang sudah dimaklumi dan diketahui bagi para peneliti hadis bahwa mayoritas sahabat pada saat itu meriwayatkan hadis dari hafalan mereka.Ada pula yang meragukan kredibilitas Abu Hurairah karena menganggap bahwa nama dan silsilah beliau tidak jelas. Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak diketahui silsilahnya, sehingga orang berbeda pendapat mengenai namanya dan nama ayahnya, yang menunjukkan tidak jelasnya nasab beliau. Bantahan terhadap syubhat ini:Sejak kapan perbedaan nama seseorang akan mempermalukan atau meniadakan keadilannya? Cukuplah kita mengenal beliau dari nama panggilannya, sebagaimana kita mengenal Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abu Dujana al-Ansari, dan Abu Darda yang terkenal dengan nama panggilannya, sedangkan nama aslinya tidak diketahui oleh banyak orang.Kita belum pernah mendengar bahwa silsilah dan nasab mengunggulkan atau melemahkan pemiliknya dalam perbandingan ilmiah.Abu Hurairah terkenal dengan nama panggilannya sejak kecil, dan semua orang mengenalnya dengan nama itu, lalu apa masalahnya jika dia dikenal dengan nama panggilannya dan namanya berbeda?!Perbedaan nama merupakan hal yang wajar, tidak hanya pada diri Abu Hurairah saja, melainkan pada setiap orang yang sejak kecil sudah mengenal nama panggilannya.Para ahli ilmu lebih banyak berbeda pendapat mengenai nama dan silsilah pada orang lain selain Abu Hurairah, dan mereka tidak melihat ada cacat atau kecacatan pada diri mereka karenanya. (Al-Khatib)KesimpulanAbu Hurairah merupakan salah satu sahabat mulia yang paling banyak meriwayatkan hadis. Nabi pernah memuji dan mendoakannya secara khusus. Para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama sesudahnya banyak memberikan pujian kepada beliau yang menunjukkan keutamaan dan kredibilitas beliau dalam ilmu hadis. Berbagai syubhat dilontarkan untuk merendahkan kredibilitas Abu Hurairah oleh kaum orientalis dan musuh-musuh Islam. Namun para ulama sudah membantah berbagai celaan dan tuduhan yang keliru kepada Abu Hurairah tersebut.Baca juga: Biografi Imam Asy-Syaukani***Penyusun: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi: Ahmad Khoirur Rozikin. (2018). Analisis Kritis terhadap Isu Negatif Abu Hurarirah dan Ibnu Abbas dalam Israiliyyat. Al Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, 1: 27-47.Al-‘Asqalani, A. (1415 H). Al-Ishaabah fii Tamyiizi ash-Shahabah. Beirut: Daarul Kutub ‘Ilmiyyah.Al-Khatiib, M. ‘. (n.d.). Abu Hurairah Raawiyatul Islam. Maktabah Wahbah 1982.As-Siba’i, M. (n.d.). As-Sunnatu wa Makanatuhaa fii at Tasyrii’ al-Islamy. Maktabah al-Islamy.As-Suyuuthi, J. (1431 H). Tadriibur Raawy fii Syarhi Taqrribu An Nawawy. Beirut: Daar Ibnul Jauzy.Solikhudin, M., & Khamim, K. (2021). Kontroversi dan Kritik Terhadap Hadis Riwayat Abu Hurairah. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, 9(1): 1-16.Sulaiman, H. (2007). Abu Hurairah Shaahibu Rasulillah. Kuwait: Maktabah Al-Kuwait Al-Wathaniyyah.

Menikah: Menjaga Pandangan dan Melindungi Kemaluan

أغض للبصر وأحصن للفرج روى الإمام البخاري ومسلم في صحيحيهما عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كُنَّا مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَبَابًا لا نَجِدُ شيئًا، فَقالَ لَنَا رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: (يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ). Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahih mereka dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dulu kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika kami masih muda dan belum punya apa pun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam kemudian bersabda kepada kami: يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ ‘Wahai para pemuda! Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah! Karena itu lebih menjaga pandangan dan melindungi kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena ia adalah tameng.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). هذه دعوة من النبي صلى الله عليه وسلم للشباب ـ ولمن كان محتاجا للزواج من غيرهم ـ أن يبادروا إليه متى ما وجدوا القدرة على ذلك، والقدرة هنا في الظاهر هي القدرة المادية، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يخاطب شبابا ولا شك أن رغبتهم فيه قوية، وكذلك يدل عليه قول ابن مسعود “شبابا لا نجد شيئا”، فكأنه يقول لهم: من وجد شيئا يقدر به على الزواج فليبادر إليه، لما فيه من المنافع الدنيوية والأخروية. Ini merupakan seruan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bagi para pemuda dan orang-orang yang butuh menikah agar segera melaksanakannya ketika telah memiliki kemampuan. Sedangkan maksud eksplisit dari kata ‘kemampuan’ di sini adalah kemampuan secara finansial, karena ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam berbicara dengan para pemuda yang – tidak diragukan – mereka punya keinginan yang kuat untuk menikah (punya kemampuan secara biologis). Ini juga ditunjukkan melalui ucapan Ibnu Mas’ud, “ketika kami masih muda dan belum punya apa pun”. Seakan-akan beliau bersabda kepada mereka, “Barang siapa yang memiliki harta yang dapat ia gunakan untuk menikah, maka hendaklah ia bersegera melakukannya, karena menikah mengandung banyak manfaat duniawi dan ukhrawi.” فالزواج آية من آيات الله الباهرة، ونعمة من نعمه الظاهرة، فيه بيان لقدرة الله تعالى في خلقه، وحكمته في شرعه، قال سبحانه: {وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ}[الروم:21]. Pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menakjubkan dan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang begitu jelas. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya dan kebijaksanaan-Nya dalam syariat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21). والزواج طاعة لأمر الله وأمر رسوله، وقربة:  فقد أمر الله به في قوله: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ}[النور:42]. وأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: (تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ)[صحيح سنن أبي داود، وراه النسائي أيضا]. وكذلك هنا في هذا الحديث: (مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ)، وقد حث كثيرا عليه صلوات الله وسلامه عليه. Pernikahan merupakan ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan amal ibadah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan menikah dalam firman-Nya: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga memerintahkan untuk menikah melalui sabda beliau: تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sungguh aku membanggakan jumlah kalian yang banyak di antara umat-umat lain.” (Shahih Sunan Abu Dawud dan juga diriwayatkan an-Nasa’i). Beliau juga memerintahkannya dalam hadis yang kita bahas ini: “Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah!” Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam banyak mendorong umatnya untuk menunaikan amalan ini. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan Shalat Malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan salat malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. الزواج باب رزق وأجر: أما كونه بابَ رزقٍ فقد قال تعالى: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}[النور:32]. وقال صلى الله عليه وسلم: (ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ)[رواه أحمد والترمذي والنسائي]. أي: الَّذي يُريدُ أن يتزوَّجَ ليُحصِّنَ نفْسَه مِن الزِّنا. وأما كونه باب أجر: فقد قال عليه الصلاة والسلام: (وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan pintu rezeki dan pahala Adapun pernikahan sebagai pintu rezeki, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32). Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menolong mereka: (1) orang yang berjihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, (2) budak yang ingin membayar harga kemerdekaannya, (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Yakni yang ingin menikah demi menjaga diri dari perzinaan. Sedangkan pernikahan sebagai pintu pahala, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ “Dan pada kemaluan kalian terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah salah satu dari kita menyalurkan syahwatnya (dengan istrinya) dan dia mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika dia menyalurkannya dalam hal yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Demikianlah jika dia menyalurkannya dalam hal yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim). والزواج سبيل لتحصيل الذرية: يسعد بها الإنسان في حياته، ويدعون له ويتصدقون عنه بعد وفاته، كما قال صلى الله عليه وسلم: (إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan jalan untuk memperoleh keturunan Dengan keturunan itu, seorang insan dapat berbahagia dalam hidupnya, mereka mendoakan kebaikan baginya dan bersedekah atas namanya setelah kematiannya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). أغض للبصر وأحصن للفرج ومن حكم الزواج التي نص عليها النبي في هذا الحديث أنه (أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ)، وغض الأبصار وحفظ الفروج مطلب ديني وأمر شرعي قال تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}[النور:30، 31].[المؤمنون:5-6]. Lebih menjaga pandangan dan lebih melindungi kemaluan Di antara hikmah pernikahan yang disebutkan secara langsung dalam hadis yang kita bahas ini adalah lebih membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan merupakan tuntutan agama dan perintah Syariat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30-31). Juga yang difirmankan dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6. إن الله تعالى أرسل المرسلين وجعل من مقاصد بعثتهم تصحيح عقائدهم، وتزكية نفوسهم، وتطهير مجتمعاتهم، وفي الزواج طهارة للمجتمع، وسلامة للبيوت، وحفظ للأعراض، وصيانة للأنساب؛ لأن هذه الشهوة شهوة جامحة، فإذا لم يجد الإنسان لها مصرفا حلالا يقضي فيه وطره ويصرف فيه شهوته وإلا بحث لها عن مصرف حرام. Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menetapkan salah satu tujuan pengutusan mereka adalah untuk meluruskan akidah, membersihkan jiwa, dan membetulkan masyarakat mereka. Sedangkan pernikahan merupakan pembersihan bagi masyarakat, keselamatan bagi rumah tangga, penjagaan terhadap kehormatan, dan perlindungan terhadap nasab, karena syahwat manusia sangat menggelora, apabila ia tidak mendapatkan objek yang halal untuk menyalurkan syahwatnya maka ia akan mencari objek penyaluran yang haram. ولهذا من أكبر مفاسد ترك الزواج وإغلاق أبوابه ووضع العراقيل أمام طالبيه، بغلاء المهور وكثرة الطلبات ومبالغ الحفلات وتكاليفه الكثيرة، فيعزف عنه الشباب وأن يسلكوا مسالك أخرى منكرة وهذا فيه فساد للشباب والشابات، وفتح أبواب المحرمات، وانتشار الفواحش والمنكرات. Oleh sebab itu, di antara kerusakan terbesar yang timbul adalah akibat pengabaian pernikahan, penghambatan jalan menuju pernikahan, penyulitan terhadap orang-orang yang ingin menjalankannya dengan memperbesar mahar, memperbanyak syarat, dan berlebihan dalam resepsi pernikahan, serta tuntutan-tuntutan lain, sehingga pemuda-pemudi berpaling darinya dan lebih memilih jalan-jalan lain yang mungkar. Tentu ini menimbulkan kerusakan pada generasi muda, membuka pintu-pintu yang diharamkan, dan tersebarnya perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. فالزواج باب إعفاف للفرج وصيانة للبصر وغض عن المحارم، وفي هذا إعانة على أداء العبادات والطاعات في حضور قلب وإقبال على الرب، لأن الشهوة إذا غلبت أنطلق البصر وصال وجال، فإذا قلبه صاحبه في وجوه الحسان أفسد القلب، وشتت الفكر، وهيج الشهوة، ودعا إلى الحرام. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر .. .. .. ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها .. .. فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها .. .. في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ .. .. . لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Pernikahan merupakan pintu untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Ini juga memberi kemudahan dalam menunaikan ibadah dan ketaatan dengan penuh kehadiran hati dan antusiasme menghadap Tuhan, karena jika syahwat telah menguasai, pandangan mata akan liar dan susah dikendalikan, lalu apabila pemilik mata itu hendak mengarahkannya untuk hal-hal yang baik, maka hatinya menjadi gusar, fokusnya terpecah, syahwatnya terus bergejolak, dan mengajak kepada hal yang haram. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ Setiap kecelakaan dimulai dari pandangan, Dan sebagian besar api berasal dari percikan. كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها  فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ Betapa banyak pandangan yang mencelakakan hati pemiliknya, Seperti anak panah yang menghujam tanpa busur dan tanpa tali. والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها  في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ Selama seseorang itu mengumbar matanya, Untuk melihat mata-mata jelita, maka ia berada dalam bahaya. يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Matanya bahagia tapi membahayakan hatinya, Sungguh tidak berguna kebahagiaan yang menimbulkan bahaya. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فالزواج سبيل إلى تهدئة النفس والقلب والخاطر وتفريغ القلب والنفس من الشواغل للإقبال على عبادة الله سبحانه وتعالى في أكمل حال. وأما من لم يقدر عليه لضعف ذات يد، أو قلة مال، أو أي سبب فإنما سبيله أن يحاول إضعاف شهوته وتقليلها، بأي سبيل مباح وأفضله الصوم لأنه يضعف الشهوة والفكر فيها فكأنه كالخصاء، ثم إنه طاعة روحانية وعبادة إيمانية تصرف في الغالب صاحبها عن التفكير فيما يحرم، أو الاسترسال في النظر المحرم ودواعي الشهوة.. ولا شك أن الصوم سبيل من السبل وليس كلها، وهناك سبل أخرى كشغل النفس بعمل مفيد، وقضاء الوقت فيما هو نافع، أو تناول الأطعمة الطبيعية المثبطة للشهوة، وكذلك إن استدعى الأمر الأدوية، وأما إن كان الصوم يكفي فهو خير الأدوية، وهذا كله لمن لم يقدر على الزواج فإنه العلاج الناجع والدواء النافع وهو الأصل وما بعده معالجة لداء عدم وجوده. Yang tidak mampu menikah hendaklah berpuasa Pernikahan merupakan cara untuk menenangkan jiwa, hati, dan pikiran, menenangkan hati dan jiwa dari pikiran-pikiran yang menyibukkan agar dapat menyelami ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan paling sempurna. Adapun orang yang belum mampu menikah karena rendahnya penghasilan, sedikitnya harta, atau sebab-sebab lainnya, maka jalan baginya adalah berusaha melemahkan dan menurunkan syahwatnya dengan cara apa pun yang diperbolehkan, dan cara yang paling afdal adalah puasa, karena puasa dapat melemahkan gejolak syahwat dan pikiran tentangnya, seakan-akan itu seperti kebiri. Selain itu, puasa juga suatu ketaatan rohani dan ibadah imani yang biasanya dapat mengalihkan pelakunya dari memikirkan hal-hal yang diharamkan, dan mengumbar pandangan kepada hal yang diharamkan dan pemantik syahwat. Tidak diragukan bahwa puasa merupakan salah satu cara saja, bukan satu-satunya. Terdapat cara-cara lain seperti menyibukkan diri dalam hal-hal yang bermanfaat, menggunakan waktu untuk hal yang berfaedah, mengonsumsi makanan-makanan alami yang menurunkan syahwat, dan – jika dibutuhkan – mengonsumsi obat. Namun, jika puasa saja sudah cukup, maka itulah sebaik-baik obat. Puasa ini dianjurkan bagi orang yang belum mampu menikah, karena ini merupakan cara yang jitu dan obat yang manjur sekaligus cara utama. Adapun cara lainnya merupakan alternatif tambahan. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237274/أغض-للبصر-وأحصن-للفرج Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 58 times, 2 visit(s) today Post Views: 44 QRIS donasi Yufid

Menikah: Menjaga Pandangan dan Melindungi Kemaluan

أغض للبصر وأحصن للفرج روى الإمام البخاري ومسلم في صحيحيهما عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كُنَّا مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَبَابًا لا نَجِدُ شيئًا، فَقالَ لَنَا رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: (يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ). Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahih mereka dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dulu kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika kami masih muda dan belum punya apa pun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam kemudian bersabda kepada kami: يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ ‘Wahai para pemuda! Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah! Karena itu lebih menjaga pandangan dan melindungi kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena ia adalah tameng.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). هذه دعوة من النبي صلى الله عليه وسلم للشباب ـ ولمن كان محتاجا للزواج من غيرهم ـ أن يبادروا إليه متى ما وجدوا القدرة على ذلك، والقدرة هنا في الظاهر هي القدرة المادية، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يخاطب شبابا ولا شك أن رغبتهم فيه قوية، وكذلك يدل عليه قول ابن مسعود “شبابا لا نجد شيئا”، فكأنه يقول لهم: من وجد شيئا يقدر به على الزواج فليبادر إليه، لما فيه من المنافع الدنيوية والأخروية. Ini merupakan seruan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bagi para pemuda dan orang-orang yang butuh menikah agar segera melaksanakannya ketika telah memiliki kemampuan. Sedangkan maksud eksplisit dari kata ‘kemampuan’ di sini adalah kemampuan secara finansial, karena ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam berbicara dengan para pemuda yang – tidak diragukan – mereka punya keinginan yang kuat untuk menikah (punya kemampuan secara biologis). Ini juga ditunjukkan melalui ucapan Ibnu Mas’ud, “ketika kami masih muda dan belum punya apa pun”. Seakan-akan beliau bersabda kepada mereka, “Barang siapa yang memiliki harta yang dapat ia gunakan untuk menikah, maka hendaklah ia bersegera melakukannya, karena menikah mengandung banyak manfaat duniawi dan ukhrawi.” فالزواج آية من آيات الله الباهرة، ونعمة من نعمه الظاهرة، فيه بيان لقدرة الله تعالى في خلقه، وحكمته في شرعه، قال سبحانه: {وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ}[الروم:21]. Pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menakjubkan dan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang begitu jelas. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya dan kebijaksanaan-Nya dalam syariat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21). والزواج طاعة لأمر الله وأمر رسوله، وقربة:  فقد أمر الله به في قوله: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ}[النور:42]. وأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: (تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ)[صحيح سنن أبي داود، وراه النسائي أيضا]. وكذلك هنا في هذا الحديث: (مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ)، وقد حث كثيرا عليه صلوات الله وسلامه عليه. Pernikahan merupakan ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan amal ibadah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan menikah dalam firman-Nya: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga memerintahkan untuk menikah melalui sabda beliau: تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sungguh aku membanggakan jumlah kalian yang banyak di antara umat-umat lain.” (Shahih Sunan Abu Dawud dan juga diriwayatkan an-Nasa’i). Beliau juga memerintahkannya dalam hadis yang kita bahas ini: “Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah!” Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam banyak mendorong umatnya untuk menunaikan amalan ini. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan Shalat Malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan salat malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. الزواج باب رزق وأجر: أما كونه بابَ رزقٍ فقد قال تعالى: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}[النور:32]. وقال صلى الله عليه وسلم: (ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ)[رواه أحمد والترمذي والنسائي]. أي: الَّذي يُريدُ أن يتزوَّجَ ليُحصِّنَ نفْسَه مِن الزِّنا. وأما كونه باب أجر: فقد قال عليه الصلاة والسلام: (وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan pintu rezeki dan pahala Adapun pernikahan sebagai pintu rezeki, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32). Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menolong mereka: (1) orang yang berjihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, (2) budak yang ingin membayar harga kemerdekaannya, (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Yakni yang ingin menikah demi menjaga diri dari perzinaan. Sedangkan pernikahan sebagai pintu pahala, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ “Dan pada kemaluan kalian terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah salah satu dari kita menyalurkan syahwatnya (dengan istrinya) dan dia mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika dia menyalurkannya dalam hal yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Demikianlah jika dia menyalurkannya dalam hal yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim). والزواج سبيل لتحصيل الذرية: يسعد بها الإنسان في حياته، ويدعون له ويتصدقون عنه بعد وفاته، كما قال صلى الله عليه وسلم: (إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan jalan untuk memperoleh keturunan Dengan keturunan itu, seorang insan dapat berbahagia dalam hidupnya, mereka mendoakan kebaikan baginya dan bersedekah atas namanya setelah kematiannya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). أغض للبصر وأحصن للفرج ومن حكم الزواج التي نص عليها النبي في هذا الحديث أنه (أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ)، وغض الأبصار وحفظ الفروج مطلب ديني وأمر شرعي قال تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}[النور:30، 31].[المؤمنون:5-6]. Lebih menjaga pandangan dan lebih melindungi kemaluan Di antara hikmah pernikahan yang disebutkan secara langsung dalam hadis yang kita bahas ini adalah lebih membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan merupakan tuntutan agama dan perintah Syariat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30-31). Juga yang difirmankan dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6. إن الله تعالى أرسل المرسلين وجعل من مقاصد بعثتهم تصحيح عقائدهم، وتزكية نفوسهم، وتطهير مجتمعاتهم، وفي الزواج طهارة للمجتمع، وسلامة للبيوت، وحفظ للأعراض، وصيانة للأنساب؛ لأن هذه الشهوة شهوة جامحة، فإذا لم يجد الإنسان لها مصرفا حلالا يقضي فيه وطره ويصرف فيه شهوته وإلا بحث لها عن مصرف حرام. Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menetapkan salah satu tujuan pengutusan mereka adalah untuk meluruskan akidah, membersihkan jiwa, dan membetulkan masyarakat mereka. Sedangkan pernikahan merupakan pembersihan bagi masyarakat, keselamatan bagi rumah tangga, penjagaan terhadap kehormatan, dan perlindungan terhadap nasab, karena syahwat manusia sangat menggelora, apabila ia tidak mendapatkan objek yang halal untuk menyalurkan syahwatnya maka ia akan mencari objek penyaluran yang haram. ولهذا من أكبر مفاسد ترك الزواج وإغلاق أبوابه ووضع العراقيل أمام طالبيه، بغلاء المهور وكثرة الطلبات ومبالغ الحفلات وتكاليفه الكثيرة، فيعزف عنه الشباب وأن يسلكوا مسالك أخرى منكرة وهذا فيه فساد للشباب والشابات، وفتح أبواب المحرمات، وانتشار الفواحش والمنكرات. Oleh sebab itu, di antara kerusakan terbesar yang timbul adalah akibat pengabaian pernikahan, penghambatan jalan menuju pernikahan, penyulitan terhadap orang-orang yang ingin menjalankannya dengan memperbesar mahar, memperbanyak syarat, dan berlebihan dalam resepsi pernikahan, serta tuntutan-tuntutan lain, sehingga pemuda-pemudi berpaling darinya dan lebih memilih jalan-jalan lain yang mungkar. Tentu ini menimbulkan kerusakan pada generasi muda, membuka pintu-pintu yang diharamkan, dan tersebarnya perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. فالزواج باب إعفاف للفرج وصيانة للبصر وغض عن المحارم، وفي هذا إعانة على أداء العبادات والطاعات في حضور قلب وإقبال على الرب، لأن الشهوة إذا غلبت أنطلق البصر وصال وجال، فإذا قلبه صاحبه في وجوه الحسان أفسد القلب، وشتت الفكر، وهيج الشهوة، ودعا إلى الحرام. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر .. .. .. ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها .. .. فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها .. .. في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ .. .. . لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Pernikahan merupakan pintu untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Ini juga memberi kemudahan dalam menunaikan ibadah dan ketaatan dengan penuh kehadiran hati dan antusiasme menghadap Tuhan, karena jika syahwat telah menguasai, pandangan mata akan liar dan susah dikendalikan, lalu apabila pemilik mata itu hendak mengarahkannya untuk hal-hal yang baik, maka hatinya menjadi gusar, fokusnya terpecah, syahwatnya terus bergejolak, dan mengajak kepada hal yang haram. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ Setiap kecelakaan dimulai dari pandangan, Dan sebagian besar api berasal dari percikan. كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها  فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ Betapa banyak pandangan yang mencelakakan hati pemiliknya, Seperti anak panah yang menghujam tanpa busur dan tanpa tali. والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها  في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ Selama seseorang itu mengumbar matanya, Untuk melihat mata-mata jelita, maka ia berada dalam bahaya. يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Matanya bahagia tapi membahayakan hatinya, Sungguh tidak berguna kebahagiaan yang menimbulkan bahaya. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فالزواج سبيل إلى تهدئة النفس والقلب والخاطر وتفريغ القلب والنفس من الشواغل للإقبال على عبادة الله سبحانه وتعالى في أكمل حال. وأما من لم يقدر عليه لضعف ذات يد، أو قلة مال، أو أي سبب فإنما سبيله أن يحاول إضعاف شهوته وتقليلها، بأي سبيل مباح وأفضله الصوم لأنه يضعف الشهوة والفكر فيها فكأنه كالخصاء، ثم إنه طاعة روحانية وعبادة إيمانية تصرف في الغالب صاحبها عن التفكير فيما يحرم، أو الاسترسال في النظر المحرم ودواعي الشهوة.. ولا شك أن الصوم سبيل من السبل وليس كلها، وهناك سبل أخرى كشغل النفس بعمل مفيد، وقضاء الوقت فيما هو نافع، أو تناول الأطعمة الطبيعية المثبطة للشهوة، وكذلك إن استدعى الأمر الأدوية، وأما إن كان الصوم يكفي فهو خير الأدوية، وهذا كله لمن لم يقدر على الزواج فإنه العلاج الناجع والدواء النافع وهو الأصل وما بعده معالجة لداء عدم وجوده. Yang tidak mampu menikah hendaklah berpuasa Pernikahan merupakan cara untuk menenangkan jiwa, hati, dan pikiran, menenangkan hati dan jiwa dari pikiran-pikiran yang menyibukkan agar dapat menyelami ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan paling sempurna. Adapun orang yang belum mampu menikah karena rendahnya penghasilan, sedikitnya harta, atau sebab-sebab lainnya, maka jalan baginya adalah berusaha melemahkan dan menurunkan syahwatnya dengan cara apa pun yang diperbolehkan, dan cara yang paling afdal adalah puasa, karena puasa dapat melemahkan gejolak syahwat dan pikiran tentangnya, seakan-akan itu seperti kebiri. Selain itu, puasa juga suatu ketaatan rohani dan ibadah imani yang biasanya dapat mengalihkan pelakunya dari memikirkan hal-hal yang diharamkan, dan mengumbar pandangan kepada hal yang diharamkan dan pemantik syahwat. Tidak diragukan bahwa puasa merupakan salah satu cara saja, bukan satu-satunya. Terdapat cara-cara lain seperti menyibukkan diri dalam hal-hal yang bermanfaat, menggunakan waktu untuk hal yang berfaedah, mengonsumsi makanan-makanan alami yang menurunkan syahwat, dan – jika dibutuhkan – mengonsumsi obat. Namun, jika puasa saja sudah cukup, maka itulah sebaik-baik obat. Puasa ini dianjurkan bagi orang yang belum mampu menikah, karena ini merupakan cara yang jitu dan obat yang manjur sekaligus cara utama. Adapun cara lainnya merupakan alternatif tambahan. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237274/أغض-للبصر-وأحصن-للفرج Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 58 times, 2 visit(s) today Post Views: 44 QRIS donasi Yufid
أغض للبصر وأحصن للفرج روى الإمام البخاري ومسلم في صحيحيهما عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كُنَّا مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَبَابًا لا نَجِدُ شيئًا، فَقالَ لَنَا رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: (يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ). Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahih mereka dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dulu kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika kami masih muda dan belum punya apa pun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam kemudian bersabda kepada kami: يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ ‘Wahai para pemuda! Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah! Karena itu lebih menjaga pandangan dan melindungi kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena ia adalah tameng.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). هذه دعوة من النبي صلى الله عليه وسلم للشباب ـ ولمن كان محتاجا للزواج من غيرهم ـ أن يبادروا إليه متى ما وجدوا القدرة على ذلك، والقدرة هنا في الظاهر هي القدرة المادية، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يخاطب شبابا ولا شك أن رغبتهم فيه قوية، وكذلك يدل عليه قول ابن مسعود “شبابا لا نجد شيئا”، فكأنه يقول لهم: من وجد شيئا يقدر به على الزواج فليبادر إليه، لما فيه من المنافع الدنيوية والأخروية. Ini merupakan seruan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bagi para pemuda dan orang-orang yang butuh menikah agar segera melaksanakannya ketika telah memiliki kemampuan. Sedangkan maksud eksplisit dari kata ‘kemampuan’ di sini adalah kemampuan secara finansial, karena ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam berbicara dengan para pemuda yang – tidak diragukan – mereka punya keinginan yang kuat untuk menikah (punya kemampuan secara biologis). Ini juga ditunjukkan melalui ucapan Ibnu Mas’ud, “ketika kami masih muda dan belum punya apa pun”. Seakan-akan beliau bersabda kepada mereka, “Barang siapa yang memiliki harta yang dapat ia gunakan untuk menikah, maka hendaklah ia bersegera melakukannya, karena menikah mengandung banyak manfaat duniawi dan ukhrawi.” فالزواج آية من آيات الله الباهرة، ونعمة من نعمه الظاهرة، فيه بيان لقدرة الله تعالى في خلقه، وحكمته في شرعه، قال سبحانه: {وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ}[الروم:21]. Pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menakjubkan dan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang begitu jelas. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya dan kebijaksanaan-Nya dalam syariat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21). والزواج طاعة لأمر الله وأمر رسوله، وقربة:  فقد أمر الله به في قوله: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ}[النور:42]. وأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: (تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ)[صحيح سنن أبي داود، وراه النسائي أيضا]. وكذلك هنا في هذا الحديث: (مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ)، وقد حث كثيرا عليه صلوات الله وسلامه عليه. Pernikahan merupakan ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan amal ibadah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan menikah dalam firman-Nya: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga memerintahkan untuk menikah melalui sabda beliau: تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sungguh aku membanggakan jumlah kalian yang banyak di antara umat-umat lain.” (Shahih Sunan Abu Dawud dan juga diriwayatkan an-Nasa’i). Beliau juga memerintahkannya dalam hadis yang kita bahas ini: “Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah!” Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam banyak mendorong umatnya untuk menunaikan amalan ini. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan Shalat Malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan salat malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. الزواج باب رزق وأجر: أما كونه بابَ رزقٍ فقد قال تعالى: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}[النور:32]. وقال صلى الله عليه وسلم: (ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ)[رواه أحمد والترمذي والنسائي]. أي: الَّذي يُريدُ أن يتزوَّجَ ليُحصِّنَ نفْسَه مِن الزِّنا. وأما كونه باب أجر: فقد قال عليه الصلاة والسلام: (وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan pintu rezeki dan pahala Adapun pernikahan sebagai pintu rezeki, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32). Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menolong mereka: (1) orang yang berjihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, (2) budak yang ingin membayar harga kemerdekaannya, (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Yakni yang ingin menikah demi menjaga diri dari perzinaan. Sedangkan pernikahan sebagai pintu pahala, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ “Dan pada kemaluan kalian terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah salah satu dari kita menyalurkan syahwatnya (dengan istrinya) dan dia mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika dia menyalurkannya dalam hal yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Demikianlah jika dia menyalurkannya dalam hal yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim). والزواج سبيل لتحصيل الذرية: يسعد بها الإنسان في حياته، ويدعون له ويتصدقون عنه بعد وفاته، كما قال صلى الله عليه وسلم: (إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan jalan untuk memperoleh keturunan Dengan keturunan itu, seorang insan dapat berbahagia dalam hidupnya, mereka mendoakan kebaikan baginya dan bersedekah atas namanya setelah kematiannya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). أغض للبصر وأحصن للفرج ومن حكم الزواج التي نص عليها النبي في هذا الحديث أنه (أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ)، وغض الأبصار وحفظ الفروج مطلب ديني وأمر شرعي قال تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}[النور:30، 31].[المؤمنون:5-6]. Lebih menjaga pandangan dan lebih melindungi kemaluan Di antara hikmah pernikahan yang disebutkan secara langsung dalam hadis yang kita bahas ini adalah lebih membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan merupakan tuntutan agama dan perintah Syariat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30-31). Juga yang difirmankan dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6. إن الله تعالى أرسل المرسلين وجعل من مقاصد بعثتهم تصحيح عقائدهم، وتزكية نفوسهم، وتطهير مجتمعاتهم، وفي الزواج طهارة للمجتمع، وسلامة للبيوت، وحفظ للأعراض، وصيانة للأنساب؛ لأن هذه الشهوة شهوة جامحة، فإذا لم يجد الإنسان لها مصرفا حلالا يقضي فيه وطره ويصرف فيه شهوته وإلا بحث لها عن مصرف حرام. Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menetapkan salah satu tujuan pengutusan mereka adalah untuk meluruskan akidah, membersihkan jiwa, dan membetulkan masyarakat mereka. Sedangkan pernikahan merupakan pembersihan bagi masyarakat, keselamatan bagi rumah tangga, penjagaan terhadap kehormatan, dan perlindungan terhadap nasab, karena syahwat manusia sangat menggelora, apabila ia tidak mendapatkan objek yang halal untuk menyalurkan syahwatnya maka ia akan mencari objek penyaluran yang haram. ولهذا من أكبر مفاسد ترك الزواج وإغلاق أبوابه ووضع العراقيل أمام طالبيه، بغلاء المهور وكثرة الطلبات ومبالغ الحفلات وتكاليفه الكثيرة، فيعزف عنه الشباب وأن يسلكوا مسالك أخرى منكرة وهذا فيه فساد للشباب والشابات، وفتح أبواب المحرمات، وانتشار الفواحش والمنكرات. Oleh sebab itu, di antara kerusakan terbesar yang timbul adalah akibat pengabaian pernikahan, penghambatan jalan menuju pernikahan, penyulitan terhadap orang-orang yang ingin menjalankannya dengan memperbesar mahar, memperbanyak syarat, dan berlebihan dalam resepsi pernikahan, serta tuntutan-tuntutan lain, sehingga pemuda-pemudi berpaling darinya dan lebih memilih jalan-jalan lain yang mungkar. Tentu ini menimbulkan kerusakan pada generasi muda, membuka pintu-pintu yang diharamkan, dan tersebarnya perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. فالزواج باب إعفاف للفرج وصيانة للبصر وغض عن المحارم، وفي هذا إعانة على أداء العبادات والطاعات في حضور قلب وإقبال على الرب، لأن الشهوة إذا غلبت أنطلق البصر وصال وجال، فإذا قلبه صاحبه في وجوه الحسان أفسد القلب، وشتت الفكر، وهيج الشهوة، ودعا إلى الحرام. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر .. .. .. ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها .. .. فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها .. .. في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ .. .. . لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Pernikahan merupakan pintu untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Ini juga memberi kemudahan dalam menunaikan ibadah dan ketaatan dengan penuh kehadiran hati dan antusiasme menghadap Tuhan, karena jika syahwat telah menguasai, pandangan mata akan liar dan susah dikendalikan, lalu apabila pemilik mata itu hendak mengarahkannya untuk hal-hal yang baik, maka hatinya menjadi gusar, fokusnya terpecah, syahwatnya terus bergejolak, dan mengajak kepada hal yang haram. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ Setiap kecelakaan dimulai dari pandangan, Dan sebagian besar api berasal dari percikan. كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها  فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ Betapa banyak pandangan yang mencelakakan hati pemiliknya, Seperti anak panah yang menghujam tanpa busur dan tanpa tali. والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها  في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ Selama seseorang itu mengumbar matanya, Untuk melihat mata-mata jelita, maka ia berada dalam bahaya. يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Matanya bahagia tapi membahayakan hatinya, Sungguh tidak berguna kebahagiaan yang menimbulkan bahaya. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فالزواج سبيل إلى تهدئة النفس والقلب والخاطر وتفريغ القلب والنفس من الشواغل للإقبال على عبادة الله سبحانه وتعالى في أكمل حال. وأما من لم يقدر عليه لضعف ذات يد، أو قلة مال، أو أي سبب فإنما سبيله أن يحاول إضعاف شهوته وتقليلها، بأي سبيل مباح وأفضله الصوم لأنه يضعف الشهوة والفكر فيها فكأنه كالخصاء، ثم إنه طاعة روحانية وعبادة إيمانية تصرف في الغالب صاحبها عن التفكير فيما يحرم، أو الاسترسال في النظر المحرم ودواعي الشهوة.. ولا شك أن الصوم سبيل من السبل وليس كلها، وهناك سبل أخرى كشغل النفس بعمل مفيد، وقضاء الوقت فيما هو نافع، أو تناول الأطعمة الطبيعية المثبطة للشهوة، وكذلك إن استدعى الأمر الأدوية، وأما إن كان الصوم يكفي فهو خير الأدوية، وهذا كله لمن لم يقدر على الزواج فإنه العلاج الناجع والدواء النافع وهو الأصل وما بعده معالجة لداء عدم وجوده. Yang tidak mampu menikah hendaklah berpuasa Pernikahan merupakan cara untuk menenangkan jiwa, hati, dan pikiran, menenangkan hati dan jiwa dari pikiran-pikiran yang menyibukkan agar dapat menyelami ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan paling sempurna. Adapun orang yang belum mampu menikah karena rendahnya penghasilan, sedikitnya harta, atau sebab-sebab lainnya, maka jalan baginya adalah berusaha melemahkan dan menurunkan syahwatnya dengan cara apa pun yang diperbolehkan, dan cara yang paling afdal adalah puasa, karena puasa dapat melemahkan gejolak syahwat dan pikiran tentangnya, seakan-akan itu seperti kebiri. Selain itu, puasa juga suatu ketaatan rohani dan ibadah imani yang biasanya dapat mengalihkan pelakunya dari memikirkan hal-hal yang diharamkan, dan mengumbar pandangan kepada hal yang diharamkan dan pemantik syahwat. Tidak diragukan bahwa puasa merupakan salah satu cara saja, bukan satu-satunya. Terdapat cara-cara lain seperti menyibukkan diri dalam hal-hal yang bermanfaat, menggunakan waktu untuk hal yang berfaedah, mengonsumsi makanan-makanan alami yang menurunkan syahwat, dan – jika dibutuhkan – mengonsumsi obat. Namun, jika puasa saja sudah cukup, maka itulah sebaik-baik obat. Puasa ini dianjurkan bagi orang yang belum mampu menikah, karena ini merupakan cara yang jitu dan obat yang manjur sekaligus cara utama. Adapun cara lainnya merupakan alternatif tambahan. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237274/أغض-للبصر-وأحصن-للفرج Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 58 times, 2 visit(s) today Post Views: 44 QRIS donasi Yufid


أغض للبصر وأحصن للفرج روى الإمام البخاري ومسلم في صحيحيهما عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كُنَّا مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَبَابًا لا نَجِدُ شيئًا، فَقالَ لَنَا رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: (يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ). Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahih mereka dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dulu kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika kami masih muda dan belum punya apa pun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam kemudian bersabda kepada kami: يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ ‘Wahai para pemuda! Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah! Karena itu lebih menjaga pandangan dan melindungi kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena ia adalah tameng.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). هذه دعوة من النبي صلى الله عليه وسلم للشباب ـ ولمن كان محتاجا للزواج من غيرهم ـ أن يبادروا إليه متى ما وجدوا القدرة على ذلك، والقدرة هنا في الظاهر هي القدرة المادية، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يخاطب شبابا ولا شك أن رغبتهم فيه قوية، وكذلك يدل عليه قول ابن مسعود “شبابا لا نجد شيئا”، فكأنه يقول لهم: من وجد شيئا يقدر به على الزواج فليبادر إليه، لما فيه من المنافع الدنيوية والأخروية. Ini merupakan seruan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bagi para pemuda dan orang-orang yang butuh menikah agar segera melaksanakannya ketika telah memiliki kemampuan. Sedangkan maksud eksplisit dari kata ‘kemampuan’ di sini adalah kemampuan secara finansial, karena ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam berbicara dengan para pemuda yang – tidak diragukan – mereka punya keinginan yang kuat untuk menikah (punya kemampuan secara biologis). Ini juga ditunjukkan melalui ucapan Ibnu Mas’ud, “ketika kami masih muda dan belum punya apa pun”. Seakan-akan beliau bersabda kepada mereka, “Barang siapa yang memiliki harta yang dapat ia gunakan untuk menikah, maka hendaklah ia bersegera melakukannya, karena menikah mengandung banyak manfaat duniawi dan ukhrawi.” فالزواج آية من آيات الله الباهرة، ونعمة من نعمه الظاهرة، فيه بيان لقدرة الله تعالى في خلقه، وحكمته في شرعه، قال سبحانه: {وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ}[الروم:21]. Pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menakjubkan dan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang begitu jelas. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya dan kebijaksanaan-Nya dalam syariat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21). والزواج طاعة لأمر الله وأمر رسوله، وقربة:  فقد أمر الله به في قوله: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ}[النور:42]. وأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: (تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ)[صحيح سنن أبي داود، وراه النسائي أيضا]. وكذلك هنا في هذا الحديث: (مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ)، وقد حث كثيرا عليه صلوات الله وسلامه عليه. Pernikahan merupakan ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan amal ibadah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan menikah dalam firman-Nya: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga memerintahkan untuk menikah melalui sabda beliau: تزوَّجوا الوَدودَ الولودَ فإنِّي مُكاثرٌ بِكُمُ الأُممَ “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sungguh aku membanggakan jumlah kalian yang banyak di antara umat-umat lain.” (Shahih Sunan Abu Dawud dan juga diriwayatkan an-Nasa’i). Beliau juga memerintahkannya dalam hadis yang kita bahas ini: “Barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah!” Beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam banyak mendorong umatnya untuk menunaikan amalan ini. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan Shalat Malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. والزواج سنة المرسلين والنبيين: فقد حكى القرآن عنهم أنهم كان لهم أزواج وكان لهم أولاد وأحفاد: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً}[الرعد:38]. وقد أمرنا الله بالاقتداء بهم والاهتداء بهديهم فقال: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}[الأنعام:90]. Pernikahan merupakan sunnah para Nabi dan Rasul Al-Qur’an telah mengisahkan tentang para Rasul bahwa mereka memiliki istri dan anak keturunan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَٰجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38). Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan kita untuk mencontoh dan meniti ajaran para Rasul dengan berfirman: أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90). وهو هدي إمام المتقين وسيد ولد آدم أجمعين: فقد تزوج عليه الصلاة والسلام وكانت له ذرية، وقد رد التبتل على عثمان بن مظعون وعلي بن أبي طالب ومن أراده معهم من شباب الصحابة، ولما أراد بعض الصحابة أن يدع الزواج لأجل أن يتفرغ للعبادة نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم وقال: (أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي)[متفق عليه وهذا لفظ البخاري]. Pernikahan merupakan tuntunan sang penghulu umat manusia, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dulu Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menikah dan memiliki keturunan. Beliau juga mengingkari kehidupan membujang yang dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un dan Ali bin Abi Thalib serta para pemuda lainnya dari kalangan sahabat. Ketika ada seorang sahabat yang enggan menikah demi memfokuskan diri untuk beribadah, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang mereka dengan bersabda: أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, tapi aku tetap berpuasa dan tidak, aku mendirikan salat malam dan tidur, dan aku tetap menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dariku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini dari redaksi riwayat Al-Bukhari). والزواج فطرة وخلقه: فالله سبحانه خلق الرجال وركَّب فيهم ميلا للنساء، وكذلك خلق النساء وركب فيهن ميلا للرجال؛ حكمةً منه بالغة لعمارة الكون وليخلف الإنسان الأرض، وهذه الخلافة لا تكون إلا بوجود ذرية يخلف بعضهم بعضا.. ولا تكون الذرية إلا من اجتماع الذكر بالأنثى.. وليس هناك سبيل مباح حلال مشروع لهذا اللقاء في زماننا إلا بالزواج الشرعي وتكوين الأسر الطاهرة، أما الزواج اللوطي بين رجل ورجل، أو الزواج السحاقي بين امرأتين فهذا زواج ملعون من قبل السماء وفي جميع الأديان، وهو مخالف للفطر السليمة والأخلاق القويمة المستقيمة، مع ما فيه من مخالفة كاملة لمقاصد الزواج التي جعلها الله فيه.. Pernikahan merupakan fitrah dan kodrat penciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum laki-laki dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum wanita. Demikian juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kaum wanita dan menanamkan dalam diri mereka ketertarikan kepada kaum laki-laki, sebagai kebijaksanaan-Nya yang mendalam untuk memakmurkan alam semesta dan agar manusia menjadi khalifah di muka bumi. Suksesi di muka bumi ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya keturunan yang saling menggantikan generasi demi generasi, dan keturunan itu tidak akan hadir melainkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jalan yang dibolehkan, dihalalkan, dan disyaratkan untuk pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini pada zaman ini kecuali dengan pernikahan yang sesuai syariat dan pembentukan keluarga yang terhormat.  Adapun pernikahan sesama jenis antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, merupakan pernikahan yang dilaknat Tuhan dan terlarang di seluruh agama. Pernikahan seperti ini menyelisihi fitrah yang lurus dan nilai-nilai yang baik dan benar. Selain itu juga menyelisihi sepenuhnya tujuan-tujuan pernikahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan. الزواج باب رزق وأجر: أما كونه بابَ رزقٍ فقد قال تعالى: {وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}[النور:32]. وقال صلى الله عليه وسلم: (ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ)[رواه أحمد والترمذي والنسائي]. أي: الَّذي يُريدُ أن يتزوَّجَ ليُحصِّنَ نفْسَه مِن الزِّنا. وأما كونه باب أجر: فقد قال عليه الصلاة والسلام: (وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan pintu rezeki dan pahala Adapun pernikahan sebagai pintu rezeki, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32). Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: ثلاثةٌ حقٌّ على اللَّهِ عونُهُم: المُجاهدُ في سبيلِ اللَّهِ، والمُكاتِبُ الَّذي يريدُ الأداءَ، والنَّاكحُ الَّذي يريدُ العفافَ “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menolong mereka: (1) orang yang berjihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, (2) budak yang ingin membayar harga kemerdekaannya, (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan an-Nasa’i). Yakni yang ingin menikah demi menjaga diri dari perzinaan. Sedangkan pernikahan sebagai pintu pahala, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: وفي بُضْعِ أَحَدِكُم صدقةٌ. قالوا: يارسولَ اللهِ أَيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ وَيكونُ له فيها أجْرٌ؟ قال: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الحرامِ ألَيْسَ كان يكونُ عليْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَها فِي الْحَلَالِ يكونُ لَهُ أجرٌ “Dan pada kemaluan kalian terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah salah satu dari kita menyalurkan syahwatnya (dengan istrinya) dan dia mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika dia menyalurkannya dalam hal yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Demikianlah jika dia menyalurkannya dalam hal yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim). والزواج سبيل لتحصيل الذرية: يسعد بها الإنسان في حياته، ويدعون له ويتصدقون عنه بعد وفاته، كما قال صلى الله عليه وسلم: (إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له)[رواه مسلم]. Pernikahan merupakan jalan untuk memperoleh keturunan Dengan keturunan itu, seorang insan dapat berbahagia dalam hidupnya, mereka mendoakan kebaikan baginya dan bersedekah atas namanya setelah kematiannya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). أغض للبصر وأحصن للفرج ومن حكم الزواج التي نص عليها النبي في هذا الحديث أنه (أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ)، وغض الأبصار وحفظ الفروج مطلب ديني وأمر شرعي قال تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}[النور:30، 31].[المؤمنون:5-6]. Lebih menjaga pandangan dan lebih melindungi kemaluan Di antara hikmah pernikahan yang disebutkan secara langsung dalam hadis yang kita bahas ini adalah lebih membantu seseorang untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan merupakan tuntutan agama dan perintah Syariat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30-31). Juga yang difirmankan dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6. إن الله تعالى أرسل المرسلين وجعل من مقاصد بعثتهم تصحيح عقائدهم، وتزكية نفوسهم، وتطهير مجتمعاتهم، وفي الزواج طهارة للمجتمع، وسلامة للبيوت، وحفظ للأعراض، وصيانة للأنساب؛ لأن هذه الشهوة شهوة جامحة، فإذا لم يجد الإنسان لها مصرفا حلالا يقضي فيه وطره ويصرف فيه شهوته وإلا بحث لها عن مصرف حرام. Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menetapkan salah satu tujuan pengutusan mereka adalah untuk meluruskan akidah, membersihkan jiwa, dan membetulkan masyarakat mereka. Sedangkan pernikahan merupakan pembersihan bagi masyarakat, keselamatan bagi rumah tangga, penjagaan terhadap kehormatan, dan perlindungan terhadap nasab, karena syahwat manusia sangat menggelora, apabila ia tidak mendapatkan objek yang halal untuk menyalurkan syahwatnya maka ia akan mencari objek penyaluran yang haram. ولهذا من أكبر مفاسد ترك الزواج وإغلاق أبوابه ووضع العراقيل أمام طالبيه، بغلاء المهور وكثرة الطلبات ومبالغ الحفلات وتكاليفه الكثيرة، فيعزف عنه الشباب وأن يسلكوا مسالك أخرى منكرة وهذا فيه فساد للشباب والشابات، وفتح أبواب المحرمات، وانتشار الفواحش والمنكرات. Oleh sebab itu, di antara kerusakan terbesar yang timbul adalah akibat pengabaian pernikahan, penghambatan jalan menuju pernikahan, penyulitan terhadap orang-orang yang ingin menjalankannya dengan memperbesar mahar, memperbanyak syarat, dan berlebihan dalam resepsi pernikahan, serta tuntutan-tuntutan lain, sehingga pemuda-pemudi berpaling darinya dan lebih memilih jalan-jalan lain yang mungkar. Tentu ini menimbulkan kerusakan pada generasi muda, membuka pintu-pintu yang diharamkan, dan tersebarnya perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. فالزواج باب إعفاف للفرج وصيانة للبصر وغض عن المحارم، وفي هذا إعانة على أداء العبادات والطاعات في حضور قلب وإقبال على الرب، لأن الشهوة إذا غلبت أنطلق البصر وصال وجال، فإذا قلبه صاحبه في وجوه الحسان أفسد القلب، وشتت الفكر، وهيج الشهوة، ودعا إلى الحرام. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر .. .. .. ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها .. .. فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها .. .. في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ .. .. . لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Pernikahan merupakan pintu untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Ini juga memberi kemudahan dalam menunaikan ibadah dan ketaatan dengan penuh kehadiran hati dan antusiasme menghadap Tuhan, karena jika syahwat telah menguasai, pandangan mata akan liar dan susah dikendalikan, lalu apabila pemilik mata itu hendak mengarahkannya untuk hal-hal yang baik, maka hatinya menjadi gusar, fokusnya terpecah, syahwatnya terus bergejolak, dan mengajak kepada hal yang haram. كلُّ الحوادثِ مبدأُها من النظر ومُعظَمُ النارِ مِنْ مُستَصْغرِ الشَرِرِ Setiap kecelakaan dimulai dari pandangan, Dan sebagian besar api berasal dari percikan. كْم نظرةٍ فعلتْ في قلب صاحبها  فِعْــلَ السهــامِ بلا قـوسٍ ولا وتـرِ Betapa banyak pandangan yang mencelakakan hati pemiliknya, Seperti anak panah yang menghujam tanpa busur dan tanpa tali. والمــرءُ مـا دامَ ذا عينٍ يُقَـــلِبُها  في أَعينِ الغِيرِ موقوفٌ على خَطرِ Selama seseorang itu mengumbar matanya, Untuk melihat mata-mata jelita, maka ia berada dalam bahaya. يَســــرُّ مُقلَــتَهُ ما ضــرَّ مُهجَـتَهُ لا مرحباً بســرورِ عــادَ بالضـررِ Matanya bahagia tapi membahayakan hatinya, Sungguh tidak berguna kebahagiaan yang menimbulkan bahaya. ومن لم يستطع فعليه بالصوم فالزواج سبيل إلى تهدئة النفس والقلب والخاطر وتفريغ القلب والنفس من الشواغل للإقبال على عبادة الله سبحانه وتعالى في أكمل حال. وأما من لم يقدر عليه لضعف ذات يد، أو قلة مال، أو أي سبب فإنما سبيله أن يحاول إضعاف شهوته وتقليلها، بأي سبيل مباح وأفضله الصوم لأنه يضعف الشهوة والفكر فيها فكأنه كالخصاء، ثم إنه طاعة روحانية وعبادة إيمانية تصرف في الغالب صاحبها عن التفكير فيما يحرم، أو الاسترسال في النظر المحرم ودواعي الشهوة.. ولا شك أن الصوم سبيل من السبل وليس كلها، وهناك سبل أخرى كشغل النفس بعمل مفيد، وقضاء الوقت فيما هو نافع، أو تناول الأطعمة الطبيعية المثبطة للشهوة، وكذلك إن استدعى الأمر الأدوية، وأما إن كان الصوم يكفي فهو خير الأدوية، وهذا كله لمن لم يقدر على الزواج فإنه العلاج الناجع والدواء النافع وهو الأصل وما بعده معالجة لداء عدم وجوده. Yang tidak mampu menikah hendaklah berpuasa Pernikahan merupakan cara untuk menenangkan jiwa, hati, dan pikiran, menenangkan hati dan jiwa dari pikiran-pikiran yang menyibukkan agar dapat menyelami ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan paling sempurna. Adapun orang yang belum mampu menikah karena rendahnya penghasilan, sedikitnya harta, atau sebab-sebab lainnya, maka jalan baginya adalah berusaha melemahkan dan menurunkan syahwatnya dengan cara apa pun yang diperbolehkan, dan cara yang paling afdal adalah puasa, karena puasa dapat melemahkan gejolak syahwat dan pikiran tentangnya, seakan-akan itu seperti kebiri. Selain itu, puasa juga suatu ketaatan rohani dan ibadah imani yang biasanya dapat mengalihkan pelakunya dari memikirkan hal-hal yang diharamkan, dan mengumbar pandangan kepada hal yang diharamkan dan pemantik syahwat. Tidak diragukan bahwa puasa merupakan salah satu cara saja, bukan satu-satunya. Terdapat cara-cara lain seperti menyibukkan diri dalam hal-hal yang bermanfaat, menggunakan waktu untuk hal yang berfaedah, mengonsumsi makanan-makanan alami yang menurunkan syahwat, dan – jika dibutuhkan – mengonsumsi obat. Namun, jika puasa saja sudah cukup, maka itulah sebaik-baik obat. Puasa ini dianjurkan bagi orang yang belum mampu menikah, karena ini merupakan cara yang jitu dan obat yang manjur sekaligus cara utama. Adapun cara lainnya merupakan alternatif tambahan. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237274/أغض-للبصر-وأحصن-للفرج Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 58 times, 2 visit(s) today Post Views: 44 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 10): Menyebutkan Keutamaan Diri Bukan Dalam Rangka Sombong

Daftar Isi ToggleTiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriYang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranTidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibTidak berlebihan sesuai kadarnyaTujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAgar diterima dakwahnyaAgar diterima nasihatnyaBukan untuk meninggikan di atas levelPada bagian sebelumnya, telah dibahas sebuah asas yang menjadi penyeimbang dari implementasi asas lainnya: menyebutkan keutamaan diri. Sangat penting bagi penulis untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan tujuan dan batasan dari pengaplikasian asas ini. Tujuan utama dari asas ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri dan menyucikan diri. Namun, tujuan utamanya adalah meraih maslahat dan mencegah mafsadat dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan.Tiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriMenyebutkan keutamaan diri yang bermaksud sombong dengan yang bertujuan benar dapat dibedakan dari beberapa aspek. Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi tinjauan dan juga batasan dalam praktiknya.Yang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranDalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan atsar para sahabat, dapat kita lihat bahwasanya pernyataan menyebutkan keutamaan diri pribadi dilakukan berdasarkan realita yang ada. Semuanya tidak mengajarkan kepada kebohongan. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanglah seorang ahli Al-Qur’an yang diakui Nabi ﷺ. Atau semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memang diakui sifat amanah serta keilmuannya.Juga sebagaimana yang kita dapatkan dari Sahl bin Sa’ad, beliau memanglah sosok yang paling mengetahui beberapa perkara kenabian. Dalam konteks ini, karena Sahl termasuk sahabat yang paling terakhir wafatnya. Sehingga Sahl menjadi sahabat senior di kalangan tabi’in awal ataupun sahabat yang cenderung lebih muda. (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibPernyataan tentang keutamaan diri ini hanya sebatas pada yang zahir saja atau yang memiliki takaran. Adapun perkara yang tidak terukur, perkara gaib, amalan hati, atau keimanan yang tidak memiliki testimoni, maka hal ini tidak bisa disebutkan dalam menyebutkan keutamaan diri sendiri yang disyariatkan.Allah ﷻ berfirman,هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى“Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan maksud melarang, “Yakni memuji diri sendiri dan merasa besar diri serta membanggakan amal sendiri.”Ayat ini senada dengan ayat lainnya,أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang di­kehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 49)Dan memang realitanya, pengakuan berkaitan keadaan batin itu tiada berguna jika ditinjau dengan beberapa aspek:1) Tidak ada yang bisa menjadi saksi urusan hati kecuali Allah ﷻ.2) Hati pun mudah sekali terbolak-balik, sehingga ia tidak akan tetap dalam waktu lama.3) Perkara hati tidak bisa dikontrol, ia mutlak kuasa Allah ﷻ.4) Orang munafik pun mengaku beriman dan mengucapkan syahadat, tetapi tetap berada di kerak neraka karena hakikat batinnya tidaklah demikian.Atas dasar itulah, pembelaan diri dan menyebutkan keutamaan pribadi hanya berkaitan pada sesuatu yang dapat disaksikan oleh banyak orang.Tidak berlebihan sesuai kadarnyaKetika sekelompok Arab Badui mengklaim bahwa diri mereka telah beriman, maka Allah ﷻ menjawabnya,قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)Orang Badui ini sudah mengatakan bahwa diri mereka beriman, padahal level mereka masih muslim saja. Artinya, iman itu belum meresap di hatinya, atau imannya belum di level sempurna. Oleh karena itu, Allah ﷻ ingatkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak mengatakan demikian.Maka, janganlah kita gunakan dua pakaian kebohongan, yakni mengesankan pada diri memiliki suatu keutamaan, padahal tidak ada. Cukuplah dalam menyatakan keutamaan diri dalam batas yang benar atau fakta saja. Janganlah melebihkan diri sendiri karena ini termasuk kebohongan yang rendahan sekali yang dapat menjadi golongan al-mutasyabbi’.Tujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAsas ini dibutuhkan dalam menyeimbangkan, tetapi tidak selalu menjadi pilihan utama. Artinya, ada level atau gradasi dalam mempraktikkannya. Dasarnya adalah yang penting tercapai maslahat. Maslahat yang menjadi tujuan dalam praktik tersebut adalah:Agar diterima dakwahnyaTerkadang dalam berdakwah, kita akan menghadapi suatu komunitas yang memiliki resistensi terhadap kelompok tertentu. Atau komunitas tersebut memandang rendah kelompok yang tidak memiliki prasyarat tertentu. Di momen ini, kita perlu untuk menyebutkan keutamaan diri yang relevan. Contohnya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi Khawarij, dalam kisah yang terkenal itu terdapat sebuah cuplikan,قَالُوا: فَمَا جَاءَ بِكَ؟ قُلْتُ: أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لِأُبَلِّغُكُمْ مَا يَقُولُونَ الْمُخْبَرُونَ بِمَا يَقُولُونَ فَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ، وَهُمْ أَعْلَمُ بِالْوَحْيِ مِنْكُمْ، وَفِيهِمْ أُنْزِلَ: وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا تُخَاصِمُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}Mereka berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Aku berkata, “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Al-Qur’an turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Al-Qur’an diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. (HR. Hakim no. 2656)Dalam potongan kisah tersebut, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan posisi dirinya di hadapan Khawarij, di antaranya:1) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sahabat Nabi ﷺ.2) Ucapan dari kalangan para sahabat itu didasari ilmu.3) Ilmu yang menjadi pondasi para sahabat adalah Al-Qur’an yang langsung turun kepada mereka.4) Para sahabat jelas lebih berilmu tentang wahyu Al-Qur’an dibandingkan Khawarij.5) Pembahasan Al-Qur’an adalah benar-benar berkaitan keseharian para sahabat.Sangat terang dari satu hadis ini bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan keutamaan dirinya di hadapan mad’unya dalam rangka melunakkan hati mereka, mengentaskan syubhat mereka, dan mengokohkan posisinya. Hal ini menjadi landasan yang sangat kuat pula bahwasanya bolehnya perbuatan ini dilakukan dan bahkan termasuk strategi dakwah.Agar diterima nasihatnyaNasihat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seruan kebaikan dalam ruang lingkup yang lebih terbatas atau personal. Menyebutkan keutamaan diri diperlukan agar orang yang ditargetkan menerima nasihat dapat lega menerimanya. Karena nasihat itu seringkali bersifat dari atas ke bawah. Sehingga menunjukkan posisi diri akan membuat aliran nasihat itu menjadi normal dan lebih meringankan untuk diterima.Ingatlah bahwa perkara saling menasihati ini tidak hanya sekadar perkara perintah. Namun, ia melibatkan perasaan orang bahkan ego pihak lain. Syekh Al-Albani rahimahullah pernah mengatakan,الحق ثقيل.. فلا تثقلوه أكثر بسوء أخلاقكم“Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat dengan buruknya akhlak kalian.” (Silsilah Huda wan Nur no. 900)Termasuk yang memberatkan adalah menerima nasihat dari orang yang tidak kita ketahui keutamaannya. Bayangkan kalau Anda dinasihati seorang anak TK berkaitan adab makan dan minum, misalnya. Rasanya malu sekali. Namun, jika itu disampaikan oleh seorang ahli ilmu yang kita hormati, tentu lebih mudah kita menerimanya.Bukan untuk meninggikan di atas levelSebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 14, menyebutkan keutamaan diri itu bukan dalam rangka untuk meninggikan diri. Apalagi meninggikan sampai di atas level sebenarnya. Terlebih lagi mengesankan diri sebagai orang yang memiliki keutamaan A, B, C, dan D, padahal realitanya tidak demikian.Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,أنَّ امْرَأَةً قالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَقُولُ إنَّ زَوْجِي أَعْطَانِي ما لَمْ يُعْطِنِي فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Ada seorang wanita, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah mengatakan kepada orang lain bahwa suami saya memberikan sesuatu kepada saya, padahal itu tidak pernah diberikan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.’” (HR. Muslim no. 2129)Sebagian ulama mengatakan, maksud dari “dua pakaian kedustaan” adalah untuk menekankan bahwa dosa dusta dengan model di atas, lebih besar dosanya dari dosa biasa. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah juga menjelaskan,قال: [(المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور)] يعني: أن كلامه وفعله زور، فهو كالمتصف بوصفين ذميمين، وهو أنه لابس ثوبي زور وليس ثوباً واحداً، وهذه زيادة في الإثم، وزيادة في الضرر“Sabda Nabi [memakai dua baju kedustaan], maksudnya perkataan dan perbuatannya dusta. Ia seolah-olah disifati dengan dua sifat yang tercela. Dan seolah-olah ia memakai dua baju kedustaan, tidak hanya satu baju. Ini menunjukkan adanya tambahan dosa dan tambahan bahaya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 13: 255)Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di artikel berikut: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju KedustaanJika maslahat tercapai, maka praktiknya tidak diperlukan melebihi dari itu. Maka, tuntaslah bahwa asas ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyombongkan diri, angkuh, juga berbuat pongah di hadapan kaum muslimin.Adapun realitanya telah kita sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa para salaf dari kalangan Nabi hingga para sahabat dan ulama setelahnya pun melakukannya. Sangat banyak atsar yang dapat kita nukilkan untuk menunjukkan bahwasanya hal ini adalah bagian dari strategi dakwah dan juga meredakan perselisihan. Telah kita sebutkan pula praktiknya dalam berbagai kondisi dan analisis sederhana sehingga dapat diambil hikmah darinya dengan lebih mudah.Ketahuilah para pembaca! Bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengharapkan kebaikan akan terasa bagi hati yang bersih. Maka, kita tidak perlu berdalam-dalam mendiskusikan teknik menilai atau alamat dari ketulusan hati ketika menyampaikan keutamaan diri. Tidak perlu kita sibuk menerka keadaan hati seorang manusia ketika mengucapkannya. Cukuplah kita mengetahui bahwa ini adalah bagian dari asas dakwah dan menghadapi perselisihan. Adapun yang perlu kita awasi dengan sangat rinci adalah keadaan hati kita saat mempraktikkan asas dakwah ini.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 10): Menyebutkan Keutamaan Diri Bukan Dalam Rangka Sombong

Daftar Isi ToggleTiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriYang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranTidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibTidak berlebihan sesuai kadarnyaTujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAgar diterima dakwahnyaAgar diterima nasihatnyaBukan untuk meninggikan di atas levelPada bagian sebelumnya, telah dibahas sebuah asas yang menjadi penyeimbang dari implementasi asas lainnya: menyebutkan keutamaan diri. Sangat penting bagi penulis untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan tujuan dan batasan dari pengaplikasian asas ini. Tujuan utama dari asas ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri dan menyucikan diri. Namun, tujuan utamanya adalah meraih maslahat dan mencegah mafsadat dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan.Tiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriMenyebutkan keutamaan diri yang bermaksud sombong dengan yang bertujuan benar dapat dibedakan dari beberapa aspek. Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi tinjauan dan juga batasan dalam praktiknya.Yang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranDalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan atsar para sahabat, dapat kita lihat bahwasanya pernyataan menyebutkan keutamaan diri pribadi dilakukan berdasarkan realita yang ada. Semuanya tidak mengajarkan kepada kebohongan. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanglah seorang ahli Al-Qur’an yang diakui Nabi ﷺ. Atau semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memang diakui sifat amanah serta keilmuannya.Juga sebagaimana yang kita dapatkan dari Sahl bin Sa’ad, beliau memanglah sosok yang paling mengetahui beberapa perkara kenabian. Dalam konteks ini, karena Sahl termasuk sahabat yang paling terakhir wafatnya. Sehingga Sahl menjadi sahabat senior di kalangan tabi’in awal ataupun sahabat yang cenderung lebih muda. (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibPernyataan tentang keutamaan diri ini hanya sebatas pada yang zahir saja atau yang memiliki takaran. Adapun perkara yang tidak terukur, perkara gaib, amalan hati, atau keimanan yang tidak memiliki testimoni, maka hal ini tidak bisa disebutkan dalam menyebutkan keutamaan diri sendiri yang disyariatkan.Allah ﷻ berfirman,هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى“Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan maksud melarang, “Yakni memuji diri sendiri dan merasa besar diri serta membanggakan amal sendiri.”Ayat ini senada dengan ayat lainnya,أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang di­kehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 49)Dan memang realitanya, pengakuan berkaitan keadaan batin itu tiada berguna jika ditinjau dengan beberapa aspek:1) Tidak ada yang bisa menjadi saksi urusan hati kecuali Allah ﷻ.2) Hati pun mudah sekali terbolak-balik, sehingga ia tidak akan tetap dalam waktu lama.3) Perkara hati tidak bisa dikontrol, ia mutlak kuasa Allah ﷻ.4) Orang munafik pun mengaku beriman dan mengucapkan syahadat, tetapi tetap berada di kerak neraka karena hakikat batinnya tidaklah demikian.Atas dasar itulah, pembelaan diri dan menyebutkan keutamaan pribadi hanya berkaitan pada sesuatu yang dapat disaksikan oleh banyak orang.Tidak berlebihan sesuai kadarnyaKetika sekelompok Arab Badui mengklaim bahwa diri mereka telah beriman, maka Allah ﷻ menjawabnya,قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)Orang Badui ini sudah mengatakan bahwa diri mereka beriman, padahal level mereka masih muslim saja. Artinya, iman itu belum meresap di hatinya, atau imannya belum di level sempurna. Oleh karena itu, Allah ﷻ ingatkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak mengatakan demikian.Maka, janganlah kita gunakan dua pakaian kebohongan, yakni mengesankan pada diri memiliki suatu keutamaan, padahal tidak ada. Cukuplah dalam menyatakan keutamaan diri dalam batas yang benar atau fakta saja. Janganlah melebihkan diri sendiri karena ini termasuk kebohongan yang rendahan sekali yang dapat menjadi golongan al-mutasyabbi’.Tujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAsas ini dibutuhkan dalam menyeimbangkan, tetapi tidak selalu menjadi pilihan utama. Artinya, ada level atau gradasi dalam mempraktikkannya. Dasarnya adalah yang penting tercapai maslahat. Maslahat yang menjadi tujuan dalam praktik tersebut adalah:Agar diterima dakwahnyaTerkadang dalam berdakwah, kita akan menghadapi suatu komunitas yang memiliki resistensi terhadap kelompok tertentu. Atau komunitas tersebut memandang rendah kelompok yang tidak memiliki prasyarat tertentu. Di momen ini, kita perlu untuk menyebutkan keutamaan diri yang relevan. Contohnya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi Khawarij, dalam kisah yang terkenal itu terdapat sebuah cuplikan,قَالُوا: فَمَا جَاءَ بِكَ؟ قُلْتُ: أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لِأُبَلِّغُكُمْ مَا يَقُولُونَ الْمُخْبَرُونَ بِمَا يَقُولُونَ فَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ، وَهُمْ أَعْلَمُ بِالْوَحْيِ مِنْكُمْ، وَفِيهِمْ أُنْزِلَ: وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا تُخَاصِمُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}Mereka berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Aku berkata, “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Al-Qur’an turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Al-Qur’an diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. (HR. Hakim no. 2656)Dalam potongan kisah tersebut, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan posisi dirinya di hadapan Khawarij, di antaranya:1) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sahabat Nabi ﷺ.2) Ucapan dari kalangan para sahabat itu didasari ilmu.3) Ilmu yang menjadi pondasi para sahabat adalah Al-Qur’an yang langsung turun kepada mereka.4) Para sahabat jelas lebih berilmu tentang wahyu Al-Qur’an dibandingkan Khawarij.5) Pembahasan Al-Qur’an adalah benar-benar berkaitan keseharian para sahabat.Sangat terang dari satu hadis ini bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan keutamaan dirinya di hadapan mad’unya dalam rangka melunakkan hati mereka, mengentaskan syubhat mereka, dan mengokohkan posisinya. Hal ini menjadi landasan yang sangat kuat pula bahwasanya bolehnya perbuatan ini dilakukan dan bahkan termasuk strategi dakwah.Agar diterima nasihatnyaNasihat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seruan kebaikan dalam ruang lingkup yang lebih terbatas atau personal. Menyebutkan keutamaan diri diperlukan agar orang yang ditargetkan menerima nasihat dapat lega menerimanya. Karena nasihat itu seringkali bersifat dari atas ke bawah. Sehingga menunjukkan posisi diri akan membuat aliran nasihat itu menjadi normal dan lebih meringankan untuk diterima.Ingatlah bahwa perkara saling menasihati ini tidak hanya sekadar perkara perintah. Namun, ia melibatkan perasaan orang bahkan ego pihak lain. Syekh Al-Albani rahimahullah pernah mengatakan,الحق ثقيل.. فلا تثقلوه أكثر بسوء أخلاقكم“Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat dengan buruknya akhlak kalian.” (Silsilah Huda wan Nur no. 900)Termasuk yang memberatkan adalah menerima nasihat dari orang yang tidak kita ketahui keutamaannya. Bayangkan kalau Anda dinasihati seorang anak TK berkaitan adab makan dan minum, misalnya. Rasanya malu sekali. Namun, jika itu disampaikan oleh seorang ahli ilmu yang kita hormati, tentu lebih mudah kita menerimanya.Bukan untuk meninggikan di atas levelSebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 14, menyebutkan keutamaan diri itu bukan dalam rangka untuk meninggikan diri. Apalagi meninggikan sampai di atas level sebenarnya. Terlebih lagi mengesankan diri sebagai orang yang memiliki keutamaan A, B, C, dan D, padahal realitanya tidak demikian.Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,أنَّ امْرَأَةً قالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَقُولُ إنَّ زَوْجِي أَعْطَانِي ما لَمْ يُعْطِنِي فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Ada seorang wanita, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah mengatakan kepada orang lain bahwa suami saya memberikan sesuatu kepada saya, padahal itu tidak pernah diberikan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.’” (HR. Muslim no. 2129)Sebagian ulama mengatakan, maksud dari “dua pakaian kedustaan” adalah untuk menekankan bahwa dosa dusta dengan model di atas, lebih besar dosanya dari dosa biasa. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah juga menjelaskan,قال: [(المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور)] يعني: أن كلامه وفعله زور، فهو كالمتصف بوصفين ذميمين، وهو أنه لابس ثوبي زور وليس ثوباً واحداً، وهذه زيادة في الإثم، وزيادة في الضرر“Sabda Nabi [memakai dua baju kedustaan], maksudnya perkataan dan perbuatannya dusta. Ia seolah-olah disifati dengan dua sifat yang tercela. Dan seolah-olah ia memakai dua baju kedustaan, tidak hanya satu baju. Ini menunjukkan adanya tambahan dosa dan tambahan bahaya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 13: 255)Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di artikel berikut: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju KedustaanJika maslahat tercapai, maka praktiknya tidak diperlukan melebihi dari itu. Maka, tuntaslah bahwa asas ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyombongkan diri, angkuh, juga berbuat pongah di hadapan kaum muslimin.Adapun realitanya telah kita sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa para salaf dari kalangan Nabi hingga para sahabat dan ulama setelahnya pun melakukannya. Sangat banyak atsar yang dapat kita nukilkan untuk menunjukkan bahwasanya hal ini adalah bagian dari strategi dakwah dan juga meredakan perselisihan. Telah kita sebutkan pula praktiknya dalam berbagai kondisi dan analisis sederhana sehingga dapat diambil hikmah darinya dengan lebih mudah.Ketahuilah para pembaca! Bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengharapkan kebaikan akan terasa bagi hati yang bersih. Maka, kita tidak perlu berdalam-dalam mendiskusikan teknik menilai atau alamat dari ketulusan hati ketika menyampaikan keutamaan diri. Tidak perlu kita sibuk menerka keadaan hati seorang manusia ketika mengucapkannya. Cukuplah kita mengetahui bahwa ini adalah bagian dari asas dakwah dan menghadapi perselisihan. Adapun yang perlu kita awasi dengan sangat rinci adalah keadaan hati kita saat mempraktikkan asas dakwah ini.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleTiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriYang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranTidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibTidak berlebihan sesuai kadarnyaTujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAgar diterima dakwahnyaAgar diterima nasihatnyaBukan untuk meninggikan di atas levelPada bagian sebelumnya, telah dibahas sebuah asas yang menjadi penyeimbang dari implementasi asas lainnya: menyebutkan keutamaan diri. Sangat penting bagi penulis untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan tujuan dan batasan dari pengaplikasian asas ini. Tujuan utama dari asas ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri dan menyucikan diri. Namun, tujuan utamanya adalah meraih maslahat dan mencegah mafsadat dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan.Tiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriMenyebutkan keutamaan diri yang bermaksud sombong dengan yang bertujuan benar dapat dibedakan dari beberapa aspek. Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi tinjauan dan juga batasan dalam praktiknya.Yang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranDalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan atsar para sahabat, dapat kita lihat bahwasanya pernyataan menyebutkan keutamaan diri pribadi dilakukan berdasarkan realita yang ada. Semuanya tidak mengajarkan kepada kebohongan. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanglah seorang ahli Al-Qur’an yang diakui Nabi ﷺ. Atau semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memang diakui sifat amanah serta keilmuannya.Juga sebagaimana yang kita dapatkan dari Sahl bin Sa’ad, beliau memanglah sosok yang paling mengetahui beberapa perkara kenabian. Dalam konteks ini, karena Sahl termasuk sahabat yang paling terakhir wafatnya. Sehingga Sahl menjadi sahabat senior di kalangan tabi’in awal ataupun sahabat yang cenderung lebih muda. (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibPernyataan tentang keutamaan diri ini hanya sebatas pada yang zahir saja atau yang memiliki takaran. Adapun perkara yang tidak terukur, perkara gaib, amalan hati, atau keimanan yang tidak memiliki testimoni, maka hal ini tidak bisa disebutkan dalam menyebutkan keutamaan diri sendiri yang disyariatkan.Allah ﷻ berfirman,هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى“Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan maksud melarang, “Yakni memuji diri sendiri dan merasa besar diri serta membanggakan amal sendiri.”Ayat ini senada dengan ayat lainnya,أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang di­kehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 49)Dan memang realitanya, pengakuan berkaitan keadaan batin itu tiada berguna jika ditinjau dengan beberapa aspek:1) Tidak ada yang bisa menjadi saksi urusan hati kecuali Allah ﷻ.2) Hati pun mudah sekali terbolak-balik, sehingga ia tidak akan tetap dalam waktu lama.3) Perkara hati tidak bisa dikontrol, ia mutlak kuasa Allah ﷻ.4) Orang munafik pun mengaku beriman dan mengucapkan syahadat, tetapi tetap berada di kerak neraka karena hakikat batinnya tidaklah demikian.Atas dasar itulah, pembelaan diri dan menyebutkan keutamaan pribadi hanya berkaitan pada sesuatu yang dapat disaksikan oleh banyak orang.Tidak berlebihan sesuai kadarnyaKetika sekelompok Arab Badui mengklaim bahwa diri mereka telah beriman, maka Allah ﷻ menjawabnya,قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)Orang Badui ini sudah mengatakan bahwa diri mereka beriman, padahal level mereka masih muslim saja. Artinya, iman itu belum meresap di hatinya, atau imannya belum di level sempurna. Oleh karena itu, Allah ﷻ ingatkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak mengatakan demikian.Maka, janganlah kita gunakan dua pakaian kebohongan, yakni mengesankan pada diri memiliki suatu keutamaan, padahal tidak ada. Cukuplah dalam menyatakan keutamaan diri dalam batas yang benar atau fakta saja. Janganlah melebihkan diri sendiri karena ini termasuk kebohongan yang rendahan sekali yang dapat menjadi golongan al-mutasyabbi’.Tujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAsas ini dibutuhkan dalam menyeimbangkan, tetapi tidak selalu menjadi pilihan utama. Artinya, ada level atau gradasi dalam mempraktikkannya. Dasarnya adalah yang penting tercapai maslahat. Maslahat yang menjadi tujuan dalam praktik tersebut adalah:Agar diterima dakwahnyaTerkadang dalam berdakwah, kita akan menghadapi suatu komunitas yang memiliki resistensi terhadap kelompok tertentu. Atau komunitas tersebut memandang rendah kelompok yang tidak memiliki prasyarat tertentu. Di momen ini, kita perlu untuk menyebutkan keutamaan diri yang relevan. Contohnya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi Khawarij, dalam kisah yang terkenal itu terdapat sebuah cuplikan,قَالُوا: فَمَا جَاءَ بِكَ؟ قُلْتُ: أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لِأُبَلِّغُكُمْ مَا يَقُولُونَ الْمُخْبَرُونَ بِمَا يَقُولُونَ فَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ، وَهُمْ أَعْلَمُ بِالْوَحْيِ مِنْكُمْ، وَفِيهِمْ أُنْزِلَ: وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا تُخَاصِمُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}Mereka berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Aku berkata, “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Al-Qur’an turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Al-Qur’an diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. (HR. Hakim no. 2656)Dalam potongan kisah tersebut, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan posisi dirinya di hadapan Khawarij, di antaranya:1) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sahabat Nabi ﷺ.2) Ucapan dari kalangan para sahabat itu didasari ilmu.3) Ilmu yang menjadi pondasi para sahabat adalah Al-Qur’an yang langsung turun kepada mereka.4) Para sahabat jelas lebih berilmu tentang wahyu Al-Qur’an dibandingkan Khawarij.5) Pembahasan Al-Qur’an adalah benar-benar berkaitan keseharian para sahabat.Sangat terang dari satu hadis ini bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan keutamaan dirinya di hadapan mad’unya dalam rangka melunakkan hati mereka, mengentaskan syubhat mereka, dan mengokohkan posisinya. Hal ini menjadi landasan yang sangat kuat pula bahwasanya bolehnya perbuatan ini dilakukan dan bahkan termasuk strategi dakwah.Agar diterima nasihatnyaNasihat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seruan kebaikan dalam ruang lingkup yang lebih terbatas atau personal. Menyebutkan keutamaan diri diperlukan agar orang yang ditargetkan menerima nasihat dapat lega menerimanya. Karena nasihat itu seringkali bersifat dari atas ke bawah. Sehingga menunjukkan posisi diri akan membuat aliran nasihat itu menjadi normal dan lebih meringankan untuk diterima.Ingatlah bahwa perkara saling menasihati ini tidak hanya sekadar perkara perintah. Namun, ia melibatkan perasaan orang bahkan ego pihak lain. Syekh Al-Albani rahimahullah pernah mengatakan,الحق ثقيل.. فلا تثقلوه أكثر بسوء أخلاقكم“Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat dengan buruknya akhlak kalian.” (Silsilah Huda wan Nur no. 900)Termasuk yang memberatkan adalah menerima nasihat dari orang yang tidak kita ketahui keutamaannya. Bayangkan kalau Anda dinasihati seorang anak TK berkaitan adab makan dan minum, misalnya. Rasanya malu sekali. Namun, jika itu disampaikan oleh seorang ahli ilmu yang kita hormati, tentu lebih mudah kita menerimanya.Bukan untuk meninggikan di atas levelSebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 14, menyebutkan keutamaan diri itu bukan dalam rangka untuk meninggikan diri. Apalagi meninggikan sampai di atas level sebenarnya. Terlebih lagi mengesankan diri sebagai orang yang memiliki keutamaan A, B, C, dan D, padahal realitanya tidak demikian.Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,أنَّ امْرَأَةً قالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَقُولُ إنَّ زَوْجِي أَعْطَانِي ما لَمْ يُعْطِنِي فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Ada seorang wanita, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah mengatakan kepada orang lain bahwa suami saya memberikan sesuatu kepada saya, padahal itu tidak pernah diberikan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.’” (HR. Muslim no. 2129)Sebagian ulama mengatakan, maksud dari “dua pakaian kedustaan” adalah untuk menekankan bahwa dosa dusta dengan model di atas, lebih besar dosanya dari dosa biasa. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah juga menjelaskan,قال: [(المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور)] يعني: أن كلامه وفعله زور، فهو كالمتصف بوصفين ذميمين، وهو أنه لابس ثوبي زور وليس ثوباً واحداً، وهذه زيادة في الإثم، وزيادة في الضرر“Sabda Nabi [memakai dua baju kedustaan], maksudnya perkataan dan perbuatannya dusta. Ia seolah-olah disifati dengan dua sifat yang tercela. Dan seolah-olah ia memakai dua baju kedustaan, tidak hanya satu baju. Ini menunjukkan adanya tambahan dosa dan tambahan bahaya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 13: 255)Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di artikel berikut: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju KedustaanJika maslahat tercapai, maka praktiknya tidak diperlukan melebihi dari itu. Maka, tuntaslah bahwa asas ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyombongkan diri, angkuh, juga berbuat pongah di hadapan kaum muslimin.Adapun realitanya telah kita sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa para salaf dari kalangan Nabi hingga para sahabat dan ulama setelahnya pun melakukannya. Sangat banyak atsar yang dapat kita nukilkan untuk menunjukkan bahwasanya hal ini adalah bagian dari strategi dakwah dan juga meredakan perselisihan. Telah kita sebutkan pula praktiknya dalam berbagai kondisi dan analisis sederhana sehingga dapat diambil hikmah darinya dengan lebih mudah.Ketahuilah para pembaca! Bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengharapkan kebaikan akan terasa bagi hati yang bersih. Maka, kita tidak perlu berdalam-dalam mendiskusikan teknik menilai atau alamat dari ketulusan hati ketika menyampaikan keutamaan diri. Tidak perlu kita sibuk menerka keadaan hati seorang manusia ketika mengucapkannya. Cukuplah kita mengetahui bahwa ini adalah bagian dari asas dakwah dan menghadapi perselisihan. Adapun yang perlu kita awasi dengan sangat rinci adalah keadaan hati kita saat mempraktikkan asas dakwah ini.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleTiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriYang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranTidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibTidak berlebihan sesuai kadarnyaTujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAgar diterima dakwahnyaAgar diterima nasihatnyaBukan untuk meninggikan di atas levelPada bagian sebelumnya, telah dibahas sebuah asas yang menjadi penyeimbang dari implementasi asas lainnya: menyebutkan keutamaan diri. Sangat penting bagi penulis untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan tujuan dan batasan dari pengaplikasian asas ini. Tujuan utama dari asas ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri dan menyucikan diri. Namun, tujuan utamanya adalah meraih maslahat dan mencegah mafsadat dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan.Tiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diriMenyebutkan keutamaan diri yang bermaksud sombong dengan yang bertujuan benar dapat dibedakan dari beberapa aspek. Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi tinjauan dan juga batasan dalam praktiknya.Yang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaranDalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan atsar para sahabat, dapat kita lihat bahwasanya pernyataan menyebutkan keutamaan diri pribadi dilakukan berdasarkan realita yang ada. Semuanya tidak mengajarkan kepada kebohongan. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanglah seorang ahli Al-Qur’an yang diakui Nabi ﷺ. Atau semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memang diakui sifat amanah serta keilmuannya.Juga sebagaimana yang kita dapatkan dari Sahl bin Sa’ad, beliau memanglah sosok yang paling mengetahui beberapa perkara kenabian. Dalam konteks ini, karena Sahl termasuk sahabat yang paling terakhir wafatnya. Sehingga Sahl menjadi sahabat senior di kalangan tabi’in awal ataupun sahabat yang cenderung lebih muda. (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaibPernyataan tentang keutamaan diri ini hanya sebatas pada yang zahir saja atau yang memiliki takaran. Adapun perkara yang tidak terukur, perkara gaib, amalan hati, atau keimanan yang tidak memiliki testimoni, maka hal ini tidak bisa disebutkan dalam menyebutkan keutamaan diri sendiri yang disyariatkan.Allah ﷻ berfirman,هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى“Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan maksud melarang, “Yakni memuji diri sendiri dan merasa besar diri serta membanggakan amal sendiri.”Ayat ini senada dengan ayat lainnya,أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang di­kehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 49)Dan memang realitanya, pengakuan berkaitan keadaan batin itu tiada berguna jika ditinjau dengan beberapa aspek:1) Tidak ada yang bisa menjadi saksi urusan hati kecuali Allah ﷻ.2) Hati pun mudah sekali terbolak-balik, sehingga ia tidak akan tetap dalam waktu lama.3) Perkara hati tidak bisa dikontrol, ia mutlak kuasa Allah ﷻ.4) Orang munafik pun mengaku beriman dan mengucapkan syahadat, tetapi tetap berada di kerak neraka karena hakikat batinnya tidaklah demikian.Atas dasar itulah, pembelaan diri dan menyebutkan keutamaan pribadi hanya berkaitan pada sesuatu yang dapat disaksikan oleh banyak orang.Tidak berlebihan sesuai kadarnyaKetika sekelompok Arab Badui mengklaim bahwa diri mereka telah beriman, maka Allah ﷻ menjawabnya,قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)Orang Badui ini sudah mengatakan bahwa diri mereka beriman, padahal level mereka masih muslim saja. Artinya, iman itu belum meresap di hatinya, atau imannya belum di level sempurna. Oleh karena itu, Allah ﷻ ingatkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak mengatakan demikian.Maka, janganlah kita gunakan dua pakaian kebohongan, yakni mengesankan pada diri memiliki suatu keutamaan, padahal tidak ada. Cukuplah dalam menyatakan keutamaan diri dalam batas yang benar atau fakta saja. Janganlah melebihkan diri sendiri karena ini termasuk kebohongan yang rendahan sekali yang dapat menjadi golongan al-mutasyabbi’.Tujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diriAsas ini dibutuhkan dalam menyeimbangkan, tetapi tidak selalu menjadi pilihan utama. Artinya, ada level atau gradasi dalam mempraktikkannya. Dasarnya adalah yang penting tercapai maslahat. Maslahat yang menjadi tujuan dalam praktik tersebut adalah:Agar diterima dakwahnyaTerkadang dalam berdakwah, kita akan menghadapi suatu komunitas yang memiliki resistensi terhadap kelompok tertentu. Atau komunitas tersebut memandang rendah kelompok yang tidak memiliki prasyarat tertentu. Di momen ini, kita perlu untuk menyebutkan keutamaan diri yang relevan. Contohnya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi Khawarij, dalam kisah yang terkenal itu terdapat sebuah cuplikan,قَالُوا: فَمَا جَاءَ بِكَ؟ قُلْتُ: أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لِأُبَلِّغُكُمْ مَا يَقُولُونَ الْمُخْبَرُونَ بِمَا يَقُولُونَ فَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ، وَهُمْ أَعْلَمُ بِالْوَحْيِ مِنْكُمْ، وَفِيهِمْ أُنْزِلَ: وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا تُخَاصِمُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}Mereka berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Aku berkata, “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Al-Qur’an turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Al-Qur’an diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. (HR. Hakim no. 2656)Dalam potongan kisah tersebut, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan posisi dirinya di hadapan Khawarij, di antaranya:1) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sahabat Nabi ﷺ.2) Ucapan dari kalangan para sahabat itu didasari ilmu.3) Ilmu yang menjadi pondasi para sahabat adalah Al-Qur’an yang langsung turun kepada mereka.4) Para sahabat jelas lebih berilmu tentang wahyu Al-Qur’an dibandingkan Khawarij.5) Pembahasan Al-Qur’an adalah benar-benar berkaitan keseharian para sahabat.Sangat terang dari satu hadis ini bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan keutamaan dirinya di hadapan mad’unya dalam rangka melunakkan hati mereka, mengentaskan syubhat mereka, dan mengokohkan posisinya. Hal ini menjadi landasan yang sangat kuat pula bahwasanya bolehnya perbuatan ini dilakukan dan bahkan termasuk strategi dakwah.Agar diterima nasihatnyaNasihat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seruan kebaikan dalam ruang lingkup yang lebih terbatas atau personal. Menyebutkan keutamaan diri diperlukan agar orang yang ditargetkan menerima nasihat dapat lega menerimanya. Karena nasihat itu seringkali bersifat dari atas ke bawah. Sehingga menunjukkan posisi diri akan membuat aliran nasihat itu menjadi normal dan lebih meringankan untuk diterima.Ingatlah bahwa perkara saling menasihati ini tidak hanya sekadar perkara perintah. Namun, ia melibatkan perasaan orang bahkan ego pihak lain. Syekh Al-Albani rahimahullah pernah mengatakan,الحق ثقيل.. فلا تثقلوه أكثر بسوء أخلاقكم“Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat dengan buruknya akhlak kalian.” (Silsilah Huda wan Nur no. 900)Termasuk yang memberatkan adalah menerima nasihat dari orang yang tidak kita ketahui keutamaannya. Bayangkan kalau Anda dinasihati seorang anak TK berkaitan adab makan dan minum, misalnya. Rasanya malu sekali. Namun, jika itu disampaikan oleh seorang ahli ilmu yang kita hormati, tentu lebih mudah kita menerimanya.Bukan untuk meninggikan di atas levelSebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 14, menyebutkan keutamaan diri itu bukan dalam rangka untuk meninggikan diri. Apalagi meninggikan sampai di atas level sebenarnya. Terlebih lagi mengesankan diri sebagai orang yang memiliki keutamaan A, B, C, dan D, padahal realitanya tidak demikian.Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,أنَّ امْرَأَةً قالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَقُولُ إنَّ زَوْجِي أَعْطَانِي ما لَمْ يُعْطِنِي فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ“Ada seorang wanita, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah mengatakan kepada orang lain bahwa suami saya memberikan sesuatu kepada saya, padahal itu tidak pernah diberikan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.’” (HR. Muslim no. 2129)Sebagian ulama mengatakan, maksud dari “dua pakaian kedustaan” adalah untuk menekankan bahwa dosa dusta dengan model di atas, lebih besar dosanya dari dosa biasa. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah juga menjelaskan,قال: [(المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور)] يعني: أن كلامه وفعله زور، فهو كالمتصف بوصفين ذميمين، وهو أنه لابس ثوبي زور وليس ثوباً واحداً، وهذه زيادة في الإثم، وزيادة في الضرر“Sabda Nabi [memakai dua baju kedustaan], maksudnya perkataan dan perbuatannya dusta. Ia seolah-olah disifati dengan dua sifat yang tercela. Dan seolah-olah ia memakai dua baju kedustaan, tidak hanya satu baju. Ini menunjukkan adanya tambahan dosa dan tambahan bahaya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 13: 255)Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di artikel berikut: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju KedustaanJika maslahat tercapai, maka praktiknya tidak diperlukan melebihi dari itu. Maka, tuntaslah bahwa asas ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyombongkan diri, angkuh, juga berbuat pongah di hadapan kaum muslimin.Adapun realitanya telah kita sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa para salaf dari kalangan Nabi hingga para sahabat dan ulama setelahnya pun melakukannya. Sangat banyak atsar yang dapat kita nukilkan untuk menunjukkan bahwasanya hal ini adalah bagian dari strategi dakwah dan juga meredakan perselisihan. Telah kita sebutkan pula praktiknya dalam berbagai kondisi dan analisis sederhana sehingga dapat diambil hikmah darinya dengan lebih mudah.Ketahuilah para pembaca! Bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengharapkan kebaikan akan terasa bagi hati yang bersih. Maka, kita tidak perlu berdalam-dalam mendiskusikan teknik menilai atau alamat dari ketulusan hati ketika menyampaikan keutamaan diri. Tidak perlu kita sibuk menerka keadaan hati seorang manusia ketika mengucapkannya. Cukuplah kita mengetahui bahwa ini adalah bagian dari asas dakwah dan menghadapi perselisihan. Adapun yang perlu kita awasi dengan sangat rinci adalah keadaan hati kita saat mempraktikkan asas dakwah ini.[Bersambung]Kembali ke bagian 9 Lanjut ke bagian 11***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Hadis Arba’in An-Nawawiyah (Bag. 3): Hadis 2, Iman, Islam, dan Ihsan

Daftar Isi TogglePenjelasanFaidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamMalaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaAdab ketika menuntut ilmuIslam, iman, dan ihsanIman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada malaikatIman kepada kitab-kitab AllahIman kepada rasul-rasul AllahIman kepada hari kiamatIman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukHari kiamat dan tandanyaعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللّٰهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْDari Umar radhiyallahu ‘anhu juga, ia berkata,Suatu hari, ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada kami. Pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bepergian, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Umar berkata, “Kami pun heran, ia yang bertanya namun ia pula yang membenarkan.”Lalu laki-laki itu berkata, “Beritahulah aku tentang iman.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, baik dan buruknya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang ihsan.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang kapan terjadinya kiamat.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”Lalu ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang tanda-tandanya.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang miskin yang tak beralas kaki, tak berpakaian, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.”Lalu laki-laki itu pun pergi. Aku (Umar) pun diam cukup lama. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang tadi bertanya itu?”Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [1]PenjelasanAn-Nawawi rahimahullah memulai dengan hadis pertama dari Shahih Bukhari (Innamal a’malu binniyyat) dan menjadikan hadis Jibril ini (yang merupakan hadis pertama dalam Shahih Muslim) sebagai hadis kedua dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah. Telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu makna yang serupa dengan hadis ini. Namun, penulis memilih hadis Umar karena ia adalah hadis pertama dalam Shahih Muslim, dan di dalamnya terdapat makna-makna yang tidak terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu adalah saksi dan hadir langsung terhadap peristiwa tersebut, tidak seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang tidak menyebutkan bahwa ia hadir secara langsung. [2]Hadis ini adalah hadis yang sangat agung, mencakup penjelasan tentang seluruh agama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada akhir hadis ini, “Sesungguhnya Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” Setelah menjelaskan tingkatan Islam, iman, dan ihsan, maka keseluruhan itu dijadikan sebagai definisi agama kita. [3]Al Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,اشتغل هذا الحديث على جميع وظائف العبادات الظاهرة و الباطنة من عقود الإيمان ابتداء و حالا و من أعمال الجوارح، و من إخلاص السرائر و التحافظ من آفات الأعمال، حتى إن علوم الشريعة كلها راجعة إليه و متشعبة منه“Hadis ini mencakup seluruh aspek ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mulai dari akidah keimanan — baik pada awalnya maupun dalam keadaan berlangsung — hingga amal perbuatan anggota badan, juga mencakup keikhlasan dalam batin serta penjagaan dari penyakit-penyakit amal. Bahkan seluruh ilmu syariat kembali padanya dan bercabang darinya.” [4]Faidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBahwa beliau duduk bersama para sahabatnya dan mereka duduk bersama beliau. Beliau tidak menyendiri di atas mereka dan merasa di atas para sahabat. Ketahuilah bahwa setiap kali engkau merendahkan diri karena Allah, maka dengan itu engkau akan semakin tinggi derajatnya. Karena barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. [5]Malaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaDalam hadis ini terdapat petunjuk bahwasannya malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia. Sebagaimana malaikat Jibril berubah menjadi seorang laki-laki di kisah dalam hadis ini.Adab ketika menuntut ilmuSalah satu adab yang dicontohkan langsung oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dalam hadits tersebut adalah memperindah pakaian dan penampilan dan menjaga kebersihan ketika hendak menuntut ilmu dan bertemu dengan guru. [6]Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mencontohkan cara duduk ketika hendak mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu. Cara duduk seperti itu adalah cara duduk orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang memusatkan pikirannya untuk mengambil manfaat. Dari sini dapat diambil pelajaran: bahwa seorang penuntut ilmu yang ingin mengambil manfaat duduk bersama gurunya dengan cara duduk seperti ini, karena lebih beradab, menguatkan konsentrasi dan lebih banyak mendapatkan ilmu. [7]Salah satu adab dalam menuntut ilmu juga adalah tidak mengatakan sesuatu ilmu yang ia tidak ketahui, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal-hal yang ia tidak ketahui kepada orang yang berilmu.Islam, iman, dan ihsanDalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun Islam, di antaranya:Syahadat;Salat;Zakat;Puasa RamadanHaji ke Baitullah.Penjelasan tentang rukun Islam insyaaAllah akan di bahas di artikel penjelasan hadis ketiga dari Arba’in An Nawawiyah.Dalam hadis ini pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun iman, yaitu:Iman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada Alla ‘Azza wa Jalla adalah meyakini dengan sepenuh hati dan kepercayaan yang teguh akan keberadaan Allah Ta‘ala, serta terhadap segala sesuatu yang wajib bagi-Nya, Subhanahu wa Ta‘ala. Iman kepada Allah Ta‘ala terwujud melalui beberapa hal:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala Maha Esa dalam mencipta, memiliki, dan mengatur seluruh urusan secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu; tidak ada yang turut mengatur bersama-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalangi ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan urusan (segala sesuatu). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A‘raf: 54)Kedua: Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), dan dalam hadis yang sahih dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa nama-nama Allah yang indah (al-asma’ al-ḥusna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur (ash-shifat al-‘ula), dengan cara yang layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta‘thil (menolak atau meniadakan), tanpa takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari hewan ternak juga pasangan-pasangan; dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Maka kewajiban kita terhadap nash-nash tentang nama dan sifat Allah adalah sebagai berikut:1) Menerima lafaz-lafaznya, beriman kepadanya, menerima dengan penuh ketundukan, serta meyakini makna dan hukum yang dikandungnya.2) Memahami teks-teks tersebut sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya, bukan dengan makna yang menyimpang atau ditakwilkan tanpa dasar.3) Menyucikan Allah Ta‘ala dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk, serta menafikan dari-Nya segala sifat kekurangan, aib, dan cela, dan berlepas diri dari dua golongan yang sesat:a) Golongan mu‘aththilah, yaitu yang menolak atau meniadakan sifat Allah.b) Golongan mumatsilah, yaitu yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.4) Memuji Allah Ta‘ala dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi.Ketiga: Meyakini bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya Tuhan yang benar, yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Maka tidak sepantasnya ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, dan tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah kecuali Dia semata.Kita wajib mengikhlaskan seluruh bentuk ketaatan hanya kepada Allah, dengan cara yang telah Dia syariatkan, serta menaati dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Dan wajib pula meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan bid‘ah dalam beribadah. [8]Iman kepada malaikatIman kepada malaikat adalah meyakini keberadaan mereka dengan keyakinan yang pasti, tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah Ta‘ala berfirman,آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)Barang siapa mengingkari keberadaan malaikat, maka ia telah kafir, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)Ahlus Sunnah wal Jama‘ah beriman kepada malaikat secara umum dan secara rinci. Secara umum, mereka meyakini bahwa malaikat benar-benar ada. Sedangkan secara rinci, mereka beriman kepada malaikat yang disebutkan secara khusus dalam dalil yang sahih, yaitu yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:Jibril ‘alaihis-salam: bertugas menyampaikan wahyu.Mikail ‘alaihis-salam: bertugas mengatur turunnya hujan.Israfil ‘alaihis-salam: bertugas meniup sangkakala.Malaikat Maut: bertugas mencabut nyawa.Malik: penjaga neraka.Riḍwan: penjaga surga.Munkar dan Nakir: dua malaikat yang bertugas menanyai manusia di alam kubur.Ahlus Sunnah wal Jama‘ah meyakini keberadaan para malaikat, bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang diciptakan, tidak memiliki sifat ketuhanan. Allah menciptakan mereka dari cahaya, dan mereka memiliki wujud yang nyata, bukan sekadar makna abstrak atau kekuatan gaib semata.Mereka adalah makhluk ciptaan Allah, yang bertempat di langit, dan memiliki bentuk yang sangat agung.Di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak dari itu. Terdapat dalam hadis yang sahih bahwa Jibril ‘alaihis-salam memiliki enam ratus sayap.Para malaikat adalah pasukan Allah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menjelma dalam berbagai bentuk fisik, sesuai dengan keadaan yang Allah izinkan. Mereka adalah makhluk yang dekat dan dimuliakan oleh Allah. Mereka tidak memiliki jenis kelamin, tidak menikah, dan tidak berketurunan. Para malaikat tidak makan dan tidak minum, karena makanan mereka adalah tasybih (memuji Allah) dan tahlil (mengucap laa ilaaha illallah). Mereka tidak pernah merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berhenti beribadah kepada Allah. Mereka juga dikenal memiliki sifat keindahan, kesempurnaan, rasa malu, serta keteraturan dalam ketaatan kepada Allah. [9]Iman kepada kitab-kitab AllahMakna iman kepada kitab-kitab Allah adalah:1) Meyakini dengan pasti bahwa seluruh kitab itu diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-rasul-Nya, untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran dan petunjuk.2) Meyakini bahwa kitab-kitab itu adalah kalam (firman) Allah, bukan ucapan makhluk. Bahwa Allah benar-benar berbicara dengan kitab-kitab tersebut secara hakiki, sesuai dengan kehendak dan kebesaran-Nya, dengan cara yang Dia inginkan.Di antara kitab-kitab itu, ada yang Allah sampaikan langsung tanpa perantara, dari balik tabir, dan ada pula yang Allah sampaikan melalui malaikat pembawa wahyu untuk kemudian disampaikan kepada rasul manusia.Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ“Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul (malaikat) lalu menyampaikan wahyu dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51) [10]Iman kepada rasul-rasul AllahMakna iman kepada Rasul adalah sebagai berikut:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, yang menyeru mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (segala yang disembah selain Allah).’” (QS. An-Naḥl: 36)Kedua: Beriman kepada para rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Mereka berjumlah dua puluh lima Nabi dan Rasul, semoga selawat dan salam Allah terlimpahkan atas mereka semuanya. Dan juga beriman kepada rasul-rasul lain yang tidak disebutkan namanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (wahai Muhammad); di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)Ketiga: Beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا“Muhammad itu bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)Keempat: Meyakini bahwa para rasul semuanya telah menyampaikan seluruh risalah yang Allah perintahkan kepada mereka. Mereka tidak menyembunyikan satu huruf pun, tidak mengubah isinya, tidak menambah dari diri mereka sendiri, dan tidak menguranginya sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ“Maka tidak ada kewajiban para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Naḥl: 35) [11]Iman kepada hari kiamatIman kepada hari akhir ialah meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah telah menentukan satu waktu di mana Dia akan mengakhiri kehidupan dunia ini.Ada pula yang menjelaskan secara lebih global, bahwa iman kepada hari akhir berarti: meyakini seluruh hal yang telah diberitakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadisnya, tentang segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti: fitnah (ujian) dan azab kubur, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan manusia (ḥasyr), pembagian catatan amal (ṣuḥuf), perhitungan amal (ḥisab), timbangan amal (mizan), telaga Nabi (ḥauḍ), jembatan di atas neraka (ṣiraṭ), syafaat (pertolongan), surga, dan neraka, serta segala yang telah Allah sediakan bagi masing-masing penghuninya. [12]Iman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukSecara bahasa, kata “القضاء” (qadha’) memiliki makna yang berkisar pada menetapkan sesuatu dengan sempurna dan menyelesaikan urusan.Dalam Al-Qur’an, kata qadha’ digunakan dalam banyak makna seperti: perintah, penyelesaian, keputusan, penetapan, pemberitahuan, pelaksanaan, dan juga kematian.Sedangkan “القدر” (qadar) secara bahasa bermakna penetapan dan keputusan, juga bisa berarti kekuatan atau kemampuan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala,لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ“Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan wanita yang belum kamu sentuh dan belum kamu tetapkan maharnya. Hendaklah kamu memberikan mut‘ah (pemberian) kepada mereka; bagi yang mampu menurut kemampuannya (qadruhu), dan bagi yang miskin menurut kemampuannya (qadruhu), sebagai pemberian yang patut, suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)Dari ayat ini, terlihat bahwa kata qadar juga bermakna tingkat kemampuan atau ukuran. Selain itu, qadar juga bisa berarti pembatasan atau penyempitan (tadhyiq).Secara istilah (syar‘i), qadha’ dan qadar adalah: penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ala terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, serta ilmu-Nya yang meliputi bahwa semua itu akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan, dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan.Allah telah menulisnya dalam Lauhul Mahfuz, menetapkan terjadinya sesuai kehendak-Nya, dan segala sesuatu terjadi sebagaimana yang telah Dia takdirkan dan ciptakan.Ada pula ulama yang mendefinisikan: “Qadha dan qadar adalah penciptaan Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuan tertentu, pada bentuk dan keadaan sebagaimana yang telah diketahui-Nya sebelumnya, dan sebagaimana yang telah tertulis oleh pena (qalam).”[13]Sedangkan ihsan adalah melaksanakan amalan dengan sebaik-baiknya secara lahir dan batin. Adapun secara lahir adalah dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesempurna mungkin. Dan secara batin adalah dengan sesempurna mungkin ikhlas karena Allah dalam beramal.Ihsan lebih khusus daripada iman, dan iman lebih khusus daripada Islam. Maka inilah tiga perkara agama: Islam, iman, dan ihsan. [14]Hari kiamat dan tandanyaBahwasannya tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang mengetahui kapan kiamat itu ditegakkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril ‘alaihissalam yang merupakan manusia dan malaikat terbaik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Di antara tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam hadis adalah terbaliknya urusan atau perkara, yakni berubahnya keadaan dari yang seharusnya dan bermegah-megahan (berbangga diri) dalam mempertinggi bangunan, yaitu berlomba-lomba membangun gedung tinggi untuk kebanggaan, bukan kebutuhan. [15]و الله تعالى أعلم بالصوابKembali ke bagian 2***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.[2] Syarh Al-Arba’in An Nawawiyah Al-Mukhtasor, hal. 21-22.[3] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 75.[4] Fathul Bari’, 1: 166.[5] Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 77.[6] Al-Wajiz Al-Mukhtashor fii Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 4.[7] Syarh Al -Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, hal. 181-182.[8] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/102420/[9] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/66304/[10] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/83775/[11] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/113508/[12] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69249/[13] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69562/[14] Ibid, hal. 192 diringkas oleh penulis.[15] Op. cit, hal. 4.

Penjelasan Hadis Arba’in An-Nawawiyah (Bag. 3): Hadis 2, Iman, Islam, dan Ihsan

Daftar Isi TogglePenjelasanFaidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamMalaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaAdab ketika menuntut ilmuIslam, iman, dan ihsanIman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada malaikatIman kepada kitab-kitab AllahIman kepada rasul-rasul AllahIman kepada hari kiamatIman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukHari kiamat dan tandanyaعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللّٰهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْDari Umar radhiyallahu ‘anhu juga, ia berkata,Suatu hari, ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada kami. Pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bepergian, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Umar berkata, “Kami pun heran, ia yang bertanya namun ia pula yang membenarkan.”Lalu laki-laki itu berkata, “Beritahulah aku tentang iman.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, baik dan buruknya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang ihsan.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang kapan terjadinya kiamat.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”Lalu ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang tanda-tandanya.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang miskin yang tak beralas kaki, tak berpakaian, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.”Lalu laki-laki itu pun pergi. Aku (Umar) pun diam cukup lama. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang tadi bertanya itu?”Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [1]PenjelasanAn-Nawawi rahimahullah memulai dengan hadis pertama dari Shahih Bukhari (Innamal a’malu binniyyat) dan menjadikan hadis Jibril ini (yang merupakan hadis pertama dalam Shahih Muslim) sebagai hadis kedua dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah. Telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu makna yang serupa dengan hadis ini. Namun, penulis memilih hadis Umar karena ia adalah hadis pertama dalam Shahih Muslim, dan di dalamnya terdapat makna-makna yang tidak terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu adalah saksi dan hadir langsung terhadap peristiwa tersebut, tidak seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang tidak menyebutkan bahwa ia hadir secara langsung. [2]Hadis ini adalah hadis yang sangat agung, mencakup penjelasan tentang seluruh agama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada akhir hadis ini, “Sesungguhnya Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” Setelah menjelaskan tingkatan Islam, iman, dan ihsan, maka keseluruhan itu dijadikan sebagai definisi agama kita. [3]Al Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,اشتغل هذا الحديث على جميع وظائف العبادات الظاهرة و الباطنة من عقود الإيمان ابتداء و حالا و من أعمال الجوارح، و من إخلاص السرائر و التحافظ من آفات الأعمال، حتى إن علوم الشريعة كلها راجعة إليه و متشعبة منه“Hadis ini mencakup seluruh aspek ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mulai dari akidah keimanan — baik pada awalnya maupun dalam keadaan berlangsung — hingga amal perbuatan anggota badan, juga mencakup keikhlasan dalam batin serta penjagaan dari penyakit-penyakit amal. Bahkan seluruh ilmu syariat kembali padanya dan bercabang darinya.” [4]Faidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBahwa beliau duduk bersama para sahabatnya dan mereka duduk bersama beliau. Beliau tidak menyendiri di atas mereka dan merasa di atas para sahabat. Ketahuilah bahwa setiap kali engkau merendahkan diri karena Allah, maka dengan itu engkau akan semakin tinggi derajatnya. Karena barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. [5]Malaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaDalam hadis ini terdapat petunjuk bahwasannya malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia. Sebagaimana malaikat Jibril berubah menjadi seorang laki-laki di kisah dalam hadis ini.Adab ketika menuntut ilmuSalah satu adab yang dicontohkan langsung oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dalam hadits tersebut adalah memperindah pakaian dan penampilan dan menjaga kebersihan ketika hendak menuntut ilmu dan bertemu dengan guru. [6]Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mencontohkan cara duduk ketika hendak mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu. Cara duduk seperti itu adalah cara duduk orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang memusatkan pikirannya untuk mengambil manfaat. Dari sini dapat diambil pelajaran: bahwa seorang penuntut ilmu yang ingin mengambil manfaat duduk bersama gurunya dengan cara duduk seperti ini, karena lebih beradab, menguatkan konsentrasi dan lebih banyak mendapatkan ilmu. [7]Salah satu adab dalam menuntut ilmu juga adalah tidak mengatakan sesuatu ilmu yang ia tidak ketahui, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal-hal yang ia tidak ketahui kepada orang yang berilmu.Islam, iman, dan ihsanDalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun Islam, di antaranya:Syahadat;Salat;Zakat;Puasa RamadanHaji ke Baitullah.Penjelasan tentang rukun Islam insyaaAllah akan di bahas di artikel penjelasan hadis ketiga dari Arba’in An Nawawiyah.Dalam hadis ini pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun iman, yaitu:Iman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada Alla ‘Azza wa Jalla adalah meyakini dengan sepenuh hati dan kepercayaan yang teguh akan keberadaan Allah Ta‘ala, serta terhadap segala sesuatu yang wajib bagi-Nya, Subhanahu wa Ta‘ala. Iman kepada Allah Ta‘ala terwujud melalui beberapa hal:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala Maha Esa dalam mencipta, memiliki, dan mengatur seluruh urusan secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu; tidak ada yang turut mengatur bersama-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalangi ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan urusan (segala sesuatu). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A‘raf: 54)Kedua: Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), dan dalam hadis yang sahih dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa nama-nama Allah yang indah (al-asma’ al-ḥusna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur (ash-shifat al-‘ula), dengan cara yang layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta‘thil (menolak atau meniadakan), tanpa takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari hewan ternak juga pasangan-pasangan; dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Maka kewajiban kita terhadap nash-nash tentang nama dan sifat Allah adalah sebagai berikut:1) Menerima lafaz-lafaznya, beriman kepadanya, menerima dengan penuh ketundukan, serta meyakini makna dan hukum yang dikandungnya.2) Memahami teks-teks tersebut sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya, bukan dengan makna yang menyimpang atau ditakwilkan tanpa dasar.3) Menyucikan Allah Ta‘ala dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk, serta menafikan dari-Nya segala sifat kekurangan, aib, dan cela, dan berlepas diri dari dua golongan yang sesat:a) Golongan mu‘aththilah, yaitu yang menolak atau meniadakan sifat Allah.b) Golongan mumatsilah, yaitu yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.4) Memuji Allah Ta‘ala dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi.Ketiga: Meyakini bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya Tuhan yang benar, yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Maka tidak sepantasnya ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, dan tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah kecuali Dia semata.Kita wajib mengikhlaskan seluruh bentuk ketaatan hanya kepada Allah, dengan cara yang telah Dia syariatkan, serta menaati dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Dan wajib pula meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan bid‘ah dalam beribadah. [8]Iman kepada malaikatIman kepada malaikat adalah meyakini keberadaan mereka dengan keyakinan yang pasti, tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah Ta‘ala berfirman,آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)Barang siapa mengingkari keberadaan malaikat, maka ia telah kafir, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)Ahlus Sunnah wal Jama‘ah beriman kepada malaikat secara umum dan secara rinci. Secara umum, mereka meyakini bahwa malaikat benar-benar ada. Sedangkan secara rinci, mereka beriman kepada malaikat yang disebutkan secara khusus dalam dalil yang sahih, yaitu yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:Jibril ‘alaihis-salam: bertugas menyampaikan wahyu.Mikail ‘alaihis-salam: bertugas mengatur turunnya hujan.Israfil ‘alaihis-salam: bertugas meniup sangkakala.Malaikat Maut: bertugas mencabut nyawa.Malik: penjaga neraka.Riḍwan: penjaga surga.Munkar dan Nakir: dua malaikat yang bertugas menanyai manusia di alam kubur.Ahlus Sunnah wal Jama‘ah meyakini keberadaan para malaikat, bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang diciptakan, tidak memiliki sifat ketuhanan. Allah menciptakan mereka dari cahaya, dan mereka memiliki wujud yang nyata, bukan sekadar makna abstrak atau kekuatan gaib semata.Mereka adalah makhluk ciptaan Allah, yang bertempat di langit, dan memiliki bentuk yang sangat agung.Di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak dari itu. Terdapat dalam hadis yang sahih bahwa Jibril ‘alaihis-salam memiliki enam ratus sayap.Para malaikat adalah pasukan Allah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menjelma dalam berbagai bentuk fisik, sesuai dengan keadaan yang Allah izinkan. Mereka adalah makhluk yang dekat dan dimuliakan oleh Allah. Mereka tidak memiliki jenis kelamin, tidak menikah, dan tidak berketurunan. Para malaikat tidak makan dan tidak minum, karena makanan mereka adalah tasybih (memuji Allah) dan tahlil (mengucap laa ilaaha illallah). Mereka tidak pernah merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berhenti beribadah kepada Allah. Mereka juga dikenal memiliki sifat keindahan, kesempurnaan, rasa malu, serta keteraturan dalam ketaatan kepada Allah. [9]Iman kepada kitab-kitab AllahMakna iman kepada kitab-kitab Allah adalah:1) Meyakini dengan pasti bahwa seluruh kitab itu diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-rasul-Nya, untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran dan petunjuk.2) Meyakini bahwa kitab-kitab itu adalah kalam (firman) Allah, bukan ucapan makhluk. Bahwa Allah benar-benar berbicara dengan kitab-kitab tersebut secara hakiki, sesuai dengan kehendak dan kebesaran-Nya, dengan cara yang Dia inginkan.Di antara kitab-kitab itu, ada yang Allah sampaikan langsung tanpa perantara, dari balik tabir, dan ada pula yang Allah sampaikan melalui malaikat pembawa wahyu untuk kemudian disampaikan kepada rasul manusia.Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ“Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul (malaikat) lalu menyampaikan wahyu dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51) [10]Iman kepada rasul-rasul AllahMakna iman kepada Rasul adalah sebagai berikut:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, yang menyeru mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (segala yang disembah selain Allah).’” (QS. An-Naḥl: 36)Kedua: Beriman kepada para rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Mereka berjumlah dua puluh lima Nabi dan Rasul, semoga selawat dan salam Allah terlimpahkan atas mereka semuanya. Dan juga beriman kepada rasul-rasul lain yang tidak disebutkan namanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (wahai Muhammad); di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)Ketiga: Beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا“Muhammad itu bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)Keempat: Meyakini bahwa para rasul semuanya telah menyampaikan seluruh risalah yang Allah perintahkan kepada mereka. Mereka tidak menyembunyikan satu huruf pun, tidak mengubah isinya, tidak menambah dari diri mereka sendiri, dan tidak menguranginya sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ“Maka tidak ada kewajiban para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Naḥl: 35) [11]Iman kepada hari kiamatIman kepada hari akhir ialah meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah telah menentukan satu waktu di mana Dia akan mengakhiri kehidupan dunia ini.Ada pula yang menjelaskan secara lebih global, bahwa iman kepada hari akhir berarti: meyakini seluruh hal yang telah diberitakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadisnya, tentang segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti: fitnah (ujian) dan azab kubur, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan manusia (ḥasyr), pembagian catatan amal (ṣuḥuf), perhitungan amal (ḥisab), timbangan amal (mizan), telaga Nabi (ḥauḍ), jembatan di atas neraka (ṣiraṭ), syafaat (pertolongan), surga, dan neraka, serta segala yang telah Allah sediakan bagi masing-masing penghuninya. [12]Iman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukSecara bahasa, kata “القضاء” (qadha’) memiliki makna yang berkisar pada menetapkan sesuatu dengan sempurna dan menyelesaikan urusan.Dalam Al-Qur’an, kata qadha’ digunakan dalam banyak makna seperti: perintah, penyelesaian, keputusan, penetapan, pemberitahuan, pelaksanaan, dan juga kematian.Sedangkan “القدر” (qadar) secara bahasa bermakna penetapan dan keputusan, juga bisa berarti kekuatan atau kemampuan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala,لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ“Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan wanita yang belum kamu sentuh dan belum kamu tetapkan maharnya. Hendaklah kamu memberikan mut‘ah (pemberian) kepada mereka; bagi yang mampu menurut kemampuannya (qadruhu), dan bagi yang miskin menurut kemampuannya (qadruhu), sebagai pemberian yang patut, suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)Dari ayat ini, terlihat bahwa kata qadar juga bermakna tingkat kemampuan atau ukuran. Selain itu, qadar juga bisa berarti pembatasan atau penyempitan (tadhyiq).Secara istilah (syar‘i), qadha’ dan qadar adalah: penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ala terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, serta ilmu-Nya yang meliputi bahwa semua itu akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan, dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan.Allah telah menulisnya dalam Lauhul Mahfuz, menetapkan terjadinya sesuai kehendak-Nya, dan segala sesuatu terjadi sebagaimana yang telah Dia takdirkan dan ciptakan.Ada pula ulama yang mendefinisikan: “Qadha dan qadar adalah penciptaan Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuan tertentu, pada bentuk dan keadaan sebagaimana yang telah diketahui-Nya sebelumnya, dan sebagaimana yang telah tertulis oleh pena (qalam).”[13]Sedangkan ihsan adalah melaksanakan amalan dengan sebaik-baiknya secara lahir dan batin. Adapun secara lahir adalah dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesempurna mungkin. Dan secara batin adalah dengan sesempurna mungkin ikhlas karena Allah dalam beramal.Ihsan lebih khusus daripada iman, dan iman lebih khusus daripada Islam. Maka inilah tiga perkara agama: Islam, iman, dan ihsan. [14]Hari kiamat dan tandanyaBahwasannya tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang mengetahui kapan kiamat itu ditegakkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril ‘alaihissalam yang merupakan manusia dan malaikat terbaik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Di antara tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam hadis adalah terbaliknya urusan atau perkara, yakni berubahnya keadaan dari yang seharusnya dan bermegah-megahan (berbangga diri) dalam mempertinggi bangunan, yaitu berlomba-lomba membangun gedung tinggi untuk kebanggaan, bukan kebutuhan. [15]و الله تعالى أعلم بالصوابKembali ke bagian 2***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.[2] Syarh Al-Arba’in An Nawawiyah Al-Mukhtasor, hal. 21-22.[3] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 75.[4] Fathul Bari’, 1: 166.[5] Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 77.[6] Al-Wajiz Al-Mukhtashor fii Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 4.[7] Syarh Al -Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, hal. 181-182.[8] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/102420/[9] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/66304/[10] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/83775/[11] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/113508/[12] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69249/[13] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69562/[14] Ibid, hal. 192 diringkas oleh penulis.[15] Op. cit, hal. 4.
Daftar Isi TogglePenjelasanFaidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamMalaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaAdab ketika menuntut ilmuIslam, iman, dan ihsanIman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada malaikatIman kepada kitab-kitab AllahIman kepada rasul-rasul AllahIman kepada hari kiamatIman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukHari kiamat dan tandanyaعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللّٰهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْDari Umar radhiyallahu ‘anhu juga, ia berkata,Suatu hari, ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada kami. Pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bepergian, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Umar berkata, “Kami pun heran, ia yang bertanya namun ia pula yang membenarkan.”Lalu laki-laki itu berkata, “Beritahulah aku tentang iman.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, baik dan buruknya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang ihsan.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang kapan terjadinya kiamat.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”Lalu ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang tanda-tandanya.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang miskin yang tak beralas kaki, tak berpakaian, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.”Lalu laki-laki itu pun pergi. Aku (Umar) pun diam cukup lama. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang tadi bertanya itu?”Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [1]PenjelasanAn-Nawawi rahimahullah memulai dengan hadis pertama dari Shahih Bukhari (Innamal a’malu binniyyat) dan menjadikan hadis Jibril ini (yang merupakan hadis pertama dalam Shahih Muslim) sebagai hadis kedua dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah. Telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu makna yang serupa dengan hadis ini. Namun, penulis memilih hadis Umar karena ia adalah hadis pertama dalam Shahih Muslim, dan di dalamnya terdapat makna-makna yang tidak terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu adalah saksi dan hadir langsung terhadap peristiwa tersebut, tidak seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang tidak menyebutkan bahwa ia hadir secara langsung. [2]Hadis ini adalah hadis yang sangat agung, mencakup penjelasan tentang seluruh agama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada akhir hadis ini, “Sesungguhnya Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” Setelah menjelaskan tingkatan Islam, iman, dan ihsan, maka keseluruhan itu dijadikan sebagai definisi agama kita. [3]Al Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,اشتغل هذا الحديث على جميع وظائف العبادات الظاهرة و الباطنة من عقود الإيمان ابتداء و حالا و من أعمال الجوارح، و من إخلاص السرائر و التحافظ من آفات الأعمال، حتى إن علوم الشريعة كلها راجعة إليه و متشعبة منه“Hadis ini mencakup seluruh aspek ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mulai dari akidah keimanan — baik pada awalnya maupun dalam keadaan berlangsung — hingga amal perbuatan anggota badan, juga mencakup keikhlasan dalam batin serta penjagaan dari penyakit-penyakit amal. Bahkan seluruh ilmu syariat kembali padanya dan bercabang darinya.” [4]Faidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBahwa beliau duduk bersama para sahabatnya dan mereka duduk bersama beliau. Beliau tidak menyendiri di atas mereka dan merasa di atas para sahabat. Ketahuilah bahwa setiap kali engkau merendahkan diri karena Allah, maka dengan itu engkau akan semakin tinggi derajatnya. Karena barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. [5]Malaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaDalam hadis ini terdapat petunjuk bahwasannya malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia. Sebagaimana malaikat Jibril berubah menjadi seorang laki-laki di kisah dalam hadis ini.Adab ketika menuntut ilmuSalah satu adab yang dicontohkan langsung oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dalam hadits tersebut adalah memperindah pakaian dan penampilan dan menjaga kebersihan ketika hendak menuntut ilmu dan bertemu dengan guru. [6]Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mencontohkan cara duduk ketika hendak mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu. Cara duduk seperti itu adalah cara duduk orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang memusatkan pikirannya untuk mengambil manfaat. Dari sini dapat diambil pelajaran: bahwa seorang penuntut ilmu yang ingin mengambil manfaat duduk bersama gurunya dengan cara duduk seperti ini, karena lebih beradab, menguatkan konsentrasi dan lebih banyak mendapatkan ilmu. [7]Salah satu adab dalam menuntut ilmu juga adalah tidak mengatakan sesuatu ilmu yang ia tidak ketahui, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal-hal yang ia tidak ketahui kepada orang yang berilmu.Islam, iman, dan ihsanDalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun Islam, di antaranya:Syahadat;Salat;Zakat;Puasa RamadanHaji ke Baitullah.Penjelasan tentang rukun Islam insyaaAllah akan di bahas di artikel penjelasan hadis ketiga dari Arba’in An Nawawiyah.Dalam hadis ini pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun iman, yaitu:Iman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada Alla ‘Azza wa Jalla adalah meyakini dengan sepenuh hati dan kepercayaan yang teguh akan keberadaan Allah Ta‘ala, serta terhadap segala sesuatu yang wajib bagi-Nya, Subhanahu wa Ta‘ala. Iman kepada Allah Ta‘ala terwujud melalui beberapa hal:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala Maha Esa dalam mencipta, memiliki, dan mengatur seluruh urusan secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu; tidak ada yang turut mengatur bersama-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalangi ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan urusan (segala sesuatu). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A‘raf: 54)Kedua: Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), dan dalam hadis yang sahih dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa nama-nama Allah yang indah (al-asma’ al-ḥusna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur (ash-shifat al-‘ula), dengan cara yang layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta‘thil (menolak atau meniadakan), tanpa takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari hewan ternak juga pasangan-pasangan; dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Maka kewajiban kita terhadap nash-nash tentang nama dan sifat Allah adalah sebagai berikut:1) Menerima lafaz-lafaznya, beriman kepadanya, menerima dengan penuh ketundukan, serta meyakini makna dan hukum yang dikandungnya.2) Memahami teks-teks tersebut sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya, bukan dengan makna yang menyimpang atau ditakwilkan tanpa dasar.3) Menyucikan Allah Ta‘ala dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk, serta menafikan dari-Nya segala sifat kekurangan, aib, dan cela, dan berlepas diri dari dua golongan yang sesat:a) Golongan mu‘aththilah, yaitu yang menolak atau meniadakan sifat Allah.b) Golongan mumatsilah, yaitu yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.4) Memuji Allah Ta‘ala dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi.Ketiga: Meyakini bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya Tuhan yang benar, yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Maka tidak sepantasnya ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, dan tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah kecuali Dia semata.Kita wajib mengikhlaskan seluruh bentuk ketaatan hanya kepada Allah, dengan cara yang telah Dia syariatkan, serta menaati dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Dan wajib pula meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan bid‘ah dalam beribadah. [8]Iman kepada malaikatIman kepada malaikat adalah meyakini keberadaan mereka dengan keyakinan yang pasti, tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah Ta‘ala berfirman,آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)Barang siapa mengingkari keberadaan malaikat, maka ia telah kafir, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)Ahlus Sunnah wal Jama‘ah beriman kepada malaikat secara umum dan secara rinci. Secara umum, mereka meyakini bahwa malaikat benar-benar ada. Sedangkan secara rinci, mereka beriman kepada malaikat yang disebutkan secara khusus dalam dalil yang sahih, yaitu yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:Jibril ‘alaihis-salam: bertugas menyampaikan wahyu.Mikail ‘alaihis-salam: bertugas mengatur turunnya hujan.Israfil ‘alaihis-salam: bertugas meniup sangkakala.Malaikat Maut: bertugas mencabut nyawa.Malik: penjaga neraka.Riḍwan: penjaga surga.Munkar dan Nakir: dua malaikat yang bertugas menanyai manusia di alam kubur.Ahlus Sunnah wal Jama‘ah meyakini keberadaan para malaikat, bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang diciptakan, tidak memiliki sifat ketuhanan. Allah menciptakan mereka dari cahaya, dan mereka memiliki wujud yang nyata, bukan sekadar makna abstrak atau kekuatan gaib semata.Mereka adalah makhluk ciptaan Allah, yang bertempat di langit, dan memiliki bentuk yang sangat agung.Di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak dari itu. Terdapat dalam hadis yang sahih bahwa Jibril ‘alaihis-salam memiliki enam ratus sayap.Para malaikat adalah pasukan Allah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menjelma dalam berbagai bentuk fisik, sesuai dengan keadaan yang Allah izinkan. Mereka adalah makhluk yang dekat dan dimuliakan oleh Allah. Mereka tidak memiliki jenis kelamin, tidak menikah, dan tidak berketurunan. Para malaikat tidak makan dan tidak minum, karena makanan mereka adalah tasybih (memuji Allah) dan tahlil (mengucap laa ilaaha illallah). Mereka tidak pernah merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berhenti beribadah kepada Allah. Mereka juga dikenal memiliki sifat keindahan, kesempurnaan, rasa malu, serta keteraturan dalam ketaatan kepada Allah. [9]Iman kepada kitab-kitab AllahMakna iman kepada kitab-kitab Allah adalah:1) Meyakini dengan pasti bahwa seluruh kitab itu diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-rasul-Nya, untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran dan petunjuk.2) Meyakini bahwa kitab-kitab itu adalah kalam (firman) Allah, bukan ucapan makhluk. Bahwa Allah benar-benar berbicara dengan kitab-kitab tersebut secara hakiki, sesuai dengan kehendak dan kebesaran-Nya, dengan cara yang Dia inginkan.Di antara kitab-kitab itu, ada yang Allah sampaikan langsung tanpa perantara, dari balik tabir, dan ada pula yang Allah sampaikan melalui malaikat pembawa wahyu untuk kemudian disampaikan kepada rasul manusia.Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ“Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul (malaikat) lalu menyampaikan wahyu dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51) [10]Iman kepada rasul-rasul AllahMakna iman kepada Rasul adalah sebagai berikut:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, yang menyeru mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (segala yang disembah selain Allah).’” (QS. An-Naḥl: 36)Kedua: Beriman kepada para rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Mereka berjumlah dua puluh lima Nabi dan Rasul, semoga selawat dan salam Allah terlimpahkan atas mereka semuanya. Dan juga beriman kepada rasul-rasul lain yang tidak disebutkan namanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (wahai Muhammad); di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)Ketiga: Beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا“Muhammad itu bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)Keempat: Meyakini bahwa para rasul semuanya telah menyampaikan seluruh risalah yang Allah perintahkan kepada mereka. Mereka tidak menyembunyikan satu huruf pun, tidak mengubah isinya, tidak menambah dari diri mereka sendiri, dan tidak menguranginya sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ“Maka tidak ada kewajiban para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Naḥl: 35) [11]Iman kepada hari kiamatIman kepada hari akhir ialah meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah telah menentukan satu waktu di mana Dia akan mengakhiri kehidupan dunia ini.Ada pula yang menjelaskan secara lebih global, bahwa iman kepada hari akhir berarti: meyakini seluruh hal yang telah diberitakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadisnya, tentang segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti: fitnah (ujian) dan azab kubur, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan manusia (ḥasyr), pembagian catatan amal (ṣuḥuf), perhitungan amal (ḥisab), timbangan amal (mizan), telaga Nabi (ḥauḍ), jembatan di atas neraka (ṣiraṭ), syafaat (pertolongan), surga, dan neraka, serta segala yang telah Allah sediakan bagi masing-masing penghuninya. [12]Iman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukSecara bahasa, kata “القضاء” (qadha’) memiliki makna yang berkisar pada menetapkan sesuatu dengan sempurna dan menyelesaikan urusan.Dalam Al-Qur’an, kata qadha’ digunakan dalam banyak makna seperti: perintah, penyelesaian, keputusan, penetapan, pemberitahuan, pelaksanaan, dan juga kematian.Sedangkan “القدر” (qadar) secara bahasa bermakna penetapan dan keputusan, juga bisa berarti kekuatan atau kemampuan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala,لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ“Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan wanita yang belum kamu sentuh dan belum kamu tetapkan maharnya. Hendaklah kamu memberikan mut‘ah (pemberian) kepada mereka; bagi yang mampu menurut kemampuannya (qadruhu), dan bagi yang miskin menurut kemampuannya (qadruhu), sebagai pemberian yang patut, suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)Dari ayat ini, terlihat bahwa kata qadar juga bermakna tingkat kemampuan atau ukuran. Selain itu, qadar juga bisa berarti pembatasan atau penyempitan (tadhyiq).Secara istilah (syar‘i), qadha’ dan qadar adalah: penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ala terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, serta ilmu-Nya yang meliputi bahwa semua itu akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan, dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan.Allah telah menulisnya dalam Lauhul Mahfuz, menetapkan terjadinya sesuai kehendak-Nya, dan segala sesuatu terjadi sebagaimana yang telah Dia takdirkan dan ciptakan.Ada pula ulama yang mendefinisikan: “Qadha dan qadar adalah penciptaan Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuan tertentu, pada bentuk dan keadaan sebagaimana yang telah diketahui-Nya sebelumnya, dan sebagaimana yang telah tertulis oleh pena (qalam).”[13]Sedangkan ihsan adalah melaksanakan amalan dengan sebaik-baiknya secara lahir dan batin. Adapun secara lahir adalah dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesempurna mungkin. Dan secara batin adalah dengan sesempurna mungkin ikhlas karena Allah dalam beramal.Ihsan lebih khusus daripada iman, dan iman lebih khusus daripada Islam. Maka inilah tiga perkara agama: Islam, iman, dan ihsan. [14]Hari kiamat dan tandanyaBahwasannya tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang mengetahui kapan kiamat itu ditegakkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril ‘alaihissalam yang merupakan manusia dan malaikat terbaik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Di antara tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam hadis adalah terbaliknya urusan atau perkara, yakni berubahnya keadaan dari yang seharusnya dan bermegah-megahan (berbangga diri) dalam mempertinggi bangunan, yaitu berlomba-lomba membangun gedung tinggi untuk kebanggaan, bukan kebutuhan. [15]و الله تعالى أعلم بالصوابKembali ke bagian 2***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.[2] Syarh Al-Arba’in An Nawawiyah Al-Mukhtasor, hal. 21-22.[3] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 75.[4] Fathul Bari’, 1: 166.[5] Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 77.[6] Al-Wajiz Al-Mukhtashor fii Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 4.[7] Syarh Al -Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, hal. 181-182.[8] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/102420/[9] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/66304/[10] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/83775/[11] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/113508/[12] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69249/[13] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69562/[14] Ibid, hal. 192 diringkas oleh penulis.[15] Op. cit, hal. 4.


Daftar Isi TogglePenjelasanFaidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamMalaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaAdab ketika menuntut ilmuIslam, iman, dan ihsanIman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada malaikatIman kepada kitab-kitab AllahIman kepada rasul-rasul AllahIman kepada hari kiamatIman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukHari kiamat dan tandanyaعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللّٰهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْDari Umar radhiyallahu ‘anhu juga, ia berkata,Suatu hari, ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada kami. Pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bepergian, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Umar berkata, “Kami pun heran, ia yang bertanya namun ia pula yang membenarkan.”Lalu laki-laki itu berkata, “Beritahulah aku tentang iman.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, baik dan buruknya.”Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang ihsan.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang kapan terjadinya kiamat.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”Lalu ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang tanda-tandanya.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang miskin yang tak beralas kaki, tak berpakaian, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.”Lalu laki-laki itu pun pergi. Aku (Umar) pun diam cukup lama. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang tadi bertanya itu?”Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [1]PenjelasanAn-Nawawi rahimahullah memulai dengan hadis pertama dari Shahih Bukhari (Innamal a’malu binniyyat) dan menjadikan hadis Jibril ini (yang merupakan hadis pertama dalam Shahih Muslim) sebagai hadis kedua dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah. Telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu makna yang serupa dengan hadis ini. Namun, penulis memilih hadis Umar karena ia adalah hadis pertama dalam Shahih Muslim, dan di dalamnya terdapat makna-makna yang tidak terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu adalah saksi dan hadir langsung terhadap peristiwa tersebut, tidak seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang tidak menyebutkan bahwa ia hadir secara langsung. [2]Hadis ini adalah hadis yang sangat agung, mencakup penjelasan tentang seluruh agama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada akhir hadis ini, “Sesungguhnya Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” Setelah menjelaskan tingkatan Islam, iman, dan ihsan, maka keseluruhan itu dijadikan sebagai definisi agama kita. [3]Al Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,اشتغل هذا الحديث على جميع وظائف العبادات الظاهرة و الباطنة من عقود الإيمان ابتداء و حالا و من أعمال الجوارح، و من إخلاص السرائر و التحافظ من آفات الأعمال، حتى إن علوم الشريعة كلها راجعة إليه و متشعبة منه“Hadis ini mencakup seluruh aspek ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mulai dari akidah keimanan — baik pada awalnya maupun dalam keadaan berlangsung — hingga amal perbuatan anggota badan, juga mencakup keikhlasan dalam batin serta penjagaan dari penyakit-penyakit amal. Bahkan seluruh ilmu syariat kembali padanya dan bercabang darinya.” [4]Faidah hadisKetawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBahwa beliau duduk bersama para sahabatnya dan mereka duduk bersama beliau. Beliau tidak menyendiri di atas mereka dan merasa di atas para sahabat. Ketahuilah bahwa setiap kali engkau merendahkan diri karena Allah, maka dengan itu engkau akan semakin tinggi derajatnya. Karena barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. [5]Malaikat bisa berubah wujud menjadi manusiaDalam hadis ini terdapat petunjuk bahwasannya malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia. Sebagaimana malaikat Jibril berubah menjadi seorang laki-laki di kisah dalam hadis ini.Adab ketika menuntut ilmuSalah satu adab yang dicontohkan langsung oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dalam hadits tersebut adalah memperindah pakaian dan penampilan dan menjaga kebersihan ketika hendak menuntut ilmu dan bertemu dengan guru. [6]Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mencontohkan cara duduk ketika hendak mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu. Cara duduk seperti itu adalah cara duduk orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang memusatkan pikirannya untuk mengambil manfaat. Dari sini dapat diambil pelajaran: bahwa seorang penuntut ilmu yang ingin mengambil manfaat duduk bersama gurunya dengan cara duduk seperti ini, karena lebih beradab, menguatkan konsentrasi dan lebih banyak mendapatkan ilmu. [7]Salah satu adab dalam menuntut ilmu juga adalah tidak mengatakan sesuatu ilmu yang ia tidak ketahui, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal-hal yang ia tidak ketahui kepada orang yang berilmu.Islam, iman, dan ihsanDalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun Islam, di antaranya:Syahadat;Salat;Zakat;Puasa RamadanHaji ke Baitullah.Penjelasan tentang rukun Islam insyaaAllah akan di bahas di artikel penjelasan hadis ketiga dari Arba’in An Nawawiyah.Dalam hadis ini pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun iman, yaitu:Iman kepada Allah ‘Azza wa JallaIman kepada Alla ‘Azza wa Jalla adalah meyakini dengan sepenuh hati dan kepercayaan yang teguh akan keberadaan Allah Ta‘ala, serta terhadap segala sesuatu yang wajib bagi-Nya, Subhanahu wa Ta‘ala. Iman kepada Allah Ta‘ala terwujud melalui beberapa hal:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala Maha Esa dalam mencipta, memiliki, dan mengatur seluruh urusan secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu; tidak ada yang turut mengatur bersama-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalangi ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan urusan (segala sesuatu). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A‘raf: 54)Kedua: Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), dan dalam hadis yang sahih dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa nama-nama Allah yang indah (al-asma’ al-ḥusna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur (ash-shifat al-‘ula), dengan cara yang layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta‘thil (menolak atau meniadakan), tanpa takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ“(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari hewan ternak juga pasangan-pasangan; dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)Maka kewajiban kita terhadap nash-nash tentang nama dan sifat Allah adalah sebagai berikut:1) Menerima lafaz-lafaznya, beriman kepadanya, menerima dengan penuh ketundukan, serta meyakini makna dan hukum yang dikandungnya.2) Memahami teks-teks tersebut sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya, bukan dengan makna yang menyimpang atau ditakwilkan tanpa dasar.3) Menyucikan Allah Ta‘ala dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk, serta menafikan dari-Nya segala sifat kekurangan, aib, dan cela, dan berlepas diri dari dua golongan yang sesat:a) Golongan mu‘aththilah, yaitu yang menolak atau meniadakan sifat Allah.b) Golongan mumatsilah, yaitu yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.4) Memuji Allah Ta‘ala dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi.Ketiga: Meyakini bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya Tuhan yang benar, yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Maka tidak sepantasnya ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, dan tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah kecuali Dia semata.Kita wajib mengikhlaskan seluruh bentuk ketaatan hanya kepada Allah, dengan cara yang telah Dia syariatkan, serta menaati dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Dan wajib pula meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan bid‘ah dalam beribadah. [8]Iman kepada malaikatIman kepada malaikat adalah meyakini keberadaan mereka dengan keyakinan yang pasti, tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah Ta‘ala berfirman,آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)Barang siapa mengingkari keberadaan malaikat, maka ia telah kafir, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)Ahlus Sunnah wal Jama‘ah beriman kepada malaikat secara umum dan secara rinci. Secara umum, mereka meyakini bahwa malaikat benar-benar ada. Sedangkan secara rinci, mereka beriman kepada malaikat yang disebutkan secara khusus dalam dalil yang sahih, yaitu yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:Jibril ‘alaihis-salam: bertugas menyampaikan wahyu.Mikail ‘alaihis-salam: bertugas mengatur turunnya hujan.Israfil ‘alaihis-salam: bertugas meniup sangkakala.Malaikat Maut: bertugas mencabut nyawa.Malik: penjaga neraka.Riḍwan: penjaga surga.Munkar dan Nakir: dua malaikat yang bertugas menanyai manusia di alam kubur.Ahlus Sunnah wal Jama‘ah meyakini keberadaan para malaikat, bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang diciptakan, tidak memiliki sifat ketuhanan. Allah menciptakan mereka dari cahaya, dan mereka memiliki wujud yang nyata, bukan sekadar makna abstrak atau kekuatan gaib semata.Mereka adalah makhluk ciptaan Allah, yang bertempat di langit, dan memiliki bentuk yang sangat agung.Di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak dari itu. Terdapat dalam hadis yang sahih bahwa Jibril ‘alaihis-salam memiliki enam ratus sayap.Para malaikat adalah pasukan Allah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menjelma dalam berbagai bentuk fisik, sesuai dengan keadaan yang Allah izinkan. Mereka adalah makhluk yang dekat dan dimuliakan oleh Allah. Mereka tidak memiliki jenis kelamin, tidak menikah, dan tidak berketurunan. Para malaikat tidak makan dan tidak minum, karena makanan mereka adalah tasybih (memuji Allah) dan tahlil (mengucap laa ilaaha illallah). Mereka tidak pernah merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berhenti beribadah kepada Allah. Mereka juga dikenal memiliki sifat keindahan, kesempurnaan, rasa malu, serta keteraturan dalam ketaatan kepada Allah. [9]Iman kepada kitab-kitab AllahMakna iman kepada kitab-kitab Allah adalah:1) Meyakini dengan pasti bahwa seluruh kitab itu diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-rasul-Nya, untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran dan petunjuk.2) Meyakini bahwa kitab-kitab itu adalah kalam (firman) Allah, bukan ucapan makhluk. Bahwa Allah benar-benar berbicara dengan kitab-kitab tersebut secara hakiki, sesuai dengan kehendak dan kebesaran-Nya, dengan cara yang Dia inginkan.Di antara kitab-kitab itu, ada yang Allah sampaikan langsung tanpa perantara, dari balik tabir, dan ada pula yang Allah sampaikan melalui malaikat pembawa wahyu untuk kemudian disampaikan kepada rasul manusia.Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ“Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul (malaikat) lalu menyampaikan wahyu dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51) [10]Iman kepada rasul-rasul AllahMakna iman kepada Rasul adalah sebagai berikut:Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, yang menyeru mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (segala yang disembah selain Allah).’” (QS. An-Naḥl: 36)Kedua: Beriman kepada para rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Mereka berjumlah dua puluh lima Nabi dan Rasul, semoga selawat dan salam Allah terlimpahkan atas mereka semuanya. Dan juga beriman kepada rasul-rasul lain yang tidak disebutkan namanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (wahai Muhammad); di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)Ketiga: Beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا“Muhammad itu bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)Keempat: Meyakini bahwa para rasul semuanya telah menyampaikan seluruh risalah yang Allah perintahkan kepada mereka. Mereka tidak menyembunyikan satu huruf pun, tidak mengubah isinya, tidak menambah dari diri mereka sendiri, dan tidak menguranginya sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ“Maka tidak ada kewajiban para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Naḥl: 35) [11]Iman kepada hari kiamatIman kepada hari akhir ialah meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah telah menentukan satu waktu di mana Dia akan mengakhiri kehidupan dunia ini.Ada pula yang menjelaskan secara lebih global, bahwa iman kepada hari akhir berarti: meyakini seluruh hal yang telah diberitakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadisnya, tentang segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti: fitnah (ujian) dan azab kubur, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan manusia (ḥasyr), pembagian catatan amal (ṣuḥuf), perhitungan amal (ḥisab), timbangan amal (mizan), telaga Nabi (ḥauḍ), jembatan di atas neraka (ṣiraṭ), syafaat (pertolongan), surga, dan neraka, serta segala yang telah Allah sediakan bagi masing-masing penghuninya. [12]Iman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang burukSecara bahasa, kata “القضاء” (qadha’) memiliki makna yang berkisar pada menetapkan sesuatu dengan sempurna dan menyelesaikan urusan.Dalam Al-Qur’an, kata qadha’ digunakan dalam banyak makna seperti: perintah, penyelesaian, keputusan, penetapan, pemberitahuan, pelaksanaan, dan juga kematian.Sedangkan “القدر” (qadar) secara bahasa bermakna penetapan dan keputusan, juga bisa berarti kekuatan atau kemampuan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala,لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ“Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan wanita yang belum kamu sentuh dan belum kamu tetapkan maharnya. Hendaklah kamu memberikan mut‘ah (pemberian) kepada mereka; bagi yang mampu menurut kemampuannya (qadruhu), dan bagi yang miskin menurut kemampuannya (qadruhu), sebagai pemberian yang patut, suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)Dari ayat ini, terlihat bahwa kata qadar juga bermakna tingkat kemampuan atau ukuran. Selain itu, qadar juga bisa berarti pembatasan atau penyempitan (tadhyiq).Secara istilah (syar‘i), qadha’ dan qadar adalah: penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ala terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, serta ilmu-Nya yang meliputi bahwa semua itu akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan, dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan.Allah telah menulisnya dalam Lauhul Mahfuz, menetapkan terjadinya sesuai kehendak-Nya, dan segala sesuatu terjadi sebagaimana yang telah Dia takdirkan dan ciptakan.Ada pula ulama yang mendefinisikan: “Qadha dan qadar adalah penciptaan Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuan tertentu, pada bentuk dan keadaan sebagaimana yang telah diketahui-Nya sebelumnya, dan sebagaimana yang telah tertulis oleh pena (qalam).”[13]Sedangkan ihsan adalah melaksanakan amalan dengan sebaik-baiknya secara lahir dan batin. Adapun secara lahir adalah dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesempurna mungkin. Dan secara batin adalah dengan sesempurna mungkin ikhlas karena Allah dalam beramal.Ihsan lebih khusus daripada iman, dan iman lebih khusus daripada Islam. Maka inilah tiga perkara agama: Islam, iman, dan ihsan. [14]Hari kiamat dan tandanyaBahwasannya tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang mengetahui kapan kiamat itu ditegakkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril ‘alaihissalam yang merupakan manusia dan malaikat terbaik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Di antara tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam hadis adalah terbaliknya urusan atau perkara, yakni berubahnya keadaan dari yang seharusnya dan bermegah-megahan (berbangga diri) dalam mempertinggi bangunan, yaitu berlomba-lomba membangun gedung tinggi untuk kebanggaan, bukan kebutuhan. [15]و الله تعالى أعلم بالصوابKembali ke bagian 2***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.[2] Syarh Al-Arba’in An Nawawiyah Al-Mukhtasor, hal. 21-22.[3] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 75.[4] Fathul Bari’, 1: 166.[5] Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 77.[6] Al-Wajiz Al-Mukhtashor fii Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 4.[7] Syarh Al -Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, hal. 181-182.[8] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/102420/[9] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/66304/[10] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/83775/[11] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/113508/[12] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69249/[13] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69562/[14] Ibid, hal. 192 diringkas oleh penulis.[15] Op. cit, hal. 4.

Doa untuk Buah Hati, Metode Pengasuhan Para Nabi

الدعاء للأبناء منهج الأنبياء روى الذهبي في كتابه العظيم “سير أعلام النبلاء” في ترجمة سليم بن أيوب الرازي (13/ 265)، ما حكاه سليم عن نفسه: أنه ذهب وهو صغير إلى الملقن (المحفظ) ليحفظه القرآن، فطلب منه أن يقرأ الفاتحة، قال فعجزت لعجمة لساني، فقال لي الملقن: هل لك من أم؟ قلت: نعم. قال فاسألها أن تدعو لك أن يحفظك الله القرآن ويعلمك العلم.. فرجعت إلى أمي فسألتها ذلك.. فدعت لي. فيسر الله تعالى له أن يدخل بغداد فيتعلم العربية ويحفظ القرآن والحديث، ويتفقه على علماء الشافعية في العراق، حتى برز وصار إماما، ثم رجع إلى بلاده فجلس يعلم الناس.. Adz-Dzahabi dalam kitab agungnya Siyar A’lam An-Nubala meriwayatkan biografi Salim bin Ayyub Ar-Razi (jilid 13 hlm. 265) yang disampaikan sendiri oleh Salim bahwa beliau semasa kecil pernah pergi ke guru ngajinya untuk menghafal Al-Qur’an. Guru itu lalu memintanya untuk membaca Al-Fatihah. Salim menceritakan, “Tapi saya tidak bisa karena lisanku yang tidak terbiasa dengan Bahasa Arab. Guru itu lalu bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu masih punya ibu?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Sang guru berkata, ‘Mintalah kepadanya agar berdoa untukmu supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuatmu hafal Al-Qur’an dan mengajarkanmu ilmu.’ Saya pun pulang menemui ibu dan meminta beliau hal tersebut, dan beliau pun mendoakanku.” Setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan untuk berpindah ke Baghdad, sehingga bisa belajar Bahasa Arab, menghafal Al-Qur’an dan hadis, dan mendalami ilmu di bawah bimbingan para ulama mazhab Syafi’i di Irak, hingga beliau terlihat menonjol dalam ilmunya dan menjadi seorang ulama besar. Beliau kemudian pulang ke negerinya dan membuka majelis untuk mengajarkan ilmunya kepada orang-orang. الأبناء هم قرة العيون، وبهجة النفوس.. وهم زينة الحياة، ومنة الإله (المال والبنون زينة الحياة الدنيا)(الكهف:46).. وكلنا يسعى في تربية ولده وصلاحه، ولا تتم لنا سعادة حتى نراهم صالحين مطيعين لربهم نافعين لأنفسهم ودينهم وأوطانهم. وإن من أعظم أسباب صلاح الذرية ـ بعد الأخذ بالأسباب المادية ـ كثرة الدعاء لهم والتضرع إلى الله ليصلحهم. Anak-anak merupakan penyejuk hati dan penghibur jiwa. Mereka adalah perhiasan hidup dan karunia Sang Kuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46). Kita semua pasti berusaha mendidik anaknya dan menjadikannya saleh. Kebahagiaan kita tidak akan sempurna hingga kita dapat melihat mereka menjadi orang-orang saleh, taat kepada Tuhan mereka, dan bermanfaat bagi diri, agama, dan negara mereka.  Di antara faktor terbesar untuk keshalehan anak – setelah memenuhi faktor-faktor yang bersifat materi – adalah banyak mendoakan mereka dan bersimpuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan mereka. منهج الأنبياء وهذا الدعاء للأبناء هو منهج السادة الأنبياء عليهم صلوات الله وسلامه، وهم أعلم الناس بطرق التربية الصحيحة، وأحرص الناس على أولادهم وما يصلحهم.. وقد كانوا صلوات الله عليهم يدعون الله لأبنائهم بالصلاح قبل ولادتهم وبعدها. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو الله ويقول: (رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ)(الصافات:100). وزكريا يدعو بعد أن كبرت سنه وامرأته عاقر: {رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ}(آل عمران:38). وهو القائل: (فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا)(مريم:5، 6). والوراثة هنا وراثة النبوة والدعوة وليست وراثة المال وحمل الاسم، لأن الأنبياء لا يورثون كما قال صلى الله عليه وسلم: (نحنُ معشرَ الأنبياءِ لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ) وهو في البداية والنهاية، وأصله في صحيح مسلم قال: (لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ). Metode para Nabi Doa untuk anak merupakan metode para Nabi Alaihimus shalatu wassalam, sedangkan mereka adalah manusia yang paling paham terhadap metode-metode pengasuhan yang benar, dan orang-orang yang paling peduli terhadap anak-anak dan kesalehan mereka. Dulu para Nabi Shalawatullahi ‘alaihim berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan anak-anak mereka sejak sebelum mereka lahir dan juga setelahnya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengucapkan: رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100). رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38). فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا “Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub, serta jadikanlah dia – wahai Tuhanku – seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 5-6). Yang dimaksud dengan mewarisi dalam ayat ini adalah mewarisi kenabian dan dakwah, bukan mewarisi harta dan nama, karena para Nabi tidak mewariskan harta kepada keluarganya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami para Nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Hadis ini disebutkan dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah tapi bersumber dari Shahih Muslim yang berbunyi: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” (HR. Muslim). وامرأة عمران رضي الله عنها لما علمت أنها حملت دعت ربها سبحانه وقالت: (رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)(آل عمران:35). فاستجاب الله دعاءهم، ووهبهم الذرية الطيبة.. فهل توقفوا عن الدعاء لهم؟ لا. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو لأولاده ويقول: (وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ)(إبراهيم:35)، ودعا لهم أيضا بقوله: (رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ)(إبراهيم:40). ولما وضعهم عند البيت دعا ربه بالدعاء المشهور: (رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ)(إبراهيم:37). فدعا لهم بصلاح الدين، وسعة الرزق، ومحبة الخلق، وأن يكونوا من الشاكرين. Istri Imran Radhiyallahu ‘anha setelah mengetahui bahwa ia sedang hamil, segera berdoa kepada Tuhannya dengan berucap: رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitul Maqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 35).  Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa mereka dan mengaruniakan kepada mereka keturunan yang baik, tapi apakah itu membuat mereka berhenti berdoa untuk anak-anak mereka? Tidak! Inilah Nabi Ibrahim Alaihissalam, beliau berdoa untuk anak-anaknya dengan mengucapkan: وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Juga berdoa untuk mereka dengan mengucapkan: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40).  Lalu ketika beliau menempatkan mereka di Baitullah, beliau berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang terkenal: رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Beliau berdoa untuk anak keturunan beliau agar menjadi orang-orang yang saleh dalam beragama, luas rezeki, dicintai para makhluk, dan termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur. وامرأة عمران لما وضعت وخرج المولود أنثى، لم يمنعها ذلك أن تَهَبَها لخدمة بيت المقدس، وأن تدعوَ ربها ليحفظها ويُنبتَها نباتًا حسنًا، بل دَعَتْ بما هو أكبر من ذلك؛ فقالت: (وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)(آل عمران:36). فكانت ثمرة هذه الأدعية ما تعلمون. Demikian juga istri Imran, ketika melahirkan anak perempuan, itu tidak menghalanginya untuk mempersembahkan anak itu untuk berkhidmah pada Baitul Maqdis, dan berdoa kepada Tuhannya agar Dia menjaga anak itu dan menumbuhkannya dengan baik. Bahkan juga berdoa untuknya dengan doa yang jauh lebih besar daripada itu semua melalui ucapannya: وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36). Dan hasil dari doa ini sebagaimana yang telah kalian semua ketahui. النبي يعلم أمته وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ـ وهو سيد النبيين ـ يعلم أمته هذا الأمر، فيأمرهم بالدعاء لذرياتهم قبل مجيئهم وبعد أن يرزقهم الله إياهم. روى البخاري في صحيحه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا). Nabi mengajarkan umatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam – sebagai penghulu para Nabi – mengajarkan umatnya perkara ini, beliau memerintahkan mereka untuk berdoa bagi kebaikan anak keturunan mereka sebelum anak-anak itu benar-benar lahir ke dunia dan setelah benar-benar dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka. Diriwayatkan dari Al-Bukhari dalam Ash-Shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا “Seandainya ada salah satu dari mereka ketika menggauli istrinya, mengucapkan: ‘Bismillah, Allahumma jannibnisy syaithon, wa jannibisy syaithona ma rozaqtana’ (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami), lalu ditakdirkan bagi mereka anak dari hal itu, niscaya setan tidak akan mampu mendatangkan mudharat terhadap anak itu selamanya.”  وكان صلى الله عليه وسلم يأمر المسلمين بأن يكثروا من الدعاء لأولادهم، ويعلمهم أن دعوة الوالد لولده مستجابة لا ترد: (ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ)(البيهقي وحسنه الألباني). وكان هو عليه صلوات الله وسلامه يدعو لأحفاده، الحسن والحسين ويعوذهما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk memperbanyak doa untuk kebaikan anak mereka. Beliau mengajarkan kepada mereka bahwa doa orang tua bagi anaknya adalah doa yang makbul, tidak tertolak: ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ “Ada tiga doa yang tidak tertolak, doa orang tua bagi anaknya, doa orang berpuasa, dan doa orang yang sedang bepergian jauh.” (HR. Al-Baihaqi, dan dihasankan Al-Albani). Dulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam berdoa untuk cucu beliau, Hasan dan Husain, juga memohon perlindungan bagi mereka berdua dengan Kalimat-Kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sempurna dari setiap setan, binatang-binatang kecil yang berbahaya, dan setiap pandangan mata yang dengki. سبيل المؤمنين والدعاء للأبناء كما أنه منهج الأنبياء الكرام كذلك هو منهج عباد الرحمن؛ فقد وصفهم الله تعالى بذلك فقال: (وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)(الفرقان:74). قال أهل التفسير: “يسألون الله أن يخرج من أصلابهم من يوحد الله ويعبده ويعمل بطاعته، فتقر به أعينهم في الدنيا والآخرة”. قال عكرمة: “لم يريدوا بذلك صباحة ولا جمالا، ولكن أرادوا أن يكونوا مطيعين”. وفي سورة الأحقاف حكاية عن المؤمنين قولهم: (رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)(الأحقاف:15). Jalan hidup orang-orang beriman Doa untuk anak-anak yang merupakan metode para Nabi yang mulia, juga merupakan metode para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang beriman. Allah Ta’ala menyebutkan sifat mereka dengan berfirman:  وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan mereka adalah orang-orang yang berkata, ‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Al-Furqan: 74). Para ulama tafsir menjelaskan: “Yakni mereka memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang-orang yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beribadah kepada-Nya, dan menjalankan ketaatan-Nya, sehingga hati mereka merasa damai di dunia dan akhirat.” Ikrimah mengatakan, “Dengan doa itu, mereka tidak sekedar ingin kecantikan atau ketampanan (pada anak keturunan mereka), tapi mereka ingin agar mereka menjadi orang-orang yang taat.” Dalam surat Al-Ahqaf juga disebutkan doa orang-orang beriman: رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15). الفضيل وابنه كان الفضيل بن عياض سيدا من سادات هذه الأمة، وكان كثيرا ما يدعو الله لابنه علي ويقول: “اللهم إني اجتهدت في تربية علي فلم أقدر.. فربه أنت لي”.. فما زال يدعو حتى قال عبد الله بن المبارك رحمه الله: “خير الناس الفضيل بن عياض، وخير منه ابنه علي”. وقال سفيان بن عيينة: “ما رأيت أحدا أخوف من الفضيل وابنه”. فدعوة الوالدين لها دور كبير في صلاح الأولاد، فلنكثر من الدعاء لأبنائنا؛ فكم من دعوة يسرت عسيرا، وفتحت مغلقا. وكم من دعوة ردت شاردا، وقربت بعيدا، وأصلحت فاسدا، وهدت ضالا. وكم من دعوة دعا بها أب لابنه فسعد بها الابن، وسعد به أبوه في الدنيا والآخرة. فاللهم هب لنا من لدنك ذرية طيبة إنك سميع الدعاء، {رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}. Kisah Fudhail dengan anaknya Dulu Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ulama besar umat ini. Beliau sering kali berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kebaikan anaknya yang bernama Ali dengan mengucapkan: “Ya Allah! Sungguh saya telah berusaha keras untuk mendidiknya, tapi saya tidak juga mampu, maka didiklah dia untukku.” Beliau senantiasa mengucapkan doa ini, hingga Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah mengatakan, “Manusia terbaik (di masanya) adalah Fudhail bin Iyadh, dan yang lebih baik lagi adalah anaknya, Ali.” Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada Fudhail dan anaknya.” Doa kedua orang tua memiliki peran besar terhadap kesalehan anak-anak. Oleh sebab itu, hendaklah kita memperbanyak doa bagi mereka. Betapa banyak doa yang mengubah kesulitan menjadi kemudahan dan membuka yang tertutup! Betapa banyak doa yang memulangkan sesuatu yang hilang, mendekatkan hal yang jauh, memperbaiki yang rusak, dan mendatangkan petunjuk bagi yang tersesat! Betapa banyak doa yang diucapkan oleh ayah untuk anaknya, sehingga anak itu sekarang menjadi bahagia karena doa tersebut, lalu dengan itu ayahnya juga menjadi bahagia di dunia dan akhirat! Ya Allah, karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengarkan doa. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/236383/الدعاء-للأبناء-منهج-الأنبياء Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 82 times, 1 visit(s) today Post Views: 47 QRIS donasi Yufid

Doa untuk Buah Hati, Metode Pengasuhan Para Nabi

الدعاء للأبناء منهج الأنبياء روى الذهبي في كتابه العظيم “سير أعلام النبلاء” في ترجمة سليم بن أيوب الرازي (13/ 265)، ما حكاه سليم عن نفسه: أنه ذهب وهو صغير إلى الملقن (المحفظ) ليحفظه القرآن، فطلب منه أن يقرأ الفاتحة، قال فعجزت لعجمة لساني، فقال لي الملقن: هل لك من أم؟ قلت: نعم. قال فاسألها أن تدعو لك أن يحفظك الله القرآن ويعلمك العلم.. فرجعت إلى أمي فسألتها ذلك.. فدعت لي. فيسر الله تعالى له أن يدخل بغداد فيتعلم العربية ويحفظ القرآن والحديث، ويتفقه على علماء الشافعية في العراق، حتى برز وصار إماما، ثم رجع إلى بلاده فجلس يعلم الناس.. Adz-Dzahabi dalam kitab agungnya Siyar A’lam An-Nubala meriwayatkan biografi Salim bin Ayyub Ar-Razi (jilid 13 hlm. 265) yang disampaikan sendiri oleh Salim bahwa beliau semasa kecil pernah pergi ke guru ngajinya untuk menghafal Al-Qur’an. Guru itu lalu memintanya untuk membaca Al-Fatihah. Salim menceritakan, “Tapi saya tidak bisa karena lisanku yang tidak terbiasa dengan Bahasa Arab. Guru itu lalu bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu masih punya ibu?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Sang guru berkata, ‘Mintalah kepadanya agar berdoa untukmu supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuatmu hafal Al-Qur’an dan mengajarkanmu ilmu.’ Saya pun pulang menemui ibu dan meminta beliau hal tersebut, dan beliau pun mendoakanku.” Setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan untuk berpindah ke Baghdad, sehingga bisa belajar Bahasa Arab, menghafal Al-Qur’an dan hadis, dan mendalami ilmu di bawah bimbingan para ulama mazhab Syafi’i di Irak, hingga beliau terlihat menonjol dalam ilmunya dan menjadi seorang ulama besar. Beliau kemudian pulang ke negerinya dan membuka majelis untuk mengajarkan ilmunya kepada orang-orang. الأبناء هم قرة العيون، وبهجة النفوس.. وهم زينة الحياة، ومنة الإله (المال والبنون زينة الحياة الدنيا)(الكهف:46).. وكلنا يسعى في تربية ولده وصلاحه، ولا تتم لنا سعادة حتى نراهم صالحين مطيعين لربهم نافعين لأنفسهم ودينهم وأوطانهم. وإن من أعظم أسباب صلاح الذرية ـ بعد الأخذ بالأسباب المادية ـ كثرة الدعاء لهم والتضرع إلى الله ليصلحهم. Anak-anak merupakan penyejuk hati dan penghibur jiwa. Mereka adalah perhiasan hidup dan karunia Sang Kuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46). Kita semua pasti berusaha mendidik anaknya dan menjadikannya saleh. Kebahagiaan kita tidak akan sempurna hingga kita dapat melihat mereka menjadi orang-orang saleh, taat kepada Tuhan mereka, dan bermanfaat bagi diri, agama, dan negara mereka.  Di antara faktor terbesar untuk keshalehan anak – setelah memenuhi faktor-faktor yang bersifat materi – adalah banyak mendoakan mereka dan bersimpuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan mereka. منهج الأنبياء وهذا الدعاء للأبناء هو منهج السادة الأنبياء عليهم صلوات الله وسلامه، وهم أعلم الناس بطرق التربية الصحيحة، وأحرص الناس على أولادهم وما يصلحهم.. وقد كانوا صلوات الله عليهم يدعون الله لأبنائهم بالصلاح قبل ولادتهم وبعدها. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو الله ويقول: (رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ)(الصافات:100). وزكريا يدعو بعد أن كبرت سنه وامرأته عاقر: {رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ}(آل عمران:38). وهو القائل: (فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا)(مريم:5، 6). والوراثة هنا وراثة النبوة والدعوة وليست وراثة المال وحمل الاسم، لأن الأنبياء لا يورثون كما قال صلى الله عليه وسلم: (نحنُ معشرَ الأنبياءِ لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ) وهو في البداية والنهاية، وأصله في صحيح مسلم قال: (لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ). Metode para Nabi Doa untuk anak merupakan metode para Nabi Alaihimus shalatu wassalam, sedangkan mereka adalah manusia yang paling paham terhadap metode-metode pengasuhan yang benar, dan orang-orang yang paling peduli terhadap anak-anak dan kesalehan mereka. Dulu para Nabi Shalawatullahi ‘alaihim berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan anak-anak mereka sejak sebelum mereka lahir dan juga setelahnya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengucapkan: رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100). رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38). فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا “Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub, serta jadikanlah dia – wahai Tuhanku – seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 5-6). Yang dimaksud dengan mewarisi dalam ayat ini adalah mewarisi kenabian dan dakwah, bukan mewarisi harta dan nama, karena para Nabi tidak mewariskan harta kepada keluarganya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami para Nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Hadis ini disebutkan dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah tapi bersumber dari Shahih Muslim yang berbunyi: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” (HR. Muslim). وامرأة عمران رضي الله عنها لما علمت أنها حملت دعت ربها سبحانه وقالت: (رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)(آل عمران:35). فاستجاب الله دعاءهم، ووهبهم الذرية الطيبة.. فهل توقفوا عن الدعاء لهم؟ لا. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو لأولاده ويقول: (وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ)(إبراهيم:35)، ودعا لهم أيضا بقوله: (رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ)(إبراهيم:40). ولما وضعهم عند البيت دعا ربه بالدعاء المشهور: (رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ)(إبراهيم:37). فدعا لهم بصلاح الدين، وسعة الرزق، ومحبة الخلق، وأن يكونوا من الشاكرين. Istri Imran Radhiyallahu ‘anha setelah mengetahui bahwa ia sedang hamil, segera berdoa kepada Tuhannya dengan berucap: رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitul Maqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 35).  Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa mereka dan mengaruniakan kepada mereka keturunan yang baik, tapi apakah itu membuat mereka berhenti berdoa untuk anak-anak mereka? Tidak! Inilah Nabi Ibrahim Alaihissalam, beliau berdoa untuk anak-anaknya dengan mengucapkan: وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Juga berdoa untuk mereka dengan mengucapkan: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40).  Lalu ketika beliau menempatkan mereka di Baitullah, beliau berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang terkenal: رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Beliau berdoa untuk anak keturunan beliau agar menjadi orang-orang yang saleh dalam beragama, luas rezeki, dicintai para makhluk, dan termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur. وامرأة عمران لما وضعت وخرج المولود أنثى، لم يمنعها ذلك أن تَهَبَها لخدمة بيت المقدس، وأن تدعوَ ربها ليحفظها ويُنبتَها نباتًا حسنًا، بل دَعَتْ بما هو أكبر من ذلك؛ فقالت: (وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)(آل عمران:36). فكانت ثمرة هذه الأدعية ما تعلمون. Demikian juga istri Imran, ketika melahirkan anak perempuan, itu tidak menghalanginya untuk mempersembahkan anak itu untuk berkhidmah pada Baitul Maqdis, dan berdoa kepada Tuhannya agar Dia menjaga anak itu dan menumbuhkannya dengan baik. Bahkan juga berdoa untuknya dengan doa yang jauh lebih besar daripada itu semua melalui ucapannya: وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36). Dan hasil dari doa ini sebagaimana yang telah kalian semua ketahui. النبي يعلم أمته وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ـ وهو سيد النبيين ـ يعلم أمته هذا الأمر، فيأمرهم بالدعاء لذرياتهم قبل مجيئهم وبعد أن يرزقهم الله إياهم. روى البخاري في صحيحه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا). Nabi mengajarkan umatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam – sebagai penghulu para Nabi – mengajarkan umatnya perkara ini, beliau memerintahkan mereka untuk berdoa bagi kebaikan anak keturunan mereka sebelum anak-anak itu benar-benar lahir ke dunia dan setelah benar-benar dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka. Diriwayatkan dari Al-Bukhari dalam Ash-Shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا “Seandainya ada salah satu dari mereka ketika menggauli istrinya, mengucapkan: ‘Bismillah, Allahumma jannibnisy syaithon, wa jannibisy syaithona ma rozaqtana’ (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami), lalu ditakdirkan bagi mereka anak dari hal itu, niscaya setan tidak akan mampu mendatangkan mudharat terhadap anak itu selamanya.”  وكان صلى الله عليه وسلم يأمر المسلمين بأن يكثروا من الدعاء لأولادهم، ويعلمهم أن دعوة الوالد لولده مستجابة لا ترد: (ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ)(البيهقي وحسنه الألباني). وكان هو عليه صلوات الله وسلامه يدعو لأحفاده، الحسن والحسين ويعوذهما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk memperbanyak doa untuk kebaikan anak mereka. Beliau mengajarkan kepada mereka bahwa doa orang tua bagi anaknya adalah doa yang makbul, tidak tertolak: ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ “Ada tiga doa yang tidak tertolak, doa orang tua bagi anaknya, doa orang berpuasa, dan doa orang yang sedang bepergian jauh.” (HR. Al-Baihaqi, dan dihasankan Al-Albani). Dulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam berdoa untuk cucu beliau, Hasan dan Husain, juga memohon perlindungan bagi mereka berdua dengan Kalimat-Kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sempurna dari setiap setan, binatang-binatang kecil yang berbahaya, dan setiap pandangan mata yang dengki. سبيل المؤمنين والدعاء للأبناء كما أنه منهج الأنبياء الكرام كذلك هو منهج عباد الرحمن؛ فقد وصفهم الله تعالى بذلك فقال: (وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)(الفرقان:74). قال أهل التفسير: “يسألون الله أن يخرج من أصلابهم من يوحد الله ويعبده ويعمل بطاعته، فتقر به أعينهم في الدنيا والآخرة”. قال عكرمة: “لم يريدوا بذلك صباحة ولا جمالا، ولكن أرادوا أن يكونوا مطيعين”. وفي سورة الأحقاف حكاية عن المؤمنين قولهم: (رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)(الأحقاف:15). Jalan hidup orang-orang beriman Doa untuk anak-anak yang merupakan metode para Nabi yang mulia, juga merupakan metode para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang beriman. Allah Ta’ala menyebutkan sifat mereka dengan berfirman:  وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan mereka adalah orang-orang yang berkata, ‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Al-Furqan: 74). Para ulama tafsir menjelaskan: “Yakni mereka memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang-orang yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beribadah kepada-Nya, dan menjalankan ketaatan-Nya, sehingga hati mereka merasa damai di dunia dan akhirat.” Ikrimah mengatakan, “Dengan doa itu, mereka tidak sekedar ingin kecantikan atau ketampanan (pada anak keturunan mereka), tapi mereka ingin agar mereka menjadi orang-orang yang taat.” Dalam surat Al-Ahqaf juga disebutkan doa orang-orang beriman: رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15). الفضيل وابنه كان الفضيل بن عياض سيدا من سادات هذه الأمة، وكان كثيرا ما يدعو الله لابنه علي ويقول: “اللهم إني اجتهدت في تربية علي فلم أقدر.. فربه أنت لي”.. فما زال يدعو حتى قال عبد الله بن المبارك رحمه الله: “خير الناس الفضيل بن عياض، وخير منه ابنه علي”. وقال سفيان بن عيينة: “ما رأيت أحدا أخوف من الفضيل وابنه”. فدعوة الوالدين لها دور كبير في صلاح الأولاد، فلنكثر من الدعاء لأبنائنا؛ فكم من دعوة يسرت عسيرا، وفتحت مغلقا. وكم من دعوة ردت شاردا، وقربت بعيدا، وأصلحت فاسدا، وهدت ضالا. وكم من دعوة دعا بها أب لابنه فسعد بها الابن، وسعد به أبوه في الدنيا والآخرة. فاللهم هب لنا من لدنك ذرية طيبة إنك سميع الدعاء، {رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}. Kisah Fudhail dengan anaknya Dulu Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ulama besar umat ini. Beliau sering kali berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kebaikan anaknya yang bernama Ali dengan mengucapkan: “Ya Allah! Sungguh saya telah berusaha keras untuk mendidiknya, tapi saya tidak juga mampu, maka didiklah dia untukku.” Beliau senantiasa mengucapkan doa ini, hingga Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah mengatakan, “Manusia terbaik (di masanya) adalah Fudhail bin Iyadh, dan yang lebih baik lagi adalah anaknya, Ali.” Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada Fudhail dan anaknya.” Doa kedua orang tua memiliki peran besar terhadap kesalehan anak-anak. Oleh sebab itu, hendaklah kita memperbanyak doa bagi mereka. Betapa banyak doa yang mengubah kesulitan menjadi kemudahan dan membuka yang tertutup! Betapa banyak doa yang memulangkan sesuatu yang hilang, mendekatkan hal yang jauh, memperbaiki yang rusak, dan mendatangkan petunjuk bagi yang tersesat! Betapa banyak doa yang diucapkan oleh ayah untuk anaknya, sehingga anak itu sekarang menjadi bahagia karena doa tersebut, lalu dengan itu ayahnya juga menjadi bahagia di dunia dan akhirat! Ya Allah, karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengarkan doa. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/236383/الدعاء-للأبناء-منهج-الأنبياء Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 82 times, 1 visit(s) today Post Views: 47 QRIS donasi Yufid
الدعاء للأبناء منهج الأنبياء روى الذهبي في كتابه العظيم “سير أعلام النبلاء” في ترجمة سليم بن أيوب الرازي (13/ 265)، ما حكاه سليم عن نفسه: أنه ذهب وهو صغير إلى الملقن (المحفظ) ليحفظه القرآن، فطلب منه أن يقرأ الفاتحة، قال فعجزت لعجمة لساني، فقال لي الملقن: هل لك من أم؟ قلت: نعم. قال فاسألها أن تدعو لك أن يحفظك الله القرآن ويعلمك العلم.. فرجعت إلى أمي فسألتها ذلك.. فدعت لي. فيسر الله تعالى له أن يدخل بغداد فيتعلم العربية ويحفظ القرآن والحديث، ويتفقه على علماء الشافعية في العراق، حتى برز وصار إماما، ثم رجع إلى بلاده فجلس يعلم الناس.. Adz-Dzahabi dalam kitab agungnya Siyar A’lam An-Nubala meriwayatkan biografi Salim bin Ayyub Ar-Razi (jilid 13 hlm. 265) yang disampaikan sendiri oleh Salim bahwa beliau semasa kecil pernah pergi ke guru ngajinya untuk menghafal Al-Qur’an. Guru itu lalu memintanya untuk membaca Al-Fatihah. Salim menceritakan, “Tapi saya tidak bisa karena lisanku yang tidak terbiasa dengan Bahasa Arab. Guru itu lalu bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu masih punya ibu?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Sang guru berkata, ‘Mintalah kepadanya agar berdoa untukmu supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuatmu hafal Al-Qur’an dan mengajarkanmu ilmu.’ Saya pun pulang menemui ibu dan meminta beliau hal tersebut, dan beliau pun mendoakanku.” Setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan untuk berpindah ke Baghdad, sehingga bisa belajar Bahasa Arab, menghafal Al-Qur’an dan hadis, dan mendalami ilmu di bawah bimbingan para ulama mazhab Syafi’i di Irak, hingga beliau terlihat menonjol dalam ilmunya dan menjadi seorang ulama besar. Beliau kemudian pulang ke negerinya dan membuka majelis untuk mengajarkan ilmunya kepada orang-orang. الأبناء هم قرة العيون، وبهجة النفوس.. وهم زينة الحياة، ومنة الإله (المال والبنون زينة الحياة الدنيا)(الكهف:46).. وكلنا يسعى في تربية ولده وصلاحه، ولا تتم لنا سعادة حتى نراهم صالحين مطيعين لربهم نافعين لأنفسهم ودينهم وأوطانهم. وإن من أعظم أسباب صلاح الذرية ـ بعد الأخذ بالأسباب المادية ـ كثرة الدعاء لهم والتضرع إلى الله ليصلحهم. Anak-anak merupakan penyejuk hati dan penghibur jiwa. Mereka adalah perhiasan hidup dan karunia Sang Kuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46). Kita semua pasti berusaha mendidik anaknya dan menjadikannya saleh. Kebahagiaan kita tidak akan sempurna hingga kita dapat melihat mereka menjadi orang-orang saleh, taat kepada Tuhan mereka, dan bermanfaat bagi diri, agama, dan negara mereka.  Di antara faktor terbesar untuk keshalehan anak – setelah memenuhi faktor-faktor yang bersifat materi – adalah banyak mendoakan mereka dan bersimpuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan mereka. منهج الأنبياء وهذا الدعاء للأبناء هو منهج السادة الأنبياء عليهم صلوات الله وسلامه، وهم أعلم الناس بطرق التربية الصحيحة، وأحرص الناس على أولادهم وما يصلحهم.. وقد كانوا صلوات الله عليهم يدعون الله لأبنائهم بالصلاح قبل ولادتهم وبعدها. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو الله ويقول: (رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ)(الصافات:100). وزكريا يدعو بعد أن كبرت سنه وامرأته عاقر: {رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ}(آل عمران:38). وهو القائل: (فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا)(مريم:5، 6). والوراثة هنا وراثة النبوة والدعوة وليست وراثة المال وحمل الاسم، لأن الأنبياء لا يورثون كما قال صلى الله عليه وسلم: (نحنُ معشرَ الأنبياءِ لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ) وهو في البداية والنهاية، وأصله في صحيح مسلم قال: (لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ). Metode para Nabi Doa untuk anak merupakan metode para Nabi Alaihimus shalatu wassalam, sedangkan mereka adalah manusia yang paling paham terhadap metode-metode pengasuhan yang benar, dan orang-orang yang paling peduli terhadap anak-anak dan kesalehan mereka. Dulu para Nabi Shalawatullahi ‘alaihim berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan anak-anak mereka sejak sebelum mereka lahir dan juga setelahnya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengucapkan: رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100). رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38). فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا “Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub, serta jadikanlah dia – wahai Tuhanku – seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 5-6). Yang dimaksud dengan mewarisi dalam ayat ini adalah mewarisi kenabian dan dakwah, bukan mewarisi harta dan nama, karena para Nabi tidak mewariskan harta kepada keluarganya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami para Nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Hadis ini disebutkan dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah tapi bersumber dari Shahih Muslim yang berbunyi: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” (HR. Muslim). وامرأة عمران رضي الله عنها لما علمت أنها حملت دعت ربها سبحانه وقالت: (رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)(آل عمران:35). فاستجاب الله دعاءهم، ووهبهم الذرية الطيبة.. فهل توقفوا عن الدعاء لهم؟ لا. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو لأولاده ويقول: (وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ)(إبراهيم:35)، ودعا لهم أيضا بقوله: (رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ)(إبراهيم:40). ولما وضعهم عند البيت دعا ربه بالدعاء المشهور: (رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ)(إبراهيم:37). فدعا لهم بصلاح الدين، وسعة الرزق، ومحبة الخلق، وأن يكونوا من الشاكرين. Istri Imran Radhiyallahu ‘anha setelah mengetahui bahwa ia sedang hamil, segera berdoa kepada Tuhannya dengan berucap: رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitul Maqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 35).  Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa mereka dan mengaruniakan kepada mereka keturunan yang baik, tapi apakah itu membuat mereka berhenti berdoa untuk anak-anak mereka? Tidak! Inilah Nabi Ibrahim Alaihissalam, beliau berdoa untuk anak-anaknya dengan mengucapkan: وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Juga berdoa untuk mereka dengan mengucapkan: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40).  Lalu ketika beliau menempatkan mereka di Baitullah, beliau berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang terkenal: رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Beliau berdoa untuk anak keturunan beliau agar menjadi orang-orang yang saleh dalam beragama, luas rezeki, dicintai para makhluk, dan termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur. وامرأة عمران لما وضعت وخرج المولود أنثى، لم يمنعها ذلك أن تَهَبَها لخدمة بيت المقدس، وأن تدعوَ ربها ليحفظها ويُنبتَها نباتًا حسنًا، بل دَعَتْ بما هو أكبر من ذلك؛ فقالت: (وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)(آل عمران:36). فكانت ثمرة هذه الأدعية ما تعلمون. Demikian juga istri Imran, ketika melahirkan anak perempuan, itu tidak menghalanginya untuk mempersembahkan anak itu untuk berkhidmah pada Baitul Maqdis, dan berdoa kepada Tuhannya agar Dia menjaga anak itu dan menumbuhkannya dengan baik. Bahkan juga berdoa untuknya dengan doa yang jauh lebih besar daripada itu semua melalui ucapannya: وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36). Dan hasil dari doa ini sebagaimana yang telah kalian semua ketahui. النبي يعلم أمته وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ـ وهو سيد النبيين ـ يعلم أمته هذا الأمر، فيأمرهم بالدعاء لذرياتهم قبل مجيئهم وبعد أن يرزقهم الله إياهم. روى البخاري في صحيحه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا). Nabi mengajarkan umatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam – sebagai penghulu para Nabi – mengajarkan umatnya perkara ini, beliau memerintahkan mereka untuk berdoa bagi kebaikan anak keturunan mereka sebelum anak-anak itu benar-benar lahir ke dunia dan setelah benar-benar dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka. Diriwayatkan dari Al-Bukhari dalam Ash-Shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا “Seandainya ada salah satu dari mereka ketika menggauli istrinya, mengucapkan: ‘Bismillah, Allahumma jannibnisy syaithon, wa jannibisy syaithona ma rozaqtana’ (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami), lalu ditakdirkan bagi mereka anak dari hal itu, niscaya setan tidak akan mampu mendatangkan mudharat terhadap anak itu selamanya.”  وكان صلى الله عليه وسلم يأمر المسلمين بأن يكثروا من الدعاء لأولادهم، ويعلمهم أن دعوة الوالد لولده مستجابة لا ترد: (ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ)(البيهقي وحسنه الألباني). وكان هو عليه صلوات الله وسلامه يدعو لأحفاده، الحسن والحسين ويعوذهما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk memperbanyak doa untuk kebaikan anak mereka. Beliau mengajarkan kepada mereka bahwa doa orang tua bagi anaknya adalah doa yang makbul, tidak tertolak: ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ “Ada tiga doa yang tidak tertolak, doa orang tua bagi anaknya, doa orang berpuasa, dan doa orang yang sedang bepergian jauh.” (HR. Al-Baihaqi, dan dihasankan Al-Albani). Dulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam berdoa untuk cucu beliau, Hasan dan Husain, juga memohon perlindungan bagi mereka berdua dengan Kalimat-Kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sempurna dari setiap setan, binatang-binatang kecil yang berbahaya, dan setiap pandangan mata yang dengki. سبيل المؤمنين والدعاء للأبناء كما أنه منهج الأنبياء الكرام كذلك هو منهج عباد الرحمن؛ فقد وصفهم الله تعالى بذلك فقال: (وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)(الفرقان:74). قال أهل التفسير: “يسألون الله أن يخرج من أصلابهم من يوحد الله ويعبده ويعمل بطاعته، فتقر به أعينهم في الدنيا والآخرة”. قال عكرمة: “لم يريدوا بذلك صباحة ولا جمالا، ولكن أرادوا أن يكونوا مطيعين”. وفي سورة الأحقاف حكاية عن المؤمنين قولهم: (رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)(الأحقاف:15). Jalan hidup orang-orang beriman Doa untuk anak-anak yang merupakan metode para Nabi yang mulia, juga merupakan metode para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang beriman. Allah Ta’ala menyebutkan sifat mereka dengan berfirman:  وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan mereka adalah orang-orang yang berkata, ‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Al-Furqan: 74). Para ulama tafsir menjelaskan: “Yakni mereka memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang-orang yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beribadah kepada-Nya, dan menjalankan ketaatan-Nya, sehingga hati mereka merasa damai di dunia dan akhirat.” Ikrimah mengatakan, “Dengan doa itu, mereka tidak sekedar ingin kecantikan atau ketampanan (pada anak keturunan mereka), tapi mereka ingin agar mereka menjadi orang-orang yang taat.” Dalam surat Al-Ahqaf juga disebutkan doa orang-orang beriman: رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15). الفضيل وابنه كان الفضيل بن عياض سيدا من سادات هذه الأمة، وكان كثيرا ما يدعو الله لابنه علي ويقول: “اللهم إني اجتهدت في تربية علي فلم أقدر.. فربه أنت لي”.. فما زال يدعو حتى قال عبد الله بن المبارك رحمه الله: “خير الناس الفضيل بن عياض، وخير منه ابنه علي”. وقال سفيان بن عيينة: “ما رأيت أحدا أخوف من الفضيل وابنه”. فدعوة الوالدين لها دور كبير في صلاح الأولاد، فلنكثر من الدعاء لأبنائنا؛ فكم من دعوة يسرت عسيرا، وفتحت مغلقا. وكم من دعوة ردت شاردا، وقربت بعيدا، وأصلحت فاسدا، وهدت ضالا. وكم من دعوة دعا بها أب لابنه فسعد بها الابن، وسعد به أبوه في الدنيا والآخرة. فاللهم هب لنا من لدنك ذرية طيبة إنك سميع الدعاء، {رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}. Kisah Fudhail dengan anaknya Dulu Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ulama besar umat ini. Beliau sering kali berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kebaikan anaknya yang bernama Ali dengan mengucapkan: “Ya Allah! Sungguh saya telah berusaha keras untuk mendidiknya, tapi saya tidak juga mampu, maka didiklah dia untukku.” Beliau senantiasa mengucapkan doa ini, hingga Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah mengatakan, “Manusia terbaik (di masanya) adalah Fudhail bin Iyadh, dan yang lebih baik lagi adalah anaknya, Ali.” Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada Fudhail dan anaknya.” Doa kedua orang tua memiliki peran besar terhadap kesalehan anak-anak. Oleh sebab itu, hendaklah kita memperbanyak doa bagi mereka. Betapa banyak doa yang mengubah kesulitan menjadi kemudahan dan membuka yang tertutup! Betapa banyak doa yang memulangkan sesuatu yang hilang, mendekatkan hal yang jauh, memperbaiki yang rusak, dan mendatangkan petunjuk bagi yang tersesat! Betapa banyak doa yang diucapkan oleh ayah untuk anaknya, sehingga anak itu sekarang menjadi bahagia karena doa tersebut, lalu dengan itu ayahnya juga menjadi bahagia di dunia dan akhirat! Ya Allah, karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengarkan doa. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/236383/الدعاء-للأبناء-منهج-الأنبياء Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 82 times, 1 visit(s) today Post Views: 47 QRIS donasi Yufid


الدعاء للأبناء منهج الأنبياء روى الذهبي في كتابه العظيم “سير أعلام النبلاء” في ترجمة سليم بن أيوب الرازي (13/ 265)، ما حكاه سليم عن نفسه: أنه ذهب وهو صغير إلى الملقن (المحفظ) ليحفظه القرآن، فطلب منه أن يقرأ الفاتحة، قال فعجزت لعجمة لساني، فقال لي الملقن: هل لك من أم؟ قلت: نعم. قال فاسألها أن تدعو لك أن يحفظك الله القرآن ويعلمك العلم.. فرجعت إلى أمي فسألتها ذلك.. فدعت لي. فيسر الله تعالى له أن يدخل بغداد فيتعلم العربية ويحفظ القرآن والحديث، ويتفقه على علماء الشافعية في العراق، حتى برز وصار إماما، ثم رجع إلى بلاده فجلس يعلم الناس.. Adz-Dzahabi dalam kitab agungnya Siyar A’lam An-Nubala meriwayatkan biografi Salim bin Ayyub Ar-Razi (jilid 13 hlm. 265) yang disampaikan sendiri oleh Salim bahwa beliau semasa kecil pernah pergi ke guru ngajinya untuk menghafal Al-Qur’an. Guru itu lalu memintanya untuk membaca Al-Fatihah. Salim menceritakan, “Tapi saya tidak bisa karena lisanku yang tidak terbiasa dengan Bahasa Arab. Guru itu lalu bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu masih punya ibu?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Sang guru berkata, ‘Mintalah kepadanya agar berdoa untukmu supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuatmu hafal Al-Qur’an dan mengajarkanmu ilmu.’ Saya pun pulang menemui ibu dan meminta beliau hal tersebut, dan beliau pun mendoakanku.” Setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan untuk berpindah ke Baghdad, sehingga bisa belajar Bahasa Arab, menghafal Al-Qur’an dan hadis, dan mendalami ilmu di bawah bimbingan para ulama mazhab Syafi’i di Irak, hingga beliau terlihat menonjol dalam ilmunya dan menjadi seorang ulama besar. Beliau kemudian pulang ke negerinya dan membuka majelis untuk mengajarkan ilmunya kepada orang-orang. الأبناء هم قرة العيون، وبهجة النفوس.. وهم زينة الحياة، ومنة الإله (المال والبنون زينة الحياة الدنيا)(الكهف:46).. وكلنا يسعى في تربية ولده وصلاحه، ولا تتم لنا سعادة حتى نراهم صالحين مطيعين لربهم نافعين لأنفسهم ودينهم وأوطانهم. وإن من أعظم أسباب صلاح الذرية ـ بعد الأخذ بالأسباب المادية ـ كثرة الدعاء لهم والتضرع إلى الله ليصلحهم. Anak-anak merupakan penyejuk hati dan penghibur jiwa. Mereka adalah perhiasan hidup dan karunia Sang Kuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46). Kita semua pasti berusaha mendidik anaknya dan menjadikannya saleh. Kebahagiaan kita tidak akan sempurna hingga kita dapat melihat mereka menjadi orang-orang saleh, taat kepada Tuhan mereka, dan bermanfaat bagi diri, agama, dan negara mereka.  Di antara faktor terbesar untuk keshalehan anak – setelah memenuhi faktor-faktor yang bersifat materi – adalah banyak mendoakan mereka dan bersimpuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan mereka. منهج الأنبياء وهذا الدعاء للأبناء هو منهج السادة الأنبياء عليهم صلوات الله وسلامه، وهم أعلم الناس بطرق التربية الصحيحة، وأحرص الناس على أولادهم وما يصلحهم.. وقد كانوا صلوات الله عليهم يدعون الله لأبنائهم بالصلاح قبل ولادتهم وبعدها. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو الله ويقول: (رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ)(الصافات:100). وزكريا يدعو بعد أن كبرت سنه وامرأته عاقر: {رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ}(آل عمران:38). وهو القائل: (فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا)(مريم:5، 6). والوراثة هنا وراثة النبوة والدعوة وليست وراثة المال وحمل الاسم، لأن الأنبياء لا يورثون كما قال صلى الله عليه وسلم: (نحنُ معشرَ الأنبياءِ لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ) وهو في البداية والنهاية، وأصله في صحيح مسلم قال: (لا نورَثُ ما ترَكناهُ فهو صدقةٌ). Metode para Nabi Doa untuk anak merupakan metode para Nabi Alaihimus shalatu wassalam, sedangkan mereka adalah manusia yang paling paham terhadap metode-metode pengasuhan yang benar, dan orang-orang yang paling peduli terhadap anak-anak dan kesalehan mereka. Dulu para Nabi Shalawatullahi ‘alaihim berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memohon kesalehan anak-anak mereka sejak sebelum mereka lahir dan juga setelahnya.  Nabi Ibrahim Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengucapkan: رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100). رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38). فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا . يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا “Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub, serta jadikanlah dia – wahai Tuhanku – seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 5-6). Yang dimaksud dengan mewarisi dalam ayat ini adalah mewarisi kenabian dan dakwah, bukan mewarisi harta dan nama, karena para Nabi tidak mewariskan harta kepada keluarganya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami para Nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Hadis ini disebutkan dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah tapi bersumber dari Shahih Muslim yang berbunyi: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ “Kami tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” (HR. Muslim). وامرأة عمران رضي الله عنها لما علمت أنها حملت دعت ربها سبحانه وقالت: (رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)(آل عمران:35). فاستجاب الله دعاءهم، ووهبهم الذرية الطيبة.. فهل توقفوا عن الدعاء لهم؟ لا. هذا إبراهيم عليه السلام يدعو لأولاده ويقول: (وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ)(إبراهيم:35)، ودعا لهم أيضا بقوله: (رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ)(إبراهيم:40). ولما وضعهم عند البيت دعا ربه بالدعاء المشهور: (رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ)(إبراهيم:37). فدعا لهم بصلاح الدين، وسعة الرزق، ومحبة الخلق، وأن يكونوا من الشاكرين. Istri Imran Radhiyallahu ‘anha setelah mengetahui bahwa ia sedang hamil, segera berdoa kepada Tuhannya dengan berucap: رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitul Maqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 35).  Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa mereka dan mengaruniakan kepada mereka keturunan yang baik, tapi apakah itu membuat mereka berhenti berdoa untuk anak-anak mereka? Tidak! Inilah Nabi Ibrahim Alaihissalam, beliau berdoa untuk anak-anaknya dengan mengucapkan: وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Juga berdoa untuk mereka dengan mengucapkan: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40).  Lalu ketika beliau menempatkan mereka di Baitullah, beliau berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang terkenal: رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Beliau berdoa untuk anak keturunan beliau agar menjadi orang-orang yang saleh dalam beragama, luas rezeki, dicintai para makhluk, dan termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur. وامرأة عمران لما وضعت وخرج المولود أنثى، لم يمنعها ذلك أن تَهَبَها لخدمة بيت المقدس، وأن تدعوَ ربها ليحفظها ويُنبتَها نباتًا حسنًا، بل دَعَتْ بما هو أكبر من ذلك؛ فقالت: (وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)(آل عمران:36). فكانت ثمرة هذه الأدعية ما تعلمون. Demikian juga istri Imran, ketika melahirkan anak perempuan, itu tidak menghalanginya untuk mempersembahkan anak itu untuk berkhidmah pada Baitul Maqdis, dan berdoa kepada Tuhannya agar Dia menjaga anak itu dan menumbuhkannya dengan baik. Bahkan juga berdoa untuknya dengan doa yang jauh lebih besar daripada itu semua melalui ucapannya: وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36). Dan hasil dari doa ini sebagaimana yang telah kalian semua ketahui. النبي يعلم أمته وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ـ وهو سيد النبيين ـ يعلم أمته هذا الأمر، فيأمرهم بالدعاء لذرياتهم قبل مجيئهم وبعد أن يرزقهم الله إياهم. روى البخاري في صحيحه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا). Nabi mengajarkan umatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam – sebagai penghulu para Nabi – mengajarkan umatnya perkara ini, beliau memerintahkan mereka untuk berdoa bagi kebaikan anak keturunan mereka sebelum anak-anak itu benar-benar lahir ke dunia dan setelah benar-benar dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka. Diriwayatkan dari Al-Bukhari dalam Ash-Shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَمَا لو أنَّ أحَدَهُمْ يَقولُ حِينَ يَأْتي أهْلَهُ: باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطانَ، وجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا، ثُمَّ قُدِّرَ بيْنَهُما في ذلكَ، أوْ قُضِيَ ولَدٌ؛ لَمْ يَضُرَّهُ شَيطانٌ أبَدًا “Seandainya ada salah satu dari mereka ketika menggauli istrinya, mengucapkan: ‘Bismillah, Allahumma jannibnisy syaithon, wa jannibisy syaithona ma rozaqtana’ (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami), lalu ditakdirkan bagi mereka anak dari hal itu, niscaya setan tidak akan mampu mendatangkan mudharat terhadap anak itu selamanya.”  وكان صلى الله عليه وسلم يأمر المسلمين بأن يكثروا من الدعاء لأولادهم، ويعلمهم أن دعوة الوالد لولده مستجابة لا ترد: (ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ)(البيهقي وحسنه الألباني). وكان هو عليه صلوات الله وسلامه يدعو لأحفاده، الحسن والحسين ويعوذهما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk memperbanyak doa untuk kebaikan anak mereka. Beliau mengajarkan kepada mereka bahwa doa orang tua bagi anaknya adalah doa yang makbul, tidak tertolak: ثلاثُ دَعواتٍ لا تُرَدُّ: دعوةُ الوالِدِ لِولدِهِ، ودعوةُ الصائِمِ، ودعوةُ المسافِرِ “Ada tiga doa yang tidak tertolak, doa orang tua bagi anaknya, doa orang berpuasa, dan doa orang yang sedang bepergian jauh.” (HR. Al-Baihaqi, dan dihasankan Al-Albani). Dulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam berdoa untuk cucu beliau, Hasan dan Husain, juga memohon perlindungan bagi mereka berdua dengan Kalimat-Kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sempurna dari setiap setan, binatang-binatang kecil yang berbahaya, dan setiap pandangan mata yang dengki. سبيل المؤمنين والدعاء للأبناء كما أنه منهج الأنبياء الكرام كذلك هو منهج عباد الرحمن؛ فقد وصفهم الله تعالى بذلك فقال: (وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)(الفرقان:74). قال أهل التفسير: “يسألون الله أن يخرج من أصلابهم من يوحد الله ويعبده ويعمل بطاعته، فتقر به أعينهم في الدنيا والآخرة”. قال عكرمة: “لم يريدوا بذلك صباحة ولا جمالا، ولكن أرادوا أن يكونوا مطيعين”. وفي سورة الأحقاف حكاية عن المؤمنين قولهم: (رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)(الأحقاف:15). Jalan hidup orang-orang beriman Doa untuk anak-anak yang merupakan metode para Nabi yang mulia, juga merupakan metode para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang beriman. Allah Ta’ala menyebutkan sifat mereka dengan berfirman:  وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan mereka adalah orang-orang yang berkata, ‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Al-Furqan: 74). Para ulama tafsir menjelaskan: “Yakni mereka memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang-orang yang mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beribadah kepada-Nya, dan menjalankan ketaatan-Nya, sehingga hati mereka merasa damai di dunia dan akhirat.” Ikrimah mengatakan, “Dengan doa itu, mereka tidak sekedar ingin kecantikan atau ketampanan (pada anak keturunan mereka), tapi mereka ingin agar mereka menjadi orang-orang yang taat.” Dalam surat Al-Ahqaf juga disebutkan doa orang-orang beriman: رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15). الفضيل وابنه كان الفضيل بن عياض سيدا من سادات هذه الأمة، وكان كثيرا ما يدعو الله لابنه علي ويقول: “اللهم إني اجتهدت في تربية علي فلم أقدر.. فربه أنت لي”.. فما زال يدعو حتى قال عبد الله بن المبارك رحمه الله: “خير الناس الفضيل بن عياض، وخير منه ابنه علي”. وقال سفيان بن عيينة: “ما رأيت أحدا أخوف من الفضيل وابنه”. فدعوة الوالدين لها دور كبير في صلاح الأولاد، فلنكثر من الدعاء لأبنائنا؛ فكم من دعوة يسرت عسيرا، وفتحت مغلقا. وكم من دعوة ردت شاردا، وقربت بعيدا، وأصلحت فاسدا، وهدت ضالا. وكم من دعوة دعا بها أب لابنه فسعد بها الابن، وسعد به أبوه في الدنيا والآخرة. فاللهم هب لنا من لدنك ذرية طيبة إنك سميع الدعاء، {رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}. Kisah Fudhail dengan anaknya Dulu Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu ulama besar umat ini. Beliau sering kali berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kebaikan anaknya yang bernama Ali dengan mengucapkan: “Ya Allah! Sungguh saya telah berusaha keras untuk mendidiknya, tapi saya tidak juga mampu, maka didiklah dia untukku.” Beliau senantiasa mengucapkan doa ini, hingga Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah mengatakan, “Manusia terbaik (di masanya) adalah Fudhail bin Iyadh, dan yang lebih baik lagi adalah anaknya, Ali.” Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada Fudhail dan anaknya.” Doa kedua orang tua memiliki peran besar terhadap kesalehan anak-anak. Oleh sebab itu, hendaklah kita memperbanyak doa bagi mereka. Betapa banyak doa yang mengubah kesulitan menjadi kemudahan dan membuka yang tertutup! Betapa banyak doa yang memulangkan sesuatu yang hilang, mendekatkan hal yang jauh, memperbaiki yang rusak, dan mendatangkan petunjuk bagi yang tersesat! Betapa banyak doa yang diucapkan oleh ayah untuk anaknya, sehingga anak itu sekarang menjadi bahagia karena doa tersebut, lalu dengan itu ayahnya juga menjadi bahagia di dunia dan akhirat! Ya Allah, karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengarkan doa. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/236383/الدعاء-للأبناء-منهج-الأنبياء Sumber artikel PDF 🔍 Tulisan In Shaa Allah, Ayat Kursi Gambar, Benarkah Saat Haid Tidak Boleh Keramas, Catur Haram, Cewek Tidur Ngangkang Visited 82 times, 1 visit(s) today Post Views: 47 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 9): Menyebutkan Keutamaan Diri Sendiri

Daftar Isi ToggleLandasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamLandasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilLandasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anLandasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarManfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatMenyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingKesimpulan manfaatMeredakan pertengkaranMengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualMenunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamMenunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaMelepaskan diri dari tuduhanSalah satu sebab perselisihan adalah kurangnya pengetahuan seseorang terhadap kedudukan orang lain. Dampak dari hal ini adalah kurangnya adab dalam memperlakukan orang tersebut. Sehingga interaksi tersebut keluar dari sekadar perselisihan ilmiah menjadi perselisihan emosional.Sebagaimana yang telah disebutkan, di antara asas dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan adalah mengetahui kadar orang lain. Asas lainnya adalah memandang diri sendiri lebih rendah dari seharusnya–tawaduk, sehingga terwujud rasa damai dalam perselisihan. Kedua asas ini akan mencegah banyak perselisihan, serta meredakan pertentangan.Selain asas yang telah tersebutkan, terdapat pula satu asas yang menjaga keseimbangan dari proses dakwah: menetapkan kadar diri dan menyebutkannya di hadapan orang lain.Landasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamDalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau pernah mengajukan diri sebagai menteri dengan menyebutkan alasan, yakni keutamaan yang dimilikinya. Hal ini diabadikan oleh Allah ﷻ di dalam cuplikan firman-Nya,قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam konteks meminta jabatan,وَأما سُؤال الْولَايَة فقد ذمه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأما سُؤال يُوسُف وَقَوله {اجْعَلنِي على خَزَائِن الأَرْض} فَلِأَنَّهُ كَانَ طَرِيقا إِلَى أَن يَدعُوهُم إِلَى الله ويعدل بَين النَّاس وَيرْفَع عَنْهُم الظُّلم وَيفْعل من الْخَيْر مالم يَكُونُوا يفعلوه“Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah, hal. 564; via maktabah syamilah) [1]Artinya, dalam beberapa keadaan memang dibolehkan menyebutkan keutamaan diri selama ada kebutuhan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak mendapatkan celaan ataupun catatan berarti. Karena tujuan dari penyebutan hal tersebut karena adanya maslahat bahwa dibutuhkan sosok yang berkompeten di bidang yang mengurus umat. Pada saat itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam melihat dirinya memiliki kemampuan itu tanpa bermaksud meninggikan dirinya.Landasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilDalam Perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak. Namun, saat itu Nabi ﷺ berijtihad untuk membagikan ghanimah dengan takaran yang beragam. Lalu dari kalangan Badui tidak terima dengan keputusan ini. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!” (HR. Ibnu Majah no. 172, disebutkan pula dalam Bukhari-Muslim) [2]Nabi ﷺ dalam kesempatan ini memberikan pernyataan bahwa dirinya adalah sosok paling adil karena posisinya sebagai utusan Allah ﷻ. Ini adalah ucapan yang sangat logis dan mudah diterima. Pernyataan ini bertujuan untuk mengentaskan keraguan serta menghardik orang yang menuduh integritas Nabi ﷺ.Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel berikut: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?Landasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anMenyebutkan keutamaan diri juga kita dapatkan dari riwayat lain semisal beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli di bidang tertentu. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang memiliki keutamaan sebagai ahli Al-Quran. Beliau pernah mengatakan,والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه“Demi Zat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidaklah turun surah dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana turunnya. Dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu pada perkara apa turunnya. Kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang bisa ditemui dengan unta, maka aku akan naik unta menemuinya.” (HR. Bukhari no. 5002) [3]Pernyataan Ibnu Mas’ud sangat tegas menyebutkan keutamaan dirinya dalam bidang ilmu Al-Quran. Hal ini dilandasi kepada usaha kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan pengakuan Nabi ﷺ.من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya, maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ah-nya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35 dan Ibnu Hibban no. 7066) [4]Bahkan disebutkan bahwasanya beliau akan menemui seseorang yang lebih berilmu tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya dengan unta. Artinya, beliau bisa menjamin bahwa sejauh perjalanan unta pada umumnya, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya. Kalau digambarkan dengan realita saat ini, mungkin ini adalah ungkapan yang cukup hiperbolis. Namun, inilah realita ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.Dalam riwayat lain dari Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu yang belajar bacaan Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapati bacaan yang baru didengarnya. Namun, Ibnu Masud bisa menjaminkan bahwa para sahabat mengakui bahwa dirinyalah yang paling mengetahui Al-Qur’an. Lalu, Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,فجلست في حِلق أصحاب محمد ﷺ، فما سمعت أحدا يرد ذلك عليه، ولا يعيبه“Lantas aku duduk dalam halaqah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ (lainnya) dan aku tidak mendengar seorang pun membantah hal tersebut atau mencelanya.” (HR. Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462) [5]Riwayat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam penjelasan (syarah) hadis tersebut,وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ ذِكْرِ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ بِالْفَضِيلَةِ وَالْعِلْمِ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ تَزْكِيَةِ النَّفْسِ فَإِنَّمَا هُوَ لِمَنْ زَكَّاهَا وَمَدَحَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ بَلْ لِلْفَخْرِ وَالْإِعْجَابِ“Hadis ini menunjukkan kebolehan seseorang menyebutkan keutamaan, ilmu, dan sebagainya jika diperlukan. Adapun larangan memuji diri sendiri (tazkiyah–menyucikan), hanya berlaku bagi mereka yang menyucikan dan memuji diri sendiri tanpa alasan, melainkan karena kesombongan dan keangkuhan.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 16)Landasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarعن أبي حازم أن نفراً جاءوا إلى سهل بن سعد – قد تماروا في المنبر، من أي عود هو ؟ فقال: أما والله، إني لأعلم من أي عود هو ، ومن عملهDari Abu Hazim, dikisahkan suatu ketika sekelompok orang datang kepada Sahl bin Sa’ad, mereka sedang berdebat tentang mimbar, menanyakan dari jenis kayu apa mimbar itu dibuat. Ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui dari jenis kayu apa ia terbuat dan siapa pembuatnya…” (HR. Bukhari no. 917) [6]Dalam riwayat lain, Sahl berkata,ما بقي في الناس أعلم مني“Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih mengetahui daripada aku…”Syekh Saad Asy-Syal dalam Adabul Ikhtilaf menjelaskan,وإنما قال سهل ذلك ليطمئنوا إلى روايته اطمئناناً يزيل ما وقع بينهم من التماري في المنبر“Sahl mengatakan hal itu untuk menenangkan mereka dan mengakhiri perdebatan yang terjadi di antara mereka tentang mimbar.” (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Manfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatSimaklah perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menjelaskan dalil-dalil di atas,وَقَدْ كَثُرَتْ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ مِنَ الْأَمَاثِلِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَدَفْعِ شَرٍّ عَنْهُ بِذَلِكَ أَوْ تَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ لِلنَّاسِ أَوْ تَرْغِيبٍ فِي أَخْذِ الْعِلْمِ عَنْهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ“Memuji diri sendiri telah menjadi hal yang lazim di kalangan orang-orang berbudi luhur jika diperlukan, misalnya untuk menangkal munkar atau menghasilkan manfaat bagi manusia, atau untuk mendorong mereka belajar darinya, atau hal semisal lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17) [7]Kemudian An-Nawawi rahimahullah memberikan beberapa contoh menyebut keutamaan diri sendiri, semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam QS. Yusuf: 55 untuk kebutuhan maslahat. Adapun dalam upaya mendorong orang untuk mengambil ilmu, semisal perkataan Sahl bin Saad dan Ibnu Masud tersebut.Intinya menurut An-Nawawi ini adalah kelaziman di kalangan orang yang memiliki keutamaan. Karena seringkali kebenaran itu tidak diketahui oleh orang kecuali ia memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Serta dengan pernyataan demikian, dapat mengokohkan seseorang dalam belajar kepada seorang guru atau ahli ilmu.Menyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah ketika momen genting. Bahkan terdapat contoh ketika nyawa telah menjadi ancamannya. Kisah yang dibawakan An-Nawawi rahimahullah adalah ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung oleh sekelompok pemberontak. Maka, di momen itu Usman radhiyallahu ‘anhu mengingatkan mereka tentang kebaikan dan jasa Usman radhiyallahu ‘anhu untuk kaum muslimin,وَمِنْ دَفْعِ الشَّرِّ قَوْلُ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي وَقْتِ حِصَارِهِ أَنَّهُ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ وَحَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ“Salah satu manfaat menyebutkan kebaikan dalam menolak keburukan adalah perkataan Usman radhiyallahu ‘anhu ketika pengepungan dirinya. Beliau mengatakan bahwasanya dirinya telah membekali pasukan di masa kesulitan serta ia telah menggalikan sumur rumah.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17)Simaklah ungkapan lengkap Usman radhiyallahu ‘anhu berikut,أنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عنْه حِينَ حُوصِرَ، أَشْرَفَ عليهم وقالَ: أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ، ولَا أَنْشُدُ إلَّا أَصْحَابَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَن حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَحَفَرْتُهَا؟ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّهُ قالَ: مَن جَهَّزَ جَيْشَ العُسْرَةِ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَجَهَّزْتُهُمْ؟ قالَ: فَصَدَّقُوهُ بما قالَ“Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung (di rumahnya), ia menampakkan diri di hadapan mereka lalu berkata, “Aku memohon kepada kalian demi Allah! Dan aku tidak memohon kecuali kepada para sahabat Nabi ﷺ — tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Siapa yang menggali sumur Rumah (Bi’r Rūmah), maka baginya surga.’ Lalu akulah yang menggali (membelinya untuk umat)! Tidakkah kalian juga mengetahui bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Siapa yang mempersiapkan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga.’ Dan akulah yang mempersiapkannya?” Lalu mereka pun membenarkan apa yang beliau katakan.”Usman radhiyallahu ‘anhu mau tidak mau harus mengingatkan para pengepungnya bahwa dirinya memiliki jasa dalam mempersiapkan pasukan Perang Tabuk. Sebagaimana kita ketahui, memang Usman radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai seorang sahabat kaya raya yang telah membekali dan membiayai perang kaum muslimin. Betapa besar jasa ini?! Tidak hanya itu, bahkan Usman radhiyallahu ‘anhu telah menggali sumur rumah dan mewakafkannya untuk kebutuhan kaum muslimin. Dan telah sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya wakaf sumur rumah itu berbalas surga!Bayangkan betapa sakitnya hati seorang Usman radhiyallahu anhu di kala itu?! Sebuah perselisihan terjadi hingga mengancam jiwa seorang khalifah yang memiliki jasa dan sejarah panjang. Betapa pahitnya ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang Usman radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang bodoh akan keutamaan dirinya. Maka, jika kita merenungi momen Usman radhiyallahu ‘anhu ini, kita akan mengetahui bahwa menyebutkan keutamaan diri dalam momen seperti ini adalah asas yang dapat menolak keburukan dan menjadi jalan mendatangkan kebaikan.Kesimpulan manfaatJika disederhanakan, tujuan dan manfaat dari asas ini adalah:Meredakan pertengkaranKarena kebanyakan orang ketika berselisih, ia tidak menghadapinya dengan keadilan. Seringkali sisi emosional yang lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas. Hal ini memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, yang lahir terkadang bukanlah argumentasi ilmiah, tetapi strategi melawan balik. Hal ini dapat diredam dengan mengetahui hakikat diri seseorang yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Usman radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi tersebut.Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualSetelah mengetahui keutamaan seseorang, maka ranah perselisihan dapat ditarik ke dalam ruang lingkup dan konteks pembicaraan yang keduanya relevan di dalamnya. Masing-masing pihak akan menjadi tahu cara merespons atau menanggapi argumen sesuai latar belakang. Serta dengan demikian, dapat mengetahui runutan logis mengapa seseorang berpendapat A, atau menentang pandangan B, dan lain sebagainya. Hal ini terangkum dalam atsar Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu.Menunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamDalam beragam konteks sosial masyarakat; strata pendidikan, status sosial, dan pengalaman hidup, menjadi bagian integral dalam struktur kemasyarakatan. Mudah sekali bagi kita menempatkan seorang dosen di lingkungan menjadi penasihat atau pembina kegiatan. Atau menjadikan seorang pejabat negara sebagai sosok yang dimintai pandangannya dalam sebuah keorganisasian. Tentu ketika kita menghadapi mereka pun dengan cara yang berbeda.Atau sebagian keadaan menunjukkan bahwa seorang ustadz bergelar profesor doktor akan lebih diterima di masyarakat dibandingkan seorang ustadz lulusan pondok. Padahal, gelar tidak menjadi cermin mutlak atas penguasaan ilmu. Namun, inilah realitas masyarakat. Sebagaimana Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu pun harus mengucapkan hal semisal ini dalam rangka agar dakwahnya diterima oleh muridnya.Menunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaKetika memperhatikan kisah Yusuf saat menawarkan diri menjadi wazir, maka terdapat faidah bahwa tujuan Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah untuk menyelamatkan harta yang seringnya terlalaikan. Namun, faidah lainnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menawarkan dalam konteks memaksa. Melainkan hanya bertujuan untuk memaparkan realita masalah beserta solusi bahwa ada seorang yang dapat mengatasinya. Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak memaksakan dengan perkataan semisal, “Anda kalau tidak pilih saya, maka saya akan boikot.” Hal ini menunjukkan bahwa boleh bagi kita untuk menunjukkan keahlian dan otoritas kita dalam konteks tertentu, tetapi penilaian akhir tetap berdasarkan keputusan si penerima atau pendengar. Hal terpenting yang dimaksudkan dari asas ini adalah kita hanya memaparkan data riil yang kita miliki agar penilaian seorang kepada kita berimbang dan adil.Melepaskan diri dari tuduhanSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah membantah sebuah tuduhan. Mungkin bagi sebagian orang, tuduhan ini tidak menjadi hal yang fatal. Namun, jika tuduhan itu telah menghancurkan reputasi seseorang, semisal integritasnya, kejujurannya, atau sifat amanahnya, maka ini sangat fatal. Oleh karena itu, berhak bagi seorang muslim untuk membela dirinya.Sebagaimana Nabi ﷺ pernah dituduh tidak adil dalam pembagian ghanimah perang. Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau aku tidak amanah, maka siapa lagi yang bisa berlaku amanah?!”Bagi orang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang sangat tajam, tegas dan mengandung pesan yang luar biasa. Sebab amanah adalah hal yang paling mudah untuk digunjingkan. Padahal, memegang amanah itu memanglah tidak mudah. Karena bukan hajat hidup satu orang, tetapi hajat hidup orang banyak. Jika seorang tidak amanah, maka ini adalah kepemimpinan yang rusak dan mengantarkan ke neraka. Maka, tuduhan semacam ini pun akan merusak banyak hal, seperti keamanan kaum muslimin. Namun, yang lebih fundamental lagi adalah tuduhan semacam ini bisa sangat berdampak pada mental dan keadaan psikologis seseorang.Ingat bahwasanya mengganggu kaum muslimin itu berdosa besar. Sementara orang yang menjadi korbannya perlu segera mengobati lukanya, dan mengingat bahwa janji Allah ﷻ senantiasa benar tak pernah dusta. Termasuk janji bahwa gangguan orang lain akan menjadi instrumen mekanisme pengguguran dosa.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Shamela.ws[2] Dorar.net[3] Dorar.net[4] Dinilai shahih sanadnya oleh Syekh Ahmad Syakir sebagaimana referensi dorar.net[5] Berdasarkan takhrij hadis dalam Adabul Ikhtilaf, dalam referensi lain berada pada Muslim no. 4629.[6] Keterangan dalam hadis cukup panjang, penulis Adabul Ikhtilaf menyebutkannya dari Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544. Adapun penomoran ini merujuk kepada dorar.net[7] Shamela.ws

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 9): Menyebutkan Keutamaan Diri Sendiri

Daftar Isi ToggleLandasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamLandasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilLandasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anLandasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarManfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatMenyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingKesimpulan manfaatMeredakan pertengkaranMengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualMenunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamMenunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaMelepaskan diri dari tuduhanSalah satu sebab perselisihan adalah kurangnya pengetahuan seseorang terhadap kedudukan orang lain. Dampak dari hal ini adalah kurangnya adab dalam memperlakukan orang tersebut. Sehingga interaksi tersebut keluar dari sekadar perselisihan ilmiah menjadi perselisihan emosional.Sebagaimana yang telah disebutkan, di antara asas dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan adalah mengetahui kadar orang lain. Asas lainnya adalah memandang diri sendiri lebih rendah dari seharusnya–tawaduk, sehingga terwujud rasa damai dalam perselisihan. Kedua asas ini akan mencegah banyak perselisihan, serta meredakan pertentangan.Selain asas yang telah tersebutkan, terdapat pula satu asas yang menjaga keseimbangan dari proses dakwah: menetapkan kadar diri dan menyebutkannya di hadapan orang lain.Landasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamDalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau pernah mengajukan diri sebagai menteri dengan menyebutkan alasan, yakni keutamaan yang dimilikinya. Hal ini diabadikan oleh Allah ﷻ di dalam cuplikan firman-Nya,قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam konteks meminta jabatan,وَأما سُؤال الْولَايَة فقد ذمه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأما سُؤال يُوسُف وَقَوله {اجْعَلنِي على خَزَائِن الأَرْض} فَلِأَنَّهُ كَانَ طَرِيقا إِلَى أَن يَدعُوهُم إِلَى الله ويعدل بَين النَّاس وَيرْفَع عَنْهُم الظُّلم وَيفْعل من الْخَيْر مالم يَكُونُوا يفعلوه“Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah, hal. 564; via maktabah syamilah) [1]Artinya, dalam beberapa keadaan memang dibolehkan menyebutkan keutamaan diri selama ada kebutuhan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak mendapatkan celaan ataupun catatan berarti. Karena tujuan dari penyebutan hal tersebut karena adanya maslahat bahwa dibutuhkan sosok yang berkompeten di bidang yang mengurus umat. Pada saat itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam melihat dirinya memiliki kemampuan itu tanpa bermaksud meninggikan dirinya.Landasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilDalam Perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak. Namun, saat itu Nabi ﷺ berijtihad untuk membagikan ghanimah dengan takaran yang beragam. Lalu dari kalangan Badui tidak terima dengan keputusan ini. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!” (HR. Ibnu Majah no. 172, disebutkan pula dalam Bukhari-Muslim) [2]Nabi ﷺ dalam kesempatan ini memberikan pernyataan bahwa dirinya adalah sosok paling adil karena posisinya sebagai utusan Allah ﷻ. Ini adalah ucapan yang sangat logis dan mudah diterima. Pernyataan ini bertujuan untuk mengentaskan keraguan serta menghardik orang yang menuduh integritas Nabi ﷺ.Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel berikut: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?Landasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anMenyebutkan keutamaan diri juga kita dapatkan dari riwayat lain semisal beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli di bidang tertentu. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang memiliki keutamaan sebagai ahli Al-Quran. Beliau pernah mengatakan,والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه“Demi Zat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidaklah turun surah dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana turunnya. Dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu pada perkara apa turunnya. Kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang bisa ditemui dengan unta, maka aku akan naik unta menemuinya.” (HR. Bukhari no. 5002) [3]Pernyataan Ibnu Mas’ud sangat tegas menyebutkan keutamaan dirinya dalam bidang ilmu Al-Quran. Hal ini dilandasi kepada usaha kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan pengakuan Nabi ﷺ.من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya, maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ah-nya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35 dan Ibnu Hibban no. 7066) [4]Bahkan disebutkan bahwasanya beliau akan menemui seseorang yang lebih berilmu tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya dengan unta. Artinya, beliau bisa menjamin bahwa sejauh perjalanan unta pada umumnya, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya. Kalau digambarkan dengan realita saat ini, mungkin ini adalah ungkapan yang cukup hiperbolis. Namun, inilah realita ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.Dalam riwayat lain dari Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu yang belajar bacaan Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapati bacaan yang baru didengarnya. Namun, Ibnu Masud bisa menjaminkan bahwa para sahabat mengakui bahwa dirinyalah yang paling mengetahui Al-Qur’an. Lalu, Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,فجلست في حِلق أصحاب محمد ﷺ، فما سمعت أحدا يرد ذلك عليه، ولا يعيبه“Lantas aku duduk dalam halaqah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ (lainnya) dan aku tidak mendengar seorang pun membantah hal tersebut atau mencelanya.” (HR. Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462) [5]Riwayat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam penjelasan (syarah) hadis tersebut,وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ ذِكْرِ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ بِالْفَضِيلَةِ وَالْعِلْمِ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ تَزْكِيَةِ النَّفْسِ فَإِنَّمَا هُوَ لِمَنْ زَكَّاهَا وَمَدَحَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ بَلْ لِلْفَخْرِ وَالْإِعْجَابِ“Hadis ini menunjukkan kebolehan seseorang menyebutkan keutamaan, ilmu, dan sebagainya jika diperlukan. Adapun larangan memuji diri sendiri (tazkiyah–menyucikan), hanya berlaku bagi mereka yang menyucikan dan memuji diri sendiri tanpa alasan, melainkan karena kesombongan dan keangkuhan.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 16)Landasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarعن أبي حازم أن نفراً جاءوا إلى سهل بن سعد – قد تماروا في المنبر، من أي عود هو ؟ فقال: أما والله، إني لأعلم من أي عود هو ، ومن عملهDari Abu Hazim, dikisahkan suatu ketika sekelompok orang datang kepada Sahl bin Sa’ad, mereka sedang berdebat tentang mimbar, menanyakan dari jenis kayu apa mimbar itu dibuat. Ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui dari jenis kayu apa ia terbuat dan siapa pembuatnya…” (HR. Bukhari no. 917) [6]Dalam riwayat lain, Sahl berkata,ما بقي في الناس أعلم مني“Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih mengetahui daripada aku…”Syekh Saad Asy-Syal dalam Adabul Ikhtilaf menjelaskan,وإنما قال سهل ذلك ليطمئنوا إلى روايته اطمئناناً يزيل ما وقع بينهم من التماري في المنبر“Sahl mengatakan hal itu untuk menenangkan mereka dan mengakhiri perdebatan yang terjadi di antara mereka tentang mimbar.” (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Manfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatSimaklah perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menjelaskan dalil-dalil di atas,وَقَدْ كَثُرَتْ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ مِنَ الْأَمَاثِلِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَدَفْعِ شَرٍّ عَنْهُ بِذَلِكَ أَوْ تَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ لِلنَّاسِ أَوْ تَرْغِيبٍ فِي أَخْذِ الْعِلْمِ عَنْهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ“Memuji diri sendiri telah menjadi hal yang lazim di kalangan orang-orang berbudi luhur jika diperlukan, misalnya untuk menangkal munkar atau menghasilkan manfaat bagi manusia, atau untuk mendorong mereka belajar darinya, atau hal semisal lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17) [7]Kemudian An-Nawawi rahimahullah memberikan beberapa contoh menyebut keutamaan diri sendiri, semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam QS. Yusuf: 55 untuk kebutuhan maslahat. Adapun dalam upaya mendorong orang untuk mengambil ilmu, semisal perkataan Sahl bin Saad dan Ibnu Masud tersebut.Intinya menurut An-Nawawi ini adalah kelaziman di kalangan orang yang memiliki keutamaan. Karena seringkali kebenaran itu tidak diketahui oleh orang kecuali ia memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Serta dengan pernyataan demikian, dapat mengokohkan seseorang dalam belajar kepada seorang guru atau ahli ilmu.Menyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah ketika momen genting. Bahkan terdapat contoh ketika nyawa telah menjadi ancamannya. Kisah yang dibawakan An-Nawawi rahimahullah adalah ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung oleh sekelompok pemberontak. Maka, di momen itu Usman radhiyallahu ‘anhu mengingatkan mereka tentang kebaikan dan jasa Usman radhiyallahu ‘anhu untuk kaum muslimin,وَمِنْ دَفْعِ الشَّرِّ قَوْلُ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي وَقْتِ حِصَارِهِ أَنَّهُ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ وَحَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ“Salah satu manfaat menyebutkan kebaikan dalam menolak keburukan adalah perkataan Usman radhiyallahu ‘anhu ketika pengepungan dirinya. Beliau mengatakan bahwasanya dirinya telah membekali pasukan di masa kesulitan serta ia telah menggalikan sumur rumah.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17)Simaklah ungkapan lengkap Usman radhiyallahu ‘anhu berikut,أنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عنْه حِينَ حُوصِرَ، أَشْرَفَ عليهم وقالَ: أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ، ولَا أَنْشُدُ إلَّا أَصْحَابَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَن حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَحَفَرْتُهَا؟ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّهُ قالَ: مَن جَهَّزَ جَيْشَ العُسْرَةِ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَجَهَّزْتُهُمْ؟ قالَ: فَصَدَّقُوهُ بما قالَ“Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung (di rumahnya), ia menampakkan diri di hadapan mereka lalu berkata, “Aku memohon kepada kalian demi Allah! Dan aku tidak memohon kecuali kepada para sahabat Nabi ﷺ — tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Siapa yang menggali sumur Rumah (Bi’r Rūmah), maka baginya surga.’ Lalu akulah yang menggali (membelinya untuk umat)! Tidakkah kalian juga mengetahui bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Siapa yang mempersiapkan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga.’ Dan akulah yang mempersiapkannya?” Lalu mereka pun membenarkan apa yang beliau katakan.”Usman radhiyallahu ‘anhu mau tidak mau harus mengingatkan para pengepungnya bahwa dirinya memiliki jasa dalam mempersiapkan pasukan Perang Tabuk. Sebagaimana kita ketahui, memang Usman radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai seorang sahabat kaya raya yang telah membekali dan membiayai perang kaum muslimin. Betapa besar jasa ini?! Tidak hanya itu, bahkan Usman radhiyallahu ‘anhu telah menggali sumur rumah dan mewakafkannya untuk kebutuhan kaum muslimin. Dan telah sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya wakaf sumur rumah itu berbalas surga!Bayangkan betapa sakitnya hati seorang Usman radhiyallahu anhu di kala itu?! Sebuah perselisihan terjadi hingga mengancam jiwa seorang khalifah yang memiliki jasa dan sejarah panjang. Betapa pahitnya ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang Usman radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang bodoh akan keutamaan dirinya. Maka, jika kita merenungi momen Usman radhiyallahu ‘anhu ini, kita akan mengetahui bahwa menyebutkan keutamaan diri dalam momen seperti ini adalah asas yang dapat menolak keburukan dan menjadi jalan mendatangkan kebaikan.Kesimpulan manfaatJika disederhanakan, tujuan dan manfaat dari asas ini adalah:Meredakan pertengkaranKarena kebanyakan orang ketika berselisih, ia tidak menghadapinya dengan keadilan. Seringkali sisi emosional yang lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas. Hal ini memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, yang lahir terkadang bukanlah argumentasi ilmiah, tetapi strategi melawan balik. Hal ini dapat diredam dengan mengetahui hakikat diri seseorang yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Usman radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi tersebut.Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualSetelah mengetahui keutamaan seseorang, maka ranah perselisihan dapat ditarik ke dalam ruang lingkup dan konteks pembicaraan yang keduanya relevan di dalamnya. Masing-masing pihak akan menjadi tahu cara merespons atau menanggapi argumen sesuai latar belakang. Serta dengan demikian, dapat mengetahui runutan logis mengapa seseorang berpendapat A, atau menentang pandangan B, dan lain sebagainya. Hal ini terangkum dalam atsar Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu.Menunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamDalam beragam konteks sosial masyarakat; strata pendidikan, status sosial, dan pengalaman hidup, menjadi bagian integral dalam struktur kemasyarakatan. Mudah sekali bagi kita menempatkan seorang dosen di lingkungan menjadi penasihat atau pembina kegiatan. Atau menjadikan seorang pejabat negara sebagai sosok yang dimintai pandangannya dalam sebuah keorganisasian. Tentu ketika kita menghadapi mereka pun dengan cara yang berbeda.Atau sebagian keadaan menunjukkan bahwa seorang ustadz bergelar profesor doktor akan lebih diterima di masyarakat dibandingkan seorang ustadz lulusan pondok. Padahal, gelar tidak menjadi cermin mutlak atas penguasaan ilmu. Namun, inilah realitas masyarakat. Sebagaimana Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu pun harus mengucapkan hal semisal ini dalam rangka agar dakwahnya diterima oleh muridnya.Menunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaKetika memperhatikan kisah Yusuf saat menawarkan diri menjadi wazir, maka terdapat faidah bahwa tujuan Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah untuk menyelamatkan harta yang seringnya terlalaikan. Namun, faidah lainnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menawarkan dalam konteks memaksa. Melainkan hanya bertujuan untuk memaparkan realita masalah beserta solusi bahwa ada seorang yang dapat mengatasinya. Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak memaksakan dengan perkataan semisal, “Anda kalau tidak pilih saya, maka saya akan boikot.” Hal ini menunjukkan bahwa boleh bagi kita untuk menunjukkan keahlian dan otoritas kita dalam konteks tertentu, tetapi penilaian akhir tetap berdasarkan keputusan si penerima atau pendengar. Hal terpenting yang dimaksudkan dari asas ini adalah kita hanya memaparkan data riil yang kita miliki agar penilaian seorang kepada kita berimbang dan adil.Melepaskan diri dari tuduhanSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah membantah sebuah tuduhan. Mungkin bagi sebagian orang, tuduhan ini tidak menjadi hal yang fatal. Namun, jika tuduhan itu telah menghancurkan reputasi seseorang, semisal integritasnya, kejujurannya, atau sifat amanahnya, maka ini sangat fatal. Oleh karena itu, berhak bagi seorang muslim untuk membela dirinya.Sebagaimana Nabi ﷺ pernah dituduh tidak adil dalam pembagian ghanimah perang. Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau aku tidak amanah, maka siapa lagi yang bisa berlaku amanah?!”Bagi orang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang sangat tajam, tegas dan mengandung pesan yang luar biasa. Sebab amanah adalah hal yang paling mudah untuk digunjingkan. Padahal, memegang amanah itu memanglah tidak mudah. Karena bukan hajat hidup satu orang, tetapi hajat hidup orang banyak. Jika seorang tidak amanah, maka ini adalah kepemimpinan yang rusak dan mengantarkan ke neraka. Maka, tuduhan semacam ini pun akan merusak banyak hal, seperti keamanan kaum muslimin. Namun, yang lebih fundamental lagi adalah tuduhan semacam ini bisa sangat berdampak pada mental dan keadaan psikologis seseorang.Ingat bahwasanya mengganggu kaum muslimin itu berdosa besar. Sementara orang yang menjadi korbannya perlu segera mengobati lukanya, dan mengingat bahwa janji Allah ﷻ senantiasa benar tak pernah dusta. Termasuk janji bahwa gangguan orang lain akan menjadi instrumen mekanisme pengguguran dosa.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Shamela.ws[2] Dorar.net[3] Dorar.net[4] Dinilai shahih sanadnya oleh Syekh Ahmad Syakir sebagaimana referensi dorar.net[5] Berdasarkan takhrij hadis dalam Adabul Ikhtilaf, dalam referensi lain berada pada Muslim no. 4629.[6] Keterangan dalam hadis cukup panjang, penulis Adabul Ikhtilaf menyebutkannya dari Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544. Adapun penomoran ini merujuk kepada dorar.net[7] Shamela.ws
Daftar Isi ToggleLandasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamLandasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilLandasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anLandasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarManfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatMenyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingKesimpulan manfaatMeredakan pertengkaranMengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualMenunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamMenunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaMelepaskan diri dari tuduhanSalah satu sebab perselisihan adalah kurangnya pengetahuan seseorang terhadap kedudukan orang lain. Dampak dari hal ini adalah kurangnya adab dalam memperlakukan orang tersebut. Sehingga interaksi tersebut keluar dari sekadar perselisihan ilmiah menjadi perselisihan emosional.Sebagaimana yang telah disebutkan, di antara asas dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan adalah mengetahui kadar orang lain. Asas lainnya adalah memandang diri sendiri lebih rendah dari seharusnya–tawaduk, sehingga terwujud rasa damai dalam perselisihan. Kedua asas ini akan mencegah banyak perselisihan, serta meredakan pertentangan.Selain asas yang telah tersebutkan, terdapat pula satu asas yang menjaga keseimbangan dari proses dakwah: menetapkan kadar diri dan menyebutkannya di hadapan orang lain.Landasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamDalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau pernah mengajukan diri sebagai menteri dengan menyebutkan alasan, yakni keutamaan yang dimilikinya. Hal ini diabadikan oleh Allah ﷻ di dalam cuplikan firman-Nya,قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam konteks meminta jabatan,وَأما سُؤال الْولَايَة فقد ذمه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأما سُؤال يُوسُف وَقَوله {اجْعَلنِي على خَزَائِن الأَرْض} فَلِأَنَّهُ كَانَ طَرِيقا إِلَى أَن يَدعُوهُم إِلَى الله ويعدل بَين النَّاس وَيرْفَع عَنْهُم الظُّلم وَيفْعل من الْخَيْر مالم يَكُونُوا يفعلوه“Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah, hal. 564; via maktabah syamilah) [1]Artinya, dalam beberapa keadaan memang dibolehkan menyebutkan keutamaan diri selama ada kebutuhan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak mendapatkan celaan ataupun catatan berarti. Karena tujuan dari penyebutan hal tersebut karena adanya maslahat bahwa dibutuhkan sosok yang berkompeten di bidang yang mengurus umat. Pada saat itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam melihat dirinya memiliki kemampuan itu tanpa bermaksud meninggikan dirinya.Landasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilDalam Perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak. Namun, saat itu Nabi ﷺ berijtihad untuk membagikan ghanimah dengan takaran yang beragam. Lalu dari kalangan Badui tidak terima dengan keputusan ini. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!” (HR. Ibnu Majah no. 172, disebutkan pula dalam Bukhari-Muslim) [2]Nabi ﷺ dalam kesempatan ini memberikan pernyataan bahwa dirinya adalah sosok paling adil karena posisinya sebagai utusan Allah ﷻ. Ini adalah ucapan yang sangat logis dan mudah diterima. Pernyataan ini bertujuan untuk mengentaskan keraguan serta menghardik orang yang menuduh integritas Nabi ﷺ.Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel berikut: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?Landasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anMenyebutkan keutamaan diri juga kita dapatkan dari riwayat lain semisal beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli di bidang tertentu. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang memiliki keutamaan sebagai ahli Al-Quran. Beliau pernah mengatakan,والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه“Demi Zat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidaklah turun surah dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana turunnya. Dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu pada perkara apa turunnya. Kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang bisa ditemui dengan unta, maka aku akan naik unta menemuinya.” (HR. Bukhari no. 5002) [3]Pernyataan Ibnu Mas’ud sangat tegas menyebutkan keutamaan dirinya dalam bidang ilmu Al-Quran. Hal ini dilandasi kepada usaha kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan pengakuan Nabi ﷺ.من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya, maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ah-nya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35 dan Ibnu Hibban no. 7066) [4]Bahkan disebutkan bahwasanya beliau akan menemui seseorang yang lebih berilmu tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya dengan unta. Artinya, beliau bisa menjamin bahwa sejauh perjalanan unta pada umumnya, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya. Kalau digambarkan dengan realita saat ini, mungkin ini adalah ungkapan yang cukup hiperbolis. Namun, inilah realita ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.Dalam riwayat lain dari Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu yang belajar bacaan Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapati bacaan yang baru didengarnya. Namun, Ibnu Masud bisa menjaminkan bahwa para sahabat mengakui bahwa dirinyalah yang paling mengetahui Al-Qur’an. Lalu, Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,فجلست في حِلق أصحاب محمد ﷺ، فما سمعت أحدا يرد ذلك عليه، ولا يعيبه“Lantas aku duduk dalam halaqah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ (lainnya) dan aku tidak mendengar seorang pun membantah hal tersebut atau mencelanya.” (HR. Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462) [5]Riwayat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam penjelasan (syarah) hadis tersebut,وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ ذِكْرِ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ بِالْفَضِيلَةِ وَالْعِلْمِ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ تَزْكِيَةِ النَّفْسِ فَإِنَّمَا هُوَ لِمَنْ زَكَّاهَا وَمَدَحَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ بَلْ لِلْفَخْرِ وَالْإِعْجَابِ“Hadis ini menunjukkan kebolehan seseorang menyebutkan keutamaan, ilmu, dan sebagainya jika diperlukan. Adapun larangan memuji diri sendiri (tazkiyah–menyucikan), hanya berlaku bagi mereka yang menyucikan dan memuji diri sendiri tanpa alasan, melainkan karena kesombongan dan keangkuhan.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 16)Landasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarعن أبي حازم أن نفراً جاءوا إلى سهل بن سعد – قد تماروا في المنبر، من أي عود هو ؟ فقال: أما والله، إني لأعلم من أي عود هو ، ومن عملهDari Abu Hazim, dikisahkan suatu ketika sekelompok orang datang kepada Sahl bin Sa’ad, mereka sedang berdebat tentang mimbar, menanyakan dari jenis kayu apa mimbar itu dibuat. Ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui dari jenis kayu apa ia terbuat dan siapa pembuatnya…” (HR. Bukhari no. 917) [6]Dalam riwayat lain, Sahl berkata,ما بقي في الناس أعلم مني“Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih mengetahui daripada aku…”Syekh Saad Asy-Syal dalam Adabul Ikhtilaf menjelaskan,وإنما قال سهل ذلك ليطمئنوا إلى روايته اطمئناناً يزيل ما وقع بينهم من التماري في المنبر“Sahl mengatakan hal itu untuk menenangkan mereka dan mengakhiri perdebatan yang terjadi di antara mereka tentang mimbar.” (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Manfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatSimaklah perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menjelaskan dalil-dalil di atas,وَقَدْ كَثُرَتْ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ مِنَ الْأَمَاثِلِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَدَفْعِ شَرٍّ عَنْهُ بِذَلِكَ أَوْ تَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ لِلنَّاسِ أَوْ تَرْغِيبٍ فِي أَخْذِ الْعِلْمِ عَنْهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ“Memuji diri sendiri telah menjadi hal yang lazim di kalangan orang-orang berbudi luhur jika diperlukan, misalnya untuk menangkal munkar atau menghasilkan manfaat bagi manusia, atau untuk mendorong mereka belajar darinya, atau hal semisal lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17) [7]Kemudian An-Nawawi rahimahullah memberikan beberapa contoh menyebut keutamaan diri sendiri, semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam QS. Yusuf: 55 untuk kebutuhan maslahat. Adapun dalam upaya mendorong orang untuk mengambil ilmu, semisal perkataan Sahl bin Saad dan Ibnu Masud tersebut.Intinya menurut An-Nawawi ini adalah kelaziman di kalangan orang yang memiliki keutamaan. Karena seringkali kebenaran itu tidak diketahui oleh orang kecuali ia memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Serta dengan pernyataan demikian, dapat mengokohkan seseorang dalam belajar kepada seorang guru atau ahli ilmu.Menyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah ketika momen genting. Bahkan terdapat contoh ketika nyawa telah menjadi ancamannya. Kisah yang dibawakan An-Nawawi rahimahullah adalah ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung oleh sekelompok pemberontak. Maka, di momen itu Usman radhiyallahu ‘anhu mengingatkan mereka tentang kebaikan dan jasa Usman radhiyallahu ‘anhu untuk kaum muslimin,وَمِنْ دَفْعِ الشَّرِّ قَوْلُ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي وَقْتِ حِصَارِهِ أَنَّهُ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ وَحَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ“Salah satu manfaat menyebutkan kebaikan dalam menolak keburukan adalah perkataan Usman radhiyallahu ‘anhu ketika pengepungan dirinya. Beliau mengatakan bahwasanya dirinya telah membekali pasukan di masa kesulitan serta ia telah menggalikan sumur rumah.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17)Simaklah ungkapan lengkap Usman radhiyallahu ‘anhu berikut,أنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عنْه حِينَ حُوصِرَ، أَشْرَفَ عليهم وقالَ: أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ، ولَا أَنْشُدُ إلَّا أَصْحَابَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَن حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَحَفَرْتُهَا؟ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّهُ قالَ: مَن جَهَّزَ جَيْشَ العُسْرَةِ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَجَهَّزْتُهُمْ؟ قالَ: فَصَدَّقُوهُ بما قالَ“Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung (di rumahnya), ia menampakkan diri di hadapan mereka lalu berkata, “Aku memohon kepada kalian demi Allah! Dan aku tidak memohon kecuali kepada para sahabat Nabi ﷺ — tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Siapa yang menggali sumur Rumah (Bi’r Rūmah), maka baginya surga.’ Lalu akulah yang menggali (membelinya untuk umat)! Tidakkah kalian juga mengetahui bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Siapa yang mempersiapkan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga.’ Dan akulah yang mempersiapkannya?” Lalu mereka pun membenarkan apa yang beliau katakan.”Usman radhiyallahu ‘anhu mau tidak mau harus mengingatkan para pengepungnya bahwa dirinya memiliki jasa dalam mempersiapkan pasukan Perang Tabuk. Sebagaimana kita ketahui, memang Usman radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai seorang sahabat kaya raya yang telah membekali dan membiayai perang kaum muslimin. Betapa besar jasa ini?! Tidak hanya itu, bahkan Usman radhiyallahu ‘anhu telah menggali sumur rumah dan mewakafkannya untuk kebutuhan kaum muslimin. Dan telah sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya wakaf sumur rumah itu berbalas surga!Bayangkan betapa sakitnya hati seorang Usman radhiyallahu anhu di kala itu?! Sebuah perselisihan terjadi hingga mengancam jiwa seorang khalifah yang memiliki jasa dan sejarah panjang. Betapa pahitnya ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang Usman radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang bodoh akan keutamaan dirinya. Maka, jika kita merenungi momen Usman radhiyallahu ‘anhu ini, kita akan mengetahui bahwa menyebutkan keutamaan diri dalam momen seperti ini adalah asas yang dapat menolak keburukan dan menjadi jalan mendatangkan kebaikan.Kesimpulan manfaatJika disederhanakan, tujuan dan manfaat dari asas ini adalah:Meredakan pertengkaranKarena kebanyakan orang ketika berselisih, ia tidak menghadapinya dengan keadilan. Seringkali sisi emosional yang lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas. Hal ini memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, yang lahir terkadang bukanlah argumentasi ilmiah, tetapi strategi melawan balik. Hal ini dapat diredam dengan mengetahui hakikat diri seseorang yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Usman radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi tersebut.Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualSetelah mengetahui keutamaan seseorang, maka ranah perselisihan dapat ditarik ke dalam ruang lingkup dan konteks pembicaraan yang keduanya relevan di dalamnya. Masing-masing pihak akan menjadi tahu cara merespons atau menanggapi argumen sesuai latar belakang. Serta dengan demikian, dapat mengetahui runutan logis mengapa seseorang berpendapat A, atau menentang pandangan B, dan lain sebagainya. Hal ini terangkum dalam atsar Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu.Menunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamDalam beragam konteks sosial masyarakat; strata pendidikan, status sosial, dan pengalaman hidup, menjadi bagian integral dalam struktur kemasyarakatan. Mudah sekali bagi kita menempatkan seorang dosen di lingkungan menjadi penasihat atau pembina kegiatan. Atau menjadikan seorang pejabat negara sebagai sosok yang dimintai pandangannya dalam sebuah keorganisasian. Tentu ketika kita menghadapi mereka pun dengan cara yang berbeda.Atau sebagian keadaan menunjukkan bahwa seorang ustadz bergelar profesor doktor akan lebih diterima di masyarakat dibandingkan seorang ustadz lulusan pondok. Padahal, gelar tidak menjadi cermin mutlak atas penguasaan ilmu. Namun, inilah realitas masyarakat. Sebagaimana Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu pun harus mengucapkan hal semisal ini dalam rangka agar dakwahnya diterima oleh muridnya.Menunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaKetika memperhatikan kisah Yusuf saat menawarkan diri menjadi wazir, maka terdapat faidah bahwa tujuan Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah untuk menyelamatkan harta yang seringnya terlalaikan. Namun, faidah lainnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menawarkan dalam konteks memaksa. Melainkan hanya bertujuan untuk memaparkan realita masalah beserta solusi bahwa ada seorang yang dapat mengatasinya. Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak memaksakan dengan perkataan semisal, “Anda kalau tidak pilih saya, maka saya akan boikot.” Hal ini menunjukkan bahwa boleh bagi kita untuk menunjukkan keahlian dan otoritas kita dalam konteks tertentu, tetapi penilaian akhir tetap berdasarkan keputusan si penerima atau pendengar. Hal terpenting yang dimaksudkan dari asas ini adalah kita hanya memaparkan data riil yang kita miliki agar penilaian seorang kepada kita berimbang dan adil.Melepaskan diri dari tuduhanSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah membantah sebuah tuduhan. Mungkin bagi sebagian orang, tuduhan ini tidak menjadi hal yang fatal. Namun, jika tuduhan itu telah menghancurkan reputasi seseorang, semisal integritasnya, kejujurannya, atau sifat amanahnya, maka ini sangat fatal. Oleh karena itu, berhak bagi seorang muslim untuk membela dirinya.Sebagaimana Nabi ﷺ pernah dituduh tidak adil dalam pembagian ghanimah perang. Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau aku tidak amanah, maka siapa lagi yang bisa berlaku amanah?!”Bagi orang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang sangat tajam, tegas dan mengandung pesan yang luar biasa. Sebab amanah adalah hal yang paling mudah untuk digunjingkan. Padahal, memegang amanah itu memanglah tidak mudah. Karena bukan hajat hidup satu orang, tetapi hajat hidup orang banyak. Jika seorang tidak amanah, maka ini adalah kepemimpinan yang rusak dan mengantarkan ke neraka. Maka, tuduhan semacam ini pun akan merusak banyak hal, seperti keamanan kaum muslimin. Namun, yang lebih fundamental lagi adalah tuduhan semacam ini bisa sangat berdampak pada mental dan keadaan psikologis seseorang.Ingat bahwasanya mengganggu kaum muslimin itu berdosa besar. Sementara orang yang menjadi korbannya perlu segera mengobati lukanya, dan mengingat bahwa janji Allah ﷻ senantiasa benar tak pernah dusta. Termasuk janji bahwa gangguan orang lain akan menjadi instrumen mekanisme pengguguran dosa.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Shamela.ws[2] Dorar.net[3] Dorar.net[4] Dinilai shahih sanadnya oleh Syekh Ahmad Syakir sebagaimana referensi dorar.net[5] Berdasarkan takhrij hadis dalam Adabul Ikhtilaf, dalam referensi lain berada pada Muslim no. 4629.[6] Keterangan dalam hadis cukup panjang, penulis Adabul Ikhtilaf menyebutkannya dari Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544. Adapun penomoran ini merujuk kepada dorar.net[7] Shamela.ws


Daftar Isi ToggleLandasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamLandasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilLandasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anLandasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarManfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatMenyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingKesimpulan manfaatMeredakan pertengkaranMengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualMenunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamMenunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaMelepaskan diri dari tuduhanSalah satu sebab perselisihan adalah kurangnya pengetahuan seseorang terhadap kedudukan orang lain. Dampak dari hal ini adalah kurangnya adab dalam memperlakukan orang tersebut. Sehingga interaksi tersebut keluar dari sekadar perselisihan ilmiah menjadi perselisihan emosional.Sebagaimana yang telah disebutkan, di antara asas dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan adalah mengetahui kadar orang lain. Asas lainnya adalah memandang diri sendiri lebih rendah dari seharusnya–tawaduk, sehingga terwujud rasa damai dalam perselisihan. Kedua asas ini akan mencegah banyak perselisihan, serta meredakan pertentangan.Selain asas yang telah tersebutkan, terdapat pula satu asas yang menjaga keseimbangan dari proses dakwah: menetapkan kadar diri dan menyebutkannya di hadapan orang lain.Landasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalamDalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau pernah mengajukan diri sebagai menteri dengan menyebutkan alasan, yakni keutamaan yang dimilikinya. Hal ini diabadikan oleh Allah ﷻ di dalam cuplikan firman-Nya,قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam konteks meminta jabatan,وَأما سُؤال الْولَايَة فقد ذمه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأما سُؤال يُوسُف وَقَوله {اجْعَلنِي على خَزَائِن الأَرْض} فَلِأَنَّهُ كَانَ طَرِيقا إِلَى أَن يَدعُوهُم إِلَى الله ويعدل بَين النَّاس وَيرْفَع عَنْهُم الظُّلم وَيفْعل من الْخَيْر مالم يَكُونُوا يفعلوه“Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah, hal. 564; via maktabah syamilah) [1]Artinya, dalam beberapa keadaan memang dibolehkan menyebutkan keutamaan diri selama ada kebutuhan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak mendapatkan celaan ataupun catatan berarti. Karena tujuan dari penyebutan hal tersebut karena adanya maslahat bahwa dibutuhkan sosok yang berkompeten di bidang yang mengurus umat. Pada saat itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam melihat dirinya memiliki kemampuan itu tanpa bermaksud meninggikan dirinya.Landasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adilDalam Perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak. Namun, saat itu Nabi ﷺ berijtihad untuk membagikan ghanimah dengan takaran yang beragam. Lalu dari kalangan Badui tidak terima dengan keputusan ini. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!” (HR. Ibnu Majah no. 172, disebutkan pula dalam Bukhari-Muslim) [2]Nabi ﷺ dalam kesempatan ini memberikan pernyataan bahwa dirinya adalah sosok paling adil karena posisinya sebagai utusan Allah ﷻ. Ini adalah ucapan yang sangat logis dan mudah diterima. Pernyataan ini bertujuan untuk mengentaskan keraguan serta menghardik orang yang menuduh integritas Nabi ﷺ.Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel berikut: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?Landasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’anMenyebutkan keutamaan diri juga kita dapatkan dari riwayat lain semisal beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli di bidang tertentu. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang memiliki keutamaan sebagai ahli Al-Quran. Beliau pernah mengatakan,والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه“Demi Zat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidaklah turun surah dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana turunnya. Dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu pada perkara apa turunnya. Kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang bisa ditemui dengan unta, maka aku akan naik unta menemuinya.” (HR. Bukhari no. 5002) [3]Pernyataan Ibnu Mas’ud sangat tegas menyebutkan keutamaan dirinya dalam bidang ilmu Al-Quran. Hal ini dilandasi kepada usaha kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan pengakuan Nabi ﷺ.من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya, maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ah-nya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35 dan Ibnu Hibban no. 7066) [4]Bahkan disebutkan bahwasanya beliau akan menemui seseorang yang lebih berilmu tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya dengan unta. Artinya, beliau bisa menjamin bahwa sejauh perjalanan unta pada umumnya, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya. Kalau digambarkan dengan realita saat ini, mungkin ini adalah ungkapan yang cukup hiperbolis. Namun, inilah realita ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.Dalam riwayat lain dari Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu yang belajar bacaan Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapati bacaan yang baru didengarnya. Namun, Ibnu Masud bisa menjaminkan bahwa para sahabat mengakui bahwa dirinyalah yang paling mengetahui Al-Qur’an. Lalu, Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,فجلست في حِلق أصحاب محمد ﷺ، فما سمعت أحدا يرد ذلك عليه، ولا يعيبه“Lantas aku duduk dalam halaqah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ (lainnya) dan aku tidak mendengar seorang pun membantah hal tersebut atau mencelanya.” (HR. Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462) [5]Riwayat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam penjelasan (syarah) hadis tersebut,وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ ذِكْرِ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ بِالْفَضِيلَةِ وَالْعِلْمِ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ تَزْكِيَةِ النَّفْسِ فَإِنَّمَا هُوَ لِمَنْ زَكَّاهَا وَمَدَحَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ بَلْ لِلْفَخْرِ وَالْإِعْجَابِ“Hadis ini menunjukkan kebolehan seseorang menyebutkan keutamaan, ilmu, dan sebagainya jika diperlukan. Adapun larangan memuji diri sendiri (tazkiyah–menyucikan), hanya berlaku bagi mereka yang menyucikan dan memuji diri sendiri tanpa alasan, melainkan karena kesombongan dan keangkuhan.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 16)Landasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbarعن أبي حازم أن نفراً جاءوا إلى سهل بن سعد – قد تماروا في المنبر، من أي عود هو ؟ فقال: أما والله، إني لأعلم من أي عود هو ، ومن عملهDari Abu Hazim, dikisahkan suatu ketika sekelompok orang datang kepada Sahl bin Sa’ad, mereka sedang berdebat tentang mimbar, menanyakan dari jenis kayu apa mimbar itu dibuat. Ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui dari jenis kayu apa ia terbuat dan siapa pembuatnya…” (HR. Bukhari no. 917) [6]Dalam riwayat lain, Sahl berkata,ما بقي في الناس أعلم مني“Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih mengetahui daripada aku…”Syekh Saad Asy-Syal dalam Adabul Ikhtilaf menjelaskan,وإنما قال سهل ذلك ليطمئنوا إلى روايته اطمئناناً يزيل ما وقع بينهم من التماري في المنبر“Sahl mengatakan hal itu untuk menenangkan mereka dan mengakhiri perdebatan yang terjadi di antara mereka tentang mimbar.” (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)Manfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepatSimaklah perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menjelaskan dalil-dalil di atas,وَقَدْ كَثُرَتْ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ مِنَ الْأَمَاثِلِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَدَفْعِ شَرٍّ عَنْهُ بِذَلِكَ أَوْ تَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ لِلنَّاسِ أَوْ تَرْغِيبٍ فِي أَخْذِ الْعِلْمِ عَنْهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ“Memuji diri sendiri telah menjadi hal yang lazim di kalangan orang-orang berbudi luhur jika diperlukan, misalnya untuk menangkal munkar atau menghasilkan manfaat bagi manusia, atau untuk mendorong mereka belajar darinya, atau hal semisal lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17) [7]Kemudian An-Nawawi rahimahullah memberikan beberapa contoh menyebut keutamaan diri sendiri, semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam QS. Yusuf: 55 untuk kebutuhan maslahat. Adapun dalam upaya mendorong orang untuk mengambil ilmu, semisal perkataan Sahl bin Saad dan Ibnu Masud tersebut.Intinya menurut An-Nawawi ini adalah kelaziman di kalangan orang yang memiliki keutamaan. Karena seringkali kebenaran itu tidak diketahui oleh orang kecuali ia memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Serta dengan pernyataan demikian, dapat mengokohkan seseorang dalam belajar kepada seorang guru atau ahli ilmu.Menyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen gentingSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah ketika momen genting. Bahkan terdapat contoh ketika nyawa telah menjadi ancamannya. Kisah yang dibawakan An-Nawawi rahimahullah adalah ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung oleh sekelompok pemberontak. Maka, di momen itu Usman radhiyallahu ‘anhu mengingatkan mereka tentang kebaikan dan jasa Usman radhiyallahu ‘anhu untuk kaum muslimin,وَمِنْ دَفْعِ الشَّرِّ قَوْلُ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي وَقْتِ حِصَارِهِ أَنَّهُ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ وَحَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ“Salah satu manfaat menyebutkan kebaikan dalam menolak keburukan adalah perkataan Usman radhiyallahu ‘anhu ketika pengepungan dirinya. Beliau mengatakan bahwasanya dirinya telah membekali pasukan di masa kesulitan serta ia telah menggalikan sumur rumah.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17)Simaklah ungkapan lengkap Usman radhiyallahu ‘anhu berikut,أنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عنْه حِينَ حُوصِرَ، أَشْرَفَ عليهم وقالَ: أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ، ولَا أَنْشُدُ إلَّا أَصْحَابَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَن حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَحَفَرْتُهَا؟ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّهُ قالَ: مَن جَهَّزَ جَيْشَ العُسْرَةِ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَجَهَّزْتُهُمْ؟ قالَ: فَصَدَّقُوهُ بما قالَ“Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung (di rumahnya), ia menampakkan diri di hadapan mereka lalu berkata, “Aku memohon kepada kalian demi Allah! Dan aku tidak memohon kecuali kepada para sahabat Nabi ﷺ — tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Siapa yang menggali sumur Rumah (Bi’r Rūmah), maka baginya surga.’ Lalu akulah yang menggali (membelinya untuk umat)! Tidakkah kalian juga mengetahui bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Siapa yang mempersiapkan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga.’ Dan akulah yang mempersiapkannya?” Lalu mereka pun membenarkan apa yang beliau katakan.”Usman radhiyallahu ‘anhu mau tidak mau harus mengingatkan para pengepungnya bahwa dirinya memiliki jasa dalam mempersiapkan pasukan Perang Tabuk. Sebagaimana kita ketahui, memang Usman radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai seorang sahabat kaya raya yang telah membekali dan membiayai perang kaum muslimin. Betapa besar jasa ini?! Tidak hanya itu, bahkan Usman radhiyallahu ‘anhu telah menggali sumur rumah dan mewakafkannya untuk kebutuhan kaum muslimin. Dan telah sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya wakaf sumur rumah itu berbalas surga!Bayangkan betapa sakitnya hati seorang Usman radhiyallahu anhu di kala itu?! Sebuah perselisihan terjadi hingga mengancam jiwa seorang khalifah yang memiliki jasa dan sejarah panjang. Betapa pahitnya ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang Usman radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang bodoh akan keutamaan dirinya. Maka, jika kita merenungi momen Usman radhiyallahu ‘anhu ini, kita akan mengetahui bahwa menyebutkan keutamaan diri dalam momen seperti ini adalah asas yang dapat menolak keburukan dan menjadi jalan mendatangkan kebaikan.Kesimpulan manfaatJika disederhanakan, tujuan dan manfaat dari asas ini adalah:Meredakan pertengkaranKarena kebanyakan orang ketika berselisih, ia tidak menghadapinya dengan keadilan. Seringkali sisi emosional yang lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas. Hal ini memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, yang lahir terkadang bukanlah argumentasi ilmiah, tetapi strategi melawan balik. Hal ini dapat diredam dengan mengetahui hakikat diri seseorang yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Usman radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi tersebut.Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstualSetelah mengetahui keutamaan seseorang, maka ranah perselisihan dapat ditarik ke dalam ruang lingkup dan konteks pembicaraan yang keduanya relevan di dalamnya. Masing-masing pihak akan menjadi tahu cara merespons atau menanggapi argumen sesuai latar belakang. Serta dengan demikian, dapat mengetahui runutan logis mengapa seseorang berpendapat A, atau menentang pandangan B, dan lain sebagainya. Hal ini terangkum dalam atsar Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu.Menunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalamDalam beragam konteks sosial masyarakat; strata pendidikan, status sosial, dan pengalaman hidup, menjadi bagian integral dalam struktur kemasyarakatan. Mudah sekali bagi kita menempatkan seorang dosen di lingkungan menjadi penasihat atau pembina kegiatan. Atau menjadikan seorang pejabat negara sebagai sosok yang dimintai pandangannya dalam sebuah keorganisasian. Tentu ketika kita menghadapi mereka pun dengan cara yang berbeda.Atau sebagian keadaan menunjukkan bahwa seorang ustadz bergelar profesor doktor akan lebih diterima di masyarakat dibandingkan seorang ustadz lulusan pondok. Padahal, gelar tidak menjadi cermin mutlak atas penguasaan ilmu. Namun, inilah realitas masyarakat. Sebagaimana Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu pun harus mengucapkan hal semisal ini dalam rangka agar dakwahnya diterima oleh muridnya.Menunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang adaKetika memperhatikan kisah Yusuf saat menawarkan diri menjadi wazir, maka terdapat faidah bahwa tujuan Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah untuk menyelamatkan harta yang seringnya terlalaikan. Namun, faidah lainnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menawarkan dalam konteks memaksa. Melainkan hanya bertujuan untuk memaparkan realita masalah beserta solusi bahwa ada seorang yang dapat mengatasinya. Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak memaksakan dengan perkataan semisal, “Anda kalau tidak pilih saya, maka saya akan boikot.” Hal ini menunjukkan bahwa boleh bagi kita untuk menunjukkan keahlian dan otoritas kita dalam konteks tertentu, tetapi penilaian akhir tetap berdasarkan keputusan si penerima atau pendengar. Hal terpenting yang dimaksudkan dari asas ini adalah kita hanya memaparkan data riil yang kita miliki agar penilaian seorang kepada kita berimbang dan adil.Melepaskan diri dari tuduhanSalah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah membantah sebuah tuduhan. Mungkin bagi sebagian orang, tuduhan ini tidak menjadi hal yang fatal. Namun, jika tuduhan itu telah menghancurkan reputasi seseorang, semisal integritasnya, kejujurannya, atau sifat amanahnya, maka ini sangat fatal. Oleh karena itu, berhak bagi seorang muslim untuk membela dirinya.Sebagaimana Nabi ﷺ pernah dituduh tidak adil dalam pembagian ghanimah perang. Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau aku tidak amanah, maka siapa lagi yang bisa berlaku amanah?!”Bagi orang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang sangat tajam, tegas dan mengandung pesan yang luar biasa. Sebab amanah adalah hal yang paling mudah untuk digunjingkan. Padahal, memegang amanah itu memanglah tidak mudah. Karena bukan hajat hidup satu orang, tetapi hajat hidup orang banyak. Jika seorang tidak amanah, maka ini adalah kepemimpinan yang rusak dan mengantarkan ke neraka. Maka, tuduhan semacam ini pun akan merusak banyak hal, seperti keamanan kaum muslimin. Namun, yang lebih fundamental lagi adalah tuduhan semacam ini bisa sangat berdampak pada mental dan keadaan psikologis seseorang.Ingat bahwasanya mengganggu kaum muslimin itu berdosa besar. Sementara orang yang menjadi korbannya perlu segera mengobati lukanya, dan mengingat bahwa janji Allah ﷻ senantiasa benar tak pernah dusta. Termasuk janji bahwa gangguan orang lain akan menjadi instrumen mekanisme pengguguran dosa.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Shamela.ws[2] Dorar.net[3] Dorar.net[4] Dinilai shahih sanadnya oleh Syekh Ahmad Syakir sebagaimana referensi dorar.net[5] Berdasarkan takhrij hadis dalam Adabul Ikhtilaf, dalam referensi lain berada pada Muslim no. 4629.[6] Keterangan dalam hadis cukup panjang, penulis Adabul Ikhtilaf menyebutkannya dari Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544. Adapun penomoran ini merujuk kepada dorar.net[7] Shamela.ws
Prev     Next